Priscilla B. Hayner
Setelah Otoritarianisme Berlalu …
Esai-Esai Keadilan di Masa Transisi
Editor
Ifdhal Kasim Eddie Sius R. Laggut
Penerjemah:
Tim Penerjemah ELSAM
Editor:
Eddie Sius R. Laggut
Desain Sampul:
Layout:
Cetakan Pertama, Desember 2001
Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Penerbit
ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
“Ketika masa-masa rezim otoritarian atau perang saudara berlalu, negara dan rakyatnya seolah berdiri di simpang jalan. Masa yang berlalu itu sarat dengan kisah tragis dan horor. Sejarahnya bergelimang darah korban, pelaku yang haus darah, mayat-mayat yang dikuburkan entah di mana, ketakutan yang mencekam, dan arogansi penguasa. Terhadap semua itu, apakah yang bisa dilakukan? Bongkar atau biarkan berlalu begitu saja? Atau, mengakui dan meminta maaf? Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang hidup dalam suasana saling bermusuhan, yang sejarahnya adalah sejarah kekerasan dan luka, disatupadukan dan direkonsiliasikan? Apa yang mesti dilakukan terhadap ratusan bahkan ribuan pelaku tindak kekerasan masa lalu itu yang tetap bebas berkeliaran dengan santainya? Dan bagaimana pula sebuah pemerintahan yang baru – yang menggantikan rezim sebelumnya yang otoriter – mencegah terulangnya kekejaman itu di masa depan? … masyarakat sebagai satu keutuhan harus menemukan jalan keluar untuk meneruskan geliat kehidupan, mencipta ulang ruang nasional yang damai dan layak dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa lampau, dan mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri”.
Paragraf di atas adalah kutipan dari buku Priscilla B. Hayner yang berjudul
Unspeakable Truths: Confronting State Terror and Atrocity (New York: Routledge, 2001: hlm. 4). Adapun buku yang sedang Anda baca ini juga berasal dari pengarang yang sama. Bedanya, buku yang disebutkan di atas adalah sebuah buku utuh, sedangkan buku ini merupakan kumpulan esai, makalah, artikel yang ditulis Hayner selama perjalanan karyanya menggeluti masalah hak asasi manusia. (Sebagaimana tertulis dalam keterangan tentang penulis dalam buku yang disebutkan di atas, Hayner telah menggeluti ide, gagasan, konsep dan permasalahan menyangkut komisi kebenaran selama hampir satu dekade penuh. Ia mendiskusikan masalah komisi kebenaran dan rekonsiliasi dengan berbagai pemerintahan dan organisasi di seluruh dunia, termasuk dengan PBB dan Ford Foundation. Belakangan ia menggeluti hal yang sama di Sierra Leone, Timor Timur, dan Indonesia.)
Sebagai sebuah kompilasi atau antologi esai, buku ini tentunya tidak bisa menghindari pengulangan-pengulangan kecil di sana sini. Namun demikian, kelemahan ini justru bisa menjadi kekuatan laksana irama musik atau bunyi sajak yang berulang-ulang dalam harmoni. Artinya, ada penegasan terhadap pesan yang mau disampaikan.
ii
Sebagaimana dikatakan Hayner dalam kutipan di atas, apakah yang harus dan bisa kita lakukan dalam menghadapi warisan kekerasan masa lalu? Bagaimana kita bisa menyelesaikannya jika masa lalu itu ternyata diliputi kabut hitam? Maka, langkah pertama yang diangkat adalah pencarian kebenaran. Mengacu pada Jürgen Habermas, kebenaran yang kita maksudkan tentunya adalah kebenaran yang meliputi tiga aspek, yaitu kebenaran faktual, normatif, dan kebenaran yang menjadi kebenaran jika dinyatakan dengan cara yang benar pula. Di sinilah ide tentang komisi kebenaran menemukan urgensitasnya sekaligus signifikansinya, sebuah komisi yang diserahi tanggung jawab dan kekuasaan khusus untuk melakukan berbagai upaya entah dengan investigasi, riset, wawancara, maupun public hearing, dsb., demi mendapatkan kebenaran tentang berbagai peristiwa dan kejadian masa lampau yang sebelumnya ditutup-tutupi dengan tirai hitam rezim otoritarian. Inilah yang menjadi pesan utama dalam bab 1, “Menghadapi Warisan Kekerasan: Sumbangan Komisi Kebenaran”, dari buku ini.
Komisi kebenaran adalah sebuah jalan keluar alternatif, bukan satu-satunya. Harus kita akui itu. Sebagai salah satu tawaran, ia tidak luput dari kekurangan potensial. Oleh karena itu, sebelum ia diterjunkan pada aras praktek, sebelumnya perlu ditanyakan: “apakah ia justru mendatangkan konflik baru?” Bagaimanapun juga, komisi ini hadir di antara dua tegangan: pihak yang bersikukuh mempertahankan kebohongan sejarah dan pihak yang berambisi membongkar penipuan masa lalu. Keduanya memiliki alasan masing-masing yang bisa logis bisa tidak. Menyadari ini sejak awal akan membuat kita awas dan cermat dalam merumuskan tugas dan wewenang komisi kebenaran, terutama dalam masa transisi berikut segala karakteristik khas periode transisional yang merupakan “wilayah abu-abu”. Tentang kecemasan ini diuraikan dalam karangan bab 2, “Menggali Masa Lalu: Apakah Komisi Kebenaran Dapat Menyebabkan Konflik”.
Bab 3, “Memperjuangkan Keadilan dan Rekonsiliasi, Sumbangan Komisi Kebenaran” kembali menegaskan misi utama pembentukan komisi ini yaitu demi tegaknya keadilan. Keadilan berdasarkan kebenaran. Selain itu, penggalian kebenaran itu sendiri diupayakan dalam semangat demi terciptanya rekonsiliasi. Kebenaran menjadi landasan berdirinya keadilan, dan keadilan menjadi roh bagi rekonsiliasi yang sejati.
Inilah tugas berat komisi kebenaran yang efektif, yang mengantar pada perubahan dan pencerahan. Oleh karena itu, ketelitian dan kecermatan dalam menjalankan tugasnya sangat ditekankan. Ia harus cermat dalam “mencatat fakta-fakta” tentang peristiwa kejahatan masa lalu. Ia harus cerdas dalam mengecek “kebenaran laporan pelapor” dan kesaksian para korban ataupun pelaku (bab 4).
Konsep dan institusi yang bernama komisi kebenaran ini bukanlah sesuatu yang terbang mengawang. Banyak negara yang sudah mempraktekkannya, kendati dengan berbagai nama dan rumusan. Maka, Hayner pun, seolah kurang percaya dan seakan-akan berambisi meyakinkan kita dengan menyodorkan sebuah contoh, menunjuk Komisi Kebenaran di Guatemala sebagai salah satu bahan untuk studi banding. Hayner sangat serius menguraikan bagian ini dengan menyajikan detail-detail yang dijalin dalam logika yang komprehensif dan cermat (bab 5).
iii
kebenaran ini. Maka, dalam bab 6, Hayner menunjukkan beberapa prinsip yang menjadi “Panduan Internasional Bagi Pembentukan dan Pelaksanaan Kerja Komisi Kebenaran”. Prinsip-prinsip itu kita temukan, sebagai salah satu contoh, dalam panduan yang diterbitkan oleh Sub-Komisi PBB Bagi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Terhadap Minoritas yang menggarisbawahi “hak atas kebenaran” dan merekomendasikan sebuah standar universal bagi perlindungan dan keterjangkauan bukti-bukti dokumenter, dan menyerukan dibentuknya suatu komisi ekstra-yudisial untuk penyelidikan yang dibentuk untuk menetapkan fakta-fakta. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut juga merekomendasikan beberapa hal prinsipil seperti berikut: tidak dapat digantinya anggota komisi penyelelidikan, bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan komisi harus segera diamankan dan diselamatkan bagi penggunaannya kemudian oleh pengadilan, penyebutan nama terduga sebaiknya perlu dengan jaminan, … komisi dan pengadilan diberikan akses seluas-luasnya.
Beberapa negara yang pernah melalui masa-masa gelap dalam sejarahnya telah membentuk komisi kebenaran, kendatipun ada juga yang tidak. Ada yang mencatat keberhasilan – semisal Afrika Selatan – namun ada pula yang menorehkan kegagalan. Selebihnya, ada yang tidak jelas. Dalam konteks Indonesia, kita tengah menggulirkan ide, gagasan, konsep tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Maka, karangan reflektif dan kritis berjudul “Pembentukan Komisi Kebenaran: Pertanyaan Penelitian Lebih Lanjut” sangatlah tepat untuk dicantumkan pada bagian penutup (bab 7) yang semoga bisa mengingatkan kita untuk tetap semangat dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, rekonsiliasi demi terjaminnya hak asasi manusia dan mulusnya demokratisasi di negeri kita. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita menyisihkan sedikit waktu untuk merenung dan memikirkan kembali apa-apa yang perlu kita siapkan dalam perjuangan ke depan. Bab 7 dari buku ini sedikit banyak bisa membantu kita ke arah itu.
Setelah lebih dari 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan dukungan ideologi militerisme yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belum menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orang cenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran yang sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai dampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampak traumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat, resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upaya untuk melepaskan diri dari negara RI
Salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentum awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim dari rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnya
transitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada “sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnya adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum, sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan.
Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAM masa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah yang harus dibuat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan? Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinya kekerasan atau pelanggaran HAM yang sama pada masa depan?
Banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab bersama itulah yang menggugah kami, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justice
ini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu pada literatur negara lain yang nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata. Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesia untuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir. Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknya menyikapi masa lalu” yang selama ini seolah-olah terpinggirkan.
Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkan sebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkan dengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar dan mendesak yang harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.
tertentu. Itulah mengapa, kendatipun semua uraiannya menukik pada satu tema yang sama, namun pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini sangat multidimensional dengan karakter komprehensionalitas bahasan yang cukup kental. Sekaligus hal ini menggambarkan bahwa betapa sangat rumitnya kekerasan masa lalu itu baik pada tataran teoritis maupun praktis. Tidak kurang di sini ada pendekatan filosofis yang mencoba menelusup jauh ke dalam wilayah kelam kekerasan itu. Ia mempertanyakan berbagai ide dasar, gagasan, konsep, keyakinan yang menjadi pembungkus wajah keras masa lalu itu, termasuk mempertanyakan pertanyaan tentang kekerasan itu sendiri. Ada pula pendekatan historis yang menawarkan penjelajahan ruang dan waktu dengan menampilkan berbagai pengalaman negeri lain dalam penyelesaian tindak kejahatan hak asasi manusia di masa lalu. Selain itu, ada pula yang membedahnya dengan pisau analitis – sebab bagaimanapun, karakter kekerasan itu sendiri sangat beragam – namun tetap dalam bingkai komprehensif. Itulah beberapa di antara berbagai pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini.
Prakata Seri
Pengantar Penerbit Daftar Isi
1 Menghadapi Warisan Kekerasan: Sumbangan Komisi Kebenaran
Meningkatnya Pengggunaan Pencarian Kebenaran Sebagai Alat Transisi
Memahami dan Mencegah Penyiksaan: Apa Sumbangan Komisi Kebenaran?
Pertimbangan-Pertimbangan Khusus
2 Menggali Masa Lalu: Apakah Komisi Kebenaran Dapat Menyebabkan Konflik
Komisi Kebenaran: Sumbangan Terhadap Perdamaian dan Rekonsiliasi
Konflik dan Rekonsiliasi: Studi-Studi Kasus
Komisi Kebenaran dan Transisi
3 Memperjuangkan Keadilan dan Rekonsiliasi, Sumbangan Komisi Kebenaran
Pengantar
Mengupayakan Keadilan Berdasarkan Kebenaran?
Pikiran-Pikiran Tentang Rekonsiliasi
Resep Kelayakan dan Perkiraan Efektivitas Sebuah Komisi Kebenaran
4 Mencatat Fakta-Fakta dan Kebenaran Laporan Pelapor
Suatu Tinjauan yang Lebih Dalam Terhadap Perjanjian untuk Membentuk Komisi Klarifikasi
di Guatemala
Beberapa Aspek yang Membutuhkan Klarifikasi
Mengindividukan Pertanggungjawaban
Periode Waktu yang Tercakup
Hal-Hal Lain
Kekuasaan dan Dampak Komisi
6 Panduan Internasional Bagi Pembentukan dan Pelaksanaan Kerja Komisi Kebenaran: Sebuah Usulan Awal
Pengantar
Meningkatnya Jumlah Komisi Kebenaran
Keberatan: Hidup Kembalinya Horor Masa Lalu
Panduan Internasional: Usulan Awal
Kesimpulan
7 Pembentukan Komisi Kebenaran: Pertanyaan Penelitian Lebih Lanjut
Apa Itu Komisi Kebenaran?
Mengapa Komisi Kebenaran?
Pelajaran dari Komisi-Komisi Sebelumnya
Tantangan Dalam Mencari Kebenaran
Sebuah Sinopsis
Dalam bab 1, “Menghadapi Warisan Kekerasan: Sumbangan Komisi Kebenaran”, Hayner mengangkat beberapa pertanyaan mendasar soal sikap kita baik ideal maupun praktis tapi bukan pragmatis semata terhadap warisan kekerasan masa lalu. Bagaimana kita bisa menyelesaikannya jika masa lalu itu ternyata diliputi kabut hitam? Maka, langkah pertama yang diangkat adalah pencarian kebenaran. Mengacu pada Jürgen Habermas, kebenaran yang kita maksudkan tentunya adalah kebenaran yang meliputi tiga aspek, yaitu kebenaran faktual, normatif, dan kebenaran yang menjadi kebenaran jika dinyatakan dengan cara yang benar pula. Di sinilah ide tentang komisi kebenaran menemukan urgensitasnya sekaligus signifikansinya, sebuah komisi yang diserahi tanggung jawab dan kekuasaan khusus untuk melakukan berbagai upaya entah dengan investigasi, riset, wawancara, maupun public hearing, dsb., demi mendapatkan kebenaran tentang berbagai peristiwa dan kejadian masa lampau yang sebelumnya ditutup-tutupi dengan tirai hitam rezim otoritarian. Inilah yang menjadi pesan utama dalam bab satu dari buku ini.
Komisi kebenaran adalah sebuah jalan keluar alternatif, bukan satu-satunya. Sebagai salah satu tawaran, ia tidak luput dari kekurangan potensial. Oleh karena itu, sebelum ia diterjunkan pada aras praktek, sebelumnya perlu ditanyakan: “apakah ia justru mendatangkan konflik baru?” Bagaimanapun juga, komisi ini hadir di antara dua tegangan: pihak yang bersikukuh mempertahankan kebohongan sejarah dan pihak yang berambisi membongkar penipuan masa lalu. Keduanya memiliki alasan masing-masing yang bisa logis bisa tidak. Menyadari ini sejak awal akan membuat kita awas dan cermat dalam merumuskan tugas dan wewenang komisi kebenaran, terutama dalam masa transisi berikut segala karakteristik khas periode transisional yang merupakan “wilayah abu-abu”. Tentang kecemasan ini diuraikan dalam karangan bab 2, “Menggali Masa Lalu: Apakah Komisi Kebenaran Dapat Menyebabkan Konflik”.
Bab 3, “Memperjuangkan Keadilan dan Rekonsiliasi, Sumbangan Komisi Kebenaran” kembali menegaskan misi utama pembentukan komisi ini yaitu demi tegaknya keadilan. Keadilan berdasarkan kebenaran. Selain itu, penggalian kebenaran itu sendiri diupayakan dalam semangat demi terciptanya rekonsiliasi. Kebenaran menjadi landasan berdirinya keadilan, dan keadilan menjadi roh bagi rekonsiliasi yang sejati. Dalam bab 4, Hayner menekankan bahwa inilah yang menjadi tugas berat komisi kebenaran yang efektif, yang mengantar pada perubahan dan pencerahan. Oleh karena itu, ketelitian dan kecermatan dalam menjalankan tugasnya sangat ditekankan. Ia harus cermat dalam “mencatat fakta-fakta” tentang peristiwa kejahatan masa lalu. Ia harus cerdas dalam mengecek “kebenaran laporan pelapor” dan kesaksian para korban ataupun pelaku.
ii
komprehensif dan cermat (bab 5).
Sebagaimana isu hak asasi manusia telah menjadi keprihatinan internasional dan universal, demikian juga konsep komisi kebenaran – yang merupakan salah satu institusi yang diharapkan bisa menjamin penegakan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia – juga menjadi bagian dari kebijakan internasional. Lembaga internasional semacam PBB, Amnesti Internasional, dll., sangat serius mendukung kerja komisi kebenaran ini. Maka, dalam bab 6, Hayner menunjukkan beberapa prinsip yang menjadi “Panduan Internasional Bagi Pembentukan dan Pelaksanaan Kerja Komisi Kebenaran”. Prinsip-prinsip itu kita temukan, sebagai salah satu contoh, dalam panduan yang diterbitkan oleh Sub-Komisi PBB Bagi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Terhadap Minoritas yang menggarisbawahi “hak atas kebenaran” dan merekomendasikan sebuah standar universal bagi perlindungan dan keterjangkauan bukti-bukti dokumenter, dan menyerukan dibentuknya suatu komisi ekstra-yudisial untuk penyelidikan yang dibentuk untuk menetapkan fakta-fakta. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut juga merekomendasikan beberapa hal prinsip-prinsipil seperti berikut: tidak dapat digantinya anggota komisi penyelelidikan, bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan komisi harus segera diamankan dan diselamatkan bagi penggunaannya kemudian oleh pengadilan, penyebutan nama terduga sebaiknya perlu dengan jaminan, … komisi dan pengadilan diberikan akses seluas-luasnya.
Beberapa negara yang pernah melalui masa-masa gelap dalam sejarahnya telah membentuk komisi kebenaran, kendatipun ada juga yang tidak. Ada yang mencatat keberhasilan – semisal Afrika Selatan – namun ada pula yang menorehkan kegagalan. Selebihnya, ada yang tidak jelas. Dalam konteks Indonesia, kita tengah menggulirkan ide, gagasan, konsep tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Maka, karangan reflektif dan kritis berjudul “Pembentukan Komisi Kebenaran: Pertanyaan Penelitian Lebih Lanjut” sangatlah tepat untuk dicantumkan pada bagian penutup (bab 7) yang semoga bisa mengingatkan kita untuk tetap semangat dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, rekonsiliasi demi terjaminnya hak asasi manusia dan mulusnya demokratisasi di negeri kita. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita menyisihkan sedikit waktu untuk merenung dan memikirkan kembali apa-apa yang perlu kita siapkan dalam perjuangan ke depan. Bab 7 dari buku ini sedikit banyak bisa membantu kita ke arah itu.
