• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Agama untuk lebih dari satu input

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bahasa Agama untuk lebih dari satu input"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR









Segala puji penulis panjatkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah ditentukan.

Salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad beserta Ahl al-Bayt beliau serta

seluruh Imam suci dari keluarga beliau.

Bahasa adalah suatu sisttem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan;

Bahasa adalah suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke

dalam pikiran orang lain; suatu kesatuan system makna; suatu kode yang digunakan pakar

linguistic untuk membedakan bentuk dan makna; suatu ucapan yang menepati tata bahasa

yang telah ditetapkan; suatu sistim tuturan yang akan dapat difahami oleh masyarakat

linguistik.

Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah

fungsi kognisi tertinggi. Oleh karena itu bahasa amat penting kedudukannya di dalam

menyampaikan warta keTuhanan maupun kemanusiaan.

Dalam makalah ini dibahasa mengenai bahasa-bahasa agama yang seringkali disalah

tafsirkan oleh pengikutnya sehingga mengalami distorsi dari makna aslinya.

Segala kritik membangun amat diharapkan oleh penulis untuk perbaikan makalah ini.

Malang, 29 Jumad al-Awwal 1432

(2)

KATA PENGANTAR ... 1

DAFTAR ISI ... 2

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang ... 3

2. Permasalahan... ... 4

B. Pembahasan ... 5

C. Penutup ... 15

Daftar Pustaka ... 16

BAHASA-BAHASA AGAMA

(3)

DEDI NOVIYANTO

(Disampaikan dalam Seminar Mata Kuliah Kepemimpinan Pendidikan Islam - Program Magister Manajemen Pendidikan Islam - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem seehingga

membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti.

Beberapa definisi bahasa diantaranya yaitu :1

Bahasa adalah suatu sisttem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan;

Bahasa adalah suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke

dalam pikiran orang lain; suatu kesatuan system makna; suatu kode yang digunakan pakar

linguistic untuk membedakan bentuk dan makna; suatu ucapan yang menepati tata bahasa

yang telah ditetapkan; suatu sistim tuturan yang akan dapat difahami oleh masyarakat

linguistik.

Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah

fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan.

Dari deefinisi tersebut diatas, ber kaitan dengan makna dan kognisi, dua hal ini

menjadi pembahasan dalam filsafat analitik, walau awalnya filsafat analitik muncul sebagai

reaksi dari ungkapan-uangkapan yang dipakai oleh para filsuf Hegelian.

Pada awal perkembangannya di Inggris, Moore sebagai tokoh utama yang

memperkenalkan mahzab analitik bahasa ini, selalu mempersoalkan arti atau makna yang

dikandung dalam ungkapan filsafat. Selanjutnya Russel dan Wittgenstein

mengembangkannya melalui bahasa yang bersifat logis sempurna yang membedakan antara

struktur logis dan struktur bahasa yang kemudian membedakan ungkapan yang tidak

(4)

mengandung arti dan yang mengandung arti. Kemudian dilanjutkan oleh positivisme logis

yang lebih ketat lagi dengan mengupayakan kriteria terhadap pernyataan yang mengandung

makna / arti, melalui prinsip verifikasi. Maksudnya bahwa kata / pernyataan dianggap

bermakna bila ada objek empiris, misalnya “meja”, pohon , selain itu dianggap tidak

bermakna.

2. Permasalahan

Permasalahan muncul kemudian jika dihadapkan dengan kata-kata atau pernyataan

seperti “Tuhan”, “baik”, yang objeknya tidak terindra, apakah kata-kata atau pernyataan

semacam ini (bersifat metafisik) yang banyak terdapat atau digunakan dalam wilayah agama

juga dianggap tidak berarti? Lalu bagaimana implikasinya terhadap penganut agama tersebut?

dan bagaimana menyikapi atau solusi dari kata-kata atau pernyataan-pernyataan semacam

ini? Inilah yang kemudian menjadi bahasan saya pada makalah ini yaitu bahasa agama.

