SIGNIFIKASI KISAH MUSA DAN FIR’AUN DALAM Q.S. TAHA PERSPEKTIF SEMIOTIKA RIFFATERRE
Oleh:
M. Firdaus Imaduddin
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Isma Nida Aulia
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi mulia akhir zaman, Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril secara
mutawattir (berangsur-angsur) yang mengandung nilai-nilai normatif dan spiritual untuk dijadikan pedoman bagi seluruh manusia. Al-Qur’an tidak hanya mengandung berbagai hukum syari’at, akan tetapi juga mengandung kisah-kisah yang sangat luar biasa. Diantaranya adalah kisah Musa dan Fir’aun yang terhimpun dalam berbagai surat di Al-Qur’an salah satunya adalah dalam Q.S Taha. Kisah Musa dan Fir’aun memiliki karakter yang istimewa karena kisahnya banyak disebutkan dalam Al Qur’an. Melalui penelitian ini, peneliti memfokuskan terhadap kajian makna heuristik dan retroaktif serta hipogram potensial dan aktual yang terkandung pada kisah Musa dan Fir’aun dalam Q.S Taha. Adapun teori yang digunakan adalah teori semiotika Riffaterre. Teori semiotika Riffaterre adalah salah satu teori yang mengkaji signifikasi (penandaan) dalam sebuah karya sastra yang dalam hal ini diterapkan dalam qishash al qur’an. Teori ini menguraikan tentang pembacaan sistem bahasa semiotika tingkat pertama atau dikenal dengan pembacaan heuristik dan pembacaan sistem bahasa semiotika tingkat kedua atau dikenal dengan pembacaan retroaktif. Melalui teori tersebut, peneliti dapat mengungkap dan mendeskripsikan tanda-tanda dan proses signifikasinya antara ayat satu dengan ayat lainnya sehingga kemudian akan memberikan makna (significance)
yang komprehensif. Penelitian ini menghasilkan beberapa data, antara lain; 1) Data struktural kisah Musa dan Fir’aun melalui pembacaan heuristik yang kemudian mendapatkan data tentang fragmen-fragmen kisah Musa dan Fir’aun dan definisi dari ungkapan-ungkapan yang ada, 2) Penelitian menghasilkan signifikasi (penandaan) makna kontekstual yang ada dalam rangkaian kisah Musa dan Fir’aun dalam Q.S.Taha melalui pembacaan retroaktif, dan 3) penelitian ini mendapatkan data identifikasi tentang hipogram potensial dan aktual dalam kisah.
PENDAHULUAN
Sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya bagi orang Islam, bahwa al-Qur’an adalah kitab teologis sekaligus kitab suci yang berisi rangkaian kalam-kalam Ilahi yang diturunkan kepada seorang Nabi agung akhir zaman,
Muhammad SAW, melalui perantara malaikat Jibril secara mutawattir
(berangsur-angsur), ayat demi ayat, surat demi surat, hingga pada akhirnya menjadi satu kesatuan yang sempurna dan mengandung nilai-nilai normatif dan spiritual yang dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk hidup seluruh umat manusia hingga
akhir zaman.1
Kitab suci al-Qur’an yang secara substansial memiliki akurasi tingkat
kebenaran kandungan dan legitimasi hukum yang kuat pada dasarnya berfungsi
sebagai pedoman dan petunjuk (hudan) hidup bagi seluruh manusia di dunia.
Pedoman dan petunjuk-petunjuk itu dipaparkan dengan prinsip-prinsip
fundamental yang kemudian melahirkan nilai-nilai hierarkis al-Qur’an. Nilai-nilai
tersebut secara umum dapat digolongkan menjadi; nilai-nilai yang wajib (obligatory values) seperti konsep tauhid (keyakinan pada Tuhan, para malaikat,
para nabi, kitab-kitab, dan hari akhir), nilai-nilai fundamental (fundamental
values) seperti nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup perlindungan atas jiwa
seseorang, keluarga, atau harta benda, nilai-nilai perlindungan (protectional
values) seperti tindakan-tindakan larangan dan penerapan hukum yang sesuai,
nilai-nilai implementasi (implementational values) seperti ukuran spesifik potong
tangan bagi para pencuri, dan nilai-nilai instruksional (instructional values)
seperti larangan mengambil orang kafir sebagai teman karib dan perintah untuk
saling menyapa.2
Dalam upaya pendeskripsian nilai-nilai hierarkis tersebut, al-Qur’an
memiliki banyak keistimewaan yang sangat luar biasa. Dari aspek linguistik, terdapat banyak keistimewaan yang tergambar dalam tataran sintaksis dan morfologi yang menarik, baik dari segi nahwu maupun sharaf, 2) Dari aspek semantik-pragmatik yang mengandung makna-makna filosofis dan hikmah yang
1 Emose Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Qur’an: Sejarah
yang Harus Dibaca, (Bandung: PT Karya Kita, 2009), hlm. 1
tinggi, 3) Aspek stilistika yang mengandung ungkapan-ungkaan kebahasaan yang
indah dan teratur seperti dari aspek saja’ dan qafiyah (kesamaan bunyi akhir di
setiap kata), dari aspek fonetik yang unik di setiap huruf per huruf, kata per kata, dan kalimat per kalimat dan 4) Dari aspek semiotika yang mengandung simbol-simbol kebahasaan yang tersembunyi.
Tidak hanya dalam aspek linguistik, dari segi teknik penyampaian,
al-Qur’an juga menggunakan varian cara atau metode yang begitu menarik dan tidak
pernah membuat bosan manusia untuk mengkajinya, di antaranya adalah metode penuturan langsung secara eksplisit dari Allah SWT melalui kata perintah, ajakan, peringatan, dan penuturan secara implisit yang disampaikan melalui kisah-kisah
dalam al-Qur’an.3
Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan salah satu media yang sangat
menarik untuk menyampaikan kaidah-kaidah dan nilai-nilai hierarkis al-Qur’an.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an sangat istimewa dan memiliki tingkat ketajaman
sastra yang tinggi. Setiap kisah di dalamnya mengandung nilai dan tujuan yang amat mulia. Kisah-kisah tersebut meliputi berbagai pokok persoalan yang bermanfaat dalam membentuk karakter dan moralitas yang baik. Allah menyampaikan kisah-kisah tersebut untuk dijadikan petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam berakhlak dan berperilaku yang terpuji. Sang Penutur kisah bermaksud menyeru pembaca untuk menapaki jalan keimanan yang benar, akhlak yang mulia, dan ilmu yang bermanfaat. Semua itu dituturkan dengan gaya bahasa
yang indah dan memesona banyak orang.4
Dalam kisah al-Qur’an, penyampaian nilai-nilai itu tentunya tidak
disampaikan secara eksplisit yang langsung bisa dipahami dengan mudah, karena
kisah-kisah dalam al-Qur’an terdiri dari fragmen-fragmen, tokoh-tokoh, dan
peristiwa-peristiwa yang mengandung makna-makna tersembunyi dan
perumpamaan-perumpamaan yang harus diungkap dan dianalisis terlebih dahulu dengan pembacaan-pembacaan yang mendalam. Proses penceritaan kisah dalam
3 Seperti perintah menjalankan Shalat dalam QS. Al-Baqarah: 43, dan kisah Nabi Yusuf AS yang
diceritakan dalam al-Qur’an di surat Yusuf.