Menghadapi Warisan Kekerasan:
Sumbangan Komisi Kebenaran
1Pada saat-saat terjadinya transisi menyusul pergantian terhadap rezim yang menindas dan
brutal, negara dan rakyat suatu negara sering diwarisi oleh sejumlah persoalan kekerasan,
penderitaan, trauma – dan sering dengan ratusan atau bahkan ribuan pelaku yang layak
untuk dihukum dan diproses ke pengadilan atas kejahatan mereka. Tetapi pengalaman
proses pengadilan yang berhasil atas dan setelah masa kekejaman yang luas ini sangat
terbatas. Penyebabnya bisa berupa sistem peradilan yang mempunyai sumber daya yang
terbatas dan bisa juga, kadang-kadang, karena kompromi politik. Itulah sebabnya,
perjuangan untuk menghadapi kejahatan-kejahatan yang luas dan secara politis luar biasa
itu (contentious) tidak bergigi. Dalam perjuangan untuk menghadapi kekejaman-kekejaman masa lalu dengan pilihan-pilihan yang terbatas dan dengan suatu
pandangan menuju pembangunan kebudayaan hak asasi manusia di masa depan, banyak
pemerintahan baru akhirnya kembali kepada mekanisme-mekanisme di luar sistem
peradilan, baik untuk menyelesaiakan maupun untuk belajar dari kejahatan-kejahatan masa
lalu yang menakutkan tersebut. Dewasa ini terlihat bahwa telah ada minat yang terus
meningkat, khususnya, terhadap mekanisme pencarian kebenaran secara resmi, melalui
pembentukan komisi-komisi sementara, untuk menggali, menyelidiki dan menganalisis
Lembaga pencari kebenaran transisional semacam itu telah menjadi semakin umum
di tahun 1990-an dan sering mengambil nama “komisi kebenaran”. Sebagai sebuah komisi
yang mempunyai kewenangan memberikan sanksi resmi dan didirikan oleh pemerintah
(dan kadang-kadang dengan persetujuan kelompok oposisi bersenjata sebelumnya)
lembaga-lembaga ini berfokus pada proses dokumentasi dan penyelidikan pola-pola
pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, dan menetapkan rekomendasi-rekomendasi
tentang bagaimana cara mencegah terulangnya kembali praktek-praktek semacam itu di
masa depan. Masing-masing lembaga pencari kebenaran ini sampai sekarang bersifat unik,
berbeda dalam bentuk, struktur dan mandat dari yang sudah pernah ada sebelumnya.
Pada kenyataannya, tidak semuanya secara formal disebut komisi kebenaran: di
Guatemala misalnya, disebut “Komisi Penjelas Sejarah” yang merupakan hasil proses
negosiasi perjanjian damai Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di Argentina, disebut “Komisi
untuk Orang-Orang Hilang”, dan di beberapa negara bahkan hanya disebut Komisi
Penyelidikan. Tetapi lembaga-lembaga ini semuanya memiliki unsur-unsur umum tertentu
yang sama dan dibentuk dengan tujuan yang hampir sama. Dengan istilah “komisi
kebenaran” jelas dimaksudkan suatu jenis komisi penyelidik khusus yang jujur dibentuk.
Ada empat ciri umum komisi ini. Pertama, ia akan berfokus pada isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Kedua, ia tidak menyelidiki hanya satu peristiwa khusus, tetapi catatan pelecehan hak asasi manusia selama suatu periode waktu tertentu (sering hanya menunjuk
sejumlah kasus untuk menunjukkan dan menggambarkan pola-pola atau besarnya jumlah
pelecehan). Ketiga, komisi ini merupakan lembaga sementara, yang pada umumnya berakhir dengan penyerahan suatu laporan. Dan keempat, sebuah komisi kebenaran sering secara resmi diberi kewenangan oleh pemerintah (dan atau oleh oposisi, jika ada) untuk
menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Sanksi dan kewenangan resmi ini,
memungkinkannya memiliki kekuasaan lebih, akses terhadap informasi dan perlindungan
1
Makalah ini disusun tanggal 30 November 1997, dan sedianya akan diterbitkan dalam buku tentang penyiksaan yang diedit oleh Bertil Duner, Swedish Institute of International Affairs, 1998. Penelitian untuk tulisan ini dimungkinkan berkat bantuan keuangan (grants) dari John D. and Chatherine T. MacArthur Foundation dan United States Institute of Peace. Pendapat, temuan dan kesimpulan ataupun rekomendasi-rekomendasi yang dinyatakan dalam paper ini merupakan pikiran penulis dan tidak harus mencerminkan pandangan MacArthur Foundation atau the Institue of Peace. Priscilla B. Hayner dapat dihubungi di 427 Third St.#4, Brooklyn, NY 11215; Tel. 718-788-6239; Fax: 718-788-0292; email
untuk melakukan penyelidikan dan suatu kemungkinan yang lebih besar bahwa
kesimpulan-kesimpulan ataupun rekomendasinya akan diberikan pertimbangan yang
serius.
Kita hendaknya memperhatikan benar-benar ada perbedaan antara berbagai komisi
ini, karena setiap negara harus membentuk prosesnya sesuai dengan konteks historis,
politis dan budayanya sendiri. Tidak seperti pengadilan, yang pada umumnya berstatus
sebagai lembaga permanen, dan karenanya mempunyai norma-norma internasional tentang
struktur, komponen, kekuasaan dan standar-standar minimal sebagai patokan bagi
pelaksanaan tugasnya, maka ada banyak aspek komisi kebenaran yang akan berbeda atau
berubah-ubah dari negara ke negara. Beberapa komisi diberikan kekuasaan sub-poena,
atau bahkan kewenangan mencari dan menyita yang lebih kuat, dan melaksanakan
persidangan publik di depan kamera televisi. Beberapa yang lainnya melakukan semua
proses penyelidikan dan wawancara dengan para korban dan saksi secara tertutup, dan
mungkin tidak memiliki kekuasan memaksa saksi untuk memberikan kesaksian, dan
membuka keterangan-keterangan ke masyarakat hanya melalui sebuah laporan akhir.
Demikian juga mandat komisi akan berbeda-beda terhadap jenis-jenis pelecehan yang
harus diselidiki, dan barangkali termasuk tindakan-tindakan oleh kelompok oposisi
bersenjata ataupun oleh pasukan pemerintah, misalnya. Atau barangkali wewenangnya
terbatas pada praktek-praktek pelanggaran khusus seperti penghilangan.
Perbedaan-perbedaan semacam itu merupakan cerminan wajar terhadap
perbedaan-perbedaan di negara-negara pelaksananya seperti dalam hal kebutuhan, sejarah,
budaya politik ataupun masalah-masalah politik lainnya.
Komisi kebenaran dapat memainkan peranan yang menentukan di negara yang
sedang berjuang untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan tentang sejarah
kejahatan-kejahatan hak asasi manusia yang luas. Sejumlah komisi kebenaran telah
mencatat keberhasilan yang luar biasa: misalnya hasil penyelidikannya disambut baik oleh
para korban kekerasan atau oleh para pembela hak asasi manusia; juga laporannya dibaca
secara luas, ringkasan fakta dianggap mencakup semua dan adil serta jujur. Komisi-komisi
semacam itu sering dirujuk mempunyai akibat “katarsis” dalam masyarakat, karena
memenuhi langkah penting untuk memberikan pengakuan yang resmi terhadap masa-masa
sangat berhasil. Beberapa di antaranya dianggap sangat kurang jujur dan lengkap dalam
memberikan pertanggungjawaban terhadap masa lalu – terbatas oleh mandatnya, oleh
hambatan-hambatan politis atau oleh akses yang terbatas terhadap informasi, atau karena
kekurangan tenaga yang mendasar misalnya – atau hanya melaporkan sedikit “kebenaran”.
Beberapa laporan komisi telah disimpan dan dibuat tetap rahasia setelah diserahkan ke
pemerintah.
Sebuah komisi kebenaran haruslah dibedakan dari kantor hak asasi manusia
pemerintah yang didirikan untuk mengawasi pelecehan hak asasi manusia yang sedang
terjadi, dan juga dari proyek dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia masa lalu oleh
organisasi-organisasi non-pemerintah. Ada juga perbedaan-perbedaan penting lainnya
antara berbagai komisi kebenaran ini dengan proses peradilan kejahatan, dengan berbagai
perbedaan penting baik dalam konteks kekuatan maupun kelemahannya. Sebuah komisi
kebenaran tentu bukanlah suatu pengadilan hukum; ia tidak menentukan liabilitas
(liability) kejahatan orang-perorangan ataupun memberikan sanksi atas kejahatan yang dilakukan. Di sisi lain, sebuah komisi kebenaran dapat melakukan banyak hal yang tidak
dapat dilakukan atau pada dasarnya tidak mau dilakukan oleh lembaga pengadilan. Proses
peradilan berfokus pada tindakan-tindakan khusus oleh orang-perorangan tertentu;
sedangkan komisi kebenaran berfokus pada pola-pola besar dari keseluruhan kejadian.
