• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Bioetanol Dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal Dan Fermentasi Serta Recycle Vinasse (Pengaruh Konsentrasi Tepung Ampas Tebu, Suhu Dan Waktu Hidrolisis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Bioetanol Dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal Dan Fermentasi Serta Recycle Vinasse (Pengaruh Konsentrasi Tepung Ampas Tebu, Suhu Dan Waktu Hidrolisis)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIOETANOL

Bioetanol pada dasarnya merupakan etanol yang diproduksi dari biomassa [12]. Bioetanol dapat dengan mudah diproduksi dari bahan bergula, berpati dan berserat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar gula dan karbohidrat tinggi, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung, pisang, jerami, bonggol jagung, dan kayu [13].

Gambar 2.1 Diagram Sumber Tanaman Bioetanol [14]

Etanol dapat diproduksi secara fermentasi dari bahan baku yang mengandung gula atau secara sintetis dapat juga diproduksi dari turunan minyak bumi. Tetapi hampir 93% produksi etanol di dunia diproduksi secara fermentasi. Selama ini etanol diproduksi dari molase (limbah proses produksi gula) ataupun bahan berpati (singkong, jagung). Penggunaan molase sebagai bahan baku pembuatan etanol berkompetisi dengan kebutuhan molase sebagai bahan baku pembuatan MSG

(2)

mengatasi kompetisi yang terjadi pada bahan baku etanol, maka perlu ditemukan sumber bahan baku lain yang mengandung polisakarida dan tidak dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Salah satu bahan yang mengandung rantai polisakarida adalah selulosa [15].

Etanol yang diproduksi dari bahan berlignoselulosa meliputi dua tahap reaksi. Tahap pertama adalah konversi selulosa menjadi gula. Tahap kedua adalah produksi etanol dari gula hasil konversi. Konversi selulosa menjadi gula dilakukan melalui reaksi hidrolisis [15].

Etanol pada kondisi biasa bersifat volatil, mudah terbakar, jernih, cairan tidak berwarna. aromanya sedap dan khas. Sifat fisik dan kimia etanol tergantung pada gugus hidroksil. Gugus ini memberi polaritas molekul dan juga menimbulkan ikatan hidrogen antarmolekul. Atom hidrogen dari gugus hidroksil dapat digantikan oleh logam aktif , seperti natrium, kalium dan kalsium, untuk membentuk etoksida logam (etilet) dengan perubahan dari gas hidrogen [16].

Tabel 2.1 Sifat Fisik Etanol [16]

Panas pembakaran pada 25 °C, (J/gr) 29676,69

Terdapat beberapa karakteristik internal etanol yang menyebabkan penggunaan etanol pada mesin lebih baik daripada bensin. Etanol memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7 . Angka tersebut (terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh bensin walaupun setelah ditambahkan aditif tertentu. Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88 dan umumnya motor octane lebih rendah dari pada

(3)

peningkatan efisiensi hingga 10%. Etanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang berikatan di dalam molekul etanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara dan bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3 – 19 vol% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 – 7.6 vol%), pembakaran campuran udara dan bahan bakar etanol menjadi lebih baik. Hal ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara dan bensin, yakni sekitar 4%. Etanol juga memiliki panas penguapan yang tinggi, yakni 842 kJ/kg. Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan ethanol lebih besar dibandingkan bensin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran etanol dibandingkan dengan bensin [17].

Etanol atau etil alkohol (C2H6O) adalah alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Karena sifatnya yang tidak beracun bahan ini banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman. Etanol tidak berwarna dan . dak berasa tapi memilki bau yang khas. Kegunaan etanol yang lain adalah sebagai bahan aditif untuk menaikkan nilai oktan bensin, bahan campuran bensin, dan untuk jangka panjang diharapkan dapat menggantikan bensin sebagai bahan bakar [15].

2.2 AMPAS TEBU

Bagasse (ampas tebu) merupakan residu padat pada proses pengolahan tebu menjadi gula, yang sejauh ini masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah (added value). Bagasse yang tergolong biomassa sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi, makanan ternak atau produk yang berbasis lignoselulosa seperti kertas, biogas, bioetanol dan lain-lain [18].

