• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam kebijakan luar negeri tercermin suatu nilai dasar yang dianut oleh suatu negara ketika berinteraksi dengan aktor lainnya. Nilai tersebut menjadi pedoman dalam berperilaku dalam hubungan internasional. “Kebijakan luar negeri merupakan instrument kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah suatu negara berdaulat untuk menjalin hubungannya dengan aktor-aktor lain dalam politik dunia internasional demi mencapai tujuan nasionalnya.”1

Penekanan yang terdapat pada kebijakan luar negeri adalah tindakan maupun aksi dimana suatu kebijakan negara terhadap lingkungan eksternalnya untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Studi kebijakan luar negeri pada dasarnya mencakup bidang yang sangat luas karena berbagai aspek dari suatu kebijakan atau tindakan suatu negara akan dibahas secara sistematis dan kritis untuk mengetahui bagaimana negara-negara tersebut mencapi tujuan-tujuan nasionalnya di lingkungan eksternal. Selain membahas tentang tujuan kebijakan luar negeri studi ini juga mempelajari orientasi, strategi, dan implementasi kebijakan luar negeri. Pelaksanaan politik luar negeri didahului oleh penetapan kebijaksanaan dan keputusan serta harus memperhatikan pertimbanganpertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor nasional sebagai faktor internal dan faktor-faktor internasional sebagai eksternal.2

(2)

Landasan atau dasar-dasar utama politik luar negeri Indonesia tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Alinea pertama menyatakan bahwa:

“...kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan”.2 Selanjutnya Mukadimah UUD 1945 mengatakan dalam ayat ke-4 bahwa: “...Pemerintah/negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonseia dan untuk seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”3 Salah satu tujuan penting dari memiliki landasan hukum adalah untuk memastikan keamanan hukum negara ketika merumuskan, memproduksi dan melaksanakan kebijakan luar negeri.

Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT) adalah suatu perjanjian yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang bertujuan membatasi kepemilikan senjata nuklir. Terdapat 189 negara berdaulat yang menjadi negara pihak NPT dan dibagi menjadi 2 kategori yaitu negara-negara nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) dan

negara-negara non-nuklir (Non-Nuclear Weapon States/NNWS). NPT pada

dasarnya merupakan komitmen dari kelima negara NWS untuk mewujudkan

general and complete disarmament, dan komitmen negara-negara NNWS untuk

tidak mengembangkan atau memperoleh senjata nuklir. Selain itu, NPT juga menegaskan untuk melindungi hak seluruh negara pihak untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai.4

Kebijakan luar ngeri Indonesia terhadap perjanjian nonproliferasi nuklir adalah hal yang cukup menarik untuk dibahas, khususnya pada masa ini karena Indonesia harus memutuskan satu tindakan nyata terhadap NPT yang melibatkan pemerintah di dalam negeri. Perjanjian nonproliferasi senjata nuklir terkait dengan

2 Mochtar Kusumaatmadja. 1983. Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini Bandung: Alumni. hal. 6.

3Ibid., hal. 6.

(3)

dunia internasional karena merupakan perjanjian multilateral yang melibatkan banyak negara. Perjanjian ini menyangkut dengan keamanan dunia internasional karena berkaitan dengan pengembangan dan pengembangan senjata dan teknologi nuklir. Keikutsertaan negara-negara pihak yang menandatangani perjanjian ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap konsistensi negara dalam menjaga perdamaian dunia.

Perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT) sebagai salah satu upaya yang paling ambisius untuk memperluas jangkaun peradaban dari kapasitas aturan hukum. Bahkan NPT dirasakan oleh banyak orang sebagai perjanjian yang sangat diperlukan untuk keamanan internasional dan tatanan dunia.5

Konstitusi Indonesia secara jelas mengamanatkan bahwa tujuan dan kepentingan nasional harus dicapai untuk kepentingan bangsa sendiri. Negara pihak NPT dan masyarakat dunia internasional mengaharapkan bahwa NPT adalah perjanjian mulitilateral yang dapat memberikan jaminan keamanan internasional dan menjaga stabilitas kemanan internasional dengan mencegah penyebaran senjata nuklir, meningkatkan perlucutan senjata nuklir serta peningkatan kerjasama untuk penggunaan senjata nuklir demi tujuan damai. NPT sendiri telah diberlakukan mulai tahun 1970 dimana terdapat 187 negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Indonesia sangat mendukung NPT karena perjanjian ini sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.

Perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT) sendiri ditinjau melalui konferensi yang diselenggarakan setiap lima tahun sejak perjanjian mulai berlaku pada tahun 1970. Setiap konferensi peninjauan NPT telah berupaya untuk menemukan kesepakatan mengenai deklarasi akhir yang akan dapat memberikan penilaian

(4)

tentang pelaksanaan ketentuan yang ada dalam NPT dan membuat rekomendasi tentang langkah-langkah untuk lebih memperkuatnya.6

Konferensi peninjauan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) pada bulan Mei tahun 2010 di New York merupakan upaya internasional untuk mencapai perlucutan senjata nuklir dan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir. Setelah sebulan negosiasi intensif, terdapat 189 negara yang menyetujui NPT pada dokumen akhir yang mengedepankan 64 tindakan. Tindakan utama termasuk pembicaraan resmi tentang menghilangkan senjata nuklir di Timur Tengah, isu yang telah stagnan pada konferensi untuk meninjau Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan perpanjangan konferensi sejak tahun 1995.7

Mengingat selama 10 tahun terjadi kebuntuan ketika konferensi peninjauan NPT pada tahun 2000, termasuk pertemuan tahun 2005 yang gagal menghasilkan persetujuan mengenai masalah substantif, ini adalah kesuksesan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan secercah harapan untuk nonproliferasi nuklir dan perlucutan senjata.

Konferensi peninjauan NPT yang berlangsung tahun 2010 bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata serta meningkatkan kerjasama dalam penggunaan energi nuklir secara damai yang selanjutnya tujuan mencapai perlujutan senjata nuklir dan perlucutan senjata secara umum dan lengkap. Ini merupakan komitmen yang mengikat pada perjanjian multilateral untuk tujuan perlucutan senjata dan nonproliferasi nuklir.8

Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada konferensi peninjauan NPT yang berlangsung bulan Mei tahun

6Ibid., hal. 327

7 Sameh Aboul-Enein. 2010. NPT 2010: The Beginning of a New Constructive Cycle. Vol. 40. Washington: Arms Control Association. hal. 8-15

(5)

2010 menekanan perlunya negara yang memiliki senjata nuklir untuk menjunjung tinggi komitmen perlucutan senjata mereka.

Marty Natalegawa sebagai Menteri Luar negeri Indonesia mengatakan bahwa “Menunda penghapusan senjata nuklir secara keseluruhan adalah hal yang memberikan jaminan keamanan secara negatif terhadap negara tanpa senjata nuklir.”9 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa yang menjadi permasalahan adalah bagaimana tindakan Indonesia terhadap perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT). Negara-negara yang meratifikasi perjanjian nonproliferasi nuklir belum mendapatkan jaminan keamanan secara menyeluruh apabila masih ada negara yang belum meratifikasi perjanjian nonproliferasi nuklir dan tetap memproduksi dan menggunakan energi nuklir untuk tujuan memperluas kekuasaannya dan bukan untuk tujuan damai.

Dari apa yang dikatakakanMarty Natalegawa, dapat dijelaskan bahwa apabila dilakukan penundaan terhadap penghapusan senjata nuklir oleh negara pihak, termasuk Indonesia. Salah satunya dengan tidak meratifikasi NPT pada saat konferensi peninjauan NPT maka negara yang telah melaksanakan dan menghormati perjanjian NPT akan mendapatkan jaminan keamanan secara negatif karena masih ada negara yang mempergunakan senajata nuklir. Indonesia sendiri sebagai negara yang berdaulat memiliki pilihan atau berbagai alternatif kebijakan luar negeri terhadap perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT). Indonesia dapat mendukung NPT dengan meratifikasi perjanjian dan menghormati dan melaksanakan isi NPT yaitu menggunakan senjata nuklir hanya untuk tujuan damai, Indonesia juga dapat bersikap abstain terhadap NPT atau bahkan Indonesia dapat mengambil tindakan untuk tidak meratifikasi perjanjian NPT yang berarti Indonesia tidak memberlakukan perjanjian nonproliferasi di dalam negeri.

