• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Di Kabupaten Bangli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Di Kabupaten Bangli"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL

DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN

SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI

OLEH:

I GEDE MADE SUKARIYANTO

NIM: 11112015

JURUSAN KEPARIWISATAAN

PROGRAM STUDI DESTINASI PARIWISATA

STRATA I

SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI

KEMENTERIAN PARIWISATA

(2)

i

PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL

DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN

SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI

OLEH:

I GEDE MADE SUKARIYANTO

NIM: 11112015

JURUSAN KEPARIWISATAAN

PROGRAM STUDI DESTINASI PARIWISATA

STRATA I

SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI

KEMENTERIAN PARIWISATA

(3)

ii

PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL

DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN

SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna dapat mengikuti ujian dan mencapai gelar kesarjanaan pada Program Studi Destinasi Pariwisata

Jurusan Kepariwisataan

OLEH:

I GEDE MADE SUKARIYANTO NIM: 11112015

SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI KEMENTERIAN PARIWISATA

(4)

iii

PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL

DALAM PENGEMBANGAN DESA BELANDINGAN

SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN BANGLI

DIAJUKAN OLEH:

I GEDE MADE SUKARIYANTO NIM: 11112015

TELAH DISETUJUI Nusa Dua, Juni 2015

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

I Wayan Mertha, SE., M.Si. D. A. M. Lily Dianasari, ST.,M.Si. NIP. 19630101 198803 1 002 NIP. 19770810 200911 2 001

Mengetahui,

KABAG ADMINISTRASI AKADEMIK DAN KEMAHASISWAAN

Drs. I Wayan Muliana, M.Ed. NIP. 19660512 199103 1 001

(5)

iv

Tim Penguji Ujian Sarjana Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali setelah meneliti, mengetahui proses pembuatan skripsi dan telah dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan, dapat:

MENGESAHKAN

PENGUJI I PENGUJI II

D. A. M. Lily Dianasari, ST.,M.Si. Hanugerah K. L, S.ST,Par., MM NIP. 19770810 200911 2 001 NIP. 19790930 200605 1 003

Mengetahui,

KETUA SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI

Drs. Dewa Gede Ngurah Byomantara, M.Ed. NIP. 19620228 198810 1 001

(6)

v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Tugas Akhir/Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan/sarjana sains terapan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila penulisan Tugas Akhir/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka saya bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukuman yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Nusa Dua, Juni 2015 Yang Menyatakan,

I Gede Made Sukariyanto NIM: 11112015

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata di Kabupaten Bangli”.

Penyusunan Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dikerjakan untuk dapat memperoleh gelar kesarjanaan. Skripsi ini merupakan hasil dari kerja keras saya dan bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sewajarnya melalui kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada, Yang Terhormat:

1. Bapak Drs. Dewa Gede Ngurah Byomantara, M.Ed. selaku Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.

2. Bapak Drs. I Wayan Muliana, M.Ed. selaku Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.

3. Bapak Ida Bagus Putra Negarayana, ST, MM. selaku Ketua Jurusan Kepariwisataan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.

4. Ibu Luh Yusni Wiarti, A.Par, SE., M.Par., M.Rech selaku Ketua Program Studi Destinasi Pariwisata Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. 5. Bapak I Wayan Mertha, SE., M.Si. dan Ibu Dewa Ayu Made Lily

Dianasari, S.T., M.Si. selaku pembimbing yang telah membantu memberikan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi.

(8)

vii

6. BapakI Komang Swastika selaku Perbekel Desa Belandingan dan I Made Kuas selaku LWG Desa Belandingan yang memberikan arahan serta dukungan di lapangan selama penelitan.

7. Seluruh masyarakat Desa Beladingan atas segala bantuan dan partisipasi yang telah diberikan dengan memberikan informasi dalam penelitian ini. 8. Orang tua saya Bapak I Gede Made Jawi dan Ibu Ni Putu Gatri serta kakak

saya Nu Luh Putu Dewi Riyanti yang telah mendukung saya setiap hari dalam hal waktu, dukungan moral, serta finansial selama melaksanakan penelitian ini.

9. Teman-teman DPW angkatan 2011 terutama Haryananda, Wisnu, Janar, Shandra, Eka, Tony dan Wungsu atas kekompakan, bantuan, inspirasi dan kerjasamanya dalam pembuatan skripsi ini.

10. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhir kata saya menyadari bahwa hasil Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca mengenai hasil Skripsi ini saya harapkan agar dapat menghasilkan laporan penelitian yang lebih baik pada masa mendatang. Dengan adanya skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata di Kabupaten Bangli.

Nusa Dua, Juni 2015 Penulis

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv ABSTRAK ... xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 9 1.3 Batasan Masalah ... 9 1.4 Tujuan Penelitian ... 9 1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ... 12

(10)

ix

2.1.1.1 Konsep Partisipasi Masyarakat ... 12

2.1.1.2 Bentuk – Bentuk Partisipasi Masyarakat ... 13

2.1.1.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata ... 16

2.1.2 Community Based Development ... 19

2.1.3 Desa Wisata ... 23

2.1.3.1 Konsep Desa Wisata ... 23

2.1.3.2 Pengembangan Desa Wisata ... 25

2.2 Tinjauan Pustaka... 29

2.3 Kerangka Pemikiran ... 34

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 38

3.2.1 Jenis Data ... 38

3.2.2 Sumber Data ... 39

3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 39

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.4.1 Observasi ... 42 3.4.2 Wawancara ... 43 3.4.3 Kuesioner (Angket) ... 43` 3.4.4 Dokumentasi ... 44 3.5 Pengujian Instrumen... 44 3.5.1 Uji Validitas ... 44 3.5.2 Uji Reliabilitas ... 45

(11)

x

3.6 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 50

4.1.1 Sejarah Desa Belandingan... 50

4.1.2 Kondisi Geografis Desa Belandingan ... 52

4.1.3 Kondisi Demografis Desa Belandingan ... 53

4.1.3.1 Jumlah Penduduk ... 53

4.1.3.2 Pendidikan ... 54

4.1.3.3 Mata Pencaharian ... 54

4.1.3.4 Sosial Budaya ... 55

4.1.4 Kondisi Sarana dan Prasarana di Desa Belandingan... 56

4.1.4.1 Prasarana Air Bersih ... 56

4.1.4.2 Sumber Listrik ... 57

4.1.4.3 Telekomunikasi ... 57

4.1.4.4 Sarana Lain... 58

4.1.5 Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata ... 58

4.1.6 Kondisi Kepariwisataan Desa Belandingan ... 61

4.1.6.1 Atraksi ... 61

4.1.6.2 Amenitas ... 74

4.1.6.3 Aksesibilitas ... 74

4.1.6.4 Ancillaries ... 76

4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 76

(12)

xi

4.3.1 Karakteristik Responden ... 79 4.3.2 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan

Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata ... 85 4.3.3 Intensitas Partisipasi Masyarakat Lokal pada Setiap

Tahapan Pengembangan Desa Wisata Belandingan ... 88 4.3.4 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada

Tahap Perencanaan di Desa Wisata Belandingan ... 90 4.3.5 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada

Tahap Pelaksanaan Pembangunan di Desa Wisata

Belandingan... 93 4.3.6 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada

Tahap Pengelolaan di Desa Wisata Belandingan ... 95 4.3.7 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada

Tahap Monitoring dan Evaluasi di Desa Wisata

Belandingan... 98 4.3.8 Hambatan yang Dihadapi oleh Masyarakat Lokal Saat

Berpartisipasi Dalam Pengembangan Desa Wisata

Belandingan... 100 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 104 5.2 Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikator Bentuk Partisipasi Masyarakat ... 15

