• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. membawa perubahan yang fundamental kepada kehidupan bermasyarakat,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. membawa perubahan yang fundamental kepada kehidupan bermasyarakat,"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 telah banyak membawa perubahan yang fundamental kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketidakpuasan masyarakat akan sistem pemerintahan yang sentralistik, buruknya kinerja pemerintah, kualitas pelayanan publik yang rendah dan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tuntutan reformasi itu sendiri tertuju pada aparatur pemerintah. Rakyat mengharapkan lahirnya good

governance dan mereka cukup paham bahwa pemerintahan yang baik itu antara

lain dapat terwujud melalui kebijakan desentralisasi.

Namun, berbagai tuntutan itu tidaklah akan terbentuk secara otomatis. Banyak langkah yang mesti direncaanakan, dilakukan, dan dinilai secara sistematis dan konsisten. Dalam konteks ini, penataan sumber daya aparatur menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Terlebih lagi di era otonomi daerah seperti sekarang. Penataan sumber daya aparatur yang profesional dalam manajemen otonomi daerah harus diprioritaskan, karena reformasi dibidang administrasi pemerintahan mengharapkan hadirnya pemerintah yang lebih berkualitas, lebih mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sosial ekonomi.

Dengan adanya semangat otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan berbagai Peraturan Perundang-undangan dalam rangka desentralisasi kepegawaian, diantaranya adalah sebagai berikut :

(2)

1. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi

Pegawai Negeri Sipil.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan

Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Sejalan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan desentralisasi bidang kepegawaian kepada daerah otonom tersebut diatas, maka unit pengelola sumber daya aparatur dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil sudah selayaknya ditangani oleh sebuah lembaga teknis daerah berbentuk badan atau

(3)

pengelolaan sumber daya aparatur, antara lain menyangkut usulan kenaikan pangkat, usulan mutasi, usulan pengisian jabatan kerja dan usulan pemberhentian, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut pemberian kewenangan dalam bidang kepegawaian perlu diimbangi dengan penataan manajemen dan kelembagaan yang mengelola sumber daya aparatur.

Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijakan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar, dan prosedur yang sama dan bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian. Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah merupakan Perangkat Pemerintah Daerah yang berwenang melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pegawai dalam rangka menunjang tugas pokok Gubernur, Bupati/Walikota. Kelancaran pelaksanaan tugas organisasi ini sangat tergantung pada kesempurnaan dari pegawai yang berada didalamnya yang mampu bekerja secara profesional, efektif dan efisien guna meningkatkan kelancaran roda pemerintahan.

Aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan bagi masyarakat sekaligus sebagai penanggung jawab fungsi pelayanan umum di Indonesia yang mengarahkan tujuannya kepada public service, memikirkan dan mengupayakan tercapainya sasaran pelayan kepada seluruh masyarakat dalam berbagai lapisan. Hal ini mengharuskan pihak pemerintah senantiasa mengadakan pembenahan

(4)

menyangkut kualitas pelayanan yang dihasilkan. Pelayanan yang berkualitas berarti pelayanan yang mampu memberi kepuasan kepada pelanggan (masyarakat) dan mampu memenuhi harapan masyarakat. Sebab pelanggan adalah orang yang menerima hasil pekerjaan. Oleh sebab itu hanya pelanggan (masyarakat) yang dapat menentukan kualitas pelayanan dan mereka pula yang dapat menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan mereka.

Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah atas kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan publik atau masyarakat. Dengan demikian, kegiatan tersebut mengandung adanya unsur-unsur perhatian dan kesediaan serta kesiapan dari pegawai pemerintah. Rasa puas masyarakat dalam pelayanan publik akan terpenuhi ketika apa yang diberikan oleh pegawai sesuai dengan apa yang mereka harapkan selama ini, dimana dalam pelayanan tersebut terdapat tiga unsur pokok yaitu biaya yang relatif lebih murah, waktu untuk mengerjakan relatif lebih cepat dan mutu yang diberikan relatif lebih bagus.

Dalam hal ini Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Aceh Selatan, sebagai institusi pelayanan teknis mempunyai tugas kewenangan di bidang pelayanan publik antara lain: merumuskan perencanaan dan melaksanakan kebijakan teknis manajemen kepegawaian daerah, melaksanakan kegiatan penata usahaan Badan Kepegawaian Daerah, memberikan pertimbangan atau penetapan mutasi kepegawaian bagi PNS daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memberikan pertimbangan pensiun PNS dan penetapan status kepegawaian diwilayah kerjanya.

