• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL PENELITIAN, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL PENELITIAN, DAN HIPOTESIS"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL PENELITIAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Pada bagian ini terdapat lima penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini. Berikut ini merupakan kajian dari penelitian-penelitian tersebut.

Penelitian pertama adalah penelitian Swardiani (2007) yang berjudul The Use of Draw a Story Technique to Improve Students’ Ability in Writing Descriptive Paragraph: a Classroom Based Action Research at Grade Eight of SMP N 1 Sukasada. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus dan terdapat 36 peserta didik yang diplih sebagai subjek penelitian. Teknik yang digunakan adalah draw a story technique untuk meningkatkan keterampilan menulis peserta didik. Sebelum mengimplementasikan teknik tersebut dalam proses pembelajaran, tes praobservasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan dasar peserta didik, khususnya pada kemampuan menulis teks deskriptif. Selanjutnya, hasil tes, yaitu prates, tes pertama dan tes kedua dibandingkan untuk mengetahui peningkatan yang dialami oleh peserta didik dalam menulis teks deskriptif. Berdasarkan hasil ketiga tes tesebut, terdapat peningkatan nilai-nilai dari prates hingga tes kedua yang dilakukan. Pada prates ditemukan bahwa persentase nilai rerata peserta didik hanya 43,83%. Kemudian pada tes pertama, persentase nilai rerata peserta didik meningkat menjadi 56,25%. Selanjutnya pada tes kedua persentase nilai rerata peserta didik meningkat menjadi 66,25%.

(2)

Berdasarkan hasil kajian pada penelitian yang dilakukan oleh Swadiani (2007), ditemukan tiga persamaan dengan penelitian ini, seperti keterampilan yang dikaji adalah keterampilan menulis pada teks deskriptif. Selain itu, penelitian sejenis pertama dan penelitian ini juga melakukan dua kali tes, yaitu pre-test dan post test. Selanjutnya, subjek penelitian adalah sama, yaitu peserta didik kelas VIII pada jenjang SMP. Di sisi lain, terdapat pula tiga perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Swadiani dan penelitian ini. Pertama, dilihat dari metode penelitian, Swadiani menggunakan metode penelitian tindakan kelas melalui dua siklus pada satu kelas yang berjumlah 36 peserta didik, sedangkan penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen yang menggambil dua kelas sebagai subjek penelitian yang nantinya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu experimental group dan control group. Kedua, strategi yang diterapkan untuk menunjang penelitian masing-masing. Dalam penelitian itu Swadiani memilih draw a story technique, sedangkan peneltian ini memilih strategi tell and show sebagai strategi yang diterapkan dalam proses belajar mengajar. Yang terakhir, jika dilihat dari sisi linguistiknya, penelitian yang dilakukan oleh Swadiani tidak terlalu memfokuskan aspek linguistik sebagai objek penelitiannya, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada kajian linguistik dengan menggunakan teori analisis wacana, khususnya penanda kohesi yang mendukung koherensi teks akan dapat diterapkan di kelas.

Penelitian kedua yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ginting dan Sitanggang (2012) yang berjudul Improving Students’ Achievement in Writing Descriptive Paragraph through

(3)

Semantic Mapping Technique. Penelitian tersebut juga merupakan penelitian tindakan kelas yang mengambil subjek peserta didik kelas IX sebanyak 30 orang di SMP St. Petrus Medan. Pada penelitian tindakan kelas ini empat elemen dari Lewin (1994) dalam Ginting dan Sitanggang (2012:7) digunakan sebagai landasan, yaitu, planning, acting, observing, and reflecting. Berdasarkan hasil penelitian itu diketahui bahwa terdapat tahapan peningkatan pada hasil teks deskriptif dari tes orientasi, tes pertama, hingga tes kedua, yaitu tes yang dilakukan setelah diterapkannya semantic mapping technique di dalam kelas. Hal ini dibuktikan dengan perolehan nilai rerata pada tes orientasi yang hanya sebesar 52,50, lalu meningkat hingga mencapai nilai rerata 62,04 pada tes pertama yang, dan diakhiri dengan tes kedua yang menunjukkan nilai rerata sebesar 71,25.

Penelitian sejenis kedua yang dilakukan oleh Ginting dan Sitanggang (2012) memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian Ginting dan Sitanggang serta penelitian ini sama-sama menjadikan keterampilan menulis teks deskriptif menjadi objek penelitian. Selanjutnya, Ginting dan Sitanggang menggunakan dua kali tes selama penelitian, yaitu pre-test dan post-test. Dua kali pemberian tes ini juga dilakukan dalam penelitian ini. Namun, yang menjadi pembeda antara penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Ginting dan Sitanggang adalah metode penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, sedangkan penelitian sejenis kedua tersebut menerapkan penelitian tindakan kelas pada satu kelas yang berjumlah 30 peserta didik. Dari sisi subjek penelitian, walaupun terdapat persamaan pada tingkat satuan pendidikan, perbedaan ditemukan pada jenjang kelas yang dipilih. Pada

(4)

penelitian itu, Ginting dan Sitanggang memilih kelas IX, sedangkan penelitian ini memilih kelas VIII sebagai subjek penelitian. Selanjutnya, terdapat pula perbedaan pada teknik atau strategi yang diimplementasikan. Pada penelitian ini kegiatan pembelajaran berjalan dengan mengimplementasikan langkah-langkah strategi tell and show, sedangkan Ginting dan Sitanggang menggunakan teknik semantic mapping. Sama halnya dengan penelitian sejenis pertama sebelumnya, Ginting dan Sitanggang tidak terlihat memberikan perhatian khusus pada sisi linguistik sebagai dasar penelitiannya, sedangkan penelitian ini berusaha untuk membangun sebuah fondasi penelitian dari pemahaman analisis wacana, yang hasilnya dapat diterapkan dan diajarkan kepada peserta didik melalui strategi tell and show.

Penelitian ketiga merupakan penelitian yang dilakukan oleh Palupi (2013) yang berjudul “Perbandingan Kohesi dan Koherensi dalam Karangan Deskriptif Siswa Kelas X SMK Jurusan Teknik Otomotif Kendaraan Ringan (TOKR) dan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) Berdasar pada Kemampuan Berpikir Analisis Sintesis di Bidang Program Keahlian”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang melihat perbandingan antara kohesi dan koherensi pada karangan deskriptif peserta didik SMK Jurusan TOKR dan RPL. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menelaah kohesi dan koherensi karangan peserta didik dengan metode normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karangan deskriptif Jurusan RPL lebih baik daripada peserta didik di Jurusan TOKR. Persentase kesalahan kohesi dan koherensi sebesar 36,77% yang berasal dari

(5)

Jurusan TOKR, sedangkan persentase 23,87% menunjukkan kesalahan kohesi dan koherensi pada karangan deskriptif peserta didik di Jurusan RPL.

