• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ALOKASI. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ALOKASI. pdf"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN FISIK DESA

LAKAPODO KECAMATAN WATOPUTE KABUPATEN MUNA

OLEH :

NOVA SULASTRI

B1A1 12 158

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

(2)

DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN FISIK DESA

LAKAPODO KECAMATAN WATOPUTE KABUPATEN MUNA

OLEH :

NOVA SULASTRI

B1A1 12 158

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

(3)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Ekonomi

Oleh

NOVA SULASTRI

Stb. B1A1 12 158

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

(4)
(5)
(6)
(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan Syukur hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam proses penyelesaian hasil penelitian yang berjudul “Efektivitas Pengelolaan Alokasi Dana

Desa Dalam Meningkatkan Pembangunan Fisik Di Desa Lakapodo Kecamatan

Watopute Kabupaten Muna” sebagaimana diharapkan.

Penulisan skripsi ini dilakukan di bawah arahan/bimbingan yang terhormat Bapak Dr. Manat Rahim, SE., M.Si. selaku pembimbing I dan Bapak La Tondi, SE., M.Si. selaku pembimbing II. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada beliau berdua atas bantuan dan dedikasinya sehingga penyusunan hasil penelitian ini dapat terselesaikan sesuai jadwal waktu yang telah ditentukan.

Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Ayahanda Laode Safiuddin dan Ibunda Waode Rahmah yang telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan kasih sayang dan do‟a serta tak henti-hentinya mendorong dan mendoakan kesuksesan penyelesaian penelitian ini, semoga Tuhan memberikan kasih dan sayang-Nya untuk beliau berdua.

(8)

vii

3. Ibu Dr. Hj. Rostin, SE., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo Kendari.

4. Ibu Dr. Rosnawintang, SE., M.Si selaku Ketua Jurusan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo.

5. Ibu Dr. Irmawati P. Tamburaka, SE., M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo.

6. Bapak Tajuddin, SE., M.Si, Bapak Dr. La Ode Suriadi, SE., M.Si dan Ibu Dr. Irmawati P. Tamburaka, SE., M.Si selaku Tim Penguji.

7. Para Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo.

8. Seluruh informan penelitian yang telah banyak membantu dan mendukung pelaksanaan kegiatan penelitian penulis di lapangan.

9. Sanak keluarga penulis, Laode Yunus, Andi Mantang,Waode Anafiu, Sitti Ani, Nurlin, Muh. Marifat, Nur Afri Lani, Abab Rahman, Khyiar Naban Alkhuts, Ilma Aurelia, Laode Imbara, Waode Agista Sriariani yang telah memberikan semangat dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Terima kasih yang tulus dan ikhlas penulis sampaikan untuk doa dan bimbingan kalian.

(9)

viii

rekan-rekan mahasiswa(i) angkatan 2012 yang telah memberikan persahabatan, perhatian, bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan, terima kasih yang tulus dan ikhlas penulis sampaikan untuk semuanya.

Akhirnya penulis menyampaikan maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini, kritik dan saran sangat diharapkan dalam melengkapi kekurangannya. Hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa jugalah berpulang segala sesuatunya, semoga semua amalan baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal di sisi-Nya, Aamiin.

Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kendari, Juli 2016

P E N U L I S

(10)

ix Manat Rahim 2) La Tondi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektifitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Pembangunan Fisik Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna. Serta untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Pembangunan Fisik di Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi lapangan. Selanjutnya hasil penelitian dianalisis melalui metode analisis deskriptif dimana menggambarkan bagaiman tingkat efektifitas pengelolaan alokasi dana desa dalam meningkatkan pembangunan fisik dan faktor-faktor penghambat dalam proses pengelolaan alokasi dana desa dalam meningkatkan pembangunan fisik desa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan subjek penelitian yang terdiri dari Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa dan masyarakat Desa Lakapodo.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Efektifitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam meningkatkan pembangunan fisik Di Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna, dimana ada tiga tahap yakni perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Berdasarkan hasil penelitian, tahapan perencanaan, dilihat dari musrembang yang diadakan tim pelaksanaan Alokasi Dana Desa masih kurang efektif, dimana dalam kegiatan musrembang partisipasi masyarakat masih sangat rendah, dikarenakan kurangnya transparansi informasi yang disampaikan oleh perangkat Desa Lakapodo kepada masyarakat. Tahapan pelaksanaan berdasarkan hasil penelitian kurang efektif, dimana penggunaan anggaran Alokasi Dana Desa dapat terselesaikan dengan baik namun dikarenakan kurangnya transparansi informasi terkait pelaksanaan perencanaan kegiatan oleh pemeintah desa kepada masyarakat, sehingga pencapaian tujuan pengelolaan Alokasi Dana Desa yang dilakukan di Desa Lakapodo masih kurang efektif. Pada tahapan pertanggungjawaban dalam proses Pengelolaan Alokasi Dana Desa masih kurang efektif, dimana penyusunan laporan pertanggungjawaban tidak disususn oleh pemerintah Desa Lakapodo serta tidak adanya evaluasi kegiatan yang seharusnya dilakukan bersama masyakat Desa Lakapodo. Hal ini karena proses yang tercipta dalam setiap tahapan Pengelolaan Alokasi Dana Desa tersebut belum sesuai dengan prinsip pengelolaan dan tujuan Alokasi Dana Desa yang mengutamakan transparansi informasi kepada masyarakat sebagai tim evaluasi dari setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan.Sedangkan faktor-faktor penghambat adalah sumber daya manusia yang kurang dari tim pelaksana pengelolaan,informasi, serta kurangnya partisipasi masyarkat.

(11)

Rahim 2) La Tondi.

This study aims to determine the Village Fund Allocation Management Effectiveness (ADD) in the Development of Rural Physical Lakapodo Watopute District of Muna. And to determine the factors that hinder the management of the Village Fund Allocation (ADD) in Physical Development in Rural Lakapodo Watopute District of Muna. Data collection methods used in this research is the study of literature and field studies. Further results of the study were analyzed through descriptive analysis method which depicts how the effectiveness of the management of village fund allocation to improve the physical development and inhibiting factors in the process of managing the allocation of village funds in improving the physical development of the village. The data used in this study are primary data and secondary data with research subjects consisting of village government, Village Consultative Body Institute for Rural Community Empowerment and Lakapodo Village community.