Tabel 2.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat Pada Setiap Tahapan Pengembangan DesaWisata ... 18

Tabel 3.1 Jumlah Responden dari Masing – Masing Strata ... 41

Tabel 4.1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Belandingan Tahun 2012 ... 55

Tabel 4.2 Pura Sungsungan Desa di Desa Belandingan ... 69

Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Perencanaan ... 77

Tabel 4.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Pelaksanaan Pembangunan ... 77

Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Pengelolaan ... 78

Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sub Variabel Tahap Monitoring dan Evaluasi ... 78

Tabel 4.7 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 80

Tabel 4.8 Jumlah Responden Berdasarkan Kelompok Usia ... 81

Tabel 4.9 Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 82

Tabel 4.10 Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 83

Tabel 4.11 Jumlah Responden Berdasarkan Pendapatan Per Bulan ... 84

Tabel 4.12 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Perencanaan di Desa Wisata Belandingan ... 91

Tabel 4.13 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap Pelaksanaan Pembangunan di Desa Wisata Belandingan ... 93

(14)

xiii

Tabel 4.14 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap

Pengelolaan di Desa Wisata Belandingan ... 95 Tabel 4.15 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Lokal Pada Tahap

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1: Persentase Kunjungan Wisatawan ke Kintamani Terhadap

Kunjungan Wistawan ke Bali ... 3

Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran ... 34

Gambar 4.1: Pemandangan dari Bubung Temu ... 63

Gambar 4.2: Lahan Pertanian Masyarakat Belandingan ... 65

Gambar 4.3: Rumah Saka Roras ... 66

Gambar 4.4: Pura Luhur Manik Muncar ... 68

Gambar 4.5: Rencana Pengembangan Pura Manik Muncar ... 68

Gambar 4.6: Struktur Pemerintahan Ulu Apad di Desa Belandingan ... 74

Gambar 4.7: Jalan Utama Menuju Desa Belandingan ... 75

Gambar 4.8: Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penetapan Desa Wisata Belandingan... 85

Gambar 4.9: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan... 87

Gambar 4.10: Intensitas Partisipasi Masyarakat Pada Setiap Tahap Pengembangan Desa Wisata Belandingan ... 89

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Pangsan di Kabupaten Bnagli Lampiran 2. Panduan Wawancara Pengurus LWG dan Perbekel Desa Belandingan Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 4. Proses Perhitungan Nilai Rata-Rata Bentuk-Bentuk Partisipasi Pada Setiap Tahap Pengembangan Desa Wisata Belandingan

Lampiran 5. Photo-Photo Desa Wisata Belandingan

Lampiran 6. Photo-Photo Kegiatan Penelitian di Lapangan Lampiran 7. Kartu Bimbingan

(17)

xvi

Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Belandingan Sebagai Desa Wisata Di Kabupaten Bangli

I Gede Made Sukariyanto NIM. 11112015

ABSTRAK

Revitalisasi kepariwisataan di Kintamani merupakan salah satu wujud usaha pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di daerah tersebut. Untuk menjalankan program tersebut, pemerintah tentu tidak dapat berjalan sendiri, melainkan perlu dukungan dari seluruh pemangku kepentingan termasuk dari masyarakat lokal. Untuk dapat memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal, maka ditetapkanlah 15 desa wisata yang berada dalam kawasan pariwisata Kintamani dengan konsep sustainable tourism, dimana salah satu dari 15 desa tersebut adalah Desa Wisata Belandingan. Namun, setelah 1,5 tahun ditetapkan sebagai desa wisata, belum terlihat adanya perkembangan di desa tersebut. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian ini, karena partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata merupakan hal yang sangat penting dan sangat berpengaruh dalam menentukan keberhasilan sebuah desa wisata.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan desa wisata, serta mengetahui hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal ketika berpartisipasi dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survey dengan bantuan alat pengumpul data berupa kuesioner. Selain itu juga digunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan masyarakat lokal Desa Belandingan telah berpartisipasi pada setiap tahap pengembangan Desa Wisata Belandingan, namun sebagian besar partisipasi yang mereka lakukan merupakan kegiatan yang dilakukan sehari-hari (partisipasi tanpa disadari) dengan instensitas yang sangat rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan partisipasi yang dilakukan pada tahap perencanaan mendapat nilai rata-rata 1.78, tahap pelaksanaan pembangunan sebesar 2.07, tahap pengelolaan sebesar 2.62, dan tahap evaluasi sebesar 2.63. Seluruh nilai rata-rata tersebut menunjukkan intensitas partisipasi yang sangat rendah dengan kategori tidak pernah hingga jarang. Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal ketika berpartisipasi, yaitu ketidaktahuan masyarakat mengenai penetapan Desa Wisata Belandingan, kurangnya pengetahuan kepariwisataan, kurangnya kualitas SDM, serta terbatasnya pendanaan.

(18)

xvii

Local Community Participation in Development of Belandingan Village as A Tourism Village in Bangli Regency

I Gede Made Sukariyanto NIM. 11112015

ABSTRACT

Tourism revitalization in Kintamani is a form of the government's efforts in improving the welfare of local communities in that area. To run the program, the government certainly can not walk alone, but needs the support from all stakeholders including the local communities. In order to maximize the participation of local communities, the government assign 15 tourism village located in the tourism area of Kintamani, with sustainable tourism concept. One of those tourism villages is Belandingan Tourism Village. However, after 1.5 years of assigned as a tourism village, the development in Tourism Village of Belandingan has not seen yet. This is what underlies this study, because of the participation of local communities in the development of tourism village is very important and very influential in determining the success of a tourism village.

The purpose of this study is to identify the forms of participation of local communities at every stage of the development in tourism village, as well as knowing the obstacles faced by local communities when participating in the development of Belandingan Tourism Village. Data collection methods used in this study are surveys, interviews, observation, and documentation. Analysis used in this study is the qualitative analysis.

The results shows that the local communities of Belandingan village had participate in every stage of the development of Belandingan Tourism Village, but most participation they did are activities that they done daily (unwittingly participation) with very low intensity. This is evidenced by the participation made at the planning phase gets an average rating of 1.78, the development implementation phase worth at 2.07, management phase worth at 2.62, and the evaluation phase worth at 2.63. Entire average value indicates the intensity of participation is very low by category from never to rarely. There are several obstacles faced by local communities when they were participating, namely the ignorance of the public regarding the establishment of the Tourism Village of Belandingan, lack of knowledge in tourism, lack of quality in human resources, and limited funding.

Key Word: Participation, Local Communities, Sustainable Tourism, Tourism Village.

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pariwisata adalah kunci dari pengembangan, kesejahteraan dan kemakmuran (UNWTO, 2014:2). Jumlah destinasi pariwisata telah mengalami penigkatan sehingga menjadikan pariwisata sebagai kunci penggerak dari perkembangan sosial ekonomi. Pariwisata juga dapat menyediakan lebih banyak lapangan kerja serta dapat meningkatkan berbagai usaha dan juga perkembangan infrastruktur. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh UNWTO dalam UNWTO Tourism Highlitghs 2014 Edition sebagai berikut:

“An ever increasing number of destinations have opened up and

invested in tourism, turning tourism into a key driver of socio-economic progress through export revenues, the creation of jobs and enterprises, and infrastructure development” (UNWTO, 2014 :2).