Berdasarkan hasil pemaparan yang dilakukan terhadap penelitian sejenis ketiga yang dilakukan oleh Palupi (2013) di atas, ditemukan sebuah persamaan dan beberapa perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah sama-sama mengkaji penanda kohesi dan koherensi pada teks deskriptif peserta didik. Akan tetapi, hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Palupi adalah penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji analisis wacana (penanda kohesi dan koherensi) sehingga dapat diterapkan dan diajarkan secara langsung melalui penggunaan sebuah strategi kepada peserta didik. Di pihak lain Palupi lebih fokus pada bagaimana perbandingan kohesi dan koherensi dalam teks deskriptif antara peserta didik dari dua bidang program keahlian. Selain itu, penelitian Palupi merupakan penelitian kualitatif yang mendeskripsikan kohesi dan koherensi pada teks peserta didik, sedangkan pada penelitian ini, pemahaman koherensi dan kohesi diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran di kelas yang tentunya juga didukung dengan penerapan strategi tell and show.

Penelitian keempat merupakan jurnal internasional dari penelitian Javed dkk. (2013) yang berjudul A Study of Students’ Assessment in Writing Skills of the English Language. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan peserta didik dalam menulis. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas X sekolah menengah di Pakistan berjumlah 440 yang diambil dari sebelas sekolah yang berbeda. Penelitian ini difokuskan pada kelengkapan kata, pembuatan kalimat, pemahaman, tata bahasa, dan tulisan peserta didik.

(6)

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwakemampuan peserta didik dalam aspek pemahaman lebih baik dibandingkan dengan keempat aspek lainnya. Selain itu, penelitian ini juga membandingkan antara kemampuan peserta didik laki-laki dan perempuan. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua gender tersebut dalam menulis sebuah teks.

Penelitian sejenis keempat yang ditelaah adalah penelitian Javed dkk. (2013). Pada penelitian sebelumnya, mereka melakukan penilaian terhadap hasil tulisan peserta didik, tetapi pada penelitian ini lebih difokuskan pada teks deskriptif sebagai objek penelitian. Selain itu, penelitian yang dilakukan Javed dkk. mencakup subjek yang lebih luas, sedangkan penelitian ini lebih fokus kepada satu sekolah dan memilih dua kelas sebagai subjeknya.

Penelitian terakhir merupakan jurnal internasional oleh Siburian (2013) yang berjudul Improving Students’ Achievement on Writing Descriptive Text Through Think Pair Share. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Subjek penelitian ini adalah peserta didk kelas VIII. Dalam upaya meningkatkan kemampuan peserta didik menulis teks deskriptif, teknik think pair share diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat kenaikan nilai rerata peserta didik. Pada tes pertama, nilai rerata peserta didik hanya menunjukkan angka 66,44. Akan tetapi, pada tes kedua setelah dilakukan tindakan yang disertai dengan penerapan teknik think pair share, terdapat kenaikan pada nilai rerata peserta didik menjadi 78,12. Pada tes terakhir, nilai rerata peserta didik mencapai 87,56. Berdasarkan hasil observasi,

(7)

Siburian menemukan juga bahwa peserta didik menunjukkan sikap dan respons yang baik terhadap proses pembelajaran yang dilakukan.

Berdasarkan hasil kajian, penelitian Siburian (2013) memiliki persamaan dengan penelitian ini. Sama halnya dengan tiga penelitian pertama sebelumnya yang memperhatikan teks deskriptif peserta didik, penelitian Siburian dan penelitian ini juga menjadikan teks deskriptif sebagai objek penelitian. Selain itu, subjek yang digunakan pada penelitian Siburian dan penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII pada jenjang SMP. Yang menjadi perbedaan antara penelitian Siburian dan penelitian ini adalah penelitian ini mengambil konsep analisis wacana yang terintegrasi dengan proses pembelajaran melalui strategi tell and show. Hal lainnya adalah rubrik yang digunakan pada penelitian ini juga mengacu pada penanda kohesi yang mendukung koherensi dalam sebuah teks deskriptif.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa komponen-komponen yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah metode penelitian, subjek penelitian (mengambil dua kelas, yaitu experimental group dan control group), pengimplementasian strategi tell and show pada kegiatan belajar mengajar. Di samping itu juga, terdapat pengintegrasian konsep analisis wacana, yaitu penanda kohesi yang mendukung koherensi pada teks deskriptif ke dalam proses pembelajaran.

2.2 Konsep

Dalam penelitian ini terdapat empat konsep dasar yang melandasi penelitian ini, yaitu menulis, teks deskriptif, strategi tell and show, serta experimental group dan control group. Berikut ini merupakan pemaparan keempat konsep tersebut.

(8)

2.2.1 Menulis

Konsep menulis dipahami berbeda-beda oleh para ahli. Walaupun demikian, konsep-konsep yang dikemukakan memiliki maksud yang hampir sama. Beberapa pandangan dari para ahli tentang definisi menulis yang dijabarkan sebagai berikut. 1) Coulmas (2003:1) menyatakan bahwa menulis merupakan sebuah sistem pencatatan bahasa dengan cara membubuhkan tanda-tanda di atas suatu permukaan agar dapat terlihat.

2) Hà(2011) berpendapat bahwa menulis merupakan cara untuk menyampaikan sebuah pesan yang mengandung makna tertentu.

3) Tarigan (1995:117) dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012:3) menjelaskan kata ‘menulis’ memiliki arti ‘mengekspresikan’ suatu informasi, gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan secara tertulis.

Berdasarkan pendapat para ahli tentang definisi menulis, maka dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan suatu kegiatan yang mengekspresikan gagasan atau ide yang tertuang dalam bentuk goresan atau tanda berupa huruf di atas kertas yang susunannya membentuk beberapa kata hingga tersusun sebuah kalimat yang bermakna sehingga pembaca dapat memahami inti sari dari pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya.

Selanjutnya, Tompkins (1994) menguraikan tahapan dalam proses menulis menjadi lima tahap. Tahapan-tahapan tersebut diidentifikasi melalui serangkaian penelitian tentang proses menulis. Lima tahapan dalam proses menulis yang teridentifikasi melalui penelitian yang dimaksud adalah meliputi pre-writing (pra-menulis), drafting (penyusunan konsep), revising (perbaikan), editing

(9)

(penyutingan), dan publishing (penerbitan). Berikut ini merupakan penjabaran tiap tahapan tersebut.

1) Pre-writing (pramenulis)

Pada tahapan ini peserta didik mengumpulkan gagasan dan informasi serta mencoba untuk membuat suatu kerangka yang nantinya akan dikembangkan menjadi tulisan. Di sini peserta didik akan mulai mencari dan menentukan arah serta bentuk tulisannya. Melalui kegiatan pramenulis ini, guru dapat mengetahui seberapa luas wawasan yang dimiliki peserta didik mengenai hal atau topik yang dibahas.

