PELAKSANAAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM PENYIDIKAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME
Jurnal
Oleh
DEVI RAMADHANTI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
PELAKSANAAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM PENYIDIKAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME
Oleh
Devi Ramadhanti, Sanusi Husin, Eko Raharjo
Email:
Asas praduga tak bersalah merupakan norma atau aturan yang berisi ketentuan yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa seperti halnya orang yang tidak bersalah, atau dengan perkataan lain asas praduga tak bersalah merupakan pedoman (aturan tata kerja) bagi para penegak hukum dalam memperlakukan tersangka atau terdakwa dengan mengesampingkan praduga bersalahnya. Penerapan asas tersebut dalam proses peradilan pidana sangat penting sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasi manusia. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan asas praduga tak bersalah dalam penyidikan tersangka tindak pidana terorisme dan (2) Apakah faktor penghambat pelaksanaan asas praduga tak bersalah dalam penyidikan tersangka tindak pidana terorisme? Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian di Kepolisian Daerah Provinsi Lampung, dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung, Data sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan data tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan materi penulisan yang berasal dari undang-undang, artikel dan jurnal. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis yakni penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses penyidikan perkara tindak pidana terorisme menunjukkan bahwa masih ada pemahaman dari penegak hukum jika asas praduga tidak bersalah dalam arti yang sebenarnya sehingga mereka selalu berpandangan sebagai penegak hukum mereka pasti menggunakan praduga bersalah. Pada umumnya asas praduga tidak bersalah telah diterapkan oleh Penyidik yang menangani perkara terorisme dengan mengupayakan hak-hak tersangka atau terdakwa selama proses peradilan berlangsung.
ABSTRACT
IMPLEMENTATION OF PRINCIPLES IN PREVENTION INVESTIGATION OF CRIMINAL ACTORS TERRORISM
The principle of presumption of innocence is a norm or rule that contains provisions that must be carried out by law enforcement officers to treat suspects or defendants as well as innocent people, or in other words the principle of presumption of innocence is a guideline (work rules) for law enforcers in treat the suspect or defendant by putting aside the presumption of guilt. The application of the principle in the criminal justice process is very important as a form of respect for human rights. The problems discussed in this thesis are (1) How is the implementation of the principle of presumption of innocence in the investigation of suspects of terrorism and (2) What are the inhibiting factors for the implementation of the principle of presumption of innocence in investigating suspects of terrorism? The method used in the writing of this thesis is the normative juridical and empirical juridical approach. Data sources used are primary data, namely data obtained directly from research in the Lampung Province Regional Police, and Academics of the Faculty of Law, University of Lampung, secondary data, namely materials that provide instructions and explanations of primary legal materials and tertiary data, namely materials provide guidance and explanation of secondary legal materials relating to writing material derived from laws, articles and journals. Based on the results of the research and discussion conducted by the author that the application of the principle of presumption of innocence in the process of investigating criminal acts of terrorism shows that there is still an understanding of law enforcers if the principle of presumption is innocent in the true sense so that they always view law enforcement as they must use the presumption of guilt . In general, the principle of presumption of innocence has been applied by Investigators who handle terrorism cases by seeking the rights of suspects or defendants during the trial process.
I. PENDAHULUAN
Terdapat suatu asas dalam KUHAP yang melindungi hak asasi tersangka dalam proses peradilan pidana, yaitu asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence) asas tersebut dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan siding pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sebelum adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.”