Sehingga dapat dikatakan bahwa pariwisata memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan suatu daerah. Hingga saat ini pariwisata selalu mengalami peningkatan. Di mana pada tahun 2013 jumlah kedatangan wisatawan internasional di seluruh dunia mencapai 1 miliyar wisatawan, dengan total wistawan yang bepergian ke luar negeri mencapai 1.087 juta wistawan (1.035 juta wisatawan pada tahun 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa pariwisata selalu mengalami perkembangan setiap tahunnya.

(20)

2 Perkembangan pariwisata tersebut juga terjadi di Bali. Hal ini terlihat dari kunjungan wisatawan yang terus mengalami peningkatan. Kunjungan wisatawan ke Bali pada tahun 2008 mencapai 4.867.686 wisatawan dan menjadi 10.225.134 wisatawan pada tahun 2013 (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014). Bali terkenal dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya hingga ke dunia internasional. Kondisi pulau yang kecil dengan ratusan daya tarik wisata membuat wisatawan dengan mudah dapat mengunjungi daya tarik wisata yang diminatinya tanpa memerlukan waktu yang lama. Daya tarik wisata tersebut tersebar di sembilan kabupaten / kota yang ada di Bali dan menjadi salah satu sektor andalan bagi pemasukan kabupaten / kota tersebut. Salah satu kabupaten yang menjadikan pariwisata sebagai sektor utama adalah Kabupaten Bangli.

Secara geografis wilayah Kabupaten Bangli berada di tengah - tengah Pulau Bali dan satu – satunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki laut. Walau demikian, Kabupaten Bangli memiliki sebuah danau yang merupakan danau terbesar di Bali serta menjadi sumber air untuk sebagian besar wilayah Provinsi Bali. Luas wilayah Kabupaten Bangli mencapai 520,81 km2 yang secara administratif terbagi menjadi 4 wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kintamani., Kecamatan Bangli, Kecamatan Susut dan Kecamatan Tembuku. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bangli tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Bangli mencapai 216.804 jiwa yang tersebar ke dalam 4 kelurahan dan 56 desa di keempat kecamatan tersebut. Bangli memiliki beberapa daya tarik wisata yang dikategorikan telah berkembang yaitu: Penulisan, Batur,

(21)

3 Trunyan, Desa Adat Penglipuran dan Kehen (Bangli Dalam Angka : 2014). Tiga dari lima daya tarik wisata tersebut berada di wilayah Kecamatan Kintamani.

Kintamani merupakan daya tarik wisata pertama yang berkembang di Bali. Melalui sebuah buku yang berjudul Bali 1912 yang ditulis oleh Gregor Krause, Kintamani mulai dikenal di Eropa hingga ke Amerika dari tahun 1920an dan mencapai masa keemasaan pada tahun 1990an dengan jumlah kenjungan mencapai 1 juta wisatawan setiap tahunnya (DMO Batur – Kintamani, 2013:2). Namun sayangnya, sejak tahun 2000an kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan. Peristiwa Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 juga sangat berpengaruh terhadap pariwisata Kintamani. Kunjungan wisatawan pada tahun 2003 hanya mencapai 201.180 orang wisatawan (DMO Batur-Kintamani, 2011:3).

Bila dibandingkan dengan tingkat kunjungan wisatawan ke Bali, persentase tingkat kunjungan ke Kintamani cenderung mengalami penurunan, seperti yang ditunjukkan gambar 1.1 :

Gambar 1.1: Persentase Kunjungan Wisatawan ke Kintamani Terhadap Kunjungan Wistawan ke Bali

Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014 yang telah diolah 6,57% 6,39% 5,69% 5,80% 5,12% 4,97% 0,00% 1,00% 2,00% 3,00% 4,00% 5,00% 6,00% 7,00% 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(22)

4 Berdasarkan gambar 1.1, dapat dipaparkan bahwa pada tahun 2008, wisatawan yang berkunjung ke Kintamani sebesar 6,57% dari total kunjungan wisatawan ke Bali. Pada tahun 2009, persentase kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan sebesar 0.18% dan Kintamani hanya menyerap 6.39% dari total kunjungan ke Bali. Tahun 2010, kunjungan wisatawan ke Kintamani kembali mengalami penurunan dimana Kintamani hanya menyerap 5.69 % dari total kunjungan wisatawan ke Bali. Pada tahun 2011 kunjungan wisatawan mengalami peningkatan sebesar 0.11% atau 5.80% dari kunjungan wisatawan ke Bali. Namun pada tahun 2012 dan 2013, persentase kunjungan wisatawan ke Kintamani terhadap kunjungan wisatawan ke Bali kembali mengalami penurunan yaitu sebesar 5.12% pada tahun 2012 dan 4.97% pada tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa tren kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan.

Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kintamani tersebut juga ditambah dengan adanya beberapa permasalahan yang dihadapi Kintamani seperti : masalah penempatan pasar tradisional, galian C, penataan pedagang asongan serta penataan dan pengaturan bangunan di sepadan jurang (Bupati Bangli, I Made Gianyar dalam Laporan DFR 2014).

Untuk meningkatkan kembali kunjungan wisatawan ke Kintamani serta memperbaiki dan meningkatkan fasilitas yang ada, maka diperlukan revitalisasi. Berdasarkan program pemerintah melalui Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif maka dibuatlah 15 Destination Management

(23)

5 Bali tepatnya di Kintamani yang dibentuk pada tahun 2011. DMO merupakan struktur tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup perencanaan, koordinasi, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat di destinasi pariwisata (www.dmoindonesia.com) diakses 12 Februari 2014.

Hal tersebut juga sesuai dengan Undang – Undang No. 10 Tahun 2009 Pasal 2 tentang asas yang digunakan dalam kepariwisataan yaitu asas partisipatif. Berdasarkan pengertian DMO tersebut, salah satu poin yang menjadi dasar pengembangan yang dilakukan oleh DMO yaitu peran serta masayarkat lokal. Dengan demikian, DMO menggunakan pendekatan Bottom

Up yaitu arah penentuan kebijakan dari bawah ke atas atau kebijakan yang akan

diambil merupakan aspirasi dari masyarakat lokal. Salah satu langkah yang diambil oleh DMO dalam memberdayakan masyarakat lokal adalah dengan membentuk sebuah kelompok kerja lokal yang disebut dengan Local Working

Group (LWG). Anggota LWG merupakan perwakilan masyarakat dari masing

– masing desa yang berada dalam wilayah kerja DMO. Pembentukan LWG ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam perencanaan serta memfasilitasi komunikasi antara Pemerintah (DMO) serta berbagai stakeholder dengan masyarakat luas. Wilayah kerja DMO Batur –

(24)

6 Kintamani mencakup wilayah 15 desa yang yang dibagi menjadi 5 cluster dan masing – masing cluster terdiri dari 3 desa. Salah satu cluster yang ada dalam wilayah kerja DMO Batur – Kintamani yakni cluster Ulundanu Muncar yang terdiri dari Desa Songan A, Desa Songan B serta Desa Belandingan.

Desa Belandingan terletak pada ketinggian ±1250 m di atas permukaan laut. Lokasi desa ini berada di wilayah perbukitan dengan konfigurasi lahan yang cukup terjal. Desa Belandingan memiliki daya tarik berupa pesona alam yang indah serta budaya masyarakatnya yang masih kental. Desa Belandingan memiliki beberapa bukit dengan pemandangan di puncaknya berupa pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur serta Laut Bali. Selain bentang alam yang indah, Desa Belandingan juga memiliki kekhasan budaya yaitu tarian adat yang hanya dipentaskan saat upacara di salah satu pura, serta rumah adat yang unik yang hanya terdapat di Desa Belandingan yaitu Rumah Saka Roras.