9 Anonymous. 2010. “Indonesia Urges Nuclear States To Put Pressure On Israel To Accede To NPT”. Political Science Journal. London: BBC Worldwide Limited

(6)

Dalam kaitan dengan isu nonproliferasi nuklir, Indonesia dihadapkan pada pilihan kebijakan luar negeri yang dapat diambil. Akan tetapi setiap pengambilan kebijakan luar negeri memiliki konsekuensi, oleh karena itu harus berdasarkan pada kepentingan nasional. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia terkait dengan NPT adalah tindakan apa yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai negara yang berdaulat terhadap perjanjian yang melibatkan banyak negara dan berkaitan dengan kemanan internasional.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah adalah: 1. Bagaimanakah kebijakan luar negeri Indonesia berdasarkan pada model

atau teori pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri terhadap

NonProliferation Treaty (NPT) atau Perjanjian Nonproliferasi Nuklir?

2. Apa sajakah alternatif kebijakan luar negeri yang dapat dilakukan Indonesia terhadap Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT)?

3. Apakah Indonesia meratifikasi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) berdasarkan Konferensi Peninjauan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 2010?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu:

mengetahui dan menganalisis posisi dan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT) berdasarkan pada teori yang ada.

2. Manfaat Penelitian

(7)

a. Bagi penulis, manfaat penelitian ini adalah melatih kemampuan dalam menganalisis secara ilmiah mengenai ilmu politik khususnya yang berkaitan tentang kebijakan luar negeri Indonesia terhadap isu khusus seperti Perjanjian Nonproliferasi Nuklir.

b. Bagi peneliti lain, manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan dalam meneliti masalah yang sama dalam penelitian di masa yang datang.

D. Kerangaka Pemikiran

1. Kepentingan Nasional

William D. Copplin mengemukakan kepentingan nasional sebagai berikut: “Masalah-masalah perspektif yang mengitari perdebatan yang mengitari konsep kepentingan nasional berkaitan dengan kepentingan-kepentingan yang harus diwakili, defenisi-defenisi eksak dari kepentingan kolektif bangsa dan cara merumuskan kebijakan untuk menangani interaksi dimana kepentingan subnasional kelompok-kelompok dan kepentingan kolektif bangsa.”10

“Menurut Frankel, hakikat kepentingan nasional adalah sebagai keseluruhan yang hendak ditegakkan oleh suatu bangsa.”11 Frankel mengatakan kepentingan nasional

dapat memberikan gambaran tentang aspirasi negara, kepentingan nasional bisa dipergunkan secara operasional yang dapat dilihat dalam pelaksanaannya pada kebijaksanaan yang nyata dan rencana yang dituju. Pada akhirnya kebijaksanaan maupun rencana yang dituju berorientasi kepada kepentingan nasional. Kepentingan nasional secara konseptual dapat menjelaskan perilaku politik luar negeri. Arti minimum yang inheren dengan konsep kepentingan nasional adalah keberlangsungan hidup (survival).12Maka dalam kaitan ini Hans J. Morgenthau

10 Wiliam D. Coplin. 1992. Pengantar Politik Suatu Telaah Teoritis (terj) Mersedes Marbun. Bandung: Bina Cipta. hal. 446.

11Ibid., hal.143

(8)

mengatakan bahwa kemampuan minimum bangsabangsa adalah untuk melindungi identitas fisik, politik dan identitas budaya mereka oleh gangguannegara-negara lain.14

Secara common sense kebijakan luar negeri senatiasa diabadikan untuk

kepentingan nasional tetapi kita tidak memperoleh informasi yang substantive dengan pernyataan seperti itu.13 Konsep kepentingan nasional merupakan salah satu konsep yang maknanya sangat mengambang (vague) tergantung siapa yang

mendefinisikannya. Oleh karena itu, para ahli studi kebijakan luar negeri mencoba memberikan pengertian konsep ini dengan dibuatnya kriteria.

“Miroslav Nincic dalam buku Studi Hubungan Internasional

memperkenalkan tiga kriteria atau yang disebut sebagai asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam memberikan pengertian tentang kepentingan nasional. 14

1. Pertama, kepentingan itu harus bersifat vital sehingga pencapainnya menjadi prioritas utama pemrintah dan masyarakat.

2. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan internasional.

3. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok, atau lembaga pemrintahan sehingga menjadi kepeduliaan masyarakat secara keseluruhan.”15

Kepentingan nasional dapat dibedakan atas lima yaitu:

1. Pertama yaitu kepentingan strategis yaitu yang mencakup pertahanan keamanan territorial negara serta usaha untuk mempertahankan perimbangan kekuatan baik global maupun regional yang menguntungkan 2. Kedua yaitu kepentingan politik yang antara lain mencakup upaya untuk

mempertahankan kekuasaan

13 P. Anthonius Sitepu, op.cit., hal. 67. 14Ibid., hal. 67.

(9)

3. Ketiga yaitu kepentingan ekonomi yang mencakup usaha distribusi kekayaan internasional yang seadil-adilnya.

4. Keempat kepentingan hukum yaitu usaha untuk memperthankan perjanjian nasional yang menjamin hak-hak setiap negara.

5. Kelima, kepentingan ideologis yang antara lain mencakup upaya menyebarluaskan falsafah hidup atau ideologi politik negara tersebut serta upaya menagkal pengaruh negative yang datang dari luar.16

“Kepentingan nasional sangat luas cakupannya dan karena itu harus dijabarkan ke dalam tujuan kebijakan luar negeri (foreign policy objectives) yang

lebih spesifik dan dapat diukur tingkat keberhasilan pencapainnya.”17

Setiap pemerintah tentu saja memiliki prioritas kebijakan nasional yang ingin dicapai selama memiliki kekuasaan. Sebagai alat pemerintah maka Departemen Luar negeri diharapkan bisa merumuskan tujuan kebijakan luar ngeri dalam memberikan dukungan setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah. Pencapaian tujuan kebijakan luar negeri suatu negara sangat ditentukan oleh peluang dan kendala yang ada di lingkungan eksternalanya. Pemerintah harus dapat mengidentifikasi peluang yang ada untuk tercapinaya tujuan nasional. Pembuat dan pelaksana kebijakan luar negeri diharapkan dapat memaksimalkan peluang yang ada di dalam persaingan global yang terjadi dengan ketat sekaligus mengurangi ataupun menyelesaikan kendala yang terjadi.

Dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam tataran internasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki serangkaian pilihan dalam menentukan perilaku Indonesia dalam konteks regional maupun global baik yang berskala bilateral dan multilateral.18Kepentingan nasional mengandung nilai-nilai

16 Riza Sihbudi. 1997. Timur Tengah. Jakarta: Gema Insan Press. hal. 8-9. 17 Riza Sihbudi, op. cit., hal 69.

(10)

yang merupakan dasar bagi suatu negara untuk dipergunakan dalam mencapai sasaran ataupun strategi yang telah dirumuskan.19

Dalam pandangan para pendiri Republik Indonesia kepentingan nasional harus didasarkan pada prinsip yang lebih mendasar yang merupakan kepentingan bersama antarbangsa yaitu perdamaian abadi dan keadilan sosial.

2. Kapabilitas Nasional (National Capabilities)

Dalam mengatasi kendala-kendala yang dihadapinya dalam lingkungan eksternal, tidak semua negara dapat berhasil mengatasi kendala-kendala yang dihadapinya. Hal ini ditentukan oleh konsep lain yang terkait dengan kebijakan luar negeri yaitu kapabilitas nasional. “Di tengah arus globalisasi yang penuh dengan persainagn dan meningkatnya ancaman keamanan nontradisional suatu negra dituntut untuk meningkatkan kapabilitas nasional dalam berbagai aspeknya.”20 Dalam kaitan ini yang dimaksudkan kendala ataupun hambatan untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri adalah situasi yang menciptakan kesulitan bagi aktor dalam mencapai tujuannya. Kendala eksternal atau dari luar dapat timbul dari negra-negara tetangga yang menunjukkan sikap ataupun tindakan permusuhan yang secra sengaja bisa memberikan hambatan pencpaian tujuan negara saingannya. Selain kendala dari luar terdapat kendala dari dalam (internal) yaitu berkaitan dengan dengan situasi kondisi domestik suatu negara serta kemmapuan pemerintahnya dalam menggerakkan sumber daya yang tersedia untuk tercapainya tujuan kebijakan luar negeri.

Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi menyusun suatu kerangka analisis sederhana berdasarkan suatu hipotesis bhawa pencapaian tujuan kebijakan luar negeri sangat ditentukan oleh keterkaitan antara konsep kepentingan nasional yang menjadi acuan perumusan kebijakan luar negeri, peluang dan kendala yang ada di lingkungan eksternal dan internal, serta kapabilitas nasional untuk mewujudkan

19 Sufri Yusuf. 1989. Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Sebuah Anlitis Teoritis dan Uraian Tentang Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 30.

(11)

pencapaian tujuan tersebut. Gambar 1.1 di bawah ini menjelaskan konsep-konsep tersebut.21

Pluralism, Globalism. New York: Macmillan Publishing Company. hal. 86.

Untuk mendapatkan gambaran yang nyata mengenai kapabilitas nasional dalam mewujudkan tujuan kebijakan luar negeri maka diperlukan unsur-unsur yang utama mengenai kapabilitas nasional suatu negara. “Biasanya para ahli Hubungan Internasional membaginya ke dalam dua bagian yang besar yaitu kapabilitas nasional yang bersifat tangible atau (nyata, dapat diamati secara empiris, dengan

indikator pengukuran yang jelas) dan yang bersifat intangible (abstrak,

pengukurannya bersifat kualitatif).”22 “Dalam perkembagan terakhir beberapa penulis memperkenalkan perbedaan antara hard power (kekuataan militer dan

teknologi) dan soft power (nilai-nilai, kebudayaan, dan pola konsumsi) dimana

21 Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism.1990. New York: Macmillan Publishing Company. hal. 86.

22 Aleksisus Jemadu, op.cit., hal. 77. 25Ibid.,hal. 77.

Sumber: Paul R Viotti dan Mark V Kauppi. 1992. International Relations Theory: Realism,

Kepentingan Nasional

Peluang Kebijakan Luar Tujuan Negeri

Ancaman

(12)

kedua-duanya penting dalam pencapaian tujuan kebijakan luar ngeri dalam era gobalisasi sekarang ini.” 25

Paul R. Viotti dan Mark V Kauppi mengatakan ada empat kategori kapabilitas nasional suatu negara yaitu:

a. Kapabilitas politik. Yang termasuk kapabilitas politik adalah sumber daya manusia, teknologi komunikasi, reputasi atau citra suatau negra di mata internasional, dan hakekat budaya politik dan sistem politiknya.

b. Kapabilitas sosial dan budaya suatau masyarakat terdiri dari tingkat kohesi sosialnya, tingkat pendidikan, sistem nilai yang dianut, etos kerja dan sikap positifnya terhadap kemajuan

c. Kapabilitas yang berkaitan dengan faktor geografi, ekonomi , dan teknologi. Faktor geografi dan ekonomi biasnaaya diukur dalam GNP (Gross National Product), dan penguasaan teknologi khususnya teknologi yang memberikan nilai tambah atau value added yang tinggi kepada komoditi ekspornya.

d. Kapabilitas militer. Kapabilitas militer sebagai unsur kapabilitas nasional terdiri dari kemampuan senjata konvensional dan senjata nuklir.23

Tatkala Indonesia telah menemukan kerangka politik domestik yang relatif bersifat permanen, inilah saat yang terbaik untuk membangun kapabilitas nasional sebgai basis pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang lebih solid dan

sustainable. Politik luar negeri bebas aktif dan pembangunan nasional kapabilitas

nasional tidak bisa dilihat sebagai dua hal yang terpisah tetapi merupakan satu kesatuan yang harus berjalan secara simultan.24

3. Diplomasi

(13)
(14)

Ibid -509

mengatasi tekanan yang meningkatkan bahaya perang atau kebuntuan. Perspektif ini penting untuk mengembangkan 'sudut pandang' diplomatik. Analisis diplomasi terikat adalah sibuk dengan kendala pada kenegaraan diplomatik dan dengan adaptasi mereka. Perbedaan kedua adalah antara tawar-menawar negosiasi, untuk mendamaikan kepentingan negara divergen, dan non-negosiasi tawar yang menyatu pada kepentingan bersama antara negara.25 Esai berdiam pada hubungan antara

diplomasi independen dan tawar dinegosiasikan, di satu tangan, diplomasi dan tergantung dan tawar konvergen, di sisi lain. Tidak ada bidang politik dunia telah mencerminkan menimbulkan kesenjangan pengalaman dan teori dari tata negara diplomatik. Hal ini telah menempatkan siswa kenegaraan diplomatik semakin keluar dari fase dengan lainnya analis hubungan internasional yang bertujuan terkontrol perbandingan, penjelasan yang lebih luas, dan wawasan kumulatif. Ada berbagai alasan untuk kondisi ini. Pertama, siswa diplomasi belum berorientasi secara teoritis.Mereka memiliki menekankan variabilitas ekstrim, dan akibatnya kesulitan mencapai empiris generalisasi. "Dari semua cabang usaha manusia ', Harold Nicolson menulis untuk mendukung pandangan ini, "adalah diplomasi yang paling protean. Kedua, mereka yang paling berkomitmen untuk teori internasional yang komprehensif telah dikecualikan dari diplomasi mereka generalisasi dengan alasan bahwa itu terlalu tidak pasti dan tak terduga.26 Misalnya, John Mearsheimer,

teoritikus neorealist terkemuka, mengkritik sistem multipolar karena dalam kekuatan koalisi mereka 'akan sangat tergantung pada keanehan diplomasi’. Alasan ketiga untuk kegagalan untuk belajar diplomasi secara teoritis adalah bahwa mereka berkomitmen untuk melakukan hal tersebut belum memberikan landasan yang memuaskan27. Misalnya, Hans Morgenthau, yang dianggap diplomatik kenegaraan

sebagai pusat perdamaian internasional, menekankan kontras antara, di satu sisi,

25 Barry H. Steiner. 2003. “Diplomacy and International Theory”. Review of International Studies 30. 4. hal. 493-509.

(15)

potensi klasik diplomasi untuk mengurangi politik kekuasaan, dan di sisi lain, gerhana diplomasi selama Perang Soviet-Amerika Dingin.28

Diplomasi sering disebut sebagai perpanjangan dari situasi domestik. Kinerja diplomasi Indonesia di forum internasional tidaklah terlepas dari dukungan domestik yang semakin menyadari pengaruh dinamika hubungan internasional terhadap kondisi di dalam negeri, dan begitu pun sebaliknya. Dukungan domestik ini merupakan bentuk sinergi segenap komponen bangsa (Indonesia Incorporated)

untuk mewujudkan kepentingan nasional Indonesia, termasuk melalui praktik diplomasi.

Dalam era demokratisasi dan globalisasi saat ini pelaksanaan hubungan luar negeri dan diplomasi tidak lagi menjadi monopoli pemerintah. Pada masa lalu dominasi pemimpin dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri telah memarjinalkan peranan aktor nonnegara. Saat ini paradigma diplomasi harus diubah dengan menjadikan rakyat sebagai pemangku kepentingan yang sah dari perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri. Konsep yang sering digabungkan tetapi tidak jelas pelaksanaanya adalah total diplomacy dimana seluruh potensi dan elemen bangsa baik lembaga pemerintah maupun nonpemerintah mengambil bagian dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam percaturan ekonomi dan politik global. Pelaksanaan total diplomacy

memerlukan koordinasi yang efektif agar tidak terjadi konflik kepentingan yang merugikan pencapaian kepentingan nasional. 29

a. Diplomasi sebagai variabel dependen

Diplomasi sebagai variabel terikat mengacu pada konsekuensi dari kendala tertentuuntuk kemampuan negara untuk mengatasi perselisihan diplomatik dengan negara lain. Kendala memiliki efek baik sebagai kemungkinan, dengan beberapa program aksi yang dibuat lebih sulit atau tidak mungkin oleh kendala dan lain-lain

28Ibid., hal. 493-509

(16)

Ibid., hal. 493-509 Ibid., hal. 493-509

lebih mudah untuk dicapai atau baru mungkin; probabilitas atau seperti itu, karena perubahan lingkungan, kursus ditentukan tindakan diplomatik akan diambil dan lain-lain.30

