• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMASYARAKATAN PANCASILA DAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 2.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMASYARAKATAN PANCASILA DAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 2."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PEMASYARAKATAN PANCASILA DAN

UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 19451

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH2.

A. PENTINGNYA PEMASYARAKATAN

Sosialisasi atau sosialisasi konstitusi mutlak perlu dilakukan karena undang-undang dasar hanya dirumuskan oleh sejumlah tokoh yang mewakili 230 juta rakyat Indonesia. Betapapun media massa terlibat aktif dalam membantu memasyarakatkan proses pembahasan rancangan undang-undang dasar, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam perumusan undang-undang dasar sangat minim di kalangan para penyelenggaran sendiri, dan apalagi di kalangan

masyarakat luas. Konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam

penyelenggaraan kekuasaan negara tidak cukup hanya dituliskan sebagai naskah Undang-Undang Dasar (written, geschreven), tetapi juga perlu dipahami dan dimengerti dengan persepsi yang sama sebagai hukum tertinggi (cognitively comprehended) dan bahkan harus pula tercermin dalam perilaku politik yang hidup dalam kegiatan bernegara sehari-hari (culturally embedded). Karena itu, upaya pendidikan dan sosialisasi yang terus menerus sangat penting untuk dilakukan, bukan saja melalui pendidikan dan sosialisasi secara formal dan terstruktur tetapi juga melalui pelbagai kasus dan peristiwa serta pengalaman-pengalaman praktik yang menyadarkan orang tentang arti dan makna serta kandungan nilai yang terdapat dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia.

Lebih-lebih lagi sosialisasi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai dasar negara, dan sebagai sumber etika dan moral bernegara, yang sekarang ini sudah banyak dilupakan orang. Oleh karena di masa Orde Baru, Pancasila mengalami ideologisasi yang berlebihan, sebagai reaksi sebaliknya, maka di masa reformasi Pancasila cenderung dipandang negatif. Namun, sekarang makin disadari bahwa Pancasila sangat penting untuk dimasyarakatkan kembali. Oleh karena itu, bersamaan dengan agenda pemasyarakatan UUD 1945, upaya pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila sebagai roh UUD 1945 juga haruslah digalakkan kembali.

1

Ruang Delegasi Gedung Nusantara V MPR-RI, jl. Gatot Subroto No.6 Jakarta Pusat.

2

(2)

B. TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB PEMASYARAKATAN 1. Pemegang Tanggungjawab

Siapakah atau lembaga manakah di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada yang memegang tanggungjawab utama untuk menyelenggarakan pendidikan dan pemasyarakatan dalam arti luas itu? Dalam pengertian yang pertama, pihak yang bertanggungjawab untuk itu adalah semua pemimpin,baik dalam arti formal maupun informal, semua guru dan dosen, serta semua pejabat pemegang otoritas atau fungsi-fungsi kekuasaan negara, mulai dari yang tertinggi sampai ke jabatan-jabatan yang paling rendah. Mengapa demikian? Sebabnya, mereka itulah yang bertanggungjawab apabila ada di antara warga masyarakat yang tidak menaati Pancasila dan UUD 1945 sebagai hasil kesepakatan kebangsaan yang mengikat bagi setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semua orang terutama para

pemimpin formal atau pun informal, organisasi-organisasi

kemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga negara dan pemerintahan beserta para pejabat penyelenggara negaranya secara moral bertanggungjawab atas upaya sosialisasi itu. Artinya, di samping pemerintah seperti Presiden, Wakil Presiden, para menteri, para anggota dan pimpinan MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, serta lembaga-lembaga lainnya dapat saja didorong dan diajurkan untuk melakukan sosialisasi hukum dan konstitusi, tetapi bukan sebagai tugas dan tanggungjawab formal, melainkan hanya tanggungjawab moral yang bersifat tambahan. Hanya saja, dapat saja timbul persoalan mengenai apakah kegiatan yang bersifat tambahan semacam ini dapat dibenarkan untuk dibiayai dari APBN, apalagi, jika lembaga lain yang seharusnya menangani hal tersebut tidak memperoleh anggaran dari APBN untuk melakukan kegiatan yang sama.