(5)

Dari hasil pengamatan penulis, ada beberapa masalah yang ditemukan di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh Selatan diantaranya

1. BKPP Aceh Selatan dinilai bobrok dan amburadul, terbukti dengan semrautnya administrasi penempatan tugas para CPNS formasi 2008, beberapa CPNS tenaga guru yang ditempatkan di sebuah sekolah sesuai yang tercantum dalam SK tapi ternyata ketika dicek oleh CPNS yang bersangkutan, ternyata sekolah yang tertera dalam SK pengangkatan tersebut tidak ada dilapangan.

2. Tidak ada lagi harmonisasi kerja, beberapa pegawai berjalan sendiri-sendiri, tidak ada lagi koordinasi.

3. Indikasi adanya oknum pejabat BKPP yang menerima suap dari beberapa oknum CPNS tertentu agar ditempatkan di instansi yang lebih refresentatif (basah) (www.harianglobal.com/12 September 2009).

Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya ketegasan dalam memberikan sanksi hukum terhadap oknum pejabat yang melakukan kecurangan. Selain beberapa masalah diatas terdapat juga kasus adanya tenaga honorer fiktif, banyak data tenaga honorer yang direkayasa oleh pihak-pihak tertentu dengan cara mengeluarkan surat keterangan mengabdi sebagai tenaga honorer, padahal oknum honorer itu tidak pernah mengabdi dan terdaftar sebagai tenaga bakti (http:// www.harianberitasore.com/3 Maret 2009).

(6)

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah ini terjadi akibat minimnya kinerja pegawai terhadap tanggung jawab mereka sebagai pekerja (PNS), rendahnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh pegawai tersebut menjadi citra buruk BKPP itu sendiri ditengah masyarakat. Bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi selalu mengeluh dan kecewa terhadap tidak layaknya pegawai dalam memberikan pelayanan. Pelayanan kepada masyarakat tidak akan dapat terlaksana secara optimal tanpa adanya kesiapan pegawai yang professional untuk melaksanakan visi dan misi pemerintah kabupaten /kota. Contohnya seperti yang dialami oleh Ibu Herawati, seorang CPNS tenaga guru SD warga Meukek. Dalam SK pengangkatan ia ditugaskan di sebuah SD di kawasan Kecamatan Kluet Tengah. Ternyata ketika ia mendatangi SD tersebut tidak ada. Akhirnya ia belum tahu harus bekerja di mana, sementara SK pengangkatan menjadi CPNS telah didapatkannya. Herawati tidak sendiri, beberapa CPNS yang lainnya juga mengalami nasib yang serupa, kasusnya pun berbeda-beda. Berdasarkan investigasi Global di BKPP Aceh Selatan, Jumat (11/9) terungkap, dari 242 CPNS formasi umum tahun 2008 yang telah diserahkan SK nya itu, mayoritas dari keseluruhannya disinyalir kuat tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Dalam kenyataannya pelayanan yang diberikan pegawai belum sesuai dengan yang diharapkan. Adanya anggapan bahwa di era otonomi daerah, kualitas pelayanan publik justru semakin buruk dari sebelumnya (Sherwod 1997:7 dalam Revida 2007:1) bahwa profesionalisme pelayanan pemerintah didaerah sedang mengalami kemunduran.

(7)

Aparatur Negara atau pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat diperlukan untuk melaksanakan kegiatan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional. Dalam hal ini diperlukan pegawai yang profesional agar mampu meningkatkan mutu, pengetahuan, keterampilan karena didorong dengan banyaknya tanggung jawab tugas pemerintah serta pengabdiannya kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pegawai. Pegawai atau aparatur pemerintah yang profesional sangat berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kemajuan dan peningkatan kualitas pelayanan organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan bahwa pegawai pemerintah sebagai penentu, perencana, pelaksana, dan pengawas administrasi pemerintahan.

Kurangnya profesionalisme aparatur dalam pengelolaan pelayanan publik mengakibatkan kurangnya kemauan untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan dan adanya rasa apatis masyarakat terhadap pemerintahan mengakibatkan masyarakat merasa tersisihkan dari proses pemerintahan.

Dari berbagai bidang pekerjaan yang digeluti aparatur pemerintah jelas sekali yang menjadi permasalahan adalah menyangkut kekurang-profesionalan pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas penting yang dipercayakan kepadanya sehingga mengakibatkan banyak kerugian di pihak masyarakat yang sangat menginginkan hasil kerja pegawai yang optimal dalam memberikan pelayanan publik.

Mengingat pentingnya profesionalisme kerja sebagai persyaratan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka setiap pegawai dituntut untuk

(8)

senantiasa meningkatkan profesionalismenya, berdasarkan asumsi saya terlihat bahwa profesionalisme kerja pegawai belumlah sesuai dengan kondisi yang diharapkan yaitu profesionalisme kerja yang dapat mendukung terlaksananya dan terwujudnya kualitas pelayanan yang lebih baik.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Aceh Selatan).”

