BAB I PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Perubahan yang disebabkan oleh globalisasi membawa dampak pada
kebudayaan. Perubahan pada kebudayaan menyebabkan adanya kecenderungan
yang mengarah pada memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya, berkurangnya
keinginan untuk mengembangkan budaya sendiri (Robert dalam Bayu 2007).
Salah satu perubahan pada kebudayaan yang disebabkan oleh globalisasi adalah
penggunaan bahasa daerah. Sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia
ternyata terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa daerah.
Bahkan, dari 746 bahasa daerah kini hanya 13 bahasa daerah yang memiliki
jumlah penutur diatas satu juta orang, dan sebagian besar adalah generasi tua
(Kompas, 2014).
Siahaan (2002) juga mengatakan bahwa penggunaan bahasa daerah hanya
didominasi kebanyakan oleh orangtua sedangkan anak lebih banyak menggunakan
bahasa Indonesia. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Andi Silitonga (2008)
tentang penggunaan bahasa Batak yang menunjukkan bahwa ada kecenderungan
pergeseran bahasa Batak pada masyarakat Batak Toba di Medan, walaupun
bahasa tersebut masih aktif digunakan oleh masyarakat setiap hari. Padahal, Para
ahli berkata bila satu bahasa punah, punah pulalah budaya pemilik bahasa
tersebut. Bila budaya punah, maka adat pemilik bahasa itupun akan ikut punah
Untuk mempertahankan dan menjaga budaya pada generasi muda dari
pengaruh budaya luar yang bersifat negatif, maka diperlukan nilai-nilai dan sistem
sosial yang yang dipegang teguh dari generasi ke generasi. Batak Toba memiliki
nilai adat dan sistem sosial yang merupakan warisan nenek moyang. Sistem sosial
dan struktur ini mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang
merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga, maupun beda marga
serta masyarakat umum. Struktur sosial yang dimiliki masyarakat Batak Toba
pada hakikatnya berdasarkan garis keturunan bapak (patrilineal) yang memiliki
tiga unsur struktur sosial yang lebih dikenal dengan sebutan Dalihan na tolu.
Struktur sosial inilah yang membedakan suku Batak Toba dengan suku Batak
lainnya (Simanjuntak, 2002)
Dalihan na tolu merupakan sistem kekerabatan yang dijadikan sebagai
konsep dasar kebudayaan Batak yang mengatur hubungan antar individu yang
didasarkan pada pada garis keturunan dan sistem perkawinan (Harahap, 1987).
Secara harafiah, arti kata Dalihan na tolu adalah “tungku nan tiga” yang
merupakan lambang yang diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang
mempunyai tiang penopang, yaitu hula-hula, dongan sabutuha, boru (Siahaan,
1982). Dongan tubu merupakan teman semarga, saudara, orang yang
seibu-sebapak, atau berasal dari keturunan yang sama; boru adalah pihak penerima
isteri; hula-hula adalah pihak pemberi isteri (Siahaan, 1982).
Para tetua orang Batak telah menjadikan Dalihan na tolu sebagai acuan
ini. Di dalam kehidupan Orang Batak, penerapan Dalihan na tolu dapat dilihat
dengan jelas didalam kehidupan sehari-hari dan khususnya pada setiap acara adat
Batak seperti perkawinan, kematian, dan lain-lain (Simanjuntak, 2002).
Sistem kekerabatan ini menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak
dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi. Tiga posisi yang terkandung dalam
Dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu, boru. Namun, siapa yang
menempati posisi ini akan berganti sesuai dengan situasi dan kondisi. Ada saatnya
seseorang bisa menjadi hula-hula, menjadi dongan tubu, dan boru (Sinaga,
2013). Dari karakter kultural inilah lahir berbagai pola pikir dan pola laku, bahkan
akhirnya membentuk local wisdom di kalangan masyarakat Batak. Karakter
hulahula, dongan tubu dan boru yang dimiliki semua orang Batak adalah juga
merupakan local wisdom.
Dalihan na tolu mencakup marga, silsilah, dan tutur yang merupakan
pendidikan dasar primordial suku yang kuat (Siahaan, 1982). Adapun fungsi
Dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan
jalannya pelaksanaan tutur, mengatur tata komunikasi atau tutur sapa, menentukan
kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan
mufakat bagi masyarakat Batak Toba (Sibarani 2005, dalam Sandrak 2007).
