• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 57/PUU-XIV/2016

PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016

PERKARA NOMOR 59/PUU-XIV/2016

PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016

TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PRESIDEN

(VII)

J A K A R T A

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 57/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 59/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016 PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23], [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 22], [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)], [Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016) 2. Yayasan Satu Keadilan (Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016)

3. Leni Indrawati, Hariyanto, Wahyu Mulyana (Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016)

4. Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera (DPP SBSI), Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dkk (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016)

ACARA

Mendengarkan Keterangan Ahli Presiden (VII)

Senin, 31 Oktober 2016 Pukul 09.39 – 12.56 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Anwar Usman (Anggota)

3) Suhartoyo (Anggota)

4) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

5) Patrialis Akbar (Anggota)

6) Wahiduddin Adams (Anggota)

7) Maria Farida Indrati (Anggota)

Mardian Wibowo Panitera Pengganti

Yunita Rhamadani Panitera Pengganti

Cholidin Nasir Panitera Pengganti

(3)

Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016:

1. Muhammad Daud Berweh

B. Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016:

1. Sugeng Teguh Santoso

C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016:

1. Roy Valiant Sembiring

D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016:

1. M. Pilipus Tarigan 2. Benny Hutabarat

E. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016:

1. Eggi Sudjana 2. Agung Hermawan 3. Agus Supriadi 4. Netty Saragih F. Pemerintah: 1. Hadiyanto 2. Ken Dwijugiasteadi 3. Suryo Utomo 4. Astera Prima 5. Tio Siahaan 6. Rina 7. Nini

G. Ahli dari Pemerintah:

1. Muhammad Chatib Basri 2. Yustinus Prastowo 3. Gunadi

(4)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Sidang dalam Perkara Nomor 57, 58, 59, 63/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya cek kehadirannya, Pemohon Perkara Nomor 57, hadir?

2. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR

57/PUU-XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH

Ya, dihadiri oleh Kuasanya Yang Mulia, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Muhammad Daud Berweh, terima kasih.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Perkara Nomor 58?

4. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR

58/PUU-XIV/2016: ROY VALIANT SEMBIRING

Dihadiri oleh kuasa dan Pemohon Prinsipal, Yang Mulia.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Perkara Nomor 59?

6. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR

59/PUU-XIV/2016: M. PILIPUS TARIGAN

Perkara Nomor 59, Kuasanya, Yang Mulia, Pilipus Taringan dan Benny Hutabarat.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Perkara Nomor 63?

SIDANG DIBUKA PUKUL 09.39 WIB

(5)

8. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: AGUS SUPRIADI

Dihadiri oleh Kuasa, Yang Mulia. Saya sendiri Agus Supriadi, Bapak Dr. Eggi Sudjana, Netty Saragih, dan Agung Hermawan, terima kasih.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari DPR tidak hadir, dari Pemerintah yang mewakili Presiden? Saya persilakan.

10. PEMERINTAH: HADIYANTO

Baik, terima kasih, Yang Mulia. Izinkan kami dari Pemerintah menyampaikan tim yang hadir pada pagi hari ini. Pertama, dari Kementerian Keuangan, Bapak Ken Dwijugiasteadi, Dirjen Pajak sebelah kiri kami. Kemudian, Bapak Suryo Utomo Staf Ahli Menteri Kuangan, kemudian Bapak Astera Prima Bhakti, Staff Ahli Menteri Keuangan. Sebelah kanan, Bu Rina dari Kepala Biro Hukum. Sebelah kiri, Bu Tio, Kepala Biro Bantuan Hukum dan Bu Nini dari Kementerian Hukum dan HAM. Saya sendiri Hadiyanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan.

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik.

12. PEMERINTAH: HADIYANTO

Yang Mulia, yang kami Hormati bersama kami juga telah hadir Saksi dari Pemerintah ... Ahli (...)

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ahli.

14. PEMERINTAH:

Ahli dari Pemerintah Yang Mulia.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(6)

16. PEMERINTAH: HADIYANTO

Yaitu Bapak Chatib Basri, Ahli Ekomomi. Kemudian Bapak Gunadi, Ahli Ekomoni Perpajakan, dan Bapak Darussalam, Ahli Ekonomi Perpajakan. Serta Bapak Yustinus Prastowo, Ahli Perpajakan. Demikian, Yang Mulia.

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Agenda kita mendengarkan keterangan Ahli yang diajukan Presiden. Sebelumnya, 4 orang Ahli ini saya minta maju ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Saya persilakan untuk Prof. Gunadi, Pak Darussalam, dan Pak Muhammad Chatib Basri beragama Islam? Kemudian, untuk Pak Yustinus beragama Katolik. Yang beragama Katolik bisa di sebelah kanan saya sini. Untuk yang beragama Islam, saya persilakan berkenan Pak Wahiduddin untuk memandu sumpah. Kemudian nanti yang Katolik mohon berkenan Prof. Maria. Silakan.

18. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Pada Ahli yang beragama Islam untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan.

"Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya."

19. SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:

Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.

20. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, silakan, Prof.

21. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

Mohon diikuti saya.

”Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”

(7)

22. AHLI BERAGAMA KATOLIK BERSUMPAH:

Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.

23. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

Terima kasih.

24. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Silakan kembali ke tempat. Terima kasih, Pak Anu. Kita punya waktu masing-masing untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya kurang-lebih 15 menit, kemudian nanti semuanya kita minta untuk didengar keteranganya terlebih dahulu kemudian baru kita mendiskusikan.

Pak Sekjen siapa dulu yang akan berturut-turut kita dengar keterangannya?

25. PEMERINTAH: HADIYANTO

Bapak Dr. Chatib Basri.

26. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Pak Chatib Basri, kemudian?

27. PEMERINTAH: HADIYANTO

Kemudian, yang kedua Bapak Prof. Dr. Gunadi, yang ketiga, Bapak Darussalam, dan yang ketiga Bapak Yustinus Prasnowo ... Prastowo.

28. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Berturut-turut, silakan Pak Dr. Muhammad Chatib Basri.

29. AHLI DARI PEMERINTAH: MUHAMMAD CHATIB BASRI

Yang Mulia, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dari Pihak Pemerintah dari Pihak Pemohon, hadirin sekalian, assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.

Yang Mulia, izinkan saya untuk menyampaikan keterangan Ahli Pemerintah dan di dalam konteks ini, izinkan saya untuk mengenakan

(8)

beberapa slide untuk membantu di dalam paparan saya, saya usahakan untuk maksimum 15 menit sesuai dengan arahan waktu dari Yang Mulia. Kita mulai dari slide pertama, mungkin pertanyaan pertama yang paling penting diajukan oleh Yang Mulia mengenai tax amnesty ini dari perspektif ekonomi makro adalah mengapa perlu tax amnesty dilakukan. Silakan slide berikutnya, saya minta maaf dan mohon izin sebelumnya jika ada beberapa grafik yang digunakan di sini, ada kecenderungan dari ekonom untuk bicara di dalam bahasa yang tidak dimengerti orang, Yang Mulia, tetapi pada hari ini saya akan berjanji untuk berbicara di dalam bahasa manusia biasa.

Pada silde yang sebelah kiri, saya kira … oke, saya kalau pakai di sana. Pada slide yang sebelah kiri, itu kami mencoba menunjukkan data bahwa perkembangan ekonomi global itu terus mengalami penurunan, utamanya terjadi sejak tahun 90-an, ya. Kemudian di slide yang kanan, itu juga terlihat bahwa setelah krisis ekonomi global di tahun 2007-2008, terjadi sedikit pembaikan tetapi setelah itu perekonomian dunia terus mengalami penurunan.

Jadi pesan yang ingin sebetulnya kami sampaikan dari slide ini adalah kita menghadapi sebuah periode yang berbeda di dalam perkembangan ekonomi dimana praktis di dalam beberapa tahun terakhir terjadi pelemahan pertumbungan ekonomi global ya, dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di berbagai negara di dunia. Mengapa ini penting? Ini akan berpengaruh kepada produk-produk yang dihasilkan oleh Indonesia. Saya tunjukkan di slide yang berikut.

Yang Mulia, Bapak dan Ibu, hadirin yang saya hormati. Saya bisa menunjukkan di dalam slide ini bahwa harga minyak sejak dari tahun 2013 itu … sebetulnya 2014, mulai menunjukkan penurunan ya yang cukup signifikan. Penurunan harga minyak itu mempunyai implikasi kepada harga energi dan komoditas.

Saya berikan contoh, Yang Mulia. Jika harga minyak mahal, maka orang akan mencari substitusi untuk mengganti minyak itu. Jadi misalnya permintaan terhadap kelapa sawit akan meningkat. Kenapa? Karena jika harga minyak naik, maka orang akan cari kelapa sawit sebagai pengganti minyak. Itu yang dikenal dengan nama (suara tidak terdengar jelas) atau orang akan meminta batubara sebagai bahan pengganti minyak. Akibatnya, kalau harga minyak naik, harga energi dan komuditas juga mengalami penaikan. Tetapi yang terjadi sejak 2014, harga minyak mengalami penurunan seperti yang terjadi di dalam grafik ini. Kalau harga minyak menurun, maka orang juga akan mengurangi permintaannya terhadap kelapa sawit terhadap batu bara. Mengapa saya sebut kelapa sawit dan batu bara? Karena ini adalah produk utama dari ekspor kita. 60% dari ekspor Indonesia adalah ekspor yang terkait dengan energi dan komoditas. Jadi kalau ekspor … harga ekspornya mengalami penurunan, maka energi dan komoditasnya juga mengalami

(9)

penurunan. Ini yang menjelaskan apa yang membedakan situasi di 2009 dengan sekarang.