I.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas, sehingga akan jelas pula darimana harus dimulai, kemana harus pergi dan apa yang akan dilakukan. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah meng-intepretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam penelitian, (Arikunto, Suharsimi, 1996: 19).

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : “Sejauh Mana Pengaruh Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Aceh Selatan?”

(9)

I.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian tentunya jelas diketahui sebelumnya. Suatu riset khusus dalam ilmu pengetahuan empiris pada umumya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan itu sendiri.

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana profesionalisme kerja pegawai di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Aceh Selatan.

2. Untuk mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik yang diberikan di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Aceh Selatan kepada masyarakat.

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan publik pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Aceh Selatan.

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara subyektif. Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir dalam menulis karya ilmiah tentang profesionalisme kerja pegawai dan kualitas pelayanan publik.

(10)

2. Secara praktis. Sebagai masukan/sumbangan pemikiran bagi Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Aceh Selatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional.

3. Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.

I.5 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, perlu mengemukakan teori-teori sebagai kerangka berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana penelitian menyoroti masalah yang dipilih. Kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisai yang logis yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi (Sugiyono, 2006 : 55).

I.5.I Profesionalisme Kerja Pegawai

Pembahasan mengenai profesionalisme kerja pegawai mencakup defenisi profesionalisme, apa yang menjadi karakteristik dari profesionalisme kerja dan faktor pendukung profesionalisme kerja pegawai tersebut. Sehingga hal ini akan membantu untuk memahami lebih lanjut mengenai profesionalisme kerja pegawai. I.5.1.1 Defenisi Profesionalisme Kerja

Menurut Kurniawan (2005:73), istilah professional itu berlaku untuk semua aparat pegawai mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah. Professional

(11)

dapat diartikan sebagi suatu kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing. Profesionalisme menyangkut kecocokan (fitness) antar kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic competence) dengan kebutuhan tugas

(task-requirement). Terpenuhinya kecocokan antara kemampuan dengan kebutuhan

tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang professional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi.

Menurut Siagian (dalam Kurniawan, 2005: 74), profesionalisme adalah kehandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu yang baik, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan atau masyarakat. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2004: 157) profesionalisme adalah suatu sikap atau keadaan dalam melaksanakan pekerjan dengan memerlukan keahlian melalui pendidikan dan pelatihan tertentu, dan dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan.

Seorang yang professional adalah seorang pegawai yang memiliki keterampilan, kemampuan atau keahlian untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik menurut bidangnya masing-masing sehingga memperoleh pengakuan atau penghargaan. Seorang pegawai yang professional juga hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya.

Ada empat sifat yang dapat dianggap mewakili sikap profesionalisme sebagai berikut : pertama, keterampilan yang tinggi yang didasarkan pada pengetahuan teoritis dan sistematis; kedua, pemberian jasa dan pelayanan yang

(12)

altruistis, artinya lebih berorientasi kepada kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan pribadi ; ketiga, adanya pengawasan yang ketat atas perilaku pekerjaan melalui kode-kode etik yang dihayati dalam proses sosialisasi pekerjaan, dan keempat, suatu sistem balas jasa (berupa uang, promosi jabatan dan kehormatan) yang merupakan lambang prestasi kerja (Harefa, 2004 : 137).

Profesionalisme pegawai sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan pegawai yang tercermin melalui perilakunya sehari-hari dalam organisasi. Tingkat kemampuan pegawai yang tinggi akan lebih cepat mengarah kepada pencapaian tujuan organisasi yang telah direncanakan sebelumnya, sebaliknya apabila tingkat kemampuan pegawai rendah kecenderungan tujuan organisasi yang akan dicapai akan lambat bahkan menyimpang dari rencana semula. Istilah kemampuan menunjukkan potensi untuk melaksanakan tugas yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan. Kalau disebut potensi maka kemampuan disini merupakan kekuatan yang ada didalam diri seseorang. Dan istilah kemampuan dapat juga dipergunakan untuk menunjukkan apa yang akan dapat dikerjakan seseorang, bukan apa yang telah dikerjakan oleh seseorang.

Apa yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik (2000 : 7-8) dapat menambah pemahaman mengenai profesionalisme kerja pegawai atau tenaga kerja. Ia mengemukakan tenaga kerja pada hakikatnya mengandung aspek-aspek :

1. Aspek Potensial, bahwa setiap tenaga kerja memiliki potensi-potensi herediter yang bersifat dinamis yang terus berkembang dan dapat dikembangkan. Potensi-potensi itu antara lain : daya mengingat, daya berpikir, bakat dan minat, motivasi, dan potensi-potensi lainnya.

(13)

2. Aspek Profesionalisme atau Vokasional, bahwa setiap tenaga kerja memiliki kemampuan dan keterampilan kerja atau kejujuran dalam bidang tertentu dengan kemampuan dan keterampilan itu dia dapat mengabdikan dirinya dalam lapangan kerja tertentu dan menciptakan hasil yang baik secara optimal.

