• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Usia prasekolah adalah usia anak pada masa prasekolah dengan rentang tiga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Usia prasekolah adalah usia anak pada masa prasekolah dengan rentang tiga"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1.Konsep Anak Usia Prasekolah 2.1.1. Pengertian anak usia prasekolah

Usia prasekolah adalah usia anak pada masa prasekolah dengan rentang tiga hingga enam tahun (Potter dan Perry, 2009). Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Hockenberry dan Wilson (2009) bahwa usia prasekolah merupakan usia perkembangan anak antara usia tiga hingga lima tahun. Pada usia ini terjadi perubahan yang signifikan untuk mempersiapkan gaya hidup yaitu masuk sekolah dengan mengkombinasikan antara perkembangan biologi, psikososial, kognitif, spiritual dan prestasi sosial. Anak pada masa prasekolah memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, dapat mengatur diri dalam toilet training dan mengenal beberapa hal yang berbahaya dan mencelakai dirinya (Mansur, 2011).

2.1.2. Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Usia Pra Sekolah

Anak usia prasekolah masih dalam peningkatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlanjut dan stabil terutama kemampuan kognitif serta aktivitas fisik (Hidayat, 2008). Selain itu anak berada pada fase inisiatif dan rasa bersalah (inisiative vs guilty). Rasa ingin tahu (courius) dan daya imajinasi anak berkembang, sehingga anak banyak bertanya mengenai segala sesuatu di sekelilingnya yang tidak diketahui. Selain itu anak dalam usia prasekolah belum mampu membedakan hal yang abstrak dan tidak abstrak. Menurut Wong (2009)

(2)

proses pertumbuhan dan perkembangan bersifat dinamis dinamis dimana terjadi sepanjang siklus hidup anak. Anak pada masa prasekolah akan mengalami proses perubahan baik dalam pola makan, proses eliminasi dan perkembangan kognitif menunjukan proses kemandirian (Hidayat, 2008).

Proses perkembangan pada anak: (1) Perkembangan biologis

Pada anak usia prasekolah akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik yang melambat dan stabil. Dimana pertambahan berat badan 2-3kg pertahun dengan rata-rata berat badan 14,5 kg pada usia 3 tahun, 16,5 kg pada usia 4 tahun dan 18,5 kg pada usia 5 tahun. Tinggi badan tetap bertambah dengan perpanjangan tungkai dibandingkan dengan batang tubuh. Rata-rata pertambahan tingginya 6,5-9 cm pertahun. Pada anak usia 3 tahun, tinggi badan rata-rata adalah 95 cm dan 103 cm pada usia 4 tahun serta 110 cm pada usia 5 tahun (Wong et al, 2009). Pada perkembangan motorik, anak mengalami peningkatan kekuatan dan penghalusan keterampilan yang sudah dipelajari sebelumnya seperti berjalan, berlari dan melompat. Namun pertumbuhan otot dan tulang masih jauh dari matur sehingga anak mudah cedera (Hockenberry dan Wilson, 2007).

(2) Perkembangan kognitif

Anak usia pra sekolah pada perkembangan kognitif mempunyai tugas yang lebih banyak dalam mempersiapkan anak mencapai kesiapan tersebut. Serta proses berpikir yang sangat penting dalam mencapai kesiapan tersebut (Wong, et al, 2009). Pemikiran anak akan lebih kompleks pada usia ini, dimana mengkategorikan obyek berdasarkan warna, ukuran maupun pertanyaan yang

(3)

diajukan (Potter dan Perry, 2009). Menurut Marry (2005) tinjauan teori mengenai perkembangan kognitif menggunakan tahap berpikir pra operasional oleh Piaget. Dimana dibagi menjadi dua fase yaitu:

a. Fase pra konseptual (usia 2-4tahun) dimana pada fase ini konsep anak belum matang dan tidak logis dibandingkan dengan orang dewasa. Mempunyai pemikiran yang berorientasi pada diri sendiri, dan membuat klasifikasi yang masih relatih sederhana.

b. Fase intuitif (4-7 tahun): anak mampu bermasyarakat namun belum dapat berpikir timbal balik. Anak biasanya banyak meniru perilaku orang dewasa tetapi sudah mampu memberi alasan pada tindakan yang dilakukan.