Jika kita lihat di dalam grafik ini, Yang Mulia, 2007, 2008 betul terjadi global financial crisis pada saat itu. Tetapi jika kita lihat di dalam grafik, sejak 2008-2009, 2009 tepatnya, harga komoditas dan harga minyak terus mengalami peningkatan. Kalau harga komoditas dan harga minyak … harga energi maksud kami, harga energi dan harga komoditas terus mengalami peningkatan, berarti revenue dari negara juga menagalami peningkatan. Mengapa? Karena 60% penerimaan ekspor, itu berasal dari perusahaan yang berorientasi seperti kelapa sawit dan batu bara. Jika mereka diuntungkan dengan harga yang baik, akibatnya penerimaan pajaknya juga meningkat, ya. Tetapi situasi ini berbeda dengan yang terjadi di 2014. Di 2014, harga komuditas dan energi mengalami penurunan. Bisa dilihat di slide berikut.

Nah, di dalam slide yang kiri, Yang Mulia bisa melihat bagaimana harga raw materials, harga beverages, makanan, itu semua mulai mengalami penurunan sejak 2014. Dimulainya 2013, tetapi 2014. Tetapi berbeda dengan Januari 2009-2011, dimana harga komoditas dan makanan masih mengalami peningkatan. Itu sebabnya, Yang Mulia, saya harus sampaikan di sini, saya menjadi Menteri Keuangan Republik Indonesia 2013-2014, jadi walaupun di dalam periode itu ya, saya menjadi Menteri Keuangan, tetapi kami tidak melakukan tax amnesty. Mengapa? Karena sumber penerimaan yang berasal dari komoditas dan energi pada waktu itu masih relatif baik. Situasinya berbeda ketika 2014. Sumber penerimaan dari pajak dari komoditas dan energi mengalami penurunan. Inilah yang kemudian membedakan betul bahwa 2007, 2008, dan 2009 terjadi krisis global dan pemerintah pada waktu itu tidak melakukan kebijakan tax amnesty, di 2004, 2015, 2016 tidak terjadi krisis global tetapi pemerintah melakukan tax amnesty, argumennya adalah sebetulnya kepada harga komuditas dan energi yang banyak sekali mempengaruhi penerimaan kita, ya.

Saya lanjutkan dengan slide yang berikut. Di dalam slide ini, ada garis yang sifatnya yang namanya upper sloping. Jadi kalau saya sampaikan di sini, garis searah ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga komoditas dan energi, semakin tumbuh … semakin tinggi pertumbuhah ekonomi. Nah, sebaliknya jika kita melihat grafik ini, jika harga komoditas dan energi semakin rendah, maka pertumbuhan ekonominya pun semakin rendah. Ini yang disebut korelasi positif antara nilai tukar dengan pertumbuhan ekonomi.

Jadi Yang Mulia, saya bisa sampaikan di sini bahwa akibat dari penurunan harga energi dan komoditas adalah turunnya pertumbuhan ekonomi kita.

Slide yang berikut dan ini tercermin pada slide ini. Yang Mulia Bapak dan Ibu yang saya hormat, kita bisa melihat bahwa pertumbuhan ekonomi terus mengalami penurunan 5,6%, 5%, 4,8 tahun lalu ini

(10)

proyeksi 2016, 5,1 dan APBN 2017=5,1%. Kita bisa melihat bahwa penurunan harga komoditas dan energi telah membuat perlambatan ekonomi dan ini kenapa … ini yang menjelaskan bahwa ada urgensi untuk melakukan tax amnesty.

Slide yang berikut, pertumbuhan ekonomi perlu dipacu. Mengapa pertumbuhan ekonomi perlu dipacu?

Slide yang berikut. Yang Mulia, tujuan akhir dari pembangunan pada akhirnya adalah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, itu artinya menurunkan tingkat kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Tetapi dari grafik ini Yang Mulia Bapak dan Ibu yang saya hormati, kita bisa melihat bahwa proses penurunan kemiskinan dan proses penurunan angka pengangguran itu relatively flat atau tidak mengalami perbaikan yang signifikan di dalam beberapa tahun terakhir.

Apa penjelasannya, Yang Mulia? Karena pertumbuhan ekonominya mengalami perlambatan. Dari sisi ini kami ingin menyampaikan bahwa perlambatan ekonomi mempunyai implikasi yang luar biasa kepada tujuan kita di dalam memberikan kesejahteraan rakyat karena jika pertumbuhan ekonomi terus melambat, maka upaya untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja itu praktis akan mengalami hambatan.

Lalu apa yang harus dilakukan? Slide yang berikut. Di dalam slide yang sebelah kiri, Yang Mulia, kita bisa melihat bahwa ada sedikit perbaikan di dalam pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua yang lalu dan jika dilihat di dalam slide ini, ini agak … agak ruwet grafiknya tetapi saya ingin sampaikan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi yang sedikit membaik di triwulan kedua lalu adalah pengeluaran pemerintah. Jadi, pengeluaran pemerintahlah yang mendorong pertumbuhan ekonomi di triwulan lalu sedikit mengalami peningkatan.

Bagaimana dengan investasi? Di slide yang sebelah kanan menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit terus-menerus mengalami penurunan. Artinya di dalam situasi ini, kita belum sepenuhnya bisa mengaharapkan dari pihak swasta karena kembali lagi terkait dengan penurunan harga komoditas, penurunan harga energi. Berarti sumber pertumbuhan ekonomi hanya bisa didorong di dalam jangka waktu pendek dari pengeluaran pemerintah. Pemerintah hanya bisa meningkatkan pengeluarannya jika penerimaannya meningkat karena tanpa itu yang terjadi adalah defisit anggaran akan mengalami peningkatan. Jika defisit anggaran melampaui 3%, maka ada risiko untuk melanggar undang-undang. Padahal di sisi lain, pemerintah membutuhkan pengeluaran yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Slide yang berikut, ini adalah skema. Saya tidak akan detail di dalam skema ini tetapi saya ingin menunjukkan bahwa target penerimaan pajak harus dinaikkan agar target belanjanya bisa dilakukan.

(11)

Jika tidak, maka akan terjadi economic slowdown dimana potensi penerimaannya juga mengalami penurunan. Karena itu jika terjadi potensi defisit dimana anggarannya melampaui 3%, maka ada potensi bahwa pemerintah melanggar Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003. Untuk itu yang harus diakukan adalah tax amnesty. Inilah yang menjelaskan mengapa tax amnesty perlu dilakukan di dalam periode ini. Di dalam periode 2009 sampai dengan 2013, harga komoditas masih relatif baik, penerimaan negara masih relatif baik, tetapi 2014 sampai sekarang, 2015 utamanya, penurunan terus terjadi.

Nah ini saya tunjukkan di dalam slide ini, saya tidak akan terlampau detail. Tetapi Yang Mulia bisa melihat bahwa penerimaan dalam negeri sampai dengan sebelum tax amnesty, yaitu ini adalah bulan Mei 2015 bandingkan bahwa penerimaan dalam negeri sampai dengan pada bulan Mei 2015 itu adalah 537,7 ya, tetapi kalau kita bandingkan dengan realisasi di APBN 2016 pada bulan Mei yang sama 504,7. Artinya bahkan secara nominal sampai dengan bulan Mei penerimaan pemerintah lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya. Di sisi lain ada kebutuhan pemerintah untuk menggenjot belanja agar pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi penerimaan pemerintah secara nominal mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena terkait kembali dengan harga komoditas … penurunan harga komoditas dan energi.

Next slide. Dan ini adalah daftar dari WP terdaftar walaupun terus mengalami peningkatan, Yang Mulia. WP OP terdaftarnya dari 19.881 terus meningkat sampai 27.571 dibandingkan dengan jumlah pekerja rasio dari WP-nya tetapi ini tidak tetap tidak terkejar karena ada kebutuhan untuk belanja seperti yang kami sampaikan sebelumnya.

Slide berikut. Ini adalah grafik perkembangan penyampaian SPT tahunan juga terus mengalami peningkatan, tetapi itu pun tidak cukup untuk menghindari risiko fiskal yang bisa muncul akibat perlambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas dan energi.

Slide yang berikut! Ini program tax amnesty. Kami mencoba memberikan secara balance mengenai manfaat dan risikonya. Manfaatnya adalah bagian dari perluasan basis pajak karena yang paling penting dari pajak adalah data, Yang Mulia. Ya, yang paling penting dari program tax amnesty ini adalah deklarasi yang membuat tax base kita itu menjadi semakin besar. Dengan tax base yang semakin besar, maka DJP itu punya apa ... data yang lebih baik.