4 Ahmad Jadul Mawla dan Abu al-Fadhl Ibrahim, Kisah-Kisah Al-Quran, (Jakarta: Zaman, 2009),
al-Qur’an pun tidak semuanya runtut dan kronologis mulai awal hingga akhir, melainkan juga ada banyak kisah yang terpisah satu sama lain dan tidak
berurutan. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat esensi al-Qur’an menjadi
berkurang tapi justru menjadikannya penuh dengan unsur-unsur sastra, nilai
filosofis dan mukjizat yang dahsyat, seperti kisah Musa dan Fir’aun, kisah
Ibrahim dan Ismail, kisah Maryam, dan lain-lain.5
Dari beberapa kisah dalam al-Qur’an, kisah Musa dan Fir’aun merupakan
salah satu kisah yang sangat istimewa dan memiliki karakteristik yang menarik dan luar biasa diantaranya adalah menjadi kisah terpanjang di antara kisah-kisah
yang lain dalam al-Qur’an seperti, kisah Yusuf AS, Sulaiman AS, Maryam,
Ibrahim AS, dan lain-lain.6 Kisah Musa dan Fir’aun mengandung pesan spiritual
dan pendidikan khususnya kepemimpinan bagi manusia, seperti kebenaran
mu’jizat Allah SWT dalam menaklukan sihir-sihir Fir’aun dengan tongkat yang
dibawa oleh Nabi Musa AS7, mu’jizat membelah Laut Merah yang sangat luas
kemudian mengembalikannya lagi seperti sediakala8, keberanian Musa dalam
menentang kejahatan yang dilakukan oleh kaum Fir’aun terhadap kaum Ibrani dan
keberaniannya dalam membebaskan kaum Ibrani dari penindasan raja yang
dzalim9 dan lain sebagainya.
5 Ahmad Jadul Mawla dan Abu al-Fadhl Ibrahim, Kisah-Kisah Al-Quran,hlm. 11
6 Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap kisah-kisah populer di Al-Qur’an, bahwa kisah Yusuf
diceritakan sebanyak 26 kali dalam QS. Al-An’am: 84, QS. Yusuf: 4, 7, 8, 9, 10, 11, 17, 21, 29, 46, 51, 56, 58, 69, 76, 97, 80, 84, 85, 87, 89, 90, 94, 99, dan QS. Ghafir: 34, kisah Sulaiman diceritakan sebanyak 16 kali dalam QS. Al-Baqarah: 102, QS. An-Nisa: 163, QS. Al-An’am: 84, QS. Al-Anbiya’: 78, 79, 81, QS. An-Naml: 15, 16, 17, 18, 30, 36, 44, QS. Saba’: 12, QS. Saad, 30, 34), kisah Ibrahim diceritakan 63 kali dalam QS. Al-Baqarah: 124, 125, 126, 127, 130, 132, 133, 135, 146, 140, 258, 260, QS. Al- ‘Imran: 33, 65, 67, 68, 84, 95, 97, QS. An-Nisa’: 54, 125, 163, QS. Al- An’am: 74, 75, 83, 101, QS. At-Taubah: 70, 114, QS. Hud: 69, 74, 75, 76, QS. Yusuf: 6, 38, QS. Ibrahim: 35, QS. Hijr: 51, QS. An-Nahl: 120, 123, QS. Maryam, 41, 46, 58, QS. Al-Anbiya’: 60, 62, 69, QS. Al-Hajj: 26, 43, 78, QS. As-Syuara’: 69, QS. Al- ‘Ankabut: 16, 31, QS. Al-Ahzab: 7, QS. As-Saffat: 83, 104, 109, QS. Saad: 45, QS. As-Syura: 13, QS. Az-Zukhruf: 26, QS. Dzariyat: 24, QS. An-Najm: 37, QS. Hadid: 26, QS. Mumtahanah: 4, dan QS. Al-A’la: 19, kisah Musa dan Fir’aun diceritakan sebanyak 267 kali dalam QS. Al-Qashas: 3-22, 28- 44, QS. Taha: 9, -73, 77-79, QS. An-Naml: 7-14, QS. Ghafir: 23- 27, 36, 37, 53, QS. Al-Mu’minun: 45-49, QS. As-Syua’ra’: 10-51, QS. Al-A’raf: 103-126, QS. Az-Zukhruf: 46-49, 55, 56, QS. Yunus: 75-92, QS. Hud: 96-99, QS. Adz-Dzariyat: 38, 39, 40, QS. Al-Isra’: 101-104, QS. Ad-Dukhan: 22-24, QS. An-Naziyat: 15-26.
7 Lihat terjemahan QS. Al-A’raf: 107, QS. An-Naml: 10, QS. Al-Qashas: 31, QS. As-Syu’ara: 32,
45
Salah satu surat yang mengandung kisah Musa dan Fir’aun adalah
Q.S.Taha. Jika ditinjau dari segi linguistik, kisah Musa dan Fir’aun dalam surat
Taha ini mengandung banyak simbol-simbol kebahasaan seperti, kalimat anastu
naaron dalam surat Taha ayat 9 yang memiliki arti leksikal melihat api, tapi
kemudian setelah dipahami secara mendalam kalimat anastu naron memiliki arti
melihat cahaya Allah yang membawa keberkahan.10 Kalimat anastu
naaron secara heuristik sebagai penanda yang secara retroaktif menunjukkan
petanda adanya cahaya Allah yang memberi mu’jizat kepada Musa sebelum
diangkat menjadi Nabi. Kemudian, ungkapan simbolik Musa yang dibuang ke
sungai Nil agar diambil oleh Fir’aun menjadi penanda atas petanda akan sebuah
peringatan dan keselamatan bagi Bani Israel11 dan peristiwa eksodus kaum Ibrani
dari Mesir yang jika dibaca dengan sistem semiotika menghasilkan konsep sebuah
pembebasan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Dalam kaitannya al-Qur’an
yang mengandung bahasa-bahasa simbol dan pengungkapannya memerlukan pembacaan-pembaccan dalam tataran tertentu, maka diperlukan teori atau metode khusus untuk mengungkap dan menganalisis bahasa-bahasa simbolik tersebut hingga diperoleh pemahaman-pemahaman yang benar dan sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh al-Qur’an.