B. PEMBAHASAN

Teori arti/ Makna dalam pemetaan Alston2

Ada 3 teori yang membahas tentang ‘arti’ atau ‘makna’

(5)

1. Teori acuan

Di sini, arti suatu istilah atau ungkapan adalah didasari pada sesuati yang diacu oleh

istilah atau ungkapan tersebut, dan juga berdasarkan hubungan antara istilah atau ungkapan

itu dengan sesuatu yang diacunya. Kata-kata itu mengandung arti karena secara sederhana

didasarkan pada fakta bahwa kata-kata itu nama benda, misalnya ‘meja’

Akan tetapi sesuatu yang diacu tidak selalu harus yang kongkret seperti “meja” di

atas. Acuan itu dapat juga suatu kualitas ( rajin atau pandai), suatu bentuk peristiwa ( Anarki),

suatu hubungan (milik).

Contoh ungkapan yang mengacu pada kualitas :

Sokrates itu bijaksana (bijaksana adalah suatu kualitas)

Contoh ungkapan yang mengacu kepada suatu bentuk peristiwa:

Gempa bumi yang berkekuatan lebih dari 6 skala Richter, hampir selalu merenggut korban

jiwa ( gempa bumi merupakan bentuk peristiwa)

Contoh ungkapan yang mengacu kepada suatu hubungan :

Wanita itu adik ibu saya.

2. Teori Ideasi

Arti ungkapan diidentifikasi dengan gagasan-gagasan (idea-idea) yang berhubungan

dengan ungkapan tersebut. Teori ini menghubungkan arti dengan suatu idea atau representasi

psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan tersebut kepada kesadaran. Menurut teori ini, apa

yang member suatu arti yang pasti terhadap suatu ungkapan bahasa yaitu kenyataan bahwa

ungkapan tersebut digunakan secara teratur dalam komunikasi sebagai “tanda” dari suatu

gagasan pasti. Ungkapan-ungkapan itu baru punya arti apabila ia berfungsi sebagai

“pengemban tugas” dari gagasan manusia. Ungkapan-ungkapan itu punya arti, karena ia

mewakili gagasan-gagasan yang perlu diungkapkan dalam rangka komunikasi antar manusia.

(6)

Teori ini menanggapi bahasa sebagai semacam kelakuan yang mengembalikannya

kepada teori stimulus dan respon. Makna merupakan rangsangan untuk menimbulkan

perilaku tertentu sebagai respon kepada rangsangan tadi. Dan ia juga merupakan suatu fungsi

dari pelbagai aspek situasi komunikasi yang terbuka atau siap diperiksa secara umum.

Paling tidak ada dua pengandaian yang terkandung dalam teori tingkah laku ini;

Pertama, harus ada bentuk-bentuk yang umum dank khas pada semua situasi sehingga pada

saat suatu ungkapan bahasa itu diucapkan , maka ia akan memberikan suatu pengertian.

Kedua, harus ada bentuk-bentuk yang umumdan khas pada semua tanggapan yang

ditimbulkan oleh pengucapan dari ungkapan yang diajukan itu tadi.

4. Symbol

Dari pengertian bahasa dan teori tentang arti tersebut di atas secara garis besar dapat

ditarik sebuah benang merah yaitu tentang “perwakilan”, bahwa bahasa yang memuat kata

dan ungkapan mewakili baik sesuatu yang fisik maupun metafisik. Berbeda dari teori yang

sebelumnya juga disebutkan yaitu teori dari para filsuf positivism logis yang hanya

memberikan makna jika kata itu mengacu pada benda empiris. Dan membuat suatu

kebingungan saat menemui bahasa teologis.

