• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Edible Film - Aktivitas Antioksidan Edible Film Galaktomanan Yang Diinkorporasi Dengan Ekstrak Rimpang Jahe Pada Daging Ikan Nila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Edible Film - Aktivitas Antioksidan Edible Film Galaktomanan Yang Diinkorporasi Dengan Ekstrak Rimpang Jahe Pada Daging Ikan Nila"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Edible Film

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, teknologi pengemasan juga berkembang

dengan pesat. Akhir-akhir ini kemasan yang lebih modern telah banyak digunakan secara

meluas pada produk bahan pangan dan hasil pertanian misalnya plastik, kertas, aluminium,

foil, logam dan kayu. Diantara bahan kemasan tersebut, plastik merupakan bahan kemasan

yang paling populer dan sangat luas penggunaannya. Bahan kemasan ini memiliki berbagai

keunggulan yakni, fleksibel, transparan, tidak mudah pecah, bentuk laminasi (dapat

dikombonasikan dengan bahan kemasan lain), tidak korosif dan harganya relatif murah.

Disamping memiliki berbagai kelebihan, plastik juga memiliki kelemahan yakni, tidak tahan

panas, dapat mencemari produk sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan

konsumen, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami

(nonbiodegradable).

Saat ini, bahan kemasan plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan

terjadinya penumpukkan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan

lingkungan hidup. Kondisi demikian menyebabkan bahan kemasan plastik tidak dapat

dipertahankan penggunaanya secara meluas, oleh karena akan menambah persoalan

lingkungan dan kesehatan di waktu mendatang. Menurut Syarief et al, (1988) ada lima

persyaratan yang dibutuhkan dalam menentukan pilihan jenis dan cara pengemasan yang

akan digunakan yaitu penampilan, perlindungan, fungsi, harga dan biaya, serta penanganan

limbah kemasan. Dengan tidak dapat dipertahankannya lagi penggunaan plastik sebagai

bahan kemasan serta adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah

lingkungan, maka hal ini mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan teknologi

(2)

biodegradable terarah pada usaha untuk membuat bahan kemasan yang memiliki sifat seperti

plastik yang berbahan dasar dari bahan alam dan mudah terurai yang disebut dengan Edible

film.

Edible film (packaging) adalah suatu lapisan yang terbuat dari bahan-bahan yang

dapat dikonsumsi dan ditempatkan di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan

diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang transfer massa seperti

kelembapan, oksigen, lipid, dan zat terlarut, dan atau sebagai pembawa bahan makanan aditif,

serta meningkatkan kemudahan penanganan makanan (Krochta et al., 1992). Edible

packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu yang berfungsi sebagai pelapis

(edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film) (Krochta et al., 1994). Edible film

dan coating berbeda dalam cara pembentukannya dan penggunaannya pada makanan. Edible

coating dibentuk dan digunakan secara langsung pada produk makan dengan cara mengolesi

menggunakan kuas cat, penyemprotan, pencelupan, atau penyiraman (Cuq et al., 1995).

Sedangkan Edible film merupakan lapisan tipis berupa lembaran yang dibentuk melalui

penuangan pada cetakan yang selanjutnya dikeringkan. Edible coating banyak digunakan

untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis,

buah-buahan terutama obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta et al., 1994).

Edible film dan coating dapat memberikan penahanan terhadap uap air, oksigen (O2),

karbondioksida (CO2), aroma, lipida, dan sebagai pembawa zat (seperti anti mikroba,

antioksidan, flavour, dan lain sebagainya) (Krochta and De Mulder-Johnston, 1997).

Salah satu fungsi dari edible film adalah mempertahankan kualitas produk makanan

yang dikemasnya agar tidak mengalami degradasi. Degradasi dalam sistem makanan sangat

ditentukan oleh komposisi gas yang terdapat dalam lingkungan produk yang dikemas

tersebut. Sebagai contoh, oksigen yang terlibat dalam proses ketengikan lemak dan minyak,

pertumbuhan mikroorganisme, pembentukkan warna coklat oleh enzim dan kerusakan

vitamin. Dengan demikian edible film yang ingin dibuat harus dapat melindungi produk

makanan dari oksigen (Gontard et al., 1996). Namun demikian, permeabilitas edible film

terhadap oksigen dan karbon dioksida sangat penting dalam menjaga kesegaran produk

tersebut. Untuk itu bahan yang dapat membentuk edible film dengan kemampuan yang

seimbang lebih diutamakan. Oleh karena karakteristik utama dalam mempertimbangkan

pemilihan edible film adalah daya permeabilitas terhadap oksigen, karbon dioksida dan uap

(3)

mempertahankan kesegaran produk bergantung pada kemampuannya untuk mengontrol

komposisi gas internal (Park, 1999).

Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan subtansi lain untuk

mempertinggi kualitas warna, aroma dan tekstur produk, untuk mengontrol pertumbuhan

mikroba (Krochta et al., 1994). Selama proses pembuatan, bahan yang akan dibuat dilarutkan

dalam pelarut seperti alkohol, air, campuran air dan alkohol, atau campuran pelarut lainnya.

Bahan pemlastis, pewarna, penambah rasa atau antimikroba dapat juga ditambahkan pada

saat pelarutan. pH dan pemanasan larutan dilakukan untuk penyempurnakan dispersi. Larutan

film kemudian dicetak dan dikeringkan pada suhu yang diinginkan hingga diperoleh film

(Bourtoom, 2008).