Desa Belandingan telah ditetapkan sebagai desa wisata berdasarkan Perbup No 16 Tahun 2014, namun kondisi kepariwisataan desa ini masih belum berkembang dengan baik. Dalam pengembangan suatu desa wisata, terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan. Priasukmana (2001: 38) menyebutkan beberapa persyaratan dalam pengembangan desa wisata, antara lain :

1. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi.

(25)

7 2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata.

3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.

4. Keamanan di desa tersebut terjamin.

5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.

6. Beriklim sejuk atau dingin.

7. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.

Desa Belandingan telah memenuhi beberapa persyaratan sebagai desa wisata sesuai yang diungkapkan oleh Priasukmana tersebut, diantaranya adalah:

1. Memiliki atraksi wisata menarik berupa alam, seni budaya dan legenda.

2. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.

3. Beriklim sejuk atau dingin.

4. Berhubungan dengan daya tarik wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.

(26)

8 Desa Belandingan masih memiliki beberapa kekurangan yaitu aksesibilitas yang kurang memadai, belum terdapat akomodasi dan pos keamanan serta belum adannya tenaga kerja (SDM) yang memadai.

DMO telah berusaha melibatkan masyarakat lokal yang diwakili oleh LWG agar dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam mengembangkan parwisata di daerahnya. Hingga saat ini partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan hanya berupa mengikuti sosialisasi terkait kepariwisataan, berpastisipasi sebagai anggota LWG serta melakukan kegiatan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan desa yang dilakukan seminggu sekali. Selain itu, masyarakat Desa Belandingan saat ini juga tengah memperbaiki sebuah pura yang nantinya juga dapat dikembangkan sebagai wisata spiritual.

Berdasarkan hasil observasi, wawasan masyarakat mengenai pariwisata masih terbilang rendah. Walaupun antusias masyarakat cukup besar dalam pengembangan desanya, namun kurangnya pengetahuan tentang pariwisata menjadi salah satu faktor penghambat masyarakat dalam berpartisipasi membangun desanya. Didasari oleh hal inilah, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian terkait partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan sebagai desa wisata, agar nantinya dapat dijadikan sebagai masukan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi mereka dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan.

(27)

9 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka didapatkan rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli?

1.2.2 Adakah hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli?

1.3 Batasan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada bentuk-bentuk partisipasi masyarakat lokal di wilayah Desa Wisata Belandingan sesuai dengan konsep yang dijabarkan Huraerah (2008), pada setiap tahapan pengembangan desa tersebut sesuai dengan konsep yang dijabarkan oleh Priasukmana (2001) yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengelolaan dan evaluasi serta hambatan yang dihadapi masyarakat Desa Belandingan dalam berpartisipasi.

1.4 Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Belandingan di Kabupaten Bangli. Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan secara rinci sebagai berikut:

(28)

10 1.4.1 Untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli.

1.4.2 Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menerapkan teori-teori yang ada, meningkatkan pengetahuan dan wawasan terutamanya mengenai pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sebuah kawasan wisata.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi beberapa kalangan, diantaranya:

a. Bagi Masyarakat Umum.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bentuk – bentuk patisipasi yang dapat dilakukan masyarakat dalam pengelolaan sebuah kawasan wisata terutama di Desa Belandingan sendiri.

b. Bagi Pemerintah Kabupaten Bangli.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

(29)

11 mengelola sebuah desa wisata. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi pada setiap tahapan pengembangan desa wisata khususnya Desa Wisata Belandingan.

c. Bagi Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.

Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya kajian dalam kepustakaan STP Nusa Dua, yang dapat digunakan dalam keperluan penulisan laporan atau penelitian berikutnya.

d. Bagi Mahasiswa.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk keperluan penelitian selanjutnya, terutama yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan desa wisata.

(30)

12 BAB II STUDI PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Partisipasi Masyarakat

2.1.1.1 Konsep Partisipasi Masyarakat

Partisipasi merupakan keikutsertaan ke dalam suatu kegiatan. Dalam kegiatan pembangunan pariwisata berkelanjutan, partisipasi atau keikutsertaan masyarakat tentu manjadi hal yang sangat penting. Partisipasi masyarakat lokal memungkinkan masyarakat mengetahui segala aspek dalam rangka mewujudkan kesuksesan pengembangan daerah mereka yang pada akhirnya menimbulkan penghargaan yang tinggi dari masyarakat lokal atas hasil yang mereka capai.

Laksana (2013:61) menyebutkan bahwa secara sederhana partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam proses pembangunan. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa seseorang, kelompok atau masyarakat dapat memberikan kontribusi atau sumbangan yang dapat menunjang keberhasilan dari sebuah proyek atau program pembangunan.

Pada dasarnya partisipasi dibedakan atas dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang bersifat dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan

(31)

13 peransertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti bahwa keikutsertaan dan berperansertanya atas dasar pengaruh orang lain (Rahardiani, 2014:12)

Raharjo, (1985) dalam Dalimunthe, (2007:51) menambahkan partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam program-program pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk fisik, material dan sumbangan pikiran dalam proses pembangunan nasional, dan telah disadari bersama bahwa partisipasi masyarakat sangatlah penting dalam setiap bentuk dan proses pembangunan.

Menurut Soelaiman (1985) dalam Rahadiani (2014:15), partisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat, baik secara perorangan, kelompok masyarakat atau kesatuan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program dan pembangunan masyarakat, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar lingkungan masyarakat, atas dasar rasa kesadaran dan tanggung jawab. Partisipasi pada dasarnya dapat dinyatakan dalam bentuk pemikiran, keterampilan/keahlian, tenaga, harta benda atau uang (pendanaan).

2.1.1.2 Bentuk – Bentuk Partisipasi Masyarakat

Laksana (2013:61) menyebutkan bahwa secara umum bentuk partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi dua yaitu partisipasi yang

(32)

14 dierikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga, dan keterampilan. Sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif.

Huraerah, (2011:116) juga menyebutkan beberapa bentuk partisipasi yaitu:

a. Partisipasi buah pikiran, yang diberikan dalam anjang sono, pertemuan atau rapat.

b. Partisipasi tenaga, yang diberikan partisipan dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain dan sebagainya.

c. Partisipasi harta benda, yang diberikan orang dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain yang biasanya berupa uang, makanan dan sebagainya. d. Partisipasi keterampilan dan kemahiran, yang diberikan orang untuk

mendorong aneka ragam bentuk usaha dan industri.

e. Partisipasi sosial, yang diberikan orang sebagai tanda keguyuban. Bentuk-bentuk partisipasi yang disampaikan Huraerah, (2011:116) beserta indikator pada masing-masing brntuk partisipasi dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.

(33)

15 Tabel 2.1

Indikator Bentuk Partisipasi Masyarakat

No. Bentuk Partisipasi Indikator

1. Partisipasi buah pikiran

a. Masyarakat ikut serta mengikuti forum pengembangan desa

b. Masyarakat berperan aktif dalam pengambilan keputusan dalam forum pengembangan desa

c. Masyarakat berperan aktif dalam memberikan saran dan pendapat pada forum pengembangan desa

2 Partisipasi tenaga

a. Masyarakat terlibat dalam

berbagai kegiatan perbaikan desa untuk menunjang aktivitas desa b. Masyarakat terlibat dalam

berbagai kegiatan gotong royong c. Masyarakat ikut serta dalam

pembangunan sarana dan prasarana umum desa d. Masyarakat terlibat dalam

program kegiatan dari pengelola desa

3. Partisipasi harta benda

a. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan sumbangan berupa uang untuk mendukung dalam berbagai kegiatan desa

b. Masyarakat memberikan iuran kebersihan kepada pengelola desa c. Masyarakat memberikan iuran

keanggotaan

4.