(3) Perkembangan moral

Anak pada usia prasekolah mampu mengadopsi serta menginternalisasi nilai-nilai moral dari orang tuanya. Perkembangan moral anak berada pada tingkatan paling dasar. Anak mempelajari standar perilaku yang dapat diterima untuk bertindak sesuai dengan standar norma yang berlaku serta merasa bersalah bila telah melanggarnya (Kohlberg, 1994 dalam Wong, 2009).

(4) Perkembangan psikososial

Anak usia prasekolah menurut Hockenberry & Wilson (2009) sudah siap dalam menghadapi dan berusaha keras mencapai tugas perkembangan. Tugas perkembangan yang dimaksud adalah menguasai rasa inisiatif yaitu bermain, bekerja serta mendapatkan kepuasan dalam kegiatannya, serta merasakan hidup sepenuhnya. Konflik akan timbul akibat rasa bersalah, cemas dan takut yang timbul akibat pikiran berbeda dengan perilaku yang diharapkan.

(4)

2.2.Hospitalisasi pada Anak 2.2.1. Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak mengalami perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas lingkungan serta mekanisme koping yang terbatas dalam menghadapi stresor. Stresor utama dalam hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan kendali dan nyeri (Wong, 2009). Hospitalisasi menurut Supartini (2004) merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk dirawat di rumah sakit dalam menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah berat dan menimbulkan kecemasan bagi anak.

Berdasarkan pengertian hospitalisasi yang dijabarkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi merupakan suatu proses baik karena alasan berencana maupun darurat yang mengharuskan anak untuk dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat berdampak pada perubahan psikis pada anak yang terjadi akibat suatu tekanan atau krisis pada anak.

2.2.2. Reaksi Anak terhadap Hospitalisasi

Reaksi anak terhadap penyakit dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pengalaman dirawat dan lama dirawat. Reaksi anak terhadap penyakit dapat berupa rasa cemas, takut akan sakit, kurang kontrol dalam emosi, marah, tidak adaptif dan regresi (Potter & Perry, 2009). Reaksi hospitalisasi pada anak usia prasekolah menunjukan reaksi tidak adaptif dimana dapat berupa menolak untuk makan,

(5)

sering bertanya, menangis, dan tidak kooperatif terhadap petugas. Dirawat di rumah sakit memaksa anak untuk meninggalkan lingkungan yang dicintai, keluarga, dan teman sehingga menimbulkan kecemasan. Selain itu anak berada pada lingkungan rumah sakit yang menyebabkan anak sulit beradaptasi. Reaksi yang sering ditunjukan adalah menolak perawatan atau tindakan dan tidak kooperatif dengan petugas.

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Hospitalisasi pada Anak Prasekolah

Anak usia prasekolah akan mempresepsikan hospitalisasi sebagai hukuman dan pengalaman yang menakutkan (Supartini, 2004). Sehingga respon anak terhadap hospitalisasi pada usia prasekolah akan lebih berat dibandingkan dengan anak usia sekolah. Reaksi anak terhadap hospitalisasi menurut Hockenberry & Wilson (2009) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor usia, pengalaman sakit, perpisahan, pengalaman dirawat di rumah sakit, dan jenis kelamin anak.

a. Faktor usia: anak usia prasekolah mempresepsikan hospitalisasi sebagai suatu pengalaman yang menakutkan (Hockenberry & Wilson, 2007).

b. Jenis kelamin: jenis kelamin perempuan lebih bersikap adaptif dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki (Handayani & Puspitasari, 2009)

c. Pengalaman dirawat di rumah sakit: anak yang pernah memiliki pengalaman dirawat dirumah sakit sebelumnya dengan pengalaman yang tidak menyenangkan menyebabkan anak menjadi takut dan trauma sehingga anak akan sulit beradaptasi dan koopertif dengan tindakan. Anak yang sebelumnya mendapatkan pengalaman hospitalisasi yang menyenangkan