Dari sekian teori yang dapat digunakan dalam mengungkap struktur teks, menurut hemat peneliti, teori semiotika Riffaterre adalah teori yang sangat cocok dan relevan untuk mengungkap makna-makna simbol yang terkandung dalam rangkaian teks. Walaupun sesungguhnya teori ini awalnya diciptakan untuk mengkaji puisi, namun peneliti tidak meragukan bahwa teori ini juga mampu
digunakan untuk mengkaji sebuah teks sastra, khususnya kisah Musa dan Fir’aun
yang ada dalam al-Qur’an
Melalui konsepnya, terutama tentang pembacaan heuristik dan retroaktif serta identifikasi hipogram potensial dan aktualnya, teori ini sangat mampu
diaplikasikan untuk mengungkap dan menganalisis kisah Musa dan Fir’aun yang
mengandung bahasa-bahasa simbol dan mampu memberikan
interpretasi yang komprehensif. Pembacaan heuristik sendiri merupakan pembacaan linguistik tingkat pertama secara tekstual yang dilakukan terhadap sejumlah teks yang kemudian menghasilkan sebuah kerangka pemikiran tertentu.
Dalam hal ini pembacaan heuristik yang dilakukan dalam kisah al-Qur’an
akan menghasilkan struktur cerita yang terhimpun dalam fragmen-fragmen atau episode-episode yang kemudian dalam teori semiotika Riffaterre dapat dipahami sebagai hipogram potensial sebuah teks serta menghasilkan pemaparan arti-arti leksikal dari beberapa ayat yang terkandung. Sedangkan pembacaan retroaktif merupakan upaya untuk menganalisis bahasa simbol dengan menghasilkan
interpretasi-interpretasi yang mengarah pada signifikasi12 (makna kontekstual)
dan pesan-pesan yang terkandung atas bahasa-bahasa simbol yang ada dalam
kisah Musa dan Fir’aun. Dalam upaya untuk memperkuat analisis, di akhir penelitian juga akan dipaparkan mengenai hasil identifikasi hipogram potensial
dan aktual dari kisah Musa dan Fir’aun tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti sangat tertarik untuk
mengkaji kisah Musa dan Fir’aun dalam Q.S.Taha dengan menggunakan teori
semiotika Riffaterre karena teori semiotika ini secara komprehensif sangat tepat dalam menguraikan tentang pembacaan teks melalui pembacaan heuristik dan retroaktif yang kemudian menghasilkan interpretasi-interpretasi bahasa simbol yang mengarah pada pengungkapan makna dan pesan dalam kisah tersebut.
PENGERTIAN KISAH
Secara etimologi kata kisah berasal dari kata
ةصق
(qishshah) yangterbentuk dari fi’il
ةصق
-
صقي
-
صق
yang berarti bercerita. Termصق
juga berartimencari atau mengikuti jejak. Kisah juga berarti fragmen atau potongan-potongan
12 Dalam bukunya Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, Wildan Taufik (2016:121)
berita, tokoh-tokoh atau umat terdahulu yang dimuat dalam al-Qur’an.13 Kata
ةصق
pula berarti menelusuri atsar (jejak) seperti dalam firman Allah SWT:
اَم
َكِلٰذ َلاَق
اَّنُك
ِغْبَ ن
ۚ
اَّدَتْراَف
اًصَصَق اَِهِِرَثَاَء ٰٰٓىَلَع
lalu Musa AS berkata: “itulah tempat yang kitacari”, lalu keduanya mengikuti jejak mereka semula”.14
Sedangkan secara terminologi, terdapat banyak pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya adalah Manna al-Qattan, Ahmad Syadali dan As-Shiddiqie. Menurut Manna al-Qattan, kisah adalah pemberitaan
mengenai umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu dan peristiwa yang pernah terjadi.15
Ahmad Syadali mengemukakan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para
nabi dan rasul mereka, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, masa
kini, dan masa yang akan datang.16 Menurut Assiddiqie, kisah al-Qur’an adalah
kabar-kabar dalam al-Qur’an yang menceritakan tentang keadaan-keadaan umat
yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.17
TUJUAN DAN KARAKTERISTIK KISAH AL-QUR’AN
Karakteristik kisah al-Qur’an sangat menarik dan berbeda dengan cerita
dan dongeng pada umumnya. Karakteristik yang dimaksud antara lain:
1. Gaya bahasanya indah, menarik, mempesona, dan sederhana, sehingga
mudah dipahami dan mampu mengundang rasa pensaran para pembaca
untuk mengetahui secara lengkap.18
2. Materinya bersifat universal, sesuai dengan perkembangan kehidupan
manusia dari masa ke masa, sehingga mampu menggungah hati pembaca
di setiap masa.19
13 Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119), hlm. 102. 14 QS. Al-Kahfi ayat 64 .
15 Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyura al- ‘Asr al-Hadist, 1973),
hlm. 405.
16 Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 27.
17 As-Shiddieqe dan T.M. Hasbi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 176. 18 Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta:
3. Materinya hidup, aktual, mampu menerangi jalan menuju masa depan yang cemerlang, tidak membosankan, dan mampu menggugah emosi
pembaca.20
4. Kebenarannya dapat dibuktikan secara filosofis dan ilmiah melalui
bukti-bukti sejarah.
5. Penyajiannya tidak pernah lepas dari dialog yang dinamis dan rasional
sehingga merangsang pembaca untuk berfikir.
Selain itu, bahwasanya gaya bahasa kisah al-Qur’an sejalan dengan
keadaan jiwa Nabi Muhammad SAW, bukan sesuai dengan keadaan orang-orang yang sedang berdialog dengannya. Hal ini karena keadaan jiwa Rasulullah SAW
sama dengan keadaan jiwa para rasul sebelumnya.21
Sedangkan tujuan kisah al-Qur’an menurut Nashruddin Baidan adalah
menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai
dengan kondisi mereka dan merealisasikan tujuan umum yang dibawa oleh
al-Qur’an untuk menyeru dan memberi petunjuk kepada manusa ke jalan yang benar.
Agar mereka mereka selamat di dunia dan di akhirat.22 Sayyid Muhammad Alwi
al-Maliki mengemukakan bahwa kisah dalam al-Qur’an memiliki tujuan yang
tinggi yaitu menanamkan nasihat dan pelajar yang diambil dari peristiwa masa
lalu.23 Menurut Khalafullah, tujuan dari kisah-kisah al-Qur’an adalah tidak lain
untuk menimbulkan efek, kesan, dan pengaruh yang dibuat dalam rangka untuk
mempengaruhi jiwa orang-orang yang sedang mendengarkan al-Qur’an dan hal
ini dipancarkan melalui setiap kata yang berada dalam makna kedua yakni makna
sastranya. Ia berpendapat bahwa sesunguhnya al-Qur’an tidak bermaksud
menceritakan realitas sejarah atau menginformasikan berita akan tetapi al-Qur’an
19 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 175.
20 Salah al-Khalidi, Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-Orang Terdahulu, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 301-327.
21 Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1984), hlm. 53.