Memang benar bahwa beberapa proses pengadilan membantu memperjelas (shed light)
pola-pola umum pelanggaran hak asasi, tetapi ini pada dasarnya bukan merupakan fokus
tujuannya.2 Juga, pengadilan tidak secara khusus menyelidiki faktor-faktor sosial atau
politik yang menyebabkan kekerasan tersebut, atau struktur internal pasukan-pasukan
pelanggar, seperti pasukan penembak, atau cabang-cabang intelijen angkatan bersenjata,
yang semuanya mungkin menjadi fokus dari sebuah komisi kebenaran. Pengadilan tidak
menyerahkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan atau anjuran-anjuran bagi pembaruan
politik, militer dan peradilan. Dan akhirnya, walaupun catatan-catatan pengadilan mungkin
saja terbuka pada publik, tetapi opini-opini pengadilan pada dasarnya tidak diedarkan serta
2
dibaca secara luas, sebagaimana menjadi ciri umum laporan-laporan komisi kebenaran.
Singkatnya, kekuatan-kekuatan komisi kebenaran terletak pada wilayah-wilayah di luar
wilayah yang menjadi ukuran kehandalan sebuah lembaga pengadilan.
Mirip dengan itu, lembaga pencari kebenaran semacam itu harus dibedakan dari
lembaga pengadilan ad-hoc international (tribunal), seperti Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Tribunal for the Former Yugoslavia) atau Pengadilan Kejahatan untuk Rwanda (Criminal Tribunal for Rwanda), yang dua-duanya dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa; atau juga Pengadilan Kejahatan Internasional
yang tetap atau permanen sebagaimana telah diusulkan. (Dan sekarang lembaga termaksud
telah dibentuk berdasarkan Statuta Roma, yang dikenal dengan nama “International Criminal Court” yang berkompetensi menangani empat jenis kejahatan: genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi – penyunting). Berbagai pengadilan ad-hoc internasional ini telah didirikan dalam rangka menjawab kekerasan negara secara luas, tetapi mereka berfungsi dengan tujuan dan kekuasaan
sebagai sebuah pengadilan, yang sangat berbeda dari fungsi sebuah komisi penyelidik,
yang biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih kecil tetapi juga lebih besar dari sekadar
cakupan wewenang sebuah komisi penyelidik.
Meningkatnya Pengggunaan Pencarian Kebenaran Sebagai Alat Transisi
Komisi kebenaran bertambah sangat cepat di seluruh dunia dan telah mendapat perhatian
yang semakin meningkat pada tahun-tahun belakangan ini.3 Walaupun telah ada sekitar
dua puluh lembaga semacam itu pada masa tiga tahun belakangan, tetapi beberapanya
hanya mendapatkan perhatian internasional yang terbatas – seperti di Chad, Sri Lanka,
Uganda dan Filipina – kecuali mungkin perhatian dan liputan yang cukup luas dari pers dan
masyarakat nasional. Beberapa yang lain, seperti komisi kebenaran dan rekonsiliasi di
Afrika Selatan, yang berakhir pada tahun 1998; atau Komisi Kebenaran yang disponsori
Perserikatan Bangsa-Bangsa di El Salvador, yang mengakhiri kerjanya pada tahun 1993;
3
Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi di Chili, yang merampungkan
tugasnya pada tahun 1991; atau Komisi untuk Orang-Orang Hilang di Argentina, yang
mengumumkan laporannya pada tahun 1984, telah mendapatkan perhatian internasional
dan telah membantu menentukan kerja dan bentuk model-model baru untuk komisi serupa
yang sedang didirikan di berbagai negara.
Karena komisi kebenaran per defenisi merupakan lembaga yang diberi sanksi
pemerintah, maka ia dapat memainkan peran kuat yang khusus dalam sebuah transisi. Jika
komisi ini dioperasikan dengan baik, maka ia dapat berguna untuk memulai suatu proses
pembaruan yang serius, menawarkan reparasi bagi para korban dan memperkuat berbagai
bentuk pertanggungjawaban lainnya. Bila dibandingkan dengan proyek-proyek
non-pemerintah, status resmi komisi kebenaran mungkin akan memberinya akses yang
lebih besar terhadap informasi dan dokumentasi-dokumentasi pemerintah, jaminan
keamananan atau perlindungan yang lebih besar dalam kerja penyelidikannya, dan
perhatian yang lebih luas dari pers dan komunitas internasional, serta penyebarluasan
laporan yang lebih luas. Tentu saja, selalu harus ada kepedulian bahwa sebuah lembaga
pencari kebenaran yang dibentuk pemerintah akan didirikan tanpa komitmen yang setara
untuk melakukan pembaruan yang nyata. Sebuah komisi itu sendiri tidak memiliki
kekuasaan untuk melakukan pembaruan atau membuat perubahan kebijakan, dan karena
itu harus tergantung pada kemauan dan kepentingan politik pemerintah untuk menjalankan
rekomendasi-rekomendasinya.
Amerika Latin memiliki sejumlah komisi hak asasi manusia yang cukup terkenal
sekarang ini. "Komisi Nasional untuk Orang-Orang Hilang" di Argentina, merupakan
komisi pertama yang menarik perhatian internasional yang cukup besar. Komisi itu
didirikan oleh presiden Argentina, Raul Alfonsin, tahun 1983 sebagai salah satu tindakan
pertama pemerintah pasca-rezim militer. Dalam sembilan bulan, komisi tersebut menyusun
laporan yang mendokumentasikan hampir sembilan ribu kasus orang hilang yang terjadi di
tahunnya hingga sekarang setelah tiga belas tahun setelah penerbitannya; Nunca Más
menjadi buku paling laris yang pernah diterbitkan di Argentina.4
Komisi kebenaran di Chili, "Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi"
juga dimulai segera sesudah negara tersebut kembali ke pemerintahan sipil tahun 1990.
Tidak seperti kebanyakan komisi kebenaran, komisi ini mampu menyelidiki semua kasus
yang dilaporkan kepadanya yang berada di dalam mandatnya (penghilangan, pembunuhan
dengan alasan politik, penculikan bermotivasi politik, dan kematian akibat penyiksaan).
Komisi menyelesaikan laporannya dalam sembilan bulan dan Presiden Patricio Aylwin
mengumumkannya ke masyarakat dengan suatu anjuran emosional, dan menyiarkannya di
televisi nasional, meminta maaf dan mengharapkan pengertian dari keluarga para korban.5
Sayangnya, sejumlah pembunuhan politik tingkat tinggi pada beberapa minggu atau bulan
sesudah pengumuman laporan tersebut melunturkan (derailed) rencana proses diskusi nasional dan pengakuan publik tentang penemuan-penemuan komisi.6
"Komisi Kebenaran untuk El Salvador" didirikan melalui proses negosiasi
perjanjian damai yang disponsori PBB antara pemerintah dan pihak oposisi bersenjata, the
Farabundo Marti National Liberation Front (FMLN) pada tahun 1991. Pada mulanya komisi ini diberikan waktu hanya enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang menjadi
sembilan bulan, termasuk masa persiapan selama dua bulan, dan dua bulan lagi untuk
perpanjangan, dan menjangkau pelanggaran hak asasi manusia yang lebih luas dari yang
menjadi wewenang komisi kebenaran di Cone bagian Selatan. Ditujukan untuk
menyelidiki "tindakan-tindakan kekerasan yang serius yang dampaknya di masyarakat
sungguh-sungguh menuntut bahwa masyarakat harus mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi", komisi ini mengambil berbagai kesaksian tentang penyiksaan, penghilangan,
pembunuhan politik, pembunuhan massal dan perkosaan yang bermotivasi politik selama
dua belas tahun perang sipil, antara 1980-1991. Laporan tersebut juga menghalangi
pengadilan yang parah (blatant) oleh anggota badan peradilan dan militer selama periode
4
Komisi Nasional untuk Orang-Orang Hilang, Nunca Más: Informe de la Comision Nacional Sobre la Desaparicion de Personas (Buenos Aires: Editorial Universitaria de Buenos Aires, 1984), atau dalam bahasa Inggris, Nunca Más: the Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, New York: Farrar Straus Giroux, 1986. Gambaran diperoleh dari Editorial Universitaria de Buenos Aires.