Menurut Harris (1999), proses pembuatan edible film dapat dibagi atas tiga tahap

sebagai berikut:

1. Pembentukkan emulsi

2. Casting atau pencetakan bahan emulsi ke permukaan cetakan yang mempunyai

permukaan datar dan licin

3. Pengeringan

Pembuatan emulsi sangat tergantung pada sifat-sifat fisik-kimia bahan emulsi, jenis

emulsifier, jumlah dan konsentrasi emulsifier, ukuran partikel yang diinginkan, viskositas

larutan dan jenis alat pengemulsi yang digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat kelenturan

film yang diperoleh maka ditambahkan plastisizer. Casting biasanya dilakukan pada

permukaan datar dan halus seperti kaca dengan menuangkan bahan emulsi ke permukaan

cetakan tersebut pada ketebalan tertentu. Film kemudian dikeringkan pada aliran udara kering

selama 10-12 jam (Kinzel, 1992).

Salah satu sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam

pembuatan edible film adalah kolang-kaling. Menurut Mahmud dan Amrizal (1991), kolang

kaling mengandung karbohidrat, pati dan kadar air yang tinggi dari berat buah, dengan

demikian kolang-kaling dapat digunakan sebagai bahan baku edible film katagori

hidrokoloid. Keunggulan dari kolang-kaling digunakan sebagai sumber bahan baku edible

film adalah ketersediaannya sepanjang tahun, mudah didapat, harga relatif murah dan secara

ekonomis bernilai rendah karena kolang – kaling hanya digunakan pada bulan Ramadhan

(4)

tahun sampai 1,5 tahun. Buah aren yang muda akan menghasilkan kolang-kaling yang sangat

lunak dan bila terlalu tua akan menghasilkan kolang-kaling yang keras (Maryadi, 2004).

2.1.1 Komponen Penyusun Edible Film

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun

karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusunnya dapat dibagi menjadi

tiga kelompok yaitu: hidrokoloid (contoh: polisakarida atau protein), lemak (contoh: asam

lemak, asilgliserol, dan lilin) dan komposit serta komponen tambahan yang dapat

memodifikasi film (Donhowe and Fennema, 1994).

Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan

yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta

memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk.

Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air

sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.

Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk

melindungi produk dari penguapan air. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaannya dalam

bentuk murni sebagai pelapis masih terbatas, karena mempunyai kekurangan dari segi

ketahanannya.

Edible film dari komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid) dapat meningkatkan

kelebihan film dari hidrokoloid dan film dari lipid, serta mengurangi kelemahannya.

Pembentukkan edible film merupakan proses pertumbuhan fragmen-fragmen kecil yang akan

membentuk suatu polimer. Perinsip pembentukkan edible film adalah interaksi rantai polimer

menghasilkan polimer yang lebih besar dan stabil (Syamsir, 2008).

Sifat dari edible film yang penting diketahui sebelum digunakan untuk mengemas

produk dan penentuan umur simpan, antara lain permeabilitas terhadap uap air, permeabilitas

terhadap gas, dan permeabilitas terhadap lipid. Permeabilitas air adalah kecepatan atau laju

(5)

tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu

pada kondisi suhu dan kelembapan tertentu.

Hal ini disebabkan polimer dengan polaritas tinggi mempunyai ikatan hidrogen yang

besar. Polimer dengan gugus hidrofilik akan menghasilkan film yang rentan terhadap uap air,

sebaliknya polimer dengan gugus hidrofobik tinggi akan menghasilkan film dengan sifat

sekat (barrier) yang baik terhadap uap air. Kebalikan dari teori tersebut, polimer dengan

komponen hidrofilik tinggi cenderung akan menjadi sekat lintas yang baik bagi gas oksigen

(Paramawati R., 2001).

2.1.2 Plasticizer pada Edible Film

Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif.

Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang

diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap uv dan

lain-lain. Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan titik didih

tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah ditambahkan kedalam resin seperti PVC

yang keras dan kaku, sehingga akumulasi gaya intermolekuler pada rantai panjang akan

menurun (Yavad and Satoskar, 1997).

Gliserol adalah salah satu plasticizer yang paling sering digunakan pada pembuatan

film, disebabkan stabilitas dan kecocokan dengan rantai hidrofilik biopolimer. Fungsi utama

gliserol adalah sebagai suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembapan.

Gliserol dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai

zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya gliserol banyak digunakan sebagai

plasticizer dan didalam industri resin untuk menjaga kelenturan.

2.2. Galaktomanan

Galaktomanan merupakan polisakarida heterogen yang terdiri dari rantai utama β

(6)

Gambar 2.1. Struktur Galaktomanan

Kelebihan utama dari galaktomanan ini dibandingkan polisakarida lainnya adalah

kemampuannya untuk membentuk larutan yang sangat kental dalam konsentrasi yang rendah

dan hanya sedikit dipengaruhi oleh pH, kekuatan ionik dan pemanasan. Viskositas

galaktomanan sangat konstan sekali pada kisaran pH 1 – 10,5 yang kemungkinan disebabkan

oleh karakter molekulnya yang bersifat netral. Namun demikian galaktomanan akan

mengalami degradasi pada kondisi yang sangat asam atau basa pada suhu tinggi (Cerqueira et

al., 2009).

Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serba guna yang dapat hidup didaerah

tropis basah serta mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi tanah. Aren banyak

ditanam di Indonesia termasuk di propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu,

Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tanaman aren

belum dibudidayakan dan sebagian besar masih menerapkan teknologi yang minim (Anonim,

2009).

Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian buah,

sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah aren yang

masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit, karena lendir ini

mengandung asam oksalat. Buah yang setengah masak dapat dibuat kolang-kaling.

