• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN PAMERAN PRODUK AGROINDUSTRI: Penguatan Agro-techno-preneurship Menuju Agroindustri Yang Tangguh Pada Pasar Global - repository civitas UGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN PAMERAN PRODUK AGROINDUSTRI: Penguatan Agro-techno-preneurship Menuju Agroindustri Yang Tangguh Pada Pasar Global - repository civitas UGM"

Copied!
625
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian,

bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri

(APTA)

Tema:

Penguatan

Agrotechnopreneurship

Menuju Agroindustri yang

Tangguh pada Pasar Global

Penyunting:

Dr. Ir. Nur Hidayat, MP

Dr. Panji Deoranto, STP, MP

Mas‘ud Effendi, STP, MP

Desain Sampul dan Penata Letak:

Rochmat Hidayat, A.Md.

Penerbit:

Jurusan Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya

Malang

Oktober, 2013

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya Prosiding Seminar Nasional Jurusan Teknologi Industri Pertanian bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA) dengan tema “Penguatan Agrotechnopreneurship Menuju Agroindustri yang Tangguh Pada Pasar Global” dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding ini tersusun atas makalah yang telah dikelompokkan sesuai topik pada Seminar Nasional meliputi: Teknologi dan Rekayasa (Topik I), Teknologi Lingkungan (Topik II), Manajemen Industri (Topik III), Sosial Ekonomi (Topik IV) dan Kebijakan Ekonomi (Topik V). Prosiding ini merupakan kumpulan makalah yang telah direvisi dan diseminarkan secara oral maupun poster pada Seminar Nasional tanggal 30 September sampai 1 Oktober 2013 di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, Malang.

Kami mengucapkan terimakasih kepada pemakalah dan peserta seminar yang telah mengikuti jalannya Seminar Nasional sehingga dapat menyumbangkan ide, gagasan dan hasil penelitian yang dapat meningkatkan forum diskusi ilmiah di kalangan akademisi, praktisi bisnis dan instansi pemerintah. Selain itu, kami juga mengucapkan terimakasih kepada Universitas Brawijaya, Fakultas Teknologi Pertanian atas segala fasilitas yang diberikan. Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan prosiding ini walaupun telah dikerahkan segala kemampuan dalam penyusunannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran yang membangun agar prosiding ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

KATA SAMBUTAN……….. ... .. 1

KEYNOTE SPEAKER ... 8

Dr. Ke Xing ... 9

Bambang Darundriyo ... 10

Dr. Faiz Achmad,M.Sc ... 11

Prof. Dr. Ir. Samsulbahri, MS ... 12

Dr. Ir. Susinggih Wijana, MS ... 13

TOPIK TEKNOLOGI DAN REKAYASA PROSES ... 26

Aplikasi Microwave Rumah tangga untuk menjaga kualitas beras miskin dari Kerusakan Akibat Kutu Beras (Sitophillus oryzae) Oleh: Anggoro Cahyo Sukartiko ... 27

Kajian Pembuatan Edible Film dari Pati Aren Kualitas Rendah Oleh: Wahyu Supartono ... 33

Analisis Potensi singkong dan sirup glukose sebagai bahan baku alternatif Industri Nata (Studi Kasus di CV Agrindo Suprafood) Oleh: Jumeri ... 39

Produktivitas Ethanol Melalui Rekayasa Alat Fermentor Fluidisasi dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang diamobilisasi dengan Agar Oleh: SP Abrina Anggraini ... 49

Pengaruh Pemberian Teri, Terong, Kecambah dan Daun Katuk dalam Mempercepat Birahi dan Memperbesar Kebuntingan Sapi Oleh: Shobirin ... 59

Produksi Eksopolisakarida (EPS) oleh Bakteri Asam Laktat (L casei dan L Plantarum) Pada Medium Sari Kurma dan Sari Murbei Oleh: Elok Zubaidah ... 65

Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Pisang Kepok terhadap Kadar Timbal yang Tinggi pada Tikus Wistar Jantan Oleh: Ahmad Yasir Huda ... 79

