• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang. sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang. sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

15 A. Tinjauan Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 992), otonomi adalah pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku (Hanif Nurcholis, 2007 : 30).

(2)

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut : “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh daerah otonom (local self-government) adalah kabupaten dan kota. Sesuai dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom penuh.

Dengan demikian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah harus dapat memenuhi semua urusan daerah yang diberikan. Urusan daerah tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang

(3)

ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (HAW. Widjaja, 2007 : 133).

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah. (HAW. Widjaja, 2007 : 7-8). Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut :

a. Prinsip Otonomi Luas

Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.

(4)

b. Prinsip Otonomi Nyata

Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing.

c. Prinsip Otonomi Yang Bertanggung jawab

Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rozali Abdullah, 2007 : 5).

Setiap pemerintah daerah harus menjalankan otonomi daerah dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab agar tujuan otonomi daerah dapat terwujud yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberdayakan masyarakat.

3. Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002 : 46) adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu : (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3)

(5)

memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Menurut Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin (2004 : 32), tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

4. Kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Menurut Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang terakhir diubah dengan Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dikenal dengan sebutan daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah. Menurut undang-undang tersebut yang dimaksud daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Daerah

(6)

provinsi dipimpin oleh gubernur, sedangkan daerah kabupaten dipimpin oleh bupati, sedangkan daerah kota dipimpin oleh walikota.

Selanjutnya, menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (1) menyatakan:

(1) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Politik luar negeri b. Pertahanan c. Keamanan d. Yustisi

e. Moneter dan fiskal nasional, dan f. Agama

Menurut Juniarso Ridwan & Achmad Sodik Sudrajat (2009 : 145-146), menyatakan dengan melihat ruang lingkup kewenangan daerah di atas dapat

(7)

dipastikan urusan penerbitan perizinan termasuk dalam urusan otonomi daerah, sebab wewenang penerbitan perizinan diatribusikan kepada badan dan pejabat administrasi negara. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah maka administrasi negara mempunyai tugas untuk mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Untuk menjalankan tugas pokoknya itu administrasi negara telah diberikan alat kelengkapan pemerintah dengan wewenang istimewa, yakni suatu kewenangan yang memungkinkan administrasi negara dapat melaksanakan tugas pokoknya tersebut.

B. Tinjauan tentang Pelayanan Publik.

1. Konsep Pelayanan Publik.

Agus Dwiyanto (2010 : 19-20), menyatakan terdapat banyak kriteria untuk menentukan sebuah pelayanan (barang, jasa, dan administratif) sebagai pelayanan publik atau bukan. Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat dari barang dan jasa itu sendiri. Barang dan jasa yang termasuk dalam kategori barang publik atau barang yang memiliki eksternalitas tinggi biasanya tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada pasar karena mereka tidak dapat mengontrol siapa saja yang mengkonsumsi barang tersebut. Sementara barang dan jasa tersebut sangat penting bagi kehidupan warga dan masyarakat luas. Misalnya pendidikan dasar, pelayanan kesehatan preventif dan dasar, pertahanan negara, pembersihan penceremaran udara, dan pembangunan jalan umum. Semua pelayanan tersebut adalah

(8)

pelayanan yang sangat penting dan harus disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik.

Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk mendefinisikan pelayanan publik adalah tujuan dari penyediaan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang dan jasa itu bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan publik. Tujuan dan misi negara biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya. Pelayanan untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga merupakan pelayanan publik, karena itu negara harus menjamin akses warganya terhadap pelayanan tersebut. Selain pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga, pelayanan untuk mencapai tujuan negara lainnnya yang termasuk dalam pelayanan publik adalah layanan untuk mencapai tujuan strategis pemerintah.

Selanjutnya menurut Agus Dwiyanto (2010 : 21), semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari kedua kriteria itu, yaitu merupakan jenis barang atau jasa yang memiliki eksternalitas tinggi dan sangat diperlukan masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai tujuan atau misi negara baik dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga, mencapai tujuan strategis pemerintah, dan memenuhi komitmen dunia internasional, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan publik.

Menurut Kotler (Lijan Poltak Sinambela, dkk, 2007 : 4), pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau

(9)

kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara, atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makan atau minum; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan.