Kolang-kaling adalah endosperma biji buah aren yang berumur setengah masak setelah melalui

proses pengolahan. Setelah diolah menjadi kolang-kaling, maka akan menjadi lunak, kenyal,

dan berwarna putih agak bening (Sunanto, 1993). Endosperma dari Arenga pinnata telah

diteliti mengandung komponen polisakarida yang larut dalam air, komponen itu adalah

galaktomanan. Galaktomanan dipisahkan dari ekstrak endosperma biji mentah arenga

pinnata yang dilarutkan dalam sodium hidroksida kemudian di endapkan dengan etanol

(7)

fehling untuk menghasilkan galaktomanan. Perbandingan manosa dan galaktosa yang

diperoleh adalah 2,26 : 1 (Kooiman, 1971).

2.3. Jahe

Jahe merupakan salah satu bumbu yang paling penting dan luas penggunaannya di seluruh

dunia. Disebabkan permintaan yang tinggi, jahe tersebar sampai negara- negara tropis

maupun subtropis dari wilayah Cina-India. Negara-negara penghasil jahe yakni : India, Cina,

Thailand, Nigeria, Indonesia, Brasil, Jepang, Malaysia, Srilanka dan negara-negara kepulauan

pasifik lainnya dan Indonesia sendiri merupakan penghasil penting lainnya, dimana

mempunyai luas penanaman sampai 10.000 hektar dan produksi sekitar 77.000 ton dan

penanamannya dipusatkan di kepulauan Jawa-Sumatera (Ravindran, 2005).

Jahe secara botani dikenal sebagai Zingiber Officinale Roscoe dengan klasifikasi :

Subkingdom : Tracheobionta

Subdivisi : Spermatophyta

Klas : Monocotyledons

Subklas : Zingiberida

Ordo : Zingiberales

Sub-ordo : Scimitae

Family : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

Spisies : Officinale

(Butt, 2011 ; Ravindran, 2005 ; Zachariah, 2008).

2.3.1 Komponen Kimia Pada Jahe

Jahe merupakan tanaman khas yang memiliki gabungan dari banyak sifat dan ciri, dimana

mengandung minyak volatil, minyak non-volatil, senyawa pedas, resin, pati, protein dan

mineral. Komponen tertentu dari kelimpahan relatif dapat sangat bervariasi antara sampel

jahe dalam kondisi segar maupun kering.

(8)

Jahe memberikan sifat organoleptis yang khas pada dua komponennya, yaitu aroma

dan beberapa dari rasa jahe yang diketahui dengan adanya komponen minyak atsiri dan rasa

pedas yang dihasilkan oleh komponen non-volatil.

Komponen monoterpen dipercaya memberikan kontribusi yang sangat penting

terhadap aroma jahe dan ketergantungan yang relatif besar dalam minyak alami dari rimpang

segar daripada minyak atsiri yang didestilasi dari jahe kering. Seskuiterpen teroksigenasi

merupakan komponen yang relatif sedikit dalam minyak volatil tetapi tampaknya penting

sebagai penyumbang sifat rasa. Hasil minyak yang didestilasi dipengaruhi oleh sejumlah

faktor, yang mencakup jenis jahe, tingkat kematangan saat panen, metode untuk preparasi,

umur, dan termasuk metode destilasi (Zachariah, 2008).

2.3.2 Manfaat Jahe

Adapun manfaat yang terkandung dalam jahe itu sendiri antara lain:

A. Jahe sebagai penyedap rasa

Rempah-rempah yang digunakan dalam makanan untuk empat tujuan dasar:

1. Untuk penyedap

2. Untuk menutupi atau menghilangkan bau

3. Untuk menyampaikan kepedasan

4. Untuk menambahkan warna

B. Jahe sebagai antioksidan

Jahe memiliki kandungan antioksidan yang tinggi dan telah dikelompokkan sebagai salah

satu rempah-rempah dengan aktivitas antioksidan yang baik. Hal ini membuatnya sebagai

peredam radikal bebas. Sethi dan Aggarwi (1957) melaporkan bahwa jahe kering memiliki

sifat antioksidan yang lemah. Aktivitas antioksidan dari jahe bergantung pada struktur sisi

rantai pada pola substitusi pada cincin benzena, terutama aktivitas antioksidan yang diberikan

oleh gingerol dan heksahidrokurkumen. Pada hewan percobaan, diet yang mengandung jahe

menunjukkan efek yang sangat protektif, terhadap kerusakan oksidatif yang disebabkan

(9)

Penggabungan garam dan ekstrak jahe pada daging sapi tanpa lemak tengik selama

penyimpanan, meningkatkan kelembutan dan menambah jangka waktu simpan. Beberapa

komponen senyawa yang bersifat antioksidan (gambar 2.2).

Gambar 2.2. Struktur Senyawa yang Bersifat Antioksidan pada Jahe

C. Jahe sebagai antimikroba

Jahe juga sangat efektif digunakan dalam pengawetan makanan meskipun sifat antimikroba

tidak terlalu tinggi namun dapat mencegah pembusukkan pada makanan dan dapat juga

merangsang nafsu makan (Ravindran, 2005).

Pemanfaatan rempah-rempah sebagai pengawet alami pangan sudah banyak diteliti

baik untuk pangan segar maupun pangan olahan. Beberapa penelitian tersebut antara lain

pengawetan sale pisang basah menggunakan jahe (Kawiji dkk, 2011), penggunaan pasta jahe

sebagai antimikroba pada coating ikan lele asap (Johnson and Ndimele, 2011), dan

pengawetan keju dengan ekstrak jahe (Balewu et al., 2005). Beberapa struktur senyawa yang

bersifat antimikroba (gambar 2.3.).