5
di atas. Berbeda dari komisi yang didanai serta ditunjuk pemerintah di Argentina dan Chili,
komisi di El Salvador ini disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan didanai oleh
sumbangan-sumbangan sukarela para negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain
itu, para stafnya hanya berasal dari orang-orang bukan El Salvador, dan dipimpin oleh tiga
orang komisioner tingkat tinggi, yaitu komisioer yang sangat dihormati yang bereputasi
internasional dari Colombia, Venezuela, dan Amerika Serikat. Komisi tersebut
mengumumkan laporannya ke masyarakat pada bulan Maret 1993, yang juga memasukkan
nama-nama lebih dari 40 orang yang bertanggung jawab terhadap pelecehan-pelecehan
atau yang menutup-nutupi bukti-bukti serta menghalangi penyelidikan, termasuk
anggota-anggota senior angkatan bersenjata dan anggota FMLN serta ketua Mahkamah
Agung.7
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan telah membawa minat baru
secara keseluruhan terhadap soal penyembuhan melalui cara menghadapi trauma-trauma
masa lalu; rekonsiliasi melalui pengakuan terhadap kesalahan-kesalahan, dan bahkan
membuka borok tentang hal terburuk kejahatan masa lalu di televisi dan di depan
pendengar umum. Komisi ini didirikan pada tahun 1995 dengan undang-undang nasional
setelah melewati dialog dan debat publik selama satu setengah tahun dan mendapat
masukan yang sangat berarti dari semua partai politik dan banyak komponen masyarakat
sipil. Dibutuhkan waktu dua setengah tahun untuk mengumpulkan informasi tentang
berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia oleh lembaga-lembaga negara atau oleh
oposisi bersenjata antara tahun 1960 sampai 1994; juga untuk melakukan dengar kesaksian
(persidangan umum) dan mengumumkan laporan dengan sejumlah rekomendasi bagi
pembaruan dan reparasi. Lebih dari 12.000 korban datang ke komisi dan memberikan
kesaksisan. Kecuali itu, komisi juga menyelenggarakan sejumlah dengar pendapat yang
terfokus pada tema-tema tertentu untuk memeriksa peranan gereja dan tempat-tempat
medis, sektor legal, komunitas bisnis dan lembaga-lembaga lainnya yang memberikan
sumbangan baik secara positif maupun negatif terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia pada masa lalu. Dengan adanya kewenangan sub-poena – kemampuan untuk
6
Philip Berryman, (penerjemah), Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1993.
7
memberikan amnesti kepada para pelaku yang datang mengakui kejahatan-kejahatan
mereka – dan dengan banyaknya pemimpin politik tingkat tinggi yang memberikan
pengakuannya, maka komisi tersebut menjadi pusat berita dalam keseluruhan periode
waktu kerjanya.
Di samping komisi kebenaran resmi semacam ini, yang disponsori atau diberi
kuasa oleh pemerintah nasional (kadang-kadang dengan persetujuan oleh kelompok
oposisi bersenjata), ada juga banyak contoh proyek non-pemerintah yang telah
mendokumentasikan pola-pola dan praktek pelecehan hak asasi manusia pada rezim
sebelumnya. Umumnya, lembaga-lembaga ini disponsori oleh organisasi-organisais hak
asasi manusia: Nunca Más, misalnya, dibentuk oleh sebuah kantor organisasi hak asasi manusia nasional yang disingkat SERPAJ (Servicio Paz y Justivia = Pelayanan
Perdamaian dan Keadilan).8 Di Rusia, organisasi non-pemerintah Memorial didirikan
tahun 1987 dengan tujuan merespons soal pertanggungjawaban dan penyelidikan terhadap
peristiwa masa lalu. Staf-stafnya telah mengumpulan arsip (archive) dan bukti-bukti yang sangat luas tentang pelanggaran hak asasi manusia sampai ke tahun 1917, dan telah
menerbitkan beberapa buku dengan daftar nama para korban serta analisis-analisis tentang
keadaan kebijakan penindasan.9 Ada juga beberapa contoh proyek-proyek yang didukung
gereja: misalnya di Paraguay, seri kegiatan Nunca Más disponsori oleh Komite Gereja.10 Di Brasil juga, Uskup Agung Sao Paulo, bekerja sama dengan Dewan Gereja Dunia,
mendukung upaya-upaya di Brasil untuk menghasilkan laporan seperti Brasil Nunca Mais.11Karena proyek Brasil ini dilaksanakan secara rahasia, maka dukungan gereja tidak
8
Servio Paz y Justicia Uruguay, Uruguay Nunca Mas: Informe Sobre la Violacion a los Derechos Humanos (1972-1985), diterbitkan oleh Servicio Paz y Justicia Uruguay, 1989.
9
Lihat misalnya, Links Historical Almanac, Volume I, Moscow: Progress Phoenix, 1991, kumpulan tulisan-tulisan historis, dan List of Executed People, Volume I: Donskoi Cemetery 1934-1943: Moskow: Memorial 1993. Semua terbitan memorial ditulis dalam bahasa Rusia (terjemahan tidak resmi tentang topik di atas). Tentang terjemahan yang sangat bagus mengenai kegiatan-kegiatan Memorial, baca, "Making Rights Real: Two Human Rights Groups Assist Russian Reforms", dalam Ford Foundation Report, musim semi 1993, 10-15; atau Nanci Adler, Victims of Soviet Terror: the Story of the Memorial Movement, Praeger, 1993.
10
Jose Luis Simon G., “La Dictadura de Stroessner y los Derechos Humanos”, Serie Nunca Más Vol. 1, dan Guido Rodriguez Alcala, “Testimonios de la Represion Politica en Paraguay, 1975-1989”, Serie Nunca Más Vol. 3, Comite de Iglesias, Asuncion, Paraguay, 1990.
11
hanya berupa bantuan keuangan tetapi juga memberikan dukungan bagi legitimasi
laporan-laporan yang diterbitkan. Militer. Karena baru saja menyerahkan kekuasaan
kepada pemimpin yang terpilih, maka militer tidak cukup kuat dan berani untuk
menyerang gereja pada saat laporan tersebut diumumkan. (karena gereja satu-satunya
penyusun yang teridentifikasi dalam laporan tersebut).12
Walaupun dengan berbagai keterbatasan, termasuk biasanya pembatasan terhadap
akses atas informasi, proyek-proyek tak resmi ini kadang-kadang menghasilkan sesuatu
yang sangat kuat. Misalnya untuk proyek di Brasil di atas, sebuah tim penyelidik mampu
mengkopi secara rahasia sebuah surat resmi yang dikeluarkan pengadilan: surat yang
mendokumentasikan keluhan-keluhan pelanggaran oleh para terpidana. Laporan Brazil Nunca Mais dengan demikian menjadi suatu analisis terhadap praktek penyiksaan rezim militer selama 15 tahun lebih, yang didasarkan pada catatan-catatan resmi tadi. Ketika
laporan tersebut diumumkan, ia dengan cepat menjadi daftar terbitan terlaris dalam negeri
Brasil.13
Memahami dan Mencegah Penyiksaan: Apa Sumbangan Komisi Kebenaran?
Walaupun mandat dan bentuk khusus mungkin berbeda-beda antara komisi-komisi, tetapi
semua tujuannya mengarah pada usaha untuk mempelajari masa lalu, menyampaikan
pengakuan resmi kepasa para korban, menganjurkan pembaruan-pembaruan politik,
kebijakan, sistem peradilan ataupun militer yang perlu sehingga pelecehan-pelecehan
tersebut tidak terulang kembali, dan sering untuk merekomendasikan reparasi tertentu bagi
para korban. Memahami dan mencegah penyiksaan merupakan aspek utama kerja komisi
kebenaran ini.
Jendela untuk Melihat Praktek Kekerasan
12
Gambaran yang sangat bagus tentang proyek Brasil ini, lihat Lawrence Weschler, A Miracle, A Universe: Settling Accounts with Torturers, 1990.
13
Tugas pertama adalah menentukan secara pasti apa yang telah terjadi, menghilangkan
semua kebisuan yang mengitari kejadian-kejahadian yang masih tetap menyakitkan dan
kontroversial, serta membuat berbagai informasi dapat diakses secara publik sehingga
tidak dapat ditolak lebih lanjut. Untuk mencapai ini, banyak laporan komisi telah
memasukkan pertanggungjawaban kekerasan yang menakutkan, kadang-kadang disajikan
dalam suara-suara para korban yang menimbulkan kesan kuat akan kejinya kekerasan masa
lalu itu.
Laporan komisi Argentina barangkali merupakan salah satu contoh laporan yang
sangat berdaya dalam konteks ini. Walaupun mandat komisi ini difokuskan pada
kasus-kasus penghilangan selama tujuh tahun masa kediktatoran militer, komisi bersandar
pada orang-orang yang masih tetap hidup di pusat-pusat penahanan militer untuk
memahami praktek-praktek penghilangan, yang sering mengalaminya berbulan-bulan
sebelum mereka terbunuh. Sebagian besar dari 450 halaman laporan komisi memasukkan
cerita-cerita (passages) seperti di bawah ini, yang diambil dari kesaksian Dr. Norberto Liwsky – yang oleh komisi disebut sebagai “tipikal” semua kesaksian yang pernah mereka
dengar. Liwsky bersaksi:
“Suatu hari mereka membaringkan saya dengan muka ke bawah di atas meja penyiksaan, mengikat saya ke atas (selalu begitu) dan dengan tenang mulai mencabut kulit-kulit dari kaki saya. Saya membayangkan, walaupun saya tidak melihat karena mata saya ditutup, mereka akan melakukannya dengan sebuah razor blade atau sebuah scalpel. Saya bisa merasakan mereka mencabutnya seakan-akan mereka sedang mencoba memisahkan kulit pada pinggiran luka yang sedang dalam proses kesembuhan dengan sepasang princers (semacam pinset). Saya pasrah saja. Karena terbiasa dengan perlakuan seperti itu, dan juga karena tekad cukup kuat untuk menahan rasa sakit, saya akhirnya merasa seperti “mati rasa”, jelasnya, saya seperti mengalami pingsan berkepanjangan.14
Di antara jedah waktu penyiksaan mereka membiarkan saya merana dalam derita tak kunjung henti dalam kegamangan dan kebisuan nan gelap.15
14
Nunca Más: the Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, New York: Farrar Straus Giroux, 1986), hlm. 22-23.