Partisipasi keterampilan dan

kemahiran

a. Masyarakat terlibat secara

langsung dalam kegiatan usaha di desa

b. Masyarakat terlibat dalam kegiatan industri di dalam desa 5. Partisipasi sosial a. Masyarakat ikut duduk sebagai

pengelola desa

(34)

16 Bentuk partisipasi masyarakat yang disampaikan Huraerah (2011:116) pada Tabel 2.1 menjadi dasar dalam penyusunan kuesioner sebagai indikator dalam instrumen pengumpulan data untuk memperoleh bentuk partisipasi masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan. 2.1.1.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata

Raharjana (2012: 228) menyebutkan bahwa keterlibatan warga dalam pengembangan desa wisata menjadi hal yang penting karena dari wargalah yang lebih mengetahui dan memahami akan potensi wilayahnya. Selain itu, keterlibatan warga ini sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan memastikan bahwa hal yang akan diperoleh selaras dengan kebutuhan dan keuntungan warga setempat. Akhirnya, peran warga dalam pembangunan pariwisata sangat mendesak untuk dikembangkan dan ditempatkan sebagai bagian yang terintegrasi. Partisipasi masyarakat hakikatnya bukan semata mendorong terjadinya proses penguatan kapasitas masyarakat lokal, tetapi merupakan sebuah mekanisme guna meningkatan pemberdayaan bagi warga untuk terlibat dalam pembangunan secara bersama. Dalam konteks pembangunan pariwisata berbasis masyarakat, partisipasi masyarakat penting untuk terus didorong untuk mendistribusikan keuntungan - keuntungan dari kegiatan kepariwisataan yang berlangsung kepada masyarakat secara langsung. Semangat desentralisasi dan pemberian kewenangan penuh bagi warga untuk mengelola pariwisata di daerahnya merupakan hal mutlak untuk terwujudnya pariwisata berbasis komunitas.

(35)

17 Dalam pengembangan desa wisata diperlukan tahapan-tahapan model pengembangan desa wisata yang diharapkan dapat diterapkan di daerah penyangga kawasan konservasi (Soemarno, 2010 dalam Dewi, 2014: 35) antara lain:

a. Dari sisi pengembangan kelembagaan desa wisata;

Perlunya perencanaan awal yang tepat dalam menentukan usulan program atau kegiatan khususnya pada kelompok sadar wisata agar mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pelaksanaan program pelatihan pengembangan desa wisata, seperti: pelatihan bagi kelompok sadar wisata, pelatihan tata boga dan tata homestay, pembuatan cinderamata, pelatihan guide/pemandu wisata termasuk didalamnya keterampilan menjadi instruktur

outbound.

b. Dari sisi pengembangan objek dan daya tarik wisata;

Perlunya perencanaan awal dari masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan dan mampu mendatangkan wisatawan dari berbagai potensi yang dimiliki oleh masyarakat, serta perlunya sosialisasi dari instansi terkait dalam rangka menggalakkan sapta pesona dan paket desa wisata terpadu.

c. Dari sisi pengembangan sarana prasarana wisata;

Perencanaan awal dari pemerintah perlu diarahkan ke pengembangan sarana prasarana wisata yang baru seperti: alat-alat outbound, pembangunan gapura, gedung khusus pengelola desa wisata,

(36)

18 cinderamata khas setempat, dan rumah makan bernuansa alami perdesaan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kerjasama masyarakat dengan pemerintah dan pengusaha / pihak swasta.

Kegiatan partisipasi masyarakat dapat dilihat melalui empat tahap pengembangan desa wisata. Priasukmana dan Mulyadin (2001:39-40) menjabarkan bentuk partisipasi masyarakat pada setiap tahapan pengembangan desa wisata seperti pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2

Bentuk Partisipasi Masyarakat Pada Setiap Tahapan Pengembangan DesaWisata

No Tahap Partisipasi Indikator

1 Perencanaan

a. Survey lapangan

b. Penyusunan rencana tapak

c. Penyusunan anggaran dan sumber anggaran d. Perencanaan SDM 2 Pelaksanaan Pembangunan a. Pembangunan prasarana b. Pelaksanaan pembangunan 3 Pengelolaan a. Perekrutan SDM b. Pengorganisasian c. Promosi

4 Evaluasi a. Penelitian dan pengembangan b. Pelaporan

Sumber: Priasukmana dan Mulyadin (2001: 39-40)

Tahapan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata tersebut menjadi acuan bagi peneliti untuk menggali informasi mengenai berbagai aktivitas yang telah dilakukan oleh masyarakat lokal dalam kegiatan pengembangan di Desa Wisata Belandingan di Kabupaten Bangli.

(37)

19 2.1.2 Community Based Development

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat dalam pembangunan berbasis kepada masyarakat (Community Based

Development disingkat CBD). Pembangunan berbasis masyarakat

(PBM) merupakan jabawan terhadap berbagai kritik yang menyebutkan bahwa pembangunan pariwisata bersifat eksklusif dan tidak memberi manfaat kepada masyarakat lokal (Pitana, 2011 : 6).

Masyarakat berdaya adalah masyarakat yang mampu merencakan dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui collective action (tindakan kolektif) dan networking sehingga pada akhirnya mereka mempunyai kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial (Sebejo dan Supriyanto dalam Pitana, 2011 : 6).

Mowforth dan Munt (2009:99) menyebutkan bahwa:

“Seeks to people’s involvement and ownership of tourim at the destination end. Shoud initiate from dan control stay with the lokal community, but sometimes arising from operator initiative”.

Masyarakat lokal pada sebuah destinasi wisata harus terlibat dalam pengembangannya dan mendapat manfaat dari pengembangan tersebut. Untuk dapat mewujudkan masyarakat yang berdaya, maka diperlukan dukungan dari berbagai komponen kepariwisataa, baik dari pemerintah ataupun lembaga non pemerintah yang dapat membantu pemberdayaan terhadap masyarakat lokal.

(38)

20 Pada hakekatnya, pembangunan kepariwisataan tidak bisa lepas dari sumber daya dan keunikan komunitas lokal, baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya), yang merupakan unsur penggerak utama kegiatan wisata itu sendiri sehingga semestinya kepariwisataan harus dipandang sebagai “kegiatan yang berbasis pada komunitas setempat” (Murphy, 1988 dalam Sunaryo, 2012:138).

Murphy (1988) dalam Sunaryo (2012:139) juga menyebutkan adanya beberapa batasan pengertian tentang Community Based Tourism (CBT) yaitu :

a. Wujud tata kelola kepariwisataan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat aktif dalam manajemen dan pembangunan kepariwisataan yang ada.

b. Wujud tata kelola kepariwisataan yang dapat memberikan kesempatan pada masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha – usaha kepariwisataan juga bisa mendapatkan keuntungan dari kepariwisataan yang ada.

c. Bentuk kepariwisataan yang menurut pemberdayaan secara sistematik dan demokratis serta distribusi keuntungan yang adil kepada masyarakat yang kurang beruntung yang ada di destinasi.

Suansri (2003) dalam Sunaryo (2012:141) menyebutkan terdapat 10 prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai tumpuan dalam pengembangan Community Based Tourism (CBT) yaitu:

(39)

21 a. Mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan

komunitas dalam industri pariwisata,

b. Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek tahapan pengembangan kepariwisataan,

c. Mengembangkan kebanggaan komunitas, d. Meningkatkan kualitas hidup komunitas,

e. Menjamin kelestarian lingkungan kepariwisataan,

f. Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di destinasi wisata, g. Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran

budaya pada komunitas setempat,

h. Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia,

i. Mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas di destinasi,

j. Berperan aktif dalam menentukan persentase pendapatan (pendistribusian pendapatan yang adil) dari setiap kegiatan kepariwisataan yang terkait dengan komunitas setempat.