Kemudian juga di samping itu penambahan penerimaan pemerintah dan aset repatriasi. Aset repatriasi yang kita tahu ada sebesar Rp134 triliun ya, persisnya nanti bisa dilihat di dalam data, itu akan memperkuat likuiditas kita yang akan menggerakkan sektor riil.

Memang ada risiko dari program ini. Seperti misalnya, kalau terlalu banyak yang masuk itu rupiahnya menjadi terlalu kuat. Kalau terlalu kuat, eskpor kita akan mengalami penurunan, impornya akan

(12)

naik. Kemudian, tax amnesty ini dilakukan di dalam periode yang sangat singkat, sosialisasinya perlu dilakukan segera, periode waktunya bagaimana? Kemudian juga penambahan surat utang jika program tax amnesty ini gagal. Ini adalah manfaat dengan risikonya.

Bagian akhir dari keterangan saya, Yang Mulia. Izinkan saya menjawab atau mengajukan pertanyaan. Apakah betul bahwa yang menikmati tax amnesty hanya mereka yang kaya? Saya harap bahwa data ini bisa membantu kita untuk menjelaskan siapa yang paling banyak mengikuti tax amnesty. Ini adalah segmentasi dari wajib pajak ya, orang pribadi. Yang Mulia bisa melihat jumlah tebusan, jumlah wajib pajak yang paling besar yang mengikuti tax amnesty adalah yang membayar tebusan Rp10.000.000,00 sampai dengan maksimum Rp99, sekian juta, itu ada 129.513 orang.

Apa yang ingin saya sampaikan? Jika orang membayar tebusannya Rp10.000.000,00, berarti itu nilai asetnya, kalau dia 2%, itu berarti sekitar dua ... 200 ... sori, Rp2 miliar ya ... Rp1 miliar. Ya, Rp1 miliar. Ini harus dihitung dahulu. Maaf, Yang Mulia. Rp1 miliar karena dia 2%, ya.

Kalau Rp1 miliar, 10%-nya Rp100.000.000,00, 1%-nya Rp1.000.000,00 kalau dia ... oke, berarti dia Rp1 miliar. Siapakah masyarakat yang punya penghasilan atau punya aset sebesar Rp1miliar? Pasti bukan dari kelompok yang sangat kaya.

Jika kita jumlahkan 13.000+91.000+129.000, mereka yang membayar tebusan antara Rp1.000.000,00 sampai Rp100.000.000,00 adalah proporsi terbesar dari segmentasi wajib pajak yang ikut di dalam tax amnesty. Jadi, dari angka jumlah wajib pajak ini saja, Yang Mulia, terlihat jelas bahwa yang paling banyak menikmati atau memanfaatkan tax amnesty adalah wajib pajak pribadi yang asetnya relatif kecil ya, bukan yang besar. Yang besar, yang di atas Rp100.000.000.000,00 hanya 32 orang. Rp50 miliar sampai Rp100 miliar=71 orang. Bahkan yang lebih dari Rp100.000.000,00 hanya 47.000 ya, dari total semua angka ini.

Nah, Yang Mulia, di slide berikut ini menunjukkan, ini bukan antrian menonton sepak bola, tetapi ini masyarakat berpartisipasi di dalam program tax amnesty seperti yang kami sampaikan. Ada sebagian besar pembayar tax amnesty adalah yang membayar tebusan antara Rp1.000.000,00 sampai dengan maksimum Rp100.000.000,00, ya.

Yang Mulia bisa melihat di sini bagaimana orang berkumpul, tidak pernah di dalam sejarah kita orang berkumpul begitu banyak bersama-sama datang ke kantor pajak untuk melakukan, melaksanakan kewajibannya di dalam pembayaran pajak, kecuali yang terjadi, kita saksikan di dalam beberapa bulan lalu.

Mudah-mudahan keterangan kami bisa membantu menjelaskan mengapa program tax amnesty ini perlu dilakukan. Terima kasih, wabillahitaufik walhidayah wassalamualaikum wr. wb.

(13)

30. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb.

Terima kasih, Pak Muhammad Chatib Basri. Berikutnya, Prof. Gunadi, saya persilakan.

31. AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI

Yang Mulia Bapak Ketua Majelis Hakim, Ibu, dan Bapak-Bapak Para Anggota Majelis Hakim. Para Pemohon atau yang mewakili, Pemerintah, Bapak-Bapak Para Ahli, dan hadirin sekalian.

Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, dan salam sejahtera buat kita sekalian, dan om swastiastu.

Kami ingin mencoba untuk memenuhi pengarahan dari Pak Ketua menyampaikan pendapat dalam 15 menit. Tapi barangkali kalau ada lebihnya, sedikit saja, Bapak. Oleh karena itu, naskah kami tidak akan kami bacakan semuanya. Jadi, hanya yang kami anggap penting saja.

Para hadirin sekalian, secara teori, sistem self-assessment and regulatory compliance merupakan sistem pemungutan pajak modern, paling efektif, dan efisien karena kebanyakan kegiatan pemajakan menjadi inisiasi daripada wajib pajak. Lebih dari 30 tahun Indonesia menerapkannya, namun masih ada yang belum patuh pajak. Terbukti tax ratio kita stagnan 12%. Kemudian wajib pajak orang pribadi terdaftar sekitar 24% dari jumlah pekerja dan penyampaian SPT sekitar 59%. Karena keterbatasan prasyarat suksesnya self assessment, administrasi pajak belum mampu membentuk sistem deteksi dini ketidakpatuhan secara otomatis berdasar IT data base. Prasyarat mampu deteksi dini tersebut termasuk tersedianya data basis yang luas, komprehensif, valid, dan terintegrasi sistemik, plus akses data tambahan dari sumber asal, sehingga terbentuk sistem pre-populated tax return (SPT proforma) dan sarana deteksi dini ketidakpatuhan agar meminimalisir kesempatan tidak patuh pajak, sehingga wajib pajak tidak bisa memilih selain patuh pajak karena itu dari aspek administratif, pengampunan pajak secara implisit menunjukan masih rendahnya kapabilitas penegakan hukum administrasi pajak karena keterbatasan prasyarat suksesnya self-assessment tersebut di atas.

Dalam teori, kebijakan pengampunan pajak dapat bersifat sunset, seperti Pasal 37A dan juga Undang-Undang Pengampunan Pajak sekarang atau on going. Seperti dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 13A, Pasal 15 ayat (3), Pasal 24, dan Pasal 44B Undang-Undang KUP. Jadi dalam Undang-Undang KUP terdapat penghapusan pajak karena di sana satu pasal barangkali kurang menjadi perhatian banyak orang.

Kemudian pengampunan pajak juga dapat parsial dalam proses penegakan hukum, seperti pembetulan SPT, pengungkapan ketidakbenaran SPT, dekriminalisasi tindakan alpha pertama kali,

(14)

keterangan tertulis wajib pajak atas kehendak sendiri, penghapusan piutang pajak, dan penggantian (suara tidak terdengar jelas) pajak.

Selain mengganggu keadilan pajak, ketidakpatuhan juga menyebabkan rendahnya penerimaan dan tax ratio. Defeat anggaran, pemotongan belanja pemerintah, pemotongan belanja menghambat usaha restrukturisasi, pertumbuhan ekonomi, dan (suara tidak terdengar jelas) ekonomi. Perluasan lapangan kerja, penuntasan kemiskinan, pemerataan bangunan, dan (suara tidak terdengar jelas) kepercayaan investor pada APBN dan surat utang negara. Karena itu secara ekonomi banyak negara di dunia, ada sekitar 51, memanfaatkan pengampunan pajak sebagai sarana meningkatkan penerimaan guna untuk defisit anggaran, sebagaimana disampaikan oleh Pak Chatip Basri tadi.

Di Indonesia selain uang tebusan, target pengampunan pajak termasuk repatriasi harta agar selain percepatan pertumbuhan juga dapat dimanfaatkan untuk restrukturisasi ekonomi, sehingga struktur ekonomi makin maju. Sesuai dengan teori the level of tax determinants dari Musgrave menyatakan bahwa perbaikan struktur ekonomi dapat meningkatkan struktur pajak, dan penerimaannya, serta tax ratio. Kemajuan struktur ekonomi mampu mentransformasi sektor informal dan underground economy ke sektor formal meningkatkan pendapatan domestik bruto dan penghasilan per kapita, sehingga memudahkan pemungutan pajak.

Penjelasan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menyebut, “Penetapan belanja merupakan hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri.” Maka setiap tindakan penempatan beban kepadanya harus ditetapkan dengan undang-undang. Secara hukum pengampunan pajak menghapus kewajiban pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai terutang sampai dengan 2015 diganti dengan uang tebusan pengampunan pajak atas harta netto yang dimiliki sejak awal 1995 ... 1985 sampai dengan akhir 2015, tetapi belum dilapor dalam SPT PPh 2015.

Uang tebusan dalam pengampunan pajak adalah beban rakyat, maka sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, program pengampunan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang dan dibentuklah Undang-Undang Pengampuan Pajak.