The results showed that the Village Fund Allocation Management Effectiveness in improving the physical development of the District Lakapodo Watopute In the village of Muna, where there are three stages of planning, implementation and accountability. Based on this research, the stages of planning, musrembang held views of the Village Fund Allocation implementation teams are less effective, which in activities musrembang community participation is still very low, due to the lack of transparency of information submitted by the village Lakapodo to the public. Stages of implementation less effective based on research results, where the use of budgetary Village Allocation Fund can be resolved properly, but due to the lack of transparency of information related to the implementation of the planning of activities by government village to the public, so that the achievement of management goals Village Allocation Fund which was conducted at the Lakapodo still less effective. At the stage of accountability in the management of the Village Fund Allocation process are less effective, which statements are not arranged government accountability Lakapodo village and the absence of evaluation activities that should be done together with village communities Lakapodo. This is because the process is created in each phase of the Village Fund Allocation Management is not in accordance with the principles and objectives of the management of the Village Fund Allocation prioritizing transparency of information to the public as a team evaluation of development activities that do. While limiting factors is the human resources less than the executive management team, information, and lack of community participation. Keywords: Effectiveness, Management, Village Fund Allocation, Physical

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

(13)

xiii

3.4. Variabel Dan Definsi Operasional ... 59

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Meningkatkan Pembangunan Fisik Di desa Lakapodo .... 68

4.2.2 Pengelolaan Alokasi Dana Desa Dalam Meningkatkan Pembangunan Fisik Di Desa Lakapodo ... 68

4.2.3 Faktor-faktor Yang Menghambat Pengelolaan Alokasi Dana Desa Dalam Meningkatkan Pembangunan Fisik di Desa lakapodo ... 84

4.3. Pembahasan ... 90

4.3.1. Efektivitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa Dalam Meningkatkan Pembangunan Fisik Di desa Lakapodo ... 90

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

No. Halaman

4.1 Jumlah Penduduk Sesuai Dengan Dusun/Lingkungan ... 62

4. 2 Tingakat Pendidikan... 62

4. 3 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67

4.4 Responden Berdasakan Tingkat Usia ... 67

4.5 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 68

4.6 Tahapan Perencanaan Pengelolaan Alokasi Dana Desa ... 70

4.7 Tahapan Pengelolaan Alokasi Dana Desa... 76

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberian otonomi daerah seluas luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskreksi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Meskipun titik berat otonomi diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut harus dimulai dari level pemerintahan ditingkat paling bawah, yaitu Desa. Selama ini, pembangunan desa masih banyak bergantung dari pendapatan asli desa dan swadaya masyarakat yang jumlah maupun sifatnya tidak dapat diprediksi.

Adanya PP No.72 tahun 2005 dan di revisi UU No.6 tahun 2014 tentang Desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan Desa, yang menyatakan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang meniliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintahan desa berdasarkan UU No. 6 Tahun

(17)

2014 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Merupakan suatu kegiatan pemerintah desa, lebih jelasnya pemikiran ini didasarkan bahwa penyelenggaraan tata kelola desa (disingkat penyelenggaraan desa), atau yang dikenal selama ini sebagai “Pemerintahan Desa”. Kepala Desa adalah pelaksana kebijakan sedangkan Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga pembuat dan pengawas kebijakan (Peraturan Desa). Pengelolaan keuangan desa menjadi wewenang desa yang dijabarkan dalam Peraturan Desa (Perdes) tentang anggaran dan pendapatan belanja desa (APB Desa). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti hasil usaha desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah.

Dengan bergulirnya dana-dana perimbangan melalui Alokasi Dana Desa (ADD) harus menjadikan desa benar-benar sejahterah. Untuk persoalan Alokasi Dana Desa (ADD) saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun lebih banyak daerah yang belum melakukannya.

(18)

Desa mencapai Rp.283.984.000.00 per Desa untuk Kabupaten Muna, maka muncul pertanyaan apakah desa beserta elemen yang ada sudah mampu melaksanakan pengelolaan anggaran tersebut secara baik.

Hal ini mengingat bahwa desa melaksanakan pembangunan hanya mendapat bantuan keuangan yang terbatas dan pengelolaannya masih sangat sentralistis oleh satuan instansi pemerintahan, dan Desa mendapatkana lokasi anggaran yang cukup besar dan pengelolaannya dilakukan secara mandiri, sehingga keraguan terhadap kemampuan Desa secara internal untuk mengelola alokasi dana tersebut masih dipertanyakan.

Menurut Doller & Wallis (2001), Alokasi Dana Desa berperan penting dan menjadi kunci utama keberhasilan otonomi desa. Efektifitas dan Efisiensi penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD) dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Desa serta bagaimana pemanfaatan dana tersebut menjadi sangat penting, karena keduanya merupakan parameter paling sederhana bagi keberhasilan desentralisasi (Ahmad Erany Yustika, 2008). Selain itu desa juga masih banyak memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu khususnya pada organisasi pemerintahannya, sehinggahal tersebut juga akan mempengaruhi dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa.

(19)

1. Kualitas sumberdaya aparatur yang dimiliki desa pada umumnya masih rendah.

2. Belum sempurnanya kebijakan pengaturan tentang organisasi pemerintah desa 3. Rendahnya kemampuan perencanaan ditingkat desa, sering berakibat pada

kurangnya sinkronisasi antara output (hasil/keluaran) implementasi kebijakan dengan kebutuhan dari masyarakat yang merupakan input dari kebijakan. 4. Sarana dan prasarana penunjang operasional administrasi pemerintah masih

sangat terbatas, selain mengganggu efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pekerjaan, juga berpotensi menurunkan motivasi aparat pelaksana, sehingga pada akhirnya menghambat pencapaian tujuan, tugas dan pekerjaan.

Hal sama juga yang dialami oleh pemerintah Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna dengan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia yang memiliki peran dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa. Penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Lakapodo, yang tampak dari kegiatan Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) yaitu pengadaan barang untuk pembersihan lingkungan fasilitas umum seperti mesin rumput dan pengadaan pupuk tanam untuk setiap rukun tetangga (RT). Dari Pengalokasian Alokasi Dana Desa yang ada di Desa Lakapodo tidak nampak adanya pembangunan fisik yang di lakukan seperti pembangunan pasar dan pembuatan sumur gali.

(20)

(ADD) adalah untuk membiayai program Pemerintah Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan kurangnya pemberdayaan yang dilakukan kepada masyarakat dan tidak adanya pengembangan sosial budaya yang dilakukan karena yang tampak dari pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) hanyalah pengadaan barang dan pengadaan pupuk tanam.