2) Drafting (penyusunan konsep)

Penyusunan konsep adalah suatu tahapan yang dilakukan oleh peserta didik untuk mengorganisasikan dan mengembangkan ide yang telah dikumpulkan melalui kegiatan pre-writing dalam bentuk draf kasar. Pada tahapan ini peserta didik menulis dan menyaring tulisan mereka melalui sejumlah konsep. Aktivitas dalam tahap ini meliputi tiga hal, yaitu menulis draf kasar, menulis konsep utama, dan menekankan pada pengembangan isi. 3) Revising (perbaikan)

Pada tahapan ini peserta didik melihat kembali tulisannya untuk kemudian ide tulisan tersebut ditambah, diganti, atau dihilangkan sebagian. Sebagai contoh, dalam menulis suatu cerita, peserta didik dapat mengubah watak pelaku yang semula jahat menjadi baik atau peserta didik juga dapat menyelipkan peristiwa lain dalam rangkaian cerita yang disusunnya. Revising atau perbaikan ini bukanlah penyempurnaan tulisan, melainkan upaya

(10)

penyesuaian kebutuhan dengan cara menambah, mengganti, menghilangkan, dan menyusun kembali bahan tulisan.

4) Editing (penyuntingan)

Penyutingan merupakan proses penyempunaan tulisan sampai bentuk akhir. Peserta didik menyempurnakan tulisan mereka dengan mengoreksi ejaan dan kesalahan lainnya yang mungkin tanpa disadari dilakukannya 5) Publishing (penerbitan)

Pada tahap akhir proses penulisan ini peserta didik memublikasikan hasil tulisan mereka, menerima pendapat dan komentar yang diberikan teman atau siswa lain. Pada tahap publikasi, peserta didik memublikasikan hasil tulisannya dengan cara saling berbagi hasil tulisan (sharing). Kegiatan sharing ini dapat dilakukan dengan cara meminta peserta didik untuk membacakan hasil tulisannya secara bergiliran di depan kelas.

Sebuah tulisan yang baik hendaknya mudah dimengerti sehingga maksud yang ingin disampaikan mudah dipahami. Dalam menulis sebuah teks, penulis akan melihat struktur teks. Struktur tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun sebuah teks yang sistematis. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan jenisnya, setiap teks memiliki struktur yang berbeda. Terkait dengan pembelajaran, terutama aspek menulis dalam bahasa Inggris, seorang peserta didik harus mengetahui topik, jenis teks, dan struktur teks tertentu.

Berdasarkan teori dan tahapan menulis yang telah dipaparkan, penelitian ini mengarah pada kegiatan menulis yang dilakukan oleh peserta didik, khususnya teks berbentuk deskriptif. Dalam implementasinya, peserta didik diajak untuk

(11)

berlatih dan mengembangkan ide-ide yang diperoleh dari latihan-latihan tersebut. Selanjutnya, peserta didik menulis teks deskriptif sehingga teks yang dihasilkan lebih koheren dengan memperhatikan penanda kohesi dalam teks tersebut.

2.2.2 Teks Deskriptif

Berdasarkan modul yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berjudul “Modul Bahasa Indonesia: Keterampilan Menulis” (2012:8), diketahui bahwa teks deskriptif adalah tulisan yang berisi tentang beberapa pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat, suasana, atau keadaan.

Selanjutnya, berdasarkan modul dari Board of Studies NSW (1998:85), dapat dipahami bahwa teks deskriptif memiliki fokus pada ciri-ciri suatu benda yang memiliki dua struktur umum, yaitu identification dan description. Berikut ini merupakan pemaparan tentang struktur teks deskriptif.

1) Identification merupakan bagian yang mengidentifikasi fenomena yang dideskripsikan, seperti seseorang yang terkenal, binatang, atau tempat wisata. 2) Description lebih menggambarkan bagian, kualitas, ataupun karakteristik

khusus objek tersebut, seperti warna kulit, potongan rambut, jenis hidung, atau berat badan seseorang. Dalam teks deskriptif, jenis tense yang digunakan biasanya bersifat present tense (simple present tense).

Akhirnya, penelitian ini memperhatikan penulisan teks deskriptif sesuai dengan struktur umumnya yang diintegrasikan dengan strategi yang digunakan dalam proses pembelajaran.

(12)

2.2.3 Strategi Tell and Show

Menurut Peha (2003:33), strategi tell and show merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengajarkan sebuah teks deskriptif kepada peserta didik. Terkait dengan penerapannya dalam proses pembelajaran, strategi ini juga dapat membantu peserta didik untuk mengumpulkan ide-ide pendukung dalam teks deskriptif mereka. Berikut ini merupakan keunggulan dari penerapan strategi tell and show.

1) Melatih peserta didik untuk merinci suatu hal yang akan dideskripsikan serta fokus pada ciri kebahasaan bahasa yang sesuai dengan teks tertentu.

2) Lebih efisien dalam membantu peserta didik saat membuat sebuah teks karena mereka telah mendata hal-hal yang penting untuk dipaparkan.

3) Membantu pembaca untuk mengetahui gambaran mental dari peserta didik dan memahami inti atau gagasan yang ingin disampaikan dalam teks tersebut. Akan tetapi, terdapat kelemahan pada strategi tell and show. Salah satu kelemahan strategi ini adalah hanya dapat digunakan untuk mengajarkan beberapa jenis teks saja, seperti teks deskriptif dan naratif yang mengedepankan kesistematisan dan gambaran suatu tokoh atau binatang. Selanjutnya, strategi ini akan berjalan lebih efektif jika didukung dengan media pembelajaran, seperti flash card. Oleh karena itu, media pembelajaran seperti power point dan flash card digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut.

Dalam implementasinya, terdapat beberapa langkah utama yang perlu diperhatikan. Langkah-langkah penerapan strategi tell and show yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut.

(13)

1) Memberikan sebuah kalimat sederhana (tentang suatu benda, seseorang, binatang, atau tempat) yang harus dideskripsikan oleh peserta didik dan mereka harus menulisnya dalam kolom TELL.

2) Peserta didik memvisualisasikan suatu benda, seseorang, atau tempat yang diberikan.

3) Peserta didik menulis ciri-ciri dan kebiasaan (jika menyangkut seseorang ataupun binatang) pada kolom VISUALIZE AND LIST.

4) Peserta didik menulis teks deskriptif secara utuh pada kolom SHOW sesuai dengan ciri-ciri atau kebiasaan yang telah ditulis sebelumnya.

Berdasarkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menggunakan strategi tell and show, maka berikut ini adalah template yang digunakan dalam penelitian ini.