(4)

nasional sehingga dapat meningkatkan keuntungan pabrik. Sekitar 35% dari berat gula tebu menjadi ampas tebu [14].

Ampas tebu memiliki beberapa keunggulan pada penggunaannya dalam produksi etanol yaitu tidak seperti brangkasan jagung, ampas tebu diperoleh dari hasil samping proses produksi gula sehingga tidak memerlukan proses pemanenan lagi [19].

Gambar 2.2 Ampas Tebu [20]

Berikut ditampilkan komposisi ampas tebu pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Komposisi Ampas Tebu [21],[22]

Komposisi Persentase (%)

Selulosa 40

Hemiselulosa 24

Lignin 25

Bahan lignoselulosa merupakan substrat yang kompleks karena terdiri dari campuran polimer karbohidrat (cellulose dan hemicellulose), lignin dan senyawa-senyawa yang larut dalam air (abu). Dari komponen yang terpenting untuk dikonversi menjadi produk yang berbasis lignoselulosa adalah polisakaridanya. Namun faktanya lignin dengan struktur yang sangat kuat menjadi penghambat dalam konversi polisakaridanya menjadi produk lain. Oleh karena itu banyak riset dibidang

(5)

menghilangkan lignin. Perlakuan pendahulan pada lignoselulosa dapat dilakuakn secara fisikawi, kimiawi dan biologis [23]. Perlakuan pretreatment (delignifikasi) secara fisika antara lain berupa pencacahan secara mekanik, penggilingan dan penepungan untuk memperkecil ukuran bahan dan mengurangi kristalinitas bahan [24]. Proses pretreatment dilakukan untuk mengkondisikan bahan-bahan lignoselulosa baik dari segi struktur dan ukuran dengan memecah dan menghilangkan kandungan lignin dan hemiselulosa, merusak struktur kristal dari selulosa serta meningkatkan porositas bahan [22]. Rusaknya struktur kristal selulosa akan mempermudah terurainya selulosa menjadi glukosa. Selain itu, hemiselulosa akan turut terurai menjadi senyawa gula sederhana (glukosa, galaktosa, manosa, heksosa, pentosa, xilosa dan arabinosa) [25].

Beberapa faktor yang mendorong makin intensifnya dilakukan pemanfaatan bahan lignoselulosa menjadi sumber energi (dalam hal ini etanol) adalah pertama, kebutuhan dan konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun sementara sumber daya yang dapat menghasilkan energi makin terkuras karena sebagian besar sumber energi saat ini berasal dari sumber daya alam yang tidak terbarukan seperti minyak, gas dan batu bara. Kedua, bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik karena dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Dan yang ketiga bahan lignoselulosa tersedia cukup melimpah dan tidak digunakan sebagai bahan pangan sehingga penggunaannya sebagai sumber energi tidak mengganggu pasokan bahan pangan [24].

Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan ampas tebu sebagai bahan baku yang merupakan bahan lignoselulosa dengan perlakuan delignifikasi yang dilakukan adalah secara fisika yaitu dengan cara di-blender.

2.3 VINASSE

Produk samping proses fermentasi hidrolisat ampas tebu menghasilkan bioetanol terdiri dari 2 jenis, yaitu produk samping berupa padatan dan cairan. Produk samping yang berupa cairan dihasilkan dari proses distilasi menggunakan

(6)

Berikut ini adalah data kandungan vinasse yang telah dianalisa.

Pemanfaatan vinasse menjadi penting karena volumenya yang besar, sehingga jika dibuang ke lingkungan akan menimbulkan pencemaran air. Pemanfaatan vinasse

untuk didaur ulang sebagai bahan baku pembuatan etanol mulai dikembangkan karena selain dapat meningkatkan jumlah etanol yang didapatkan proses daur ulang tidak memerlukan instalasi pengolahan baru karena dapat menggunakan instalasi produksi yang ada [8].

2.4 SACCHAROMYCESS CEREVISIAE

Jenis khamir yang paling banyak digunakan adalah Saccharomyces cereviseae. Secara komersial khamir roti telah diproduksi pada tahun 1846 dengan ditemukan proses “wina” oleh Mautner menggunakan bahan dasar malt dan jagung. Biakan

Saccharomyces cereviceae secara khusus digunakan dalam pembuatan khamir roti dan fermentasi alkohol. Saccharomyces cereviseae ini bersifat fermentatif kuat. Tetapi dengan adanya oksigen, Saccharomyces cereviseae ini juga melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air [26].

