• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Off Farm Income Terhadap Peng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kontribusi Off Farm Income Terhadap Peng"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kontribusi Off-Farm Income Terhadap

Pengelolaan Usahatani

(

Kasus dari Sumatera Utara)

Jongkers Tampubolon

Abstract

Policymakers in developing countries have tended to consider the farm sector as the principle sector for creation of rural employment and income opportunity. Therefore, they interpreted development as a structural change from agriculture through industry to services based economy, which is common thought as the ‘pattern of economic development’. This article, which is founded on empirical research, points out that off-farm income in rural area of North Sumatra plays an important role not only to food security and risks management, but also to provide capital available for investment on farm. This fact contradicts the general pattern, that on the ‘transitional stage of rural industrialization’, the capital resource should flow from agriculture. It indicates the persistent of multiple employment on individual as well as household level, which allow multiple jobholding on different sectors dynamically. The most suitable policy measure for such constellation is to support simultaneous growth of all three sectors and to promote integration among them, in order to create ‘linkage-friendly’ agricultural and non-agricultural activities.

Key words: economic development, farming system, off-farm income

1. Latar Belakang

Multiple employment, dimana setidak-tidaknya seorang anggota rumah tangga tani bekerja di luar usahatani sendiri, sudah menjadi gejala global yang persisten (lihat misalnya VON FRAUENDORFER, 1966; BERTRAND, 1967; SOHN, 1989). Sementara kontribusi penerimaan yang bersumber dari bekerja diluar usahatani (off-farm income = OFI) di negara berkembang signifikan terhadap total penerimaan rumah tangga tani yang menjalankannya, sebagaimana terungkap dalam kajian FAO, “State of Food and Agriculture 1998” yang mensintesa 100 hasil penelitian empirik. Hasil sintesis ini menunjukkan (REARDON, 1998: 1):

a. Off-farm income di Afrika memberi kontribusi rata-rata 42 % terhadap pendapatan rumah tangga (untuk Afrika Timur/Selatan, 45 % dan Afrika Barat 36 %).

b. Di Amerika Latin, off-farm income memberi sumbangan 40 % terhadap pendapatan rumah tangga.

c. Rata-rata 32 % pendapatan rumah tangga di Asia bersumber dari off-farm income (untuk Asia Timur/Tenggara 35 % dan Asia Selatan 29 %).

(2)

produksi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang (BADIEL, 1991: 181). Pandangan ini terbukti secara empiris di Pakistan (KLENNERT, 1986: 41):

“77 % of all marginal farm households surveyed did not consume these additional earnings totally but invested at least part of them in the farm. They used the additional money for (more) fertilizer, improved seed, (more intensive) use of tractor and thresher hire.”

Kecenderungan yang sama juga ditemukan oleh ARMAN (1987: 161) di Kalimantan Barat, walaupun bentuk kontribusi terhadap pengelolaan usahatani (pembangunan pertanian) tidak dirinci lebih jauh:

“There are examples that when family members take other jobs and leave the farms they have better opportunities to collect and save money that they send back to finance further development of the farms.”

Sebaliknya, KADA mengemukakan berdasarkan hasil penelitian empiris bahwa di USA dan Jepang, “part-time farm households are generally less willing to introduce new types of farm operation mainly owing to the technological difficulties, financial burdens of investment or risks involved” (KADA, 1986: 81). Hal yang sama dilaporkan oleh HO (1986: 125) dari Taiwan:

“Farm households with extensive involvement in non agricultural activities generally used less material inputs per hectare of cultivated land than did those with less involvement. The application rate of fertilizer and labor are complementary inputs, so the shortage of labour will tend to reduce the amount of fertilizer applied. It is also significant that, the proportion of organic fertilizer (which uses even more labour than chemical fertilizer) in the total amount of fertilizer used declines with increases in non-agricultural involvement.”

Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh off-farm employment terhadap pengelolaan usahatani, khususnya penggunaan pendapatan tambahan dari bekerja diluar tani sebagai sumber investasi. Pemahaman yang tepat mengenai hubungan sektor pertanian dengan sektor non-pertanian akan membantu perumusan kebijakan pembangunan yang tepat. Jika off-farm income tidak memberi sumbangan yang berarti bagi usahatani, maka transformasi ekonomi dari yang berbasis pertanian menuju industri (off-farm) sedang berjalan mengikuti ‘the stylized facts of development stage’ (CLARK, 1960; CHENERY/SYRQUIN, 1975 dan SYRQUIN, 1988). Untuk itu, strategi kebijakan yang tersedia adalah mendorong pertumbuhan sektor non-pertanian dan menghapus rintangan masuk bagi sumberdaya tenaga kerja yang akan berpindah dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian. Sebaliknya, apabila OFI memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengelolaan usahatani, ini menunjukkan terjadinya keterkaitan yang langgeng dan dinamis antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada dalam posisisi yang lebih rumit, karena untuk itu kebijakan harus diarahkan guna menciptakan rangsangan dan kapasitas rumahtangga dan lembaga ekonomi non-pertanian untuk menciptakan apa yang oleh REARDON (1998: 3) sebagai “linkage-friendly agriculture and non-agricultural activities”.