Untuk menggambarkan penggunaan diplomasi sebagai variabel terikat, kita mempelajari sini pernyataan bahwa norma-norma diplomasi klasik Eropa, berasal dari abad kedelapan belas, memiliki dampak yang menurun terhadap perilaku negara untuk beberapa waktu karena intervensi perkembangan modern. Norma norma klasik termasuk (1) menjaga lima kekuatan besar di Eropa, (2) membatasi perang dengan membatasi komandan di lapangan, dan (3) membatasi ambisi negara dengan memperkuat keseimbangan power.31 Gordon Craig dan Alexander George

berdebat dalam studi mereka Angkatan, dan tata negara itu, mulai sekitar 1890, "revolusi diplomatik 'adalah disebabkan oleh perubahan teknologi, pada dasarnya publik pada diplomasi dan diplomat, di intrusi isu ekonomi yang kompleks dan teknis ke dalam dunia politik, dan dalam kebangkitan para pemimpin ideologis-termotivasi. Mereka mempertahankan bahwa perkembangan ini, bila digabungkan, diplomat melemah dan pemerintah komitmen pada normanorma diplomatik yang lebih tua, fleksibilitas diplomatik berkurang, dan memberikan kontribusi terhadap perang dan konflik diintensifkan.35

Dalam menunjukkan bagaimana variabel dependen, kemampuan diplomatik untuk meredakan konfrontasi telah terpengaruh oleh revolusi diplomatik, Craig dan George dicatat bahkan manajemen krisis telah rumit oleh kesulitan modern mengendalikan sekutu kekuatan militer, memperlambat tempo aksi militer, koordinasi bergerak militer dan diplomatik, dan melawan insentif untuk preemptive militer tindakan dan militer solusi.36 Kasus terkenal pecahnya Perang Dunia

Pertama menggambarkan keempat masalah ini. Mungkin hipotesis bahwa, sebagai akibat masalah ini sama, revolusi diplomatik diberikan diplomat dan pemerintah

30Ibid., hal. 493-50.

(17)

kurang mampu meredakan krisis dengan cara damai. Jika demikian, yang lebih besar proporsi konfrontasi antara kekuatan besar di abad kedua puluh

(18)

Ibid., hal. 493-509 Ibid., hal. 493-509

akan telah berakhir dalam perang daripada selama periode klasik. Craig dan George memasok sejarah gambaran yang tampaknya disconfirm hipotesis ini. Mereka mencatat bagaimana 'yang kekuatan utama terlibat dalam peperangan hampir terus-menerus terhadap satu sama lain ' selama periode klasik kedelapan belas dan pada periode Perang Dingin dua ratus tahun kemudian, pada saat revolusi diplomatik telah diduga diambil root, manajemen krisis yang sukses menjadi ciri dari Soviet-Amerika.32 Soviet-Amerika perdamaian tetap bertahan selama lebih dari empat

puluh tahun Dingin berbahaya Perang kondisi, di mana - menurut Craig dan George – internasional sistem ini secara normatif berfokus pada keprihatinan negara adidaya bersama tentang krisis manajemen untuk mencegah Perang Dunia Ketiga.33

Untuk hipotesis hubungan antara revolusi diplomatik dan damai atau perang adalah untuk memahami varians dalam variabel dependen dalam hal hasil krisis. Demikian link, jika didirikan, akan menampilkan dampak revolusi diplomatik pada krisis manajemen dalam bentuk yang terkuat.34Tetapi jika revolusi diplomatik tidak

jelas terkait dengan hasil krisis, namun demikian dapat mempengaruhi diplomasi dengan memperkenalkan seperti tekanan sebagai tenggat waktu perang, kehilangan fleksibilitas, dan berbagai saluran komunikasi.40

Mungkin hipotesis bahwa tekanan-tekanan ini membuat krisis lebih berbahaya tetapi tidak hasil krisis mentakdirkan. Untuk menyatakan hubungan antara revolusi diplomatik dan proses interaksi antara pemerintah dalam bentuk yang lebih lemah adalah menempatkan fokus pada respon dari para diplomat dan pemerintah untuk tekanan yang lebih baru.41 Mungkin salah satu respon adalah

kepasifan diplomatik, yaitu untuk mengatakan, diplomat dan pemerintah adalah

32 Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509 33Ibid., hal. 493-509

(19)

      

Barry H. Steiner, op.cit

bingung dengan tekanan dan mampu atau tidak mau beradaptasi dengan mereka. Kecepatan yang dengan mana pembunuhan Archduke Ferdinand pada Juli 1914

40 41

diikuti dengan pecahnya perang besar mungkin mengatakan kebingungan tersebut.35 Ketika Morgenthau dijelaskan diplomasi selama Soviet-Amerika Perang

Dingin sebagai 'usang', ia tampaknya menerima bahwa posisi yang sama. Namun, bahkan jika perang terjadi sebagai konsekuensi tekanan krisis baru, ini tidak cukup untuk mendukung kesimpulan bahwa diplomatik norma dan upaya itu tidak signifikan. Menurut Richard N. Lebow, yang paling fitur yang luar biasa dari Jerman pengambilan keputusan pada tahun 1914 adalah kesulitan besar Jerman pemimpin berpengalaman dalam akan perang; bahwa kesulitan dapat didamaikan dengan tua sistem norma-norma. Selanjutnya, sikap pasif hanya dapat menjelaskan krisis sukses manajemen dengan mengacu pada keadaan kebetulan. Dengan mengacu pada catatan sukses dari Soviet-Amerika manajemen krisis, baik fortuitousness atau ketakutan perang nuklir beberapa penjelasan yang memadai. Craig dan George untuk bagian mereka menolak seperti asumsi pasif diplomatic dalam konteks ini. Mereka bukan menyimpulkan jauh lebih sedikit pesimis daripada pembahasan yang penuh teori menunjukkan bahwa 'Revolusi diplomatik telah baik rumit dan dibantu kemampuan negarawan untuk membatasi gerakan militer dalam krisis dengan yang merupakan demonstrasi jelas dari tekad mereka dan sesuai untuk mereka yang terbatas tujuan. Negarawan dibantu, mereka amati, dengan ketersediaan lebih sumber intelijen canggih menyediakan sarana yang lebih jelas untuk top para pengambil keputusan untuk mengevaluasi gerakan militer sisi yang berlawanan itu.36 Alih-alih menjadi kendala negatif murni dan tidak dicampur,

(20)

Ibid., hal. 493-509 Ibid., hal. 493-509

teknologi berfungsi sebagai kesempatan bagi para pemimpin untuk mengkompensasi kondisi militer dan politik mempengaruhi kebebasan mereka untuk tindakan. Kesimpulan semacam, yang membantu menjelaskan berulang Soviet-Amerika sukses dalam manajemen krisis, menimbulkan dilema bagi mereka analitis mempelajari diplomasi sebagai variabel dependen. 44Di satu sisi, penekanan

pada kekuatan kendala dan pada kelemahan yang dihasilkan dalam variabel dependen tidak harus mengarah pada asumsi bahwa yang terakhir diinformasikan oleh sikap pasif saja. Di sisi lain, lebih diplomasi yang dipahami sebagai beradaptasi atau mengkompensasi kendala di lingkungan internasional, semakin sedikit masalah bagi stabilitas internasional kendala tersebut tampaknya. Craig dan George tampaknya dua pikiran tentang hal ini. Dalam gambaran mereka sejarah internasional, fokus mereka - konsisten dengan revolusi diplomatik - adalah dengan diplomasi semakin di teluk, menghambat dalam mencapai apa yang telah terutama dicapai dalam abad kesembilan belas, yaitu akomodasi, damai utama perselisihan. Teka-teki di sini adalah diplomasi itu tetap efektif selama krisis meskipun kendala meningkat. Kemampuan diplomat dan pemerintah untuk beradaptasi dan untuk mengambil keuntungan dari peluang baru ditemukan tampaknya menjadi bagian dari jawaban atas teka-teki ini. Namun, menetapkan dampak revolusi diplomatik akan lebih sulit ketika telah ada pertimbangan tentang peluang serta keterbatasan yang mempengaruhi diplomatik perilaku, karena saluran pengaruh diperhitungkan adalah lebih banyak. Sebaliknya, di sebagian dari Angkatan, dan tata negara di mana perhatian secara keseluruhan untuk menerapkan pengetahuan untuk tata negara, sehingga untuk meningkatkan peluang sukses krisis manajemen (di antara tujuan-tujuan lain), Craig dan George fokus pada peluang tersedia bagi negara, dan terutama pada informasi tentang bagaimana kebijakan miliki dan tidak bekerja di masa lalu37. Pendekatan ini menyoroti bagaimana pergeseran internasional

perkembangan mungkin kurang penting untuk manajemen krisis daripada kesediaan dan kemampuan dari pembuat kebijakan untuk belajar dari kesalahan

(21)

      