(5)

Identifikasi Pemborosan pada Produksi Pelet Fosfat (P2O5) dengan Pendekatan Lean Manufacturing dan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) untuk Perbaikan

Proses Produksi (Studi Kasus : PT Madura Guano Industry)

Oleh: Rakhmawati ... 95 Penggunaan Kefir Air sebagai bahan pengembang roti kukus

Oleh: Sri Rejeki Retna Pertiwi ... 107 Pengaruh suhu dan jenis substrat terhadap konidiaBeauveria bassiana

Oleh: Ernanda Pramiyozi ... 115 Formulasi cookies dengan tepung krokot (Portulaca Oleracea) sebagai Makanan

Ringan yang Kaya Antioksidan

Oleh: Sukardi ... 121 Pengaruh Perbandingan Bunga dan Daun Rosella pada Pembuatan Teh Celup

terhadap Kandungan Antioksidan

Oleh: Amna Hartiati ... 127 Proses Pemurnian Asap Cair untuk Penurunan Kadar Benzo(A)Pyrene terhadap

Keamanan Pangan

Oleh: SP Abrina Anggraini ... 135 Produksi Bioetanol Melalui Proses Sakarifikasi Fermentasi Simultan : Kajian

Konsentrasi Enzim dan Waktu Proses

Oleh: I Wayan Arnata ... 141 Komposisi Kimia Minyak Atsiri Bunga Kamboja Cendana (Plumeria alba)

Hasil Re-Ekstraksi dengan Etanol

Oleh: Ni Made Wartini ... 147 Karakteristik cross link asilasi pati tapioka Tersubstitusi Tepung Kacang Nagara

Oleh: Rini Hustianty ... 153 Potensi Minuman Kunyit Asam dan Sinom (Curcuma domestica Val.-Tamarindus indica L.) sebagai Minuman Fungsional

Oleh: Sri Mulyani... 163 Inovasi Pembuatan Bubuk Podeng Jagung Instan

Oleh: Sucipto ... 169 Seleksi Pseudomonas sp Pendegradasi Lipid dan Deterjen

Oleh: Nur Hidayat ... 177 Pelarut dan Lama Ekstraksi Terbaik dalam Pembuatan Pektin dari Limbah Buah

Nangka

(6)

Oleh: Arie Febrianto M ... 189 Studi pembuatan ―puree‖ jambu biji merah (psidium guajava l.) (kajian jenis dan

konsentrasi penambahan filler (dekstrin dan tepung beras))

Oleh: Arie Febrianto M ... 197 Cardapabamu (Cardamon Pemusnah Bau Mulut) Obat Alternatif Penghilang Bau Mulut Menggunakan Kombinasi Metode Ekstraksi Yaitu Metode Microwave Assisted Extraction Dan Metode Maserasi

Oleh: Bella Rahmawati K W ... 203 TOPIK TEKNOLOGI LINGKUNGAN ... 208

Pengurangan Dampak Lingkungan Industri Pengolahan Susu Kambing Etawa Skala UKM dengan Penerapan Produksi Bersih (Cleaner Production)

Oleh: Wagiman ... 209 Penyalut Edibel dari Limbah Pati Biji Nangka untuk Meningkatkan Performansi Buah Salak Pondoh Kupas

Oleh: Budi Santosa ... 217 Soy-Eco Paper : Kertas ramah lingkungan Berbasis Limbah Cair Tahun dan Kertas Re-Use

Oleh: Rohmad Eko P ... 223 Pengaruh Konsentrasi Biomassa dan COD terhadap Kinerja Membrane Bioreactor (MBR) untuk Mengurangi Bahan Organik dan Nitrogen

Oleh: Beauty Suestining DD ... 229 Peran Sulfide Oxidazing Bacteria (SOB) pada Bifilter untuk menghilangkan Kandungan Hidrogen Sulfida Level Rendah pada Biogas

Oleh: Nimas Mayang Sabrina Sunyoto ... 239 Strategi penurunan penggunaan energi dan emisi melalui pengurangan tingkat

kegagalan produksi

Oleh: Miftahul Choiron ... 245 Karakterisasi limbah fermentasi etanol dengan bahan baku hidrolisat asam ubi kayu