TELL

Sentence given by the teacher

VISUALIZE AND LIST 1) Identification

2) Description (Characteristics and Behaviors) SHOW (Identification)……….……… ……… (Description)………. ………... ... ………... ...

(14)

2.2.4 Experimental Group dan Control Group

Dalam sebuah penelitian eksperimen ini, khususnya post-test only control group design yang dikemukakan oleh Fraenkel and Wallen (1993), terdapat dua kelas atau kelompok yang digunakan sebagai subjek penelitian, yaitu experimental group dan control group. Berikut ini adalah pemaparan tentang kedua kelompok tersebut.

1) Experimental group adalah kelompok yang mendapatkan serangkaian tindakan dalam proses belajar mengajar berdasarkan strategi yang diajukan atau diuji coba.

2) Control group adalah kelompok yang mendapatkan serangkaian tindakan dengan menerapkan strategi konvensional atau strategi yang biasa digunakan oleh guru.

Dalam penelitian ini, peserta didik di experimental group belajar menyusun teks deskriptif melalui penerapan strategi tell and show, sedangkan control group diajar dengan strategi konvensional yang biasa digunakan oleh guru bahasa Inggris di kelas tersebut.

2.3 Landasan Teori

Pada bagian ini terdapat empat landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Keempat landasan teori yang dimaksud adalah teori pembelajaran konstruktivisme, metode task-based learning, teori analisis wacana, dan tata bahasa dalam teks deskriptif.

(15)

2.3.1 Teori Pembelajaran Konstruktivisme

Pembelajaran merupakan kegiatan dalam upaya meraih pengetahuan. Menurut Brown (2000:7), pembelajaran merupakan suatu proses dalam memeroleh atau mendapatkan pengetahuan terhadap subjek atau keterampilan yang dipelajari melalui belajar, pengalaman, atau instruksi. Selain itu, Brown juga menambahkan bahwa pembelajaran akan menjadi sebuah perubahan perilaku yang relatif tetap jika latihan tepat dilakukan secara berulang-ulang.

Faktanya adalah proses pembelajaran dewasa ini lebih fokus kepada peserta didik (student-centred). Sebagai peserta didik, mereka dituntut untuk menggali informasi dan memperoleh pengetahuan dari aktivitas yang telah dilakukan. Salah satu teori yang berterima dengan tujuan tersebut adalah konstruktivisme. Menurut Bell dan Karhoff (2006:4), suatu proses belajar akan muncul ketika peserta didik menyatu serta terlibat aktif di dalam kelas yang aktivitas-aktivitasnya menekankan pada isi dan keterampilan sesuai dengan apa yang sedang dipelajari. Dengan kata lain, proses pembelajaran akan menjadi efektif ketika peserta didik berpartisipasi secara aktif ke dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini menggunakan teori konstruktivisme, yaitu kegiatan berpusat pada peserta didik. Hal ini bertujuan untuk mendorong peserta didik untuk lebih aktif dan kreatif dalam menggali informasi sehingga proses pembelajaran lebih efektif terutama kepada peserta didik itu sendiri. Melalui penerapan teori ini, peserta didik juga diharapkan mendapatkan pengalaman belajar lebih banyak dan mampu menggali potensi-potensi yang dimiliki secara maksimal.

(16)

2.3.2 Metode Task-based Learning

Dalam proses pengajaran, guru dituntut untuk menggunakan metode pengajaran keterampilan menulis yang dapat mendorong minat dan memotivasi pembelajar agar keterampilan menulisnya dapat meningkat. Metode pengajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis antara lain adalah pembelajaran berbasis tugas (task-based learning). Aplikasi task-based learning pada proses belajar mengajar adalah guru memberikan tugas-tugas yang berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai, yakni tujuan komunikatif.

Selanjutnya, menurut Willis (2004:26--27), task-based learning terdiri atas enam jenis tugas yang dapat diterapkan seperti berikut ini.

1) Pembuatan Daftar

Proses kegiatan ini meliputi dua hal, yakni seperti di bawah ini.

(1) Brainstorming, yaitu peserta didik membagi pengetahuan dan pengalaman mereka pada teman-teman di kelas atau pada kelompoknya. (2) Pencarian fakta, yaitu peserta didik mencari tahu sesuatu dengan

bertanya dan merujuk pada buku. Hasil kegiatan ini berupa draft pemikiran.

2) Pengaturan dan Penyortiran

Tugas ini terdiri atas empat proses utama, yaitu seperti berikut.

(1) Mengurutkan (sequencing items) merupakan perbuatan atau peristiwa yang berurutan secara logis atau kronologis

(2) Memberi level (ranking items) berhubungan dengan nilai-nilai individu atau kriteria yang spesifik.

(17)

(3) Mengategorikan (categorizing items) merupakan pengelompokan sesuai dengan kategorinya.

(4) Mengklasifikasikan (classifying items in different ways) dilakukan saat pengategorian tidak diberlakukan.

3) Perbandingan

Bagian ini bermaksud untuk mengidentifikasikan tujuan atau maksud yang sama dan/atau yang berbeda.

4) Pemecahan Masalah

Tugas-tugas pemecahan masalah menuntut pengetahuan intelektualitas peserta didik dan kekuatan pikiran. Tugas-tugas tersebut menarik dan menyenangkan untuk dipecahkan. Proses-proses pengerjaan dan waktu yang diberikan sangat bervariasi tergantung pada jenis dan kompleksitas masalah. 5) Saling Berbagi Pengalaman Pribadi

Tugas-tugas ini mendorong peserta didik untuk membagi pengalaman mereka dengan peserta didik lain.

6) Tugas Kreatif

Tugas-tugas tersebut juga memiliki lebih banyak tingkat kesulitan dibandingkan dengan tugas-tugas lainnya dan dapat dilakukan pengombinasian beberapa jenis tugas.

Berdasarkan pemaparan teori konstruktivisme sebelumnya, diketahui bahwa terdapat keterkaitan dengan metode task-based learning yang dapat membantu jalannya proses belajar peserta didik di dalam kelas. Penerapan teori konstruktivisme sebagai teori pembelajaran akan memudahkan guru dalam

(18)

menilai situasi belajar yang cocok dengan peserta didik dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pengetahuan dari usaha mereka sendiri. Dalam implementasinya, peserta didik mendapatkan kesempatan mengekspresikan diri terkait dengan sesuatu yang akan dideskripsikan.

Di sisi lain dilihat dari jenis penugasan yang diberikan terkait dengan jenis teks deskriptif, terdapat dua jenis tugas, yaitu pembuatan daftar (listing) serta pengaturan dan penyortiran (ordering and sorting). Selanjutnya, terdapat pula tahapan-tahapan dalam menulis yang perlu diperhatikan di dalamnya dan penerapannya ke dalam proses pembelajaran.

