• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA DAN KONSTITUSI negara-negara budaya negara-negara budaya negara-negara budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NEGARA DAN KONSTITUSI negara-negara budaya negara-negara budaya negara-negara budaya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

NEGARA DAN KONSTITUSI

BERNADETTA DIANA ARIPUTRA 1402105063

Fakultas Kedokteran

Program Studi Ilmu Keperawatan

Denpasar

(2)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Secara umum Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena konstitusi merupakan hukum dasar sebuah Negara. Dalam pembukaan UUD 1945 ditulis secara jelas bahwa konstitusi merupakan dasar dari penyelenggaraan bernegara di Indonesia. Hal ini dapat dicermati pada alinea keempat.

Oleh karena itu, pada paper ini akan menjelaskan tentang Negara dan Konstitusi serta permasalahan dan penyimpangan yang timbul dari praktik pelenggaraan konstusi dalam bernegara.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian negara? 2. Apa tujuan negara?

3. Apa pengertian konstitusi?

4. Apa isi, tujuan, dan fungsi konstitusi?

5. Apa saja problematika dalam menjalankan konstitusi bernegara di Indonesia?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT

Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan diatas, maka didapatkan beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian Negara. 2. Untuk mengetahui tujuan Negara. 3. Untuk mengetahui pengertian konstitusi.

4. Untuk mengetahui isi, tujuan, dan fungsi konstitusi.

5. Untuk mengetahui apa saja problematika dalam menjalankan kontitusi di Indonesia.

1.4 BATASAN PERMASALAHAN

Batasan masalah ini agar tidak menyimpang dari materi Negara dan Konstitusi.

1.5 METODE PENULISAN

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN NEGARA

Negara berasal dari kata state (Inggris), staat (Belanda), etat (Prancis). Kata kata tersebut berasal dari bahasa latin yaitu status atau statum yang berarti keadaan yang tegak dan tetap1. Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyat serta kelompok sosial yang berada di daerah tertentu yang diorganisir dibawah lembaga politik. Memiliki kesatatuan politik yang berdaulat, sehingga mempunyai hak untuk menentukan tujuan nasionalnya2.

2.2 TUJUAN NEGARA

Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang orang yang mendiaminya, Negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Tujuan Negara dapat bermacam-macam, yaitu3:

1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.

2. Bertujuan untuk menyelenggarakan keteriban hukum. 3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.

2.3 PENGERTIAN KONSTITUSI

Secara bahasa, konstitusi berasal dari kata constiture (Prancis), Constitution (Inggris), constitutie (Belanda) yang artinya membentuk, menyusun, dan menyatakan. Pemakaian istilah kosntitusi yang dimaksud adalah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan aturan suatu Negara. 4Dalam ilmu poltik, kosntitusi merupakan sesuatu yang bersifat luas yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit, konstitusi adalah hukum dasar tertulis (UUD).

_____________________________________________________________________

1. Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, cet. Ke-1, h. 4

2. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, h.77

3. Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM,

Masyarakat Madani, Jakarta: TIM ICCE-UIN Jakarta, 2007, h. 25.

(4)

2.4 ISI, TUJUAN, DAN FUNGSI KONSTITUSI

Isi Konstitusi:

Hakekat (esensi—inti) sebuah konstitusi (tertulis) sangatlah penting karena UUD sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi:

a. Hasil perjuangan bangsa di waktu lampau.

b. Merupakan tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan sebuah bangsa.

c. Pandangan-pandangan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan bangsa. d. Suatu cita hukum (rechtsidde) yang menjadi panutan/panduan

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tujuan Konstitusi:

Konstitusi adalah hukum yang paling tinggi tingkatannya, maka tujuan konstitusi juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi, yaitu keadilan, ketertiban dan perwujudan nilai-nilai ideal. Seperti, kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama.

Mourice Hourion berpendapat tujuan konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan antara ketertiban, kekuasaan, dan kebebasan. Sementara itu, G.S. Diponolo merumuskan tujuan konstitusi adalah kekuasaan, perdamaian, keamanan, ketertiban, kemerdekaan, keadilan, serta kesejahteraan.5

Fungsi Konstitusi:

Menurut Jimly Asshiddiqie, konstitusi Negara memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi penentu atau pembatas kekuasaan Negara.

b. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan Negara.

c. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antara organ Negara dengan warga Negara.

d. Sumber pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggara kekuasaan Negara.

e. Fungsi penyalur atau pengalih kekuasaan dari sumber kekuasaan yang asli (dalam demokrasi adalah rakyat) kepada organ Negara.

f. Fungsi simbolik yaitu sebagai sarana pemersatu, sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony.

g. Fungsi pengendali sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control).

h. Fungsi perekayasa dan sarana pembaruan masyarakat.