Dalam pengertian yang kedua, yang lebih sempit, pemegang tanggungjawab untuk melakukan upaya pendidikan dan pemasyarakatan itu adalah pemerintahan eksekutif. Fungsi penyusunan dan perumusan Pancasila dan juga UUD 1945 sebagai hukum tertinggi merupakan fungsi politik atau fungsi pembuatan kebijakan negara (policy making), sedangkan fungsi sosialisasi atau pemasyarakatan merupakan fungsi eksekutif (policy executing) sebagai pelaksanaan atau tindak lanjut dari kebijakan negara yang telah ditetapkan. Fungsi yang pertama berkaitan dengan tugas Majelis Permusayawaratan Rakyat, sedangkan yang kedua berkaitan dengan tugas dan tanggungjawab pemerintahan negara yang dapat mencakup (i) sosialisasi, (ii) pengaturan pelaksanaan, dan (ii) penerapan dalam praktik. Pembentukan atau pun perubahan Undang-Undang Dasar dimulai dari kegiatan penyerapan aspirasi oleh partai

(3)

politik dan para wakil rakyat untuk dibawa ke forum majelis permusyawaratan guna diperjuangkan sehingga dapat diterima dan

ditetapkan secara resmi menjadi kebijakan negara setelah

dimusyawarahkan, dibahas dan diperdebatkan bersama di antara para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.

Dengan perkataan lain, sesudah undang-undang dasar ditetapkan, maka upaya sosialisasi atau pemasyarakatannya bukan lagi merupakan tanggungjawab Majelis Permusyawaratan Rakyat, melainkan merupakan tanggungjawab Pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Tugas dan kewenangan MPR menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya berkaitan dengan empat kegiatan, yaitu (i) menetapkan dan mengubah undang-undang dasar, (ii) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden3, (iii) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar, dan (iv) memilih Wakil Presiden paling lambat 60 hari sejak terjadinya lowongan jabatan Wakil Presiden, serta (v) memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk mengisi lowongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak terjadinya lowongan jabatan. Persidangan MPR yang bersifat resmi hanya dapat dilakukan apabila dimaksudkan untuk mengambil keputusan yang sah dan mengikat terkait dengan salah satu dari atau dengan kelima kegiatan tersebut.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tugas pemasyarakatan konstitusi tidak dapat dikaitkan dengan tugas dan kewenangan kelembagaan MPR sebagai institusi. Untuk itu, pengertian mengenai tugas dan tanggungjawab pimpinan MPR haruslah dibedakan dari pengertian tugas dan tanggungjawab MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, ketentuan mengenai tugas pimpinan MPR sebagaimana dimaksudkan oleh UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak dapat diperluas pengertiannya sehingga mencakup pula tugas dan tanggungjawab para anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD tersebut. Anggota DPR dan anggota DPD harus menjalankan tugasnya secara penuh sebagai anggota DPR dan/atau sebagai anggota DPD. Tidak seharusnya mereka dibebani tanggungjawab tambahan yang tidak mempunyai dasar hukum dan konstitusi yang kuat.

Dalam pengertian yang ketiga, pemegang kewenangan dan tanggungjawab sosialisasi undang-undang dasar yang dipraktikkan

3

Kewenangan untuk pelantikan ini diselenggarakan (i) pelantikan itu dilakukan dengan cara MPR mengadakan sidang untuk memberi kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sumpah atau janji jabatannya sendiri di hadapan majelis, dan (ii) penyelenggaraan sidang MPR untuk pelantikan itu bersifat fakultatif dan tidak imperatif dalam arti bahwa apabila MPR tidak dapat bersidang, maka pelantikan itu dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPR, dan apabila MPR dan DPR secara bersamaan tidak dapat bersidang, maka pelantikan itu cukup diadakan dihadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

(4)

sekarang adalah pimpinan MPR sebagaimana yang ditafsirkan dari ketentuan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPR dan DPRD. Pada pokoknya, Pimpinan DPR dan DPD sebagai ‘the spreakers’ sudah tentu bertugas dan berkewajiban untuk memasyarakatkan produk-produk DPR, dan demikian pula dengan Pimpinan MPR. Bahkan di era keterbukaan dewasa ini, pimpinan semua lembaga negara dan lembaga pemerintahan harus terbuka untuk memasyarakatkan produk-produk dari lembaga yang dipimpinnya. Para ketua MK, MA, BPK, dan lain-lain mempunyai kewajiban untuk mengumumkan dan memasyarakatkan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh lembaganya masing-masing. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dipandang sangat rasional dan memang sudah seharusnya demikian. Akan tetapi, hal itu, tidak dapat ditafsirkan seolah-olah identik dengan tugas dan kewenangan institusi MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang semuanya sudah dibebani dengan demikian banyak tugas dan tanggungjawabnya masing-masing.

2. Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2005

Dengan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengaturan yang menentukan bahwa tugas dan kewenangan konstitusional untuk memasyarakatkan Pancasila dan UUD 1945 ada pada institusi MPR dan pelaksanaannya di lapangan harus dilakukan oleh pimpinan dan segenap anggota MPR, dapat dikatakan kurang tepat. Lebih-lebih lagi, apabila tugas dan tanggungjawab sosialisasi undang-undang dasar itu dipahami sebagai tugas dan tanggungjawab eksklusif MPRsebagai institusi, dan dengan mengandaikan bahwa lembaga lain atau cabang kekuasaan lain tidak mempunyai tugas dan tanggungjawab yang sama. Coba diperhatikan judul dan isi Inpres atau Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2005 yang berjudul tentang “Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Sosialisasi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR-RI” yang ditetapkan pada tanggal 15 April 2005.

Dalam Inpres 6/2005 ini ditegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,

menginstruksikan kepada (1) Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, (2) Jaksa Agung Republik Indonesia, (3) Panglima Tentara Nasional Indonesia, (4) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, (5) Para Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen, (6) Para Gubernur, dan (7) Para Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia, untuk memberikan dukungan dan bantuan bagi kelancaran terlaksananya sosialisasi

(5)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, sesuai lingkup tugas dan kewenangan masing-masing. Pengertian Inpres No.6/2005 ini dapat saja diluruskan, yaitu hanya sepanjang menyangkut pelaksanaan sosialisasi UUD yang dilakukan oleh MPR. Artinya, sosialisasi itu dapat saja dilakukan lembaga lain, apabila diperlukan lagi Inpres yang tersendiri, maka inpres baru itu dapat saja ditetapkan lagi oleh Presiden dalam rangka mendukung pelaksanaan sosialisasi Undang-Undang Dasar 1945.

Akan tetapi, jika ditelaah dengan seksama, dalam Inpres tersebut, terkandung pengertian bahwa (i) pemegang utama tugas dan kewenangan untuk mengadakan sosialisasi UUD 1945 itu adalah institusi MPR, dan (ii) dengan memberikan dukungan terhadap sosialisasi UUD 1945 oleh MPR, berarti Pemerintah tidak merasa mempunyai tugas dan tanggungjawab sebagai subjek utama dalam upaya sosialisasi UUD 1945 itu, atau sebaliknya (iii) dengan telah memberikan dukungan itu, pemerintah tidak lagi merasa dibebani oleh tugas dan tanggungjawab atas pemasyarakatan UUD 1945 yang seharusnya menjadi tugas dan tanggungjawab konstitusionalnya sendiri. Oleh karena itu, Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2005 tersebut sebaiknya dicabut atau setidaknya disempurnakan sehingga tidak sekedar memberikan dukungan kepada MPR, melainkan menginstruksikan kepada seluruh jajaran pemerintahan eksekutif di pusat dan di daerah untuk melakukan upaya sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 dengan memanfaatkan bahan-bahan materi yang mungkin saja disiapkan oleh gugus tugas di Sekretariat-Jenderal MPR sebagai produk keputusan-keputusan konstitusional MPR-RI.

C. BAHAN PEMASYARAKATAN

Mengenai substansi materi sosialisasi, tentu saja, dapat dikaitkan dengan kewenangan MPR-RI sebagai institusi. Meskipun semua lembaga dan semua badan-badan penerbit swasta dapat saja menggandakan sendiri-sendiri semua buku risalah, dan juga produk-produk ketetapan dan naskah perubahan undang-undang dasar, tetapi rujukan orisinal tetap ada pada dan merupakan kewenangan mutlak MPR-RI. Semua lembaga dan semua badan penerbit swasta dapat saja menggandakannya sendiri-sendiri, karena produk hukum hasil MPR itu bukan lagi merupakan milik institusi MPR, melainkan sejak disahkan sudah menjadi milik publik (public domain) yang terbuka untuk direproduksi dan/atau diakses oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, serta untuk tujuan apa saja. Semua buku-buku terbitan MPR, dengan kemasan yang berbeda, dapat saja dicetak ulang oleh lembaga lain atau oleh pihak swasta. Dalam hal ini, tidak dikenal adanya pengertian copy-right institusi MPR atas produk

(6)

undang-undang dasar yang dibuat dan ditetapkannya atas nama negara dan rakyat.