Fungsi Dalihan na tolu juga mengatur dan mengendalikan tingkah laku
seseorang dalam kehidupan sosial masyarakat Batak Toba. Pengaturan atau
pengendalian itu didasarkan pada pola perilaku terhadap tiga unsur Dalihan na
inilah yang mengendalikan pola bertingkah laku masyarakat Batak Toba sehingga
setiap orang Batak bertemu, dia akan mempraktekkan pola bertingkah laku itu.
Somba marhula-hula artinya menghormati hula-hula, elek marboru
artinya merangkul dan menghargai boru, manat mardongan tubu artinya hati-hati
dan bijaksana terhadap teman semarga. Prinsip ini dijadikan hukum adat,
sehingga orang Batak juga dituntut untuk mengetahui silsilah. Silsilah dalam
orang batak dapat diketahui melalui aktivitas martarombo. Martarombo adalah
tradisi suku Batak yang dilakukan untuk mengetahui asal usul atau garis
keturunan marga kita serta hubungan keluarga dengan orang Batak lainnya
(Purba, 2012). Oleh karena itu, ketidaktahuan martarombo menyebabkan
ketidatahuan peran dan posisinya dalam unsur-unsur Dalihan na tolu.
Kegiatan martarombo dimulai dengan menanyakan marga apa; darimana
asal marganya; nomor keturunan keberapa atau disebut dengan (pomparan). Hal
inilah yang ditanyakan pada aktivitas martarombo sehingga orang Batak yang
mengetahui tarombo marganya. Pada kegiatan inilah yang menyatakan seseorang
ada hubungan apa dan memanggil apa terhadap orang yang baru dikenalnya,
misalnya pada akhirnya apakah mar lae, mar tulang, mar inangtua, mar
amangboru, mar bapatua, dan lain-lain.
Dalihan na tolu di lingkungan suku Batak juga dikenal dengan adanya
sistem marga. Marga berfungsi sebagai identitas diri dan pengikat tali
persaudaraan yang dalam. Apabila orang-orang yang berjumpa ini memiliki
memperkenalkan diri dengan memberitahukan marganya sehingga diketahuilah
posisinya sesuai dengan kekerabatan kultural Dalihan na tolu (Simanjuntak,
2002)
Dengan mengetahui nama marga, maka orang Batak dengan sendirinya
mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan
yang disebut martutur/martarombo. Partuturan adalah kunci pelaksanaan
Dalihan na tolu. Partuturan sangat penting karena kita dapat mengetahui
hubungan kekerabatan kita dengan orang lain dan menentukan bagaimana kita
menyapa lawan bicara kita serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang
akan dipakai misalnya tulang, nantulang, namboru, dan lain-lain (Sinaga, 2013).
Kekuatan kekerabatan terwujud dalam pemakaian tutur atau sapa. Tutur
itu berisi aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan na
tolu. Tutur menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Dengan menyebut tutur
terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan diantara mereka yang
menggunakannya. Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan perilaku apa yang
pantas dan tidak pantas diantara mereka yang bergaul (Daulay, 2006).
Namun, faktanya saat ini banyak kaum muda yang menjadikan budaya
tidak begitu penting atau tidak ada manfaatnya untuk dipelajari . Hal ini dapat
dilihat dari orang Batak yang tidak peduli tentang asal usul marga marganya
sendiri ataupun dengan partuturan (medanbisnis, 2012). Hal ini sejalan dengan
wawancara informal dari mahasiswa suku Batak Toba yang tidak mengetahui asal
“Aku gak begitu tahu bicara bahasa Batak, apalagilah kalau ditanya partuturan, palingan hanya dikit pun yang ku tahu, lagian susah belajar asal usul marga ini, yang banyak-an cabang-cabangnya jadi malas mempelajarinya”.
( Komunikasi personal, 10 November 2014).
Selain silsilah, bahasa juga diperlukan dalam Dalihan na tolu. Bahasa
Batak Toba adalah sarana adat dan budaya masyarakat Dalihan na tolu (Siahaan,
1982). Faktanya dilingkungan sekitar kita, tidak sedikit ditemukan kaum muda
Batak yang tidak mampu berbahasa Batak serta tidak memahami bahasa tersebut.
Hal ini disebabkan pada satu sisi globalisasi ini menuntut kecakapan dan
keterampilan berbahasa asing, sehingga menuntut setiap generasi muda tidak
terkecuali kaum muda Batak mengikuti berbagai kursus bahasa Inggris untuk
bersaing dan berkompetisi. Faktor lain adalah bahasa Batak hanya dikawal sebatas
pada acara adat, dan sangat statis, sehingga makin terpinggirkan. Hal ini terutama
dialami oleh generasi muda atau mahasiswa di perkotaan sehingga menimbulkan
keengganan untuk bertutur dengan bahasa Batak dalam berinteraksi (antaranews,
2013).