22 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 230. 23 Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra
pada dasarnya bermaksud untuk memberikan efek psikologis kepada yang
mendengarkannya.24
KONSEP SEMIOTIKA RIFFATERRE
Semiotika Riffaterre pada mulanya muncul atas penolakan terhadap semiotika Jakobson. Dalam analisisnya, Jakobson hanya memperlihatkan aspek linguistik dalam pengertiannya terbatas dan mengabaikan aspek-aspek lain, seperti aspek pragmatik dan ekpresif dimana peran pembaca dan penulis bisa diungkap. Jakonson juga meremehkan aspek referensial sehingga mengakibatkan hilangnya relevansi sosial karya sastra dan sastra menjadi esuatu yang tergantung
di awang-awang.25
Menurut Riffaterre, yang menentukan apakah sajak (puisi) bagus atau tidak adalah si pembaca sajak, bukan seorang linguis (ahli bahasa) yang menganalisis sajak tersebut. Dengan segala pengalaman pembaca yang ia miliki, pembaca mampu menentukan kualitas sebuah sajak termasuk di dalamnya hal-hal
yang relevan serta fungsi puitis sebuah sajak.26
Menurutnya, peneliti (linguis) harus membina semacam super reader sebagai sarana (instrument) analisis puisi. Super reader adalah gabungan semua respon terhadap puisi yang dikumpulkan selama terlepas dari unsur-unsur subjektivitas di luar tindak komunikasi. Kemudian, Riffaterre mengemukakan pendekatan semiotika yang menitikberatkan adanya urgensitas pertentangan
antara meaning (arti) dan significance (makna). Dalam pembacaan puisi, meaning
atau fungsi referensialnya harus ditingkatkan menjadi significance bersadarkan
interpretasi pertentangan atau penyimpangan dari arti mimetik yang kita temukan,
antara lain atas dasar kemampuan kita membaca puisi.27
Menurut Riffaterre dalam bukunya The Semiotics of Poetry, ada empat
paradigma dasar yang digunakan dalam semiotika Riffaterre yang pada dasarnya
24 Muhamad A Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah: Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah-kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 347
25 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 79-80. 26 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, hlm. 80.
berangkat dari evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode, antara lain; 1) konsep ketidaklangsungan ekspresi, 2) konsep pembacaan heuristik dan retroaktif, 3) konsep matriks, model, dan varian, 4)
konsep hubungan intertekstualitas (hipogrram).28
1. Konvensi Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre, disebabkan oleh
tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Pertama, penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Hal ini disebabkan pentingnya metafora dan metonimi sebagai bahasa kiasan hingga digunakan untuk mengganti kiasan lainnya, seperti simile (perbandingan), personifikasi, sinkedode, perbandingan epos, dan alegori.
Kedua, penyimpangan arti yang sebagaimana dikemukakan Riffaterre
disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.
Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra yang bermakna ganda, terlebih lagi bahasa puisi. Kontradiksi berarti mengandung pertenatangan yang
disebabkan oleh paradoks dan ironi. Nonsense merupakan kata-kata yang
secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya rangkaian bunyi dan
tidak terdapat dalam kamus. Ketiga, penciptaan arti merupakan konvensi
kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra).29
2. Pembacaan Heuristik dan Retroaktif
Konsep dasar kedua yang dikemukakan Riffaterre adalah konsep pembacaan heuristik dan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan mimetik berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat pertama. Sebagai ekspresi bahasa, puisi atau teks prosa hanya dapat
28 Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 6.
29 Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, (Bandung: Yrama Wedia, 2016),
dipahami apabila pembacanya menguasai konvensi bahasa. Pembacaan heuristik pada dasarnya merupakan interpretasi tahap pertama yang bergerak dari awal hingga akhir teks sastra, dari atas ke bawah mengikuti rangkaian sintagmatik. Pada pembacaan pertama ini akan menghasilkan
serangkaian arti yang bersifat heterogen.30 Analisis ini menitikberatkan
pada aspek linguistik dan hubungan antar unsur untuk mencari makna semiotik tingkat pertama. Analisis linguistik ditekankan pada morfologi, sintaksis maupun semantik sebagai tiga diantara empat elemen dasar linguistik.31
Pembacaan heuristik pada sajak dan prosa pastilah berbeda meskipun pada prinsipnya sama. Hal ini disebabkan prosa atau cerita pendek bahasanya tidak begitu menyimpang dari tata bahasa baku. Pembacaan heuristik prosa adalah pembacaan pada tata bahasa ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Untuk mempermudah, pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita. Pada tahap pembacaan heuristik, pembaca masih mengalami hambatan dan kesulitan dalam memaknai teks dan memerlukan untuk pembacaan yang lebih mendalam yaitu pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, maka pembacaan heuristik
dapat dilakukan dengan menambahkan definisi-definisi setiap kata secara tekstual tanpa memberikan interpretasi secara mendalam. Dalam istilah
linguistik arab, heuristik disebut dengan
فياشكتسا
yang berasal dari lafadzفشك
-فِشكي
yang memiliki arti menyingkap sesuatu yang asalnya tertutup. Hemat penulis, heuristik adalah proses pembacaan yang mengungkap makna linguistik mencakup didalamnya makna leksikal, sintaksis, semantis dan morfologi. Setiap kata didefinisikan dengan menambahkan keterangan yang bersumber dari beberapa kamus yang
30 Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 7.
31Moh. Ali Wasik, Master Thesis: “Kisah Ashabul Kahfi dalam al-Qur’an: Kajian Semiotika”
berkaitan dengan kosa-kata al-Qur’an seperti, kamus Mufahras li al-Fadh al-Qur’an, kamus al-Munjid, dan Lisan al-Arab. Misalnya, contoh
kata quraisy dalam surat Quraisy ayat 1, didefinisikan dengan ismun lil
qobail al- ‘arabiyah min walad an-nadlar bin kinanah (sebuah nama dari
kabilah Arab dari keturunan an-nadlar putra kinanah).32
Akan tetapi, pembacaan atas dasar konvensi bahasa itu yang oleh Riffaterre disebut sebagai pembacaan heuristik tidaklah cukup untuk memahami makna teks yang sesungguhnya. Untuk memperoleh pemaknaan yang mendalam dan komprehensif, maka diperlukan pembacaan pada sistem bahasa kedua yakni yang disebut pembacaan retroaktif.
Pembacaan retroaktif dilakukan berdasarkan sistem semiotika tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Dalam istilah
linguistik arab, retroaktif disebut dengan
يعاجترسا
yang berasal dari kataعجر
-عجري
yang berarti mendapatkan kembali. Menurut hemat penulis,retroaktif adalah pembacaan dengan memadukan pemahaman pembaca pada tingkat kedua untuk memperoleh kembali makna yang dikehendaki oleh penulis. Pada tahap ini, pembaca melibatkan kompetensi kesusateraan yakni familiaritas pembaca pada sistem deskriptif, tema-tema, mitologi-mitologi masyarakat, dan terutama sekali dengan teks-teks lain. Pembacaan hermeneutik ini juga bisa dilakukan secara struktural, yaitu bergerak secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali ke
bagian dan seterusnya.33 Dengan kata lain, pembaca menyimak teks,
mengingat apa yang telah dibacanya melalui tahap pertama, dan memodifikasi pemahaman tersebut berdasarkan apa yang dipahami dalam pembacaan tahap kedua. Pembaca melangkah dari awal ke akhir teks, melakukan peninjauan ulang, revisi, evaluasi, dan komparasi sampai
32 Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, hlm. 136.
menemukan invarian atau matriks yang juga mengarahkan kepada signifikasi puisi atau prosa.