(10)

2.4. Minyak Atsiri

Jahe merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki beragam kasiat. Tumbuhan yang

digolongkan kedalam suku temu-temuan ini memang mengandung banyak senyawa aktif

yang baik bagi kesehatan, salah satu senyawa aktif tersebut adalah minyak atsiri. Minyak ini

merupakan senyawa-senyawa yang sangat mudah menguap, dan aroma khas jahe berasal dari

minyak atsiri ini. Minyak ini biasanya digunakan sebagai aroma terapi karena mampu untuk

memberikan efek relaksasi, dimana minyak jahe ini dapat diperoleh dengan cara

hidrodestilasi (Kawiji dkk, 2011).

Akan tetapi kendala penggunaan minyak atsiri pada pangan adalah adanya perubahan

organoleptik (aroma maupun rasa) produk yang diaplikasikan. Oleh karena itu untuk

meminimalkan kadar penggunaan minyak atsiri maka terbuka peluang untuk menggunakan

edible coating atau edible film sebagai bahan pembawa komponen alami tersebut (Krochta et

al., 1994).

Komposisi Kimia Minyak Atsiri

Pada umumnya komponen kimia dalam minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan

yaitu:

1. Golongan Hidrokarbon

Persenyawaan yang termasuk golongan hidrokarbon terbentuk dari unsur Hidrogen (H) dan

Karbon (C). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam alam dan minyak atsiri sebagian besar

terdiri dari monoterpen (2 unit isopren), sesquiterpen (3 unit isopren), diterpen (4 unit

isopren) dan politerpen, serta paraffin, olefin dan hidrokarbon aromatik. Komponen kimia

golongan hidrokarbon yang dominan menentukan bau dan sifat khas setiap jenis minyak.

Sebagai contoh minyak terpentin yang mengandung monoterpen disebut pinen dan minyak

jeruk mengandung 90% limonen.

2. Oxygenated hydrocarbon

Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen

(H), dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah

persenyawaan alkohol, aldehida, keton, oksida, ester, dan eter. Ikatan atom karbon yang

terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan jenuh dan ikatan tidak jenuh.

(11)

Komponen lainnya terdiri dari persenyawaaan fenol, asam organik yang terikat dalam bentuk

ester misalnya lakton, kumarin dan turunan furan misalnya quinin. (Ketaren, 1985).

2.5. Ikan

Ikan merupakan anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan

bernafas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang sangat beraneka ragam.

Lebih dari 27.000 jenis ikan di seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan tergolong kelompok

paraphyletic yang hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan; biasanya, ikan dibagi

menjadi ikan tanpa rahang (kelas Agnatha), ikan bertulang rawan (kelas Chondritchtyes), dan

sisanya ikan tergolong bertulang (kelas Osteichthyes).

Ikan biasa ditemukan di hampir semua genangan air yang cukup besar baik air tawar,

air payau, dan air asin pada kedalaman yang bervariasi, dari dekat permukaan sampai

beberapa ribu meter dari permukaan. Ikan terdiri dari ikan air tawar dan air laut. Salah satu

ikan dari air tawar adalah ikan nila. Keduanya adalah sumber protein yang sangat penting

bagi pertumbuhan. Ikan mengandung 18% protein yang terdiri dari asam-asam amino

esensial yang tidak rusak pada waktu dimasak. Kandungan lemaknya 1 – 20% lemak yang

mudah dicerna dan bisa langsung digunakan oleh jaringan tubuh. Kandungan lemaknya

sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan dan

dapat menurunkan kolesterol yang ada dalam darah (Hamid, 2010).

Minyak ikan merupakan jenis minyak yang memiliki kandungan asam lemak tak

jenuh paling tinggi dibandingkan dengan jenis minyak lainnya (Departemen Kesehatan RI,

1988). Minyak ikan terdapat pada daging ikan baik daging yang berwarna merah maupun

putih, selain dalam daging, minyak juga terdapat dalam bagian tubuh ikan lain terutama hati

dengan kadar yang beragam. Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh

ikan yang telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Sampai saat ini, pengertian minyak/lemak

atau lipida secara umum belum didefenisikan dengan pasti dan dapat diterima oleh semua

ilmuan. Sampai saat ini minyak ikan masih merupakan sumber asam lemak ω-3 utama (Estiasih, 2009). Ditinjau dari segi kesehatan, hal ini sangat menguntungkan terutama

kandungan asam lemak omega-3 nya. Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi

(12)

oksidasi akan semakin meningkat dengan adanya panas, cahaya dan oksigen (Departemen

Kesehatan RI, 1988).

Ikan mengandung lemak dengan persentase yang berbeda dan sebagian besar berupa

lemak tidak jenuh yang memiliki beberapa ikatan rangkap. Lemak dengan ikatan rangkap

demikian bersifat tidak stabil dan relatif mudah mengalami proses oksidasi. Selama

penyimpanan, reaksi oksidasi yang terjadi akan menghasilkan senyawa-senyawa yang

berperan pada pembentukkan aroma, cita rasa dan penampakan. Oksidasi lemak merupakan

penyebab utama penurunan kualitas pada ikan segar yang disimpan pada suhu rendah.

Mikroba dan enzim yang dihasilkannya dapat berperan dalam proses ketengikan lemak, tetapi

proses oksidasi lemak lebih dominan sebagai penyebab ketengikan (Liviawaty, 2010).