Sementara istilah publik berasal dari Bahasa Inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi Publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat. Inu dan kawan-kawan mendefinisikan publik adalah sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang merasa memiliki. Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

(10)

Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana dikutip Juniarso Ridwan & Achmad Sodik Sudrajat (2009 : 19), menurut Kepmenpan No. 63/ KEP/ M.PAN/ 7/ 2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana dikutip I Nyoman Sumaryadi (2010: 70), Munir menyatakan pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Sedangkan Rasyid menyatakan bahwa pelayanan berkenaan dengan usaha pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang menjamin bahwa warga masyarakat dapat melaksanakan kehidupan mereka secara wajar, dan ditujukan juga untuk membangun dan memelihara keadilan dalam masyarakat.

(11)

Jadi, pelayanan publik adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh penyelenggara negara/pemerintah untuk memberikan layanan terhadap kebutuhan masyarakat sesuai haknya yang mempunyai kepentingan dengan sesuai aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan untuk tercapainya tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan.

2. Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Ratminto& Atik Septi Winarsih (2005 : 8-10) mengemukakan bahwa berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik

b. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat dapat dibedakan lagi menjadi:

i. pelayanan yang bersifat primer dan ii. pelayanan yang bersifat sekunder

Perbedaan di antara ketiga jenis pelayanan publik atau pelayanan umum tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh privat. Ini adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit

(12)

swasta, Perguruan Tinggi Swasta, perusahaan pengangkutan milik swasta.

b. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat primer. Ini adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan.

c. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat sekunder. Ini adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna /klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan, misal program asuransi tenaga kerja,program pendidikan dan pelayanan yang diberikan oleh Badan Usaha Milik Negara. 3. Azas Pelayanan Publik.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:

a. Kepentingan umum, artinya pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan;

b. Kepastian hukum, artinya jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan;

(13)

c. Kesamaan hak, artinya pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi;

d. Keseimbangan hak dan kewajiban, artinya pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan;

e. Keprofesionalan, artinya pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas; f. Partisipatif, artinya peningkatan peran serta masyarakat

dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat;

g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, artinya setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. h. Keterbukaan, artinya setiap penerima pelayanan dapat

dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.

i. Akuntabilitas, artinya proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

j. Rentan, artinya pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.

k. Ketepatan waktu, artinya penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.

l. Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan, artinya setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

4. Standar Pelayanan Publik.

Standar pelayanan, seperti Standar Pelayanan Minimal (SPM), dapat menjadi instrumen bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Agus Dwiyanto (2011 : 33), menyatakan melalui Standar Pelayanan Minimal pemerintah dapat menjamin warga dimanapun mereka bertempat tinggal untuk memperoleh jenis dan mutu pelayanan yang minimal sama seperti dirumuskan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kapasitas daerah yang berbeda-beda tidak dapat menjadi alasan bagi daerah untuk

(14)

menyelenggarakan jenis dan mutu pelayanan di bawah ketentuan yang berlaku dan diatur dalam SPM. Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada daerah agar mereka dapat memenuhi target pencapaian yang ditentukan dalam SPM. SPM karenanya dapat membantu pemerintah untuk mewujudkan kesamaaan akses warga terhadap mutu dan jenis pelayanan tertentu.

Selanjutnya Agus Dwiyanto (2011 : 36-38), menyatakan bahwa standar pelayanan dapat mengatur aspek input, proses, dan output. Input pelayanan penting untuk distandarisasi mengingat kuantitas dan kualitas dari input pelayanan yang berbeda antar daerah menyebabkan sering terjadinya ketimpangan akses terhadap pelayanan yang berkualitas. Standar proses pelayanan juga penting untuk diatur. Namun pengaturannya harus dilaksanakan secara hati-hati agar standar proses pelayanan tidak mencegah atau membatasi kreativitas lokal dalam menyelenggarakan layanan publik. Proses penyelenggaraan layanan harus memenuhi tata pemerintahan yang baik. Standar proses perlu dirumuskan untuk menjamin pelayanan publik di daerah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan layanan yang transparan, non-partisan, efisien, dan akuntabel. Standar transparansi, misalnya mengatur kewajiban penyelenggara layanan untuk menyediakan informasi dan menjelaskan kepada warga pengguna layanan mengenai persyaratan, prosedur, biaya, dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan. Termasuk yang harus ada dalam standar transparansi adalah keharusan bagi penyelenggara

(15)

untuk memberitahukan hak-hak warga pengguna untuk mengadu dan memprotes ketika mereka merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh penyelenggara layanan. Standar juga harus mengatur secara proporsional hak dan kewajiban antara penyelenggara dan pengguna layanan. Pada praktiknya penyelenggaraan layanan publik selama ini, hak-hak warga pengguna dan kewajiban-kewajiban rezim pelayanan tidak pernah diatur dalam prosedur pelayanan. Standar transparansi juga harus mengatur pemberian informasi tentang biya dan waktu yang diperlukan bagi warga pengguna untuk mendapatkan pelayanan publik.