Menurut Paul Tillich, kaum positivis logis meniadakan banyak kehidupan. Tetapi ini

membawa kita kepada ketergugahan tentang adanya tingkatan-tingkatan realitas dimana

tingkatan-tingkatan perbedaan ini menuntut pendekatan-pendekatan dan bahasa – bahasa

yang beerbeda. 3

Maka untuk itu Tillich mencoba mengungkap tentang symbol. Symbol menurutnya,

terlibat di dalam realitas dan kekuatan yang mereka (symbol-simbol) itu tunjukkan, meskipun

tidak sama dengan yang mereka simbolkan. Dan demikian funsi symbol itu sebagai pembuka

tingkat-tingkat realitas yang sebaliknya tidak tersembunyi dan tidak dicapai dengan cara lain.

(7)

Symbol membuka tingkat realitas dengan pembicaraan non-simbolis yang tidak cukup

baginya. Hal senada juga dissampaikan oleh Mircea Eliade.4

Lebih jauh Tillich mencoba menjelaskan bagaimana symbol mmbuka realitas dengan

istilah-istilah symbol artistic. Ketika fungsi seni dalam sajak-sajak seni visual dan music

diperuntukkan agar tingkat realitas menjadi terbuka dan dapat dicapai dengan cara lain maka

kreasi-kreasi artistic mengandung karakter simbolis. Sebagai contoh, kita menjadikan

pandangan seorang pelukis sebagai perantara kita, kita tidak bisa memiliki pengalaman ini

dengan cara lain melalui lukisan yang dibuat oleh plukis tdi. Pandangn nya memiliki karakter

kepahlawanan, keseimbangan, warna, berat, nilai dan lain-lainnya.

Walau tidak semua orang dibuka oleh music atau sajak atau lukisan atau seni-seni

visual lainnya namun mbol dapat terus membuka rrealitas ke tingkat realitas inferior kita.

“pembukaan” berfungsi pada dua sisi yaitu realitas dengan tingkat-tingkat yang lebih

mendalam ddan roh manusia dengan tingkat – tingkat yang lebih khusus.

Dan hal ini dapat menjelaskan bahwa symbol-simbol tidak dapat digantikan oleh

symbol-simbol lain. Lalu muncul pertanyaan bagaimana symbol-simbol lahir dan mencapai

akhir masa dan dari rahim apa symbol-simbol terlahir. Symbol lahir dari rahim yang biasanya

disebut “ketaksadaran kelompok”. Dengan demikian kata, bendera, ritual, mungkin menjadi

makhluknya. Akan tetapi ia hanya akan menjadi symbol jika ketaksadaran kelompok

mengatakan “ya” padanya.

4. Symbol- Simbol Religius

Simbol – symbol religious membuka tingkat realitas yang tidak terbuka sama sekali,

yang tersembunyi atau dimensi realitas pokok. Dimensi ini meerupakan dimensi Sang Suci.

Maka symbol – symbol religious juga merupakan symbol-simbol sang Suci. Tetapi partisipasi

itu bukan idealitas, symbol itu sendiri bukan Sang Suci. Symbol –simbol religious berasal

(8)

dari intimitas materi yang diberikan realitas pengalaman kita. Segala sesuatu merupakan

ruang dan waktu yang kadang-kadang menjadi symbol bagi Sang Suci dalam sejarah agama.

Agama, Menurut Tillich, sebagai segala sesuatu dalam kehidupan berdiri di bawah

hokum ambiguitas. Agama memiliki kesuciannya (sacral) dan ketaksuciannya profane). Hal

ini sangat jelas dalam argument yang dikatakan tentang simbolisme religious. Secara

simbolis, simbl-simbol religious menujuk pada symbol yang melebihi mereka semua, namun

karena mereka turut serta di dalamnya maka kita (dalam pikiran manusia) selalu cenderung

menggantikan hal yang dianggap menunjuk dan menjadi pokok diri mereka. Dan banyak

yang menjalankan hal itu sehingga hanya menjadi patung-patung. Dan hal menjadi sebuah

pemberhalaan yaitu absolutisasi symbol-simbol yang suci dan membuat symbol-simbol

identik dengan sang suci itu sendiri. Sebagai contoh tindakan-tindakan ritual dapat

memberikan vaiditas mutlak meskipun hanya merupakan ungkapan situasi yang khusus.