Ikan nila merupakan spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan danau-danau

sekitarnya di Afrika. Bentuk tubuh memanjang, pipih kesamping dan warna putih kehitaman.

Jenis ini merupakan ikan konsumsi air tawar yang banyak dibudidayakan setelah ikan mas

(Cyrprinus Carpio) dan telah dibudidayakan di lebih dari 85 negara. Saat ini, ikan ini telah

tersebar ke Negara beriklim tropis dan subtropik, sedangkan pada wilayah beriklim dingin

tidak dapat hidup dengan baik. Bibit nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai

Peneliti Perikanan Air Tawar (Balitkanwar) dari Taiwan pada tahun 1969. Setelah melalui

masa penelitian dan adaptasi, ikan ini kemudian disebarluaskan kepada petani di seluruh

Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur

Jenderal Perikanan (Dinas kelautan dan perikanan, 2010).

Kandungan gizi ikan nila per 100 gram daging yang dapat dimakan:

Kadar air : 73,83 – 79,5

Protein : 19,53 – 18, 65

Lemak : 3,51 – 0,55

Abu : 0,91 – 1,30 (Nurjanah, dkk, 2011)

Klasifikasi ikan nila:

Kelas : Osteichthyes

Sub-kelas : Acanthoptherigii

Ordo : Percomorphi

(13)

Famili : Cichli dae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Terdapat 3 jenis nila yang dikenal, yaitu: nila basah, nila merah (nirah) dan nila albino (

Sugiarto, 1988).

2.6. Oksidasi Lipida

Minyak dan lemak pada makanan memburuk melalui beberapa reaksi degredasi baik pada

pemanasan dan penyimpanan jangka panjang. Proses kerusakan utama adalah reaksi oksidasi

dan dekomposisi dari produk oksidasi yang mengakibatkan penurunanan nilai gizi dan

kualitas sensorik. Dengan adanya proses-proses oksidasi adalah penting bagi produsen

makanan dan untuk semua yang terlibat dalam seluruh rantai makanan dari pabrik ke

konsumen. Oksidasi dapat dihambat oleh berbagai metode termasuk pencegahan akses

oksigen, penggunaan suhu rendah, inaktivitas enzim mengkatalisis oksidasi, reduksi tekanan

oksigen dan penggunaan kemasan yang cocok.

Reaksi spontan oksigen atmosfer dengan lipida, yang dikenal sebagai autoksidasi,

adalah proses yang paling umum yang menyebabkan kerusakan oksidatif. Asam lemak tak

jenuh ganda memiliki potensi untuk membusuk oleh proses ini, apakah dalam bentuk asam

lemak bebas atau dalam bentuk trigliserida (digliserida atau monogliserida) atau posfilipida.

Kerusakan minyak ikan akibat oksidasi selama proses pemurnian dapat dikurangi

dengan penambahan antioksidan dan setiap jenis antioksidan menpunyai tingkat efektivitas

kerja yang berbeda-beda. Penggunaan antioksidan, termasuk jenis dan konsentrasinya, harus

sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI (1988). Jenis

antioksidan yang diteliti adalah yang sering digunakan di Indonesia, sehingga memudahkan

dalam penerapannya. Bila oksidasi dapat dicegah atau dikurangi dengan menggunakan

antioksidan yang tepat, proses pemurnian diharapkan dapat menghasilkan minyak ikan

bermutu baik dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Usaha pemanfaatan

(14)

kandungan asam lemak omega-3 akan sangat bermanfaat, karena dapat menghasilkan produk

sesuai dengan yang diinginkan.

Hampir semua tahapan pada pemurnian minyak ikan melibatkan panas dan dilakukan

pada tempat yang memungkinkan kontak langsung dengan udara. Tahapan tersebut adalah

degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi (Departemen Kesehatan RI, 1988).

2.6.1. Produk Oksidatif Lipida

Komponen dibentuk pada tahap awal autoksidasi adalah hidroperoksida, dan ini juga produk

dibentuk pada oksidasi katalisis lipoksigenase. Meskipun hidroperoksida adalah tidak mudah

menguap dan tidak berbau, namun senyawa tersebut relatif tidak stabil dan secara spontan

dapat mendekomposisi atau dalam reaksi katalis membentuk senyawa aroma yang mudah

menguap, yang aromanya tak sedap. Sifat aroma tak sedap terdeteksi terutama tergantung

pada komposisi asam lemak dari substrat dan tingkat oksidasi, meskipun kondisi oksidasi

juga dapat mempengaruhi senyawa mudah menguap yang dihasilkan dan sifat sensorik dari

minyak teroksidasi. Contoh dari oksidatif aroma tak sedap adalah rasa kacang yang tidak

enak pada minyak kedelai. Aroma amis yang berkembang di minyak ikan, dan aroma logam

yang terdapat pada lemak susu. Aldehida umumnya berkontribusi untuk aroma tak sedap

yang berkembang selama oksidasi lipida. Selain pengembangan rasa tengik, kerusakan

oksidatif lipida dapat menyebabkan pemutihan disebut radikal bebas, yang dibentuk selama

oksidasi lipida. Radikal bebas juga dapat menyebabkan pengurangan kualitas gizi melalui

reaksi dengan vitamin, khususnya vitamin E, yang hilang dari makanan selama aksinya

sebagai antioksidan.