Oleh: Andrew Setiawan... 253 Residu Insektisida Kaliandra pada Kacang Panjang di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan

Oleh: IGA. Lani Triani ... 259 TOPIK SOSIAL EKONOMI ... 264

Agroindustri, perguruan tinggi dan pengembangan masyarakat (Community Development) untuk Kehidupan yang Lebih Baik

(7)

Jember

Oleh: Winda Amilia ... 269 TOPIK MANAJEMEN INDUSTRI ... 275

Penentuan Waktu Baku Pekerja menggunakan Kansei Engineering

Oleh: Mirwan U ... 277 Pendekatan Risk Management untuk Perawatan Peralatan Produksi Pabrik Gula

(Studi pada PG Madukismo, Yogyakarta)

Oleh: Adi Djoko G ... 285 Penerapan Metode Hungarian dalam Pembentukan Klaster Industri Kecil Berbahan Baku Hasil Pertanian di Kabupaten Magelang

Oleh: Pujo Saroyo ... 293 Peningkatan Fleksibilitas Lintasan Produksi Sarung Tangan Golf dengan Metode

Killbridge dan Wester Heuristic

Oleh: Pujo Saroyo ... 301 Analisis Perilaku konsumen yogyakarta terhadap atribut produk dan pelayanan

di Rumah Makan Bersistem Waralaba

Oleh: Novita Erma Kristanti ... 307 Technical and Financial Feasibility Analysis on Mocas (Modified Cassava Starch)

Production

Oleh: Ibnu Wahid ... 317 Implikasi Mean Time Between Failure (MTBF) terhadap Manajemen Keandalan di PG Madukismo, Yogyakarta

Oleh: Henry Yuliando ... 325 Peningkatan nilai tambah buah-buahan yang mengalami kerusakan Sebagian sebagai Bahan Baku Blended Fruits Juice Skala Industri Kecil dan Menengah : Aspek Finansial

Oleh: Ratih Hardiyanti ... 335 Penurunan Resiko MSDs pada Pekerja Pengemasan The

Oleh: Guntarti Tatik Mulyati ... 345 Permasalahan Ergonomi di Kawasan Wisata Pantai (Kasus di Pantai Kuwaru, Bantul) Oleh: Guntarti Tatik Mulyati ... 351 Pemanfaatan teknologi pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan dalam Industri

Berbasis Pertanian

Oleh: Agung Putra P ... 357 Pengembangan Produk Susu Kedelai Bubuk dengan Integrasi Metoda Fuzzy dan Value Engineering

(8)

Oleh: Dyah Tri Wilujeng ... 375 Strategi Penguatan Agroindustri Keripik Singkong (Studi Kasus di Desa Tana Merah Kecamatan Saronggih Kabupaten Sumenep)

Oleh: Elys Fauziyah ... 383 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Produk UKM Bandeng Asap di UKM Bu Ahmadi Sidoarjo dengan Menggunakan Metode Quality Function Deployment (QFD)

Oleh: Imam Santoso ... 391 Diversifikasi Produk Olahan Tomat Melalui Sustainable Product Development

Oleh: Nafis Khuriyati ... 403 Analisis pengendalian persediaan dan strategi pengembangan agroindustri keripik

pisang di Kota Bandar Lampung

Oleh: Sussi Astuti ... 413 Analisis Produktivitas dengan Metode Multi Factor Productivity Measurement Model (MFPMM) (Studi Kasus di PT Inti Luhur Fuja Abadi, Pasuruan)

Oleh: Panji Deoranto ... 423 Desain layout Gudang Bahan Baku Berdasarkan Faktor Komoditi bahan Baku (Studi Kasus di Repoeblik Telo, Lawang, Pasuruan)

Oleh: Ika Atsari Dewi ... 433 Kajian ergonomi pada aspek lingkungan kerja agroindustri : Studi Kasus pada Proses Pengolahan Karet