Namun demikian, untuk menjamin akurasi, tanggungjawab atas substansi materi bahan-bahan sosialisasi dimaksud seyogyanya memang ada kaitannya dengan sekretariat jenderal MPR-RI. Karena itu, sejak tahun 2002 dan 2003 saya telah memberikan saran agar sekretariat jenderal MPR-RI segera menerbitkan risalah sidang-sidang MPR secara lengkap apa adanya dan secara sistematis untuk keperluan kemudahan membaca dan memahami isinya. Sambil menunggu inisiatif semacam itu, Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007-2008 pernah menerbitkan sendiri naskah risalah perubahan undang-undang dasar 1945 itu secara sistematis untuk keperluan internal Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara-perkara konstitusi. Namun demikian, karena pentingnya terbitan risalah komprehensif itu, oleh sekretariat MK hal itu diterbikan dan dibagikan kepada semua lembaga negara yang terkait serta kepada perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi yang memerlukan. Naskah lain yang penyusunannya juga perlu segera diselesaikan dan diterbitkan adalah naskah risalah lengkap apa adanya sebagaimana sekarang sedangkan dikerjakan oleh Tim Kerja Sekretariat Jenderal MPR-RI dengan melibatkan mantan-mantan anggota BP-MPR yang terlibat dalam proses perubahan UUD 1945 dan yang sekarang membentuk satu forum yang disebut Forum Konstitusi.

Agar naskah komprehensif yang telah diterbitkasn oleh MK-RI itu dapat dimanfaatkan secara lebih luas, ada baiknya sekretariat jenderal MPR-RI – atas kerjasama dengan sekretariat jenderal MK-RI – menerbitkan ulang naskah komprehensif itu secara lebih banyak dan untuk keperluan yang lebih luas. Di samping itu, mumpung para perumus perubahan UUD 1945 (the framers) masih dapat mengabdikan diri untuk menyusun kembali proses pembahasan kalimat demi kalimat rumusan perubahan UUD 1945, sebaiknya memang-benar dapat dimanfaatkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mempersiapkan bahan-bahan yang terkait dengan materi yang dapat dipergunakan dalam rangka kegiatan pemasyarakatan UUD 1945. Bilamana perlu, mereka itulah yang dilibatkan baik oleh pemerintah atau pun oleh lembaga lain, termasuk oleh MPR, dalam rangka upaya pemasyarakatan UUD 1945, bukan anggota MPR yang dewasa ini sedang menjabat sekarang ini. Karena, mereka itulah yang terlibat aktif dalam perumusan Perubahan UUD 1945, sedangkan anggota MPR yang ada sekarang tidak terlibat, kecuali beberapa orang saja di antara mereka.

Dengan demikian, kita dapat mengaitkan kewenangan untuk menyiapkan bahan-bahan sosialisasi UUD 1945 itu sebagai kewenangan teknis administratif oleh sekretariat jenderal MPR-RI sepanjang berkenaan dengan materi sosialisasi UUD 1945 itu. Kewenangan tersebut

(7)

tidak dapat dikaitkan dengan institusi MPR yang melibatkan para anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Satu-satunya kegiatan sosialisasi yang dapat dikaitkan dengan MPR ialah tugas Pimpinan MPR untuk memasyarakatkan putusan-putusan atau keputusan-keputusan MPR sebagai institusi, yaitu berupa naskah-naskah Perubahan UUD 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR yang masih berlaku, jadwal-jadwal kegiatan, rapat, dan persidangan MPR yang sifatnya sewaktu-waktu. Tugas pemasyarakatan dimaksud tersebut bukan dalam pengertian pemasyarakatan UUD 1945 untuk seluruh rakyat Indonesia dan dimaksudkan untuk terus menerus setiap waktu dan di semua tempat. Pemasyarakatan oleh Pimpinan MPR tersebut sifatnya sangat terbatas hanya pada waktu-waktu ketika MPR bersidang dalam rangka melakukan salah satu dari empat atau lima kegiatan resmi MPR sebagaimana yang diuraikan di atas.