Penjelasan umum Undang-Undang Pengampunan Pajak menyebut penerimaan uang tebusan diperlakukan sebagai pajak penghasilan dalam APBN. Karena itu sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Uang tebusan juga harus ditetapkan dengan undang-undang karena dia merupakan pajak penghasilan dalam APBN. Substansi pengam ... substansi uang tebusan pengampunan adalah pengganti PPh dan PPn atau amnesty redemption in lieu of income tax. Di Amerika, tiap pungutan pengganti pajak diatur dalam internal revenue code, yaitu di seksi 903. David Tillinghast menyatakan pungutan pengganti pajak adalah juga pajak karena itu dan selaras dengan praktik pengaturan

(15)

negara lain, maka pengampunan pajak diatur dalam undang-undang berdasar Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP menyebut kadaluwarsa penerbitan ketetapan pajak dan penagihan 5 tahun sejak akhir masa pajak. Sedang Pasal 18 ayat (2) huruf b Undang-Undang Pengampunan Pajak mengindikasikan Undang-Undang-Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku atas perolehan harta netto di dalam dan luar negeri sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015. Jadi selama 31 tahun. Implikasinya sebagai derivasi dari Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPH, dan undang-Undang PPN, berdasar prinsip lex specialis derogat legi generalis, Undang-Undang Pengampunan Pajak memperluas masa pemajakan atas pemilikan harta selama 31 tahun tanpa melihat asal-usul harga yang dideklarasi dalam mempertahankan penagihan pajak dengan paksa selama 5 tahun setelah ketetapan.

Artinya, jika ketetapan pajak produk Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak dibayar, maka dapat dilakukan penagihan paksa karena ada unsur pemaksaan sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945, program pengampunan pajak ditetapkan dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Berbagai norma hukum dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak seperti ketentuan umum, asas dan tujuan, subjek dan objek, tarif dan cara menghitung uang tebusan, tata cara dan mekanisme, sanksi dan upaya hukum telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat karena dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan oleh lembaga yang berwenang, Undang-Undang Pengampunan Pajak telah memenuhi syarat legalitas formal, prosedural, dan konstitusional sehingga sah dan program ini adalah laku atau valid.

Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim yang kami muliakan dan hadirin sekalian, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak yang dimohonkan uji materi adalah Pasal 1 angka 1 dan 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 5, Pasal 4, Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), serta ayat (5), Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 dan Pasal 23 terhadap Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena beberapa pasal dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak dianggap bertentangan dengan lima pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka kami sampaikan analisis dan penjelasan kami menjadi lima bahasan sebagai berikut.

Pertama tentang Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Di muka dapat kami sampaikan bahwa paling kurang ada lima alasan kenapa pengampunan pajak harus dibuat dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.

Bapak/Ibu sekalian, (suara tidak terdengar jelas) menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip keadilan, pajak personal harus dipungut

(16)

berdasar kemampuan bayar dengan dikasih penghasilan/pengeluaran properti atau harta netto. Selain menggantikan dasar pungutan pajak berbasis penghasilan dan pengeluaran menjadi berbasis harta netto, program pengampunan pajak juga mengganti pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai dengan uang tebusan. Karena pengganti pajak adalah juga pajak, maka harus dipungut berdasarkan undang-undang.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pengampunan Pajak secara implisit mengkonversi pemajakan PPH berdasarkan penghasilan dan PPN berdasarkan pengeluaran menjadi uang tebusan berdasar harta netto. Pasal 1 angka 7 mendefinisikan uang tebusan sebagai pungutan pengganti atas pengampunan pajak yang berupa pembebasan hak negara atas PPH dan PPN.

Secara substansi pungutan negara yang bersifat memaksa masih tetap ada sebab disebut dengan pajak diganti dengan uang tebusan yang penerimaannya dalam APBN diperlakukan sebagai pajak penghasilan.

Demi jaminan kepastian hukum pajak, sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka Pasal 3 ayat (1) menentukan subjek dan objek pengampunan pajak, Pasal 4 mengatur tarif, dan Pasal 5 mengatur cara penghitungan. Self-assessment meminta partisipasi aktif semua warga berdasar itikad baik, berbeda dengan system official assessment yang menerbitkan surat penetapan pajak atas semua SPT dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang KUP menyebut bahwa penerbitan SKP terbatas pada mereka yang terbukti utang pajaknya dalam SPT tidak benar.

Dengan jumlah pemeriksa sekitar 4.648 pegawai atau 12,1%, maka tanpa (suara tidak terdengar jelas) dan dengan pola analisis data secara random sampling berdasar analisis risiko pemeriksaan atas semua wajib pajak merupakan mission impossible dan tidak selaras dengan sistem self-assessment, nanti pada tahun 2018 ketika terjadi global automatic exchange of information dan dilengkapi dalam negeri, misalnya pembatasan cash transaction, transparansi perbankan nasional, perbaikan database komprehensif, dan meningkatnya kapabilitas deteksi dini dan pengawasan ketidakpatuhan direktorat jenderal pajak atas flow of goods melalui otomasi online sistem PPN dan flow of money income and expenditures melalui otomasi dan perluasan withholding tax, peningkatan kesempatan akses data, dan informasi, sehingga dirjen pajak mampu membentuk sistem proforma SPT, pada saat itu tidak ada pilihan lain sebagai wajib pajak rasional kecuali patuh pajak.

Tindakan deteksi dini ini memerlukan pembentukan database komprehensif, integratif dan (suara tidak terdengar jelas) administrasi pajak, pembatasan cash flow, pembatasan cash economy dan transparansi perbankan yang memerlukan waktu dan kematangan situasi dan kondisi. Karena itu sambil menyiapkan segala sesuatunya, menuju sistem deteksi dini ketidakpatuhan dengan proforma SPT, solusi

(17)

sementara jangka pendek yang bersifat ad hoc adalah pengampunan pajak.

Pengampunan pajak merupakan the second base option yang amat relevant dan significant. Apakah terdapat kerugian negara atas konversi PPH dan PPN menjadi uang tebusan melalui Undang-Undang Pengampunan Pajak? Jika kita menyandingkan dari perubahan tarif 30% menjadi tebusan 2% sampai 10% sepertinya berpotensi merugikan negara. Namun, sandingkan komprehensif potensi penerimaan dari pemberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan kegiatan enforcement, kegiatan enforcement 2014 itu dari pemeriksaan dan penagihan mendapatkan Rp36,89 triliun, sedangkan secara sementara dalam triwulan pertama pengampunan pajak ini mendapatkan penerimaan Rp97,2 triliun. Ya, mungkin dari ini kita bisa berkesimpulan lain ya.

Kemudian harta itu sudah menjadi pengenaan uang tebusan yang ditulis sejak awal 1985 dan sampai dengan akhir 2015 dinilai tidak berdasarkan perolehan, tetapi nilai wajar sekarang. Jadi current value, bukan atas nilai perolehan. Jadi, misalnya harta luar negeri diperoleh tahun 1990, saat itu 1 USD sama dengan Rp2.200,00, sekarang 1 USD=Rp13.500,00, sudah naik enam kali. Harta berupa tanah dan bangunan paling kurang harganya sudah berubah misalnya lima kali. Di Tangerang, tanah untuk tambang pasir per meter yang dibeli 1990 baru Rp50.000,00, sekarang sudah Rp5.000.000,00, jadi naik 100 kali. Jadi, dengan tarif 2% dikalikan dengan basis yang luas yang besar, itu hasilnya akan menjadi besar. Jadi yang dipilih policy-nya adalah tax rate (suara tidak terdengar jelas) based broadening.

Kemudian, Pasal 16 ini juga menambah penerimaan pembatalan berbagai macam komersial kerugian dan juga lebih bayar wajib pajak. Dari Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak menyiratkan beberapa potensi penerimaan tambahan seperti pelunasan surat tunggakan pajak bagi mereka yang mengajukan deklarasi.

Kemudian melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya direstitusi bagi mereka yang sedang dalam pemeriksaan bukti permulaan. Kemudian pencabutan permohonan restitusi. Kemudian pencabutan permohonan pengurangan sanksi, pembatalan ketahapan, pembatalan keberatan, berarti SKP-nya harus dibayar semuanya. Pembatalan banding dan pembatalan peninjauan kembali. Ini berarti perusahaan banding harus dibayar.

Kemudian Pasal 17 ayat (3) juga berkontribusi menghemat pengeluaran negara dari pelepasan hak atas imbalan bunga. Dana repatriasi harta luar negeri juga penting bagi restrukturisasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan pengurangan timpangan sehingga menambah basis pajak. Secara matematis terobosan kebijakan pengampunan pajak justru menguntungkan negara.

(18)

Secara administratif, mungkin pengampunan pajak tampak lemah, namun dari segi policy dan strategi terhadap para penghindar pajak, ini pemerintah saya lihat sebagai arif bijaksana, cerdas, dan taktis mendorong kepatuhan warga dengan pola pemajakan modern, yaitu tax tax rate (suara tidak terdengar jelas) based broadening. Jadi, penurunan tarif pajak dari 30% atau 25% menjadi 2%, tetapi basisnya diperluas, yaitu dengan nilai sekarang, bukan nilai historis. Dengan penerimaan yang lebih besar dari doing business as usual.