Aroma tak sedap yang berkembang selama oksidasi lipida secara umum merupakan

peringatan bahwa makanan tersebut tidak lagi dapat dimakan, meskipun hal ini tidak berlaku

untuk suplemen lemak tak jenuh ganda yang diambil dalam bentuk kapsul. Ada beberapa

kekhawatiran bahwa asupan berlebihan hidroperoksida lipida dapat menyebabkan efek

merugikan kesehatan. Secara teori, jika hidroperoksida diserap konsumen yang merupakan

potensial sumber radikal maka akan dapat menyebabkan kerusakan secara in vivo. Radikal

bebas yang dihasilkan oleh dekomposisi hidroperoksida dapat menyebabkan kerusakan

(15)

Hidroperoksida bisa terbentuk oleh autoksidasi, tetapi jalur alternatif adalah dengan

tindakan dari enzim lipokgenase pada asam lemak tak jenuh ganda. Lipokgenase terjadi pada

berbagai tanaman termasuk kedelai, jagung, kentang, tomat, mentimun, benih gandum dan

biji barley. Ini adalah sangat penting dalam pengembangan rasa dan sayuran, tetapi pada

tanaman biji minyak, aksi lipoksigenase sebelum dan selama ekstraksi minyak dapat

menyebabkan hidroperoksida yang kemudian terurai untuk membentuk aroma tak sedap

dalam minyak.

Hidroperoksida juga bisa terbentuk oleh foto-oksidasi jika cahaya bekerja pada lemak

dengan kehadiran sebuah sensitizer. Namun, dekomposisi hidroperoksida adalah reaksi

energi rendah untuk inisiasi autooksidasi, dan dekomposisi dari aroma tak sedap yang

terbentuk biasanya merupakan karakteristik produk autooksidasi (Pokorny, 2001).

2.6.2. Mekanisme Autoksidasi

Sebagai reaksi radikal bebas, autoksidasi berlangsung dalam tiga langkah yang berbeda,

(Gambar 2.4)

Inisiasi X• + RH R• + XH

Propagasi R• + O2 ROO•

ROO• + R-H ROOH + R’•

Terminasi ROO• + ROO• ROOR + O2

ROO• + R• ROOR

R• + R• RR

Inisiasi Sekunder ROOH RO• + •OH

(16)

Inisiasi pengkatalisis logam

Mn+ + ROOH RO• + -OH + M(n+1)+

M(N+1)+ + ROOH ROO• + H+ + M(N)+

Gambar 2.4. Mekanisme Autoksidasi Lipida

Langkah pertama adalah inisiasi dimana radikal lipida terbentuk dari lipida molekul.

Abstraksi atom hidrogen oleh spesies reaktif seperti radikal hidroksil dapat menyebabkan

inisiasi oksidasi lipida. Namun, dalam mnyak sering kali ada jejak hidroperoksida, yang

mungkin telah dibentuk oleh aksi lipoksigenase sebelum dan selama ekstraksi minyak.

Inisiasi sekunder dengan pemecahan homolitik dari hidroperoksida berlangsung pada energi

reaksi yang relatif rendah dan biasanya reaksi inisiasi utama terdapat dalam minyak yang

dimakan. Reaksi ini biasanya dikatalisis oleh ion logam.

Setelah inisiasi, reaksi propagasi terjadi dimana satu lipid radikal diubah menjadi

berbeda lipida radikal. Reaksi ini umumnya melibatkan abstraksi atom hidrogen dari molekul

lipida atau penambahan oksigen ke suatu alkil radikal. Entalpi reaksi tersebut relatif rendah

dibandingkan dengan reaksi inisiasi, sehingga reaksi propagasi terjadi dengan cepat

dibandingkan dengan reaksi inisiasi.

Pada tekanan atmosfer, reaksi radikal alkil dengan oksigen sangat cepat, sehingga

konsentrasi radikal peroksi lebih tinggi dari radikal alkil. Abstraksi hidrogen terjadi secara

istimewa pada atom karbon yang energi disosiasinya rendah. Karena energi disosiasi ikatan

C-H dikurangi dengan tetangga fungsi alkena, maka abstraksi hidrogen terjadi paling cepat

pada kelompok metilen antara dua kelompok alkena dalam asam lemak tak jenuh ganda

(PUFA).

Para radikal yang terbentuk awalnya dari sebuah PUFA yang terdelokalisasi di lima

atom karbon dari bagian 1,4-pentadienil, dan reaksi dengan oksigen terjadi secara istimewa

dengan penambahan pada satu dari karbon akhir struktur ini. Ini mengarah pada

pembentukkan 9 – dan 13-hidroperoksida dari asam linoleat seperti ditunjukkan pada

(17)

CH3CH2CH2CH2CH2CH=CH-CH2-CH=CH(CH2)7COOH

ROO● Asam Linoleat

CH3CH2CH2CH2CH2CH=CH-CH●-CH=CH(CH2)7COOH

Radikal linoleil

CH3CH2CH2CH2CH2CH●-CH=CH-CH=CH(CH2)7COOH

O2

CH3CH2CH2CH2CH2CH-CH=CH-CH=CH(CH2)7COOH

OO● Radikal peroksil

RH

CH3CH2CH2CH2CH2CH-CH=CH-CH=CH(CH2)7COOH

OOH 13-hidroperoksida

Gambar 2.5. Pembentukkan 13-hidroperoksida dari asam Linoleat (Senyawa

9-hidroperoksida merupakan produk utama yang terbentuk melalui jalur seperti diatas)

(Ketaren, 1985).