Barry H. Steiner, op.cit

masa lalu mereka. Berikut teka-teki adalah bagaimana pembuat kebijakan belajar untuk mengatasi kendala internasional, dan mengapa mereka melakukan atau tidak berbuat lebih baik pada kurva belajar. Teka-teki ini dipecahkan dengan penemuan, melalui sempit, kasus yang berfokus pada analisis, kebijakan yang relevan persamaan dan perbedaan muncul dalam berbagai kasus. Craig dan George sebenarnya berpendapat dalam hubungan ini

(22)

      

Barry H. Steiner, op.cit

untuk lebih terbatas, kasus-grounded teori, bukan untuk yang lebih kompleks dan lebih luas proposisi seperti bahwa dari revolusi diplomatic.

b. Diplomasi sebagai variabel independen

Martin Wight memahami diplomasi sebagai variabel independen ketika, kontras keniscayaan perang pada umumnya dan preventability perang khusus, ia berpendapat bahwa perbedaan antara mereka ini dapat dijelaskan oleh tata negara diplomatik. "Ini tugas diplomasi ', ia menulis, "untuk menghindari kesempatan perang, dan untuk memperpanjang rangkaian dielakkan kesempatan, untuk mendorong mobil negara sepanjang satu arah sebuah lagu, terhadap kepala-on lalu lintas, tebing jauh lebih berulang masa lalu '. Dalam abad kesembilan belas, seperti pada pentingnya pertengahan kedua puluh, dari diplomatik independen aksi langsung berhubungan dengan besarnya ancaman besar daya perang. Dan sementara diplomasi itu tentu bekerja seperti yang sebelumnya untuk propaganda, penipuan dan gamesmanship, pentingnya yang lebih besar adalah untuk melawan yang berlaku gelombang konflik pada saat kebutuhan terbesar. Manajemen krisis dimensi diplomasi khususnya dapat sepenuhnya diperiksa, tampaknya, hanya dengan memahami diplomasi sebagai variabel independen - yang mengatakan, penggunaan kenegarawanan untuk melawan melayang untuk perang, persaingan, dan ketidakpercayaan - dengan mencapai perjanjian kerjasama meskipun orangkecenderungan. Jika diplomasi 'circumvents kesempatan', maka keuntungan intrinsik dalam perjanjian kurang penting daripada menghindari rincian dari diskusi. Semakin besar risiko dan bahaya seperti gangguan, dan karena itu lebih bisa diterima kegagalan diplomatik, lebih dimengerti adalah fokus pada diplomasi sebagai variabel independen.38 Meskipun mengobati diplomasi sebagai variabel

dependen dalam hubungannya dengan revolusi diplomatik, Craig dan George

(23)

      

Barry H. Steiner, op.cit

muncul untuk memperlakukannya sebagai variabel independen dalam kaitannya dengan persyaratan manajemen krisis yang sukses, di mana konsekuensi dari kegagalan diplomatik bisa berarti peperangan yang sangat merusak. "Jika bencana adalah menjadi dihindari', mereka menulis dalam hubungannya dengan konfrontasi negara adidaya, "pengambil keputusan dalam krisis harus mampu berfungsi pada .20 tingkat yang sangat tinggi "Mereka membenarkan kesimpulan terutama oleh skala usaha yang dibutuhkan untuk menahan angkatan bersenjata ditempatkan pada perang-kesiapan tingkat. Tujuh manajemen krisis persyaratan Craig dan George ditetapkan, empat berhubungan sepenuhnya untuk menahan diri militer - terlepas dari pilihan diplomatik. Tanpa hambatan seperti itu, sikap diplomatik yang paling aktif yang dirancang untuk menjaga perdamaian akan memadai. Namun, perbedaan antara pasif dan diplomasi aktif memiliki pengaruh pada kesimpulan Craig dan George bahkan jika militer menahan diri dipraktekkan. Mereka menyadari pentingnya upaya diplomatik: salah satu aturan mereka menyediakan untuk mendamaikan bergerak diplomatik dan militer; kedua memerlukan 'Diplomatik-militer pilihan yang menandakan keinginan untuk bernegosiasi, bukan untuk mencari solusi militer '; dan yang ketiga memerlukan memilih' diplomatik-militer opsi yang meninggalkan lawan jalan keluar dari krisis.39 'Di dua poin

terakhir mereka mengutip alasan untuk optimis: (1) karena takut meluasnya memusnahkan peperangan, generasi saat ini para pembuat kebijakan di dunia industri cenderung menjelajahi setiap jalan yang mungkin dari negosiasi daripada resor untuk memaksa '; dan (2) karena kemajuan komunikasi dan transportasi, pemerintah lebih baik diaktifkan untuk 'separat kepentingan mendasar lawan dari retorikanya. Namun, poin terakhir tampaknya meremehkan kesulitan untuk memulai suatu aktif diplomasi di bawah waktu yang mendesak, kondisi sangat tertekan. Secara khusus, masalah untuk menemukan solusi damai terhadap krisis kemungkinan akan menjadi rumit dengan keadaan dimana krisis telah muncul:

(24)

      

Barry H. Steiner, op.cit

paling modern krisis terjadi karena dari beberapa kegagalan diplomatik dibawa oleh bacaan yang salah dari lawan niat. Seperti Robert Jervis telah mencatat, pada awal krisis kredibilitas lawan dan negara sendiri akan di question. Namun mempertanyakan nilai mempercayai musuh mungkin akan mencegah pemerintah dari 'menjelajahi setiap mungkin jalan negosiasi. Sebaliknya, dapat diharapkan untuk berkontribusi selektif pandangan diplomatik, dan untuk menghambat kemauan untuk mengambil keuntungan dari komunikasi link dikompromikan oleh kesalahpahaman sebelumnya. Selain itu, percaya antara musuh secara paradoks mungkin sulit untuk membangun kembali selama krisis ketika diplomat bergerak 'melawan arus', sehingga untuk berbicara. Singkatnya, selain menahan diri militer, meredakan krisis mungkin memerlukan, mustahil bahkan tidak wajar, melampaui dari yang berlaku politik lingkungan. Sementara diplomasi independen sering tercermin dalam upaya panik dan menanjak mencegah perang, juga terlihat dalam upaya untuk membentuk hal pembelotan dan perang. Perilaku Diplomatik dapat mempengaruhi realitas militer dengan (1) meningkatkan atau menurunkan frustrasi tingkat yang pembelotan adalah respon, (2) menambah ketergantungan pada diplomatik sebagai lawan saluran militer; dan (3) itu sendiri menjadi sangat diperlukan berarti memfasilitasi pembelotan. Sehubungan dengan yang pertama ini, ada banyak kasus di mana kehendak untuk cacat dikondisikan pada beberapa awal diplomatik program.40 Pada tahun 1941, misalnya, staf angkatan laut Jepang yang

ditunda menyerang terhadap Pearl Harbor untuk mengizinkan diplomat Jepang di Washington tambahan kesempatan untuk membuat persetujuan teritorial dengan Amerika Serikat selama Timur Jauh yang akan membuat serangan itu tidak perlu. Hanya ketika diskusi tambahan gagal untuk memecahkan kebuntuan itu staf angkatan laut melanjutkan perangnya plans. Uni Soviet pergi lebih jauh karena dipersiapkan untuk perang di Afghanistan pada tahun 1979: dalam Oktober 1979, itu telegram niatnya untuk campur tangan 'ke Amerika Serikat sehingga mengukur

(25)

      

Barry H. Steiner, op.cit

reaksi Amerika. Kegagalan Amerika untuk protes mungkin telah diambil oleh Soviet sebagai bukti bahwa Amerika Serikat tidak memiliki keberatan terhadap intervention. Dalam

(26)

kasus ini, keputusan untuk cacat terkait baik untuk konfirmasi dari yang tidak menguntungkan diplomatik kenyataan, atau untuk mendapatkan seseorang yang menguntungkan di mana tujuan tertentu tidak akan rusak oleh pembelotan itu. Kedua, diplomasi dapat mempengaruhi kondisi militer, bukan dengan diplomasi utilitarian tuntutan, melainkan oleh sebuah proses yang dapat berkembang sebagai pengganti pembelotan.41

1) Diplomasi Bilateral

Di dalam kerangka diplomasi bilateral, Indonesia terus memperkuat kerjasama kemitraan strategis dengan negara-negara mitra utama, baik dalam lingkaran konsentris terdekat (di kawasan) maupun di luar kawasan. Indonesia secara aktif membahas dan menggali potensi kerjasama melalui berbagai forum seperti dalam kegiatan saling kunjung, pertemuan bilateral, regional dan multilateral antar pejabat tinggi negara serta pelaksanaan rutin Forum Konsultasi Bilateral (FKB), Sidang Komisi Bersama (SKB) dan kegiatan promosi TTI (Trade, Tourism and Investment). Selama tahun 2008, telah dilaksanakan sebanyak 18 kali forum Sidang Komisi Bersama (SKB), 7 diantaranya pada tingkat Menteri, dan 11 pada tingkat Pejabat Senior.42

2) Diplomasi Regional

Salah satu diplomasi bilateral yaitu tahun 2008 merupakan momen bersejarah bagi masyarakat ASEAN karena pada tanggal 15 Desember 2008, Piagam ASEAN mulai diberlakukan. Peresmian pemberlakuan piagam pada ASEAN Special Foreign Ministerial Meeting yang diselenggarakan di Jakarta juga diikuti dengan diperdengarkannya ASEAN Anthem(lagu ASEAN) untuk pertama kalinya secara resmi.43

41 Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509

42http://www.deplu.go.id/Documents/pptm%202009.pdfPERNYATAAN PERS TAHUNAN

MENTERI LUAR NEGERI RI (PPTM) 2009 Jakarta, 6 Januari 2009 RINGKASAN EKSEKUTIF, diunduh 4 Januari 2012.