Kedua, Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 24 ayat (1) ... Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menghendaki kekuasaan kehakiman merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan untuk itu, syarat dan pemberhentian hakim diatur dengan undang-undang. Sebagai konsekuensi sebagai negara hukum, maka Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Undang-Undang Pengampunan Pajak menghapus pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai beserta sanksinya dan menggantinya dengan uang tebusan yang penerimaannya diperlakukan sebagai pajak penghasilan. Karena itu sengketa dari pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak merupakan sengketa pajak penghasilan atau pajak. Berdasar tolak ukur subjek dan objek, sengketa pajak adalah sengketa tata usaha negara, maka sudah tepat diselesaikan oleh pengadilan pajak yang berada di dalam lingkungan peradilan tata usaha negara di bawah Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Tujuan utama sistem pajak termasuk pengampunan pajak adalah penerimaan untuk menutup anggaran APBN. Agar tidak menganggu pencapaian tujuan utama, maka beberapa prinsip penghasilan yang lain dikesampingkan sehingga ukuran pengampunan pajak tidak kebanyakan terbebani berbagai hal yang kurang relevan. Karena itu, berbeda dengan proses pengesahan peradilan sengketa ketetapan yang harus dilakukan melalui keberatan dulu, demi efisiensi dan percepatan peradilan hukum, Pasal 19 Undang-Undang Pengampunan Pajak memperpendek proses penyelesaian sengketa pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak, cukup dengan gugatan pengadilan pajak agar segera diperoleh kepastian hukum dan utang pajaknya dilunasi. Dengan demikian, keberadaan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak masih sejalan dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Pasal 20 sepertinya terkait dengan Pasal 26 Undang-Undang Pengampunan Pajak yang melindungi kerahasiaan data dan informasi

(19)

yang disampaikan wajib pajak dalam rangka pengampunan pajak. Selaras dengan Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Pengampunan Pajak juga menganut sistem self assesment dan voluntary compliance dengan inisiasi pengampunan pajak yang berasal dari wajib pajak. Hampir semua negara pungut pajak, melindungi kerahasiaan data dan informasi perpajakan wajib pajak agar bersedia sejujurnya melapor selengkapnya objek tentang pajak sebenarnya.

Deklarasi harta netto dan uang tebusan merupakan bentuk

kepercayaan wajib pajak pada pemerintah dan negara. Dengan deklarasi, wajib pajak telah mengungkap data pribadinya pada pemerintah seperti jumlah semua harta dan utangnya, dari mana dan bagaimana diperolehnya agar mereka bersedia secara volunteer jujur dan transparan mau mendeklarasikan semua harta netto-nya, biar uang tebusan dan merepatriasi harta netto-nya ke Indonesia.

Pasal 21 Undang-Undang Pengampunan Pajak melindungi kerahasiaan data dan informasi dimaksud, perlindungan tersebut seperti: 1. Tidak boleh dibocorkan, disebarluaskan, dan diberitahukan kepada

pihak lain.

2. Tidak dapat diminta siapa pun kecuali persetujuan wajib pajak. 3. Digunakan sebagai basis data perpajakan.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2008 perihal Pengujian Pasal 34 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 terhadap Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 antara lain dinyatakan bahwa data dan informasi perpajakan sebagai harta milik wajib pajak dilindungi Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena harta yang dideklarasi dan repatriasi akan diinvestasikan paling lama … eh, paling kurang tiga tahun guna percepatan pertumbuhan dan (suara tidak terdengar jelas) ekonomi, agar (suara tidak terdengar jelas) bebas dari rasa ketakutan dan keraguan untuk berbuat tidak berbuat dan investasi berjalan dengan tenang, dana stabil tanpa kegaduhan hukum, maka Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak memberi perlindungan dan kepastian

hukum data dan investasi yang bersumber dari deklarasi yang (suara

tidak terdengar jelas) Kementerian Keuangan atau pihak lain terkait pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyidikan, penyelidikan, dan tindak pidana.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pengampunan Pajak sudah menyatakan, “Pembebasan sanksi pidana terbatas pada bidang perpajakan.” Ketentuan tidak dapat menjadi dasar penyidikan,

penyelidikan, dan tentang tindak pidana di bidang perpajakan dan di

bidang-bidang lain tidak bisa diartikan sebagai secara implisit pengampunan pajak membebaskan deklarator pengampunan pajak dari semua jenis pidana. Tetapi harus dipahami hanya terbatas sebagai melarang data dan informasi dari pengampunan pajak dijadikan sebagai sumber penegakan hukum. Karena sanksi pidana selain pajak tidak

(20)

diampuni, maka tindakan hukumnya tetap dapat dilakukan, namun harus berdasar data dan informasi lain dari yang dipakai dalam rangka pengampunan pajak.

Dengan demikian, keberadaan Pasal 21 dan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak sesuai dengan prinsip kemanfaatan dan kepentingan nasional serta dilindungi Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang secara sistematis tidak bisa dianggap tidak sejalan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Ketiga. Pasal 19 ayat (1), ayat (3), ayat (5), Pasal 20 dan Pasal 22 dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 27 ayat (1) memberikan dasar persamaan warga di depan hukum sebagai salah satu pilar negara hukum. Substansi pengampunan pajak adalah konversi kewajiban pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai sampai akhir Desember 2015 menjadi kewajiban deklarasi advant neto selama 31 tahun yang belum dilapor dan bayar uang tebusan.

Bagi wajib pajak, pengampunan pajak ini bersifat optional, yang pertama mengikuti pengampunan pajak dengan membayar uang tebusan berdasar nilai wajar atas deklarasi advant neto yang dimiliki belum dilapor di SPT. Atau yang kedua, tidak ikut pengampunan pajak yang dapat dikenakan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai plus pajak penghasilan atas lima catatan itu selama 31 tahun yang ditemukan dalam waktu 3 tahun sejak 1 Juli 2016 plus sanksi administrasi.

Sejak mulai berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak mengkonversi kewajiban PPh dan PPN menjadi uang tebusan atas lima catatan itu bagi yang menyampaikan deklarasi. Agar tidak terjadi kewajiban yang … dan sanksi yang ganda atau double (suara tidak terdengar jelas) rasanya tidak berlebihan jika Pasal 19 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) Undang-Undang Pengampunan Pajak menunda atau menghentikan penegakan hukum karena Pasal 3 ayat (4) dan pasal … ayat (5) menghapus kewajibannya plus sanksi administrasi dan pidana diganti dengan uang tebusan. Penghapusan itu bukannya bebas sama sekali, tapi ada ancaman sanksi yaitu Pasal 18 ayat (1) juncto ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak.

Sementara itu bagi mereka yang tidak mendeklarasi harta juga diancam dengan sanksi Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pengampunan Pajak. Karena pengampunan pajak bersifat optional, konsekuensinya ekualitas harus dilihat pada segmen masing-masing deklarator atau bukan keduanya dapat dikenai sanksi jika dikaitkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak. Nah, nampak Pasal 19 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) tetap selaras dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena setiap orang dapat dikenai sanksi.

(21)

Yang keempat, Pasal 1 angka 7, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ada yang menyebut bahwa uang tebusan harta yang diberi sejak awal, 1985 sampai dengan akhir 2015 yang belum dilapor dengan tarif 2% sampai dengan 10% menyebabkan adanya tidak kepastian hukum yang adil dan perlakuan sama antara wajib pajak yang taat pajak sama yang tidak taat pajak yang diberikan diskon besar-besaran.

Di muka kami sampaikan bahwa dengan adanya beda dasar pengampunan pajak, yaitu nilai historis bagi yang taat sedangkan nilai wajar bagi yang tidak taat pajak. Secara nominal jumlah uang tebusan jauh lebih besar dari perumusan pajak pada saatnya. Selain itu, secara psikologis mereka yang patuh sudah merasa lega pada saat itu, sedang mereka yang tidak patuh mungkin telah mengalami tekanan batin dan stres berkepanjangan dan baru agak lega setelah Undang-Undang Pengampunan Pajak, apalagi ada uji materiil tentang Undang-Undang Pengampunan Pajak itu, mungkin juga menambah stres mereka lagi. Secara normatif kepastian hukum ya, dalam perpajakan menurut Adam Smith merujuk pada kepastian tentang:

1. Pajak yang harus dibayar jumlahnya pasti. 2. Siapa yang membayarnya?

3. Kapan harus dibayar? 4. Ke mana harus dibayar?

Sementara Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa legal certainty pajak terpenuhi jika sekurang-kurangnya:

1. Unsur-unsur perhitungan objek kena pajak ada. 2. Tarif pajak dimuat dalam undang-undang.

Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak telah diatur secara tegas dan jelas subyek dan wajib pajak. Objek dan pengajuan dan objek pengampunan, dasar dan syarat pengenaan uang tebusan, tarif uang tebusan, cara perhitungan, dan tepat membayar uang tebusan. Dengan practical analysis di atas, maka sudah memenuhi kriteria kepastian hukum seperti dimaksud Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Yang kelima. Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada.