2.3.3 Teori Analisis Wacana

Analisis wacana memiliki fokus pada bahasa. Salah satu diantaranya berbentuk tulisan sehingga para pembaca dapat memahami dengan baik setiap kata-kata yang menyusunnya (Gee, 1999:85). Menurut Arifin (2012:48), terdapat dua komponen penting dalam sebuah wacana jika dilihat dari sisi strukturnya, yaitu kohesi dan koherensi.

2.3.3.1 Kohesi

Dalam menulis sebuah teks, peranan kohesi tidak dapat dilepaskan begitu saja. Hal ini terjadi karena terdapat sekumpulan sumber yang dapat dijadikan sebagai pembentuk hubungan yang melebihi dari sekadar tata bahasa dalam sebuah teks (Halliday, 1994:311). Selanjutnya, Widdowson (2007:46) menyatakan bahwa terdapat penanda kohesi yang dapat menghubungkan bagian-bagian sebuah teks agar menjadi utuh. Oleh karena itu, kohesi dapat dikatakan

(19)

sebagai ‘katalis’ dari bagian-bagian teks yang membuat teks tersebut menjadi utuh dan mudah dipahami oleh pembaca.

Menurut Halliday dan Hasan (1976), terdapat dua jenis kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal memiliki fokus yang lebih pada teks deskriptif. Oleh karena itu, penelitian ini hanya fokus pada komponen kohesi gramatikal.

Dalam kohesi gramatikal terdapat empat penanda, yaitu referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi. Berikut ini merupakan pemaparan dari tiap-tiap penanda yang terdapat pada kohesi gramatikal.

1) Referensi

Referensi digunakan untuk mempermudah pembaca dalam memahami informasi sesuai dengan konteks atau situasi. Terdapat dua jenis referensi, yaitu endofora dan eksofora. Berbeda dengan endofora, eksofora tidak berperan dalam kohesi secara tekstual. Dalam bahasa Inggris, terdapat beberapa contoh yang dapat digunakan seperti penggunaan kata ganti I, you, they, we, she, he, dan it. Selain itu, juga terdapat serta kata sifat untuk menyatakan kepunyaan, seperti my, your, their, our, her, his, dan its.

Contoh: This is a bear. It has a big body. Its fur is brown.

2) Substitusi

Substitusi lebih menekankan pada hubungan kata-kata. Dalam teks deskriptif, substitusi yang biasanya muncul adalah substitusi yang bersifat nominal.

(20)

3) Elipsis

Elipsis merupakan sesuatu yang melesap dalam sebuah teks. Berikut ini contoh elipsis.

Contoh: (a) The pandas like to eat bamboo. (b) They like to swim in a pool.

(c) The pandas like to eat bamboo and swim in a pool.

Elipsis terjadi pada kata ganti they dan like dalam kalimat (b) sehingga kalimat (c) menjadi The pandas like to eat bamboo and swim in a pool. Elipsis ini terjadi karena kata ganti they dalam kalimat (b) mengacu pada the pandas dalam kalimat (a), sedangkan kata kerja like melesap karena kata kerja serupa sudah digunakan pada kalimat (a) sehingga kalimat (c) menjadi lebih efektif.

4) Konjungsi

Konjungsi digunakan untuk menghubungkan satu proposisi dengan proposisi lain agar ide, baik dalam satu kalimat maupun antarkalimat, dapat terhubung dengan baik. Pada teks deskriptif, terdapat beberapa konjungsi yang biasanya ditemukan, seperti and, and also, or, in the other words, in fact, only, but, then, because, dan next.

2.3.3.2 Koherensi

Penyusunan sebuah teks tentunya memiliki tujuan untuk menuangkan ide atau gagasan para penulisnya. Oleh karena itu, kalimat-kalimat yang menyusun teks tersebut hendaknya dipaparkan dengan sistematis sehingga mudah dipahami oleh para pembaca. Bila dikaitkan dengan hal tersebut, maka keselarasan penyampaian

(21)

ide menjadi hal yang perlu diperhatikan, yang dalam konteks ini adalah koherensi teks itu sendiri.

Menurut Martin (2001:35), koherensi merupakan aspek yang penting dalam sebuah teks agar mudah dipahami oleh pembacanya. Jorgensen dan Philips (2002:75) menyatakan bahwa kekoherensian pada sebuah teks hendaknya dijaga dan diperhatikan oleh penulis agar ide yang dipaparkan mudah ditangkap oleh pembacanya. Selanjutnya, Zaimar dan Harahap (2009:85) menambahkan bahwa koherensi merupakan keterkaitan antara unsur-unsur pada wacana, seperti susunan ide atau gagasan dan hubungan antargagasan tersebut. Dengan kata lain, koherensi mempermudah pembaca untuk memahami makna pada suatu wacana. Oleh karena itu, setiap penulis perlu mencermati dengan baik langkah-langkah penyusunan ide ataupun gagasan dalam sebuah teks agar inti teks yang dibuat menjadi jelas atau tidak membingungkan para pembaca.

Selanjutnya, terdapat tiga macam koherensi pada sebuah wacana, yaitu sebagai berikut.

1) Koherensi pada Tataran Klausa dan Kalimat

Berikut adalah contoh koherensi pada tataran klausa. (1) Panda eats bamboo.

(2) Bamboo eats Panda.

Kalimat (1) di atas berterima karena memang ada kesesuaian antara kata ‘eats’ dan ‘Panda’ yang merupakan seekor binatang besar yang gemar memakan bambu. Sebaliknya, kalimat (2) tidak berterima karena tidak terdapat kesesuaian

(22)

makna yang terjalin antara kata ‘bamboo’ dan ‘eats’ karena yang seharusnya dimakan adalah bambu bukan seekor panda.

2) Koherensi pada Tataran Wacana

Koherensi pada tataran wacana (antarkalimat) sangat erat berkaitan dengan konsep yang dipaparkan. Berikut ini adalah pemaparan tentang koherensi jenis ini.

(1) Kontinuitas Konsep dan Relasi yang Relevan

Zaimar dan Harahap (2009:87) menyatakan bahwa pada sebuah wacana yang ditampilkan bukan hanya kesesuaian antarmakna kata, melainkan juga keberlangsungan antarkonsep yang relevan. Dalam upaya memberikan penjelasan terperinci, disajikan contoh kontinuitas konsep dan relasi yang relevan dalam sebuah teks berikut ini.

The giant panda lives in the forest areas in the central China. It is black and white. It has a short body, short, strong legs and big teeth. It weighs about 150 kilograms. Its main diet is bamboo and it eats for about 12 a day. Pandas live for about 25 years in the wild. There are fewer than 1,000 pandas in the wild and only 100 in zoos. It is an endangered species.