Pada tahap pembacaan ini, menurut Riffaterre, pembaca mengaplikasikan dekoding struktural karena teks sebenarnya merupakan variasi dari sebuah struktur dan relasi varian-variannya kemudian membentuk kesatuan makna (signifikasi). Efek maksimal pembacaan retroaktif sebagai generator sistem pemaknaan hadir pada bagian akhir. Artinya, teks harus dilihat secara menyeluruh, bukan bagian per bagian. Dari sini semakin jelas perbedaaanya bahwa teks sebagai suatu kesatuan
struktur “unit signifikasi” (unit of significance), sedangkan satuan linguistik berupa kata-kata, frasa, serta kalimat yang menyusun teks itu
merupakan “unit-unit arti” (unit of meaning).34
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an sendiri, maka pembacaan
retroaktif dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa referensi pijakan. Artinya, pada tahap ini peneliti dapat menghimpun dan membandingkan beberapa kitab tafsir para ahli kemudian baru menambahkan interpretasi
peneliti terhadap ayat-ayat simbolik yang ada dalam al-Qur’an. Dari
tindakan itu nantinya akan diperoleh interpretasi yang holistik dan terpercaya.
3. Matriks, Model, dan varian
Konsep dasar ketiga yang menurut Riffaterre dinamakan dengan matriks, model dan varian. Dengan mengutip penjelasan lain bahwa karya sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harfiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harfiah. Matriks adalah kata kunci atau intisari dari serangkaian teks. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktulalisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks.
Matriks diaktualisasikan primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Ciri utama model adalah sifat puitisnya. Jadi, jika matriks
merupakan motor penggerak derivasi tekstual, maka model adalah pembatas derivasi tersebut. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata-cara
pemerolehan atau pengembangannya.35
4. Hubungan Intertekstual (Hipogram)
Selain matriks, model, dan varian, yang harus diperhatikan dalam
memahami makna adalah hipogram. Konsep dasar keempat menurut
Riffaterre adalah penunjukkan teks ke teks lain atau disebut hubungan intertekstual (hipogram). Hipogram adalah teks yang menjadi latar belakang penciptaan sebuah teks baru. Hipogram merupakan landasan bagi penciptaan karya sastra yang baru.
Menurut Julia Kristeva, bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra, merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks ke teks lain. Secara khusus, ada teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra yang oleh Riffaterre disebut hipogram, sedangkan teks yang menyerap dan mentrasnformasikan hipogram itu dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan
makna hakiki tersebut, digunakan metode intertekstual, yaitu
membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks
transformasi dengan hipogram-nya.36
Riffaterre mengemukakan bahwa interpretasi yang tepat dan komprehensif mengenai teks karya sastra (puisi) dimungkingkan hanya oleh interteks. Puisi membawa makna hanya dengan mereferensi dari teks ke teks. Riffaterre pula menegaskan bahwa proses interpretasi berlangsung dalam pikiran pembaca. Pembaca merupakan agen pertama untuk
mengadakan hubungan antara teks, interpretan, dan interteks.37 Riffaterre
35 Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, hlm. 21.
36 Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, hlm. 129..
37 Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, (Amerika: Indiana University Press, 1978), hlm.
mengemukakan bahwa hipogram itu ada dua macam; yaitu hipogram
potensial dan hipogram aktual.38
Hipogram potensial tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus diabstaksikan dari teks. Hipogram potensial itu adalah matriks yang merupakan inti teks atau kata kunci. Dapat berupa satu kata, frase, atau kalimat sederhana. Transformasi pertama matriks atau hipogram potensial adalah model, kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian. Hipogram potensial terwujud dalam segala bentuk aplikasi makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi, maupun sistem deskriptif atau kelompok asosiasi konvensional. Sedangkan hipogram aktual dapat berupa teks nyata, kata, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks dan terwujuddalam teks yang ada sebelumnya, baik berupa mitos, maupun karya sastra
lainnya.39
Dari sekian konsep yang dikemukakan oleh Rifattere dalam
bukunya The Semiotics of Poetry, peneliti dalam hal ini hanya mengambil
dua konsep yang digunakan untuk mengkaji kisah Musa dan Fir’aun dalam
QS. Taha di atas, yaitu konsep pembacaan heuristik dan retroaktif, dan konsep hipogram potensial dan aktual. Peneliti tidak mengambil semua konsep karena peneliti yakin bahwa sebuah prosa atau teks sastra selain puisi dapat dikaji cukup dengan menggunakan dua konsep tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan dalam poin hipogram potensial dan aktual nantinya terdapat penjelasan mengenai matriks, model, dan varian-varian. Karena seperti pemaparan di atas, konsep hipogram dan matriks, model, dan varian adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA
Pada pembacaan heuristik terhadap kisah Musa dan Fir’aun yang
menitikberatkan pada struktur linguistik– unsur sintaksis, morfologi dan semantik
38 Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 7
– diperoleh empat fragmen utama. Fragmen pertama secara heuristik berbicara
tentang Musa memperoleh sakralitas wahyu dari Allah SWT di bukit Tuwa (Sinai)
yang ditandai dengan proses penganugerahan mu’jizat tongkat dan cahaya terang
dari celah lengan bajunya. Fragmen kedua berbicara tentang perintah Allah SWT
mengutus Musa kepada raja yang dzalim Fir’aun yang dzalim, dalam rangka
untuk membebaskan Bani Israel dari penindasan. Fragmen ketiga berbicara
tentang adu sihir yang terjadi antara tukang sihir Fir’aun dengan sihir (mu’jizat) Musa yang diakhiri dengan pembuktian akurasi kedahsyatan mu’jizat Musa.
Fragmen keempat berbicara tentang peristiwa eksodus (hiijrah) Musa dan Bani Israel dari Mesir ke daerah asal yang disertai di dalamnya bukti keagungan kuasa Allah SWT dalam membelah laut Merah.