Oleh: IB Suryaningrat ... 443 Pengendalian persediaan bahan baku untuk meminimalkan biaya persediaan dengan Metode Algoritma Silver Meal

Oleh: Wahidiyah NM ... 451 Analisis kelayakan teknis dan finansial pada pendirian usaha pembuatan tortilla chips di Kabupaten Bangkalan

Oleh: Chintya R ... 459 Identifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tenaga Kerja Bagian Sortasi PT Kelola Mina Laut Unit Sampang

Oleh: Nadziratul Layli ... 467 Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas pada Bagian Produksi di PT Aerowisata

Catering Service Surabaya

Oleh: Nia Orchidyawati ... 477 Karakteristik Mutu Produk Herbal Instan yang Dipasarkan di Swalayan Kota Denpasar

Oleh: Luh Putu Wrasiati ... 483 Analisis Tekno-Ekonomi pada Unit Produksi Minyak Goreng Miniplant Politeknik

(9)

Oleh: Sandra ... 491 Peningkatan Mutu Tanak Beras Selama Penyimpanan Gabah

Oleh: Tanwirul Millati ... 501 Penerapan CPMB pada Produk Kuliner Lokal Hasil Pengembangan

Agrotechnopreneurship yang Terstandar

Oleh: Hesty Heryani ... 509 Pemilihan Alternatif Produk Agroindustri Berbasis Jagung di Bangkalan

Oleh: Linda Febriani ... 517 Aplikasi algoritma genetik dalam penjadwalan perawatan preventif

Oleh: Wike Agustin PD... 525 Aplikasi Statistical Quality Control untuk Pengendalian Kualitas Produk (Studi Kasus di PT Tigaraksa Satria Tbk Yogyakarta)

Oleh: Shyntia Atica Putri ... 535 Rancang Bangun Sistem Pakar Evaluasi Kinerja Karyawan Berdasarkan Kompetensi Hard Skill (Studi Kasus di Bagian Filling Plant PT. SMART, TBk. Surabaya)

Oleh: Arif Hidayat ... 541 Peningkatan Efisiensi dan Kapasitas Produksi Bawang Goreng Kemasan ―5758― dengan Diseminasi Alih Teknologi Mekanis di UMKM ―Maju Mapan― Kota Wisata Batu

Oleh: Mas‘ud Effendi ... 551 Formulasi dan Optimasi Penerimaan Sensorik Minuman Kopi-Kayu Manis dengan

Metode Respon Permukaan

Oleh: Usman Effendi ... 557 Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Produk Kebab dengan Menggunakan Kano (Studi Kasus di Outlet ―Kayana Kebab & Burger― Malang)

Oleh: Dhita Morita Ikasari ... 567 Assessment of Worker‟s Body Temperature and Workland in Tomato Production

Greenhouse Work

Oleh: Rizky Silalahi ... 577 Analisis Kinerja Karyawan Berdasarkan Kompetensi dengan Metode Analitic Network Process (ANP) dan Routing Scale (Studi Kasus di PT Erindo Mandiri Pasuruan)

Oleh: Sakunda Anggarini ... 585 Model Perencanaan dan Pengendalian Persediaan Kedelai pada Usaha Tahu

Oleh: Santosa ... 595 Rancang Bangun Pembangunan Hortikultura Bawang Merah Di Bali Tahun 2010-2014

(10)

KATA SAMBUTAN

SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL APTA 2013 UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Assalamualaykum wr.wb.

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.

Yang kami hormati, Bapak Rektor Universitas Brawijaya beserta jajaran.

Yang kami hormati, Bapak Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya beserta jajaran.

Yang kami hormati, Bapak/Ibu Ketua Jurusan di lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.

Yang kami hormati, pembicara dan peserta dalam acara Seminar Nasional ini, serta seluruh teman-teman panitia.

(11)

Demikian sedikit kata sambutan dari saya.

Terima kasih saya haturkan kepada semua pembicara dan pemakalah, panitia, sponsor, serta seluruh pihak yang turut berkontribusi menyukseskan acara ini.