Adapted from: Can Do: Student’s Book 1

Pada contoh di atas, konsep ‘the giant panda’, ‘bamboo’, dan ‘an endangered species’ memiliki hubungan yang erat karena panda merupakan hewan herbivora yang gemar memakan ‘bamboo’. Di samping itu, panda juga merupakan salah satu spesies di dunia yang terancam populasinya.

(23)

(2) Perkembangan

Perkembangan sebuah wacana harus disertai dengan penambahan unsur semantik yang selalu diperbaharui. Hal ini dapat dilihat, baik dari urutan kalimat yang digunakan maupun pada urutan yang berkaitan satu sama lain. Selanjutnya, sebuah teks deskriptif disajikan dalam upaya menjelaskan bagian perkembangan seperti berikut ini.

Uluru National Park is Australia’s top tourist attraction. There are more than 170 different animal species in the park, including wild dogs and kangaroos, lizards, snakes, spiders, and parrots.

The most famous place in our park is Ayers Rock, also known as Uluru. It is 348 metres high and nine kilometres in diameter. The rock can change colour depending on the time of day. It is a fantastic experience to watch this.

There are many spectacular walks in the park but you must always be prepared! Here are some important rules when walking in the park; you must carry water, you must not touch the snakes, you must read every sign, and you must not light fires.

Adapted from: Can Do: Students: Student’s Book 1 Wacana di atas dapat dikatakan memiliki koherensi yang baik karena dalam wacana tersebut tidak hanya terdapat keindahan objek wisata tersebut, tetapi juga peraturan-peraturan yang berlaku untuk menjaga kelestariannya.

(3) Tidak Terdapat Kontradiksi

Sebuah wacana yang koheren hendaknya tidak menunjukkan kontradiksi di dalamnya. Dalam proses penyusunannya, hendaknya susunan ide-ide yang digunakan saling mendukung satu sama lain.

(24)

(4) Terdapat Identitas Individual

Dalam sebuah teks terdapat sebuah hal penting yang dapat membuatnya menjadi koheren, yaitu identitas individual. Dengan kata lain, identitas individual merupakan segala hal yang mampu menjelaskan inti dari sebuah teks dan memiliki acuan yang jelas terhadap konsep-konsep yang dipaparkan.

(5) Perlunya Seleksi ‘Fakta’ yang akan Ditampilkan

Dalam upaya membangun koherensi dalam sebuah teks, perlu adanya perhatian terhadap pemilihan atau penyeleksian “fakta” yang akan ditampilkan. Hal ini penting karena fakta yang dipaparkan dapat saja meluas sehingga dapat menimbulkan kejenuhan bagi pembacanya. Oleh karena itu, penggunaan fakta-fakta yang relevan akan membuat sebuah teks menjadi lebih efektif.

3) Koherensi pada Wacana Deskriptif

Dalam wacana deskriptif umumnya terdapat hubungan antara ruang dan waktu. Hal ini menandakan bahwa objek yang dideskripsikan dapat dilihat dari adanya perubahan ruang dan waktu.

Contoh : Crocodile lives in the river.

Berdasarkan contoh di atas, diketahui bahwa setiap orang biasanya memiliki pandangan yang hampir serupa, yaitu seekor buaya hidup di sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika mendeskripsikan sesuatu, seseorang pasti melihat apa, di mana, dan kapan hal tersebut terjadi atau ditemukan.

(25)

Selanjutnya, dalam sebuah teks, tanda baca juga perlu diperhatikan untuk menentukan apakah teks tersebut memilki koherensi yang baik. Mullik (2010:1) menyatakan bahwa tanda baca dan ejaan penting dalam sebuah hasil tulisan karena akan memudahkan pembaca untuk memberikan penafsiran. Terkait dengan hal tersebut, Greco dkk. (2006:1) menyatakan bahwa tanda baca merupakan simbol dari bahasa itu sendiri. Berdasarkan modul dari Universitas Lincoln (2013:3), dapat dipahami bahwa tanda baca dapat membantu para pembaca untuk memahami makna sebuah kalimat. Penggunaan tanda baca sangat penting dalam menjelaskan makna dari apa yang telah ditulis. Dalam teks deskriptif tanda yang biasanya ditemukan adalah tanda titik (.), koma (,), dan huruf kapital untuk memulai sebuah kalimat. Di sisi lain, menurut Deparment of Education and Training (1998:7) ‘belajar’ untuk menulis yang baik juga meliputi ‘belajar’ untuk memperhatikan ejaan. Dalam bahasa Inggris, tujuan ejaan adalah sebagai berikut.

(1) Untuk membangun sebuah makna.

(2) Untuk memberikan makna yang mudah dimengerti oleh pembaca.

Sehubungan dengan itu, dalam menilai koherensi pada teks, keberadaan tanda baca dan ejaan juga mendapatkan perhatian khusus dalam penelitian ini. Artinya, tidak hanya membantu dalam penyusunan rubrik penilaian, tetapi juga pemaparan data. Dengan kata lain, pemaparan hasil teks deskriptif peserta didik menjadi lebih jelas dan akurat.

Berdasarkan pemaparan tentang analisis wacana yang meliputi aspek penanda kohesi dan koherensi, maka dapat dirumuskan model linguistik. Model linguistik yang dirancang berikut ini digunakan sebagai cakupan materi dalam pembelajaran

(26)

agar menjadi lebih fokus serta menjadi acuan dalam menyusun rubrik penilaian yang sesuai. Berikut ini adalah gambar model linguistik yang dipaparkan.

Gambar 2.2 Model Linguistik

Dalam implementasinya pada penelitian ini, pemahaman tentang penanda kohesi yang mendukung pula meningkatnya koherensi pada sebuah teks menjadi elemen dalam pengajaran yang tentu saja dikaitkan dengan teks deskriptif. Elemen tersebut berupa ciri kebahasaan teks deskriptif yang meliputi tata bahasa dan struktur umum teks deskriptif dijelaskan lebih terperinci pada strategi yang digunakan pada bagian berikutnya.

(27)

2.3.4 Tata Bahasa dalam Teks Deskriptif

Setiap bahasa tentu memiliki ciri ketatabahasaan yang berbeda-beda, tidak terkecuali bahasa Inggris. Pada bahasa Inggris, jenis tata bahasa dikategorikan ke dalam tiga golongan waktu sesuai dengan konteks kapan bahasa itu digunakan seperti berikut ini (Seaton dan Mew, 2007).

1) Present Tense

Tense jenis ini digunakan untuk mengungkapkan suatu fakta atau kebenaran dan kegiatan sehari-hari.

2) Past Tense

Tense jenis ini digunakan dalam mengungkapkan kejadian yang terjadi pada masa lampau. Selain itu, tense ini juga digunakan pada sebuah cerita, dongeng, atau hikayat.

3) Future Tense

Tense ini digunakan dalam menyatakan hal-hal yang belum terjadi, tetapi akan terjadi, seperti menyatakan sebuah rencana.