D. METODE PEMASYARAKATAN

Upaya pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945 perlu ditingkatkan dan bahkan khusus untuk Pancasila perlu digalakkan kembali secara lebih khusus dan serius. Di zaman Orde Baru, kita memiliki sebuah badan khusus untuk itu, yaitu BP-7 baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi, oleh karena lembaga tersebut di masa Orde Baru ternyata telah dimanfaatkan secara ekstrim untuk melakukan indoktrinasi dan penyeragaman cara pandang setiap warga negara mengenai kegiatan bernegara yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, maka sejak reformasi, lembaga tersebut dibubarkan. Namun, sekarang – setelah lebih dari 10 tahun reformasi – semakin disadari bahwa BP-7 tersebut juga memiliki kegunaan-kegunaan yang diperlukan di samping keburukan-keburukannya. Karena itu, saya usulkan Presiden membentuk saja suatu gugus tugas ataupun memberikan tugas kepada salah satu instansi yang sudah ada untuk melakukan fungsi koordinasi upaya pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam pelaksanaannya, karena kompleksnya agenda

pemasyarakatan yang perlu dikembangkan, metode yang perlu dikembangkan tidak perlu hanya terbatas pada upaya pelatihan formal. Instansi atau gugus tugas koordinasi itulah yang ditugaskan untuk mengembangkan pelbagai bentuk kegiatan sebagai metode untuk memasyarakatkan Pancasila dan UUD 1945 dalam format yang baru. Misalnya, di samping pertemuan sosialisasi formal dengan ceramah dan tanya jawab 2-3 jam, perlu dipertimbangkan kegiatan-kegiatan seperti yang pernah dilakukan oleh BP-7, yaitu penataran selama 20 jam, 45 jam, sebulan, dan sebagainya, tergantung target audiens dan keperluannya. Yang tidak perlu diulangi dari pengalaman BP-7 tempo hari hanya lah

(8)

indoktrinasinya yang bersifat menyeragamkan pandangan. Orientasi sosialisasi model baru hendaklah memberi ruang adanya kebebasan menyatakan pendapat, dan termasuk kemerdekaan dalam memahami pesan-pesan hukum dan moral Pancasila dan UUD 1945.

Di samping itu, pemerintah juga sebaiknya lebih menginstensifkan sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 melalui pendidikan nasional. Pendidikan yang dimaksud perlu dikembangkan mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, tidak saja untuk kepentingan pengayaan kognitif, tetapi juga pembentukan afektif kepribadian Pancasila dalam diri setiap peserta didik. Tentu saja, Pancasila sebagai subjek pendidikan jangan sampai menambah beban kurikulum secara tidak produktif. Hanya pendidikan Pancasila yang bersifat afektif yang sebaiknya dikaitkan langsung dengan kurikulum, sedangkan pendidikan yang bersifat kognitif sebaiknya dilakukan melalui pelatihan singkat yang bersifat ekstra-kurikuler. Misalnya, untuk mahasiswa baru, daripada diadakan kegiatan orientasi kampus yang bersifat fisik dengan segala akibat sampingannya seperti terjadinya penyiksaan mahasiswa baru oleh mahasiswa senior, maka setiap mahasiswa baru semua perguruan tinggi sebaiknya diberikan pelatihan Pancasila dan UUD 1945.

E. YANG MEMASYARAKATKAN (PEMASYARAKAT)

Masalahnya sekarang adalah siapa saja kah atau lembaga mana saja kah yang sebaiknya diberi tugas melakukan sosialisasi? Seperti dikemukakan di atas, pihak yang paling utama bertanggungjawab untuk pelaksanaan sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 itu adalah Pemerintah. Namun demikian, oleh karena UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD masih ditafsirkan secara kurang tepat, dan masih berlakunya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2005, serta adanya program resmi sekretariat-jenderal MPR-RI yang didukung oleh anggaran dari APBN yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang, maka sekretariat jenderal MPR – sebelum diadakan penyempurnaan dasar-dasar hukumnya -- dapat saja terus menyelenggarakan kegiatan sosialisasi atau pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945 itu sebagaimana mestinya sesuai dengan apa yang telah diprogramkan. Akan tetapi, siapakah yang tepat untuk melakukan tugas penyampaian materi sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 itu dalam kegiatan konkrit?