Akhir kata, kami memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam pelaksanaan acara. Semoga kegiatan APTA selanjutnya dapat berlangsung lebih baik.

Wassalamualaykum wr.wb.

Malang, 1 Oktober 2013 Ketua Panitia APTA 2013

(12)

SAMBUTAN KETUA UMUM ASOSIASI PROFESI TEKNOLOGI AGROINDUSTRI

(APTA) PADA SEMINAR NASIONAL APTA DI FAKULTAS TEKNOLOGI

PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Salam sejahtera buat kita semua.

Yang saya hormati Rektor Universitas Brawijaya

Yang saya hormati pembicara utama Seminar Nasional APTA

Yang saya hormati Ketua Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Brawijaya. Yang saya hormati Panitia Seminar Nasional APTA IV, Universitas Brawijaya.

dan segenap tamu undangan dan hadirin sekalian.

Sudah selayaknya kita menghaturkan rasa syukur ke hadlirat Allah SWT atas berkah dan rahmatnya sehingga acara Seminar Nasional APTA IV di Universitas Brawijaya, Malang ini dapat berjalan dengan lancar.

Selaku ketua umum APTA, ijinkan saya menyampaikan sedikit sambutan sebagai ungkapan rasa bahagia bahwa APTA telah memasuki periode ke empat dalam penyelenggaraan seminar nasional tahunannya.

Adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga, bahwa pada hari ini kita berkumpul bersama menghadiri acara Seminar Nasional dan Pameran Produk Agroindustri dengan Tema `Penguatan Agrotechnopreneurship Menuju Agroindustri yang Tangguh Pada Pasar Global` di Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya‖.

(13)

ketika 2015 nanti kita memasuki Asean Economic Community atau AEC, tentunya Agroindustri akan kembali mengambil peran krusial bagi bangsa Indonesia untuk berkiprah aktif dalam blueprint yang telah disepakati.

Pada kesempatan ini, dengan mengambil topik ―Penguatan Agro-technopreneurship Mendukung Keberadaan Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA)‖, tentunya menjadi suatu pernyataan bahwa APTA didirikan untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari pembanguang agroindustri di Indonesia, termasuk juga dalam menjawab tantangan global yang menyertainya. Dengan pendekatan kepintaran kolektif hasil dari sinergi unsur akademisi, praktisi, pengambil kebijakan, dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap agroindustri, maka kiranya solusi yang bisa ditawarkan patut mendapat sambutan yang positif dari pemerintah.

Sehingga dengan genap berusia 3 tahun pada bulan Desember tahun ini (2013), maka meski masih di usia yang sanagt muda ini, namun APTA sudah mampu menginisiasi berbagai terobosan bagi perkembangan agroindustri pada umumnya, diantaranya dengan keberlangsungan penyelenggaraan seminar APTA yang bersifat tahunan. Dimana pada setiap kesempatan tersebut juga selalu dihasilkan sejumlah pemikiran baru dan rencana untuk perkembangan APTA selanjutnya. Sebagaimana hasil pemikiran dan ulasan rencana ke depan yang dihasilkan pada rapat pengurus APTA yang bersamaan dengan Seminar Nasional APTA III di Universitas Udayana, maka sejumlah aktivitas telah dilaksanakan. Adapaun aktivitas tersebut antara lain promosi untuk anggota baru dimana hingga saat kata sambutan ini dibuat, telah tercatat sejumlah 455 anggota APTA dengan komposisi 61% diantaranya adalah anggota Muda. Demikian pula dalam kegiatan publikasi, APTA telah adalah afiliator resmi dan tunggal untuk jurnal internasional yaitu ―Agorindustrial Journal‖, yang berbahasa Inggris, dan akan terus diupayakan agar segera memiliki akreditasi. Disamping itu, APTA juga telah terdaftar sebagai National Member Representatives dari CIGR (International Commision of Agricultural and Biological Engineering) terhitung mulai September tahun 2013.