Terkait dengan penggunaannya dalam teks deskriptif, jenis tense yang ditemukan adalah present tense, terutama simple present tense. Hal ini disebabkan oleh teks deskriptif merupakan teks yang mendeskripsikan sesuatu, yang tentu saja mengungkapkan fakta di dalamnya. Selain itu, teks deskriptif juga dapat digunakan untuk menyatakan kegiatan yang rutin berlangsung dan pernyataan itu diutarakan dalam bentuk tulisan. Berikut ini adalah pola simple present tense menurut Seligson (2012:100--102).

(28)

1) Pola dasar simple present tense (verbal sentence)

1.

Affirmative (+)

a. I/ You/ They/ We + V1 (Infinitive)

I Live in Denpasar.

b. She/ He/ It + V1 (-s atau –es)

She Lives in Denpasar.

2.

Negative (-)

a. I/ You/ They/ We + do not/ don’t +V1

I do not Live in Denpasar.

b. She/ He/ It + does not +V1

She does not Live in Denpasar.

3.

Interrogative (?)

a. Do + I/ you/ they/ we + V1 (?)

Do You live in Denpasar ?

b. Does + she/ he/ it + V1 (?)

Does She live In Denpasar ?

2) Pola dasar simple present tense (nominal sentence)

1.

Affirmative (+)

a. I + am

I am thirteen years old.

b. You/ They/ We + are

They Are thirteen years old.

c. She/ He/ It + is

He Is thirteen years old.

2.

Negative (-)

a. I + am + not

I Am Not thirteen years old.

b. You/ They/ We + are + not

They Are Not thirteen years old.

c. She/ He/ It + is + not

He Is Not thirteen years old.

3.

Interrogative (?)

a. Are you/ they/ we (?)

Are They thirteen years old. ?

b. Is she/ he/ it (?)

(29)

Selanjutnya, dalam penelitian ini penggunaan tata bahasa dalam teks deskriptif ini berposisi sebagai pendukung dalam analisis koherensi. Selain itu, penilaian terkait dengan penggunaan tata bahasa juga digunakan dalam menentukan apakah proses pembelajaran menulis teks deskriptif berjalan baik atau tidak. Berdasarkan teori pembelajaran bahasa yang bersinergi dengan metode pembelajaran, maka strategi tell and show digunakan untuk memberikan gambaran jelas tentang bagaimana menyusun teks yang tidak hanya koheren, tetapi juga dari segi penggunaan tata bahasanya.

Berdasarkan pemaparan tentang konsep dan landasan teori, dapat disimpulkan bahwa teori pembelajaran konstruktivisme sesuai dengan metode task-based learning. Sehubungan dengan itu, strategi tell and show dapat diimplementasikan ke dalam proses belajar mengajar, terutama pada kegiatan menulis teks deskriptif. Dengan kata lain, dalam implementasinya di dalam kelas, strategi tell and show dijadikan salah satu elemen penting dari proses pembelajaran yang diberikan dalam kurun waktu tertentu hingga nantinya didapatkan hasil karya peserta didik berupa teks deskriptif. Bersamaan dengan penggunaan strategi tell and show tersebut, juga terjadi pemahaman tentang penanda kohesi yang dapat membantu sebuah teks deskriptif peserta didik menjadi koheren. Di samping itu, juga diintegrasikan pemahaman tentang bentuk simple present tense agar proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Di pihak lain, pemberian pujian juga dilakukan untuk meningkatkan motivasi peserta didik dan mendapatkan respons yang lebih baik dalam bentuk teks deskriptif.

(30)

Dalam upaya mendukung analisis kualitatif pada penelitian ini dilakukan analisis konstrastif tentang penggunaan kata ganti dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal ini dilakukan untuk membantu dalam menganalisis penyebab kesalahan yang ditemukan dalam teks deskriptif peserta didik. Berikut ini dikemukakan kata ganti yang ditemukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Tabel 2.1 Kata Ganti yang Terdapat pada Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Bahasa Indonesia

Bahasa Inggris

Sebagai subjek Sebagai objek Menyatakan kepemilikan Aku

(Kata ganti orang pertama tunggal)

I Me My

Kamu

(Kata ganti orang kedua tunggal atau jamak)

You You Your

Engkau

(Kata ganti orang kedua tunggal)

Mereka

(Kata ganti orang ketiga jamak)

They Them Their

Kami (Kata ganti orang

pertama jamak)

We Us Our

Kita (Kata ganti orang

pertama jamak) Dia, Ia

(Kata ganti orang ketiga tunggal)

She Her Her

He Him His

It It Its

Penggunaan kata ganti dalam bahasa Indonesia tidak memperhatikan gender subjek atau objek, sedangkan dalam mempelajari bahasa Inggris, peserta didik harus memperhatikan gender agar kata ganti yang digunakan tepat. Sebagai

(31)

contoh, dalam bahasa Indonesia terdapat kata ganti Dia atau Ia, yaitu kata ganti orang ketiga tunggal untuk menunjukkan subjek, baik laki-laki maupun perempuan. Di sisi lain, dalam bahasa Inggris, terdapat kata ganti he, yaitu kata ganti orang ketiga tunggal untuk laki-laki, she untuk perempuan, dan it untuk benda dan binatang.

Hal lainnya adalah dalam bahasa Inggris terdapat perbedaan kata ganti jika digunakan sebagai subjek dan objek pada sebuah kalimat, tetapi tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Kata ganti yang dapat digunakan sebagai objek dalam bahasa Inggris, yaitu me, you, them, us, her, him, dan it. Selanjutnya, terdapat pula kata ganti dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk menyatakan kepemilikan, seperti my, your, their, our, her, his, dan its.

Dengan kata lain, berdasarkan topik teks deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kebun binatang, maka kata ganti yang menjadi permasalahan bagi peserta didik adalah kata ganti they, them, their, she, her, he, him, his, it, dan its. Hal ini terjadi karena peserta didik masih dipengaruhi oleh penggunaan kata ganti dalam bahasa pertama mereka, yaitu bahasa Indonesia ketika mereka belajar bahasa Inggris. Salah satu ketentuan dalam menggunakan kata ganti bahasa Inggris, yaitu harus memperhatikan gender subjek kalimat.

Selain melihat sumber kesulitan yang dapat dialami peserta didik dalam menggunakan kata ganti saat belajar bahasa Inggris, kesulitan juga dapat dihadapi oleh peserta didik ketika menyusun sebuah kalimat yang dalam penelitian ini adalah persesuaian kata kerja pada simple present tense. Dalam bahasa Inggris persesuaian kata kerja berimplikasi pada perubahan infleksional pada verba.