(7)

(misalnya xylose, arabinosa) yang berasal dari generasi kedua berbahan baku lignoselulosa.

Jenis Saccharomyces cerevisiae tumbuh sangat baik pada suhu 20-30 º C dan pH antara 4,5 dan 5,5. Mengenai kebutuhan oksigen, Saccharomyces cerevisiae

merupakan mikroorganisme anaerob fakultatif dan umumnya tidak dapat tumbuh dengan baik di bawah kondisi benar-benar anaerobik. Hal ini karena oksigen diperlukan sebagai faktor pertumbuhan untuk membran biosintesis, khusus untuk biosintesis asam lemak (misalnya, asam oleat) dan sterol misalnya, ergosterol [27].

Saccharomyces cerevisiae tersedia dalam bentuk kultur murni dan ragi. Pada penelitian ini digunakan ragi roti dan ragi tempe dalam proses fermentasi. Menurut Peppler [28], Saccharomyces cerevisiae dapat diproduksi menjadi ragi, baik untuk pembuatan roti (baker’s yeast) dan pembuatan minuman beralkohol (brewing yeast

dan wine yeast). Pada pembuatan ragi roti digunakan Saccharomyces cerevisiae yang memiliki sifat antara lain menghasilkan karbondioksida yang tinggi serta mampu memberikan tekstur dan rasa roti yang baik. Sementara Saccharomyces cerevisiae

yang digunakan untuk produksi alkohol memiliki sifat antara lain mampu menghasilkan etanol yang tinggi

Pada fermentasi menggunakan kultur murni diperlukan penyiapan inokulum secara khusus dan membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Sementara itu,

Saccharomyces cerevisiae dalam bentuk ragi dapat langsung digunakan sebagai inokulum pada fermentasi etanol. Ragi roti dijual bebas di pasaran sehingga mudah didapatkan dan banyak digunakan oleh rumah tangga [29].

Ragi Tape mengandung 2 jenis khamir yaitu khamir amilolitik dan non amilolitik. Khamir amilolitik adalah genus Endomycopsis (menghasilkan aroma khas) karena menghasilkan enzim pemecah pati. Khamir non amilolitik yaitu genus

Saccharomyces yang mampu menghasilkan alkohol, Hanseula dan Candida yang mampu menghasilkan aroma [30]. Adonan dalam ragi tape bersifat amylolytic kuat dan menurunkan pangkat sebagain besar karbohidrat yang diuraikan menjadi gula sederhana yang diuraikan lebih lanjut oleh ragi hingga mengandung alkohol [31].

(8)

mengganggu proses fermentasi dan pada konsentrasi etanol 10% (v/v) laju pertumbuhan khamir akan berhenti sama sekali. Sedangkan menurut Prescott dan Dunn [34], kadar etanol maksimal yang bisa dihasilkan sebelum fermentasi benar-benar berhenti adalah 13% (v/v). Mangunwidjaja dan Suryani [35] menambahkan bahwa konsentrasi etanol sebesar 40 g/l akan menjadi penghambat baik untuk pertumbuhan biomassa maupun produksi etanol.

2.5 PROSES PEMBUATAN BIOETANOL

Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan baku (pretreatment), fermentasi dan pemurnian.

Gambar 2.3 Skema Proses Produksi Bioetanol [36]

2.5.1 Tahap Persiapan Bahan Baku (Pre-treatment)

(9)

Pretreatment harus memenuhi persyaratan sebagai berikut [37]:

1. Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan untuk kemudian membentuk gula oleh hidrolisis enzimatik