15
Ketika komisi mencari kesaksian dan mencoba mengorek juga nama-nama orang yang
dituduh sebagai pelaku, mereka berusaha untuk menulis kembali nama-nama tersebut
seperti adanya. Akan tetapi, komisi tidak membuat suatu kesimpulan pun tentang
pertanggungjawaban, dan tidak mengumumkan daftar akhir dan lengkap orang-orang yang
dinyatakan harus bertanggung jawab.16
Di samping kesaksian langsung dari para korban yang masih hidup (survivor), komisi juga berhasil merekonstrusikan kembali lokasi dan bahkan lantai (floor plans) lebih dari 300 pusat penahanan rahasia, mengunjungi setiap mereka, untuk menegaskan kembali
apa yang mereka temukan. Daftar ini disertakan dalam laporan komisi. Tidak diketahui
bagaimana begitu banyak orang tetap bertahan dalam pusat penahanan semacam ini,
karena komisi hanya menyelidiki kasus penghilangan, atau orang-orang yang diculik dan
tidak pernah muncul kembali. Lampiran laporan komisi memuat daftar nama hampir
sembilan ribu orang hilang yang mampu didokumentasikannya.
Di El Salvador, Komisi PBB untuk Kebenaran mengambil kesaksian langsung
lebih dari 2000 orang yang bertanggung jawab atas 7000 korban. Dari jumlah ini, 20% dari
yang dilaporkan merupakan tindakan-tindakan penyiksaan (15% penghilangan, dan
kebanyakan dari mereka juga kelihatannya disiksa). Analisis statistik terhadap
kesaksian-kesaksian yang dikumpulkan oleh komisi kebenaran tersebut (dan juga
kesaksian yang dimasukkan ke komisi berdasarkan laporan organisasi non-pemerintah,
badan-badan PBB dan juga pemerintah) juga disertakan dalam lampiran laporan. Ini
benar-benar berguna untuk melihat dan memahami pola praktek pelecehan hak asasi
manusia selama bertahun-tahun dan di berbagai wilayah yang berbeda di seluruh negeri,
tentang bagaimana ia mempengaruhi berbagai kelompok penduduk yang berbeda, dan
kelompok mana yang dianggap menjadi pelaku – termasuk militer, polisi, pasukan
penembak mati dan kelompok-kelompok oposisi bersenjata. Akan tetapi, teks laporannya
sendiri memasukkan sedikit saja rincian praktek penyiksaan, karena kurang lebih tiga
puluh kasus yang dipilih untuk kerja penyelidikan yang mendalam, semuanya menyangkut
penghilangan, pembunuhan di luar hukum, pembantaian oleh pasukan penembak, atau
16
pembunuhan massal berskala besar. Jadi, narasi atau cerita dari tangan pertama (seperti
yang terdapat dalam laporan di Argentina, atau bahkan tinjauan deskriptif terhadap
praktek-praktek umum, dan ringkasan kesaksian) tidak dimasukkan.
Tidak banyak komisi kebenaran yang telah menyelenggarakan dengar kesaksian
publik, karena adanya persoalan serius menyangkut keamanan dan ketakutan para saksi. Di
Amerika Latin, dengar kesaksian publik dianggap benar-benar tidak mungkin, karena
alasan-alasan seperti ini (beberapa orang yang masih hidup bahkan begitu ketakutan untuk
tampil menyampaikan kesaksian pribadi dan bersifat rahasia). Akan tetapi di Afrika,
sejumlah komisi telah menyelenggarakan dengar kesaksian publik, yang memungkinkan
para korban dapat berusaha mendapatkan pengakuan atas berbagai penderitaan yang
mereka alami, dan memungkinkan proses kerja komisi kebenaran dapat diikuti secara
nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, ditugaskan untuk
membuka "selengkap mungkin gambaran" tentang "pembunuhan, penculikan, penyiksaan,
dan berbagai perlakuan salah" lainnya, dan telah bekerja sangat baik dalam hal ini. Di
samping menerima banyak kesaksian melalui kamera, komisi juga menyelenggarakan
dengar kesaksian publik di seluruh negeri, di kota-kota miskin penduduk berkulit hitam
atau di kota-kota besar, baik di gereja-gereja besar maupun di lapangan kota yang kotor, di
mana lebih dari 2.000 korban, orang yang masih hidup ataupun para saksi didengarkan
kesaksiannya. Masing-masing acara dengar kesaksian ini direkam dalam video-tape oleh
seorang kamerawan khusus dari Perusahaan Penyiaran Afrika, dan klip-klip dengar
kesaksian tersebut disampaikan dalam berita-berita pada malam harinya. Lima jam atau
lebih liputan langsung dengar kesaksian tersebut disiarkan di radio setiap harinya. Para
korban penyiksaan yang masih hidup melukiskan rincian penyiksaan yang mereka alami;
para ibu yang melukiskan bagaimana anak-anak mereka dibunuh; para bapak menceritakan
kembali ranjau-ranjau darat yang telah membunuh anak-anak bayi. Selama periode lebih
dari satu tahun, seluruh negeri tersebut dibanjiri cerita-cerita tentang pelecehan dan
pembunuhan, sampai ke titik di mana seseorang, berdasarkan akal sehat, tidak mungkin
dapat menolak luasnya pelecehan-pelecehan yang telah terjadi. Akan tetapi, masyarakat
sangat memahami bahwa bahkan dengan sekitar 12.000 korban yang didokumentasikan
oleh komisi itu tetap saja itu merupakan sebagian kecil dari keseluruhan kejadian yang
sebenarnya terjadi.
Di samping mendengar kesaksian langsung dari para korban, Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan juga menerima kesaksian secara langsung dari para
pelaku, yang mengakui rincian perbuatan mereka yang mengerikan pada masa lalu. Dalam
contoh pertama tentang pengakuan publik dari begitu banyak pelaku (dan sering kali
diiringi suatu permohonan maaf yang sungguh-sungguh), dari satu dengar kesaksian ke
dengar kesaksian lainnya, para penyiksa atau pembunuh yang duduk di atas panggung dan
di bawah sumpah selama seharian penuh menjawab begitu banyak pertanyaan dari
pengacara, anggota komisi, dan bahkan menjawab secara langsung pertanyaan-pertanyaan
para korban mereka sebelumnya. Proses yang sangat mengagumkan ini hanya mungkin
karena komisi ini menawarkan sesuatu sebagai gantinya: yaitu amnesti bagi orang-orang
yang benar-benar membuka kebenaran selengkap mungkin serta membuktikan bahwa
kejahatan yang pernah mereka buat bermotif politik dan sebanding dengan pengejaran
tujuan politik. Lebih dari 7.000 pelaku mengajukan permohonan amnesti, sekitar 1600-nya
menyangkut pelanggaran hak asasi manusia berskala berat (yang lain kejahatan-kejahan
kepemilikan yang bermotivasi politik, pengiriman senjata secara tidak sah, atau
tindakan-tindakan serupa yang sudah tidak tepat pada waktu dilanggar).
Dalam banyak keadaan, tidak mungkin menghitung secara total jumlah korban dari
sebuah rezim sebelumnya. Sering, di mana telah terjadi praktek pelecehan bertahun-tahun,
akan sangat tidak mungkin bagi komisi untuk mengdokumentasikan setiap kasus –karena
kehilangan waktu dan sumber daya, dan karena alasan untuk memfokuskan energi komisi
pada penyelidikan serta mengumpulkan informasi. Di samping itu, beberapa dari
orang-orang yang kehilangan orang-orang yang dicintainya atau menjadi saksi kasus
penghilangan atau pembunuhan massal, mungkin tidak ingin memberikan kesaksian;
beberapanya tetap trauma, atau merasa takut terhadap akibat pengungkapan apa yang
mereka ketahui; yang lainnya, seperti para aktivis anti-apartheid sebelumnya di Afrika
Selatan, semata-mata tidak mau menyebut dirinya sebagai korban. “Saya tahu akibat serta
pengorbanan jika berjuang melawan pemerintah,” kata mereka, dan mereka memilih untuk
tidak meminta simpati. Walaupun sukar bagi komisi untuk mentabulasikan jumlah yang
saja sudah dapat membantu untuk menandakan berapa kira-kira jumlah total keseluruhan.
Ini menjadi sangat penting tidak saja untuk tujuan historis, tetapi juga untuk membantu
merancang berbagai jasa bantuan yang mungkin tepat bagi kebutuhan-kebutuhan
penduduk ini.
Tetapi beberapa komisi kebenaran telah tegas-tegas mengeluarkan korban
penyiksaan yang masih hidup dari kelompok korban pelanggaran hak asasi manusia,
seperti komisi di Chili, Argentina dan Uruguay. Fokus penyelidikan komisi kebenaran
ditentukan oleh kerangka acuan yang ditugaskan kepadanya pada saat pembentukannya,
yang dalam kasus Argentina dan Chili didirikan melalui Keputusan Presiden, dan di
Uruguay melalui parlemen. Mandat komisi-komisi ini difokuskan pada penyelidikan
orang-orang hilang (dan di Chili juga pembunuhan-pembunuhan), dan karena itu
komisi-komisi tersebut bahkan tidak berusaha melihat jalur atau menghitung jumlah
penduduk yang menjadi korban atau yang tetap hidup dari penyiksaan.
Komisi Uruguay17 tidak memasukkan sebagian besar pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi selama rezim militer karena mandatnya yang sangat terbatas ini.