(3)

Informasi pada tulisan ini bersumber dari hasil penelitian di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kedua Kabupaten ini merupakan representasi dari dua sistim pertanian (farming system) yang berbeda, yaitu sistim pertanian lahan sawah (Deli Serdang) dan sistim pertanian lahan kering (Karo).

2.1. Pola Usahatani dan Off-farm Employment

Pada sistim pertanian lahan sawah, pola tanam yang berlaku secara serempak adalah Padi-Padi-Kedelai dengan jadwal yang sudah pasti karena dikaitkan dengan iklim (musim hujan). Luas lahan yang diusahakan rata-rata kecil (0,5 ha). 12 – 34 % dari petani semata-mata hanya mengusahakan lahan yang disewa dan 15 – 30 % rumah tangga sudah tidak memiliki akses ke lahan (prototip pertanian Asia yang dilanda oleh tekanan pertumbuhan penduduk sebagaimana diungkapkan oleh KUHNEN, 1987: 228; PURCAL, 1971: 45 dan TEMPELMAN, 1982: 53 untuk Malaysia; WOLZ, 1987: 188 untuk Thailand; KLENNERT, 1986: 39 dan RIEKEN, 1994 untuk Pakistan).

Pengelolaan usahatani yang intensif (cropping index 300 %) dapat berlangsung karena tersedianya dukungan teknologi dan berfungsinya pasar tenaga kerja disaat pekerjaan di sawah membutuhkan curahan tenaga kerja yang tinggi (bandingkan dengan BOSERUP, 1965: 10; ELLIS, 1996; BEETS, 1990: 369). Pengolahan lahan, khususnya untuk usahatani padi, sepenuhnya dilakukan secara mekanik dan pemanenan semi mekanik. Penawaran di pasar tenaga kerja dapat berupa tenaga upahan maupun lembaga gotong-royong, dimana 6 – 10 orang bekerja secara bersama-sama dari satu usahatani ke usahatani yang lain yang dikelola oleh anggota kelompok. Dengan demikian usahatani padi hanya menyerap rata-rata 50 HOK (hari orang kerja) per tahunnya, diantaranya hanya 28 HOK tenaga kerja keluarga dan selebihnya luar keluarga. Sedangkan usahatani kacang kedelai yang lebih padat tenaga kerja (labor intensive), khususnya untuk perawatan, rata-rata menyerap 56 HOK per tahun dan hanya 9 HOK diantaranya tenaga kerja keluarga. Oleh karena itu, waktu kerja yang tersedia untuk dialokasikan bagi aktivitas di luar usahatani sendiri (off-farm) jauh lebih tinggi dari pada yang tercurah untuk usahatani (jumlah anggota keluarga rata-rata 6 orang).

(4)

Kegiatan off-farm ini sering menuntut migrasi keluar secara temporer. Untuk itu kaum laki-laki akan segera meninggalkan desa setelah panen padi musim tanam kedua (Desember) dan kembali sebelum musim tanam padi yang pertama (April). Itulah sebabnya, pengelolaan usahatani kedelai sangat tergantung pada tenaga kerja luar keluarga (baik dalam bentuk upahan maupun gotong royong).

Daerah sistim pertanian lahan kering, terletak 1400 meter diatas permukaan laut dan terkenal sebagai sentra produksi hortikultura (sayur dan buah-buahan). Begitupun, bahagian terbesar dari lahan yang tersedia dialokasikan untuk menanam jagung dan padi gogo sebagai jaminan keamanan pangan (subsisten) apabila produksi hortikultura secara agronomis mengalami kegagalan atau secara ekonomi jatuh harga.