3. Aspek Fungsional, bahwa setiap tenaga kerja melaksanakan pekerjaannya secara tepat guna, artinya dia bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam bidang yang sesuai pula. Misalnya tenaga kerja yang memiliki keterampilan dalam bidang elektronik seharusnya bekerja dalam bidang pekerjaan elektronik bukan bekerja sebagai tukang kayu untuk bangunan. 4. Aspek Operasional, bahwa setiap tenaga kerja dapat mendayagunakan

kemampuan dan keterampilannya dalam proses dan prosedur pelaksanaan kegiatan kerja yang sedang ditekuninya.

5. Aspek Personal, bahwa setiap tenaga kerja harus memiliki sifat-sifat kepribadian yang menunjang pekerjaannya, misalnya sikap mandiri dan tangguh, bertanggung jawab, tekun dan rajin, mencintai pekerjaannya, berdisiplin dan berdedikasi tinggi.

6. Aspek Produktifitas, bahwa setiap tenaga kerja harus memiliki motif berprestasi, berupaya agar berhasil, dan memberikan hasil dari pekerjaannya baik kuantitas maupun kualitas.

Dari beberapa defenisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Profesionalisme kerja pegawai adalah keseluruhan karakteristik profesional pegawai dalam melaksanakan proses dan prosedur pelaksanaan

(14)

kegiatan kerja yang dipercayakan kepada seorang pegawai sesuai dengan bidang, tingkatan masing-masing sehingga menciptakan hasil yang baik secara optimal.

1.5.1.2 Karakteristik Profesionalisme Kerja

Menurut Mertin Jr (dalam Kurniawan, 2005: 75) karakteristik professional aparatur sesuai dengan tuntutan good governance, diantaranya :

1. Equality

Perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini didasarkan atas tipe perilaku birokrasi rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas pada semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status sosial, dan sebagainya.

2. Equity

Kesetaraan adalah adanya peluang dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Prasetya dalam (http://www.goodgovernance.or.id/) menyatakan bahwa kesetaraan adalah perlakuan yang ada kepada semua unsur tanpa memandang atribut yang menempel pada subjek tersebut. Menurut Tjandra (2005 :11) kesetaraan yaitu tidak diskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan dan gender. Maka dapat disimpulkan bahwa kesetaraan merupakan kesamaan perlakuan kepada setiap orang tanpa membedakan suku, ras, agama, golongan, gender serta adanya hubungan kekerabatan dan dalam hal ini dikhususkan pada pegawai di Badan Kepegawaian Daerah kabupaten Aceh Selatan.

(15)

3. Loyality

Kesetiaan kepada konstitusi hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya.

4. Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah laporan para penentu kebijakan kepada publik. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat

(civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Levine (dalam Dwiyanto, 2005:147), mendefenisikan

akuntabilitas sebagai suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholdes. Pengertian lain juga dikemukakan oleh Kumorotomo (2005:3), yaitu akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Menurut Wibowo dkk ( 2004:73), akuntabilitas berkaitan erta dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau target program yang telah ditetapkan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas adalah kemampuan pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

(16)

kinerjanya dan juga tanggung jawab atas pelayanan yang diberikan kepada publik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Berdasarkan karakteristik diatas dapat diketahui bahwa profesionalisme pegawai sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan pegawai yang tercermin melalui sikap dan perilakunya sehari-hari dalam organisasi.

1.5.1.4 Faktor-Faktor Yang Mendukung Profesionalisme Kerja

Menurut Atmosoeprapto (dalam kurniawan, 2005 :74) faktor-faktor yang mendukung profesionalisme kerja pegawai yaitu sebagai berikut :

1. Kompetisi. Profesionalisme merupakan cermin dari kemampuan

(competensi) yaitu memiliki pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), bisa melakukan (ability), ditunjang dengan pengalaman (experience), yang mungkin muncul tiba-tiba tanpa melalui perjalanan

waktu. Oleh karena itu berkaitan dengan kualitas pelayanan publik maka kemampuan aparatur sangat diperlukan.

2. Loyalitas. Secara teoritik loyalitas berhubungan dengan tingkat kedisiplinan, terutama dalam hal ketaatan terhadap peraturan yang berlaku. Kedisiplinan akan terwujud dengan baik jika pegawai atau aparatur mampu menaati peraturan-peraturan yang ada. Loyalitas juga berkaitan erat dengan kemampuan pertanggung jawaban tugas pekerjaan dan daya tanggap. Selain itu loyalitas tidak membeda-bedakan pemberian pelayanan atas dasar golongan tertentu.