2.7. Antioksidan

Antioksidan dalam makanan dapat didefinisikan sebagai zat yang mampu menunda,

memperlambat atau mencegah pengembangan ketengikan dan rasa dalam makanan atau

kerusakan lainnya akibat oksidasi. Antioksidan menunda pengembangan aroma tak sedap

dengan memperpanjang masa induksi. Penambahan antioksidan setelah akhir priode ini

cenderung tidak efektif dalam memperlambat pengembangan ketengikan (Pokorny, 2001).

Sejak perang dunia telah dikenal kurang lebih sebanyak 500 macam persenyawaan

kimia yang mempunyai aktivitas antioksidan dapat menghambat atau mencegah kerusakan

lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Pertama kali bahan kimia tersebut

ditambahkan untuk menghambat kerusakan oleh oksidasi pada karet, gasoline, plastik atau

bahan non pangan lainnya, dan belum digunakan dalam bahan pangan karena pada saat itu

(18)

sekarang, antioksidan tersebut telah banyak digunakan atau ditambahkan kedalam lemak atau

bahan pangan berlemak.

Berdasarkan penelitian Food Laboratoris of Eastman Chemical Product Inc, telah

diketahui efektivitas beberapa jenis antioksidan, sifat sinergis dari posfolipid, serta pengaruh

asam sitrat dan asam posfat terhadap aktivitas antioksidan pada kondisi tertentu. Mekanisme

antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal

bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi yaitu:

1) pelepasan hidrogen dan antioksidan, 2) pelepasan elektron dari antioksidan, 3) adisi lemak

kedalam cincin aromatik pada antioksidan, dan 4) pembentukkan senyawa kompleks antara

lemak dan cincin aromatik dari antioksidan.

Bahan kimia yang dapat mempercepat oksidasi atau sebagai pengoksidasi adalah

salah satunya peroksida. Hasil oksidasi berpengaruh dan dapat mempersingkat periode

induktif lemak segar, dan dapat merusak zat inhibitor. Konstituen yang aktif dari hasil

oksidasi lemak, berupa peroksida lemak atau penambahan peroksida selain yang dihasilkan

pada proses oksidasi lemak, misalnya hidrogen peroksida dan asam perasid dapat

mempercepat proses oksidasi (Ketaren, 1985). Berkaitan dengan fungsinya, senyawa

antioksidan diklasifikasikan dalam tiga tipe antioksidan, yaitu:

1. Primary Antioksidan (Antioksidan utama/ Antioksidan Primer)

Termasuk:

- SOD (Superoxide Dismutase)

- GPX (Glutathion Perokxide)

- Metalbinding protein seperti Ferrtin atau Ceruloplasmin

Antioksidan primer ini bekerja untuk mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas

yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini

sempat bereaksi. Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung

(19)

2. Secondary Antioksidan (Antioksidan Kedua/ Antioksidan Sekunder)

Antioksidan ini berfungsi menangkap senyawa serta mencegah terjadinya reaksi berantai.

Contoh: antioksidan sekunder: vitamin E, vitamin C, betakaroten, asam urat, bilirubin dan

albumin.

3. Tertiary Antioksidan (Antioksidan Ketiga/ Antioksidan Tersier)

Antioksidan jenis ini memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal

bebas. Contoh enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah mentionin sulfoksidan

reduktase. Adanya enzim-enzim perbaikan DNA ini berguna untuk mencegah penyakit

misalnya kanker (Kosasih, 2004).

Spesi oksigen reaktif seperti hidrogen peroksida (H2O2), anion radikal superoksida

(O2●) dan radikal hidroksil (OH●) dapat terbentuk oleh karena adanya cahaya, logam, panas,

radiasi ionisasi, beberapa reaksi kimia, proses metabolis dan penuaan. Spesi yang reaktif ini

berperan dalam perubahan sitotoksitas dan metabolik tubuh seperti penyimpanan kromosom,

oksidasi lipida protein, perubahan pada morfologi jaringan otak pada hewan dan manusia,

serta juga terlibat dalam perkembangan beberapa penyakit seperti kanker, jantung koroner,

diabetes dan lain sebagainya (Moskovitz, et al., 2002).

Minyak atsiri telah dikenal luas penggunaannya sebagai bahan pengawet pada industri

makanan dan dapat diterima konsumen karena berasal dari alam. Namun demikian, aplikasi

minyak atsiri masih terbatas mengingat pertimbangan flavour yang dibawanya dan

efektifitasnya yang tidak terlalu tinggi oleh karena interaksinya dengan komponen-komponen

yang terdapat dalam makanan (Skandamis et al., 2001).

Beberapa tumbuh-tumbuhan terutama yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan

merupakan sumber senyawa fenolik dan telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang

sangat baik. Salah satu tumbuhan bumbu yang memiliki sifat antioksidan yang baik adalah

jahe (Zingiber officinalis), beberapa peniliti telah melakukan penelitian inkorporasi minyak

atsiri yang bersifat antioksidan kedalam edible packaging sama dengan permasalahan

penambahan antimikroba. Pelepasan bahan aktif dan pengaruh penambahannya terhadap sifat

mekanis, daya penghambatan, dan sifat optis edible packaging memperbaiki sifat

permeabilitas uap air filmnya oleh karena fraksi yang mengandung gugus hidrofobik semakin

(20)

2.7.1. Pengaruh Antioksidan terhadap Oksidasi

Antioksidan dapat menghambat atau memperlambat oksidasi dalam dua cara: baik dengan

peredaman radikal bebas, dalam hal ini senyawa tersebut digambarkan sebagai antioksidan

primer, atau dengan mekanisme yang tidak melibatkan peredaman radikal bebas langsung,

dalam hal ini senyawa tersebut adalah antioksidan sekunder. Antioksidan primer termasuk

senyawa fenolik. Komponen ini diasumsikan selama periode induksi. Antioksidan sekunder

beroperasi dengan berbagai mekanisme termasuk mengikat ion logam, peredaman oksigen,

mengubah hidroperoksida untuk spesi non-radikal menyerap radiasi UV atau menonaktifkan

oksigen singlet (Pokorny, 2001).