Bahkan terkadang kita sering menjumpai apa yang kita sebut “demonisasi”5dalam aktivitas

sacramental agama, dalam objek suci, kitab-kitab suci, doktrin-doktrin suci dan

upacara-upacara suci.6

5. Tingkat- Tingkat Simbol- Simbol Religius7

Ada dua tingkatan fundamental dalam semua symbol religious yaitu tingkat

ttransenden dan tingkat imanen. Tingkat transenden adalah tingkat yang mulai di luar realitas

empiris yang kita hadapi . sedangkan tingkat imanen adalah tingkat dimana kita menjumpai

dalam pertemuan dengan realitas.

5 Dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary (1993), ini diartikan goktrin tentang semngat kejahatan atau

dalam Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily (1976), itu diartikan orang yang

keranjingan tentang sesuatu (dikutip dari

http://www.akhirzaman.info/menukonspirasi/konspirasi-islam/1889-demonisasi-wajah-islam-.html )

6Teology Kebudayaan, hal 70-71

(9)

Poin pertama dalam tingkat transenden yaitu adanya elemen kemutlakan Tuhan

sebagai wujud ultim yang untuk atau dalam berhubungan dengannya kita harus

menyimbolkannya sambil mengaitkannya dengan yang Tertinggi dari apa yang kita sendiri

menjumpainya. Dan kita memiliki keduanya dalam bentuk simbolis untuk membicarakan Dia

yang melebihi pengalaman diri kita sebagai manusia secara tak terbatas dan yang begitu

memenuhi kedirian kita sehingga ada perkataan “ kamu “ menuju Tuhan dan bisa berdoa pada

Nya.

Selanjutnya poin dari tingkat transenden adalah kualitas-kualitas , lambang-lambang

Tuhan seperti Dia Pengasih, Penyayang, pembeeri Rizki, pemberi kekuatan dan sebagainya.

Lambang-lambang Tuhan ini berasal dari kualitas yang telah kita alami dalam diri kita.

Lambang- lambing itu tidak dapat diaplikasikan pada Tuhan dengan pemahaman harfiah.

Poin berikutnya adalah tindakan-tindakan Tuhan. Seperti ketika dalam kitab suci tertulis

“Allah telah menciptakan”, atau “Allah telah memilih” , “Allah akan memberimu” atau

“Allah telah mengutus”. Uangkapan-ungkapan tersebut membicarakan Tuhan secara simbolis

dalam semua ungkapan temporal, kausal, dan lainnya.

Sementara itu, tingkat imanen , yaitu tingkat penampilan-penampilan Tuhan dalam waktu dan

ruang. Poin pertama dari tingkat imanen ini adalah adanya inkarnasi-inkarnasi Tuuhan,

makhluk-makhluk berbeda dalam waktu dan ruang, makhluk – makhluk Tuhan yang berubah

menjadi binatang atau manusia atau jenis-jenis lainnya sebagaimana yang tampak dalam

waktu dan ruang.

Poin kedua dalam simbolisme tingkat imanen adalah sacramental. Sacramental adalah

sebuah realitas untuk menjadi pembawa Sang Suci dengan cara khusus dan dibawah

lingkungan-lingkungan khusus pula.

Poin ketiga tingkat imanen ini yaitu benda-benda seperti gereja, masjid, salib, lilin, air

(10)

6. Bahasa Kitab Suci ( al-Qur’an)

Setiap kitab suci ketika telah dibukukan maka secara fisik – tekstual ia telah lahir

hadir dan sejajar dengan buku-buku lainnya. Ia telah menjadi fakta historis. Yang kemudian

membedakan adalah sikap atau respon pembacanya. Begitu juga dalam memahami gaya

bahasa, sikap pembaca turut berperan.