Untuk itu menurut Agus Dwiyanto (2011 : 40-42), standar proses juga harus mengatur tentang kesamaan perlakuan warga dalam penyelenggaraan layanan publik. Standar output pelayanan tentu sangat penting untuk diatur karena standar tersebut menjamin hak warga dan penduduk Indonesia di manapun mereka berada untuk memperoleh kualitas dan kuantitas pelayanan tertentu. Sejauh ini pemerintah telah menetapkan 13 SPM untuk berbagai bidang pelayanan, yaitu: perumahan rakyat, pemerintahan dalam negeri, sosial, kesehatan, pemberdayaan perempuan dan anak, lingkungan hidup, keluarga berencana dan sejahtera, ketenagakerjaan, pendidikan, pekerjaan umum, ketahanan pangan, kesenian dan komunikasi informasi.

Setiap penyelenggara pelayanan publik harusnya memiliki instrumen standar pelayanan untuk menyelenggarakan pelayanan publik sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas

(16)

pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur sesuai dengan komponen standar pelayanan.

5. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2004 sebagaimana dikutip Ratminto & Asih Septi W (2005 : 24-26), ada empat pola pelayanan, yaitu:

a. Fungsional.

Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.

b. Terpusat.

Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.

c. Terpadu.

1.) Terpadu satu atap.

Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu disatuatapkan.

(17)

2.) Terpadu satu pintu.

Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

d. Gugus depan.

Petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan tertentu.

Selain pola pelayanan sebagai mana yang disebutkan di atas, instansi yang melakukan pelayanan publik dapat mengembangkan pola penyelenggaraan pelayanannya sendiri dalam rangka upaya menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan pelayanan publik. Pengembangan pola penyelenggaraan pelayanan publik dimaksud mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana ditetapkan dalam pedoman ini. 6. Pelayanan Publik dalam bidang perizinan.

Menurut Juniarso Ridwan (2009 : 190), salah satu tugas pemerintah yang sekaligus juga merupakan hak dari warga masyarakat adalah terselenggaranya pelayanan publik. Perizinan merupakan suatu bentuk manifestasi yang melintasi aspek-aspek tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perizinan merupakan wujud pelayanan publik yang sangat menonjol dalam tata pemerintahan. Dalam relasi antara pemerintah dengan warga masyarakat seringkali perizinan menjadi sebuah indikator

(18)

untuk menilai apakah tata pemerintahan sudah mencapai kondisi “good governance” atau belum. Maka untuk mencapai kondisi tersebut, pemerintah berusaha menciptakan suatu sistem pelayananan yang optimal. Salah satu dari tindakan pemerintah dalam penciptaan pelayanan yang optimal tersebut adalah dengan dikeluarkannya suatu kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, pelayanan perizinan dilakukan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service) membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan pengurusan administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup dilakukan sekali, dan administrasi bisa dilakukan secara simultan. Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha kecil dan menengah, dan bertujuan meningkatkan kualitas layanan publik. Pelayanan atas permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan sistem satu pintu.

(19)

Otonomi daerah sejatinya mendekatkan penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam bidang perizinan, pendelegasian otoritas kewenangan sebenarnya juga telah diatur dalam peraturan otonomi daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 keterlibatan daerah dalam bidang penanaman modal, khususnya pelayanan perizinan yaitu penerbitan Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Izin Gangguan (HO). Dengan demikian menurut Keputusan Presiden No.117 Tahun 1999, pemerintah daerah diberi wewenang oleh pemerintah pusat untuk menangani dan menerbitkan izin yang terkait penanaman modal.

Selanjutnya menurut Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap, pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) kembali dilaksanakan terpusat pada Badan Koordinasi Penanaman Modal melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Dengan demikian pemerintah daerah tidak memiliki lagi kewenangan dalam menangani pelayanan perizinan dan fasilitas penanaman modal (PMA maupun PMDN). Kewenangan ini kembali dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan sistem pelayanan satu atap.