Berdasarkan pertimbangan dan kenyataan di atas, diharapkan keseluruhan Pemerintah desa dapat mengoptimalkan anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) yang dimiliki sehingga penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) ini dapat menggerakkan roda perekonomian desa, maka pembangunan desa akan semakin meningkat. Pembangunan yang meningkat ini diharapkan akan mengurangi disparitas pertumbuhan antar desa. Berdasarkan latar belakang diatas, maka judul penelitian ini yaitu: “Efektifitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan Fisik di Desa

(21)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang judul di atas, maka permasalahan yangdi kaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Efektifitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Pembangunan Fisik Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna? 2. Faktor-faktor apa yang menghambat dalam Efektifitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Pembangunan Fisik Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Efektifitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Pembangunan Fisik Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat Pengelolaan Alokasi

Dana Desa (ADD) dalam Pembangunan Fisik di Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat yang di harapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan informasi bagi Pemerintah Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna dalam mengelola anggaran Alokasi Dana Desa (ADD).

(22)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Konsep Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektivitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang (view point) dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi.

Menurut Gie (2000), efektivitas adalah keadaan atau kemampuan suatu kerja yang dilaksanakan oleh manusia untuk memberikan hasil guna yang diharapkan. Sedangkan Gibson (1984) mengemukakan bahwa efektivitas adalah konteks perilaku organisasi yang merupakan hubungan antar produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan dan pengembangan (Haris, 2015).

Menurut Mardiasmo (2004), Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif. Efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan target penerimaan pajak itu sendiri.

(24)

Suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan penerimaan Alokasi Dana Desa di Desa Lakapodo Kabupaten Muna dilakukannya tindakan untuk mencapai hal tersebut. Sehingga efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan penerimaan Dana Desa yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya.

2.1.2 Ukuran Efektivitas

Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif. Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau tidak, sebagaimana dikemukakan oleh S.P. Siagian (1978), yaitu:

1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksdukan supaya karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.

2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah “pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam

(25)

tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.

3. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuan-tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional.

4. Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.

5. Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.

6. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi.

(26)

2.1.3 Pengertian Pengelolaan

Kata “Pengelolaan” dapat disamakan dengan manajemen, yang berarti

pula pengaturan atau pengurusan (Suharsimi Arikunto, 1993). Pengelolaan diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujan tertentu. Dikatakan manajemen adalah suatu proses perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, memimpin dan pengendalian organisasi manusia, keuangan, fisik dan informasi sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi secara efisiensi dan efektif.

Nanang Fattah (2004) berpendapat bahwa dalam proses manajemen terlibat fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang manajer atau pimpinan, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organising), pemimpin (leading), dan pengawasan (controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai proses merencanakan, mengorganising, memimpin, dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.

(27)

pengawasan tidak baik, proses manajemen secara keseluruhan tidak lancar sehingga proses pencapaian tujuan akan terganggu atau mengalami kegagalan (Shyhabuddin Qalyubi, 2007).

Berdasarkan definisi manajemen diatas secara garis besar tahap-tahap dalam melakukan manajemen meliputi melakukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Perencanaan merupakan proses dasar dari suatu kegiatan pengelolaan dan merupakan syarat mutlak dalam suatu kegiatan pengelolaan. Kemudian pengorganisasian berkaitan dengan pelaksanaan perencanaan yang telah ditetapkan. Sementara itu pengarahan diperlukan agar menghasilkan sesuatu yang diharapkan dan pengawasan yang dekat. Dengan evaluasi, dapat menjadi proses monitoring aktivitas untuk menentukan apakah individu atau kelompok memperolah dan mempergunakan sumber-sumbernya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan.

2.1.4 Pengertian Desa

Menurut Ndraha (1984) pengertian resmi tentang Desa menurut Undang undang adalah:

UU Nomor 5 Tahun 1979

(28)

camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UU Nomor 22 Tahun 1999

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Ini berarti desa merupakan suatu pemerintahan yang mandiri yang berada di dalam sub sistem Pemerintahan Nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Bintarto (1983), Desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultur yang terdapat di suatu daerah, dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. UU Nomor 32 Tahun 2004

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan desa menurut Widjaja (2003) dalam bukunya “Otonomi Desa”menyatakan bahwa “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang

(29)

Menurut Winardi (1988) Desa dapat dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal di suatu masyarakat yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri. Pengertian ini menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan Desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat Desa dan bukan pihak luar.

Selanjutnya dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian desa sebagai suatu bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui otonominya dan Kepala Desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan pendelegasian dari pemerintahan ataupun pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.

2.1.5 Pengertian Pembangunan Desa

(30)

kita memahami secara jelas mengenai makna sesungguhnya dari hakikat pembangunan itu sendiri.

Menurut Todaro (1998) pembangunan bukan hanya fenomena semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan manusia bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan kembali dengan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yang sedang berkembang.

Pembangunan Desa merupakan bagian dari pembangunan nasional dan pembangunan Desa ini memiliki arti dan peranan yang penting dalam mencapai tujuan nasional, karena Desa beserta masyarakatnya merupakan basis dan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Adapun definisi pembangunan desa menurut para ahli adalah sebagai berikut:

(31)

ditingkatkan kemampuan masyarakat dalam usaha menaikan taraf hidup dan kesejahteraannya.

Suparno (2001) menegaskan bahwa pembangunan desa dilakukan dalam rangka imbang yang sewajarnya antara pemerintah dengan masyarakat. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan prasarana-prasarana, selebihnya disandarkan kepada kemampuan masyarakat itu sendiri. Proses pembangunan desa merupakan mekanisme dari keinginan masyarakat yang dipadukan dengan masyarakat. Perpaduan tersebut menentukan keberhasilan pembangunan seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi (2001) mekanisme pembangunan desa adalah merupakan perpaduan yang serasi antara kegiatan partisipasi masyarakat dalam pihak dan kegiatan pemerintah di satu pihak. Bahwa pada hakekatnya pembangunan desa dilakukan oleh masyarakat sendiri. Sedangkan pemerintah memberikan bimbingan, bantuan, pembinaan, dan pengawasan. Pembangunan desa dapat dilihat dari berbagai segi yaitu sebagai suatu proses, dengan suatu metode sebagai suatu program dan suatu gerakan, sebagaimana pendapat pakar berikut ini:

(32)

dalamnya masalah perubahan sikap, serta perubahan lainnya yang apabila diprogramkan secara sistematis akan usaha penelitian dan pendidikan yang sangat baik.