(14)

Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ucapkan banyak terima kasih kepada kepada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Brawijaya yang telah berkontribusi besar pada penyelenggaraan seminar nasional ini. Saya berharap agar APTA bisa melanjutkan cita-citanya kedepan, juga agar Seminar Nasional APTA akan terus berjalan secara rutin setiap tahun di universitas atau kota penyelenggaran yang berbeda.

Dan tanpa mengurangi arti penting semua keberhasilan yang telah dicapai, tentunya tak luput pula kekurangan yang terjadi, untuk itu selaku pribadi dengan mewakili APTA, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Masukan dan kritik membangun selalu dinanikan oleh kami guna menyempurnakan eksistensi APTA yang semestinya bagi bangsa Indonesia. Dan kepada seluruh peserta seminar, saya ucapkan selamat berseminar, dan terima kasih atas segala dukungan dan partisipasinya sehingga acara ini bisa berlangsung dengan lancar.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Malang, 1 Oktober 2013 Ketua Umum APTA Periode 2012-2016

(15)
(16)
(17)
(18)

Keynote Speech

A Cloud-based Model for Collaborative Life-cycle Assessment in Green Supply Chain Management

Ke Xing1

1

Program Director & Academic Integrity Officer| School of Engineering| University of South Australia| Mawson Lakes Campus | Building J |Office J2-13| GPO Box 2471 | Adelaide SA |

5000

ke.xing@unisa.edu.au

Abstract

(19)

Peluang dan Tantangan Agroindustri Menuju Persaingan Global

Bambang Darundriyo1) 1)

Human Resource Manager, of Bogasari Surabaya Factory bbg.daru@gmail.com, bambang.darundriyo@bogasariflour.com

 Konsumen pangan dunia

 Tantangan dan dinamika pasar dan industri pangan

 Perkembangan peluang dan strategi pangan

 Wheat per capita consumption in Asia countries

(20)

Kebijakan Pemerintah dalam Mendukung Pengembangan Industri Makanan

Dr.Faiz Achmad, M.Sc.1

1

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan

 Industri makanan merupakan industri yang mengolah bahan baku hasil pertanian/perkebunan, peternakan dan perikanan menjadi bahan setengah jadi (intermediate products) dan produk jadi yang siap dikonsumsi.

 Pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan baku industri makanan akan mempunyai efek ganda yang luas, seperti peningkatan nilai tambah dan pendapatan masyarakat, serta perluasan lapangan kerja, peningkatan pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya, peningkatan penerimaan pajak bagi pemerintah dan mendukung ketahanan pangan nasional.

 Pengembangan industri makanan memerlukan komitmen dan dukungan dari seluruh pihak (stake holder) yang terlibat, baik dari instansi Pemerintah Pusat, Daerah dan Dunia Usaha.

 Pengembangan industri hilir makanan akan meningkatkan nilai tambah dan mempunyai multiplier effect yang berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

 Hal-hal yang masih perlu mendapat perhatian khusus: peningkatan infrastruktur, peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan, pengembangan teknologi di bidang proses dan mesin peralatan pabrik, peningkatan SDM, pemberian insentif terhadap pengembangan industri makanan.

(21)

Pemberdayaan Potensi Sumberdaya Lokal Sebagai Wujud Kemandirian Bangsa

Prof. Dr. Ir. H. Syamsulbahri, MS

 Sumberdaya lokal untuk pertanian: sumberdaya manusia (keterampilan, pendidikan, integritas, enterpreneur), sumberdaya alam (Iklim, lahan, air, keragaman hayati, energi,parawisata), teknologi (pengolahan hasil, penanganan pasca panen), budaya (keragaman pangan berdasarkan budaya lokal).

 Kemandirian pangan melalui program penganekaragaman pangan berbasis pada sumberdaya indigenous lokal.