(5)

2.5 Analisis Artikel

Artikel 1:

“Masalah Konstitusi Tak Pernah Berakhir” Reporter: Muhammad Nurdin

Aula Madya, BERITA UIN Online - Proses desakralisasi konstitusi sejak reformasi sampai saat ini belum berjalan. Selain itu, ideologi di Indonesia belum berjalan sebagai mana yang diharapkan, hal ini dapat dilihat masih banyak aksi tarik-menarik kepentingan di kalangan elit politik, baik di pusat maupun di daerah.

“Konstitusi tidak harus lengkap akan tetapi harus menyangkut filosofi dan kepentingan orang banyak,“ kata dosen Ilmu Politik sekaligus pengamat politik UIN Jakarta Andi Safrani SH MCCL pada seminar bertema “Penegakan Konstitusi: Menuju Negara yang Kokoh dan Berkemajuan” yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP di Aula Madya, Kamis (20/10).

Turut hadir para narasumber Anggota DPR-RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yahdil Abdi Harahap SH MH, Direktur Blezs Institute Jen Zuldi SH, dan Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB-PII) Muhammad Ridha.

Sebagai pengamat politik, Andi mengungkapkan, bahwa ideologi di Indonesia mengalami stagnanisasi yang cukup panjang. Sejak pasca-reformasisampai saat ini banyak kebijakan yang belum terealisasikan bahkan yang ada hanyalah kompromi politik.

Lebih lanjut, Ia menegaskan, penerapan hukum belum berjalan, penerapan tersebut hanya simbol belaka. Idealnya, penerapan konstitusi tidak boleh bertentangan dengan yang undang-undang yang sudah ada, dan harus sejalan dengan kondisi lingkungan dan kemaslahatan masyarakat.

“Kita harus mengakui, konstitusi kita masih sangat ringkas, artinya masih banyak konstitusi negara yang fundamental yang masih sangat jauh atau belum sempurna. Misalnya adanya resuffle sejumlah menteri yang masih menganut paham parlementer,“ katanya.

Anggota DPR-RI Abdi pun ikut berbicara, menurutnya, masalah hukum merupakan masalah yang sangat sensitif sekali. Masalah ini menyangkut kepentingan para elit politik dan masih banyaknya multitafsir tentang amandemen tersebut.

Ia melanjutkan, proses pembuatan undang-undang di Indonesia itu ada dua macam antara lain, atas inisiatif pemerintah dan DPR. Akan tetapi pembuatan undang-undang lebih didominasi atas inisitif pemerintah.

“Ya, sebut saja, masalah peraturan perdagangan konstitusial otonomi daerah Aceh yang sampai saat ini belum terleasisakan. Dan belum lagi kebijkan-kebijakan lain yang masih terambang-ambang,“ ungkapnya.

(6)

dahulu oleh staf ahli agar tidak bertentang dengan undang-undang yang lain, dan menyangkut kemaslahatan masyarakat, serta jangan sampai ada multitafsir peraturan.

Artikel 2:

“Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia” Oleh: Syafri Hariansah

(Akademisi, Alumni Postgraduated program faculty of law – Constitutional and Comparative of law Universtiy of Indonesia)

Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih studi di program pasca sarjana, judul yang hendak saya pilih dalam rencana tesis saya adalah potensi krisis konstitusi. Ide ini muncul setelah saya membaca tulisan dari Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa konstitusi kita saat ini sangat rentan dan

memungkinkan terjadinya krisis konstitusi.

Dalam pemahaman negara-negara eropa, krisis konstitusi (constitutional crisis) didefinisikan sebagai “a situation that the legal system’s constitution or other basic principles of operation appear unable to resolve; it often results in a breakdown in the orderly operation ofgovernment. Often, generally speaking, a constitutional crisis is a situation in which separate factions within a government disagree about the extent to which each of these factions holdsovereignty. Most commonly, constitutional crises involve some degree of conflict between different branches of government.” Krisis konstitusi dapat terjadi pada hampir seluruh negara di dunia ini. Faktanya negara besar seperti Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 pernah mengalami krisis konstitusi ini. Krisis politik di Australia berimbas pada kestabilan konstitusinya, atau kasus terbaru yang dialami oleh negara Russia pada tahun 1993 antara Presiden dan Perdana Menteri yang tidak harmonis berakibat pada chaosnya pemerintahan.

Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan konstitusi. Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara. Lebih luas lagi Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga

meminimalisir potensi terjadinya krisis konstitusi.

Dalam tulisannya, Prof Yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja menimbulkan krisis konstitusi seperti dalam kasus impeachment (pemakzulan). Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap secara bersamaan maka jalannya pemerintahn akan dilaksanakan secara bersama oleh triumvirat (Menteri dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

(7)

menjalankan pemerintahan (vacum of power). Kasus yang seperti ini kemudian dipandang oleh Prof. Yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan ini. Secara yuridis normatif, harus diakui bahwa konstitusi Indonesia tidak mengatur permasalahan ini. Tetapi di satu sisi, jika kasus ini ditelaah dengan teliti maka permasalahan ini bisa dipecahkan melalui Mahkamah Konstitusi, mengingat salah satu tugas MK adalah memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum (Pasal 10 (2) UU MK NO 24 Tahun 2003). Jika kasus ini terjadi maka MK melalui putusannya (amar putusan) dapat saja membuat putusan bahwa presiden tidak dapat mendemisionerkan kabinet. Secara de jure, otomatis jika ketentuan ini dilaksanakan maka krisis konstitusi tidak akan terjadi sebab hak prerogratif presiden pasca dinyatakan bersalah telah dicabut. Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui pula bahwa tugas Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan Presiden bersalah dan selanjutnya mekanisme pemberhentian diserahkan ke MPR. Tetapi, dalam kasus seperti ini MK dapat saja melakukan trobosan hukum dengan menambahkan putusannya untuk mengugurkan hak prerogratif presiden. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim MK ini kemudian dapat dipahami sebagai rechtsvinding, mengingat proses penemuan hukum merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Artinya di satu sisi rechtsvindingini dipandang perlu dilakukan mengingat potensi krisis konstitusi yang dapat saja terjadi pasca diberhentikannya presiden dan wakil presiden secara bersamaan.

Pemilu dan Potensi Krisis

Lalu bagaimana dengan potensi potensi krisis konstitusi lainnya yang bisa saja muncul. Jika konstitusi hasil perubahan kita saat ini dianalisis lebih lanjut, maka banyak sekali ditemukan titik krisis lainnya. Misalnya pada pengaturan tentang pemilu. Baik konstitusi maupun undang-undang kepemiluan, baik presiden maupun pemilu legislatif tidak mengatur apabila ternyata penyelenggaran pemilu gagal dan tidak menghasilkan perwakilan di parlemen atau bahkan tidak menghasilkan presiden. Jika mengacu pada aturan konstitusi saat ini, maka dalam Pasal 6A (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih, apabila memperoleh lebih dari lima puluh persen suara nasional (suara mayoritas mutlak) dan 20 persen disetiap wilayah provinsi. Jika dianalisis konstruksi pasal ini maka dapat dipahami bahwa pertama, presiden terpilih apabila berhasil memperoleh suara mayoritas mutlak dari total suara yang masuk. Kedua, angka atau persentase suara ini merupakan ketentuan yang mutlak dan rigid. Artinya, presentasi angka ini tidak dapat diubah apabila tidak ada satupun pasangan calon yang memperoleh suara mutlak mayoritas. Walaupun pada ketentuan pasal lainnya dalam konstitusi khususnya dalam Pasal 6A (4) yang mengidentifikasikan bahwa pemilu presiden di Indonesia dengan prinsip two round system memungkinkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih kembali pada putaran selanjutnya, Tetapi permasalahannya angka presentasi yang diamanahkan dalam konstitusi merupakan ketentuan yang bersifat mutlak dan berlaku sama pada ketentual pasal sebelumnya. Jika kasus seperti ini timbul maka dapat

dipastikan pemilu dalam keadaan deadlock.

Kondisi seperti ini bisa saja muncul mengingat Pemilu 2014, konstituen terbesarnya diisi oleh segmentasi pemilu pemula. Disamping itu meningkatnnya angka golput (berkaca pada pemilu kada) di hampir seluruh wilayah Indonesia menambah beban

berat suksesi penyelenggaran Pemilu 2014.

(8)

yang telah diamanatkan dalam konstitusi, maka pemilu dapat dipastikan gagal karena tidak dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya adalah, siapa atau lembaga mana yang kemudian dapat menjalankan pemerintahan mengingat di dalam negara tidak dibenarkan terjadinya kekosongan jabatan (vacum of power), apalagi tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara teori dalam negara dengan sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki peranan yang sangat penting

untuk menentukan jalannya pemerintahan.

Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan konstitusi dan undang-undang, maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang berwenang menjalankan pemerintahan sebab pemilu tidak menghasilkan apapun. Apakah kemudian benar pendapat Prof. Yusril dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi solusi untuk mengatasi kegagalan Pemilu 2014 ini? Apakah mungkin dalam waktu yang relatif singkat MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi untuk kemudian mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara? Permasalahan-permasalahan ini seyogyanya tidak dipandang sederhana, mengingat dampak yang akan timbul sangatlah kompleks. Apa yang terjadi pada Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 yang mengakibatkan negara besar ini chaos, setidaknya dapat dijadikan pembelajaran bahwa krisis konstitusi merupakan permasalahan yang serius dan harus segera diantisipasi segala kemungkinan yang akan muncul.

Dalam hemat penulis, permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui perubahan konstitusi yang kemudian mengatur secara detail permasalahan-permasalahan konstitusi ini. Sebab perubahan konstitusi merupakan hal yang wajar dan lumrah dilakukan dalam sebuah negara. Apapun hasil Pemilu 2014 nanti dan berbagai permasalahan yang muncul di dalamnya, dapat dipastikan negara ini harus berjalan sebagaimana mestinya. (***)

Artikel 3:

Mahkamah Konstitusi dan Keadaan Darurat Korupsi di Indonesia Taruna Ikrar - detikNews

Jakarta - Sudah berbulan-bulan, media massa memberitakan tentang kasus korupsi. Dari pemberitaan itu, terlihat jelas sangat banyak elit dan pemimpin kita yang terlibat korupsi. Mulai elit di pusat pemerintahan nasional hingga daerah. Demikian pula melibatkan elit politik DPR RI, birokrat, dan pengusaha.

Berita yang sangat mengejutkan, bahkan Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) tertangkap tangan melakukan korupsi. Suatu lembaga yang sangat terhormat dengan kekuasaan yang sangat besar, justru terbukti melakukan tindakan korupsi.

(9)

Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam: menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, berkewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan berbagai kekuasaan yang sangat urgen bagi kepentingan Nasional.

Dengan wewenangnya yang luar biasa, sudah seharusnya, Mahkamah Konstitusi bisa menjaga diri dari berbabagai kelemahan, terlebih lagi terhadap korupsi. Tetapi kenyataannya, Mahkamah Konstitusi terlarut kedalam pusaran masalah korupsi. Sehingga korupsi telah merajalela di semua sektor kehidupan, baik di yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Sehingga tidak salah kalau dikatakan, bahwa Indonesia berada dalam kondisi, “Darurat Korupsi”.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir semua lini kehidupan di Indonesia dewasa ini, harus diselesaikan dengan 'sogokan dan berbagai uang pelicin' lainnya. Mulai dari mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Kelurahan, mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi), KK (Kartu Keluarga), masuk sekolah, sampai urusan yang besar, seperti memenangkan tender suatu proyek, ataupun untuk promosi dan lain sebagainya. Semuanya membutuhkan sogokan dan uang pelicin.

Sehingga tidak salah kalau para investor yang mau menanamkan modalnya di Tanah Air harus melalui semua proses tadi. Akibatnya biaya investasi yang tertulis tidak sebanding dengan real cost (biaya nyata) yang harus dibayar, karena panjangnnya birokrasi dan semua tahap harus mengeluarkan uang. Akhirnya, membuat malas para investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air, dan berpindah ke negara

tetangga seperti Malaysia misalnya kasus pendirian RIM, pabrik BlackBerry.

Untuk membasmi korupsi dan pungutan liar tersebut, sangat tidak mudah bahkan mustahil, karena kondisi ini telah berurat, berakar dan telah menjadi budaya. Padahal untuk kemajuan suatu bangsa di zaman modern, budaya korupsi dan pungutan liar menjadi penghabat yang sangat besar untuk kemajuan. Hampir semua negara maju di dunia dewasa ini, sangat rendah tingkat korupsi dan pungutan liarnya. Hal ini

disebabkan oleh dua faktor utama yaitu: 1) Sistem yang transparan, 2) Pemimpin yang kuat dan disiplin serta antikorupsi.