Antara lain, penyiksaan dan penahanan yang tidak sah, yang mengakibatkan bahwa
sebagian besar penduduk diabaikan. Sebagaimana dicatat oleh seorang pembela hak asasi
manusia Chili, José Zalaquett, "praktek sistem penghilangan orang di Argentina, atau
dalam skala yang lebih kecil, seperti di Chili, bukan merupakan bagian metodologi
penindasan oleh para militer Uruguay".18 Menulis pada tahun 1989, Zalaquett,
menunjukkan:
Walaupun sudah menjadi pengetahuan umum di Uruguay dan di seluruh dunia bahwa penyiksaan telah secara sistematik dilakukan selama pemerintahan militer, tetapi tidak ada catatan sanksi resmi yang mendokumentasikan praktek-praktek ini. Militer tidak mengakui hal tersebut secara publik. Secara pribadi bahkan mereka
17
Parlemen Uruguay membentuk “Investigative Commission on the Situation of Disappeared People and Its Causes”, dalam bulan April 1985. Setelah tujuh bulan, komisi melaporkan hilangnya 164 orang selama tujuh tahun pemerintahan militer, memberikan bukti-bukti keterlibatan angkatan bersenjata Uruguay, yang kemudian kasusnya diteruskan ke Pengadilan Mahkamah. Untuk informasi lanjutan, lihat Priscilla B. Hayner, "Fifteen Truth Commissions", Human Rights Quarterly 16 (1994), hlm. 116-117.
18
mencoba membenarkan bahwa penyiksaan merupakan cara terakhir yang ditempuh dan yang kurang jahatnya.19
Komisi kebenaran di Argentina juga ditugaskan untuk hanya menyelidiki kasus
penghilangan, dan komisi di Chili diberikan tugas yang lebih luas (tetapi tetap juga
terbatas), mencakup juga kasus penghilangan, pembunuhan, penculikan,
percobaan-percobaan pembunuhan terhadap seseorang sebagai pribadi untuk tujuan
politik, dan penyiksaan yang mengakibatkan kematian.20 Di kedua negara tersebut, komisi
mengambil kesaksian dari para korban penyiksaan yang masih hidup untuk memahami
secara lebih baik pengalaman orang-orang yang terbunuh atau disiksa, tetapi para korban
yang tetap hidup ini tidak dimasukkan dalam hitungan jumlah korban keseluruhan, ataupun
tidak dicantumkan namanya dalam daftar korban yang diterbitkan komisi.
Berbeda secara tajam dari laporan komisi kebenaran Argentina, laporan komisi
Chili hampir tidak memasukkan satu pun kesaksian langsung atau penjelasan pihak
pertama tentang penyiksaan atau berbagai pelecehan lainnya. Sebaliknya, ia hanya
melukiskan dalam beberapa halaman dan dalam istilah-istilah umum, jenis-jenis kejahatan
yang digunakan dan akibatnya terhadap para tahanan. Tetapi tampak jelas dari
gambaran-gambaran tersebut betapa tidak kompromistisnya kebrutalan tindakan
penyiksaan pada masa lalu tersebut, sebagaimana gambaran penyiksaan pada periode
antara September – Desmber 1973 (yang merupakan periode kekerasan yang paling
menonjol selama kediktatoran Chili, yang terjadi segera setelah kudeta):
Selama bulan-bulan ini, perlakuan buruk serta penyiksaan merupakan ciri utama yang universal dari hampir semua penahanan. … Metode penyiksaan sungguh sangat beragam. Salah satu teknik kekerasan yang umum adalah pemukulan kejam dan terus-menerus hingga darah mengucur dari tulang-tulang yang patah. Bentuk penyiksaan yang lain adalah membuat kondisi penahanan sedemikian keras dan menyakitkan sehingga keadaan ini sendiri merupakan suatu penyiksaan. … Juga merupakan pandangan biasa untuk menggantung para tahanan dengan tangan ke atas dan dengan kaki tidak menyentuh dasar untuk jangka waktu yang sangat panjang. Mereka bisa saja dicemplungkan ke air, atau disiksa dengan cara-cara
19
Ibid., hlm. 61
20
sejenis itu. Ada banyak tuduhan pemerkosaan dan tindakan seksual rendahan. Juga praktek umum adalah mensimulasikan pasukan pembakar.21
Dalam sejumlah kasus, laporan tersebut melukiskan para tahanan yang “disiksa sampai
menjadi gila”.22 Dan gambaran di bawah ini memperjelas bagaimana luasnya penyiksaan
pada waktu itu.
Akan tidak mungkin untuk menghadirkan daftar lengkap berbagai bentuk penyiksaan (torture sites) di negeri kami selama periode yang disebutkan di atas. Selama bulan-bulan ini, penyiksaan tidak dilakukan di setiap tempat penahanan, tetapi memang di hampir semuanya.23
Kendatipun terdapat gambaran-gambaran yang sangat menakutkan ini, namun laporan
komisi kebenaran Chili ini mendefenisikan orang-orang yang tetap bertahan dalam
perlakuan kejam di atas sebagai bukan korban – melainkan hanya orang-orang yang mati
karena penyiksaan itu. "Komisi telah mengartikan para korban pelanggaran hak asasi
manusia sebagai orang-orang yang menjadi sasaran penyiksaan yang menyebabkan
kematian",24 sebagaimana dipertegas oleh laporan itu sendiri.
Ironisnya, alasan pendefinisian yang sangat sempit ini adalah karena kondisi para
korban penyiksaan yang hidup sangat luas. Gisela von Muhlenbrock, yang bertugas
sebagai asisten presiden Chili yang membantu merancang keputusan eksekutif pendirian
komisi kebenaran tersebut mengatakan bahwa mereka membatasi wilayah arti para korban
sesuai dengan seberapa jauh nanti batasan itu mampu memberikan bayaran untuk tindakan
reparasi. "Kami bertanya pada diri kami sendiri, seberapa bisa kami dapat memberikan
reparasi? Kami tak dapat memberikan kompensasi kepada setiap orang, sehingga kami
membatasi luas wilayah istilah-istilah yang tercakup dalam tugas komisi sesuai dengan
kemampuan kami dalam mendanainya". Sejumlah anggota komisi dan sekretaris eksekutif
badan untuk menindaklanjuti program reparasi, menjelaskan bahwa defenisi yang terbatas
21
Report of the Chilean National Commission on Truth and Reconciliation, hlm. 134.
22
Ibid., hlm. 136
23
Ibid., hlm. 134
24
ini sudah logis dan perlu. “Tentu akan tidak mungkin untuk menjangkau semua
penyiksaan; akan ada begitu banyak kasus yang harus diselidiki untuk ini,” kata mereka.25
Defenisi yang sempit tentang “korban” oleh komisi yang sangat terkenal di Chili ini
memberikan sumbangan pada penyimpangan (skewing) pemahaman masyarakat tentang siapa saja yang dapat dianggap sebagai korban rezim militer. Sama seperti yang
didefinisikan oleh komisi, masyarakat umum memahami bahwa orang-orang yang tetap
selamat dari kamp-kamp penyiksaan bukanlah korban. Para korban hanyalah orang-orang
yang mati karena penyiksaan tersebut. Dalam sebuah wawancara di Chili pada tahun 1996,
misalnya, seorang wartawan, yang pernah ditahan dua kali dan disiksa di bawah rezim
militer, mengatakan pada saya, “Orang-orang yang selamat dari penyiksaan bukanlah
korban di Chili. Mereka tidak dianggap korban. Ketika kami mengatakan 'korban', yang
dimaksudkan adalah orang-orang yang terbunuh atau hilang.”26 Banyak orang lainnya juga
mengatakan yang sama.
Definisi yang sangat sempit ini mempunyai sejumlah konsekuensi yang penting.
Pertama, karena fokus diletakkan pada orang-orang mati, maka tak seorang pun memiliki pemahamn yang jelas berapa banyak korban penyiksaan dan penahanan yang masih hidup
di Chili. Para aktivis hak asasi manusia dan beberapa pengamat yang tahu situasi hak asasi
manusia di Chili memberikan jumlah antara 10.000 sampai 20.000 orang. Beberapa
profesional hak asasi manusia, ketika ditanya berapa banyak korban penyiksaan yang
masih hidup, bahkan tidak memberikan perkiraan kasar sekalipun.27 Data yang tepat
barangkali sekitar antara 50.000 sampai 100.000 orang.
Konsekuensi terpenting kedua digunakannya definisi sempit tentang korban ini
adalah hambatan untuk menentukan siapa yang mempunyai akses terhadap berbagai
reparasi: memang semua program reparasi di Chili ditujukan bagi para keluarga
orang-orang yang telah mati atau dihilangpaksakan. Ada suatu program reparasi
besar-besaran bagi para keluarga korban ini, termasuk pembayaran uang tunai bulanan,
bantuan medis dan pendidikan, dan pembebasan terhadap wajib militer. Akan tetapi, para
25
Wawancara dengan penulis, November dan Desember 1996.
26
Wawancara penulis dengan Monica Gonzalez, 27 November, 1996, Santiago, Chili.