Secara sederhana ada dua kategori bahasa kitab suci, yaitu preskriptif dan deskriptif.

Preskriptif artinya struktur makna yang dikandung selalu bersifat imperative dan persuasive

yang menghendaki pembaca mengikuti pesan Allah sebagaimana terformulasikan dalam teks.

Maka di sini posisi Allah menjadi pusat perhatian. Sedangkan deskriptif kebalikannya, ada

ruang terbuka bagi pembaca untuk ikut mendiskusikannya.8

Namun pesan dan perintah Allah ada juga yang diungkapkan dalam bentuk narasi

deskriptif serta ungkapan-uangkpan metaforis.

Sementara ada juga bagian yang telah tegas dan jelas maknanya yaitu yang biasanya

menyangkut soal doktrin dan hokum.

Dari sini dapat diungkap bahwa dalam memikirkan dan membahasakan dan

mengekspresikan fikiran tentang Tuhan dan objek yang abstrak, manusia perlu ugnkapan

yang familiar dengan ungkapan inderawi dengan bahasa kiasan dan symbol-simbol, namun

mengandung muatan – muatan yang melewati realitas inderawi. Maka bahasa agama adalah

bahasa manusia secara historis antropologis sekaligus kalam Ilahi yang metaforis dan

transhistoris. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan symbol tersebut di atas.

Dengan demikian untuk dapat membuka dan mengetahui maksud atau menafsirkan

dari ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis dan atau simbolis diperlukan sebuah

metode. Dan saat ini metode tersebut popular dikenal dengan sebutan hermeneutik. Namun

sebelum melangkah kepada hermeneutik tersebut diperlukan pandangan yang bersifat

(11)

fenomenologis terhadap yang akan di buka maksudnya, seperti bahasa teks atau bahasa

simbolisme lain seperti ritual –ritual.

Beberapa tokoh kontemporer Muslim yang melakukan hal ini di antaranya adalah

Fazlur rahman dan Hasan Hanafi.9 Fazlur Rahman, mencoba memadukan teori kreasi

ASy-Syathibi dengan Emilio Betti dan merumuskannya dalam bentuk penafsiran ganda. Yaitu

dengan dua langkah, pertama, yang ditempuh dengan dua cara yaitu melihat situasi kelahiran

ayat dan sebabnya kemudian menggeneralisasikan peernyataan – pernyataan particular dari

situasi dan sebab ayat sebagai pernyataan yang bersifat universal (mengambil nilai-nilai

etisnya). Langkah kedua menggunakan yang universal tadi kepada kepartikularan situasi

kekinian.

Sementara Hasan Hanafi, ia menggunakan tiga tahapan, yaitu kritik historis,

hermeneutik, dan aplikasi makna dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan kini.

Akan tetapi jauh sebelum mereka, tokoh Muslim lain juga telah melakukan hal

tersebut namun yang lebih dikenal dengan sebutan Takwil yang berarti Ruju’ atau kembali.

Yaitu diantaranya Ibnu Rusyd yang lebih bersifat filosofis dan Ibn “Arabi yang lebih bersifat

metafisis / irfani.

Ada empat unsur hermeneutis dari teori interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd,10 yaitu

penggagas, pembaca, audiens dan teks. Penggagas adalah Tuhan pemengang otoritas atas

Al-Qur’an. Dengan dasar Q.S.Asy-syura :51 : “ dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa

Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau

dengan mengutus seorang urusan lalu diwahyukan kepadanya apa yang Allah kehendaki”

kemudian Ibnu Rusyd dalam memahami persoalan makna, pertama-tama membahas esensi

Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan melalui kategori sifat dan zat yang berhubungan dengan