Sebetulnya Indonesia, mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, aman, dan sentosa. Olehnya bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat dan anti korupsi, artinya: pemimpin yang benar-benar berjuang untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Yang bertekad membumihanguskan korupsi dan pungli (pungutan liar) dengan cara memperbaiki sistem pemerintahan menjadi transparan, dan terkontrol, sehingga orang akan sulit melakukan korupsi karena dengan sistem yang transparan dan terkontrol maka orang yang korupsi akan langsung ketahuan.

Transparansi sistem keuangan negara, bisa dilihat pada negara maju, seperti contohnya Amerika Serikat, pengelolaan keungan dan sistem perpajakan, sangat transparan. Sehingga dalam mengawasi bukan saja tugas pemerintah, tetapi

(10)

Hal ini karena sistem transparansi keuangan dan perpajakan begitu modern. Semua transaksi keuangan, pembayaran pajak, sampai pemenangan tender serta distribusi pembangunan dan penggajian dilakukan secara online dan transparan. Sehingga terjadi kebocoran sekecil apapun, cepat terdeteksi, sehingga bisa dilakukan pencegahan.

Demikian pula hukum ditegakkan secara maksimal tanpa pandang bulu dan strata sosial. Dengan kondisi tersebut, keungan Negara bisa diberdayakan sebesar-besarkan untuk kepentingan pembangunan nasional, sehingga Amerika Serikat, menjadi negara maju dan superpower seperti sekarang ini.

Belajar dari kondisi tersebut, sudah saatnya Indonesia menerapkan system keuangan yang transparan. Untuk mencegah terjadinya kebocoran keuangan negara akibat korupsi.

Efek dari tidak adanya korupsi, akan menyebabkan keseimbangan dan pemerataan pembangunan. Sehingga akan terbuka lapangan pekerjaan yang mencukupi, sehingga setiap orang di Tanah Air akan mempunyai pekerjaan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteran seluruh masyarakat Indonesia.

(11)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konstitusi merupakan hukum dasar yang menjadi hukum terutama di Indonesia. Yang mengatur secara mengikat pemerintahan yang diselenggarakan dalam Indonesia. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan konstitusi dalam bernegara di Indonesia belum berjalan dengan sempurna. Banyak cacat di berbagai sisi. Tetapi kita harus berbangga hati bahwa dewasa ini pemerintahan di Indonesia sudah di pertegas dengan adanya berbagai macam komisi yang tidak dengan ketidaksengajaan dibuat untuk mengadili dan mengaji berjalan nya konstitusi di Indonesia.

3.2 Saran

(12)

DAFTAR PUSTAKA

1. Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, cet. Ke-1, h. 4

2. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, h.77

3. Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani, Jakarta: TIM ICCE-UIN Jakarta, 2007, h. 25.

4. Srijanti dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu, h.83.

5. Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h..34-37.

6.

http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/2085-masalah- konstitusi-tak-pernah-berakhir.html

(Diakses pada 8 September 2014, pukul 19.25 WITA)

7. http://www.rakyatpos.com/pemilu-dan-potensi-krisis-konstitusi-di-indonesia.html

(Diakses pada 8 September 2014, pukul 19:40 WITA)

8. http://news.detik.com/read/2013/10/09/095050/2382062/103/2/mahkamah-konstitusi-dan-keadaan-darurat-korupsi-di-indonesia

Referensi

Dokumen terkait

16 Desmita, Op.Cit, hlm. Santrock, Op.Cit ,hlm.. Attachment adalah suatau hubungan yang psikologis yang diskriminatif dan spesifik serta mengikat seseorang dengan

Gangguan mobilitas sendi, fungsi motor, kinerja otot dan ROM yang berkaitan dengan.. Cedera

 Akan tetapi meskipun tidak ada gejala yang muncul, virus hepatitis B dapat merusak hati secara diam-diam selama bertahun-tahun.  Oleh karena itu PENTING bagi

Belajar akan lebih berhasil apabila sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Cita-cita tentang jenis pekerjaan di masa datang merupakan faktor penting yang

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga laporan Tugas Akhir yang berjudul “Perancangan Sistem

ini, pekerjaan pengelolaan data dengan cara manual dapat digantikan dengan suatu sistem informasi dengan menggunakan komputer. Selain lebih cepat dan mudah,

Adis Elbela Kurnia Dewi , 462009005, Gambaran Strategi Koping Pasien Dalam Menghadapi Kecemasan Pre operasi di Ruang Rawat Inap RSUD Salatiga, Skripsi, Fakultas

Evaluasi penerapan protokol routing OSPF dan BGP pada jaringan VoIP berbasis MPLS VPN dilakukan dengan mengukur Quality of Service yang terdiri dari throughput, delay,