(6)

akan lebih mudah beradaptasi dan kooperatif terhadap tindakan perawatan (Supartini, 2004).

d. Lama rawat: tingkat kecemasan anak terhadap respon hospitalisasi tetap tinggi hingga anak menjalani hospitalisasi lebih dari 2 hari (Stubbe, 2008)

2.3.Konsep Terapi Bermain 2.3.1. Pengertian Terapi bermain

Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak, baik fisik, emosi mental, intelektual, kreativitas maupun sosial (Soetjiningsih, 2014). Terapi merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi atau tingkah laku yang dianggap menyimpang dengan tujuan melakukan perubahan. Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah laku yang bermasalah dengan menempatkan anak dalam situasi bermain (Adriana, 2011).

2.3.2. Fungsi bermain

Fungsi bermain menurut Adriana (2011) berfungsi untuk merangsang perkembangan sensorimotor, perkembangan intelektual, sosialisasi, kreativitas, kesadaran diri, nilai moral dan manfaat terapeutik.

1) Perkembangan sensorimotor: aktivitas sensorimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia. Permainan aktif penting untuk perkembangan otot dan bermanfaat untuk melepaskan kelebihan energi. Melalui stimulasi taktil, auditorius, visual dan kinestetik, bayi memperoleh kesan. Todler dan prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh dan mengeksplorasi segala sesuatu di ruangan.

(7)

2) Perkembangan intelektual: melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenal warna, bentuk, ukuran, tesktur dan fungsi objek-objek. Ketersediaan materi permainan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif selama masa bayi dan prasekolah.

3) Sosialisasi: perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui bermain, anak belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah, belajar pola perilaku dan sikap yang diterima masyarakat.

4) Kreativitas: anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka dalam bermain. Kreativitas terutama merupakan hasil aktivitas tunggal, meskipun berpikir kreatif sering kali ditingkatkan dalam kelompok. Anak merasa puas ketika menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.

5) Kesadaran diri: melaui bermain, anak akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuan diri dan membandingkannya dengan orang lain. Kemudian menguji kemampuannya dengan mencoba berbagai peran serta mempelajari dampak dari perilaku mereka terhadap orang lain.

6) Nilai moral: anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya terutama dari lingkungan. Melalui aktivitas bermain anak memperoleh kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya. Anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan sesuatu dan bertanggung jawab.

(8)

7) Manfaat terapeutik: bermain bersifat terapeutik pad aberbagai usia. Bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermain memberikan sarana untuk melepaskan diri dari ketegangann dan stress yang dihadapi di lingkungan. Dalam bermain, anak dapat mengekspresikan emosi dan melepaskan impuls yang tidak dapat diterima dalam cara yang dapat diterima masyarakat. Melalui bermain anak-anak mampu mengkomunikasikan kebutuhan, rasa takut, kecemasan dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak dapat mereka ekspresikan

2.3.3. Hal-hal yang Diperhatikan dalam Terapi Bermain

Hal-hal yang perlu diperhatikan menurut Soetjianingsih (2014) saat anak dalam aktivitas bermain yaitu:

1. Energi ekstra/tambahan: bermain memerlukan energi tambahan, dimana anak yang sakit, tidak memiliki energi yang banyak untuk bermain, sehingga permainan yang di anjurkan yaitu permainan yang tidak memerlukan banyak energi.

2. Waktu: anak yang hospitalisasi harus mempunyai cukup waktu untuk bermain 3. Alat permainan: untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan

umur dan taraf perkembangan anak.

4. Ruangan untuk bermain: ruangan tidak usah terlalu besar, anak juga bisa bermain di halaman atau di tempat tidur disesuaikan dengan keadaan anak. 5. Pengetahuan cara bermain: anak belajar bermain melalui mencoba-coba

(9)

6. Teman bermain: anak harus yakin bahwa ia mempunyai teman bermain. Anak dapat bermain dengan orang tua, teman sebaya atau saudara sehingga anak tidak kehilangan kesempatan dalam bersosialisasi

7. Reward: pemberian reward akan membuat anak termotivasi, reward dapat diberikan berupa semangat dan pujian atau hadiah pada anak bila berhasil melakukan sebuah permainan.