(17)

dan mengarahkan tindakan mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya harus sejalan dengan tindakan organisasi pada bagian lain, seperti merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan bahkan sebenarnya bila budaya tidak sejalan dengan tugas-tugas ini, maka organisasi akan mengalami masa sulit.

4. Performansi (performance). Performansi dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, atau hasil kerja. Performansi atau prestasi (kehandalan dan kecakapan) adalah hasil yang diinginkan dari perilaku. Performansi mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktifitas yang tinggi dalam organisasi.

1.5.2 Pelayanan Publik

1.5.2.1 Pengertian Pelayanan Publik

Menurut Kurniawan (dalam Sinambela, 2006 : 5) pelayanan publik diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Selanjutnya Gabriel Roth (dalam Kumorotomo, 1994:70) :

“pelayanan publik adalah pelayanan yang disediakan untuk publik, apakah disediakan secara umum atau disediakan secara privat. Pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik”.

(18)

Menurut Soetopo (dalam Napitupulu, 2007 : 164) pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Pelayanan juga dapat disebut suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan (Boediono,2003 : 60).

Secara umum pelayanan dapat diartikan semua usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan, dengan demikian dalam menyajikan pelayanan hendaknya menambahkan sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti ketulusan dan integritas (Tjandra,2005 :11).

Pengertian yang lengkap terhadap pelayanan publik yang dikutip dari Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik menyatakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggra pelayanan publik. Sedangkan keputusan menteri pendayagunaan Aparatur Negara No.63 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di pusat, daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh organisasi publik yang bertujuan

(19)

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik berupa barang atau jasa yang dilakukan sesuai dengan standard dan peraturan yang telah ditetapkan.

1.5.2.2 Bentuk-Bentuk Pelayanan Publik

Pemerintah melalui lembaga dan segenap aparaturnya bertugas menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pemerintah terdiri dari berbagai macam bentuk.

Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63 Tahun 2003, pelayanan publik dibagi berdasarkan tiga kelompok, yaitu:

1. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu bentuk pelayanan yang menghasilkan berbagai macam dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau publik.

2. Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk / jenis barang yang digunakan publik.

3. Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan publik.

Menurut Moenir (1992: 191-196), bentuk pelayanan ada tiga macam yaitu: 1. Pelayanan dengan lisan.

Pelayanan dengan lisan ini dilakukan oleh petugas-petugas bidang hubungan masyarakat (humas), bidang layanan informasi dan bidang-bidang lain yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada masyarakat mengenai berbagai fasilitas layanan yang tersedia.

(20)

Agar layanan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku pelayanan, yaitu:

1) Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya.

2) Mampu memberikan penjelasan apa-apa saja yang perlu dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu.

3) Bertingkah laku sopan dan ramah tamah.

4) Meski dalam keadaan sepi tidak berbincang dan bercanda dengan sesama pegawai, karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas.

2. Pelayanan melalui tulisan.

Dalam bentuk tulisan, layanan yang diberikan dapat berupa pemberian penjelasan kepada masyarakat dengan penerangannya berupa tulisan suatu informasi mengenai hal atau masalah yang sering terjadi.

Pelayanan melalui tulisan terdiri dari dua macam, yaitu:

1) Layanan yang berupa petunjuk, informasi dan sejenis yang ditujukan pada orang-orang yang berkepentingan, agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi atau lembaga.

2) Pelayanan berupa reaksi tertulis atas permohonan, laporan, keluhan, pemberitahuan dan lain sebagainya.

(21)

3. Pelayanan dalam bentuk perbuatan.

Pelayanan dalam bentuk perbuatan adalah pelayanan yang diberikan dalam bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar kesanggupan dalam penjelasan secara lisan.

Bentuk pelayanan di BKPP Aceh Selatan menurut saya sampai sekarang ini belum begitu cukup memuaskan karena adanya keluhan masyarakat akan adanya pegawai yang belum siap dalam menghadapi persoalan dibidang pelayanan publik, apalagi dalam waktu cepat. Misalnya saja dalam hal melayani secara lisan belum semua pegawai bisa berbahasa Inggris dan secara perbuatan tidak semua pegawai-pegawai itu ramah dengan masyarakat.

1.5.2.4 Standar Pelayanan Publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus mempunyai standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik, standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi :

1. Prosedur Pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.

(22)

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian termasuk pengaduan.

3. Biaya Pelayanan

Biaya/ tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian layanan.

4. Produk Pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

5. Sarana dan Prasarana

Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.

6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Publik

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat sesuai berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.

1.5.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelayanan Publik

Suatu layanan yang komprehensif yang diberikan oleh pegawai pemerintah dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur dari pelayanan tersebut yaitu pada saat terjadinya suatu interaksi antara pegawai pemerintah sebagai pemberi pelayanan dengan masyarakat sebagai konsumen dari pelayanan yang diberikan.