27
korban ataupun orang yang disiksa, tidak mendapatkan baik pengakuan resmi maupun
reparasi nyata (kecuali menyangkut akses terhadap program kesehatan mental khusus,
walaupun program ini tidak terlalu populer dan hanya segelintir orang yang
memanfaatkannya). Sekretaris Pelaksana Usaha untuk Reparasi dan Rekonsiliasi
(Executive Secretary of the Corporasi for Reparation and Reconciliation), yang merupakan
badan penindaklanjut Komisi Kebenaran Chili, menceritakan kepada saya bagaimana ia
kadang-kadang melihat secara langsung tidak adanya keadilan dalam kebijakan ini:
“Seorang perempuan datang ke kantor saya dan duduk sambil mengatakan, 'tragedi
keluarga saya adalah bahwa mereka tidak membunuh ayah saya. Dia dihancurkan, tetapi
tetap dibiarkan hidup. Akan menjadi lebih baik jika mereka membunuhnya sekalian'.
Keluarganya tidak mendapatkan reparasi apa-apa, tetapi orang tuanya sudah hancur sama
sekali sebagai seorang manusia.”28
Reparasi Bagi Para Korban
Kebanyakan komisi kebenaran telah merekomendasikan bahwa bantuan keuangan atau
berbagai bentuk reparasi dapat diberikan kepada para korban yang masih hidup atau
kepada keluarga orang-orang yang dibunuh atau dihilangkan. Di Chili dan Argentina,
program-program reparasi individual ditujukan pada keluarga para korban yang terdaftar
dalam laporan komisi (dan juga orang-orang yang kemudian melaporkan sebuah kasus
yang harus dimasukkan). Hal yang sama juga diharapkan di Afrika Selatan, di mana salah
satu aspek utama mandat yang diberikan ke komisi adalah mengkaji dan mengusulkan
kebijakan reparasi. Berbagai komisi kebenaran di mana pun telah merekomendasikan juga
program-program reparasi keuangan, seperti di El Salvador, Haiti, dan Uganda. Tetapi
rekomendasi-rekomendasi ini belum dilaksanakan sepenuhnya, sebagian besar karena
sumber daya yang terbatas serta prioritas keuangan yang sepadan.
Komisi Kebenaran di Haiti, misalnya, merekomendasikan bahwa sebuah komisi
reparasi khusus akan dibentuk sebagai badan penindaklanjut, untuk menentukan
28
"kewajiban-kewajiban moral, legal dan material" yang menjadi hak para korban
kekerasan.29 Terdaftar pertama-tama dalam bab-bab panjang tentang rekomendasi, komisi
kemudian menguraikan proposal ini secara lebih rinci, dan menganjurkan bahwa sejumlah
dana harus datang dari negara, dari bantuan-bantuan swasta nasional dan internasional, dan
dari sumbangan-sumbangan sukarela melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Laporan Komisi Penjelas El Salvador menyerukan agar ada badan dana khusus,
yaitu "sebuah badan otonom dengan kekuasaan administratif dan hukum yang diperlukan
untuk memberikan kompensasi materil yang tepat bagi para korban kekerasan dalam
waktu sesingkat mungkin". Komisi selanjutnya merekomendasikan bahwa tidak kurang
dari 1% dari semua bantuan internasional yang masuk El Salvador harus dijatahkan untuk
kebutuhan ini.30 Tetapi baik pemerintahan El Salvador maupun komunitas internasional
tidak antusias dengan usulan ini, dan badan dana yang direkomendasikan ini tidak pernah
terbentuk.
Apakah suatu program reparasi akan dilaksanakan atau tidak di setiap negara akan
tergantung pada tingkat kepentingan politik dan kemauan politik, atau sumber daya yang
tersedia dalam negara tersebut, serta jumlah korban pelanggaran yang membutuhkan
kompensasi. Jika sumber daya sangat terbatas, maka program reparasi yang bersifat
simbolik, atau yang berorientasi pembangunan dan berbasis komunitas dapat
dipertimbangkan, seperti pembangunan gedung memorial, hari peringatan, atau
sekolah-sekolah atau pusat komunitas yang dibangun dengan nama para korban. Banyak
komisi yang telah membuat rekomendasi-rekomendasi yang rinci untuk mendukung
inisiatif-inisiatif semacam ini.
Mencegah Pelecehan-Pelecehan di Masa Depan
Sesungguhnya, sebuah komisi penyelidikan pelecehan-pelecehan hak asasi manusia di
masa lampau bertujuan tidak hanya untuk menggambarkan apa yang telah terjadi, tetapi
juga untuk menetapkan langkah-langkah ke depan yang akan dapat mencegah terjadinya
29
Laporan Komisi Kebenaran Haiti, bab 8.
30
kembali pelecehan-pelecehan tersebut. Kendatipun komisi-komisi ini sendiri tidak
memiliki kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pembaruan tersebut, tetapi
mereka sering diminta untuk membuat rekomendasi-rekomendasi yang mendasar bagi
perubahan-perubahan yang diperlukan dalam bidang dan struktur peradilan, kebijakan,
militer atau politik, ataupun dalam kerangka hukum perlindungan hak asasi manusia, atau
di dalam bidang pendidikan dan sosial untuk memajukan pemahaman yang lebih luas
terhadap hak-hak asasi manusia yang mendasar.
Komisi di El Salvador dan Chili telah menetapkan secara tegas
rekomendasi-rekomendasi yang rinci dan yang paling penting untuk ke depan, dan kedua
laporan ini telah diberikan perhatian yang berarti selama tahun-tahun berikutnya, karena
pembuat kebijakan menggunakan rekomendasi-rekomendasi ini sebagai tonggak penuntun
dalam merancang paket program pembaruan.31 Tetapi pembaruan-pembaruan yang
diusulkan tidak selalu cepat atau mudah dilaksanakan. Di El Salvador, misalnya, muncul
perlawanan yang sangat kuat di parlemen terhadap usulan bahwa pengakuan-pengakuan
ekstra-yudisial dilarang untuk diserahkan sebagai bukti di pengadilan, yang akan
menghilangkan motivasi dasar untuk dugaan-dugaan penyiksaan, serta terhadap
rekomendasi bahwa hak penuntutan dijamin sejak saat penangkapan; juga terhadap
rekomendasi-rekomendasi lainnya untuk melindungi hak para tahanan. Karena kejahatan
umum muncul dan tuntutan masyarakat untuk menindak tegas para kriminal meningkat,
maka para politikus menolak keras pembatasan-pembatasan tersebut atas dasar alasan
bahwa itu merupakan alat yang digunakan sebagai strategi melawan kejahatan. Tetapi
berbagai rekomendasi komisi kebenarannya dianggap sebagai suatu keharusan, karena
merupakan hasil perjanjian sebelumnya antara pihak-pihak dalam perjanjian damai, dan
karena itu Perserikatan Bangsa-Bangsa terus mendorong pelaksanaannya. Setelah
mengalami penundaan yang cukup lama, dan karena campur tangan seorang utusan
Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Alvaro de Soto, maka beberapa usulan
31
pembaruan ini dikeluarkan walaupun beberapanya dalam bentuk yang sangat
kompromistis.23
Tetapi tantangan bagi penghentian praktek pelecehan hak asasi selama
bertahun-tahun itu berada di luar jangkauan hukum-hukum baru atau peraturan-peraturan
yang baru dikeluarkan. Banyak negara yang sudah memiliki hukum hak asasi, serta
berbagai piranti pelindung atau pengaman hak asasi, tetapi tetap harus berjuang terus
melawan pelecehan-pelecehan ini oleh pasukan keamanan (Polisi Kota New York,
misalnya, mendapat kritikan keras tahun 1997 karena pelanggaran serius terhadap para
tahanan). Karena itu, walaupun komisi kebenaran tentu saja mempunyai andil bagi
pembaruan-pembaruan yang diperlukan, tetapi tidak berarti mereka dapat menghentikan
penyiksaan itu seketika.
Sebagai contoh, empat belas tahun sesudah berakhirnya pemerintahan militer di
Argentina (dan tiga belas tahun sesudah laporan komisi kebenarannya dikeluarkan),
penyiksaan oleh polisi dan penjaga penjara tetap berlanjut. Pada akhir 1997, sebuah komisi
hak asasi manusia PBB mengkritik Argentina karena "mentolerir berlangsung terusnya
praktek-praktek penyiksaan" walaupun negara tersebut merupakan pihak penandatangan
Konvensi Internasional Anti-Penyiksaan. "Banyak orang Argentina yang mati setelah
disiksa oleh polisi, dan penguasa Argentina tidak berbuat banyak untuk menghentikan
praktek penyiksaan itu", tulis New York Time, mengutip komentar Gonzales Poblete, wakil Presiden Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa.33 Berbagai praktek penyiksaan ini tidak
tampak sebagai sesuatu yang bermotivasi politik, tetapi tentu saja mengingatkan orang
kepada praktek-praktek umum yang terjadi di bawah pemerintah militer.
Masalah-masalah serius juga berlangsung di Brasil. Jim Cavallaro, perwakilan
Human Rights Watch di Brasil, menceritakan kepada saya pada akhir 1966 bahwa
"penyiksaan di Brasil tidak mulai ataupun berakhir dengan kediktatoran militer". Mereka
telah menyiksa penduduk selama bertahun-tahun, dengan bukti-bukti jelas keterlibatan
pasukan penembak yang berawal sejak tahun 1950. "Berakhirnya kediktatoran militer
23
Lihat Jack Spence, David R. Dye, Mike Lanchin, dan Geoff Thale, "Chapultepec: Five Years Later: El Salvador's Political Reality and Uncertain Future", Hemisphere Initiatives, Mass.: Cambridge, 16 Januari, 1997, hlm. 20.
33