(27)

3) Diplomasi Multilateral

Keanggotaan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK-PBB untuk kurun waktu dua tahun sejak 1 Januari 2007 telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2008. Mengakhiri keanggotaan tidak tetap Indonesia di Dewan Keamanan PBB, selama dua tahun Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai bridge and consensus builder, yang pada pihak lain juga tetap kukuh memegang prinsip.52 Keanggotaan

Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK-PBB merupakan amanah Konstitusi. Keanggotaan tersebut dengan sendirinya memberikan keleluasaan bagi Indonesia untuk turut secara lebih aktif dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional, serta dengan sendirinya dalam rangka mengamankan kepentingan nasional Indonesia. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota DK-PBB merupakan bentuk kepercayaan masyarakat internasional kepada Indonesia atas partisipasi dan kontribusi aktif kita di dunia internasional. Keanggotaan tersebut sekaligus merupakan refleksi pengakuan terhadap berbagai kemajuan yang dicapai di dalam negeri, termasuk pembangunan, proses demokratisasi, serta pemajuan dan perlindungan nilai-nilai hak asasi manusia. Sebuah kepercayaan yang dengan sendirinya disertai pula dengan tanggung jawab dan adanya harapan terhadap Indonesia.53

4. Teori Hubungan Internasional

Mengapa pembuat kebijakan dan praktisi perawatan tentang studi ilmiah hubungan internasional? Mereka yang melakukan kebijakan luar negeri sering mengabaikan teori akademik (sering, seseorang harus mengakui, dengan alasan yang baik), tetapi ada link tak terhindarkan antara dunia abstrak dari teori dan

       

MENTERI LUAR NEGERI RI (PPTM) 2009 Jakarta, 6 Januari 2009 RINGKASAN EKSEKUTIF, diunduh 4 Januari 201

(28)

53Ibid.,

dunia nyata kebijakan. Kita perlu teori-teori untuk memahami badai salju informasi yang membombardir kita setiap hari. Bahkan pembuat kebijakan yang menghina "teori" harus bergantung pada mereka sendiri (sering tak tertulis) ide tentang bagaimana dunia bekerja untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Sulit untuk membuat kebijakan yang baik jika prinsip-prinsip dasar seseorang pengorganisasian adalah cacat, hanya karena sulit untuk membangun teori-teori yang baik tanpa mengetahui banyak tentang dunia nyata. Semua orang menggunakan teori-apakah dia tahu atau tidak-dan perbedaan pendapat mengenai kebijakan biasanya beristirahat pada perbedaan pendapat yang mendasar tentang kekuatan dasar yang membentuk hasil internasional.44

Studi tentang hubungan internasional paling baik dipahami sebagai persaingan berkepanjangan antara realis, liberal, dan tradisi radikal. Realisme menekankan kecenderungan abadi bagi konflik antara negara; liberalisme mengidentifikasi beberapa cara untuk mengurangi kecenderungan konflik, dan tradisi radikal menjelaskan bagaimana seluruh sistem hubungan negara mungkin berubah. Batas-batas antara tradisi dan sejumlah karya penting tidak cocok dengan salah satu dari mereka, tapi perdebatan di dalam dan di antara mereka sebagian besar telah didefinisikan disiplin. 45

a. Realisme

Realisme adalah tradisi teoritis yang dominan selama Perang Dingin. Ini menggambarkan hubungan internasional sebagai perebutan kekuasaan antara negara-negara selfinterested dan umumnya pesimis tentang prospek untuk menghilangkan konflik dan perang. Realisme mendominasi di tahun-tahun Perang Dingin karena memberikan penjelasan yang sederhana namun kuat untuk perang,

44 Stephen M Wal. 1998. “International relations: One world, many theories”. Scholarly Journals. Vol. 110. Washington: Washington Post Newsweek Interactive Co. hal. 29-35.

(29)

aliansi, imperialisme, hambatan untuk kerjasama, dan fenomena internasional lainnya, dan karena penekanannya pada persaingan adalah konsisten dengan fitur utama dari persaingan Amerika-Soviet.46

Realisme bukanlah teori tunggal, tentu saja, dan berpikir realis berkembang cukup selama Perang Dingin. "Klasik" realis seperti Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr percaya bahwa negara, seperti manusia, memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain, yang menyebabkan mereka untuk melawan perang. Morgenthau juga menekankan nilai-nilai, sistem multipolar klasik, keseimbangan-of-power dan melihat persaingan bipolar antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai sangat berbahaya.47

Sebaliknya, "neorealist" teori yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz mengabaikan sifat manusia dan berfokus pada efek dari sistem internasional. Untuk Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, masingmasing berusaha untuk bertahan hidup. Karena sistem adalah anarkis (yaitu, tidak ada otoritas pusat untuk melindungi negara dari satu sama lain), setiap negara harus bertahan hidup sendiri. Waltz berpendapat bahwa kondisi ini akan menyebabkan negara-negara yang lebih lemah untuk menyeimbangkan melawan, daripada ikut-ikutan dengan, saingan lebih kuat. Dan bertentangan dengan Morgenthau, ia mengklaim bahwa bipolaritas lebih stabil daripada multipolaritas.48

Sebuah perbaikan penting untuk realisme adalah penambahan teori offensedefense, sebagaimana ditentukan oleh Robert Jervis, George Quester, dan Stephen Van Evera. Para sarjana berpendapat bahwa perang lebih mungkin ketika negara bisa menaklukkan satu sama lain dengan mudah. Ketika pertahanan lebih mudah daripada tersinggung, namun, keamanan lebih banyak, insentif untuk memperluas menurun, dan kerja sama bisa mekar. Dan jika pertahanan memiliki keuntungan, dan negara bisa membedakan antara senjata ofensif dan defensif, maka negara dapat memperoleh sarana untuk mempertahankan diri tanpa mengancam orang lain,

46 Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35. 47Ibid., hal. 29-35.

(30)

sehingga meredam efek dari anarki. Untuk "defensif" realis, menyatakan hanya berusaha untuk bertahan hidup dan kekuatan besar bisa menjamin keamanan mereka dengan membentuk aliansi balancing dan memilih postur militer defensif (seperti kekuatan nuklir pembalasan). Tidak mengherankan, Waltz dan paling neorealists lain percaya bahwa Amerika Serikat adalah sangat aman untuk sebagian besar Perang Dingin. Ketakutan prinsip mereka adalah bahwa mungkin menyia-nyiakan posisi yang menguntungkan dengan mengadopsi kebijakan luar negeri yang terlalu agresif.49 Dengan demikian, pada akhir Perang Dingin, realisme pindah dari gelap

merenung Morgenthau tentang sifat manusia dan diambil pada nada sedikit lebih optimis.50

b. Liberalisme

Tantangan utama bagi realisme berasal dari keluarga yang luas dari teoriteori liberal. Satu helai berpikir liberal berpendapat bahwa interdependensi ekonomi akan mencegah negara dari menggunakan kekuatan terhadap satu sama lain karena perang akan mengancam kemakmuran masing-masing pihak. Sehelai kedua, sering dikaitkan dengan Presiden Woodrow Wilson, melihat penyebaran demokrasi sebagai kunci perdamaian dunia, berdasarkan klaim bahwa negara demokratis adalah inheren lebih damai daripada negara otoriter. Sebuah teori ketiga yang lebih baru menyatakan bahwa lembaga-lembaga internasional seperti Badan Energi Internasional dan Dana Moneter Internasional dapat membantu mengatasi perilaku negara egois, terutama dengan mendorong negara untuk mengorbankan keuntungan langsung untuk manfaat yang lebih besar dari kerja sama abadi. 51