Selain kesepuluh prinsip tersebut, Suansri (2003) dalam Sunaryo (2012: 142) CBT juga harus meliputi 5 dimensi pengembangan yang merupakan aspek utama pembangunan kepariwisataan sebagai berikut : a. Dimensi Ekonomi; dengan indikator berupa adanya dana untuk

pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata, berkembangnya pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata;

(40)

22 b. Dimensi Sosial; dengan indikator meningkatnya kualitas hidup, peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran gender yang adil antara laki – laki dan perempuan, generasi muda dan tua, serta memperkuat organisasi komunitas;

c. Dimensi Budaya; dengan indikator berupa mendorong masyarakat untuk menghormati nilai budaya yang berbeda, membantu berkembangnya pertukaran buaya, berkembangnya nilai budaya pembangunan yang melekat erat dalam kebudayaan setempat;

d. Dimensi Lingkungan; dengan indikator terjaganya daya dukung lingkungan, adanya sistem pengelolaan sampah yang baik, meningkatnya kepedulian akan perlunya konservasi dan preservasi lingkungan;

e. Dimensi Poliktik; dengan indikator meningkatkan partisipasi dari penduduk lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, dan adanya jaminan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan SDA.

Dengan adanya konsep serta prinsip dari Community Based

Tourism (CBT), maka dapat dijadikan dasar dalam pengembangan

pariwisata berbasis masyarakat khususnya desa wisata, dimana masyarakat sendirilah yang mengelola serta nantinya dapat menikmati kekayaan yang dimiliki oleh desa atau daerahnya.

(41)

23 2.1.3 Desa Wisata

2.1.3.1 Konsep Desa Wisata

Putra (2006:71) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan desa wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan di Bali, baik dari segi sosial budaya, adat–istiadat, keseharian, arsitektur tradisional, struktur tata ruang desa, serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, makan, minum, cinderamata, penginapan, dan kebutuhan wisata lainnya.

Inskeep (1991) dalam Tim KKN-PPM Desa Wisata Cirangkong (2012:4) menyebutkan bahwa :

“Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the lokal environment”.

Desa Wisata, adalah dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, biasanya di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat. Dengan kata lain, desa wisata merupakan suatu tempat yang memiliki ciri dan nilai tertentu yang dapat menjadi daya tarik khusus bagi wisatawan dengan minat khusus terhadap kehidupan pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa daya tarik utama dari sebuah desa wisata adalah kehidupan warga desa yang unik dan tidak dapat ditemukan di perkotaan.

Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR) dalam Priasukmana (2001: 38), yang dimaksud dengan Desa Wisata adalah suatu kawasan pedesaan

(42)

24 yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi, makanan-minuman, dan kebutuhan wisata lainnya.

Muljadi (2009: 27) dalam Agustina (2012:16), menjelaskan desa wisata sebagai suatu produk wisata yang melibatkan anggota masyarakat desa dengan segala perangkat yang dimilikinya. Desa wisata tidak hanya berpengaruh pada ekonominya, tetapi juga sekaligus dapat melestarikan lingkungan alam dan sosial budaya masyarakat terutama berkaitan dengan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, dan lain-lain. Dengan demikian, kelestarian alam dan sosial budaya masyarakat akan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang melakukan perjalanan wisata.

Marpaung (2002:91), menyebutkan bahwa pengembangan desa wisata sebagai obyek dan daya tarik akan berhubungan dengan wisatawan atau pengunjung yang tinggal di suatu desa tradisional atau dekat dengan desa tradisional, atau hanya untuk kunjungan singgah dimana lokasi desa wisata ini biasanya terletak di daerah terpencil. Wisatawan atau pengunjung tidak hanya menyaksikan kebudayaan tradisional, tetapi juga ikut langsung berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat setempat. Pendekatan perencanaan pengembangan yang bisa dilakukan adalah

(43)

25

community approach atau community based development. Dalam hal ini

masyarakat lokal yang akan membangun, memiliki dan menglola langsung fasilitas wisata serta pelayanannya, sehingga dengan demikian masyarakat diharapkan dapat menerima secara langsung keuntungan ekonomi serta mencegah terjadinya urbanisasi. Sehingga secara ringkas dapat dikatakan bahwa desa wisata adalah pengembangan desa menjadi desatiasi wisata dengan sistem pengelolaan yang bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat (Pitana dan Darma Putra, 2010:70).

2.1.3.2 Pengembangan Desa Wisata

Dalam pengembangan suatu desa wisata, terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan. Priasukmana (2001: 38) menyebutkan beberapa persyaratan dalam pengembangan desa wisata, antara lain:

a. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi.

b. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata.

c. Masyarakat dan apparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang dating ke desanya.

d. Keamanan di desa tersebut terjamin.

(44)

26 f. Beriklim sejuk atau dingin.

g. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.

Untuk suksesnya pembangunan desa wisata, maka perlu ditempuh beberapa upaya, Soemarno (2010: 2-4) menyebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)

Pelaksanaan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bisa dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya, serta di bidang-bidang kepariwisataan. Pendidikan diperlukan untuk tenaga-tenaga yang akan dipekerjakan dalam kegiatan manajerial. Untuk itu, sebaiknya ditugaskan generasi muda dari desa yang bersangkutan untuk dididik pada sekolah-sekolah kepariwisataan, sedangkan pelatihan diberikan kepada mereka yang akan diberi tugas menerima dan melayani wisatawan. Keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya diberikan kepada para petugas kepariwisataan di desa, kecamatan, dan kabupaten, karena penduduk desa umumnya hanya mempunyai keterampilan bertani. Kepada mereka dapat diberikan pelatihan keterampilan lain untuk menambah kegiatan usaha seperti kerajinan, industri rumah tangga, pembuatan makanan lokal, budi daya jamur, cacing, menjahit, dan lain sebagainya.

(45)

27 b. Kemitraan

Pola kemitraan atau kerjasama dapat saling menguntungkan antara pihak pengelola desa wisata dengan para pengusaha pariwisata di kota atau pihak Pembina desa wisata dalam hal ini pihak dinas pariwisata daerah. Bidang-bidang usaha yang bisa dikerjasamakan, antara lain seperti : bidang akomodasi, perjalanan, promosi, pelatihan, dan lain-lain.

c. Kegiatan Pemerintahan di Desa

Kegiatan dalam rangka desa wisata yang dilakukan oleh pemerintah desa, antara lain seperti : Rapat-rapat dinas, pameran pembangunan, dan upacara-upacara hari-hari besar diselenggarakan di desa wisata. d. Promosi

Desa wisata harus sering dipromosikan melalui berbagai media, oleh karena itu desa atau kabupaten harus sering mengundang wartawan dari media cetak maupun elektronik untuk kegiatan hal tersebut.

e. Festival / Pertandingan

Secara rutin di desa wisata perlu diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang bias menarik wisatawan atau penduduk desa lain untuk mengunjungi desa wisata tersebut, misalnya mengadakan festival kesenian, pertandingan olah raga, dan lain sebagainya.

f. Membina Organisasi Warga

Penduduk desa biasanya banyak yang merantau di tempat lain. Mereka akan pulang ke desa kelahirannya pada saat lebaran Idul Fitri, yang

(46)

28 dikenal dengan istilah “mudik”. Mereka juga bisa diorganisir dan dibina untuk memajukan desa wisata mereka. Sebagai contoh di Desa Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat telah berkembang organisasi kemasyarakatan atau disebut “warga”, yaitu ikatan keluarga dari dari satu keturunan yang hidup terpencar, mereka tersebut bertujuan ingin mengeratkan kembali tali persaudaraan diantara keturunan mereka. Pada setiap hari raya Idul Fitri mereka berkumpul secara bergiliran saling ketemu sambil mengenalkan anak cucu mereka, kemudian mereka membentuk suatu organisasi. Badan organisasi dinamakan koperasi keluarga, mereka yang sukses membantu keluarga yang kurang mampu. Fenomena kemasyarakat semacam ini perlu didorong dan dikembangkan untuk memajukan desa wisata.

g. Kerjasama dengan Universitas.