Ketentuan asas praduga tak bersalah tesebut, jelas dan wajar bila seorang tersangka dalam proses peradilan pidana, wajib mendapatkan hak-haknya (Pasal 52-117 KUHAP) yang ditujukan untuk melindungi tersangka ditingkat penyidikan sampai dengan putusan hakim, dimana terdapat harkat dan martabat seseorang tersangka dijamin, dihormati dan dijunjung tinggi. Polisi selaku penyidik, berperan
digaris terdepan dalam pelaksanaan
penegakan hukum, sehingga sangat perlu memperhitungkan atau terjadinya masalah-masalah yang tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan KUHAP, sepeti diketahui bahwa sangat menjunjung tinggi atau lebih memberi jaminan dan penghormatan harkat dan martabat manusia. Seorang tersangka pada tahap penyidikan sampai dengan
menjadi terdakwa yaitu pada tahap
pemeriksaan di Pengadilan dijamin hak- hak asasinya.
Pengakuan terhadap asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana yang berlaku di negara kita mengandung dua
maksud. Pertama, untuk memberikan
perlindungan dan jaminan terhadap seorang manusia yang telah dituduh melakukan
suatu tindak pidana dalam proses
pemeriksaan perkara agar jangan sampai
diperkosa hak asasinya. Kedua,
memberikan pedoman pada petugas agar membatasi tindakannya dalam melakukan pemeriksaan karena yang diperiksanya itu adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan yang
melakukan pemeriksaan.1 Dengan
demikian, asas praduga tak bersalah berkaitan erat dengan proses peradilan pidana yaitu suatu proses dimana seseorang menjadi tersangka dengan dikenakannya penangkapan sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya.
Asas praduga tak bersalah merupakan norma atau aturan yang berisi ketentuan yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa seperti halnya orang yang tidak bersalah, atau dengan perkataan lain asas praduga tak bersalah merupakan pedoman (aturan tata kerja) bagi para penegak hukum dalam memperlakukan
tersangka atau terdakwa dengan
mengesampingkan praduga bersalahnya. Penerapan asas tersebut dalam proses peradilan pidana sangat penting sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini tentunya tergantung pula pada pemahaman para penegak hukum terhadap asas praduga tak bersalah. Apabila asas tersebut tidak
1 Abdurrahman. Aneka Masalah dalam
diterapkan, akan membawa dampak
berkurangnya kepercayaan terhadap
masyarakat terhadap pelaksanaan proses peradilan pidana yang seharusnya bertujuan untuk tegaknya hukum dan keadilan.
Tindak pidana terorisme merupakan
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang untuk pengungkapannya tidak mudah. Meski demikian, seharusnya asas praduga tak bersalah tetap diterapkan dalam proses
penyelesaian perkara tindak pidana
terorisme. Dalam Pasal 25 Undang- Undang No. 15 Tahun 2003 disebutkan
bahwa,”Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku,
kecuali jika Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini menentukan
lain.”
Dengan demikian, kecuali ditentukan lain oleh Perpu tersebut, maka ketentuan beracara di dalam KUHAP juga berlaku terhadap proses peradilan perkara tindak pidana terorisme. Hal ini berarti asas- asas yang terdapat di dalam KUHAP, termasuk asas praduga tak bersalah, berlaku pula dalam proses peradilan tersebut. Dalam proses peradilan pidana, khususnya dalam
penyelesaian perkara tindak pidana
terorisme, ada potensi asas praduga tak
bersalah tidak diterapkan terhadap
tersangka/terdakwa selama proses
peradilan, sehingga membawa konsekuensi tersangkadan terdakwa tidak mendapatkan
hak-haknya sebagai manusia yang
berkedudukan sejajar dengan polisi, jaksa ataupun hakim.
Pada hakekatnya, asas praduga tak bersalah merupakan suatu ketentuan yang mutlak harus diterapkan oleh setiap
penyidik dalam melakukan proses
penyidikan terhadap tersangka pelaku tindak pidana terorisme dalam hal ini tindak pidana yang bersifat kejahatan luar biasa (extraordinary). Proses penyidikan dalam diri tersangka tindak pidana terorisme tersebut merupakan suatu proses yang baru menunjukan dugaan kuat mereka melakukan suatu tindak pidana
terorisme, akan tetapi kebenarannya belum dapat dibuktikan karna hanya pengadilan
yang berwenang untuk memutuskan,
sehingga tersangka dalam kasus tindak pidana terorisme tesebut dapat memproleh
hak-haknya sebagai warga Negara
Indonesia atau dengan kata lain penyidik
dalam melakuan penyidikan harus
memperhatikan hak-hak asasi manusia. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui secara jelas keadaan yang terjadi jika dilihat dari sudut hukum, dengan mengambil judul penelitian
“Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah
Dalam Penyidikan Tersangka Pelaku
Tindak Pidana Terorisme”.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif, pendekatan empiris.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dan prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan.
II. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Penyidikan Tersangka Tindak Pidana Terorisme
Asas praduga tak bersalah menyatakan
bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan, yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan asas ini, maka setiap orang yang disangka melakukan suatu
tindak pidana harus diperlakukan
tentang bagaimana mereka harus bertindak lanjut dan mengesampingkan praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap para tersangka/terdakwa. Intinya,
praduga tak bersalah bersifat legal
normative dan tidak berorientasi pada hasil
akhir. Oleh karenanya, pemahaman
penegak hukum terhadap asas praduga tak bersalah dalam proses beracara pidana
sangat dibutuhkan. Hal ini untuk
menghindari adanya penyalahgunaan
wewenang terhadap tersangka atau
terdakwa selama proses tersebut
berlangsung yang dapat melanggar hak- hak mereka sebagai manusia, terutama terhadap tersangka atau terdakwa perkara tindak pidana terorisme merupakan extra
ordinary crime yang dalam
pengungkapannya dikatakan
membutuhkan penangan yang luar biasa
pula, dalam beberapa hal bahkan
menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana, yaitu masalah penangkapan dan penahanan. Dengan diterapkannya asas praduga tak bersalah, diharapkan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana terorisme tetap terlindungi, meskipun secara fakta berdasarkan bukti permulaan yang cukup mereka diduga
bersalah melakukan tindak pidana
terorisme.
Pedoman pelaksanaan penerapan nilai- nilai HAM dalam proses peradilan pidana
tak lepas dari pemahaman yang
berhubungan dengan berbagai teori-teori pendukung lainnya seperti Teori realitas mendasari pada asumsi yang ada bahwa adanya sifat manusia yang menekankan pada kepntingan diri sendiri (self interest) dan egoisme dalam bertindak anarkis. Dalam praktik yang terjadi dilapangan, tak jarang aparat kepolisian memperlihatkan etika profesi yang buruk dengan sering terjadinya kasus penembakan terorisme sebelum dinyatakan bersalah.Berlanjut dari pandangan teori berikutnya yang menjadi standar penerapan nilai-nilai HAM yaitu Teori relativitas kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada
suatu negara dan merupakan suatu ide yang sedikit dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang yang berbeda.
Kitab Hukum Acara Pidana telah
memberikan kewenangan kepada penyidik
untuk melakukan penyidikan,
penangkapan, penahanan dan sebagainya terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, penyidik tidak
dapat begitu saja melakukan
kewenangannya, karena menyangkut hak
dan kebebasan manusia. Sebagaimana
dikemukan di atas bahwa dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dinyatakan pengertian penyidik sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Kegiatan
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka, maka Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP telah menentukan bahwa penyidik
berwenang melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Wewenang dari penyidik atau penyelidik untuk melakukan penangkapan itu oleh pembentuk undang- undang hukum acara pidana kita telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) sampai dengan Pasal 19 ayat (2) KUHAP.Semua tindakan tersebut pada dasarnya membatasi kebebasan dan hak asasi seseorang. Oleh karenanya harus benar-benar diletakkan pada proporsi “demi untuk kepentingan pemeriksaan” dan sangat diperlukan. Hal ini penting, agar setiap
langkah penyidik tidak sedikit-sedikit
menjurus ke arah penangkapan atau
penahanan. Penanganan kejahatan terorisme pada tingkat penyidikan dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus 88) Anti Teror Polri. Alasan utama pembentukan Densus Anti Teror ini adalah untuk menanggulangi
meningkatnya kejahatan terorisme di
Indonesia, khususnya aksi teror dengan
Densus 88 mempunyai kewenangan yang luas khususnya dalam menanggulangi
kejahatan terorisme. Kewenangan ini
meliputi operasi pengintaian (intelijen),
investigasi (penyelidikan), penindakan
(pasukan pemukul), sampai penyidikan (penegak hukum). Pada tahap penyidikan, indikator penerapan asas praduga tak
bersalah dapat dilihat pada proses
penangkapan dan penahanan yang
dilakukan oleh anggota Densus 88. Pada kedua tahap ini, serangkaian hak asasi
tersangka berpeluang terancam
penghormatan dan pemenuhannya dalam
kaitan dengan upaya pemberantasan
terorisme. Hak-hak tersebut, yaitu:
1.Hak untuk hidup.