Diversifikasi (multiple cropping dan atau inter cropping) merupakan ciri khas sistim pertanian lahan kering, dimana masing-masing rumah tangga mengelola 2 – 7 persil lahan usahatani yang satu sama lain dapat berjarak hingga 5 kilometer. Karena keadaan tanah yang subur, curah hujan yang cukup dan suhu yang sedang, petani Karo dapat menanam berbagai jenis sayur dan buah setiap saat (tidak tergantung pada musim). Keputusan mengenai komoditi yang akan diusahakan tergantung pada 3 faktor, yaitu: (i) harga produk di pasar spot dan prakiraan future price, (ii) letak lahan usahatani, khususnya jarak ke jalan, (iii) status lahan, apakah milik atau sewa/gadai dan (iv) ketersediaan tenaga kerja keluarga.

Sayur dan buah tidak dapat disimpan lama, oleh karena itu tujuan produksi semata-mata untuk pasar. Sementara itu, produk sayur dan buah tidak mendapat jaminan harga dari pemerintah di Indonesia, sehingga fluktuasi harga sangat tinggi. Sebagai contoh, harga cabai ditingkat petani tahun 1996 berfluktuasi dari Rp 1.400,- hingga Rp 12.000,- per kilogram. Dalam pemilihan komoditi, petani hanya menyandarkan pengambilan keputusan pada harga yang sedang berlaku dan memperkirakan harga dimasa panen.

Menghadapi risiko harga, petani menganut pola diversifikasi yang khas berupa inter cropping diatas lahan tertentu yang sekaligus juga dapat mengatasi masalah kelangkaan kapital. Diversifikasi ini membentuk piramida tanaman sebagai berikut:

d. Tanaman tahunan (misal jeruk) sebagai tanaman pokok. Jeruk membutuhkan kapital yang besar pada 5 tahun pertama (untuk pengadaan pupuk dan pestisida) tanpa memberikan penerimaan bagi petani. Tetapi setelah 5 tahun, hasil panen telah dapat menutupi biaya dan bahkan menghasilkan laba yang signifikan per tahunnya.

e. Untuk membiayai investasi tanaman jeruk pada 5 tahun pertama, di celah-celah jeruk akan ditanam cabai atau tomat (dengan lama produksi 12 – 16 bulan). Sebahagian dari hasil usahatani cabai/tomat akan digunakan untuk membiayai usahatani cabai/tomat itu sendiri dan sebahagian lagi membiayai investasi jeruk.

f. Untuk menjembatani masa produksi cabai/tomat, diatas persil lahan usahatani yang sama akan ditanam buncis yang masa produksinya hanya 2 bulan.

(5)

Dengan pola diversifikasi seperti ini, maka setiap minggu akan ada hasil panen yang siap dijual ke pasar, dari berbagai jenis sayuran. Hasil ini masih didukung oleh hasil panen dari persil lahan usahatani yang lain (seperti wortel atau jagung), dalam hal produk sayuran tertentu mengalami jatuh harga.

Karena kepadatan populasi tanaman dalam pola piramida tanaman diatas, maka penggunaan alat mekanik untuk pengolahan lahan maupun penggunaan herbisida untuk pengendalian gulma menjadi sangat terbatas. Sehingga sistim pertanian lahan kering menjadi sangat padat tenaga kerja (kususnya sayuran) dengan menggunakan alat sederhana seperti cangkul (cuan) dan sabit. Temuan ini bertolak belakang dengan kesimpulan RUTHENBERG (1980: 176 dan 204) yang memandang pengalihan lahan kering menjadi sawah merupakan “the tradisional answer” atas problem pengecilan lahan usahatani sebagai akibat tekanan penduduk.

Petani holtikultura sangat tergantung pada pasar tenaga kerja yang umumnya berupa tenaga upahan. Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1: Struktur dan Curahan Tenaga Kereja pada Berbagai Komoditi Pertanian Lahan Kering

Keterangan Komoditas

Jagung Padi Jeruk Wortel

Total curahan Tenaga Kerja (HOK) 40,9 109,1 161,2 43,2 Proporsi TK luar keluarga (%) 50,9 55,1 45,8 55,9

Proporsi TK keluarga (%) 49,1 37,9 54,2 44,1

Lama produksi (bulan) 6 6 12 3,5

Luas areal rata-rata (ha) 0,5 0,5 0,5 0,3

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 183).

Luas lahan yang dikelola rumah tangga tani berkisar antara 0,4 dan 2,3 ha dengan rataan 1,1 ha. Kepemilikan dan penguasaan lahan usahatani di daerah sistim pertanian lahan kering jauh lebih tinggi dari pada di daerah sistim pertanian lahan sawah, walaupun jumlah anak lahir per keluarga di kedua daerah relatip sama. Perbedaan terletak pada pendidikan anak yang selanjutnya meningkatkan mobilitas mereka untuk migrasi keluar dari desa, sehingga tekanan atas fragmentasi lahan tidak terlalu besar. Elemen ini dapat menghindari ramalan MALTHUS dan BOSERUP (lihat TAMPUBOLON, 1998: 196) selain keragaman pada pola warisan (lihat CAIN/MCNICOLL, 1988: 106 ff.). Mekanisme migrasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

(i) Masyarakat desa di daerah sistim pertanian lahan kering sangat menilai tinggi pendidikan, sehingga mereka bersedia mengirimkan anak ke kota untuk bersekolah serta membiayainya. Pada saat penelitian lapang, 17 % anak laki-laki dan 16 % dari total anak perempuan meninggalkan desa untuk sekolah (umumnya di Medan).