Tim Peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia (2010 : 36), mengemukakan kemudian muncul Peraturan Menteri Dalam Negeri No.24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

(20)

boleh dikatakan sebagai peremajaan peraturan sebelumnya (Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Satu Atap). Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, khususnya dalam memberikan peran yang lebih besar kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, maka diperlukan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan terpadu sesuai Instruksi Presiden No.3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Tujuan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini adalah meningkatkan kualitas layanan publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik.

C. Tinjauan tentang perizinan.

1. Konsep Perizinan.

Menurut Eny Kusdarini (2011 : 119), pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan. Dengan memberikan izin, pemerintah memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus. Hal ini adalah paparan luas dari pengertian izin. Di dalamnya dapat diadakan perbedaan berdasarkan

(21)

berbagai figur hukum, semuanya menimbulkan akibat yang kurang lebih sama yakni bahwa dalam bentuk tertentu diberi perkenan untuk melakukan sesuatu yang mestinya dilarang.

Ridwan HR (2011 : 198), mengutip Kamus Hukum menyatakan bahwa izin dijelaskan sebagai perkenan/izin dari perintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang diisyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki. Selanjutntya menurut Ateng Syarifudin bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh, atau sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam peristiwa konkret. Sedangkan menurut Sjachran Basah izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Eny Kusdarini (2011:121) izin dalam arti sempit adalah bahwa suatu tindakan pada umumnya dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat diteliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Dispensasi yaitu suatu keputusan/ketetapan yang meniadakan berlakunya peraturan perundang-undangan untuk suatu persoalan istimewa. Tujuan dari penerbitan dispensasi agar seseorang dapat melakukan perbuatan

(22)

hukum dengan menyimpang dari syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang

Selanjutnya sebagaimana dikutip Eny Kusdarini, 2011:122), Utrecht menyatakan konsensi adalah suatu keputusan yang isinya merupakan izin bagi pihak swasta untuk menyelenggarakan hal-hal penting bagi umum. Dalam hal ini kadang-kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat diadakan oleh suatu subjek hukum partikelir (swasta), tetapi dengan turut campur dari pihak pemerintah. Suatu keputusan administrasi negara yang memperkenankan yang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut memuat suatu konsensi.

Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Perizinan penanaman modal dapat diartikan perbuatan perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu mengenai kegiatan menanam modal baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

(23)

2. Unsur-unsur Perizinan.

Adapun unsur-unsur yang ada dalam perizinan adalah sebagai berikut:

a. Instrumen yuridis.

Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai kini masih dipertahankan. Dalam rangka melaksanakan tugas ini kepada pemerintah diberikan wewnang dalam bidang pengaturan, yang dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan konkret yaitu dalam bentuk keputusan. Salah satu wujud dari keputusan ini adalah izin. Dengan demikian menurut Ridwan HR (2011 : 202), izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai keputusan, izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku bagi keputusan pada umumnya, sebagaimana telah disebutkan di atas.

b. Peraturan perundang-undangan

Ridwan HR (2011 : 203) mengemukakan pembuatan dan penerbitan keputusan izin merupakan tindakan hukum pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan pada asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah.

(24)

Oleh karena itu, dalam hal membuat dan menerbitkan izin haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut keputusan izin tersebut menjadi tidak sah. Pada umumnya pemerintah memperoleh wewenang untuk mengeluarkan izin itu ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari perizinan tersebut.

c. Organ pemerintah.

Organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Menurut N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge yang disunting Philipus M. Hadjon (1993 : 154), keputusan yang memberikan izin harus diambil oleh organ yang berwenang, dan hampir selalu yang terkait adalah organ-organ pemerintahan atau administrasi. Dalam hal ini organ-organ pada tingkat penguasa nasional (seorang menteri) atau tingkat penguasa-penguasa daerah. Sebagaimana dikutip Ridwan HR (2011 : 205), Bagir Manan menyatakan oleh karena itu, biasanya dalam perizinan dilakukan deregulasi, yang mengandung arti peniadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang dipandang berlebihan. Karena peraturan perundang-undangan yang berlebihan itu ada campur tangan pemerintah atau negara, maka deregulasi itu pada dasarnya bermakna mengurangi campur tangan pemerintah atau negara dalam ksegiatan kemasyarakatan