9 Dr. Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd : Kritik Ideologis –Hermeneutis (Yogyakarta : PT

LKIS, 2009) hal 25

(12)

kalam nafsi Tuhanyang tidak berlafaz (menurut Asy-”ariyah) atau yang berlafaz (menurut

Mu’tazillah),Ibnu Rusyd menyatukan keduanya, artinya kalam yang disebut pertama, berada

di Lauh al Mahfuzh dan yang kedua berada di berada di alam mulk. Dengan demikian

otoritas Tuhan atas Qur’an masih terikat dengan realitas duniawi . Hal itu karena

Al-Qur’an tidak lepas dari realitas sosial masyarakat yang menjadi sasaran wahyu. Selain itu,

wahyu tuuhan yang bersifat maknawi itu juga terrepresentasikan melalui bahasa sebagai

produk manusia yang bersifat relatif dan profan. Pesan yang tersimpan dalam Al-Qur’an

inilah yang menjadi representasi otoritas Tuhan yang kini menjadi pesan yang bersifat

interpretative. Unsur kedua adalah Pembaca dan Penerima wacana, Ibnu Rusyd memilah

masyarakat menjadi terpelajar dan awam dengan dasar kriteria kemampuan nalar, tabiat dan

kebiasaannya; sementara yang terpelajar terbagi lagi menajdi filsuf dan non-filsuf dengan

melihat metode mereka (rasionl –non rasional). tujuan mengetahui posisi interpreter dan

penerima wacana Al-Qur’an. Ibnu Ruysd mencoba mengaitkan golongan msyarakat ,

metode ,dengan syariat. Unsur keempat yaitu teks : relasi teks, makna, dan referrens dalam

Al-Qur’an.

Menurut Rusyd ada tiga kategori teks (ayat) : teks secara definitif mempunyai makna

lahiriah saja; teks yang scara definitif dan analitis mempunyai makna lahiriah dan bathiniah;

dan teks ambigu yang pada dirinya tidak mempunyai makna definitif .

Dari uraian di atas Dalam menginterpretasi teks dapat dikatakan bahwa Rusyd

menekankan adanya otoritatif siapa yang berhak melakukannya.

Sementara itu, Ibn ‘Arabi adalah seorang pengguna utama takwil yang menjadikan

makna harfiah teks sebagai pintu untuk memasuki alam gaib, “sejauh itu dipahami bahwa

tidak ada penafsir Muslim yang perhatiannya sebesar Syekh ini untuk memelihara arti harfiah

Kitab ini [al-Qur’an]. Ia tetap mempertahankan arti harfiah ayat-ayat al-Qur’an ketika

(13)

memasuki arti batiniahnya. Dengan kata lain, bagi Syekh ini ayat-ayat al-Qur’an memiliki

arti lahiriah dan arti batiniah sekaligus.11

Ayat yang paling sering dikutip untuk membicarakan masalah takwil adalah firman

Allah swt sebagai berikut, yang dibaca dengan dua cara. Pertama, “Dialah yang telah

menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat muhkamāt. Itulah Ibu

Kitab. Dan yang lain adalah [ayat-ayat] mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang dalam

kalbunya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti bagian mutasyābihāt untuk

mencari-cari fitnah dan untuk menmencari-cari-mencari-cari takwilnya; padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya

kecuali Allah dan orang-orang yang berakar kukuh dalam ilmu; mereka berkata, “Kami

beriman kepadanya (al-Qur’an); semuanya dari Tuhan kami.” (Q 3: 7) Kedua, sama dengan

cara membaca pertama kecuali bagian “padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali

Allah. Dan orang-orang yang berakar kukuh dalam ilmu berkata, “Kami beriman kepadanya

(al-Qur’an).” (3: 7) Cara pertama menyambungkan “Allah” dan “dan orang-orang yang

berakar kukuh dalam ilmu,” yang membuat satu kalimat yang menyatu, sedangkan cara

kedua memisahkan “Allah” dari “Dan orang-orang yang berakar kukuh dalam ilmu” untuk

berhenti penuh, yang membuat dua kalimat yang terpisah.