2.Hak bebas dari penyiksaan dan
penghukuman atau perlakuan lain yang kejam.
3.Hak tidak manusiawi dan merendahkan
martabat.
4.Hak untuk bebas dari penahanan
sewenang-wenang.
5.Hak bagi terciptanya peradilan yang fair.
6.Hak didampingi penasihat hukum.
Menurut Heri Sumarji selaku Dir Reskrim Polda Lampung, berpendapat bahwa asas praduga tak bersalah merupakan suatu asas
yang menyatakan seseorang baru
dinyatakan bersalah apabila telah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Asas ini harus diberlakukan baik selama masa penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan dan berakhir sebelum putusan dijatuhkan. Hal ini disebabkan seseorang dinyatakan bersalah apabila telah mendapat kepastian hukum tentang kesalahannya dari putusan hakim. Beliau menambahkan bahwa perwujudan dari asas ini antara lain dalam proses
pemeriksaan, penyidik memanggil
seseorang berdasarkan bukti yang cukup sebagai saksi terlebih dahulu, kemudian apabila hasil pemeriksaan cukup bukti maka status saksi tersebut ditingkatkan menjadi tersangka. Sedangkan apabila.
bukti tidak memadai, maka seseorang tersebut dipulangkan. Namun demikian, Heri Sumarji mengatakan bahwa selama proses penyidikan perkara ini, penyidik selalu berupaya untuk memenuhi hak-hak
tersangka, misalnya dengan selalu
menanyakan kepada tersangka apakah ada penasihat hukumnya. Kalau tidak ada, maka penyidik akan menunjuk penasihat hukum
bagi tersangka. Selain itu, penyidik
memberikan kebebasan kepada tersangka untuk bertemu keluarga dan penasehat hukumnya kecuali pada masa 7 x 24 jam penangkapan, karena pada masa itu penyidik sedang berupaya mengungkap jaringan teroris dari keterangan tersangka. Tersangka juga diberikan kesempatan untuk dikunjungi oleh rohaniawan dan dokter, namun hanya rohaniawan dan dokter yang mendapat surat ijin resmi dari Polri yang tidak dapat mengunjungi tersangka untuk menghindari adanya hal- hal yang tidak diinginkan.