(25)

tertentu terutama di bidang ekonomi, sehingga deregulasi itu pada ujungnya bermakna debirokratisasi. Meskipun deregulasi dan debirokratisasi ini dimungkinkan dalam bidang perizinan dan hampir selalu dipraktikkan dalam kegiatan pemerintahan, namun dalam suatu negara hukum tentu saja harus ada batas-batas atau rambu-rambu yang ditentukan oleh hukum.

d. Peristiwa konkret

Menurut Ridwan HR (2011 : 206), izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan, yang digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual. Peristiwa konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, fakta dan hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini beragam, sejalan dengan keberagaman perkembangan masyarakat, maka izin pun memiliki jenis keberagaman.

e. Prosedur dan persyaratan.

Mengenai prosedur dan persyaratan izin Ridwan HR (2011 : 207) mengemukakan pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping harus menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pemberi izin. Prosedur dan persyaratan

(26)

perizinan itu berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin. Menurut Soehino dikutip Ridwan HR, syarat-syarat dalam izin itu bersifat konstitutif dan kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukan suatu perbuatan atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya dalam hal pemberian izin itu ditentukan suatu perbuatan konkret, dan bila tidak dipenuhi dapat dikenahi sanksi. Bersifat kondisional, karena penilaian tersebut baru ada dan dapat dilihat serta dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan itu terjadi.

3. Fungsi dan Tujuan Perizinan.

Adrian Sutedi (2010 : 200) mengemukakan secara umum, tujuan dan fungsi perizinan adalah untuk pengendalian daripada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu di mana ketentuan-ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang berwenang. Selain itu, tujuan dari perizinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu:

1.) Dari sisi pemerintah.

a.) Untuk melaksanakan peraturan.

Apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam praktiknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban.

(27)

b.) Sebagai sumber pendapatan daerah.

Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan di bidang retribusi tujuan akhirnya, yaitu untuk membiayai pembangunan.

2.) Dari sisi masyarakat.

Dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah untuk adanya kepastian hukum, untuk adanya kepastian hak, dan untuk memudahkan mendapatkan fasilitas

N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge yang disunting Philipus M. Hadjon (1993 : 154) mengemukakan dengan mengikat tindakan-tindakan pada suatu sistem perizinan, pembuat undang-undang dapat mengejar berbagai tujuan. Motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat berupa:

a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan - “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen).

d. Hendak membagi benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk).

e. Pengarahan, dengan menyeleksi otang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “Drank- en Horecawet”, di mana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu)

(28)

Menurut N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge yang disunting Philipus M. Hadjon (1993 : 5), izin digunakan oleh penguasa sebagai instrumen untuk mempengaruhi (hubungan dengan) para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkrit. Intrumen izin digunakan oleh penguasa pada sejumlah besar bidang kebijaksanaan. Ini terutama berlaku bagi hukum lingkungan, hukum pengaturan ruang, dan hukum perairan. Namun juga dalam hukum administrasi sosial, ekonomi, budaya, dan kesehatan, pemberian izin merupakan gejala penting. Di dalam sektor kebijaksanaan penguasa dapat berdiri secara berdampingan berbagai sistem izin dengan motif sejenis. Pencantuman motif untuk sistem izin dalam undang-undang mempunyai konsekuensi penting bagi organ penguasa yang berwenang. Dalam memutuskan pemberian izin, organ itu tidak boleh menggunakan alasan yang tidak sesuai dengan tujuan peraturan. Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Sebagaimana dikutip Ridwan HR (2011 : 208), Sjachran Basah mengemukakan bahwa izin itu dapat difungsikan sebagai instrumen pengendali dan instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka penataan dan pengaturan izin ini sudah semestinya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

(29)

4. Bentuk dan Isi Izin.

Menurut Eny Kusdarini (2011: 129), keputusan dapat berbentuk lisan dan tertulis. Keputusan dapat berbentuk lisan apabila tidak membawa akibat yang kekal dan tidak terlalu penting di dalam hukum administrasi negara serta oleh alat administrasi negara yang mengeluarkan keputusan dikehendaki akibat yang timbul segera. Adapun perizinan penting adalah penting bagi kegiatan penanaman modal sehingga menurut N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge yang disunting Philipus M. Hadjon (1993 : 11-15), sesuai dengan sifatnya yang merupakan bagian dari keputusan, izin selalu dibuat dalam bentuk tertulis. Sebagai keputusan tertulis, secara umum izin memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Organ yang berwenang mengeluarkan izin.