(32)

Perubahan infleksional tersebut terjadi dengan cara menambahkan akhiran –s atau –es pada kata kerja. Hal tersebut sangat berbeda dengan bahasa Indonesia karena tidak mengenal adanya inflectional morphemes –s dan –es. Selain itu, dalam bahasa Indonesia tidak dikenal persesuaian verba untuk bentuk jamak dan tunggal seperti dalam bahasa Inggris. Perbandingan persesuaian kata kerja antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (dalam simple present tense) tersebut dipaparkan ke dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.2 Perbandingan Persesuaian Verba dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

Bahasa Inggris Bahasa Indonesia I + infinitive

Ø You + infinitive

We + infinitive They + infinitive She + infinitive {-s/ -es}

He + infinitive {-s/ -es} It + infinitive {-s/ -es}

Berdasarkan tabel 2.2 di atas, diketahui bahwa bahasa Inggris memiliki persesuaian verba berdasarkan subjek yang digunakan, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak terdapat persesuaian verba untuk subjek jamak dan tunggal. Khususnya pada kalimat dalam bahasa Inggris yang menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal, terdapat inflectional morphemes, yaitu penambahan akhiran –s atau –es pada kata dasar. Dengan kata lain, sumber kesulitan peserta didik dalam menyusun kalimat berbentuk simple present tense adalah pada persesuaian verba, baik gender maupun number, subjek yang digunakan.

(33)

2.4 Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian eksperimen yang berbasis metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan dua kelas VIII di SMP Negeri 1 Denpasar. Berdasarkan pemaparan pada bagian konsep dan teori sebelumnya, dapat dipahami bahwa langkah-langkah yang dilaksanakan dapat dirumuskan ke dalam bagan seperti berikut ini.

(34)

Berdasarkan bagan penelitian di atas, berikut ini dipaparkan lebih terperinci langkah-langkah yang diambil dalam penelitian.

1) Penelitian ini berlandaskan analisis wacana yang mengandung penanda kohesi dalam upaya meningkatkan kualitas teks deskriptif peserta didik. Penanda kohesi menjadi fokus utama penelitian ini karena penanda kohesi dipandang sangat penting dalam membuat sebuah teks menjadi lebih koheren sehingga lebih mudah dipahami.

2) Model penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang dilengkapi dengan pemaparan secara kuantitatif dan kualitatif. Pemaparan secara kuantitatif digunakan untuk memaparkan hasil penelitian berupa angka yang dituangkan ke dalam tabel dan diagram batang, sedangkan secara kualitatif, hasil penelitian tersebut dideskripsikan agar lebih mudah dipahami.

3) Penelitian ini diawali dengan pemberian pre-test terkait dengan keterampilan menulis peserta didik di Kelas VIII. Pelaksanaan pre-test ini juga menjawab rumusan masalah yang pertama, yaitu untuk mengetahui bagaimana penggunaan penanda kohesi yang mendukung koherensi teks tersebut.

4) Penentuan experimental group dan control group dilakukan dengan cara melihat nilai rerata keterampilan menulis dari dua kelas yang hampir serupa sebelum mengadakan pre-test dan mengundi (lottery) kelas yang ditetapkan menjadi experimental group dan control group.

5) Dalam experimental group, teori belajar konstruktivisme diturunkan ke dalam metode task-based learning, strategi tell and show hingga penerapannya pada treatment yang diberikan di dalam kelas.

(35)

6) Dalam control group, pembelajaran menggunakan teori, metode, dan strategi yang biasa (konvensional) digunakan oleh guru pengajar.

7) Penanda kohesi yang mendukung koherensi teks deskriptif juga dapat dilihat dari penggunaan tanda baca, ejaan, dan didukung dengan penggunaan tata bahasa yang sesuai dengan metode dan strategi yang diterapkan di tiap-tiap kelas. Hal ini dilakukan untuk menyamaratakan unsur kebahasaan yang akan diajarkan karena nantinya penelitian eksperimen ini akan melihat pengaruh strategi tell and show terhadap kualitas teks deskriptif peserta didik.

8) Pelaksanaan post-test untuk kedua kelas dilaksanakan setelah serangkaian tindakan diberikan.

9) Penilaian dilakukan dengan mengkaji aspek penanda kohesi dan koherensi yang tidak lepas dari pengaruh ejaan serta penggunaan tata bahasa yang tepat. Dengan kata lain, dalam penilaian ini rubrik akan disesuaikan dengan aspek-aspek tersebut.

10) Penarikan simpulan dilakukan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga.

Hal lainnya adalah untuk memaparkan hasil yang lebih jelas terkait dengan teks deskriptif peserta didik, maka data yang diperoleh berupa angka ditampilkan ke dalam bentuk tabel dan diagram batang sebagai representasi hasil penelitian ini. Selanjutnya, melalui tabel dan diagram batang tersebut, penjelasan secara kualitatif juga diberikan sehingga didapatkan pemaparan arah penelitian ini menjadi lebih jelas.

(36)

2.5 Hipotesis

Berdasarkan teori dan konsep dari strategi tell and show dan keterkaitannya dengan hasil teks deskriptif peserta didik, berikut ini telah disusun hipotesis penelitian ini.

H1: µA1 ≠ µA2

Keterangan

1) µA1 : Nilai rerata experimental group yang diajarkan dengan strategi tell and show

2) µA2 : Nilai rerata control group yang diajarkan dengan strategi konvensional

Berdasarkan rumus tersebut, maka hipotesis penelitian ini dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan kemampuan yang signifikan antara peserta didik yang diajar dengan strategi tell and show dan mereka yang diajarkan dengan strategi konvensional yang biasa digunakan oleh guru mata pelajaran bahasa Inggris.

Gambar

Gambar 2.1 Model template yang diadaptasi dari Peha (2003:36)
Gambar 2.2 Model Linguistik
Tabel 2.1 Kata Ganti yang Terdapat pada Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris  Bahasa Indonesia
Tabel 2.2 Perbandingan Persesuaian Verba dalam Bahasa Indonesia dan   Bahasa Inggris
+2

Referensi

Dokumen terkait

 Antara yang berikut, berikut, manakah manakah bukan bukan  bahan   bahan tambah dalam detergen. tambah

Untuk fungsi yang dapat diubah dalam bentuk eksplisit, turunan fungsi dapat dicari dengan cara seperti yang sudah kita pelajari

Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah menerapkan sistem penilaian ujian essay secara otomatis berbasis web secara online menggunakan metode GLSA, menghasilkan

Menganalisis akurasi metode non-parametrik CTA dengan teknik data mining untuk klasifikasi penggunaan lahan menggunakan citra Landsat-8 OLI serta menerapkan hasil dari KDD

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

Manfaat secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang teknik pertambangan khususnya

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini

Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program antara lain: (1) kebijakan pengelolaan limbah industri komponen alat berat (PLIKAB) sebagai landasan