2. Sebagai suatu metode, yaitu suatu metode yang mengusahakan agar rakyat mempunyai kemampuan yang mereka miliki. Pembangunan desa juga merupakan metode untuk mencapai pemerataan pembangunan desa dan hasil-hasilnya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

3. Sebagai suatu program adalah berusaha meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran masyarakat pedesaan baik lahir maupun bathin dengan perhatian ditujukan pada kegaiatan pada bidang-bidang tertentu seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, industri rumah tangga, koperasi, perbaikan kampung halaman dan lain-lain.

4. Sebagai suatu gerakan karena pada hakekatnya semua gerakan atau usaha kegiatan pembangunan diarahkan ke desa-desa. Sebagai suatu gerakan dimana pembangunan desa mengusahakan mewujudkan masyarakat sesuai dengan cita-cita Nasional Bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 5. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa pembangunan desa meliputi

(33)

Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu ada koordinasi dari pemerintah baik pusat maupun daerah serta desa sebagai tempat pelaksanaan pembangunan agar seluruh program kegiatan tersebut saling menunjang dan terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna. Permasalahan di dalam pembangunan perdesaan adalah rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya ekonomi seperti lahan/tanah, permodalan, input produksi, keterampilan dan teknologi, informasi, serta jaringan kerjasama. Disisi lain, masih rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan dan rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketerampilan rendah (low skilled), lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat, lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan.

Oleh karena itu dapat dilihat beberapa sasaran yang dapat dilakukan dalam pembangunan desa sebagai berikut:

1) Meningkatkan pelayanan dalam hal pertanahan serta memproses masalah-masalah pertanahan dalam batas-batas kewenangan Kabupaten.

2) Pemantapan pengelolaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menciptakan lingkungan kehidupan yang efisien, efektif dan berkelanjutan.

(34)

4) Meningkatnya prasarana wilayah pada daerah tertinggal, terpencil dan daerah perbatasan.

5) Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan di daerah dan wilayah.

6) Meningkatkan ekonomi wilayah untuk kesejahteraan masyarakat serta menanggulangi kesenjangan antar wilayah.

Dalam pelaksanaan pembangunan desa, desa harus melaksanakan prinsip-prinsip transparansi serta pelibatan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan,pelaksanaan maupun dalam pengawasan dan pemantauan. Dalam kerangka UU Desa, siklus pembangunan desa mencakup 3 (tiga) tahap penting yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. 1. Perencanaan

Perencanaan pembangunan desa mengacu pada konsep membangun desa dan desa membangun. Konsep membangun desa dalam konteks perencanaan adalah bahwa dalam merencanakan pembangunan, desa perlu mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Hal tersebut diatur dalam UU Desa terutama pada pasal 79 dan pasal 80. Dalam pasal 79 UU Desa disebutkan bahwa:

(35)

2) Perencanaan Rembangunan Desa sebagaiman dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi:

a. Rencana pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6(enam) tahun.

b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 tahun. 3).Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja

Pemerintah Desa sebagaiman dimaksud pada ayat (2) ditetapkan Peraturan Desa.

4). Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangaka Menengah Desa dan rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.

5). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa yang diatur dalam peraturan pemerintah. 6). Program pemerintah yang berskala lokal Desa dikordinasikan dan/atau

didelegasikan pelaksanaannya kepada desa.

(36)

Pada UU Desa, untuk mengakomodir asas demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan dan pemberdayaan, perencanaan pembangunan desa tidak semata-mata bersifat top down, namun juga menyusun konsep desa membangun. Konsep desa membangun ini mengedepankan musyawarah desa untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 80 UU Desa yang menyebutkan bahwa: 1) Perencanaan pembangunan desa sebagai mana dimaksud dalam pasal

79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat desa.

2) Dalam menyusun perencanaan pembanguna desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan pembangunan desa.

3) Musyawara perencanaan pembangunan desa menetapkan prioritas, program, kegiatan dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat desa, dan/atau anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

(37)

a. Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar.

b. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumberdaya lokal yang tersedia.

c. Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif.

d. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi.

e. Peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desa berdasarkan kebtuhan masyarakat desa.

2. Pelaksanaan

Berdasarkan peraturan pemerintah No. 60 tahun 2014 tentang dana desa yang bersumber dari APBN dan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa telah diatur beberapa pokok penggunaan keuangan desa. Pada pasal 100 PP No. 43 tahun 2014 disebutkan bahwa belanja desa yang ditetapkan dalam APBDesa digunakan dengan ketentuan:

a. Paling sedikit 70% dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

(38)

Operasional Pemerintah Desa , Tunjangan dan Operasinal Badan Permusyawaratan Desa dan Insentif Rukun Tetanggan dan Rukun Warga.

Dari pasal tersebut terlihar bahwa keuangan desa hanya dibatasi untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, pemberdayaan masyarakat desa dan membayar penghasilan maupun tunjangan intensif bagi perangkat desa badan permusyawaratan desa dan rukun tetangga/rukun warga.

Dalam merealisasikan APBDesa, Kepala Desa bertindak sebagai kordinator kegiatan yang dilaksanakan oleh perengakat desa atau unsur masyarakat desa. Pelaksanaan kegiatan harus mengutamakan pemanfaatan sumber daya manusia dan sumberdaya alam yang ada di desa serta mendayagunakan swadaya dan gotong royong masyarakat. Semua ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 121 PP No. 43 Tahun 2014.

(39)

dengan pengusulan Kepala Desa kepada Bupati/Walikota dan dapat juga secara top down sebagai program Gubernur atau Bupati/Walikota.

Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, masyarakat dan pemerintah desa dapat memperoleh bantuan pendamping secara berjenjang. Secara teknis, pendampingan dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah Kabupaten/Kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping professional, kader pemberdayaan masyarakat desa, atau pihak ketiga yang dikordinasikan oleh Camat di Wilayah Desa tersebut. Ketentuan tentang pendamping bagi masyarakat dan pemerintah desa telah diatur pada pasal 128-131 PP No. 43 tahun 2014 dan Peraturan Mentri Desa No.3 tahun 2015 tentang pendamping desa.

3. Pertanggungjawaban

(40)

Pengaturan pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan APBDesa tercantum dalam Permendagri No. 113 tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan desa. Dalam Permendagri tersebut, diatur pula standar dan format pelaporan pertanggungjawaban yang harus disusun oleh Kepala Desa. Seperti ketentuan lampiran yang perlu dipenuhi dalam laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa, yaitu: a. Format laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa

tahun anggaran berkenaan.

b. Format laporan kekayaan milik desa per 31 Desember tahun anggaran berkenaan.

c. Format laporan program pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masuk ke desa.