Dalam izin dinyatakan siapa yang memberikannya, biasanya dari kepala surat dan penandatanganan izin akan nyata organ mana yang memberikan izin. Keputusan yang memberikan izin harus diambil oleh organ yang berwenang. Pada umumnya pembuat aturan akan menunjuk sebagai organ yang berwenang dalam suatu sistem perizinan, organ yang paling terkenal mengenai materi dan tugas bersangkutan. Hampir selalu yang terkait adalah organ-organ pemerintahan.

(30)

b. Alamat yang diberi izin.

Izin ditujukan pada pihak yang berkepentingan. Biasanya izin lahir setelah yang kepentingan mengajukan permohonan untuk itu. Karena itu, keputusan yang memuat izin akan dialamatkan pula kepada pihak yang memohon izin. Ini biasanya dialami orang atau badan hukum. Dalam hal-hal tertentu, keputusan tentang izin ini juga penting bagi pihak yang berkepentingan. Artinya pihak pemerintah selaku pemberi izin harus pula mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang mungkin memiliki keterkaitan dengan penggunaan izin tersebut.

c. Diktum.

Keputusan yang memuat izin, demi alasan kepastian hukum, harus memuat uraian sejelas mungkin untuk apa izin itu diberikan. Bagian keputusan ini, di mana akibat–akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan, dinamakan diktum, yang merupakan inti dari keputusan. Setidak- tidaknya diktum ini terdiri atas keputusan pasti, yang memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dituju oleh keputusan tersebut.

d. Ketentuan-ketentuan, Pembatasan-pembatasan, dan Syarat-syarat izin.

Sebagaimana kebanyakan keputusan, di dalamnya mengandung ketentuan-ketentuan, pembatasan-pembatasan, dan syarat-syarat, demikian pula dengan keputusan yang berisi izin. Ketentuan-ketentuan

(31)

ialah kewajiban-kewajiban yang dapat dikaitkan pada keputusan yang menguntungkan. Ketentuan-ketentuan pada izin banyak terdapat dalam praktik Hukum Administrasi Negara. Dalam hal ketentuan-ketentuan tidak dipatuhi, terdapat pelanggaran izin. Tentang sanksi pemerintah harus memutuskannya tersendiri. Dalam pembuatan keputusan, termasuk keputusan berisi izin, dimasukkan pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan dalam izin memberi kemungkinan untuk secara praktis melingkari lebih lanjut tindakan yang dibolehkan. Pembatasan-pembatasan dibentuk dengan menunjuk batas-batas dalam waktu, tempat atau dengan cara lain. Di samping itu, dalam keputusan dimuat syarat-syarat. Dengan menetapkan syarat-syarat, akibat-akibat hukum tertentu digantungkan pada timbulnya suatu peristiwa di kemudian hari yang belum pasti. Dalam keptusan yang berisi izin dapat dimuat syarat penghapusan dan syarat penangguhan.

5. Perizinan Sebagai Instrumen Dalam Hukum Administrasi Negara.

Sebagaimana dikutip Andrian Sutedi (2010 : 180), C.J.N Versteden menyatakan berdasarkan jenis-jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu, atau beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was (ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang belum diperbolehkan). Dengan demikian, izin merupakan instrumen

(32)

yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret.

Sedangkan sebagaimana dikutip Ridwan HR (2011 : 38) menurut Philipus M. Hadjon, istilah Hukum Admnistrasi Negara dalam kepustakaan Belanda disebut dengan istilah bestuursrecht,dengan unsur utama bestuur. Istilah bestuur berkenaan dengan sturen dan sturing. Bestuur dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Dengan rumus itu kekuasaan pemerintahan tidaklah sekedar melaksanakan undang-undang. Kekuasaan pemerintahan merupakan kekuasaan yang aktif. Sifat aktif tersebut dalam konsep Hukum Administrasi secara instrinsik merupakan unsur utama dari sturen (besturen). Unsur-unsur tersebut (Ridwan HR, 2011: 38) adalah sebagai berikut.