Universitas-Universitas di Indonesia mensyaratkan melakukan Kuliah Kerja Praktek Lapangan (KKPL) bagi mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya, sehubungan dengan itu sebaiknya dijalin atau diadakan kerjasama antara desa wisata dengan Universitas yang ada, agar bisa memberikan masukan dan peluang bagi kegiatan di desa wisata untuk meningkatkan pembangunan desa wisata tersebut.

(47)

29 2.2 Tinjauan Pustaka

Penelitian terdahulu penting untuk diperhatikan, karena melalui penelitian terdahulu seorang peneliti dapat mempertajam, membandingkan atau bahkan membantah penelitian sebelumnya, mengingat pesatnya perkembangan yang terjadi. Terdapat beberapa penelitian yang dianggap memiliki kesamaan topik dengan topik penelitian ini yaitu “Partisipasi Masyarakat Lokal” dan berikut merupakan penilitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini :

Penelitian yang dilakukan oleh Ayu Trisna Dewi (2014) “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Wisata Pangsan di Kabupaten Badung” yang membahas tentang bentuk partisipasi masyarakat pada setiap tahapan pengembangan desa wisata, hambatan yang dihadapi masyarakat, manfaat dari partisipasi masyarakat serta upaya yang dilakukan untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata di Desa Pangsan, Kabupaten Badung. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi, manfaat, hambatan serta upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dalam pengemangan desa wisata Pangsan.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah dengan menggunakan kuesioner, wawancara, observasi, dokumentasi dan studi literatur/kepustakaan dengan sampel yang diperoleh melalui metode

purposive sampling dan juga simple random sampling. Data yang telah

(48)

30 Hasil penelitian tersebut menunjukan: (1) Masyarakat lokal Desa Pangsan memberikan partisipasi dalam 5 bentuk yaitu partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda, sosial, serta kemahiran dan keterampilan; (2) Manfaat yang diperoleh masyarakat lokal Desa Pangsan dari partisipasi yang dilakukan yaitu manfaat ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup; (3) Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal ketika berpartisipsi dalam pengembangan Desa Wisata Pangsan, yaitu kurangnya pemahaman, keterampilan, manajemen pengelola, usaha,dana yang diberikan pemerintah dan pemberdayaan masyarakat lokal dalam kegiatan usaha di bidang pariwisata; (4) Upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Pangsan, yaitu: membentuk POKDARWIS, membuat program pembersihan desa, memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kegiatan desa wisata, mengajukan proposal untuk pelatihan pariwisata dan mengajukan proposal guna mendapatkan bantuan tambahan dari PNPM.

Dari uraian penelitian yang dilakukan Ayu Trisna Dewi (2014) di atas, terdapat beberapa persamaan ataupun perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Persamaanya yaitu sama – sama meneliti mengenai partisipasi masyarakat di sebuah desa wisata, menggunakan metode peelitian yang sama serta dengan pendekatan yang sama yakni bersifat kualitatif. Adapun perbedaannya yaitu terdapat beberapa konsep yang berbeda serta lokasi penelitian yang berbeda.

(49)

31 Selain penelitian yang dilakukan oleh Ayu Trisna Dewi tersebut, juga terdapat penelitian terkait partisipasi masyarakat lokal yang dilakukan oleh Anggun Udayani (2014). Anggun Udayani meneliti mengenai “Partisipasi Masyarakat Desa Pesinggahan Dalam Pengelolaan Daya Tarik Wisata Goa Lawah Di Kabupaten Klungkung”. Penelitian tersebut membahas tenatang bentuk – bentuk partisipasi masyarakat serta tahapan-tahapan partisipasi tersebut. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan tingkat partisipasi masyarakat Desa Pesinggahan dalam tahapan-tahapan pengembangan DTW Goa Lawah.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah dengan menggunakan kuesioner, wawancara, observasi, dokumentasi dan studi literatur/kepustakaan dengan sampel yang diperoleh melalui metode

proporsional stratified random sampling. Data yang telah terkumpul kemudian

diolah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian tersebut menunjukan: (1) Bentuk partisipasi masyarakat Desa Pesinggahan dalam pengelolaan DTW Goa Lawah lebih banyak ditunjukan dengan mendukung dan melaksanakan program pemerintah. Adapun bentuk pratisipasi yang paling banyak dilakukan yaitu, mengikuti sosialisasi pariwisata yang diberikan oleh pemerintah, masyarakat menerima dan mengikuti program yang telah ditentukan pemerintah, memberikan sumbangan tenaga, mengikuti pelatihan dan seminar, serta ikut serta dalam menjaga dan merawat atraksi wisata di DTW Goa Lawah. (2) Partisipasi masyarakat Desa Pesinggahan dalam setiap tahap pengembangan DTW Goa

(50)

32 Lawah dapat dikatakan masih kecil. Tingkat partisipasi masyarakat digolongkan dalam indikator pernah berpartisipasi, untuk indikator tertinggi yaitu sangat sering berpartisipasi. Tingkat partisipasi paling tinggi ditunjukan oleh masyarakat pada tahap implementasi. Partisipasi pada tahap ini bersifat praktis, seperti ngayah di pura, melaksakanakan program sapta pesona, serta menjadi tenaga kerja di DTW Goa Lawah. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Anggun Udayani (2014) di atas, yaitu sama – sama meneliti mengenai partisipasi masyarakat, serta dengan pendekatan yang sama yakni bersifat kualitatif. Adapun perbedaannya yaitu terdapat beberapa konsep yang berbeda serta lokasi penelitian yang berbeda.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Made Heny Urmila Dewi (2014). Penelitian Made Heny Urmila Dewi merupakan sebuah disertasi mengenai “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Wisata Di Kabupaten Tabanan, Bali”. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengkaji pemahaman masyarakat lokal atas keberadaan desa wisata, mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat, dan mengkaji strategi pengelolaan sumber daya pariwisata yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata.