(22)

Sementara itu, Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 memberi perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan yang diserahkan wajib pajak yang sebetulnya telah lama diatur di Indonesia. Seperti ada pada Pasal 44 (suara tidak terdengar jelas) 1925, jadi kerahasiaan ini sejak tahun 1925 sudah ada di Indonesia, ya. Kemudian, (suara tidak terdengar jelas) pajak pendapatan dan terakhir Pasal 34 Undang KUP, Undang Nomor 1983. Pasal 34 Undang-Undang KUP pernah diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 terhadap Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Data dan informasi pajak adalah hak milik wajib pajak, Pemohon pengampunan pajak yang diserahkan ke Kementerian Keuangan melalui Dirjen Pajak dalam rangka permohonan pengampuan pajak dijamin sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Selain meningkatkan kepatuhan, perlindungan kerahasiaan juga dimaksudkan untuk:

1. Melindungi privasi wajib pajak.

2. Sebagai ... sesuai dengan teori perlindungan negara atas jiwa dan harta benda warga.

3. Memberikan kepastian hukum. 4. Mencegah kesewenangan penguasa.

5. Menghormati kontrak sosial negara dengan warga.

Pengecualian atas kerahasiaan berlaku jika atas persetujuan wajib pajak data dapat diberikan walaupun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu publikasi data dan informasi memungkinkan masyarakat milik pekerja kantor pajak dan informan mengecek kewajaran pembayaran pajak wajib pajak tertentu.

Namun, kebanyakan pendapat menghendaki perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan agar tidak terjadi penyalahgunaan data dan informasi setelah kegaduhan publik bisnis dan investor. Kemanfaatan untuk kepentingan nasional dan keterangan, dan kedamaian, dan kondusivitas pebisnis dan investor dengan merahasiakan data dan informasi perpajakan lebih besar daripada publikasi data individu, sedangkan untuk kepentingan tertentu dapat diberikan data makro umum.

Pengecualian bahwa atas persetujuan wajib pajak, informasi dapat diminta atau diberikan kepada pihak manapun merupakan suatu kemajuan dalam kerahasiaan data dan informasi perpajakan. Sebagai konsekuensinya, maka para pelanggar Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan Pajak diancam sanksi pidana karena data dan informasi yang disampaikan wajib pajak dalam rangka pengampunan pajak menjadi basis data perpajakan Dirjen Pajak, maka tidak dapat diminta atau diberikan siapa pun kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri. Karena keadaan (suara tidak terdengar jelas) merupakan hak miliknya.

(23)

Yang Mulia Bapak Ketua, Para Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi, Para Hadirin Sekalian, sebagai penutup dapat kami sampaikan yang pertama bahwa Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Yang kedua, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak juga tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Yang ketiga, Pasal 11 ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan Pasal 20, serta Pasal 22 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Yang keempat. Pasal 1 angka 7, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Pengampunan Pajak juga selaras dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sedangkan, Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 Undang-Undang Pengampunan Pajak juga tidak bertentangan dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebagai penutup, dapat kami sampaikan bahwa Undang-Undang Pengampunan Pajak disusun atas kuasa beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Itu Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23, dan Pasal 23A.

Sebagai sistem pengaturan hukum dasar negara, semua pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan satu kesatuan sistem pengaturan yang saling mendukung dan perkuat secara harmonis (suara tidak terdengar jelas), dan tidak dianggap bertentangan satu sama lain, termasuk Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F. Jika terjadi benturan kepentingan antara perpajakan dengan kepentingan lain yang sama-sama dilindungi konstitusi, mungkin diperlukan harmonisasi dari berbagai undang-undang terkait.

Sekian, Bapak Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang kami hormati, kesaksian kami. Assalamualaikum wr. wb.

32. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Gunadi. Berikutnya saya persilakan Pak Darussalam, bisa di sebelah kanan sana saja supaya tidak melewati. Ya, dekat Pemohon, tidak usah takut, Pak.

33. AHLI DARI PEMERINTAH: DARUSSALAM

Assalamualaikum wr. wb. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dan Wakil dari Pemerintah serta Pemohon. Izinkanlah saya dalam kesempatan ini memaparkan pandangan saya terkait dengan uji materiil Undang-Undang Pengampunan Pajak.

(24)

Yang ingin saya sampaikan dalam pemaparan ini adalah saya akan bagi menjadi beberapa kelompok, ya. Pertama akan saya mulai terkait dengan situasi atau kondisi perpajakan di Indonesia. Setelah saya memaparkan situasi dan kondisi, ada beberapa pilihan kebijakan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah. Pilihan itu bisa, satu, melakukan penegakkan hukum. Kedua, melakukan pengampunan pajak atau kita menunggu saja terkait dengan adanya pertukaran informasi keuangan yang akan terjadi di 2018. Lantas selanjutnya, apabila memang pengampunan pajak menjadi opsi yang dipilih, justifikasinya seperti apa? Selanjutnya yang keempat, terkait dengan desain dari Undang-Undang Pengampunan Pajak itu sendiri. Dan terakhir atau yang kelima, yang ingin saya sampaikan adalah pencapaian dari periode pertama dikaitkan dengan prospek keberhasilan dari Undang-Undang Pengampunan Pajak yang saat ini masih berjalan.

Pertama terkait dengan situasi dan kondisi perpajakan di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama memang pajak ini merupakan tulang punggung dari penerimaan Negara Indonesia itu tidak dapat dipungkiri. Tetapi permasalahannya adalah walaupun pajak merupakan andalan penerimaan pajak, tetapi apa yang kita dapatkan dari pajak itu sendiri angkanya jauh dari potensi yang sebenarnya dapat dipungut.

Suatu penelitian di tahun 2013 yang dilakukan oleh Ricardo Venecieto dan Pesino menyatakan bahwa potensi pajak Indonesia yang baru tergali jumlahnya secara persentase angkanya 47%. Artinya apa? Artinya masih terdapat 53% potensi pajak yang belum dapat tergali.

Nah, apa yang menjadi permasalahan kok sedemikian besar potensi yang belum tergali dalam konteks perpajakan di Indonesia? Itu bisa saya bagi menjadi empat bagian. Pertama adalah masalah underground economy. Dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Scneider khusus terkait dengan underground economy di Indonesia angkanya masih tinggi sebesar 18,9% dari produk domestik bruto. Artinya apa? Artinya bahwa sektor-sektor selama ini yaitu sektor informal ekonomi maupun ilegal ekonomi itu belum ter-cover dalam sistem perpajakan Indonesia. Nah, ini nanti dikaitkan dengan masalah bagaimana Undang-Undang Pengampunan Pajak untuk menyasar sektor-sektor tersebut.

Kedua, masalah ketimpangan penerimaan perpajakan Indonesia. Seperti kita ketahui dalam konteks struktur penerimaan perpajakan Indonesia selama ini yang menjadi andalan hanya terkait dengan pajak penghasilan di badan usaha dan pajak pertambahan nilai. Sedangkan sektor pajak penghasilan untuk orang pribadi, khususnya orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sumbangsihnya terhadap penerimaan pajak selama ini masih kecil, angka dari tahun 2012 sampai tahun 2014 hanya menyumbang sebesar 0,4% sampai 0,5% dari total penerimaan pajak bandingkan denagn PPh badan dan PPN yang angkanya kalau digabung itu mencapai 90%. Nah, ini juga menjadi perhatian kenapa

(25)

pilihan Undang-Undang Pengampunan Pajak itu nanti sangat rasionalitas untuk menyasar para orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha ini? Karena kalau kita bandingkan dengan banyak negara justru orang pribadi inilah penerimaan pajaknya yang paling besar. Jadi kondisinya kita terbalik dengan negara-negara maju. Nah, inilah nanti pengampunan pajak bagaimana struktur penerimaan pajak itu nanti kalau bisa itu sumbangan dari sektor orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha ini menjadi bertambah besar.

Lantas sektor yang ketiga terkait dengan latar belakang kondisi pajak Indonesia adalah tingkat kepatuhan pajak yang masih sangat rendah. Data yang saya dapatkan di tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015 kepatuhan wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT dibandingkan dengan mereka yang melaporkan SPT-nya angkanya antara 52% sampai 60%. Ini menggambarkan bahwa masih banyak wajib pajak yang mempunyai kewajiban menyampaikan SPT, tetapi tidak melaporkan. Ini baru dari sisi formalitas dan ini belum dikaitkan dengan apakah SPT yang memang benar-benar disampaikan itu sudah benar secara material terkait dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Lantas yang keempat yang menyebabkan situasi pajak Indonesia itu masih belum baik adalah masalah globalisasi dan kebocoran pajak. Dewasa ini banyak terjadi di suatu negara ya, di dunia ini adalah adanya kompetisi pajak yang tidak fair dimana banyak negara dalam memperebutkan investasi pajak mereka melakukan kompetisi perang tarif pajak dan berlomba-lomba memberikan fasilitas pajak sehingga tarif efektif pajak di negara-negara tersebut itu menjadi rendah yang sehingga dapat menarik adanya penggeseran laba dari suatu negara ke negara-negara tersebut, ini tidak fair. Dan kedua, adanya mereka memberikan fasilitas masalah kerahasiaan bank yang sangat ketat sehingga banyak wajib pajak di negara Indonesia yang menyimpan uang-uangnya di negara-negara yang memberikan kerahasiaan bank yang ketat tersebut. Nah, inilah juga yang menjadi sasaran nanti kenapa perlu tax amnesty? Kenapa fitur salah satu tax amnesty-nya itu berupa repatriasi dan deklarasi aset di luar negeri? Agar ya, dana-dana yang ditempatkan oleh wajib pajak dalam negeri Indonesia itu bisa kembali ke tanah air Indonesia.