Dari PP no. 43 tahun 2014 dan Permendagri No. 113 tahun 2014 terlihat bahwa laporan pertanggungjawaban yang harus dibuat oleh Kepala Desa harus terintegrasi secara utuh, tidak melihat sumber dana yang diperoleh desa. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya yang mewajibkan desa untuk menyusun laporan pertanggungjawaban penggunaan dana berdasarkan sumber dananya.

(41)

pengawasan dari masyarakat (upward accountability). Terdapat beberapa mekanisme pengawasan dan pemantauan sebagai berikut:

1. Pengawasan oleh supra desa secara berjenjang oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Desa dan Kementrian Keuangan (pasal 26 PP No. 60 Tahun 2014). Dalam operasioanlnya, pengawasan oleh pemerintah Kabupaten/Kota menjadi tanggungjawab Bupati/Walikota. Funngsi pengawasan tersebut didelegasikan oleh Bupati/Kota kepada Camat dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Hasil pengawasan Pemerintah Kabpaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah Pusat terkait dengan unsur pengawasannya. Pengawasan pembangunan desa disampaikan kepada Kementrian Desa dan pengawasan pemerintahan disampaikan kepada Kementrian Dalam Negeri.

(42)

BPKP untuk mengawasi pengelolaan keuangan desa karena sumbernya yang berasal dari APBN maupun APBD.

3. Pengawan oleh lembaga BPD sebagai bagian dari fungsi pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa antara lain melalui tanggapan atas pertanggungjawaban Kepala Desa dan pengaduan masyarakat yang disampaikan melalui BPD (pasal 55 dan 82 UU Desa).

2.1.6 Pemerintah Desa dan Otonomi Desa

Dalam sejarah perkembangan manusia, desa dipandang sebagai suatu bentuk organisasi kekuasaan yang pertama sebelum lahirnya organisasi kekuasaan yang lebih besar seperti kerajaan, kekaisaran dan negara-negara modern sebagaimana yang dikenal dewasa ini. Ditinjau dari sudut pandang bidang ekonomi, desa berfungsi sebagai lumbung bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja (man power) yang tidak kecil artinya. Desa-desa di Jawa banyak berfungsi sebagai desa agraris yang menunjukkan perkembangan baru, yaitu timbulnya industri-industri kecil di daerah pedesaan yang merupakan “rural industries”

(Wasistiono, 2007).

(43)

masyarakat pedesaan dalam mencapai sasaran swasembada pangan adalah penting sekali. Masyarakat desa perkebunan adalah produsen komoditi untuk ekspor (Wasistiono, 2007).

Secara sosiologis, masyarakat Desa memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya. Boeke memberikan gambaran bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah persekutuan hukum pribumi yang terkecil dengan kekuasaan sendiri dan kekayaan atau pendapatan sendiri. Persekutuan hukum pribumi terkecil dapat diartikan sebagai persekutuan hukum adat yang tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat pribumi dan mempunyai dasar tradisional, dan juga persekutuan hukum, dimana hanya penduduk pribumi atau setidak-tidaknya sebagian besar dari pada penduduk pribumi menjadi anggotanya (Wasistiono, 2007).

Kesatuan masyarakat hukum tersebut mengurus kehidupan mereka secara mandiri (otonom), dan wewenang untuk mengurus dirinya sendiri itu dimiliki semenjak kesatuan masyarakat hukum itu terbentuk tanpa diberikan oleh orang atau pihak lain. Dari sinilah asalnya mengapa „Desa‟ disebut memiliki otonomi asli, yang berbeda

dengan „daerah otonom‟ lainya seperti Daerah Kabupaten atau Daerah

(44)

Pada tahun 1979 dilahirkan sebuah undang-undang nasional tentang Pemerintahan Desa yang efektif yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 yang ditetapkan pada tanggal 1 Desember 1979. Kedudukan pemerintahan desa dapat diketahui dari bunyi pasal 1 huruf a UU No.5 Tahun 1979 yang menyebutkan: Desa adalah suatu wilayah yang di tempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

UU No. 5 Tahun 1979 sama sekali tidak memberikan hak kepada pemerintahan desa atau kepala desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, yang peraturan-peraturannya bersumber dari otonomi desa. Akan tetapi pemerintahan desa menurut UU ini hanya berhak menyelenggarakan pemerintahan umum yang bersumber dari pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang otonom di atasnya.

(45)

Kebijakan pengaturan tentang Desa pada masa Orde Baru, sejauh mungkin diatur secara seragam dan sentralistis, dengan tujuan untuk kepentingan politik pemerintah. Hal ini secara jelas disebutkan dalam konsideran menimbang dalam UU No.5 Tahun 1979, bahwa: “sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka

kedudukan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih

berlaku”.Namun upaya penyeragaman ini menghambat tumbuhnya

kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kehidupan dan penghidupannya secara mandiri, sehingga akhirnya hanya membuatnya tertinggal disbanding masyarakat lainnya. Pengaturan terhadap pemerintahan desa yang kurang berdasar pada karakteristik masyarakatnya,hanya akan menimbulkan ketidakberdayaan dan ketergantungan.

(46)

yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam system Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.

UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa desa tidak lagi merupakan wilayah administratif. Kedudukan pemerintahan desa adalah subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sehingga desa memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Artinya desa tidak dapat berdiri sendiri, dan harus senantiasa melihat dinamika di atasnya. Walaupun Desa tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, melainkan menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah kabupaten, dimana setiap warga desanya berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengkoordinasikan keanekaragaman tersebut dalam pemerintahan nasional.

(47)

kedudukan pemerintahan desa dalam susunan sistem pemerintahan Negara Indonesia.

Dengan demikian agar urusan yang diserahkan kepada desa dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan pemberdayaan pemerintah dan masyarakat desa perlu dilakukan suatu upaya yang sistemastis dalam menentukan urusan dan kewenangan yang diserahkan. Upaya sistematis dimaksud tentu saja harus berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan tentang desa dan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya, misalnya dukungan supradesa (Pemerintah Kabupaten/Kota), sarana dan prasarana, pembiayaan, personil (kualitas dan kuantitas SDM), serta aspek sosial budaya masyarakat desa.

Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dinyatakan bahwa Desa (atau dengan sebutan lain) adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempatyang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan RI. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa tersebut adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.

(48)

sertanya dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah di Indonesia dan juga mencerminkan Pemerintah Desa sebagai kesatuan pemerintahan terkecil dan terdekat dengan masyarakat yang dipandang memiliki kedudukan yang sangat strategis serta sekaligus diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat secara langsung dan cepat.