Pada pembacaan rektroaktif terhadap empat fragmen kisah Musa dan
Fir’aun dalam Q.S. Taha, diperoleh beberapa siknifikasi makna kontekstual yang
terhimpun dalam empat fragmen; fragmen pertama tentang transendensi wahyu kepada Musa, peneliti mendapatkan beberapa makna kontekstual yang terhimpun
dalam tiga sekuen. Pertama, kata
ا
ٗ راَن
adalah cahaya spiritual yang menjadi tandakewahyuan Musa. Kedua, ungkapan
َٗك
ٗ يَل
ٗ عَن
ٗ
ٗ عَل
ٗ خ
َٗفٱ
adalah menanggalkan atributkeduniaan ketika berinteraksi dengan Allah SWT. Ketiga, ungkapan
ٗ
َٗكُت
ٗ َت
ٗ خ
ٗٱ
اَن
أَو
َ
َٗفٱ
ٗ س
ٗ عِمَت
ٗ
اَمِل
ٗ
ٗى َحوُي
ٗ
mengindikasikan akurasi pemilihan Musa sebagai pembawawahyu Allah dan etika dalam mendengar. Keempat, ungkapan
ٗ ةَيِتاَء
ٗ
َٗةَعا سل
ٗٱ
ٗ نِإ
danَٗة
ٗ وَل صل
ٗٱ
ِٗمِق
َ
أَو
ِٗن
ٗ دُب
ٗ ع
ٱ
َٗٗف
ٗ اَن
أ
َ
ٗ
ٗا
لِإ
ٗ
َٗه
ٗ َلِإ
ٗ
ل
ٗا
َ
mengindikasikan perintah dalammelaksanakan ajaran-ajaran spiritual; monoteisme (tauhid), shalat, dan hari
kiamat. Kelima, pemberian tongkat yang luar biasa kepada Musa sebagai bukti kenabiannya. Keenam, berubahnya karakter dan penampilan tongkat menjadi
Ketujuh cahaya terang yang keluar dari sela baju Musa sebagai pengantar bukti
mu’jizat kedua yang Allah anugerahkan kepada Musa.
Fragmen kedua tentang pengutusan Musa kepada Fir’aun ini, peneliti
dapat mengambil beberapa makna kontekstual yang terdapat dalam empat sekuen kisah. Pertama, sebuah strategi dakwah yang teraktualisasi dalam nilai fundamental
)
ا
ٗ نِي
لّ
ٗ
ٗ
ل
ٗ وَق
ٗ
ۥ
ل
ُٗ
َ
ٗ
ٗ
لوُقَف
َ
)
pada pengutusan Musa dan Harus kepadaFir’aun. Kedua, konsep satu kesatuan tentang pertolongan, bantuan, dan kekuatan
Allah dalam segala bentuk kesulitan dan ketakutan. Ketiga, nilai fundamental
tentang pengingkaran terhadap karakter Fir’aun yang begitu angkuh dan
melampaui batas.
Fragmen ketiga tentang adu sihir antara Musa dan Fir’aun, maka peniliti
memperoleh beberapa makna kontekstual. Pertama, kalimat pertanyaan (
ٗ
َٗلاَق
ٗ ئِج
َ
أ
اٗ
merupakan ultimatum Musa yang bersifatmenakut-nakuti (at-takhwif) agar para tukang sihir mengundurkan niat mereka
dan tidak menyerang Musa. Ketiga, kata
ُٗلاَبِح
yang mengandung maknakelenturan, kelembutan, elastis, dan mudah dibentuk merepresentasikan sebuah
kelicikan Fir’aun yang pandai membolak-balikkan fakta, merubah suatu
kebenaran menjadi buah fitnah, dan sebagainya dan kata
ُّٗ ِصِع
mengandungsihir terhadap ajaran Musa. Fragmen keempat tentang peristiwa eksodus Musa dan Bani Israel dari Mesir, peneliti memperoleh signifikasi makna tentang betapa pentingnya pembebasan dari kawasan yang berbahaya dan penuh penindasan.
Dalam kisah Musa dan Fir’aun terdapat empat hipogram potensial dan satu
hipogram aktual (intertektualitas). Hipogram potensial meliputi; Pertama, Proses transendensi wahyu yang diberikan Allah SWT kepada Musa. Kedua, pengutusan
Musa dan Harun ke hadapan Fir’aun dalam rangka untuk membebaskan bani Israel dari penindasan. Ketiga, Rencana Fir’aun untuk menantang Musa adu sihir yang kemudian tampak mu’jizat Musa yang dahsyat. Keempat, Peristiwa eksodus Bani Israil atas perintah Allah SWT. Jika diamati berdasarkan tabel, maka akan diperoleh data lengkap sebagai berikut:
Fragmen
Hipogram
Potensial/
Matriks
Model Varian-varian
1 Proses
transendental
wahyu yang
diberikan Allah
SWT kepada
Musa
ا راَنٗ ُت سَناَءٗا ِينِإ
1) Proses
penghormatan dan
penghambaan diri kepada Allah yang Maha Suci dan Maha Agung. 2) Peristiwa
penerimaan transendental wahyu yang diaktualisasikan dengan dua
Sedangkan hipogram aktual untuk kisah Musa Fir’aun ini adalah teks
Bibel (Perjanjian Lama) dalam Alkitab Deuterokanonika bagian Keluaran pasal 3,
4, 7 dan 15 yang menceritakan tentang kisah Musa dan Fir’aun dengan rincian
sebagai berikut: Fragmen 1 yang bercerita tentang penurunan wahyu dengan teks transformasi QS.Taha ayat 9-23 dan Kitab Keluaran Pasal 3 ayat 1-6 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM KITAB
KELUARAN PASAL 3: (1-6) &
PASAL 4: (2-4 & 7) (HIPOGRAM)
KETERANGAN DALAM
Q.S. TAHA: 9-23
(TEKS TRANSFORMASI)
3:2 Lalu Malaikat Tuhan menampakkan
diri kepadanya di dalam nyala api yang
keluar dari semak duri. Lalu ia melihat,
dan tampaklah: semak duri itu menyala,
tetapi tidak dimakan api.
3:3 Musa berkata: "Baiklah aku
menyimpang ke sana untuk memeriksa
penglihatan yang hebat itu. Mengapakah
tidak terbakar semak duri itu?"
ٗ ذِإ
menyimpang untuk memeriksanya,
berserulah Allah dari tengah-tengah semak
duri itu kepadanya: "Musa, Musa!" dan ia
menjawab: "Ya, Allah. "
3:5 Lalu Ia berfirman: "Janganlah datang
dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari
y mukanya, sebab ia takut memandang
Allah.
4:2 Tuhan berfirman kepadanya: "Apakah yang di tanganmu itu?" Jawab Musa: "Tongkat."
4:3 Firman Tuhan: "Lemparkanlah itu ke tanah." Dan ketika dilemparkannya ke tanah, maka tongkat itu menjadi ular, sehingga Musa lari
meninggalkannya.
4:4 Tetapi firman Tuhan kepada Musa: "Ulurkanlah tanganmu dan peganglah ekornya" Musa mengulurkan
tangannya, ditangkapnya ular itu, lalu menjadi tongkat di tangannya
اَمَو
4:6 Lagi firman Tuhan kepadanya: "Masukkanlah tanganmu ke dalam bajumu." Dimasukkannya tangannya ke dalam bajunya, dan setelah ditariknya ke luar, maka tangannya kena kusta, putih seperti salju.