Meskipun beberapa kaum liberal main mata dengan gagasan bahwa aktor transnasional baru, terutama perusahaan multinasional, secara bertahap melanggar batas kekuatan negara, liberalisme umumnya melihat negara sebagai pemain

49 Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35 50Ibid., hal. 29-35

(31)

sentral dalam urusan internasional. Semua teori liberal tersirat bahwa kerjasama lebih luas daripada bahkan versi defensif realisme diperbolehkan, tapi tampilan masing-masing menawarkan resep berbeda untuk mempromosikannya.52

c. Pendekatan Radikal

Sampai tahun 1980, marxisme adalah alternatif utama ke realis mainstream dan tradisi liberal. Dimana realisme dan liberalisme mengambil sistem negara untuk diberikan, marxisme ditawarkan baik penjelasan berbeda untuk konflik internasional dan cetak biru untuk secara mendasar mengubah tatanan internasional yang ada. 53

Teori marxis ortodoks melihat kapitalisme sebagai penyebab utama konflik internasional. Negara-negara kapitalis berjuang satu sama lain sebagai konsekuensi dari perjuangan tak henti-hentinya mereka untuk keuntungan dan berjuang negara sosialis karena mereka melihat di dalamnya benih-benih kehancuran mereka sendiri. Neomarxist "ketergantungan" teori, sebaliknya, fokus pada hubungan antara kekuatan kapitalis maju dan negara-negara kurang berkembang dan berpendapat bahwa yang pertama-dibantu oleh sebuah aliansi sesat dengan kelas-kelas penguasa dari negara berkembang-telah tumbuh kaya dengan memanfaatkan kedua. Solusinya adalah untuk menggulingkan kelompok elit parasit dan menginstal sebuah pemerintahan revolusioner berkomitmen untuk pengembangan otonom. 54

Kedua teori ini sebagian besar didiskreditkan sebelum Perang Dingin bahkan berakhir. Sejarah luas kerjasama ekonomi dan militer antara kekuatankekuatan industri maju menunjukkan bahwa kapitalisme tidak pasti menyebabkan konflik. Para perpecahan pahit yang membagi dunia komunis menunjukkan bahwa sosialisme tidak selalu meningkatkan kerukunan. Teori ketergantungan mengalami kemunduran empiris yang sama seperti itu menjadi semakin jelas bahwa, pertama, partisipasi aktif dalam perekonomian dunia adalah rute yang lebih baik untuk

52Ibid., hal. 29-35 53Ibid., hal. 29-35

(32)

kemakmuran dari pembangunan sosialis otonom, dan, kedua, banyak negara berkembang membuktikan diri cukup mampu tawar berhasil dengan perusahaan multinasional dan lain kapitalis lembaga.55

Sebagai marxisme menyerah pada kegagalan yang beragam, mantel diasumsikan oleh sekelompok ahli teori yang meminjam banyak dari gelombang tulisan postmodern dalam kritik sastra dan teori sosial. Ini "dekonstruksionis" pendekatan secara terbuka skeptis terhadap upaya untuk menyusun teori-teori umum atau universal seperti realisme atau liberalisme. Memang, para pendukungnya menekankan pentingnya bahasa dan wacana dalam membentuk hasil-hasil sosial. Namun, karena para sarjana fokus awalnya pada mengkritik paradigma arus utama tetapi tidak menawarkan alternatif positif kepada mereka, mereka tetap menjadi minoritas sadar diri pembangkang untuk sebagian besar 1980-an.56

d. Politik Domestik

Tidak semua apa yang diberikan Perang Dingin pada hubungan internasional cocok dengan realis, liberal, atau paradigma marxis. Secara khusus, sejumlah karya penting difokuskan pada karakteristik negara, organisasi pemerintah, atau pemimpin individu. Untai demokratis teori liberal sesuai di bawah judul ini, seperti halnya upaya ulama seperti Graham Allison dan John Steinbruner untuk menggunakan teori organisasi dan politik birokrasi untuk menjelaskan perilaku kebijakan luar negeri, dan orang-orang Jervis, Irving Janis, dan lainnya, yang diterapkan sosial dan kognitif psikologi. Untuk sebagian besar, usaha ini tidak berusaha untuk memberikan teori umum dari perilaku internasional, tetapi untuk mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mungkin menyebabkan negara untuk berperilaku bertentangan dengan prediksi dari pendekatan realis atau liberal. Dengan demikian, banyak literatur ini harus dianggap sebagai pelengkap tiga

55Ibid., hal. 29-35

(33)

paradigma utama bukan sebagai saingan pendekatan untuk analisis sistem internasional secara keseluruhan.57

e. Teori Konstruktivis

Jika realisme dan liberalisme cenderung berfokus pada faktor-faktor material seperti kekuatan atau perdagangan, pendekatan konstruktivis menekankan dampak dari ide. Alih-alih mengambil negara untuk diberikan dan dengan asumsi bahwa itu hanya berusaha untuk bertahan hidup, konstruktivis menganggap kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang sangat mudah dibentuk dari proses sejarah yang khusus.58 Mereka memperhatikan wacana yang berlaku (s) dalam masyarakat

karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan menetapkan norma-norma yang diterima perilaku. Akibatnya, konstruktivisme sangat memperhatikan sumber-sumber perubahan, dan pendekatan ini telah banyak menggantikan marxisme sebagai perspektif radikal unggul dalam urusan internasional.69

Akhir Perang Dingin memainkan peran penting dalam teori konstruktivis legitimasi karena realisme dan liberalisme keduanya gagal mengantisipasi acara ini dan punya kesulitan menjelaskannya. Konstruktivis punya penjelasan: Secara khusus, mantan Presiden Mikhail Gorbachev merevolusi kebijakan luar negeri Soviet karena ia memeluk ide-ide baru seperti "keamanan bersama."

Selain itu, mengingat bahwa kita hidup di era dimana norma-norma lama ditantang, batas-batas yang jelas sekali melarutkan, dan isu-isu identitas menjadi lebih menonjol, maka tidak mengherankan bahwa ulama telah tertarik pada pendekatan yang menempatkan masalah ini depan dan pusat. Dari perspektif konstruktivis, pada kenyataannya, isu sentral dalam dunia pasca Perang Dingin adalah bagaimana kelompok yang berbeda hamil identitas dan kepentingan

57 Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35 58Ibid., hal. 29-35

(34)

 

op.cit., hal. 29-35

mereka. Meskipun daya tidak relevan, konstruktivisme menekankan bagaimana ide dan identitas diciptakan, bagaimana mereka berkembang, dan bagaimana mereka membentuk cara menyatakan memahami dan merespon situasi mereka. Oleh karena itu, penting apakah Eropa mendefinisikan diri mereka terutama dalam hal nasional atau kontinental, apakah Jerman dan Jepang mendefinisikan kembali masa lalu mereka dengan cara yang mendorong peran mengadopsi internasional mereka lebih aktif, dan apakah Amerika Serikat memeluk atau menolak identitasnya sebagai "polisi global." 59

Teori konstruktivis cukup beragam dan tidak menawarkan serangkaian terpadu prediksi pada salah satu masalah ini. Pada tingkat yang murni konseptual, Alexander Wendt berpendapat bahwa konsepsi realis anarki tidak cukup menjelaskan mengapa konflik terjadi antara negara. Masalah sebenarnya adalah bagaimana anarki dipahami-dengan kata Wendt, bahwa "Anarchy apa yang membuat negara itu." 60Lain untai teori konstruktivis berfokus pada masa depan

negara teritorial, menunjukkan bahwa komunikasi transnasional dan nilai-nilai sipil bersama yang merusak kesetiaan nasional tradisional dan menciptakan radikal bentuk-bentuk baru hubungan politik. Konstruktivis lain fokus pada peran norma, dengan alasan bahwa hukum internasional dan prinsip-prinsip normatif lainnya telah terkikis gagasan sebelumnya kedaulatan dan mengubah tujuan yang sah yang kekuasaan negara dapat digunakan. Tema umum di masing-masing untai adalah kapasitas wacana untuk membentuk bagaimana aktor politik mendefinisikan diri mereka dan kepentingan mereka, dan dengan demikian mengubah perilaku mereka.61

f. Teori Hubungan Internasional oleh Scott Burchill dan Andrew Linklater,

59 Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35 60Ibid., hal. 29-35

(35)

op.cit., hal. 29-35

dengan Richard Devetak, Matthew Paterson dan Jacqui Benar

Dalam disiplin ditandai dengan debat intens dan kompleks antara perspektif teoritis, ikhtisar selalu diterima. Teori Hubungan Internasional adalah kompilasi tinjauan terutama koheren dari penerapan sejumlah perspektif teoritis utama dalam IR.62 Teori-teori yang dibahas adalah Realisme dan Neo-Realisme,