2. Menghindari degradasi atau hilangnya karbohidrat

3. Menghindari pembentukan produk sampingan yang dapat menghambat proses berikutnya yaitu hidrolisis dan fermentasi

4. Biaya lebih efektif

2.5.2 Tahap Hidrolisis Termal

Pada hidrolisis termal digunakan medium pemanas berupa air. Dengan penggunaan medium air tadi maka korosi terhadap perangkat hidrolisis lebih dapat diminimalisasi dibandingkan dengan penggunaan asam. Jenis hidrolisis ini juga hanya sedikit menghasilkan produk samping yang tidak diinginkan serta limbah yang dihasilkan bersifat ramah lingkungan. Keunggulan dari hidrolisis termal dibandingkan dengan jenis hidrolisis lain adalah proses hidrolisis dengan perlakuan panas tidak memerlukan tahap lebih lanjut seperti tahap pemurnian, tidak perlu dilakukan penyesuaian pH, maupun penggunaan katalis. Alasan itulah yang mendukung penggunaan hidrolisis termal dalam upaya produksi bioetanol [9]. Larutan gula hasil hidrolisis mendapat perlakuan detoksifikasi untuk menghilangkan racun yang mungkin terkandung dalam bahan baku [6].

Hidrolisis termal menggunakan tekanan dan temperatur yang tinggi, untuk memisahkan komponen organiknya, menghidrolisis hemiselulosa dan mengubah sifat-sifat selulosa dan lignin [38].

(10)

Gambar 2.4 Produk Samping Hasil Degradasi Lanjut Monosakarida [39]

2.5.3 Tahap Fermentasi

Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Berikut adalah reaksi pembentukan etanol dari glukosa:

Gambar 2.5 Reaksi Pembentukan Bioetanol [40]

(11)

kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara [41]. Konsentrasi gula pada larutan fermentasi diatur maksimum 17-18, itu merupakan kadar gula maksimum yang disukai Saccharomyces untuk mengkonversi gula menjadi etanol [42].

2.5.4 Tahap Pemurnian (Distilasi)

Pada tahap pemurnian bioetanol, proses yang sering digunakan adalah proses distilasi. Distilasi adalah salah satu metode dari pemurnian dengan cara memisahkan dua atau lebih komponen-komponen dalam suatu cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen.

Pada proses distilasi bioetanol, larutan fermentasi yang terdiri dari campuran etanol, air dan bahan-bahan lainnya dipisahkan pada tekanan atmosfir dengan suhu tertentu. Pada suhu 100 °C air mendidih dan akan menguap, sedangkan etanol mendidih pada suhu sekitar 77 °C. Perbedaan titik didih inilah yang memungkinkan pemisahan campuran etanol dan air. Jika larutan campuran etanol-air dipanaskan, maka lebih banyak molekul etanol menguap daripada air.

Proses pemurnian etanol yang paling banyak digunakan dalam dunia industri adalah proses distilasi. Etanol dan air membentuk titik azeotrop pada komposisi 95,57% berat etanol, sehingga digunakan proses distilasi azeotropik atau adsorpsi untuk memecah titik azeotrop tersebut [43].

(12)

2.6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PEMBUATAN BIOETANOL

2.6.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Hidrolisis Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hidrolisis adalah 1. Suhu

Suhu mempengaruhi jalanya reaksi hidrolisis, terutama pada kecepatan reaksinya. Hidrolisis dari pati mengikuti persamaan reaksi orde satu dengan kecepatan reaksi yang berbeda-beda untuk setiap jenis pati. Untuk kisaran suhu 90-100 °C, kecepatan reaksi meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 5 °C. Sedangkan secara keseluruhan, pada umumnya kecepatan reaksi hidrolisis akan meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 10 °C. Dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, maka waktu reaksi dapat di minimalkan. Penggunaan suhu tinggi juga dapat meminimalkan penggunaan katalisator sehingga biaya operasional lebih ekonomis.

2. Katalisator

Penggunaan katalisator pada reaksi hidrolisis dilakukan pertama kali oleh Braconnot pada 1819. Beliau menghidrolisis linen (selulosa) menjadi gula fermentasi dengan menggunakan asam sulfat pekat. Setelah itu ditemukan bahwa asam dapat digunakan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi hidrolisis. Katalisator yang biasa di gunakan berupa asam, yaitu asam klorida, asam sulfat, asam sulfit, asam nitrat, atau yang lainnya. Makin banyak asam yang di pakai sebagai katalisator, makin cepat jalannya reaksi hidrolisa. Penggunaan katalisator dengan konsentrasi kecil (larutan encer) lebih disukai karena akan memudahkan pencampuran sehingga reaksi dapat berjalan merata dan efektif. Penggunaan konsentrasi katalisator yang kecil dapat mengurangi kecepatan reaksi. Namun hal ini dapat diatasi dengan menaikkan suhu reaksi.