Nah, itulah 4 faktor situasi pajak yang belum mendukung aspek penerimaan pajak Indonesia berdasarkan potensi yang ada. Nah, sekarang dengan kondisi keempat tersebut, pertanyaannya adalah bagaimana opsi yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan kondisi tersebut? Tadi sudah saya katakan ada pilihan 3. Pertama, yang selalu didengungkan kenapa tidak melakukan penegakan hukum? Kenapa harus tax amnesty? Kenapa kita tidak tunggu saja? Kalau itu benar ada pertukaran informasi keuangan di tahun 2018, toh nanti kita akan dapatkan informasi. Kenapa harus tax amnesty?

(26)

Nah, saya akan bahas yang pertama pilihan kebijakan adalah penegakan hukum. Yang ingin saya sampaikan adalah satu upaya penegakan hukum itu tidak akan efektif jika tidak ada basis data. Dan segala upaya penegakan hukum itu sebenarnya juga sudah dilakukan oleh Direktorat jenderal Pajak, tetapi yang kita dapati adalah ya, selama ini pun target tidak pernah tercapai kalau kita mundur 10 tahun kecuali di tahun 2008 itu sendiri ketika ada sunset policy.

Jadi, masalahnya apakah kita akan melakukan kebijakan yang sama lagi, penegakan hukum? Ternyata itu pun belum berhasil karena faktornya adalah kita belum mempunyai basis data. Nah, inilah nanti pentingnya mengapa harus perlu pengampunan pajak? Karena dalam rangka untuk mengkoleksi basis data yang itu sendiri.

Keduayang harus kita ketahui juga dalam Indonesia … di negara Indonesia ini, integrasi data keuangan, data kependudukan, dan data perpajakan itu masih berdiri sendiri masing-masing, belum saling mendukung sehingga apa? Sekali lagi Direktorat Jenderal Pajak tidak mempunyai basis data yang kuat untuk mendeteksi apakah wajib pajak sudah melaporkan kewajiban pajaknya dengan benar atau tidak.

Nah, pilihan yang kedua. Kenapa harus tax amnesty? Kalau kita perhatikan, tax amnesty di banyak negara itu menjadi suatu kebijakan terobosan. Suatu masa transisi sebelum menuju era baru perpajakan. Di mana era baru perpajakan tersebut yaitu adanya era keterbukaan informasi keuangan di tahun 2018 untuk tujuan perpajakan. Nah, kalau kita bicara tax amnesty, Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Fakta di seluruh dunia sudah ada 38 negara yang mengadopsi kebijakan pengampunan pajak. Pertanyaan saya adalah kalau memang pengampunan pajak ini sesuatu yang tidak konstitusional, kenapa sedemikian banyak negara di dunia ini yang mengadopsi kebijakan pengampunan pajak? Sebagai contoh yang dapat saya berikan adalah pengalaman uji materi pengampunan pajak di Negara Jerman di tahun 1990. Sama dengan konstitusi di Indonesia, mereka juga mengadopsi perlakuan hukum yang sama.

Nah, di dalam konteks pengampunan pajak di Jerman, pengadilan khusus di bidang keuangan dalam rangka untuk menguji masalah keadilan ini atau perlakuan hukum yang sama kepada semua wajib pajak, mereka mengajukan ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak mereka. Mereka bilang bahwa ini melanggar keadilan. Karena apa? Wajib pajak yang sama kok diperlakukan tidak sama. Mereka bilang, “Seharusnya kondisi wajib pajak yang sama harus diperlakukan sama, wajib pajak patuh kenapa diberlakukan tidak sama dengan wajib pajak yang tidak patuh?” Artinya, wajib pajak tidak patuh diberi privilege seperti itu.

Menarik apa yang disampaikan oleh hasil keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman. Memang benar di sana ada perbedaan perlakuan perpajakan terkait dengan wajib pajak patuh dan wajib pajak tidak

(27)

patuh. Tetapi yang dipandang oleh Mahkamah Konstitusi Jerman adalah masalah ke depannya. Artinya apa? Kalau hal ini didiamkan, kalau hal ini tidak ada pengampunan pajak, maka saat itu yang membayar pajak hanya segelintir orang wajib pajak yang patuh-patuh saja, sehingga banyak free rider di sana. Artinya, free rider adalah mereka tidak mau membayar pajak, tetapi mereka mempunyai kemampuan untuk membayar pajak. Artinya apa? Artinya, Mahkamah Konstitusi Jerman berpandangan bahwa ke depan dengan adanya pengampunan pajak ini, wajib pajaknya akan bersama-sama dengan wajib pajak patuh yang selama ini tidak patuh akan membayar pajak sesuai dengan kemampunan mereka. Jadi, ketidakadilan itu dijustifikasi dengan tujuan adanya tax amnesty ini. Membawa kembali wajib pajak tidak patuh untuk ke depannya bersama-sama membayar pajak dengan wajib pajak patuh.

Nah, itu justifikasi terkait dengan tax amnesty pengalaman di negara Jerman. Sekarang justifikasi kedua yang ingin saya sampaikan juga adalah bahwa tax amnesty ini akan memperbaharui kontrak fiskal antara negara dan masyarakat. Kenapa saya bilang memperbaharui kontrak fiskal? Karena yang namanya pajak itu adalah kontrak fiskal antara negara dan masyarakat, dimana masing-masing dituntut untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan fungsinya masing-masing. Negara memberikan pelayanan publik, melakukan pembangunan, dan masyarakat berkewajiban utnuk membayar pajak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Jadi, di sini negara dan masyarakat melupakan atau memaafkan masa lalu terkait dengan kewajiban fiskal mereka yang mungkin sama-sama belum dijalankan, seperti itu. Jadi, di sini adalah sifatnya memperbaharui kontrak fiskal.

Dan yang ingin saya tambahkan lagi mengenai justifikasi terkait dengan pengampunan pajak ini adalah masalah ketidakpastian pertukaran informasi keuangan uang akan dilakukan di 2018. Jadi, sementara banyak berpandangan, “Toh kalau memang itu akan terdapat pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan, kenapa sekarang kita harus mengadakan tax amnesty? Tunggu dulu sajalah, kita bersabar toh nanti kita akan mendapatkan informasi keuangan yang akan menjadi basis data tersebut.” Faktanya, tidak demikian mudah. Karena apa? Pertukaran informasi keuangan itu juga penuh ketidakpastian. Kenapa saya katakan penuh ketidakpastian? Pertama, di faktor internal kita sendiri. Kedua, di faktor eksternal.

Di faktor internal, di dalam negeri sampai saat ini masalah bagaimana direktorat jenderal pajak untuk dapat mengakses data perbankan dalam konteks untuk menaikkan penerimaan pajak masih belum bisa dilaksanakan full. Makanya tidak aneh dalam preview yang dilakukan oleh Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose, kita, negara kita diklasifikasikan sebagai negara ... kalau ada 3 kategori apa ... negara yang sepasang patuh yang

(28)

patuhnya nomor 2 dan yang tidak patuh partially compliant kita ada di

negara yang nomor 3. Termasuk negara yang partially compliant adalah

negara ya yang ada di rangking bawah, seperti itu. Bersama dengan 12 negara lain.

Kita kalah dengan negara British, Virgin island, dan Cayman Island, sangat-sangat menyedihkan terkait dengan akses data-data perbankan untuk tujuan perpajakan. Nah, kalau yang di dalam negari ini pun tidak segera direformasi masalah akses perbankan untuk tujuan perpajakan, kita bisa dikatakan sebagai negara yang mungkin nanti akan di-blacklist, seperti itu.

Kedua, terkait dengan pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan ini yang penuh ketidakpastian adalah tidak ada sanksi punishment dalam konteks pertukaran informasi kuangan ini. Kalau suatu negara itu tidak patuh sampai saat ini aturan hukumnya juga enggak ada. Jadi ini masih penuh ketidakpastian untuk dalam rangka apakah kita akan mendapatkan informasi itu secara otomatis?

Lantas lanjutnya, di faktor eksternal adalah masalah walaupun sampai saat ini sudah 104 negara berkomitmen untuk melakukan pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan, faktanya, jumlah yang 104 negara itu baru 50% lebih dari total negara di dunia ini yang menurut PBB jumlahnya 198. Ini faktor eksternal juga. Jadi, artinya masih banyak negara-negara yang belum ikut komitmen untuk saling bertukar informasi ini.