Internasionalisme Liberal, Rasionalisme, Marxisme, Teori Kritis (Frankfurt School), Postmodernisme, Feminisme dan Politik Hijau.63

Teori Hubungan Internasional dimulai dengan pengenalan yang solid untuk masalah sulit meta-teori (teori tentang teori) dari Scott Burchill. Scott Burchill mengidentifikasi isu-isu yang bersangkutan dengan cara yang mudah diakses dan secara intelektual jujur dan sederhana. Gaya ini dilakukan di sebagian besar babbab berikutnya, dan ini adalah salah satu kekuatan besar buku ini.64 Burchill juga

menulis tentang Internasionalisme Liberal sangat menarik dan komprehensif, kejelasan adalah fitur di sini.65 Diskusi ini baik menghindari kecenderungan untuk

menggunakan jargon ekonomi dan untuk tergelincir ke dalam gaya deskriptif yang lebih biasa, menjaga bukan untuk isu-isu menonjol. Pada Rasionalisme dan Marxisme, masing-masing, datang dari Andrew Linklater. Rasionalisme sangat komprehensif, tetapi juga mengeksplorasi banyak seluk-beluk yang ada antara realis dan pendekatan idealis untuk IR. Ada kesimpulan yang kuat dan ringkas, yang menambahkan tak terkira untuk diskusi. Marxisme merupakan kontribusi sangat penting dan berharga. Bab Enam dan Tujuh dalam buku Scott Burchill masing-masing mengatasi Teori Kritis dari Sekolah Frankfurt dan Postmodernisme.66

(36)

op.cit., hal. 29-35

komprehensif.67 Dengan ringkas menelusuri sejarah ide-ide dari Sekolah Frankfurt

dan kemudian cukup mulus menghubungkan ini dengan literatur IR kontemporer kritis. Demikian pula, bab tentang Postmodernisme dalam buku Scott Burchill dimulai dengan diskusi pelopor, khususnya Foucault, dan kemudian mengacu pada ini untuk mengeksplorasi kontribusi literatur IR 'post'.68 Mungkin satu-satunya hal

yang hilang dalam bab yang terakhir ini diskusi mengenai pertanyaan yang sulit-karena ingin istilah yang lebih baik-politik wacana politik. Dengan ini, berarti kecenderungan untuk melabeli seorang ahli teori sebagai 'postmodern' (Devetak tidak sendirian di sini meskipun). Sebagian besar penulis yang disebut di sini, mungkin termasuk Foucault, menentang label dengan cara ini. Mereka mungkin mengidentifikasi diri mereka bukan sebagai `post-struktural ', atau lebih luas' kritis ', atau tidak ada disposisi teoritis tertentu sama sekali. Apa yang mungkin berguna untuk mengatasi, kemudian, adalah cara di mana, di mulut banyak, 'postmodern' telah menjadi overdetermined dan istilah merendahkan digunakan untuk benjolan bersama-sama dan kemudian segera memberhentikan ini wawasan mendalam dan bekerja sangat menantang. Teori Hubungan Internasional dalam buku Scott Burchill berakhir dengan sebuah bab tentang Feminisme oleh Jacqui Benar, dan sebuah bab tentang Politik Hijau oleh Matthew Paterson. Bab benar adalah, mungkin, yang paling padat dari buku ini, tetapi sesuatu yang kurang dari seperti rekening canggih IR feminis akan ketidakadilan. Bab ini membuat perkembangan yang logis sangat jelas dan memiliki gaya perulangan yang memastikan bahwa wawasan sebelumnya tidak hilang.69 Oleh karena itu, apa yang berkembang adalah

pengenalan yang sangat komprehensif untuk feminisme dan hubungan internasional. Bab ini masih tetap dapat diakses untuk siswa tingkat master, dan juga akan berfungsi sebagai pengantar yang berguna untuk mereka yang ingin memperkenalkan diri dengan IR

67Ibid., hal. 29-35

(37)

feminis.70 Pada bab berikutnya di buku ini Patterson membicarakan pengenalan

singkat dan rapi untuk teori Hijau untuk yang belum tahu, dan penyegaran yang berguna Eckersly dan Dobson untuk dimulai. membuat kepalan baik mencoba menghubungkan teori Hijau untuk hubungan internasional. Ini mungkin perspektif teoretis paling sulit ditangani oleh buku ini karena ada relatif sedikit literatur yang secara eksplisit menghubungkan teori IR dan Hijau. Hal utama buku Scott Burchill terletak pada orientasi kritis. Ini berbicara kepada keyakinan bahwa IR harus jauh lebih teoritis sadar diri, yaitu bahwa hal itu harus sebanyak perusahaan penting karena merupakan pemecahan masalah satu. Dalam buku Scott Burchill dikatakan Internasionalisme Liberal datang sebelum Realisme, Marxisme sebelum Teori Kritis, Feminisme sebelum Teori Green, dan sebagainya.82

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, dipergunakan penelitian deskriptif analitis, yaitu menggambarkan atau melukiskan fakta-fakta yang terjadi seputar kebijakan luar negeri Indonesia. Metode deskriptif adalah metode penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan mengenai situasi atau kejadian tertentu. Adapun tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran, lukisan, secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan fenomena yang diteliti.

2. Metode Analisis Data

Metode analisis pada penelitian ini bersifat deskriptif kea rah tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dan kondisi yang terjadi. Data yang dikumpulkan akan dieksplorasi secra mendalam dan selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan maslah yang diteliti.

70Ibid., hal. 29-35

(38)

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu cara ini

dilakukan dengan menghimpun data maupun teori dari berbagai literatur dan dapat digunakan untuk menganalisa data yang diperoleh. Pengumpulan data sekunder yaitu data yang berasal dari buku-buku, jurnal ilmiah, surat kabar yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri Indonesia dan nonproliferasi nuklir (NPT) serta posisi dan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap NPT.

F. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Kebijakan Luar Negeri

Pada bab ini akan diuraiakn teori-teori yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri

BAB III : Perjanjian Nonproliferasi Nuklir

Pada bab ini data dan informasi disajikan yang berkaitan dnegan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).

BAB IV: Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT)

Pada bab ini akan dibahas mengenai alternative kebijakan luar negeri yang dapat diambil Indonesia berkaitan dengan NPT dan apa implikasi dari alternative kebijakan yang diambil sesaui dengan teori atau model pengambilan keputusan dalam kebijakn luar negeri BAB V : Penutup

(39)

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

KEBIJAKAN LUAR NEGERI

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dan seberapa besar pengaruh dari motivasi berprestasi dan strategi belajar efektif terhadap

Penelitian ini membuktikan, bahwa untuk memprediksi distress keuangan perusahaan publik sektor non keuangan Indonesia dapat menggunakan beberapa rasio keuangan satu tahun

As noted above, CIRCA does not know how long the light has been green when it is observed; therefore, in the worst case, it is assumed that the temporal transition to the yellow state

Pembuatan garam kurkumin larut air dilakukan dengan cara reaksi penggaraman dengan menggunakan natrium metoksida sehingga menghasilkan natrium kurkumin yang

Disarankan kepada rekan-rekan fisioterapi untuk menambahan jumlah subyek penelitian pada penelitian berikutnya, diupayakan dapat mengontrol aktivitas sampel penelitian yang dapat

Pemberian zakat dengan cara pemberian modal usaha dari LAZIS Baiturrahman Semarang seharusnya secara hukum harus lebih dicermati dengan baik, sebab sebagaimana

Secara amnya, jika dilihat purata min bagi setiap bahagian seperti dalam jadual 7, dapat digambarkan bahawa persepsi pelajar terhadap aktiviti kokurikulum berada dalam

Berdasarkan hasil penelitian dan pem- bahasan yang dilakukan maka kepatuhan pajak WPOP yang terdaftar pada KPP Batu dan Kepanjen terbukti dipicu oleh niatnya untuk