2.3.4. Jenis permainan pada anak Usia Prasekolah

Permainan anak usia prasekolah menurut Adriana (2011) biasanya bersifat asosiatif (interaktif dan kooperatif) serta memerlukan hubungan dengan teman sebaya. Alat permainan yang dianjurkan untuk anak usia prasekolah yaitu berbagai benda dari sekitar rumah, buku bergambar, majalah anak-anak, alat gambar dan tulis, dokter-dokteran atau masak-masakan (Soetjianingsih, 2014). Pemilihan permainan untuk terapi bermain harus disesuaikan dengan usia anak. Perkembangan anak usia prasekolah yang menonjol yaitu perkembangan motorik kasar dan halus (Mary, 2005). Terapi bermain Clay therapy sesuai dengan perkembangan Anak usia prasekolah. Dimana permainan clay therapy merupakan jenis permainan meremas dan membentuk clay yang membantu anak melatih kemampuan motorik halusnya (Kearns, 2004).

2.3.5. Terapi bermain di Rumah Sakit

Terapi bermain menurut Adriana (2011) membantu anak dalam beradaptasi dengan lingkungan baru di rumah sakit, membantu mengurangi stress terhadap

(10)

perpisahan, dapat sebagai distraksi (pengalihan perhatian) dan relaksasi dan mencapai tujuan terapeutik. Prinsip bermain di rumah sakit yaitu:

a. Permainan tidak bertentangan dengan terapi dan perawatan yang dijalani b. Tidak membutuhkan energi yang banyak

c. Harus mempertimbangkan keamanan bagi anak d. Dilakukan pada kelompok umur yang sama e. Melibatkan orang tua atau keluarga

Standar Operasional Prosedur terapi bermain menurut Andriana (2011) yaitu: Tahap Prainteraksi:

1. Melakukan kontrak waktu 2. Mengecek kesiapan anak 3. Menyiapkan alat

Tahap Orientasi:

4. Memberikan salam dan menyapa nama anak 5. Memperkenalkan diri

6. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan terapi bermain clay therapy 7. Menanyakan persetujuan dan kesiapan anak sebelum kegiatan dilakukan Tahap Kerja:

8. Memberi petunjuk pada anak mengenai cara bermain clay therapy

9. Mempersilahkan anak untuk melakukan permainan sendiri/ bersama orang tua/ keluarga/ dibantu

10. Memotivasi keterlibatan anak dan keluarga

(11)

12. Meminta anak menceritakan apa yang dilakukan atau dibuatnya dengan clay 13. Menanyakan perasaan anak setelah bermain clay

Tahap Evaluasi:

14. Berpamitan dengan anak 15. Mencuci tangan

2.3.6. Clay Therapy

Clay therapy merupakan terapi bermain dengan menggunakan media clay sebagai bagian dalam terapi ( Rahmani dan Moheb, 2010). Clay therapy sebagai sebuah terapi dengan menggunakan media clay yang membantu seseorang dalam mengekspresikan suasana hati dan perasaannya (Buchalter, 2009 dalam Wirastania, 2012). Terapi bermain clay therapy akan dilakukan dengan beberapa tema seperti buah-buahan, sayuran, hewan, bunga dan desain lainnya. Penetapan tema dilakukan untuk membantu mengarahkan klien membuat karya dengan clay.

Clay merupakan tanah liat, dengan materi alam yang diolah dan dibentuk menjadi macam-macam bentuk yang akan dibuat sebagai keramik (Designs, 2011 dalam Rochayah, 2012). Dalam perkembangannya istilah clay digunakan dalam menyebut adonan yang menyerupai tanah liat atau clay buatan (Wahyuningsih, 2012).