Fragmen 2 yang bercerita tentang pengutusan Musa dan Harun kepada
Fir’aun dengan teks transformasi QS.Taha 42-56 dan Kitab Keluaran Pasal 3 ayat 7-10 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM
KITAB KELUARAN PASAL 3:
(7-10) mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku
mengetahui penderitaanmereka. 3:8 Sebab itu Aku telah
Fragmen 3 yang bercerita tentang adu sihir antara Musa dan tukang sihirnya dengan teks transformasi QS.Taha 57-73 dan Kitab Keluaran Pasal 7 ayat 1-14 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
orang Yebus.
3:9 Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindasmereka.
KETERANGAN DALAM
KITAB KELUARAN PASAL 7:
(1-14)
(HIPOGRAM)
KETERANGAN DALAM
Q.S. TAHA: (57-73)
(TEKS TRANSFORMASI)
7.9 "Apabila Firaun berkata
kepada kamu: Tunjukkanlah suatu mujizat, maka haruslah kaukatakan kepada Harun: Ambillah tongkatmu dan lemparkanlah itu di depan Firaun. Maka tongkat itu akan menjadi ular."
7.10 Musa dan Harun pergi menghadap Firaun, lalu mereka berbuat seperti yang diperintahkan Tuhan; Harun melemparkan tongkatnya di depan Firaun dan para pegawainya, maka tongkat itu menjadi ular. 7:12 Masing-masing mereka melemparkan tongkatnya, dan tongkat-tongkat itu menjadi ular;
Fragmen 4 yang bercerita tentang eksodus Musa bersama Bani Israil dengan teks transformasi QS. Taha ayat 77-79 dan Kitab Keluaran pasal 15 ayat 1-19 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
tetapi tongkat Harun menelan tongkat-tongkat mereka.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa simpulan berikut ini:
KETERANGAN PADA KITAB
KELUARAN PASAL 15: (1-19)
(HIPOGRAM) keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia.
15:3 Tuhan itu pahlawan perang; Tuhan, itulah nama-Nya.
15:19 Ketika kuda Firaun dengan keretanya dan orangnya yang berkuda telah masuk ke laut, maka Tuhan membuat air laut berbalik meliputi mereka, tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut.
ٗ دَقَلَو
perwiranya yang pilihan dibenamkan ke dalam Laut Teberau.15:5 Samudera raya menutupi mereka; ke air yang dalam mereka tenggelam
seperti batu.
15:19 Ketika kuda Firaun dengan keretanya dan orangnya yang berkuda
telah masuk ke laut, maka Tuhan membuat air laut berbalik meliputi mereka, tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut.
1. Pembacaan heuristik terhadap kisah Musa dan Fir’aun yang menitikberatkan
pada struktur linguistik– unsur sintaksis, morfologi dan semantik –
menghasilkan beberapa empat fragmen utama. Fragmen pertama secara heuristik berbicara tentang Musa memperoleh sakralitas wahyu dari Allah
SWT di bukit Tuwa (Sinai) yang ditandai dengan proses penganugerahan
mu’jizat tongkat dan cahaya terang dari celah lengan bajunya. Fragmen
kedua berbicara tentang perintah Allah SWT mengutus Musa kepada raja
yang dzalim Fir’aun yang dzalim, dalam rangka untuk membebaskan Bani Israel dari penindasan. Fragmen ketiga berbicara tentang adu sihir yang
terjadi antara tukang sihir Fir’aun dengan sihir (mu’jizat) Musa yang diakhiri dengan pembuktian akurasi kedahsyatan mu’jizat Musa. Fragmen keempat berbicara tentang peristiwa eksodus (hiijrah) Musa dan Bani Israel dari Mesir ke daerah asal yang disertai di dalamnya bukti keagungan kuasa Allah SWT dalam membelah laut Merah.
2. Dari pembacaan rektroaktif terhadap empat fragmen kisah Musa dan Fir’aun
dalam Q.S. Taha, diperoleh beberapa siknifikasi makna kontekstual yang terhimpun dalam empat fragmen;
a. Fragmen pertama tentang transendensi wahyu kepada Musa, peneliti
mendapatkan beberapa makna kontekstual yang terhimpun dalam tiga
sekuen. Pertama, kata
ا
ٗ راَن
adalah cahaya spiritual yang menjadi tandakewahyuan Musa. Kedua, ungkapan
َٗك
ٗ يَل
ٗ عَن
ٗ
ٗ عَل
ٗ خ
َٗفٱ
adalah menanggalkan atribut keduniaan ketika berinteraksi dengan Allah SWT. Ketiga, ungkapanٗ
ٗى َحوُي
ٗ
اَمِل
ٗ
ٗ عِمَت
ٗ س
ٱ
َٗٗف
َٗكُت
ٗ َت
ٗ خ
ٗٱ
اَن
أَو
َ
mengindikasikan akurasi pemilihan
Musa sebagai pembawa wahyu Allah dan etika dalam mendengar. Keempat, ungkapanٗ ةَيِتاَء
ٗ
َٗةَعا سل
ٗٱ
ٗ نِإ
danَٗة
ٗ وَل صل
ٗٱ
ِٗمِق
َ
أَو
ٗ
ٗ اَن
أ
َ
ٗ
ٗا
لِإ
ٗ
َٗه
ٗ َلِإ
ٗ
ل
ٗا
َ
َٗفٱ
ٗ ع
ٗ دُب
spiritual; monoteisme (tauhid), shalat, dan hari kiamat. Kelima, pemberian tongkat yang luar biasa kepada Musa sebagai bukti kenabiannya. Keenam, berubahnya karakter dan penampilan tongkat menjadi seekor ular yang gesit dan berbahaya sebagai pengantar bukti
mu’jizat pertama. Ketujuh cahaya terang yang keluar dari sela baju Musa sebagai pengantar bukti mu’jizat kedua yang Allah anugerahkan kepada
Musa.
b. Fragmen kedua tentang pengutusan Musa kepada Fir’aun ini, peneliti
dapat mengambil beberapa makna kontekstual yang terdapat dalam empat sekuen kisah. Pertama, sebuah strategi dakwah yang teraktualisasi dalam nilai fundamental
)
ا
ٗ نِي
لّ
ٗ
ٗ
ل
ٗ وَق
ۥٗ
ل
ُٗ
َ
ٗ
ٗ
لوُقَف
َ
)
pada pengutusan Musa danHarus kepada Fir’aun. Kedua, konsep satu kesatuan tentang pertolongan,
bantuan, dan kekuatan Allah dalam segala bentuk kesulitan dan ketakutan. Ketiga, nilai fundamental tentang pengingkaran terhadap
karakter Fir’aun yang begitu angkuh dan melampaui batas.
c. Fragmen ketiga tentang adu sihir antara Musa dan Fir’aun, maka peniliti
memperoleh beberapa makna kontekstual. Pertama, kalimat pertanyaan (
ٗ َسوُم
ٗٗ َي
َٗكِر
ٗ حِسِب
ٗ
اَن ِض
َ
أ
ٗرۡ
ٗ نِم
ٗ
اَنَجِر
ٗ خُ ِلِ
ٗ
اَنَت
ٗ ئِج
أ
َ
ٗ
َٗلاَق
) mengindikasikan sebuahpenetapan (itsbat) serta karakter buruk (su’udzan) Fir’aun. Kedua,
ungkapan
اٗ
ٗ بِذَك
ٗ
ِٗ للّ
ٗٱ
ٗ
َ َعَ
ٗ
ٗ اوُ َت
ٗ فَت
ٗ
ل
ٗ
َ
ٗ
ٗ مُكَل
ٗ يَو
ٗ
ٗ َسوُّم
ٗ
مُهَل
ٗ
َٗلاَق
merupakanultimatum Musa yang bersifat menakut-nakuti (at-takhwif) agar para
tukang sihir mengundurkan niat mereka dan tidak menyerang Musa.