Konsekuensi dari ketidakmampuan dalam bersilsilah dan berbahasa Batak
akan menimbulkan kesulitan dalam berinteraksi berdasarkan hubungan
kekerabatan serta letak kekerabatan dalam suatu klan atau marga. Bagi mereka
yang tidak mengetahui silsilahnya juga akan dianggap sebagai orang Batak
kesasar. Orang Batak seharusnya mengetahui silsilahnya minimal nenek
moyangnya yang menurunkan marga dan teman semarga sebagai identitas suku.
bahwa sifat sebagai seorang Batak akan diragukan apabila ia tidak mengetahui
dengan pasti siapa dia sesuai dengan garis keturunan marganya dan bagaimana
hubungannya dengan marga lain. Hal ini disebabkan karena marga merupakan
salah satu pilar dalam Dalihan na tolu (Sinaga, 2013).
Berdasarkan fakta di atas semakin menunjukkan kondisi kemunduran pada
kaum muda dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kepunahan pada
bahasa daerah sebagai sarana adat dan budaya masyarakat Batak yaitu Dalihan
na tolu.
Dalihan na tolu yang merupakan salah satu contoh kearifan lokal memiliki
sifat relatif dan bisa berubah. Hal ini yang menyebabkan diperlukannya gambaran
interpretasi/penilaian berdasarkan pengetahuan yang dimiliki mengenai Dalihan
na tolu untuk mengetahui bagaimana pemaknaan seseorang terhadap konsep ini.
Hal ini dilakukan agar setiap orang pada suku Batak tidak mengarahkan
perubahan kearah yang negatif dan tetap dijadikan pegangan dalam mengatur
kehidupan orang Batak (Damanik, 2006).
Konsep Dalihan na tolu merupakan konsep yang penting untuk diketahui
karena generasi muda yang kurang memahami, mengetahui serta menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Namun, hal lain yang diperlukan adalah menggali
bagaimana penilaian orang Batak terhadap Dalihan na tolu yang memiliki
peranan yang besar dalam kehidupan orang Batak hingga masih tetap dilakukan
sampai saat ini.
Perilaku mahasiswa yang tidak menggunakan bahasa Batak, martutur,
bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikap. Dari segi psikologis dikatakan
bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang (Sobur,
2003). Sehingga dengan mengetahui gambaran sikap dapat diketahui bagaimana
seseorang memandang Dalihan na tolu. Sikap (attitude) adalah suatu bentuk
evaluasi seseorang untuk bereaksi secara positif maupun negatif terhadap objek
tertentu yang dibentuk dari interaksi antara komponen kognitif, afektif, dan
konatif / perilaku. Sikap terdiri dari 3 komponen yaitu komponen kognitif, afektif
dan juga konatif (McGuire dalam Hogg, 2002).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana gambaran sikap mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Permasalahan penelitian adalah “Bagaimanakah gambaran sikap
mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu”?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini antara lain bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap
mahasiswa Batak Toba terhadap Dalihan na tolu.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
1. Manfaat teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan untuk pengembangan kajian Psikologi Sosial
khususnya dalam Psikologi Budaya, terutama budaya Batak
Toba.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi
penelitian mengenai Dalihan na tolu, khususnya pada
mahasiswa Batak Toba.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi bagi
pembaca mengenai gambaran sikap mahasiswa Batak Toba
terhadap Dalihan na tolu.
b. Penelitian ini mampu mengajak para pembaca, khususnya
generasi Batak Toba untuk lebih mengetahui konsep dasar
Dalihan na tolu dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga budaya Dalihan na tolu tetap dijaga dan dilestarikan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I : Pendahuluan
Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
BAB II : Landasan Teori
Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan permasalahan. Memuat dasar teori tentang
Sikap, aspek-aspek sikap, faktor yang mempengaruhi
sikap dan Dalihan na tolu.
BAB III : Metodologi Penelitian
Berisi penjelasan mengenai metode yang digunakan dalam
penelitian yang mencakup variabel penelitian, definisi
operasional variabel penelitian, populasi dan sampel,
metode pengambilan data, validitas dan reliabilitas alat
ukur, prosedur penelitian dan metode analisis data.
BAB IV : Hasil penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini diuraikan gambaran subjek penelitian, hasil
penelitian utama dan hasil penelitian tambahan serta
pembahasan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan bedasarkan hasil analisis dan
interpretasi hasil data penelitian, serta saran metodologis