(6)

Sementara di daerah sistim pertanian lahan sawah, alasan pokok meninggalkan rumah orangtua adalah menikah.

(iii)Bagian terbesar dari anak-anak yang meninggalkan orangtua dan tidak lagi menjadi tanggungan orang tua di daerah sistim pertanian lahan sawah, tinggal di desa tempatnya dibesarkan atau di desa-desa tetangga. Sementara di daerah sistim pertanian lahan kering, anak-anak yang sudah tidak menjadi tanggungan orangtua tinggal di kota-kota besar (seperti Medan, Jakarta dan Bandung).

Anak-anak dari daerah sistim pertanian lahan kering, dengan pendidikan yang lebih tinggi, memperoleh pekerjaan di sektor jasa dan industri perkotaan yang jauh dari desa. Mereka ini tidak membutuhkan lahan warisan miliknya sebagai sumber pendapatan. Tetapi karena ikatan emosional, lahan ini tidak dijual. Dalam beberapa kasus, pasangan suami isteri yang sudah tua, terpaksa harus mengelola sendiri lahan yang sudah diwariskan kepada anak-anaknya, karena semua anaknya bermigrasi (merantau). Situasi seperti ini mengakibatkan luas penguasaan lahan hampir tidak mengalami perubahan dari generasi ke generasi, sekalipun hak kepemilikan tetap terfragmentasi.

Kombinasi antara pengelolaan usahatani yang sangat intensif (piramida tanaman) dan luas penguasaan lahan telah menghasilkan multiple employment dengan dimensi yang berbeda dan bervariasi:

(i) Bagi sebagian kecil, multiple employment merupakan strategi untuk bertahan hidup. Mereka bekerja off-farm karena penghasilan dari usahatani sendiri tidak mencukupi. Kelompok ini umumnya petani berlahan sempit dan merupakan pendatang yang sebelumnya bermigrasi ke daerah ini sebagai buruh tani.

(ii) Pegawai negeri sipil (aparat pemerintahan kecamatan maupun guru) yang tinggal di desa umumnya berada dalam golongan penggajian yang rendah. Kelompok ini menambah penghasilan dengan bertani, terutama untuk tujuan menabung (akumulasi kapital) guna membiayai investasi maupun konsumsi khusus dimasa datang, seperti pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, komoditi yang diusahakan umumnya tanaman tahunan yang lebih padat modal.

(iii)Pensiunan pegawai negeri sipil, memperoleh pensiun setiap bulan. Tetapi penerimaan ini tidak mampu menutupi semua kebutuhan, khususnya untuk aktivitas sosial, yang ditingkat desa dengan ikatan sosial yang tinggi membutuhkan biaya yang besar. Kelompok ini harus menambah penghasilan melalui usahatani.

(iv)Kelompok yang merasa memiliki bakat khusus seperti dagang, sehingga memilih tidak bertani. Tetapi dalam kelompok inipun berlangsung multiple employment

pada tingkat rumah tangga, artinya sebagian anggota rumah tangga secara penuh bertani (umumnya kaum ibu) dan sebagian lagi secara penuh bekerja dibidang luar tani (kaum bapak).

Secara keseluruhan, off-farm income menunjukkan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan rumah tangga di kedua daerah dengan sistim pertanian yang berbeda, walaupun peranan farm income di daerah sistim pertanian lahan kering lebih dominan (tabel 2).

(7)

Sumber pendapatan utama Sistim Pertanian

Lahan Kering Lahan Sawah

Usahatani sendiri 69,2 27,1 – 34,9

Off-farm income 17,3 54,6 – 66,7

Keduanya berimbang 13,5 6,2 – 10,5

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 205).