Clay sebagai alat terapi yang terbukti efektif bagi anak-anak dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan, pengendalian impuls dan kemarahan (Landerth, 2004). Bainbridge (1996) dalam Suryani (2011) menjelaskan bahwa bermain clay membantu dalam

(12)

mengasah kemampuan otak kanan dalam berkreatifitas, meningkatkan daya imanjinasi dan melatih kerja saraf motorik anak. Macam-macam clay buatan menurut Suryani (2011) yaitu:

a. Paper clay: clay ini dibuat dari bubur kertas dan pengeringannya dapat dilakukan dengan diangin-anginkan saja. Pembuatan clay ini hanya dengan kertas koran, air, lem, tepung kanji dan dapat dipercantik dengan warna yang ditambahkan.

b. Lilin malam: clay ini biasanya digunakan sebagai mainan anak-anak yang banyak dijual di toko dengan bermacam-macam warna dan mudah dibentuk. Bentuk akhirnya lunak dan tidak akan mengeras sehingga dapat diolah kembali.

c. Polymer clay: clay ini dilakukan pengeringan dengan cara di panggang dalam oven. Hasilnya dapat menyerupai batu alam, plastik atau metal.

d. Air dry clay: clay ini sering disebut dengan clay jepang atau clay korea karena clay tersebut umumnya didatangkan dari kedua negara tersebut. Pengeringan clay ini cukup dengan diangin-anginkan saja.

e. Jumping clay: clay ini menyerupai air dry clay, namun hasil akhirnya akan lebih ringan dan pengeringannya cukup dengan diangin-anginkan saja.

f. Plastisin (clay tepung): clay ini hampir sama dengan lilin malam, namun bentuknya tidak selunak lilin malam dan lebih keras dibandingkan dengan lilin malam. Clay ini dapat dibuat sendiri dengan bahan dasar tepung jagung dan pengeringannya hanya dengan diangin-anginkan saja.

(13)

Clay yang terbuat dari tepung memiliki karakter yang mudah dibentuk, tidak lengket pada tangan dengan hasil akhir yang cukup diangin-anginkan dan clay akan menjadi keras (Widjaja, 2009). Pembuatan maizena clay memerlukan beberapa bahan yaitu: Tepung maizena (tepung jagung), Lem putih, baby oil dan Pewarna makanan. Bahan dicampur hingga kalis, dan tidak lengket. Sehingga akan menghasilkan clay dengan warna-warna yang menarik bagi anak. Pemilihan clay maizena ini karena bahan mudah ditemukan dan aman bagi anak-anak.

2.4.Konsep Perilaku Adaptif 2.4.1. Pengertian perilaku adaptif

Perilaku adaptif adalah respon seseorang terhadap stimulus yang akan merangsang dan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Adaptif merupakan respon dari individu yang mudah menyesuaikan diri dengan keadaan yang dialami (Skinner, 1938 dalam Sunaryo, 2004). Perilaku adaptif merupakan proses perubahan perilaku individu dalam berespon terhadap beberapa perubahan yang terjadi pada diri individu maupun lingkungannya yang akan mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Hidayat, 2008). Perkembangan adaptasi anak prasekolah yaitu adanya kemampuan bermain permainan sederhana, menangis jika dimarahi, membuat permintaan sederhana dengan gaya tubuh dan menunjukan peningkatan kecemasan terhadap perpisahan (Wong, 2000 dalam Alimul, 2008).

Perilaku adaptif merupakan perilaku yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang berlaku dimasyarakat dan individu menyesuaikan

(14)

masalah yang dialami dalam batas internal. Perilaku adaptif meliputi: Solitude (menyepi) sebagai respon yang diperlukan individu dalam menuangkan apa yang telah dilakukan dalam lingkungan sosialnya dan mengevaluasi diri dalam menentukan langkah selanjutnya. Autonomy (Otonomi) merupakan kemampuan individu dalam menentukan atau menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial. Mutuality (kerjasama) adalah saling memberi dan menerima kerjasama dan interdepedency adalah saling ketergantungan antara individu dengan orang lain.

2.4.2. Perilaku Anak Usia Prasekolah yang Mengalami Hospitalisasi

Anak yang dirawat di rumah sakit akan mengalami beberapa perubahan yang memerlukan penyesuaian dalam kehidupan sehari-harinya. Respon setiap anak terhadap stres diperlihatkan dengan cara yang unik oleh karena usia dan kepribadian individu, namun respon regresif, agresif serta menarik diri merupakan respon yang paling umum muncul pada anak hospitalisasi. Perilaku ini seiring dengan waktu akan berkurang pada saat anak sudah merasa nyaman dan aman (Kail dan Nelson, 1993 dalam Harsono, 2006).