Heri Sumarji mengemukakan bahwa dalam penyidikan pada umumnya tidak ditanyakan mengenai adanya saksi yang meringankan
tersangka. Sebab, menurutnya tujuan
penyidik adalah bagaimana supaya
tersangka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman sesuai kesalahan berdasarkan
bukti-bukti yang ada, sehingga yang
diungkap hanya hal-hal yang memberatkan tersangka. Lebih lanjut Beliau berpendapat bahwa saksi yang meringankan hanya ada di tingkat pemeriksaan persidangan dimana hakim yang nanti menanyakan apakah ada saksi yang meringankan terdakwa. Namun
demikian, menurut Heri Suamrji selama pemeriksaan dalam tahap penyidikan ini,
pihak penyidik menjauhi cara-cara
kekerasan atau penyiksaan terhadap
tersangka dan tidak menjadikan keterangan
tersangka sebagai tujuan utama
pemeriksaan. Sebab, apabila pemeriksaan
disertai dengan kekerasan terhadap
tersangka, maka besar kemungkinan
tersangka malah tidak mau memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, di persidangan mereka
mencabut keterangan selama proses
penyidikan. Oleh karena itu, dalam
pemeriksaan terhadap tersangka, pihak
personal dengan harapan para tersangka
dapat bersikap kooperatif dalam
memberikan keterangan. Selanjutnya Heri Sumarji, mengatakan bahwa selama masa penangkapan ini, hari pertama sampai hari
ketiga, penyidik belum melakukan
pemeriksaan, tetapi pendekatan personal dengan menanyakan alasan para tersangka melakukan perbuatan tersebut. Kalaupun ada tersangka yang tidak mau bersikap
kooperatif, misalnya tidak mau
memberikan keterangan selama diperiksa, pihak penyidik membiarkannya karena tujuan pemeriksaan yang utama bukan mencari keterangan tersangka, melainkan mengumpulkan minimal dua alat bukti yang sah. Kalau dua alat bukti lain yang sudah mengarah pada perbuatan yang
dilakukan para tersangka, penyidik
menganggapnya sudah cukup.Setelah lewat masa penangkapan selama 7 x 24 jam, terhadap tersangka teroris pada umumnya dilakukan penahanan. Sebagaimana halnya penangkapan, penahanan, penahanan juga harus dilakukan dengan Surat Perintah Penahanan dan tembusnya disampaikan kepada keluarga tersangka. Heri Sumarji mengatakan bahwa dalam masa penahanan
ini, keluarga atau penasihat hukum
tersangka baru diperbolehkan untuk
mengunjungi tersangka. Pendapat lain
dikemukakan oleh Erna Dewi yang
mengatakan bahwa dalam kasus tindak pidana terorisme kepolisian melakukan penyidikan tidak ada bedanya dengan tindak pidana lainnya, karena dalam hal ini tidak ada undang-undang yang mengatur pengecualian terhadap tindak pidana
terorisme. Beliau menambahkan bahwa
tidak ada pengecualian di dalam penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepada tersangka tindak pidana
terorisme. Erna Dewi menambahkan
bahwa, ketika proses penyidikan tidak menerapkan asas praduga tak bersalah maka tersangka dapat melaporkan kejadian tersebut sebagai upaya penegakkan hak-hak
asasi tersangka dan pihak penyidik
seharusnya selalu menerapkan asas praduga tak bersalah ketika melakukan proses penyidikan agar nantinya tidak terjadi masalah-masalah yang terjadi di luar
konteks pemeriksaan. Akan tetapi menurut Erna Dewi belum ada kasus semacam itu, dimana tersangka melaporkan kembali
dikarenakan pihak penyidik tidak
menerapkan asas praduga tak bersalah. Selanjutnya Erna Dewi menyatakan bahwa di dalam kasus tindak pidana terorisme atau tindak pidana yang lainnya, pihak dari kepolisian selalu memberikan bantuan hukum kepada pelaku secara gratis.
Proses penyidikan, sebagai pintu gerbang
dalam pemberantasan terorisme,
merupakan proses yang paling rentan
terjadinya pelanggaran HAM dan
kesewenang-wenangan penegak hukum (abuse of power). Hal ini dapat dilihat dari
adanya penangkapan yang seringkali
menimbulkan korban jiwa dari tersangka teroris, penangkapan yang tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dan tembusan surat perintah penangkapan tersangka kepada pihak keluarga, tidak diizinkannya tersangka didampingi oleh penasihat hukum pada masa penangkapan 7 x 24 jam.