(23)

1. Faktor Kesadaran yaitu antara kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam kegiatan pelayanan. Kesadaran para pegawai pada segala tingkatan terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya dapat membawa dampak yang sangat positif terhadap organisasinya.

Ini akan menjadi kesungguhan dan displin dalam melaksanakan tugas, sehingga hasilnya dapat diharapkan memnuhi standar yang telah ditetapkan.

2. Faktor Aturan yaitu aturan dalam organisasi yang menjadi landasan kerja pelayanan. Aturan ini mutlak kebenarannya agar organisasi dan pekerjaan dapat berjalan teratur dan terarah, oleh karena itu harus dipahami oleh organisasi yang berkepentingan/bersangkutan.

3. Faktor Organisasi merupakan alat serta system yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan dalam usaha pencapaian tujuan.

4. Faktor Pendapatan yaitu pendapatan pegawai yang berfungsi sebagai pendukung pelaksanaan pelayanan. Pendapatan yang cukup akan memotivasi pegawai dalam melaksanakan pekerjaan yang baik.

5. Faktor Keterampilan tugas yaitu kemampuan dan keterampilan petugas dalam melaksanakan pekerjaan. Ada tiga kemampuan yang harus dimiliki, yaitu kemampuan manajerial, kemampuan teknis dan kemampuan untuk membuat konsep.

(24)

6. Faktor Sarana yaitu sarana yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan layanan. Sarana ini meliputi peralatan, perlengkapan, alat bantu dan fasilitas lain yang melengkapi seperti fasilitas komunikasi.

1.5.3. Kualitas Pelayanan Publik

Berbicara mengenai kualitas pelayanan, bukan hanya ditentukan oleh pihak yang melayani saja, tetapi lebih banyak ditentukan oleh pihak yang dilayani karena merekalah yang menikmati layanan sehingga kualitas pelayanan dapat diukur berdasarkan harapan-harapan pelanggan dalam memenuhi kepuasan.

Kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi yang dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas yang dimaksud dan apa yang dianggap penting. Untuk itu kualitas dapat dideteksi pada persoalan bentuk dan mutu, sehingga dapat ditemukan bahwa kualitas pelayanan merupakan bentuk dari sebuah janji. Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya (Lukman, 2000: 9).

Menurut Goestch dan Davis (dalam Tjiptono, 2003 : 4) kualiatas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas pelayanan dapat dilihat dari sistem pemberian pelayanan yang baik dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif dan didayagunakan untuk melayani kepentingan pengguna jasa.

Dalam konteks pelayanan publik dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik

(25)

mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (Kurniawan, 2005 : 7 ).

Kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk (barang atau jasa) yang menunjang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan. Kualitas sering kali diartikan sebagi segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan (Kurniawan,2005 : 53-54). Sedangkan Sinambela (2006 : 6-8), kualitas pelayanan berhubungan erat dengan pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang dikenal konsep pelayanan prima. Kualitas pelayanan publik merupakan mutu/kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan/ masyarakat (meeting the needs customers).

Berdasarkan dari beberapa definisi tentang kualitas pelayanan publik diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas pelayanan publik adalah keseluruhan ciri dan karakteristik pelayanan yang diberikan pegawai kepada publik dalam suatu organisasi dengan mengutamakan rasa puas bagi yang menerima layanan.

Menurut Tangklison (2005 : 223) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan itu sendiri adalah :

1. Faktor internal antara lain kewenangan direksi, sikap yang berorientasi terhadap perubahan, budaya organisasi, etika organisasi, system internship maupun semangat kerja sama.

2. Faktor eksternal antara lain budaya politik, dinamika dan perkembangan politik, pengelolaan konflik lokal, kondisi sosial ekonomi dan kontrol

(26)

yang dilakukan oleh masyarakat serta organisasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Kemudian menurut Juliantara (2005 : 3) tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :

1. Transparansi, yaitu pelayan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan efektifitas.

4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.

(27)

6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik (Sinambela, 2006 : 6).

Menurut Boediono (2003 : 63) hakikat dari pelayanan publik yang prima adalah :

1. Meningkatkan mutu produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan publik.

2. Mendorong upaya meng-efektifitaskan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan publik dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna (efesien dan efektif).

3. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Menurut Zeitham dkk (dalam Boediono, 2003 : 114) ada lima dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan, yaitu :

1. Bukti Langsung (Tangibles), yang meliputi fasilitas fisik, pegawai, perlengkapan dan sarana komunikasi. Fasilitas fisik yang dimaksud disini adalah seperti gedung perkantoran, ruang tunggu untuk customer, telefon, komputer, dan lain-lain.