Reaksi anak serta keluarga terhadap sakit dan hospitalisasi menurut Suparto (2003) dalam Kartikayani (2012) yang dialami yaitu kecemasan, stress, dan perubahan perilaku. Anak beradaptasi terhadap sakit dan perawatan di rumah sakit dengan cara:

a. Penolakan (Advoidance) merupakan perilaku anak untuk menghindar dalam situasi yang membuat anak tertekan, dan usaha anak dalam menolak

(15)

perawatan yang diberikan seperti: menolak minum obat, disuntik, tidak mau dipasang infus, serta tidak kooperatif dengan petugas kesehatan.

b. Pengalihan perhatian (distraction) usaha anak dalam mengalihkan perhatiannya dari pikiran atau hal-hal yang membuat anak tertekan. Perilaku anak lakukan selama dirawat di rumah sakit seperti anak minta diceritakan, menonton televisi, serta bermain permainan yang disukai anak.

c. Berupaya aktif (active) merupakan usaha anak dalam mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu yang aktif. Perilaku tersebut seperti anak menanyakan kondisinya pada tenaga medis atau orang tuanya, kooperatif pada tenaga medis, minum obat secara teratur, serta beristirahat sesuai dengan aturan yang diberikan.

d. Mencari dukungan (Support) dalam melepaskan tekanan yang dialaminya akibat penyakit yang diderita, anak berusaha mencari dukungan. Dukungan tersebut dapat berupa pendampingan anak oleh orang tua selama hospitalisasi.

2.4.3. Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit

Saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit menurut Nursalam, Susilaningrum, R. dan Utami, S. (2005) merupakan krisis utama yang dialami anak. Jika anak dirawat di rumah sakit akan mudah mengalami krisis yang diakibatkan karena stress yang dialami anak terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan yang dialami anak dapat berupa perubahan kebiasaan sehari-hari. Selain itu anak juga mempunyai keterbatasan dalam mekanisme koping masalah atau kejadian-kejadian yang membuat anak tertekan.

(16)

Pemicu stress pada anak yang mengalami hospitalisasi dapat berupa perubahan yang bersifat psiko-sosial, fisik, maupun spiritual. Perubahan lingkungan fisik ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang tidak sesuai atau tidak membuat anak nyaman, kurangnya kebersihan, dan kurangnya pencahayaan. Selain itu sesuatu yang membuat anak merasa terganggu yaitu suara yang gaduh hingga anak menjadi ketakutan. Keadaan dan warna dinding atau tirai dapat membuat anak merasa kurang nyaman. Lingkungan fisik tersebut membuat anak merasa tidak nyaman dan tidak aman. Perubahan fisiologis akan tampak dengan tanda dan gejala yang dialami anak. Adanya prosedur yang menimbulkan rasa nyeri sehingga membuat anak terganggu (Lubis, 2007).

Selain lingkungan fisik yang mengalami perubahan, anak yang mengalami hospitalisasi dapat mengalami perubahan lingkungan psikososial. Perubahan tersebut akan membuat anak tertekan dan menimbulkan kecemasan. Masa perawatan yang dijalani anak, dimana anak akan merasa terpisah dari lingkungan, kegiatannya sehari-hari dan orang yang dekat dengannya. Hubungan dekat yang dimiliki anak dengan orang tua, anak akan merasa kehilangan orang tuanya akibat perpisahan yang dialaminya dan mengharuskan anak untuk tinggal dalam lingkungan baru di rumah sakit. Hal tersebut dapat menibulkan perasaan cemas dan tidak aman pada anak (Nursalam, Susilaningrum, R., dan Utami, S., 2005).