2.2 Kontribusi Off-farm Icome Terhadap Pengelolaan Usahatani

Praktik multiple employment secara reoretis akan mempengaruhi pengelolaan usahatani. Pengaruh ini dapat positip maupun negatip. Pengaruh positip terutama bersumber dari tambahan pendapatan rumah tangga yang dapat digunakan untuk membiayai investasi di usahatani sendiri. Pengaruh negatip dapat muncul dalam bentuk berkurangnya tenaga kerja yang tersedia untuk pengelolaan usahatani karena sebahagian dari tenaga kerja keluarga telah dialokasikan untuk kegiatan off-farm. Kekurangan tenaga kerja keluarga seperti ini membutuhkan penyesuaian dalam bentuk: (i) pengelolaan usahatani yang lebih ekstensip, (ii) menghentikan cabang usahatani yang bersifat padat tenaga kerja (KADA, 1980: 77 dan 81); BARLETT, 1986: 294), dan (iii) mengurangi luas areal yang diusahakan. Meskipun dalam penelitian lapang tindakan penyesuaian ini ditemukan, tetapi karena keterbatas tempat tulisan ini hanya akan membahas pengaruh off-farm income terhadap alokasi faktor produksi tradisional (kapital, tenaga kerja upahan dan lahan) dalam usahatani.

2.2.1 Situasi Pada Sistim Pertanian Lahan Sawah

Secara umum, tidak terdapat pengaruh kegiatan multiple employment terhadap alokasi faktor produksi tradisional dalam usahatani pada sistim pertanian lahan sawah. Artinya, rumah tangga dengan pendapatan per kapita per tahun dari kegiatan off-farm yang berbeda, tidak menunjukkan perbedaan pengeluaran per tahun untuk pembiayaan kapital dan upah tenaga kerja per hektar lahan usahatani. Sebagai contoh dapat dilihat dalam hubungan antara OFI per kapita per tahun dan pengeluaran kapital per rante lahan usahataniper tahun pada gambar 1.

(8)

Pengeluaran Modal/rante

O f f - F a r m I n c o m e

Linear Pengamatan

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 236).

Catatan: Kemiringan kurva linier tidak signifikan berbeda dari nol dan hasil analisa statistik persamaan garis linier tidak memberikan nilai yang memuaskan sehingga tidak relevan untuk disajikan.

Bahwa OFI tidak berpengaruh terhadap luas lahan usahatani dapat dimaklumi, mengingat luas lahan usahatani tidak tergantung pada situasi ekonomi rumah tangga petani, melainkan pada ketersediaan lahan. Pada daerah sistim pertanian lahan sawah, faktor produksi lahan merupakan limiting faktor yang bersifat given. Oleh karena itu, luas lahan usahatani tidak dapat dipandang sebagai faktor variabel.

Perbedaan dalam curahan tenaga kerja luar keluarga (upahan) juga tidak diharapkan, mengingat sistim produksi padi yang memiliki puncak-puncak curahan tenaga kerja yang tinggi pada fase-fase tertentu, khususnya pada saat menanam dan panen. Fase produksi ini tidak dapat diselesaikan tepat waktu apabila hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Dengan demikian, penggunaan tenaga kerja luar keluarga (upahan) tetap akan dilakukan tanpa tergantung pada situasi ekonomi keluarga petani. Terlebih lagi, penggunaan tenaga kerja luar keluarga tidak harus berarti tenaga upahan, mengingat di daerah sistim pertanian lahan sawah, gotong royong (kerjasama) antar petani baik dalam bentuk pooling tenaga kerja wanita (menanam padi) maupun pooling tenaga kerja laki-laki (memanen padi) berfungsi dengan baik.

Sebaliknya, tidak adanya hubungan antara OFI per kapita dan pengeluaran kapital, tidak sesuai dengan logika umum (common sense). Penelitian empiris bertema ‘multiple employment dan pengelolaan usahatani’, khususnya di negara berkembang berkesimpulan bahwa tambahan pendapatan petani dari kegiatan off-farm akan mendorong peningkatan investasi di usahatani (KLENNERT, 1986: 41 dan ARMAN, 1987: 161).

Tetapi penyimpangan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

(9)

ditujukan untuk konsumsi langsung (keamanan pangan). Setelah ketersediaan pangan terjamin, OFI akan digunakan untuk investasi ‘konsumptif’ seperti perbaikan rumah, biaya sekolah anak dan sejenisnya. Investasi di usahatani berada pada urutan keempat atau kelima dalam skala prioritas.