2. Daya Tanggap (Responsiveness), suatu karakteristik kecocokan dalam pelayanan manusia, mampu yaitu keinginan para staf untuk membantu masyarakat dan memberikan pelayanan dengan tanggapan. Keinginan itu seperti kemauan aparat birokrasi untuk memberikan informasi-informasi yang terkait dengan waktu pelayanan, syarat-syarat program langsung.

(28)

3. Keandalan (Reability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang menyajikan dengan segera dan memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan dan kecakapan aparat birokrasi dalam mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan dan menjadi kewajibannya dengan cepat sesuai waktu yang dijanjikannya.

4. Jaminan (Assurance), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keraguan. Yaitu seperti kepastian yang diberikan oleh aparat birokrasi untuk membuat masyarakat pengguna jasa merasa yakin bahwa tugas yang dilaksanakannya akan bebas dari kesalahan.

5. Empati (Emphaty), yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan. Hal ini seperti bagaimana aparat birokrasi menciptakan komunikasi eksternal untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.

Selain kelima dimensi tersebut, menurut Gasperz (dalam Tjandra, 2005:20), hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kualitas pelayanan mulai dari waktu tunggu, waktu proses hingga waktu penyelesaian suatu produk pelayanan adalah sebagai berikut :

1. Akurasi pelayanan, berkaitan dengan realitas pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.

2. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan pelanggan (internal maupun eksternal).

(29)

3. Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dari pelanggan.

4. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dari pelanggan.

5. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan erat dengan banyaknya outlet, banyaknya petugas yang melayani, banyaknya fasilitas pendukung seperti komputer untuk memproses data dan lain-lain.

6. Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru dalam pelayanan, features dari pelayanan dan lain-lain. 7. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan permintaan

khusus dan lain-lain.

8. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang dan tempat pelayanan, kemudahan menjangkau, tempat parker kendaraan, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk dan bentuk-bentuk lain.

9. Atribut pendukung pelayanan lainnya, seperti lingkungan kebersihan, ruang tunggu dan fasilitas lainnya.

Jika dalam menyelenggarakan pelayanan publik aparat birokrasi telah menerapkan hal-hal diatas maka dapat dikatakan bahwa pelayanan publik yang tersenggara telah berkualitas karena melalui penerapan hal-hal di atas berarti masyarakat akan memperoleh pelayanan dengan mudah, cepat, dan merasa nyaman bila berurusan atau bersentuhan dengan birokrasi pemerintah.

(30)

1.5.4 Hubungan Profesionalisme Kerja Pegawai dengan Kualitas Pelayanan Publik

Profesionalisme kerja pegawai adalah suatu kemampuan dan keterampilan dalam proses dan prosedur pelaksanaan kegiatan kerja yang dipercayakan kepada seorang pegawai sesuai dengan bidang, tingkatan masing-masing sehingga menciptakan hasil yang baik secara optimal. Kualitas Pelayanan Publik adalah keseluruhan ciri dan karakteristik pelayanan yang diberikan pegawai kepada publik dalam suatu organisasi dengan mengutamakan rasa puas bagi yang menerima layanan.

Agar pelayanan yang diberikan dapat berjalan secara efektif dan efesien serta memuaskan masyarakat maka perlu adanya peningkatan kerja pegawai pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Dalam hal ini, keprofesionalan pegawai diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik yang akhirnya akan membawa masyarakat untuk tidak bosan berurusan dengan pegawai pemerintah. Dengan terciptanya profesionalisme kerja pegawai diharapkan terciptanya pula hasil pelayanan yang berkualitas dimana kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama penyelenggara pelayanan publik.

Sesuai yang dikemukakan oleh Tjokrowinoto (Tangkilisan,2005: 231) bahwa profesionalisme berkaitan dengan kemampuan aparat yang bekerja dengan memiliki inovasi, dan mempunyai etos kerja tinggi. Tentu akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap kualitas layanan kepada para pengguna jasa.

(31)

Dengan adanya profesionalisme, kinerja individu secara langsung akan berpengaruh terhadap pemberian kualitas pelayanan kepada para pengguna jasa.

Apa yang dikatakan oleh Siagian ( dalam Tangkilisan,2005 : 231) bahwa profesionalisme berkaitan dengan keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat. Secara otomatis akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Korten dan Alfonso (dalam Tangkilisan,2005 : 231) profesionalisme kerja diukur melalui keahlian yang dimiliki oleh seorang pegawai yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang dibebankan oleh organisasi kepada pegawai. Aparat yang bertugas harus menguasai secara tepat semua mekanisme kerja dan metode kerja yang ada, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai melalui peningkatan kualitas pelayanan kepada para pengguna jasa atau masyarakat yang ada ketika melakukan pengurusan terhadap masalah yang dialami.

1.6 Hipotesis

Hipotesis adalah Jawaban terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (sugiyono, 2005 : 70).