Ibn ‘Arabi mengikuti cara membaca pertama dengan tetap memegang teguh implikasi

bagian ayat “Kami beriman kepadanya (al-Qur’an).” Takwil adalah kunci-kunci kegaiban

(mafātīh al-ghayb), yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, dan setiap apa yang diketahui

oleh Allah bergantung kepada-Nya, yang diketahui hanya oleh orang yang Dia beritahu dan

perlihatkan kepadanya. Orang-orang yang berakar kukuh dalam ilmu diberitahu oleh Allah

takwil atas kehendak-Nya. Tampaknya orang-orang seperti inilah yang, menurut Ibn ‘Arabi,

orang-orang yang diajari oleh Allah al-Qur’an, yang sekaligus berakhlak dengan al-Qur’an,

11 Kautzar Azhari Nur, Tempat Al-Qur’an dalam Tasawuf Ibn Arabi, diakses dari

(14)

yang tidak lain adalah akhlak Allah. Orang-orang seperti inilah yang dia sebut “Ahli

al-Qur’an” (ahl al-qur’ān) atau “Ahli Allah” (ahlu-Llāh).

C. PENUTUP

Demikianlah ulasan tentang bahasa agama yang lebih bersifat simbolis dan bisa

diterima dan difahami dengan terlebih dulu mengeerti bahwa realitas ini bertingkat-tingat

maka untuk mengungkapkannya juga dibutuhkan bahasa yang berbeda dan bertingkat pula.

Tidak sepeerti halnya kaum positivism logis yang tidak menerima dan menganggap

ungkapan dalam bahasa kitab suci tidak bermakna. Dan menurut Tillich, mereka justru malah

menghilangkan banyak kehidupan.

Begitu juga dalam memahami kitab suci Al-Qur’an, ada ungkapan yang dapat

dimengerti secara langsung namun juga perlu adanya pentakwilan. Dan pentakwilan perlu

ketika kita tidak terlepas dari pemahaman teks harfiahnya, sebagaimana yang dilakukan IBnu

Rusyd, IBn Arabi, Fazlrrahman dan Hanafi.

باوصلااب ملعأ هللاو

(15)

DAFTAR RUJUKAN

Dr. Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd : Kritik Ideologis –Hermeneutis (Yogyakarta : PT LKIS, 2009)

Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2001)

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta : Paramadina, 1996)

Mitos, menurut Pemikiran Mircea Eliade, (Yogyakarta: Kanisius, 1987

Paul Tillich, Teologi Kebudayaan , ( Yogyakarta : IRCiSoD, 2002)

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa

http://www.akhirzaman.info/menukonspirasi/konspirasi-islam/1889-demonisasi-wajah-islam-.html )

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui transparansi pengelolaan dana desa dalam pembangunan infrastruktur di Desa Diat Kecamatan Lolak Kabupaten Bolaang

Menyelenggarakan: Pendataan dan mapping bidang, sektor, klasifikasi usaha, potensi Sumber Daya, Peluang Pengembangan Usaha serta tantangan dan permasalahan usaha; dan layanan

Pengertian kinerja Menurut Sedarmayanti (2011:260) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti hasil kerja seorang pekerja, sebuah

Dari hasil pengujian hipotesis pada tabel 10 di atas terlihat bahwa hasil pengujian dengan uji t untuk jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap penerapan program

Uji yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: (1) uji perbedaan dua rata-rata untuk melihat (a) perbedaan self-efficacy terhadap matematika pada mahasiswa yang

Setelah memadat, diambil 1 ose bakteri yang telah diukur berdasarkan standar Mc.Farland 108 kol/ mL, kemudian digores secara merata pada permukaan medium, kemudian dimasukkan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada 94 orang responden mengenai pengaruh Brand Image giant terhadap