Menurut pandangan penulis terkait
penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses penyidikan perkara tindak pidana perkara terorisme bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang dalam penangananya dibutuhkan cara-cara yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Sebab tindak pidana terorisme ini pada umumnya melibatkan jaringan dalam pelaksanaannya, sehingga tidak mudah bagi penegak hukum, khususnya penyidik, untuk mengungkap tindak pidana tersebut.
B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Penyidikan Tersangka Tindak Pidana Terorisme
Menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian merupakan pokok penegakan hukum sebenarnya yang
terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau dampak negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun
penegakkan hukum tersebut yaitu:
1.Faktor Undang-Undang
Praktek penyelenggaraan penegakkan
hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang
bersifat abstrak sedangkan kepastian
hukum merupakan prosedur yang telah di tentukan secara normatif. Kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan hukum.
Erna Dewi mengatakan bahwa perkara terorisme tetap sama dengan perkara pidana biasa yang mengacu pada KUHAP, termasuk asas-asas yang terdapat di dalam KUHAP. Kecuali ditentukan lain misalnya
undang-undang ini memperkenalkan
lembaga “hearing” untuk menentukan bukti
permulaan yang cukup (Pasal 26), adanya penambahan alat bukti yaitu alat bukti elektronik berupa oral dan rekaman (Pasal 27), waktu 7 X 24 jam untuk melakukan penangkapan (Pasal 28), penahanan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan selama 6 (enam) bulan (Pasal 25 ayat 2), dan diperkenankannya undang-undang ini berlaku surut (retroactif) melalui undang-undang atau perpu (Pasal 46).
Selain itu yang menjadi hambatan
penerapan asas praduga tak bersalah dalam undang-undang ini adalah belum ada sanksi tegas apabila asas yang berkaitan dengan hak tersangka atau terdakwa dilanggar. Secara yuridis hak-hak tersangka dan terdakwa telah diatur dalam pasal-pasal
KUHAP, tetapi penerapannya belum
memadai karena hambatan- hambatan yang bersifat yuridis seperti KUHAP tidak mengatur lebih lanjut akibat hukum apabila ada pelanggaran terhadap hak-hak tersebut.
2.Faktor Penegak Hukum
Pihak-pihak yang yang membentuk
maupun menerapkan hukum. Berdasarkan
wawancara dengan Heri Sumarji,
pemahaman penegak hukum mengenai asas praduga tak bersalah berarti tidak bersalah dalam arti yang sebenarnya,
sehingga mereka menyatakan bahwa
penyidik ataupun penuntut umum pasti menggunakan praduga bersalah. Selain itu, adanya perlawanan dari tersangka teroris pada saat akan dilakukan penangkapan merupakan suatu hambatan tersendiri bagi anggota Densus 88 dalam menerapkan asas paraduga tak bersalah. Sebab tidak jarang perlawanan ini dapat membahayakan jiwa
petugas, sehingga petugas terpaksa
melakukan tindakan represif terhadap tersangka yang sering mengakibatkan kematian dan pada akhirnya mengabaikan asas praduga tak bersalah disini. Terkait dengan tindakan represif yang sering dilakukan oleh pihak Densus 88 pada saat akan menangkap para tersangka teroris
tersebut, Daulad Nainggolan juga
menjelaskan bahwa pada umumnya
tersangka teroris yang akan ditangkap tersebut tidak mau menyerahkan diri dan melakukan perlawanan kepada petugas karena mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari perjuangan atau jihad sehingga mereka lebih memilih mati yang dianggap sebagai mati syahid dari pada menyerahkan diri kepada polisi. akan tetapi, kalau petugas polisi melakukan kekerasan dengan senjata api hingga mengakibatkan kematian tanpa adanya perlawanan seimbang sebelumnya dari tersangka, maka bukan merupakan pengecualian terhadap penerapan asas praduga tak bersalah. Perbuatan demikian
melanggar hak asasi manusia dan
mengabaikan asas praduga tak bersalah yang seharusnya dapat diterapkan oleh petugas.