3. Waktu

(13)

4. Kecepatan Pengadukan

Dengan adanya pengadukan dalam reaksi hidrolisis akan menambah jumlah tumbukan antar zat pereaksi sehingga nilai frekuensi tumbukan (A) pada

2.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Fermentasi Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah : 1. Substrat

Substrat merupakan bahan baku fermentasi yang mengandung nutrien-nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba untuk tumbuh maupun menghasilkan produk fermentasi. Nutrien yang paling dibutuhkan oleh mikroba baik untuk tumbuh maupun untuk menghasilkan produk fermentasi adalah karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber karbon yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi mikroba, sedangkan nutrient lain seperti protein dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit daripada karbohidrat.

2. Suhu

(14)

terlalu tinggi maka Saccharomyces cerevisiae akan mati sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung.

3. pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting yang perlu untuk diperhatikan pada saat proses fermentasi. pH mempengaruhi pertumbuhan

Saccharomyces cerevisiae. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan penelitian, substrat yang akan dipakai terlebih dahulu diuji pH nya.

4. Oksigen

Oksigen secara tidak langsung mempengaruhi lama fermentasi yang dilakukan oleh Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi untuk melakukan proses fermentasi alkohol, dibutuhkan kondisi anaerob. Saccharomyces cerevisiae tumbuh dengan baik pada kondisi aerob. Pada kondisi aerob, Saccharomyces cerevisiae menghidrolisis gula menjadi air dan CO2, tetapi dalam keadaan anaerob gula akan diubah oleh

Saccharomyces cerevisiae menjadi alkohol dan CO2. 5. Mikroba yang digunakan

Mikroba sebagai pelaku fermentasi tentu sangat berpengaruh terhadap lama fermentasi. Dalam fermentasi alkohol umumnya digunakan khamir karena khamir dapat mengkonversi gula menjadi alkohol dengan adanya enzim zimase.

Saccharomyces cerevisiae memiliki beberapa kelebihan dibandingkan mikroba lain yang juga dapat membentuk alkohol. Kluyveromyces fragilis juga merupakan khamir yang dapat memproduksi alkohol. tetapi, Saccharomyces cerevisiae dapat mengkonversi gula lebih cepat daripada Kluyveromyces fragilis. Dalam 72 jam

Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan alkohol hingga 2% sedangkan

Gambar

Gambar 2.1 Diagram Sumber Tanaman Bioetanol [14]
Tabel 2.1 Sifat Fisik Etanol [16]
Gambar 2.2 Ampas Tebu [20]
Gambar 2.3 Skema Proses Produksi Bioetanol [36]
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian kami sebelumnya membuktikan bahwa senyawa brusein-A yang diisolasi dari buah makasar menunjukkan aktivitas antikanker secara in vitro terhadap kanker payudara dengan

Pancasila adalah dasar Negara serta dasar hukum tertinggi di Indonesia, karena kedudukan pancasila sebagai dasar, maka dalam pembuatan pembukaan UUD 1945 maupun

Hasil uji statistik rank spearman diperoleh angka signifikan atau nilai probabilitas (0,000) jauh lebih rendah standart signifikan dari 0,05 atau (p <  ), maka

Diharapkan hasil penelitian ini akan diketahui mekanisme senyawa brusein-A dalam mematikan sel kanker payudara dan dapat dibuat dari bahan baku tanaman buah makasar yang banyak

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapat dari data rekam medis pasein untuk mengetahui adakah hubungan antara usia,

Gaya hidup yang tidak sehat, seperti makan - makanan cepat saji dapat memicu sel kanker untuk tumbuh dengan cepat, pada orang - orang dengan gemar berganti - ganti pasangan

Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kemandirian suatudaerah pada SWP I .Analisa yang dinggunakan adalah analisa kuantitatif ,yaitu analisa yang sifatnya ,menjelaskan