2.4.4. Pola Koping pada Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekolah dalam mengatasi stress yang dialaminnya dengan sistem pertahanan berupa perilaku yang tidak adaptif seperti regresi, supresi, penolakan

(17)

dan agresi (Potter & Perry, 2009). Selain itu beberapa anak memiliki koping yang berbedan dimana berupa ketidakaktifan anak (apatis, diam total dan kurang beraktivitas). Dalam orientasi pra-koping (anak mendengar dan melihat, mengamati dan berjalan keliling, serta banyak bertanya), kooperatif (anak kooperatif dengan perawatan), resistensi (anak berusaha menghindari situasi yang dialami dengan serangan fisik atau verbal atau menolak serta mengendalikan Anak juga dapat merasa hilangnya kendali karena mereka mengalami kehilangan kekuatan terhadap diri sendiri. Rasa takut yang timbul akibat cedera tubuh akan membuat anak takut terhadap prosedur yang menimbulkan nyeri dan pengetahuan yang terbatas dapat menimbulkan rasa takut terhadap tindakan-tindakan perawatan (Muscari, 2005)

2.4.5. Pengaruh Clay Therapy terhadap Perilaku Adaptif pada Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekolah menginterpretasikan hospitalisasi sebagai hukuman (Muscari, 2005). Hospitalisasi yang dialami anak mempengaruhi psikologisnya, dimana stress yang timbul akibat hospitalisasi menyebabkan anak cemas, takut dan akhirnya berperilaku tidak adaptif (Wong, 2009). Bermain sebagai salah satu aktifitas yang menyenangkan bagi anak (Desmita, 2005). Terapi bermain akan membantu anak beradaptasi lebih adaptif terhadap stress dan ketegangan yang dialaminya (Pedro-Carroll & Reddy, 2005 dalam Association for Play Therapy, 2014).

(18)

Clay therapy merupakan jenis permainan yang sesuai dengan perkembangan anak usia prasekolah yaitu motorik halusnya (Kearns, 2004). Clay therapy sebagai salah satu jenis therapy bermain yang telah banyak diteliti. Hasil penelitian Rahmani & Moheb (2010) menunjukan bahwa intervensi clay therapy mampu menurunkan kecemasan pada anak. Selain itu Salvagoni, Denise, Eler, dan Gabrielle (2014) hasil penelitiannya menunjukan penggunaan clay therapy membantu dalam mempromosikan kreativitas, kesadaran diri dan menguntungkan bagi seseorng yang mengalami kecemasan. Selain itu clay therapy membantu anak dalam meningkatkan motorik halusnya, kemampuan memecahkan masalah, menurunkan kecemasan, pengambilan keputusan serta pengendalian impuls dan kemarahannya (Landerth, 2004). Terapi bermain clay akan membantu anak dalam mengurangi ketakutan yang dialaminya, kecemasan anak akan menurun dan membantu anak beradaptasi terhadap lingkungan yang baru. Anak dapat mengeluarkan emosi yang tertahan serta mengekspresikan emosionalnnya dengan bermain clay (Schaefer & Kaaduson, 2006). Berdasarkan penelitian dan sumber-sumber diatas diharapkan clay therapy akan membantu anak yang mengalami hospitalisasi mampu bersikap lebih adaptif.

Referensi

Dokumen terkait

Likuiditas tidak hanya berkenaan dengan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan untuk merubah aktiva lancer menjadi uang kas, jika

Berdasarkan hasil Analisis dengan pendekatan Fixed Efek Model (FEM), maka dapat disimpulkan bahwa dividen berpengaruh signifikan negatif terhadap nilai perusahaan pada tahapan

Terdapat 64 siswa yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas V yang terdiri dari 32 siswa di kelas V A (Kelas eksperimen) dan 32 siswa

“Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kebijakan Hutang, ROA, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen (Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi terhadap atmosfer toko

An example of this is in the regulation of the immunoglobulin (an immune protein, also called antibody ) heavy chain gene, which is expressed in B lymphocytes (white blood

Untuk ikut berpartisipasi dalam dunia politik khususnya pemilu, ada beberapa faktor yang bisa menggambarkan tentang bagaimana keaktifan masyarakat untuk ikut serta seperti

Kondisi stabilitas tanah di lapangan cukup baik dan memungkinkan untuk dilakukan pemindahan dinding penahan tanah dalam rangka mengurangi luas area lahan pondasi