(32)

1. Hipotesis Kerja (Ha)

Terdapat pengaruh yang positif antara profesionalisme kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan publik.

2. Hipotesis Nol (Ho)

Tidak terdapat pengaruh yang positif antara profesionalisme kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan publik.

1.7 Defenisi Konsep

Menurut Singarimbun (1995: 33) menyatakan bahwa konsep merupakan istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Konsep teoritis diajukan untuk menjawab permasalahan yang diteliti, maka perlu diadakan defenisi konsep.

Untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti, maka dalam hal ini penulis mengemukakan defenisi dari konsep yang dipergunakan, yaitu :

1. Profesionalisme kerja pegawai adalah karakteristik profesional pegawai dalam melaksanakan proses dan prosedur pelaksanaan kegiatan kerja yang dipercayakan kepada seorang pegawai sesuai dengan bidang, tingkatan masing-masing sehingga menciptakan hasil yang baik secara optimal. 2. Kualitas Pelayanan Publik adalah keseluruhan ciri dan karakteristik

pelayanan yang diberikan pegawai kepada publik dalam suatu organisasi dengan mengutamakan rasa puas bagi yang menerima layanan.

(33)

1.8 Defenisi Operasional

Berdasarkan pendapat Singarimbun (1995:46) defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Defenisi operasional merupakan uraian dari konsep yang sudah dirumuskan dalam bentuk indikator-indikator agar lebih memudahkan operasionalisasi dari suatu penelitian. Defenisi operasional dalam penelitian adalah :

1. Variabel Bebas (X) Profesionalisme Kerja Pegawai diukur dengan menggunakan indikator-indikator sebagai berikut :

1. Equality yang dimiliki pegawai yang dilihat dari:

1) Perlakuan yang sama atas pelayanan publik yang diberikan 2) Konsistensi dalam memberikan pelayanan

2. Equity yang dimiliki pegawai dilihat dari:

Perilaku yang sama kepada semua pegawai tanpa memandang atribut yang menempel pada subjek tersebut. Ini dapat dilihat dari:

1) Tidak adanya pengaruh pangkat/jabatan terhadap kebebasan pegawai jika ingin mengeluarkan pendapat

2) Tidak adanya pengaruh perbedaan gender dalam penempatan posisi kerja.

3. Loyality yang dimiliki pegawai dilihat dari: 1) Kesetiaan kepada institusi

2) Kesetiaan kepada pimpinan

(34)

4. Akuntabilitas yang dimiliki pegawai dilihat dari:

1) Akuntabilitas kinerja pelayanan publik : meliputi integritas ( selalu memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral yang ditetapkan), tingkat ketelitian, kelengkapan sarana dan prasarana, kejelasan peraturan dan kedisiplinan.

2) Akuntabilitas biaya pelayanan publik harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

3) Akuntabilitas produk pelayanan publik

2. Variable Terikat (Y) Kualitas Pelayanan Publik diukur dengan menggunakan indikator-indikator sebagai berikut :

1) Bukti Langsung : meliputi tersedianya ruang tunggu, seragam, perlengkapan, dan sarana komunikasi.

2) Daya Tanggap : meliputi dapat diakses, tidak lama menunggu, respon terhadap permintaan.

3) Keandalan : meliputi penyelesaian pelayanan dengan cepat dan selesai pada waktu yang dijanjikan.

4) Jaminan : meliputi terpercaya, reputasi yang baik dalam hal pelayanan, pegawai yang kompeten.

5) Empati : meliputi mengenal pelanggan, pendengar yang baik dan sabar.

Referensi

Dokumen terkait

Nissan Motor Indonesia dirancang untuk memproduksi 1000 unit / pertahun, perakitan mobil dengan satu sistem kerja dari pagi hingga sore dikarenakan kebutuhan bangsa pasar

Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Di sini

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) eksaserbasi akut merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan terbatasnya aliran udara di dalam saluran pernafasan

Perbedaan antara kedua organisasi adalah pada orientasi tujuan yang dicapai, organisasi bisnis berorientasi pada profit, sedangkan organisasi perguruan tinggi berorientasi pada

Mengidentifikasi sumber data dan faktor yang digunakan oleh manajemen dalam merumuskan asumsi, dan mempertimbangkan apakah data dan faktor tersebut relevan,

Karena jika masing-masing image/ teks yang diolah dalam photoshop tidak dibagi menjadi layer-layer yang terpisah, maka proses editing ulang terhadap gambar/ image yang diolah

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Susmayanti, Riana, Itikad Baik Pengurus Yayasan Menurut UU Yayasan Dalam Menjalankan Tugasnya Pada Yayasan Pendidikan Tinggi, Jurnal, Nomor 1 Tahun 1 Januari