2.7.2. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan DPPH Radikal Bebas

Peredaman radikal merupakan suatu mekanisme utama dari antioksidan yang berperan dalam

makanan. Beberapa metode yang telah dikembangkan dalam perhitungan nilai aktivitas

antioksidan oleh peredaman radikal sintetis dalam pelarut organik polar, pada suhu kamar.

Yang dipergunakan yakni radikal 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazyl/ DPPH dan 2,2’-azino-bis

(3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonic acid)/ ABTS.

Dalam pengujian DPPH, peredaman radikal-radikal DPPH diikuti dengan memantau

penurunan absorbansi yang disebabkan karena reduksi oleh antioksidan (AH) atau reaksi

dengan spesi radikal (R●).

DPPH• + AH DPPH-H + A•

DPPH•+ R• DPPH-R

Reaksi cepat terjadi pada radikal DPPH dengan beberapa senyawa fenolik, tetapi reaksi

selanjutnya lambat yang disebabkan terjadinya penurunan absorbansi. Oleh karena itu,

keadaan dasar tidak akan tercapai untuk beberapa jam. Kebanyakan dokumentasi untuk

penggunaan metode DPPH adalah peredaman 15 atau 30 menit waktu reaksi. Hasil yang

dituliskan berupa IC50, yang merupakan suatu konsentrasi sampel antioksidan yang diuji

mampu melakukan peredaman 50% terhadap radikal DPPH dalam jangka waktu tertentu

(21)

Senyawa polisakarida yang telah diuji antioksidannya oleh peneliti sebelumnya yaitu

galaktomanan dari biji aren kolang-kaling (Arenga pinnata) melalui peredaman radikal bebas

dengan nilai IC50 adalah 22,109 mg/mL (Tarigan, 2012).

2.8. Ekstraksi Lipida

Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga

mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam-macam, yaitu

rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression dan solvent extraction

(Ketaren, 1985).

Lipida dalam hal sifat terkait dengan molekul lain melaui:

(a) interaksi Van der Waals

Contoh : interaksi beberapa lipida dengan protein

(b) ikatan elektrostatis dan hiderogen

Terutama antara lipida dengan protein

(c) ikatan kovalen antara lipida, karbohidrat dengan protein

Karena itu, untuk memisahkan dan mengisolasi lipida dari matriks seluler yang

kompleks, penanganan secara kimia dan fisis yang berbeda harus diberikan. Ketidaklarutan

dalam air secara umum digunakan untuk pemisahan lipida dari komponen lainnya. Ekstraksi

lengkap mungkin memerlukan waktu ekstraksi yang lama atau seri atau kombinasi pelarut

sehingga lipida dapat dilarutkan dari matriks. Perosedur dalam ekstraksi lipida dari jaringan

hewan atau tumbuhan biasanya meliputi beberapa langkah :

(a) penyediaan sampel, yang meliputi: pengerinagan , pengecilan ukuran atau hidrolisis

(b) homogenisasi jaringan dengan adanya pelarut

(c) pemisahan cairan (organik dan larutan) dan fase padat

(d) penghilangan kontaminasi non-lipida

(e) penghilangan pelarut dengan pengeringan dari ekstrak

Untuk mencegah atau memperlambat kerusakan oksidatif pada makanan, antioksidan

banyak digunakan sebagai aditif dalam lemak dan minyak, dan dalam pengolahan makanan

Gambar

Gambar 2.1. Struktur Galaktomanan
Gambar 2.2. Struktur Senyawa yang Bersifat Antioksidan pada Jahe
Gambar 2.4. Mekanisme Autoksidasi Lipida
Gambar 2.5. Pembentukkan 13-hidroperoksida dari asam Linoleat (Senyawa 9-

Referensi

Dokumen terkait

Ningsih Ayu Putri, Nurmiati, Anthoni Agustien, 2013, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kental Tanaman Pisang Kepok Kuning ( Musa paradisiaca Linn.) Terhadap

Oleh karna itu, komposit Graphene /TiO 2 /PAni pada persentase 75%:25%:1 dapat dijadikan sebagai kandidat bahan elektroda baterai Li-ion yang diharapkan dapat menggantikan fungsi

Penganugerahan Tokoh Guru 2013 Tuan-tuan dan puan2 ( Video Biodata Tokoh Kepimpinan dipaparkan ) Untuk menyampaikan anugerah Tokoh Guru Kepimpinan, majlis dengan sukacitanya

Dan bagaimana pengaruh curiosity (rasa ingin tahu) dan pemanfaatan teknologi siswa dapat mempengaruhi tingkat optimisme mereka dalam menghadapi tantangan di masa yang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lampung Tengah.. Penelitian ini menggunakan

Dari paparan diatas dapat disimpulkan kreativitas yang guru fiqih lakukan agar peserta didik aktif dalam metode tanya jawab yaitu guru merangsang dengan

Maka upaya dan solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi peredaran kosmetik mengandung bahan berbahaya ini adalah dengan melakukan sosialisasi dalam bentuk penyuluhan

Simpulan dari penelitian ini pada editing cross cutting yang diterapkan pada film Cek Toko Sebelah menciptakan ketegangan dalam alur cerita serta untuk membangun