Lantas faktor eksternal lainnya yang perlu kita perhatikan adalah dari negara-negara tax haven yang jumlahnya di dunia ini 49 negara tax haven, itu baru 30 negara yang berkomitmen untuk ikut pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan ini.

Artinya apa? Artinya, masih ada beberapa negara tax haven yang masih dapat dipakai untuk melakukan penggelapan maupun penghindaran pajak, seperti itu. Nah, jadi dengan apa yang saya sampaikan ini, pilihan untuk menunggu saja pertukaran informasi itu menjadi tidak relevan. Jadi, memang kebijakan tax amnesty lah yang memang banyak dipilih karena apa? Karena kebijakan tax amnesty itu dikatakan sebagai suatu kesempatan terakhir bagi para wajib pajak tidak patuh dan sekaligus dia merupakan ancaman kepada wajib pajak yang akan tidak patuh pascapengampunan pajak ini.

Jadi, tax amnesty itu dimaknai 2 hal. Satu, kesempatan terakhir, ‘silakan anda ikut amnesty. Atau kedua, ini tidak lain ancaman jangan sekali-kali untuk tidak patuh pascapengampunan pajak. Karena apa? Karena dengan pengampunan pajak ini basis data sudah didapatkan, seperti itu. Jadi menurut saya sebenarnya pengampunan pajak ini juga sifatnya memaksa, memaksa apa? Untuk tidak kembali lagi ke pola perilaku tidak patuh. Karena apa? Karena otoritas pajak sudah punya basis data melalui program pengampunan pajak ini, seperti itu.

(29)

Nah, saya masuk ke nomor 4 dari pemaparan saya, yaitu masalah desain pajak. Pertama, kenapa harus melalui undang-undang? Karena bagaimana pun tadi sudah disampaikan oleh Ahli, Prof. Gunadi bahwa pajak ini atau pengampunan pajak ini ada unsur memaksanya juga, sehingga dia harus melalui undang-undang, Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seperti itu.

Nah, yang ingin saya sampaikan bahwa dalam perumusan pajak yang mempunyai naluri memaksa itu harus dirumuskan berdasarkan prinsip-prinsip atau asas-asas perpajakan yang di-endorse oleh Adams Smith. Antara lain adalah masalah kepastian hukum dan keadilan dan ini sudah ada di Undang-Undang Pengampunan Pajak itu sendiri. Kalau kita lihat di Pasal 2 ayat (1) yang di sana menyatakan bahwa Undang-Undang Pengampunan Pajak ini disusun berdasarkan asas-asas atau prinsip salah satunya adalah kepastian hukum dan keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan negara, seperti itu.

Nah, lantas siapa yang disasar oleh Undang-Undang Pengampunan Pajak ini.

Nah, saya coba meluruskan pendapat yang ada di masyarakat. Seolah-olah dalam masyarakat ini pengampunan pajak ini ditujukan hanya terkait 2 kelompok wajib pajak saja, yaitu kelompok wajib pajak … ada 2, kelompok wajib pajak patuh dan tidak patuh.

Padahal kalau kita lihat pengelompokan wajib pajak yang

dikeluarkan oleh OCDitu ada 4 kelompok wajib pajak.

1. Kelompok wajib pajak patuh.

2. Tidak patuh. Yang mana tidak patuh ini dibagi lagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok pertama,

1. kelompok wajib pajak yang ingin patuh.

Sebenarnya mereka itu ingin patuh tetapi mempunyai beberapa kendala, seperti ketidaktahuan, seperti kompleksnya sistem perpajakan, sehingga apa? Mereka ada keinginan suatu masa transisi bagaimana mengajak mereka yang ingin patuh itu menjadi patuh.

Nah, di sinilah fungsi pengampunan pajak tersebut. Karena fakta dari satu penelitian yang dilakukan terkait dengan Indonesia, terkait dengan moralitas perpajakan, faktanya moralitas perpajakan wajib pajak Indonesia angkanya itu sebenarnya sangat bagus, 1,55, antara range 1-10. 1 itu sangat bagus, 10 itu sangat tidak bagus. Artinya apa? Artinya secara moralitas perpajakan, masyarakat Indonesia itu sebenarnya ingin patuh. Nah, inilah tugasnya pemerintah ketika wajib pajak dalam suatu negara itu ingin patuh, makanya pemerintah harus mempermudah dan membimbing mereka yang ingin patuh itu untuk menjadi patuh. Tax amnesty inilah sebagai satu sarana untuk mempermudah mereka, membawa mereka dari ingin patuh menjadi patuh.

Lantas kelompok 2 dari pembagian wajib pajak tidak patuh adalah wajib … kelompok wajib pajak ... dia akan patuh kalau ada suatu mekanisme yang memaksa mereka untuk patuh. Salah satu yang dapat

(30)

dilakukan pemerintah, salah satunya ialah melalui pengampunan pajak. Kenapa saya bilang melalui pengampunan pajak? Karena pengampunan pajak yang dilakukan di Indonesia itu untuk mengampunkan pajak penghasilan maupun PPN itu melalui mekanisme pengungkapan harta.

Nah, kenapa harta ini yang dipilih menjadi basis pajak? Karena pertimbangan 3 hal menurut saya. Pertama adalah harta itu bisa digunakan untuk ke depannya memetakan kewajiban pajak yang dibayar oleh wajib pajak itu sudah benar atau tidak? Bagaimana mungkin dia mempunyai harta yang cukup besar tetapi kewajiban pajak, misalnya PPA-nya, sangat kecil. Ini kan enggak matched, seperti itu. Nah, inilah digunakan harta itu untuk memprediksi berapa besar seharusnya dia akan membayar pajak.

Kedua, harta juga dipakai untuk memverifikasi terkait dengan kebenaran penghasilan yang sudah dilaporkan. Ini terkait dengan yang satu tadi.

Nah, yang ketiga yang jangan … yang sangat penting adalah bahwa dengan mereka mengungkapkan kewajiban harta itu dalam SPT mereka yang dipaksa melalui Undang-Undang Pengampunan Pajak ketika mereka memilih opsi untuk ikut pengampunan pajak adalah dijadikan sebagai objek sita, objek penagihan ketika ke depan mereka mempunyai hutang pajak, tetapi mereka tidak mau membayar hutang pajak, makanya melalui harta yang mereka ungkapkan melalui program pengampunan pajak ini, DJP sudah mempunyai list harta-harta tersebut yang sewaktu-waktu bisa digunakan sebagai objek sita, objek penagihan, dan sebagainya. Nah, itu terkait dengan design.

Nah, design berikutnya, tadi sudah disampaikan, saya tidak akan mengulangi, yaitu masalah jaminan kerahasiaan. Kenapa jaminan kerahasiaan ini penting? Karena ini adalah masalah hak asasi wajib pajak yang paling mendasar adalah masalah kerahasiaan atas data-data mereka yang diberikan kepada otoritas pajak. Kenapa harus dirahasiakan? Kalau tidak dirahasiakan, maka kepatuhan sukarela yang diharapkan dari wajib pajak itu tidak akan jalan. Tetapi yang ingin saya sampaikan di sini adalah masalah kerahasiaan ini tidak dalam arti tidak bisa untuk menjadi sumber tindak pidana lain.

Artinya apa? Artinya, silakan saja … apa … hukum lain untuk … kalau memang wajib pajak yang bersangkutan ada pidana lain, tetapi jangan memakai sumber data dan informasi yang dilaporkan dalam surat keterangan yang diberikan kepada otoritas pajak inilah maknanya seperti itu, tapi secara prinsip, kerahasian itu adalah hak asasi paling mendasar di sisi wajib pajak.

Terakhir, yang ingin saya sampaikan adalah masalah probabilitas keberhasilan dari pengampunan pajak. Terkait dengan ini mungkin bisa kita pakai data sementara dalam periode amnesty yang pertama, yang baru saja berakhir di tanggal 30 September 2016 ini adalah bahwa jumlah wajib pajak yang ikut program tax amnesty ini angkanya sudah

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian besar masyarakat di sekitar MA Darul Hijroh masih memegang pendirian yang kuat untuk mempercayakan pendidikan putra- putrinya di lembaga islam, dengan

Dari seluruh flora dan fauna itu, sebagian besar merupakan flora dan fauna endemi, artinya tidak ada di wilayah negara lain. Flora dan fauna itu mempunyai kekhasan tersendiri.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh memberikan hasil yang selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tirtana (2014) yang menyimpulkan bahwa budaya

(3) Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, Perturan Bupati Cilacap Nomor 48 Tahun 2017 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam Anggaran Pendapatan

Penelitian saat ini menggunakan skala auditor sebagai proksi dari variabel kualitas audit, Net Profit Margin untuk rasio profitabilitas, dan Quick Ratio untuk

Penelitian tentang Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Dibidang Medis dalam persefektif hukum pidana di Indonesia menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis

Mengingat sering terjadi akibat tindakan-tindakan atau keputusan- keputusan bisnis para pemegang saham pengendali perusahaan yang berpotensi merugikan para investor, perlindungan

Artinya tidak ada hubungan munculnya bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dengan kadar CD4 pada penderita