Ketiga, kata
ُٗلاَبِح
yang mengandung makna kelenturan, kelembutan,elastis, dan mudah dibentuk merepresentasikan sebuah kelicikan Fir’aun
yang pandai membolak-balikkan fakta, merubah suatu kebenaran
kekuatan atau kekuasan yang besar. Keempat, ungkapan
ٗ
َٗكَرِث
ٗ ؤُّن
ٗ
نَل
ٗ
ٗ اوُلاَق
ٗ
َ َعَ
ٗ
اَم
ٗ
ٗااَج
اَنَء
ٗ
َٗنِم
ٗٱ
َٗ
ل
ٗ َنِيي
ِٗت
َٗٗو
ٱ
يِ
لَّ
ٗ
اَنَر َطَف
mengindikasikan keteguhan imanpara tukang sihir terhadap ajaran Musa.
d. Fragmen keempat tentang peristiwa eksodus Musa dan Bani Israel dari
Mesir, peneliti memperoleh signifikasi makna tentang betapa pentingnya pembebasan dari kawasan yang berbahaya dan penuh penindasan.
3. Dalam kisah Musa dan Fir’aun terdapat empat hipogram potensial dan satu hipogram aktual (intertektualitas). Hipogram potensial meliputi; Pertama, Proses transendensi wahyu yang diberikan Allah SWT kepada Musa. Kedua,
pengutusan Musa dan Harun ke hadapan Fir’aun dalam rangka untuk
membebaskan bani Israel dari penindasan. Ketiga, Rencana Fir’aun untuk menantang Musa adu sihir yang kemudian tampak mu’jizat Musa yang
dahsyat. Keempat, Peristiwa eksodus Bani Israil atas perintah Allah SWT.
Sedangkan hipogram aktual untuk kisah Musa Fir’aun ini adalah teks Bibel
Kitab Keluaran pasal 3, 4, 7 dan 15 yang menceritakan tentang kisah Musa
dan Fir’aun dengan rincian sebagai berikut: Fragmen 1 yang bercerita tentang
penurunan wahyu dengan teks transformasi Q.S. Taha ayat 9-23 dan Kitab Keluaran Pasal 3 ayat 1-6 sebagai hipogramnya. Fragmen 2 yang bercerita
tentang pengutusan Musa dan Harun kepada Fir’aun dengan teks transformasi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Abdurrahman, Emose dan Apriyanto Ranoedarsono. 2009. The Amazing Stories
of Al-Qur’an: Sejarah yang Harus Dibaca. Bandung: PT Karya Kita
Thabathaba’I, Sayyid Muhammad. 2000. Memahami Esensi Al-Qur’an. Jakarta: PT Lentera Basritama
Manzur, Ibnu. 1119. Lisan al- ‘Arab. Kairo: Dar al-Ma’arif
Al-Qaththan, Manna. 1973. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Riyadh: Mansyura al- ‘Asr al
-Hadist
Syadali, Ahmad. 1997. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
As-Shiddieqe, Muhammad dan T.M. Hasbi. 1972. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan
Bintang
Djalal. 1998. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu
Sulaiman, Mustafa Muhammad. 1994. Al-Qissah fi al-Qur’an al-Karim wa Thara
Haula min Syabbaha wa ar-radd ‘Alaiha. Mesir: Matba’ al-Amanah
Qalyubi, Syihabuddin. 1997. Stilistika al-Qur’an (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an)
Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Al-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press
Shihab, M. Quraish. 1995. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan
Al-Khalidi, Salah. 1996. Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-Orang
Terdahulu. Jakarta: Gema Insani Press
Hanafi. 1984. Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Alhusna
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Al-Maliki, Sayyid Muhammad Alwi. 2001. Keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an.
Yogyakarta: Mitra Pustaka
Qutb, Sayyid. 1956. At-Taswiiru Al-Fanniyu di Al-Qur’an. Kairo: Dar Al-Maarif
Khalafullah, Muhammad. 1957. Al-Fannu Al-Qassiyu Fi Al-Qur’an Al-Karim. Kairo:
An-Nadlatu Al-Mishriyah
Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam
Pemaknaan Sastra, Jurnal Humaniora No. 10
Taufik, Wildan. 2016. Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an. Bandung:
Yrama Wedia
Riffaterre, Michael. 1978. The Semiotics of Poetry. Amerika: Indiana University Press
Rina Ratih. 2017Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
Abdullah Saeed, Al-Qur’an abad 21; Tafsir Konstekstual, (Bandung: Mizan, 2016), hlm.
110
Bucaille, Maurice. 2007. Fir’aun dalam Bibel dan Al Qur’an. Bandung: Mizania
Shalahuddin Abu Arafah dan Abu Fatiah Al-Adnani, Musa VS Fir’aun, (Solo:
Granada Mediatama, 2007), hlm. 186
Muhammad bin Mukram bin Ali. 1993.Mu’jam Lisan Al-‘Arab. Beirut: Dar Al Shadr
Al Maturidi, Abu Manshur. 2005. Tafsir Al Maturidi. Beirut: Dar Al Kutub Al
‘Ilmiyah
Ahmad bin Faris bin Ahmad bin Zakaria. 1979. Mu’jam Maqaayis Al-Lughah. Lebanon:
Dar Al Fikr
Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ liahkam al-Qur’an, terj, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), hlm. 579
Al Maraghi, Ahmad bin Musthafa. 1946. Tafsir Al Maraghi. Mesir; Syirkah Maktabah
Wa Al Mathba’ah Al Musthofa
Al Kiwari, Kamilah. 2008. Tafsir Ghoribul Qur’an AlKiwari. Mesir: Dar bin
Hazm
Al Shabuni, Ali. 1997. Shofwah Al Tafassir. Kairo: Dar Al Shabunni
Muhammad bin Shadiq, Abu Thayyib. Fathul Bayan fi Maqashid Al Qur’an.
(Beirut: Maktabah ‘Ashriyyah)
Munawwir, Ahmad Warson. 1994. Mu’jam Al Munawwir: Surabaya. Pustaka Progressif