(ii) Produksi padi mendapat intervensi dari pemerintah dalam bentuk subsidi sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida. Pemberian subsidi sarana produksi ini dapat dinikmati oleh petani gurem dengan tersedianya kredit berbunga rendah untuk pengadaan sarana produksi. Setiap petani mempunyai akses terhadap kredit, asal ia bersedia menjadi anggota kelompok tani. Kredit ini sampai ditangan petani dalam bentuk natura seperti bibit, pupuk dan pestisida serta uang tunai untuk membiayai pengolahan lahan. Oleh karena itu setiap petani mendapat saprodi yang sama per hektar lahan usahatani, sehingga penggunaan kapital per hektar akan sama pada setiap usahatani. Dalam konstelasi seperti ini, faktor produksi kapital tidak lagi dapat dipandang sebagai faktor variabel.

Peranan penting intervensi pemerintah di sektor pertanian dalam bentuk penyediaan sarana produksi (faktor produksi kapital) pada usahatani padi sawah akan semakin nyata apabila penggunaan kapital didiferensiasi per cabang usahatani. Hasil pemilahan per cabang usaha menunjukkan hubungan yang mirip dengan gambar 1 untuk cabang usaha padi sawah. Sebaliknya pada cabang usaha kacang kedelai, lahan merupakan faktor produksi variabel yang berkorelasi positip dan signifikan dengan OFI. Subsidi sarana produksi tidak berlaku untuk usahatani kedelai. Kelembagaan gotong-royong (pooling tenaga kerja) untuk mengatasi tenaga kerja keluarga juga tidak berlaku pada usahatani kedelai. Karena kebutuhan kapital (sarana produksi) harus dibiayai secara tunai, luas areal pertanaman kedelai menjadi tergantung pada situasi keuangan petani. Dalam hal ini berlaku secara cross-section, semakin tinggi OFI maka lahan pertanaman kedelai akan semakin luas (gambar 2). Temuan di lapang menunjukkan, hanya dua pertiga (66 %) dari petani yang menanami lahannya dengan kedelai. Selebihnya menyerahkan lahannya kepada orang lain hanya untuk ditanami kedelai. Penyebabnya adalah ketidaktersediaan kredit untuk membiayai produksi, sementara usahatani kedelai berisiko tinggi.

(10)

Luas Lahan Usaha

O f f – F a r m I n c o m e

L i n e a r Pengamatan

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 238).

Pada cabang usahatani kedelai terdapat korelasi yang positip dan signifikan antara luas areal pertanaman dan pengeluaran kapital serta upah tenaga kerja. Koefisien korelasi ketiga faktor ini mendekati satu, sehingga pengaruh OFI terhadap penggunaan faktor produksi tradisional (lahan, kapital dan tenaga kerja) sepenuhnya dapat direpresentasikan oleh gambar 2. Artinya luas areal tanam yang semakin tinggi menunjukkan penggunaan kapital dan tenaga kerja upahan yang semakin tinggi juga. Koefisien korelasi disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Matrix Koefisien Korelasi antara OFI dan Penggunaan Faktor Produksi dalam Usahatani Kacang Kedelai pada Sistim Pertanian Lahan Sawah.

Variabel OFI Luas Lahan Biaya Kapital Biaya Upah OFI

Luas lahan Biaya Kapital Biaya Upah

1,00 0,74** 0,76** 0,68**

1,00 0,96**

0,96** 1,000,95** 1,00

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 239). Catatan:

** signifikan pada = 0,01.

(11)

kontribusi yang signifikan sebagai sumber permodalan untuk investasi di sektor pertanian.

2.2.2 Situasi Pada Sistim Pertanian Lahan Kering

Pada sistim pertanian lahan kering berlaku, bahwa OFI per kapita berkorelasi positip dan signifikan dengan penggunaan kapital pada produksi pertanian. Koefisien korelasi 0,55 dan signifikan pada a = 0,05. Korelasi ini tidak sekuat pada usahatani kedelai pada sistim pertanian lahan sawah. Tetapi korelasi OFI dan biaya upah tidak signifikan. Hubungan antara OFI dan pemakaian kapital disajikan secara grafis pada gambar 3.

Gambart 3. Pengaruh OFI Terhadap Penggunaan Kapital pada Sistim Pertanian Lahan Kering.

Biaya Kapital/0,25 ha

O f f – F a r m I n c o m e

Linear Pengamatan

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 241).

Sekalipun bentuk garis linier pada gambar 3 memberikan nilai statistik yang memuaskan, tetapi perlu ditambahkan, bahwa 35,7 % responden menanam jeruk, cabang usahatani yang secara kontinu menuntut penggunaan kapital. Tanaman tahunan seperti ini dipandang sebagai investasi masa depan, dimana luas areal pertanaman sangat tergantung pada situasi keuangan petani. Jika petani tidak yakin bahwa dalam lima tahun (hingga usahatani jeruk membukukan keuntungan) kebutuhan pokok rumah tangga tidak dapat ditutupi oleh OFI, biasanya mereka akan berkonsentrasi pada tanaman sayuran. 70 % dari petani sampel hanya bekerja off-farm apabila ada kebutuhan akan uang tunai secara mendadak. Dalam keadaan normal, pola piramida tanaman dapat menjadi basis ekonomi yang kokoh.

3. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

(12)

(i) Off-farm income memegang peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga masyarakat tani Sumatera Utara, walaupun motif melakukan aktivitas off-farm berbeda pada masing-masing lingkungan sistim pertanian. Pada sistim pertanian lahan sawah, off-farm employment bertujuan untuk menambah pendapatan usahatani, yang karena sempitnya lahan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan subsisten rumah tangga. Sementara rendahnya curahan tenaga kerja keluarga di usahatani sendiri telah mengakibatkan pengangguran yang bersifat saisonal, sehingga dari sisi sumberdaya tenaga kerja multiple employment memungkinkan untuk dilakukan.

Pada sistim pertanian lahan kering, motif multiple employment lebih beragam. Sebahagian hanya untuk memenuhi kebutuhan uang tunai secara mendadak, sementara dalam situasi normal, usahatani melalui pola piramida tanaman dapat menjadi basis ekonomi rumah tangga yang kokoh. Sementara itu, bagi sebahagian lainnya, aktivitas off-farm merupakan basis ekonomi rumah tangga dan usahatani dijalankan untuk menambah penghasilan (khusus bagi pensiunan PNS) atau sebagai sarana menabung guna membiayai investasi atau pengeluaran konsumsi yang besar di kemudian hari.

(ii) Pada kedua daerah dengan sistim pertanian yang berbeda, penghasilan dari OFI sebagian digunakan untuk membiayai investasi di sektor pertanian. Sekalipun usahatani padi sawah, yang menjadi kegiatan utama pada sistim pertanian lahan sawah, diintervensi oleh pemerintah melalui pemberian subsidi sarana produksi yang mengakibatkan pemakaian modal seragam, pengaruh OFI terhadap (resource flows) dari pertanian ke non-pertanian pada fase ini justru mencapai puncaknya (JOHNSTON/MELLOR, 1961 dan TIMMER, 1986: 8). Tetapi yang terjadi di pedesaan Sumatera Utara adalah sebaliknya: aliran modal dari non-pertanian (off-farm) ke pertanian (capital flow to agriculture).

Pada kesempatan lain telah ditunjukkan (TAMPUBOLON, 2001: 8-11), bahwa mengingat magnitude multiple employment di pedesaan secara global, yang mengakibatkan terintegrasinya berbagai sektor baik pada level individu dan terutama pada level rumah tangga, maka ‘the stylized facts of development stage’ tidak relevan lagi dijadikan acuan dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan.

(13)

4. Daftar Pustaka

Arman, S. 1987: Off-farm works in Three Coastal Communities of West Kalimantan, Indonesia. Rutgers The State University of New Jersey - New Brunswick: Dissertation.

Badiel, B. 1991: Mehrfachbeschäftigung in Haushalten mit Landbewirtschaftung – Versuch einer entwicklungsbezogenen Typologie. Sozialökonomische Schriften zur Ruralen Entwicklung, Bd. 86. Aachen: Alano.

Barlett, P.F. 1986: Part-time farming: Saving the farm or saving the lifestyle ? Rural Sociology51(3): 289 - 313.

Beet, W.C. 1990: Raising and Sustaining Productivity of Smallholder Farming Systems in the Tropics. A Handbook of Sustainable Agricultural Development. Alkmaar: AgBé.

Bertrand, A.L. 1967: Research on Part-time Farming in the US. Sociologia Ruralis

7(3): 295 - 306.

Boserup, E. 1965: The Conditions of Agricultural Growth. The Economics of Agrarian Change under Population Pressure. London: George Allen & Unwin.

Cain, M. and McNicoll, G. 1988: Population Growth and Agrarian Outcomes. In: Lee, R.D., Arthur, W.B., Kelly, A.C., Rodgers, G., and Srinivasan, T.N. (eds.): Population, Food and Rural Development: 101 – 117. Oxford: Clarendon.

Chenery, H. and Syrquin, M. 1975: Pattern of development, 1950 – 1960. London: Oxford University Press.

Chenery, H., and Srinivasan, T.N. (eds.), 1988: Handbook of Development Economics. Vol. I. Amsterdam, etc.: North Holland.

Clark, C. 1960: The Condition of Economic Progress. 3rd. ed. London/NY: MacMillan/St. Martin.