Untuk meningkatkan peran serta Pemerintah Desa yang dapat dibentuk di wilayah Kabupaten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka kepada desa diberikan urusan pemerintah yang menjadi kewenangannya dalam menjalankan roda pemerintahannya. UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 200 mengatur bahwa “Pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan

Permusyawaratan Desa‟.

(49)

dan layanan publik di desa, bukan urusan dan kewenangan yang akan menjadi beban bagi Pemerintah Desa.

Selain dari pada itu pada pasal 215 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan olehkabupaten/kota dan atau pihak ketiga, harus mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Desa membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya.

(50)

Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan dan belanja desa(APBDes).Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa sepertidari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotongroyong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Selanjutnya bagi hasil pajakdaerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dariretribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari danaperimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumberlagi dari bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

(51)

Desa, Pasal 68 ayat (1) dan penjelasannyamenyebutkan Sumber pendapatan Desa terdiri atas:

1. Pendapatan Asli Desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah.

2. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa.

Penjelasan

Yang dimaksud dengan “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat

dan daerah” adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurangi belanja pegawai.Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tiga puluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD, sedangkan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.

3. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan.

(52)

Bantuan dari Pemerintah diutamakan untuk tunjangan penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Bantuan dari Propinsi dan Kabupaten/Kota digunakan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan Desa.

4. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Yang dimaksud dengan “sumbangan dari pihak ketiga” dapat berbentuk

hadiah, donasi, wakaf, dan atau lain-lain sumbangan, serta pemberian sumbangan dimaksud tidak mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Yang dimaksud dengan “wakaf” dalam ketentuan ini adalah perbuatan

hukum wakaf untuk dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Berdasarkan hal tersebut di atas, khususnya tentang pendapatan asli desa sangat terbatas, kas desa yang bersumber dari pendapatan asli desa sangat minim,bahkantidak ada. Padahal desa menjalankan fungsi pemerintahan yang tidak jauh berbedadengan sub system pemerintahan lainnya. Dari aspek kebijakan, Desa pada dasarnya memiliki hak untuk memperoleh bagian dari bagian daerah Kabupaten.

(53)

tersebut. Serapan dana untuk kegiatan rutin hanya menyisakan 20-25% untuk dana pembangunan, menunjukkan bahwa masih diperlukan usaha untuk mewujudkan suatu dana perimbangan daerah dengan desa. Realisasi dana perimbangan Desa akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kabupaten dan desa bisa memperjelas apa yang akan dilayani di masing-masing level.

Dana perimbangan desa dari setiap desa ditetapkan dengan mempertimbangkan porsi dari desa yang bersangkutan, tidak ditetapkan melalui pembagian sama rata,melainkan bagian desa dihitung dengan porsi kebutuhan dan potensi desa tersebut.Kebutuhan desa diperhitungkan dari variabel: jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis, potensi alam, tingkat pendapatan masyarakat, dan jumlah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan potensi desa adalah gambaran mengenai peluang penerimaan desa, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor lainnya. Perhitungan ini sendiri diharapkan merupakan perhitungan yang melibatkan atau bahkan dilakukan sendiri oleh masyarakat desa.

2.1.7 Alokasi DanaDesa(ADD)

(54)

penerima menarik untuk diterima sebagai landasan. Maksud Alokasi Dana Desa (ADD) adalah untuk membiayai program Pemerintah Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintah dan pemberdayaan masyarakat, dengan tujuan:

1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya

2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai denganpotensi desa

3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatanberusaha bagi masyarakat desa

4. Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.

(55)

keadilan dan karakter kebutuhan desa yang terdiri dari tujuh faktor yaitu:

1) kemiskinan (jumlah penduduk miskin), 2) Pendidikan dasar,

3) Kesehatan,

4) Keterjangkauan desa (diproksikan ke jarak desa ke ibukota Kabupaten/Kota dan Kecamatan),

5) Jumlah penduduk, 6) Luas wilayah, dan

7) Potensi desa (diproksikan terhadap target penerimaan PBB Desa per hektar).

Lebih lanjut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 140/640/SJ, tanggal 22 Maret 2007 perihal “Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa”

(56)

Penetapan besarnya Alokasi Dana Desa (ADD) dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa didasarkan atas beberapa ketentuan sebagai berikut:

1. Dari bagi hasil pajak daerah kabupaten/Kota paling sedikit 10% untuk desa diwilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagaimana UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Dari retribusi Kabupaten/Kota yakni hasil penerimaan jenis retribusi

tertentu daerah Kabupaten/Kota sebagian diperuntukan bagi desa, sebagaimanadiamanatkan dalam UU No. 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

3. Bantuan keuangan kepada desa yang merupakan bagian dari Dana Pemerintah Keuangan pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/kota antara 5% sampai dengan 10%. Persentase yang dimaksud tersebut diatas tidak termasuk Dana Alokasi Khusus.

(57)

2003 No. 140/640/SJ perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa.

2.1.8 Efektivitas Pengalokasian Dana Desa (ADD)

Menurut Osborne dan Gaebler (1997), efisiensi adalah ukuran berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing unit

output, sedangkan efektivitas adalah ukuran kualitas output

itu.Ketika mengukur efisiensi, harus diketahui berapa banyak biaya yang harus ditanggung untuk mencapai suatu output tertentu. Ketika mengukur efektivitas harus diketahui apakah investasi tersebut dapat berguna.Efisiensi dan efektivitas merupakan hal penting, tetapi ketika organisasi publik mulai mengukur kinerja, seringkali hanya mengukur tingkat efisiensi saja.

(58)

Menurut Nick Devas (1989), prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan daerah yang mengalami perubahan paradigma seiring dengan

pencanangan konsep “goodgovernance” dalam penyelenggaraan pemerintahan

adalah:

1. Transparansi

Adanya keterbukaan pemerintah (birokrasi) di dalam proses pembuatan kebijakan tentang keuangan daerah, sehingga publik dan DPRD dapat mengetahui, mengkaji, dan memberikan masukan serta mengawasi pelaksanaan kebijakan publik yang berkaitan dengan keuangan daerah atau APBD.

2. Efisien

Pengelolaan keuangan daerah harus didasarkan suatu pemikiran bahwa setiap pengeluaran anggaran daerah harus diupayakan seefisien mungkin, guna menghasilkan output yang memadai. Penghematan anggaran sangat diperlukan dalam rangka mencapai efisiensi. Dengan kata lain, standar pelayanan minimal merupakan target yang harus dicapai sesuai proporsi biaya yang ditetapkan.