“Sturen merupakan suatu kegiatan yang kontinu. Kekuasaan pemerintahan dalam hal menerbitkan izin mendirikan bangunan misalnya – tidaklah terhenti dengan diterbitkannya izin mendirikan bangunan. Kekuasaan pemerintahan senantiasa mengawasi agar izin tersebut digunakan dan ditaati. Dalam hal pelaksanaan mendirikan bangunan tidak sesuai dengan izin yang diterbitkan, pemerintah akan menggunakan kekuasaan penegakan hukum berupa penertiban yang mungkin berupa pembongkaran bangunan yang tidak sesuai”.

“Sturen berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah konsep hukum publik. Sebagai konsep hukum publik, penggunaan kekuasaan harus dilandaskan pada asas-asas negara hukum, asas demokrasi, dan asas instrumental. Berkaitan dengan negara hukum adalah asas wet-en rechtmatigheid van bestuur. Dengan asas demokrasi tidaklah sekedar adanya badan perwakilan rakyat. Di samping badan perwakilan rakyat, asas keterbukaan pemerintah dan lembaga peran serta masyarakat (inspraak) dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah adalah sangat penting artinya. Asas instrumental berkaitan dengan hakikat Hukum Administrasi sebagai instrumen. Dalam kaitan ini asas efektivitas

(33)

dan efisiensi dalam pelaksanaan pemerintahan selayaknya mendapat perhatian yang memadai (doeltreffenheid dan doelmatigheid).

“Sturen menunjukkan lapangan di luar legislatif dan yudisial. Lapangan ini lebih luas dari sekedar lapangan eksekutif semata. Di samping itu, sturen senantiasa diarahkan kepada suatu tujuan (doelgerichte).

Perizinan merupakan salah satu instrumen Hukum Administrasi Negara. Perizinan adalah salah satu keputusan pemerintah yang paling banyak digunakan untuk mempengaruhi dan mengendalikan masyarakat. Sebagai bagian dari keputusan pemerintah, maka perizinan pada hakikatnya adalah tindakan hukum pemerintah yang sifatnya sifatnya sepihak berdasarkan kewenangan publik yang memperbolehkan atau memperkenankan hukum bagi seseorang/badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan.

Dengan kata lain, perizinan diperlukan pemerintah untuk mengkonkretisasi kewenangan dengan beberapa tujuan dan motif tertentu yang bersifat alternatif atau komulatif. Hal ini menunjukkan penetapan perizinan sebagai salah satu insturmen hukum dari pemerintah yaitu untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku serta membatasi aktivitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Dengan demikian, perizinan lebih merupakan instrumen pencegahan atau berkarakter sebagai preventif instrumental. Sebagaimana dikutip Ridwan HR (2011 : 198), menurut Sjachran Basah izin diartikan sebagai perbuatan hukum administrasi bersegi satu yang

(34)

mengaplikasikan peraturan secara konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan karakter yuridisnya sebagai perbuatan hukum publik bersegi satu, maka pemerintah (negara) melalui perizinan dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada masyarakat. Perizinan di bidang penanaman modal dapat diartikan sebagai perbuatan hukum administrasi bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan secara konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku di antaranya Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pemerintah dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada masyarakat yang mengurus perizinan penanaman modal.

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan investasi daerah adalah dengan memperbaiki iklim penanaman modal baik Penanaman Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Asing. Penanaman modal mengandung arti segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri (PMDN) maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di daerah. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah kegiatan menanam modal yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) adalah kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh penanam modal baik perseorangan atau badan usaha asing.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk studi kepustakaan saya berusaha untuk mendapatkan data sekunder atau data yang tidak langsung dari sumbernya dengan metode dokumenter, yaitu dengan cara

bahwa dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun

Pada tanggal 5 Maret 2013 untuk memberikan solusi berdasarkan keluhan tersebut dan tuntutan reformasi birokrasi dalam pelayanan publik, Kementerian Hukum dan Hak

bahwa memperhatikan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Pasal 239 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

bahwa dalam rangka merumuskan, merencanakan, dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Penelitian lain tentang pemberian klonidin melalui intratekal sebagai adjuvan analgetika pada persalinan dengan teknik anestesia spinal didapatkan bahwa penambahan klonidin 30 µg

254 Muscicapidae Philentoma sayap-merah Philentoma pyrhoptera 255 Acanthizidae Remetuk laut Gerygone sulphurea 256 Sylviidae Cikrak bamboo Abroscopus superciliaris 257

Tak lupa juga diperuntukkan kepada dosen-dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan tak lupa juga kepada sahabat dan teman-teman yang