Heri Sumarji menambahkan bahwa pihak
Densus 88 hanya ditugaskan untuk
menangkap seseorang yang diduga sebagai pelaku terorisme dimana pihak polisi
mengesampingkan asas praduga tak
bersalah dan mengutamakan praduga
bersalah. bahwa perkara terorisme
merupakan perkara luar biasa (extra
atau masyarakat di sekitarnya sesuai dengan peraturan Kapolri.
3.Faktor Sarana dan Fasilitas
Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan. Fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Heri Sumarji,
menyatakan bahwa fasilitas untuk
mendapatkan pembelaan dari penasehat
hukum sangat dibutuhkan sebagai
pendamping tersangka atau terdakwa agar
mempertahankan hak-haknya,
terutamapada masa penangkapan 7 x 24
jam dimana penyidik
benarbenarmenggunakan masa ini untuk
mencari keterangan dari tersangka
mengenai jaringan teroris.
4.Faktor Masyarakat
Setiap warga masyarakat atau kelompok pasti mempunyai kesadaran hukum, yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebegaimana diketahui kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap
hukum dan perilaku hukum. Dapat
dikatakan bahwa derajat kepatuhan
masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap
suatu peraturan yang tinggi, maka
peraturan tersebut memang berfungsi.
Heri Sumarji menyatakan bahwa faktor penghambat dalam penerapan asas praduga tak bersalah dalam masyarakat ini Adalah pemahaman yang kurang dari masyarakat bahwa apa yang sebenarnya dilakukan oleh aparat kepolisian dalam penangkapan teroris yang mengakibatkan tersangka tertembak atau mati ditempat dalam hal ini dibenarkan sesuai dengan Peraturan Kapolri apabila dalam melakukan penangkapan
akan membahayakan petugas boleh
dilakukan tindakan represif. reaksi negatif
dari masyarakat yang menganggap
penangkapan tersangka terorisme
melanggar hak asasi manusia karena asas praduga tak bersalah menyatakan seseorang masih dianggap tidak bersalah sebelum dijatuhi putusan oleh Hakim. Memang
bukan perkara mudah untuk membuktikan bahwa tersangka teroris tidak melakukan perlawanan yang sesuai dengan respon dari petugas, sebab jarang ada saksi yang dapat menunjukkan bahwa tidak ada perlawanan seimbang teroris, di samping adanya pandangan bahwa para tersangka teroris tidak akan menyerah dan memilih mati yang dianggapnya sebagai mati syahid.
5.Faktor Kebudayaan
Sebagai hasil karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Variasi kebudayaan yang banyak
dapat menimbulkan persepsi-persepsi
tertentu terdapap penegakkan hukum.