Ellis, F. 1996: Peasant Economics: Farm Households and Agrarian Development (second edition). Cambridge, etc.: Cambridge University Press.

Frauendorfer, S. von. 1966: Part-time Farming, A Review of Literature. World Agricultural Economics and Rural Sociology Abstracts8: 5 - 38.

Ho, S.P.S. 1986: Off-farm Employment and Farm Households in Taiwan. In: Shand, R.T. (ed.), 1986: 95 - 133.

Johnston, B.F. and Mellor, J.W. 1961: The Role of Agriculture in Economic Development. American Economic Review51 (4): 566 – 593.

Kada, R. 1980: Part-Time Family Farming: Off-farm Employment and Farm Adjustment in the US and Japan. Tokyo: Center for Academic Publications.

Kada, R. 1986: Off-farm Employment and the Rural –urban Interface in Japanese Economic Development. In: Shand, R.T. (ed.), 1986: 75 – 93.

Klennert, K. 1986: Off-Farm Employment in Marginal Farm Households: A Hidden Development of Parts of Pakistan’s Rural Poor. Quarterly Journal of Internatioal Agriculture25(1): 37 – 48.

(14)

Reardon, T. 1998: Rural Off-farm Employment and the Role of Agriculture: Policies and Prospects for Proverty Alleviation. Seminar on March 25, 1998: Michigan State University.

Rieken, J. 1994: Institutionen, Kultur und Erwerbstätigkeit in Nordwest-Pakistan. Sozioökonomischen Schriften zur Ruralen Entwicklung, Bd. 86. Aachen: Alano. Ruthenberg, H. 1980: Farming Systems in the Tropics (third edition). Oxford:

Clarendon.

Shand, R.T. (ed.), 1986: Off-farm Employment in the Development of Rural Asia. Papers presented at a conference held in Chiang Mai, Thailand, 23 to 26 August 1983, vol 1 and 2, Canberra.

Sohn, H. 1989: Erwerbskombinationen in Haushalten mit Landbewirtschaftung in der Bundesrepublik Deutschland. FAA Band 285.

Syrquin, M. 1988: Pattern of Structural Change. In: Chenery, H., and Srinivasan, T.N. (eds.): 203 – 273.

Tampubolon, J. 1998: Interaktionen zwischen Mehrfachbeschäftigung und betrieblicher Organisation der Landwirtschaft (interaction between multiple employment and farm organization). Göttingen: Cuvilier Verlag.

Tampubolon, J. 2001: Hakekat Multiple Employment Bagi Masyarakat Tani Sumatera Utara. Visi9(1): 1 – 14.

Tempelman, G-J. 1982: Off-Farm Employment: A Barrier to Agricultural Development – A Case Study From Trengganu, Peninsular Malaysia. Malaysian Journal of Tropical Geography6: 50 – 60.

Timmer, C.P. 1988: The Agricultural Transformation. In: Chenery, H., and Srinivasan, T.N. (eds.): 275 – 331.

Gambar

Gambar  1.  Pengaruh  Off-farm  Income  Terhadap  Pengeluaran  Kapital  pada  SistimPertanian Lahan Sawah.
Tabel 3. Matrix Koefisien Korelasi antara OFI dan Penggunaan Faktor Produksi dalamUsahatani Kacang Kedelai pada Sistim Pertanian Lahan Sawah.

Referensi

Dokumen terkait

- Sebaran curah hujan di wilayah studi bisa dihitung untuk wilayah yang bertetangga yang tidak memiliki data curah hujan menggunakan metode Thiessen polygon

Hal ini menunjukkan Pemanfaatan teknologi dan informasi pendidikan, Motivasi Kerja Kepala Sekolah dan Kinerja Kepala Sekolah, secara bersama-sama berpengaruh positif

Perubahan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 5 Tahun 2009 adalah untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011

Suatu substansi alam yang komplek, merupakan suatu senyawa yang netral / komplek dan tidak mempunyai sifat kimia yang khas, yaitu berupa garam / ester. Senyawa

TOYOTA AVANZA G 2005 silver met tangan pertama pajak panjang barang mulus KM 91rb. Kramat Kwitang Senen

Nilailah produk flat wafer secara keseluruhan berdasarkan atribut sensori di bawah ini dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom tersedia. Netralkan lidah anda

Kebijakan apa gerangan yang terkandung dalam UU 22/2001 tentang kebijakan baru untuk sektor hilir dan mengapa monopoli Pertamina dianggap perlu diganti dengan pola baru..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh home care terhadap kebersihan gigi dan mulut pada siswa tunanetra di SDLB A-YKAB Surakarta, ditunjukkan dengan hasil