3. Efektif

(59)

terpakai. Pemikiran seperti ini bertentangan dengan pendekatan anggaran kinerja yang berorientasi hasil atau output.

4. Akuntabilitas

Dalam pengelolaan keuangan daerah dituntut adanya pertanggungjawaban kepada public yang dapat dilakukan secara institusional kepada DPRD. DPRD yang akan menilai apakah kinerja pemda dalam mengelola keuangan daerah atau APBD baik atau buruk dengan menggunakan kriteria atau tolok ukur sesuai apa yang direncanakan semula.

5. Partisipatif

Peran serta publik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan keuangan daerah harus dijamin. Kebijakan pembangunan dalam anggaran daerah (APBD) juga harus mengakomodasikan aspirasi publik dan mengikutsertakan masyarakat secara langsung.

2.1.9 Pengertian Pembangunan Fisik

Pembangunan fisik merupakan perwujudan nyata dari pembangunan segi non fisik yang meliputi sosial budaya, sosial ekonomi dan sebagainya. Aspek pembangunan fisik merupakan perwujudan nyata suatu tuntutan kebutuhan yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan kegiatan sosial serta budaya masyarakatnya”. Dengan kata lain bahwa perubahan itu

(60)

Pelaksanaan pembangunan fisik ditunjukkan dengan adanya proyek-proyek pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana fisik. Sehubungan dengan hal tersebut, Sujarto (1985) mengemukakan beberapa contoh proyek pembangunan fisik yang merupakan perwujudan nyata dari pembangunan segi non fisik, yaitu:

1. Proyek pembangunan fisik bidang sosial antara lain: a. Bangunan perumahan

b. Bangunan kesehatan c. Sarana pemerintahan

d. Jaringan fasilitas umum dan lain-lain 2. Pembangunan social budaya antara lain:

a. Bangunan sarana pendidikan b. Tempat ibadah

c. Seni budaya

d. Bangunan museum sejarah dan lain-lain 3. Proyek fisik social ekonomi antara lain:

a. Pasar dan pusat perkotaan

b. Pusat perkantoran dan perdagangan c. Bangunan pergudangan

(61)

Kondisi fisik juga dapat berupa letak geografis, dan sumber-sumber daya alam. Letak geografis sebuah desa sangat menentukan sekali percepatan didalam sebuah pembangunan. Letaknya strategis, dalam arti tidak sulit untuk dijangkau akibat relif geografisnya. Kecepatan proses pembangunan dan perkembangan suatu kelurahan juga sangat ditentukan oleh itensitas hubungannya dengan dunia luar, mobilitas manusia dan budaya akan mempercepat perkembangan desa itu sendiri. Menurut B.S Muljana (2001) pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah umumnya yang bersifat infrastruktur atau prasarana, yaitu bangunan fisik ataupun lembaga yang mempunyai kegiatan lain dibidang ekonomi, sosial budaya, politik daan pertahanan keamanan.

Sumber daya alam yang terdapat dimasing-masing desa. Dimana sebuah desa yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang banyak dari pada desa-desa lainnya, sehingga untuk mengembangkan atau dalam proses pembangunan desa akan jauh lebih baik dari pada desa yang sedikit mempunyai sumber daya alam, atau tidak ada sama sekali.

2.1.10 Hambatan Pembangunan Desa

(62)

pembangunan adalah sebuah proses evolusi, sehingga masyarakat yang perlu melakukan secara bertahap sesuai dengan sumber daya yang dimiliki dan masalah utama yang sedang dihadapi.

Berkaitan dengan pembangunan desa maka ada beberapa masalah yang seringkali ditemui diberbagai desa, perlu mendapat perhatian dan segera diantipasi, diantaranya:

1. Terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia yang baik dan profesional; 2. Terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan desa itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar (eksternal);

3. Belum tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan secara efektif;

4. Belum terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas;

5. Kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional.

2.1.11 Pengertian Anggaran

Anggaran Menurut Munandar (2001) anggaran adalah ”suatu rencana

yang disusun secara sistematis yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan,yang dinyatakan dalam unit atau kesatuan moneter yang berlaku untuk jangka waktu yang akan datang.”

(63)

anggaran sistematis dan formal untuk perencanaan, pengkoordinasian dan pengendalian tanggung jawab manajemen (Welsch, 2000).

Menurut Nafarin (2000), “anggaran merupakan rencana tertulis

mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan secara kuantitatif untuk jangka waktu tertentu dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang, tetapi dapat juga dinyatakan dalam satuan barang maupun jasa”. Menurut Sofyan (1996) “anggaran merupakan suatu pendekatan yang sistematis dan formal

untuk tercapainya pelaksanaan fungsi perencanaan sebagai alat membantu pelaksanaan tanggung jawab manajemen”.

Tidak setiap rencana kerja organisasi dapat disebut sebagai anggaran. Oleh karena itu anggaran memiliki beberapa ciri khusus yang memebedakan dengan sekedar rencana (Rusdianto, 2006).

1. Dinyatakan dalam satuan moneter Penulisan dalam satuan moneter tersebut dapat juga didukung oleh satuan kwantitatif lain, misalnya unit. Penyusunan rencana kerja dalam satuan 10 moneter tersebut, bertujuan untuk mempermudah membaca dan usaha untuk mengerti rencana tersebut. Rencana kerja yang diwujudkan di dalam suatu cerita panjang akan menyulitkan anggota organisasi untuk membaca atau mengerti. Karena itu, sebaiknya anggaran disusun dalam bentuk kwantitatif moneter yang ringkas.

(64)

misalnya atau untuk kurun waktu lebih panjang, seperti lima tahunan. Batasan waktu di dalam penyusunan anggaran akan berfungsi untuk memberikan batasan rencana kerja tersebut.

3. Mengandung komitmen manajemen Anggaran harus disertai dengan upaya pihak manajemen dan seluruh anggota organisasi untuk mencapai apa yang telah ditetapkan. Tanpa upaya serius dari pihak manajemen untuk mencapainya maka penyusunan anggaran tidak akan banyak manfaatnya bagi perusahaan. Karena itu, di dalam menyusun anggaran perusahaan harus mempertimbangkan dengan teliti sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk menjamin bahwa anggaran yang disusun adalah realistis.

4. Usulan anggaran disetujui oleh pejabat yang lebih tinggi dari pelaksana anggaran. Anggaran tidak dapat disusun sendiri-sendiri oleh setiap bagian organisasi tanpa persetujuan dari atasan pihak penyusun.