Sebaiknya Pimpinan MPR cukup bertindak sebagai

penanggungjawab simbolik, sedangkan penanggungjawab teknisnya adalah sekretariat jenderal MPR. Misalnya, Pimpinan MPR cukup bertindak sebagai pejabat yang membuka atau menutup kegiatan sosialisasi dan bukan sebagai pemberi materi. Tugas memberi materi itu

(9)

adalah tugas guru, bukan tugas pemimpin politik. Baik Pimpinan MPR maupun anggota MPR adalah wakil rakyat dengan tugas konstitusional memperjuangkan aspirasi yang diserapnya dari rakyat dan menyangkut kepentingan rakyat agar menjadi kebijakan negara yang dirumuskan dalam konstitusi, bukan sebaiknya menyampaikan kebijakan-kebijakan negara kepada rakyat yang berdaulat.

Untuk menentukan siapakah yang tepat menjadi pemberi materi sosialisasi, tentu Pimpinan MPR dapat mengangkat mereka yang dianggap memenuhi syarat untuk tugas Sosialisasi Pancasila dan UUD 1945, bukan karena pertimbangan bahwa yang bersangkutan adalah anggota MPR, anggota DPR, atau anggota DPD. Di samping itu, kalau pun ada anggota MPR yang dipandang mampu dan diperlukan partisipasinya sebagai pemberi materi, maka penugasannya itu bukan dalam kapasitas nya sebagai anggota MPR, DPR, atau DPD, melainkan karena pertimbangan kapasitas pribadinya sebagai orang yang mampu secara efektif melakukan sosialisasi Pancasila dan UUD 1945.

Bahkan, dalam pelaksanaan operasional kegiatan Sosialisasi Pancasila dan UUD 1945, Pimpinan MPR dan sekretariat jenderal MPR dapat saja melibatkan perguruan tinggi atau pun pihak-pihak lain, seperti partai politik, konsultan ahli, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya untuk bertindak sebagai penceramah atau penyampai materi. Apabila perlu, pelaksanaan teknis kegiatan sosialisasi untuk kelompok sasaran tertentu dapat pula dikontrak-kerjasamakan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang relevan dan mampu menjalankan tugas sosialisasi tersebut. Dengan demikian, upaya sosialisasi dapat dilakukan secara massif dengan melibatkan banyak aktor yang dianggap mampu untuk itu. F. SASARAN PEMASYARAKATAN

Banyak kalangan yang sebetulnya sangat perlu dijadikan sasaran kegiatan pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945 ini. Akan tetapi, untuk membatasi pada kelompok-kelompok yang bersifat strategis saja, kelompok sasaran pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945 yang sebaiknya dipilih adalah:

(1) Anggota DPR, DPD, dan DPRD seluruh Indonesia; (2) Anggota Partai Politik;

(3) Anggota lembaga-lembaga negara sebelum menduduki jabatannya; (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota

(5) Pejabat struktural dan fungsional pegawai negeri sipil; (6) Perwira TNI dan Polri;

(7) Pejabat penegak hukum, seperti jaksa, hakim, dan advokat; (8) Mahasiswa Strata Satu;

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata nilai peserta didik setelah melakukan pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar yang dikembangkan adalah sebesar 78,26 yang berada pada kategori baik, dengan kategorisasi

Atas dasar uraian tersebut, menurut ahli, norma hukum pidana yang memuat tindak pidana penghinaan yang dimuat dalam Buku II Bab XVI KUHP sejalan dan sebagai implementasi

Semakin besar konsentrasi ekstrak tanaman meniran maka semakin besar kadar kalsium yang terlarut dalam ekstrak tersebut dan batugin elixir lebih efektif dalam melarutkan

[1]Hedge meyakini bahwa untuk menjadi penulis yang baik, mahasiswa perlu banyak menulis, terutama bagi mahasiswa yang memiliki writing skill yang tidak bagus dan

• Bab ini menjelaskan bagaimana cara pemecahan masalah yang menguraikan langkah-langkah atau cara-cara dalam memecahkan masalah, termasuk hambatan hambatan yang harus diatasi

Kualitas atau mutu air yang mengalir dalam suatu jaringan pipa distribusi air sangatlah penting. Karena tujuan utama dari perencanaan jaringan distribusi air bersih

Objek kajian Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ini yang terdiri dari sesuatu yang

Kami dari kelompok Hi_Mush menyusun suatu konsep budidaya jamur tiram dengan penerapan GAP yaitu panduan umum dalam melaksanakan budidaya jamur tiram secara