Hasil penelitian tersebut menunjukan: (1) Tingkat pemahaman masyarakat lokal atas keberadaan desa wisata cukup baik. Pemahaman masyarakat terbangun berdasarkan pengetahuan lokal yakni Tri Hita Karana. Namun, dalam implementasinya mereka tidak berdaya menghadapi kekuasaan dan tekanan pengambil kebijakan dan investor dalam mempertahankan

(51)

33 keberlanjutan ekologi yang dapat mengancam kehidupannya. (2) Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata tergolong partisipasi semu, karena partisipasinya dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, kewenangan, hak dan akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pariwisata rendah. (3) Ada tujuh faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat. Faktor yang berpengaruh adalah faktor motivasi, mutu modal, pemahaman, kepemimpinan, komunikasi, sosialbudaya, dan faktor manajemen. (4) Pengelolaan sumber daya pariwisata harus berpedomanan pada Tri Hita Karana, dan pelaksanaannya membutuhkan kemitraan dan keterlibatan aktif semua pihak, baik pemerintah, masyarakat lokal, dan swasta. Agar masyarakat lokal berkemampuan dalam pengelolaan sumber daya pariwisata dibutuhkan strategi pembangunan kapasitas yang difokuskan pada tiga aspek, yaitu penguatan usaha ekonomi, penguatan kelembagaan, dan peningkatan kualitas SDM.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Made Heny Urmila Dewi (2014) tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti mengenai partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata. Sedangkan perbedaannya adalah objek yang diteliti. Made Heny Urmila Dewi meneliti 3 buah desa wisata yaitu Desa Wisata Candikuning, Kukuh, dan Jatiluwih yang terletak di Kabupaten Tabanan, sedangkan penelitian ini hanya meneliti 1 desa yaitu Desa Wisata Belandingan yang terletak di Kabupaten Bangli. Penelitian inipun hanya dibatasi pada partisipasi masyarakat lokal pada setiap tahapan pengembangan desa wisata serta hambatan-hambatan yang dihadapi.

(52)

34 2.3 Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran

Simpulan dan Saran

ANALISIS HASIL Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Setiap Tahapan Pengembangan Desa Wisata Hambatan yang Dihadapi oleh Masyarakat dalam Berapartisipasi Revitalisasi Pariwisata Kintamani

Destination Management Organization

Pariwisata Berbasis Masyarakat

Partisipasi Masyarakat

Analisis Deskriptif Kualitif

Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Desa Wisata Belandingan

L A T A R B E L A K A N G

(53)

35 Kerangka pemikiran pada gambar 2.1 merupakan inti sari yang telah dibahas pada latar belakang. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa Kintamani mencapai masa keemasannya pada tahun 1990an. Namun pada tahun 2000an, terlebih lagi dengan adanya bom Bali pada tahun 2002 sangat berpengaruh terhadap pariwisata Kintamani dimana kunjungan wisatawan ke Kintamani mengalami penurunan yang signifikan.Walaupun saat ini pariwisata di Bali telah kembali pulih dan kunjungan wisatawan selalu mengalami peningkatan, namun Kintamani masih belum bisa mengembalikan kejayaan yang pernah diraih pada tahun 1990an. Pada masa kejayaanya tersebut, Kintamani mampu menyerap lebih dari satu juta wisatawan setiap tahunnya (DFR, 2014) namun hingga tahun 2013, Kintamani hanya mampu menyerap 509.983 orang wisatawan dari 10.225.134 orang wisatawan yang berkunjung ke Bali.

Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kintamani tersebut juga ditambah dengan adanya beberapa permasalahan yang dihadapi Kintamani seperti: masalah penempatan pasar tradisional, galian C, penataan pedangan asongan serta penataan dan pengaturan bangunan di sepadan jurang (arahan Bupati Bangli, I Made Gianyar dalam Laporan DFR 2014).

Untuk merevitalisasi kepariwisataan Indonesia, pemerintah pusat melalui Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2011 membentuk beberapa organisasi tata kelola destinasi yang disebut Destintion

Management Organization (DMO), dimana salah satu DMO tersebut berlokasi

(54)

36 Dalam mengelola destinasi DMO menggunakan pendekatan bottom –

up yaitu arah penentuan kebijakan dari bawah ke atas atau kebijakan yang akan

diambil merupakan aspirasi dari masyarakat lokal. Salah satu langkah yang diambil oleh DMO dalam memberdayakan masyarakat lokal adalah dengan membentuk sebuah kelompok kerja lokal yang disebut dengan Lokal Working

Group (LWG), di mana anggota LWG merupakan perwakilan masyarakat dari

masing – masing desa yang berada dalam wilayah kerja DMO termasuk di dalamnya adalah LWG Desa Belandingan. Pembentukan LWG ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam perencanaan serta memfasilitasi komunikasi antara Pemerintah (DMO) serta berbagai stakeholder dengan masyarakat luas.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, wawasan masyarakat Desa Belandingan mengenai pariwisata masih terbilang rendah. Walaupun antusias masyarakat cukup besar dalam pengembangan desanya, namun kurangnya pengetahuan akan pariwisata menjadi faktor penghambat masyarakat dalam berpartisipasi membangun desanya. Didasari oleh hal inilah, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian terkait partisipasi masyarakat lokal yang menitik-beratkan pada bentuk – bentuk partisipasi serta hambatan dalam berpartisipasi agar nantinya dapat dijadikan sebagai masukandalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi mereka dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan.

Dalam menganalisis bentuk – bentuk partisipasi yang dilakukan serta hambatan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Belandingan dalam

(55)

37 berpartisipasi, digunakan analisis deskriptif. Setelah melalui tahap analisis data maka akan diperoleh hasil mengenai partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Belandingan yang dijabarkan dari rumusan masalah, yaitu mengenai bentuk partisipasi masyarakat Desa Belandingan serta hambatan yang dialami dalam melakukan partisipasi tersebut. Selanjutnya akan ditarik simpulan dan memberikan beberapa rekomendasi sebagai masukan bagi masyarakat lokal di Desa Belandingan, serta LWG dan Kepala Desa Belandingan.

(56)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi dari penelitian ini adalah di Desa Belandingan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan September 2014 hingga selesai dan dikahiri dengan pengujian hasil penelitian.

3.2 Jenis Dan Sumber Data

3.2.1 Jenis Data

a. Data Kualitatif

Adalah data yang berupa kalimat / pernyataan bukan berupa angka. Data kualitatif meliputi data yang berskala nominal dan ordinal (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007:20). Data kualitatif dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Belandingan mengenai penduduk yang terlibat dalam kepengurusan pemerintahan desa, adat, pemuda dan LWG. Selain itu juga terdapat hasil wawancara dengan anggota LWG Desa Belandingan terkait sejarah dan potensi Desa Belandingan.

b. Data Kuantitatif

Adalah data yang berupa angka – angka misalnya jumlah penduduk. Data Kuantitatif bersifat objektif sedang data kuantitatif

Gambar

Gambar 1.1: Persentase Kunjungan Wisatawan ke Kintamani  Terhadap Kunjungan Wistawan ke Bali
Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran
Gambar 4.3: Rumah Saka Roras  Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Gambar 4.5:  Rencana Pengembangan Pura Manik Muncar  Sumber: Arsip Desa Belandingan, 2015
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Fenomena inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata di Desa Rawabogo Ciwidey

depannya; partisipasi tenaga dalam bentuk kerja bakti pengembangan fasilitas dan lingkungan desa wisata; partisipasi harta benda dalam bentuk sumbangan makanan

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan berkaitan dengan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan wisata di Desa Jembul, Kecamatan Jatirejo,

12 Eko Murdiyanto (2011) Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata Karanggeneng, Purwobinangun, Pakem, Sleman Bentuk Partisipasi Masyarakat dan

Untuk partisipasi masyarakat lokal dalam usaha jasa transportasi wisata rent car di Kota Sentani pada tahap pengambilan keputusan partisipasi masyarakat lokal

(2) Tingkat partisipasi masyarakat di obyek-obyek wisata Desa Sendang terdapat tiga tingkatan yaitu tingkat partisipasi masyarakat rendah pada obyek wisata Menara

Bentuk partisipasi masyarakat Kelurahan Kandri dalam pengembangan Desa Wisata Kandri Kota Semarang adalah pseudo-participation atau partisipasi semu, hal ini

Pengaruh pengembangan desa wisata dalam kehidupan masyarakat lokal Desa Mendak Dari pastisipasi masyarakat yang tingggi dalam pengembangan desa wisata watu rumpuk mempengaruhi kehidupan