(65)

6. Jika terjadi penyimpangan/varians didalam pelaksanaannya, harus dianalisis sebab terjadinya penyimpangan tersebut. Karena, tanpa ada analisis yang lebih mendalam tentang penyimpangan tersebut maka potensi untuk terulang lagi di masa mendatang menjadi besar. Tujuan analisis penyimpangan tersebut adalah untuk mencari penyebab penyimpangan, supaya tidak terulang lagi di masa mendatang dan agar penyususnan anggaran dikemudian hari menjadi lebih relevan dengan situasi yang ada.

2.2 Kajian Empirik

Mahfud (2009) menyatakan sebagian besar penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) lebih banyak diarahkan pada kegiatan fisik (pembangunan sarana dan prasarana fisik) dan penambahan kesejahteraan perangkat desa dalam bentuk dana purna bakti, tunjangan dan sejenisnya serta sebagian lagi untuk kegiatan rutin. Sementara itu, dari aspek realisasi masih ditemui realisasi ADD di bawah 60%. .

(66)

Dengan demikian, cara tersebut dinilai tidak adil bagi Desa, sehingga menimbulkan ketidak efektifan penyaluran ADD. Penelitian tentang Dampak Alokasi Dana Desa terhadap Perekonomian telah dilakukan oleh Prasetyanto (2012), hasil kajiannya menunjukkan ADDmampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, mampu mengurangi jumlahpenduduk miskin dan meningkatkan produk domestik regional bruto sektor pertanian.

Dilihat dari aspk yuridis dan alokasi dana desa (ADD) terhadap pembangunan desa, seperti yang dikemukakan oleh Aldi (2012), hasil penelitiannya menyimpulkan Pelaksanaan alokasi dana desa di desa Aliantan Kecamatan Kabun Kabupaten Rokan Hulu belum efektif, beberapa kendala yang ditemui seperti kurangnya partrisipasi masyarakat, belum berlakunya pembagian alokasi dana desa sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah, dan masih adanya ”lobi-lobi” yang dilakukan pemerintah desa kepada pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan relatif rendahnya sumber daya manusia di desa.

(67)

2.3 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan Alokasi Dana Desa Di Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna didasarkan pada peraturan Bupati Nomor 15 tahun 2012 tentang pengelolaan alokasi dana desa. Melalui Alokasi dana Desa, diharapkan desa akan mampu menyelenggarakan otonominya agar dapat tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri. Dimana tujuan UU Desa adalah menciptakan masyarakat aktif yang mampu menjadi elemen utama dalam merencanakan,melaksanakan dan mengawasi setiap kegiatan pembangunan yang terjadi di desa.

Untuk itu,dalam proses pengelolaan alokasi dana desa harusnya pemerintah desa tidak hanya berfokus pada penyelesaian seluruh tahapan pengelolaan alokasi dana desa dan hasil akhir berupa terciptanya pembangunan di desa. Namun pemerintah desa harusnya lebih berfous pada menciptakan sebuah proses pembangunan yang diciptakan oleh masyarakat desa setempat, sehingga pembangunan yang dihasilkan adalah pembangunan yang berkualitas, yakni sebuah hasil pembangunan yang menggambarkan tujuan, kebutuhan dan hasil kerja bersama seluruh elemen masyarakat desa setempat.

(68)
(69)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Pemerintah Desa

Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD)

1.Perencanaan: -Musrebang 2. Pelaksanaan: -Evaluasi Masyarakat 3.Pertanggungjawaban: - Penyusunan LPJ -Evaluasi Masyarakat

Faktor-Faktor yang menghambat pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD):

1. Sumber Daya Manusia 2. Partisipasi Masyarakat 3. Informasi

Efektivitas

Analisis Deskriptif

(70)

BAB 3

METODE PENELITIAN

1.1 Lokasi dan waktu Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini, maka Lokasi penelitian ini akan di laksanakan di Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna yang melaksanakan program Pengalokasian Alokasi Dana Desa (ADD), Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan sebagai keterwakilan wilayah. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama bulan April-Juni 2016.

3.2 Rancangan penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian Deskriptif yaitu bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat efektifitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Lakapodo Kecamatan Watopute Kabupaten Muna dan bagaimana meningkatkan pembangunan fisik Desa Lakapodo dalam menjalankan program Alokasi Dana Desa (ADD).

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Desa Lakapodo yang berjumlah 1,176 orang, yang terdiri dari laki-laki berjumlah 567 orang dan perempuan berjumlah 609 orang. Dimana 293 orang kepala keluarga (KK), PNS 26 orang, Pensiun PNS 6 orang, TNI ABRI 1 orang, Petani dan pedagang 260 kepala keluarga (KK), buruh 89 orang.

Gambar

Tabel  4.1 Jumlah Penduduk Sesuai Dengan Dusun/Lingkungan
Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.6  Tahapan Perencanaan Pengelolaan ADD Desa Lakapodo Dalam
Tabel 4.7 Alokasi Penggunaan Anggaran ADD Tahun 2015
+2

Referensi

Dokumen terkait

gorio Morlaiter (Venice, 1738 – 1784). Gregorio’s per- sonal opus is relatively small, since he worked almost his entire life in the workshop of his famous father. It was ac-

Dalam penelitian ini, digunakan 3 buah beacon dari Cubeacon sebagai perangkat Raspberry Pi 3 yang akan dibuat sebagai observer serta sebuah server sebagai penyimpan data

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas pemberian pakan alami yang berbeda terhadap pertumbuhan, retensi protein dan kelulushidupan benih ikan tambakan yang

Implementasi kebijakan pengembangan pariwisata di Kabupaten Toraja sebagaimana dikemukana oleh informan penelitian melalui wawancara serat sebagaimana amatan peneliti

a. Sumber primer adalah sumber data yang memiliki otoritas, artinya bersifat mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan, Putusan hakim. 12 Dalam penelitian ini sumber

Berbeda dengan kompetisi Swara Kencana tahun 2018 lalu yang hanya melibatkan radio swasta dalam kategori produksi Iklan Layanan Masyarakat, di tahun 2019 ini

Hasil penelitian ini begitu menarik perhatian sehingga buku The Mozart Effect karangan Don Campbell (1997), begitu monumental. Menurut Ahli saraf dari Harvard University, Mark

Maka dari itu penelitian ini akan memfokuskan pada analisa faktual terhadap penerapan manajemen pemasaran produk yang dilakukan oleh Rumah Zakat yang difokuskan