Variasi-variasi kebudayaan sangat sulit
untuk diseragamkan, oleh karena itu
penegakkan hukum harus disesuaikan
dengan kondisi setempat. Mardison
menyatakan bahwa kurangnya budaya tersangka tentang pemahaman hak asasi manusia terhadap sistem pemidanaan atau proses peradilan pidana tersangka terorisme yang sering terjadi seperti mereka tidak bisa mendapatkan pembelaan dan tidak bisa bertemu dengan keluarga dan menerima apa saja putusan dari pengadilan. Padahal
tersangka/terdakwa masih bisa
menggunakan upaya hukum lainnya seperti
banding, kasasi, maupun peninjauan
kembali. Menurut pandangan penulis terkait faktor yang lebih dominan penghambat penerapan asas praduga dalam perkara tindak pidana ini adalah faktor penegak hukum Kurangnya pemahaman penegak hukum tentang asas praduga tak bersalah yang selalu menggunakan praduga bersalah
dalam hal penyidikan terutama
penangkapan, penyelidikan selain itu adanya perlawanan dari tersangka teroris ketika hendak ditangkap sehingga petugas terpaksa
melakukan tindakan represif terhadap
tersangka yang sering mengakibatkan
kematian dan pada akhirnya petugas harus
mengambil sikap seperti itu karena
III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dan telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil simpulan yaitu:
1. Asas praduga tak bersalah
merupakan pengarahan bagi para penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lanjut dan mengesampingkan praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap para tersangka/terdakwa. Intinya, praduga tak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Oleh karenanya,
pemahaman penegak hukum
terhadap asas praduga tak bersalah
dalam proses beracara pidana
sangat dibutuhkan. Hal ini untuk
menghindari adanya
penyalahgunaan wewenang
terhadap tersangka atau terdakwa selama proses tersebut berlangsung yang dapat melanggar hak-hak mereka sebagai manusia, terutama terhadap tersangka atau terdakwa perkara tindak pidana terorisme merupakan extra ordinary crime
yang dalam pengungkapannya
dikatakan membutuhkan penangan
yang luar biasa pula, dalam
beberapa hal bahkan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana, yaitu masalah penangkapan dan penahanan. Dengan diterapkannya
asas praduga tak bersalah,
diharapkan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana terorisme tetap terlindungi, meskipun secara fakta berdasarkan
bukti permulaan yang cukup
mereka diduga bersalah melakukan tindak pidana terorisme.
2. Faktor penghambat dalam
penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses penyidikan perkara tindak pidana terorisme ini adalah faktor perundang- undangan, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor
kebudayaan faktor- faktor itulah yang menjadi penghambat dalam penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara
tindak pidana terorisme.
Berdasarkan analisa saya dari kelima faktor tersebut, faktor Penegak hukum yang lebih dominan dalam penghambat penerapan asas praduga tak bersalah perkara tindak pidana
terorisme adalah Kurangnya
pemahaman penegak hukum tentang asas praduga tak bersalah yang selalu
menggunakan praduga bersalah
dalam hal penyidikan terutama penangkapan, penyelidikan selain itu adanya perlawanan dari tersangka teroris ketika hendak ditangkap
sehingga petugas terpaksa
melakukan tindakan represif
terhadap tersangka yang sering mengakibatkan kematian dan pada akhirnya petugas harus mengambil
sikap seperti itu karena
membahayakan jiwa petugas.
B. Saran
Berdasarkan simpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah:
1. Diperlukan Pemahaman yang benar
berkaitan dengan asas praduga tak bersalah mutlak diperlukan bagi setiap penegak hukum untuk menghindari terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap tersangka atau terdakwa. Sebaiknya dipertimbangkan adanya pembinaan berupa pelatihan-pelatihan bagi penegak hukum, terutama yang menangani perkara terorisme, yang
menitikberatkan pada pemahaman
mengenai asas- asas dalam KUHAP, khususnya asas praduga tak bersalah, sehingga pembinaan tidak semata-mata masalah teknis perkara.
2.Berkaitan dengan Faktor penghambat penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara tindak
pidana terorisme perlu adanya
pada tahap penangkapan dan penyidikan sebagai pintu gerbang
penyelesaian perkara terorisme,
sehingga para penegak hukum tetap
melaksanakan tugasnya tanpa
melanggar asas praduga tak bersalah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Bagir Manan, Aktualisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, Diskusi Panel, Menyongsong Abad ke-21 Sebagai Abad Hak Asasi Manusia, PAHAM, 1998.
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi
Manusia dalam Sistem Pradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1995.
Nico Keijezer. Enkele Opmerkingen
Omtrent De Praesumptio Innocentie In Strafzaken (Beberpa Catatan Seputar Asas Praduga Tak Bersalah dalam Perkara
Pidana), dalam J. Remmelink. Noor Fer en Ceweten Liber Amicorum, suatu kumpulan karangan, Gouda Guint b V, Aruhem terjemahan sebagaimana dikutip Mien Rukmini.
B. Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009