 Kepemihakan pemerintah melalui politik pertanian : aplikasi teknologi di bidang pertanian harus dilindungi melalui peraturan perundang-undangan (pilot project, penerapan hasil teknologi), harus ada jaminan keamanan petani dalam usaha di bidang pertanian (asuransi, subsidi berdasarkan hasil, jaminan harga), pelarangan impor pangan maupun produk-produk petanian lainnya, jaminan tersedianya saprodi (pupuk, obat-obatan) dengan harga murah, mudah diperoleh dalam jumlah yang cukup, pengembangan sumberdaya hayati berdasarkan lokasi yang sesuai dengan potensi dan sosial buudaya masyarakat, sosialisasi revolusi hijau, bahwa Indonesia harus kembali kepada produksi dalam negeri, terutama melalui kedaulatan pangan.

 Langkah konkrit yang harus dilakukan untuk peningkatan produksi per tanaman: menyesuaikan dengan lingkungan yg cocok untuk tanaman, merubah lingkungan agar cocok untuk tanaman, pemuliaan tanaman.

(22)

PERAN KEILMUAN DAN PROFESI BIDANG AGROINDUSTRI DALAM MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN

Oleh :

Susinggih Wijana dan Sucipto Jurusan Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Diberlakukannya perdagangan bebas menuntut kesiapan pelaku ekonomi di berbagai hal, salah satu komponen terpenting dalam menghadapi era global tersebut adalah tersedianya kualitas SDM yang mampu menjawab tantangan bangsa. Hal tersebut semakin penting dengan diberlakukannya ACFTA tahun 2010, serta AFTA dan AEC pada tahun 2015 mendatang. Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki potensi SDA yang sangat besar dan jumlah penduduk yang tinggi sebagai pasar potensial di kawasan ASEAN. Pemasalahan yang dihadapi Indonesia dalam perekonomian regional adalah posisi ekonomi Inondesia menempati urutan ke 5, setelah Singapura, Brunai, Malaysia dan Thailand. Besarnya PDB Indonesia sebesar US$ 4.371, sementara Thailand US$ 7.944; Malaysia US$ 12.353, Brunai US$ 36.177 dan Singapura sebesar US$ 52.872. Disisi lain jika dilihat dari nilai Inklusi Keuangan (ketahanan terhadap krisis dan kesejahteraan) Indonesia sebesar 19,6% yang lebih rendah dibandingkan Vietnam 21,4 %, Filipina 26,5%, Malaysia 66,7 % dan Thailand 77,7 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan SDA yang bagus tidak menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia pada masa sekarang, apalagi di masa mendatang dengan semakin ketatnya perdagangan global. Bila dilihat dari sektor agrobisnis dan agroindustri di Indonesia

hanya mampu memberikan kontribusi terhadap devisa negara sebesar 15,4% dan

perkembangannnya dari tahun ke tahun kurang menggembirakan dibanding negera Asean lain. Fenomena di atas sektor agrobisnis dan agrobisnis belum memberikan kontribusi yang besar terhadap devisa negara. Program pembangunan agrobisnis dan agroindustri semestinya mendapatkan prioritas utama. Beberapa masalah mendasar dalam peningkatan peran agroindustri terkait dengan kondisi makro dan mikro di Indonesia. Secara makro, ada berbagai permasalahan seperti minimnya insentif bagi pengembangan industri padat karya, hambatan regulasi, ekonomi biaya tinggi, suku bunga kredit investasi yang masih cukup tinggi, dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim serta jauh dari memadai, hingga perkembangan teknologi pengolahan yang lamban merupakan beberapa masalah utama yang menghambat peningkatan daya saing agroindustri melalui hilirisasi. Secara mikro, masalah yang ada adalah ketersediaan SDM yang berkualitas, terampil, mampu menerapkan teknologi dan manajemen produksi di bidang agroindustri. Untuk mencapai kualitas tersebut diperlukan kajian ulang tentang sistem pendidikan agroindustri di Indonesia, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas, yang diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing di kawasan ASEAN pada khususnya dan Asia pada umumnya. Lemahnya penguasaan agroindustri di Indonesia selain disebabkan oleh sistem perkualiahan yang mengandalkan teaching oriented, juga akibat kurangnya substansi entrepreneurship pada kurikulum sehingga kemampuan lulusan kurang dalam melakukan job creation di bidang agroindustri. Untuk mendapatkan kurikulum sesuai dengan keinginan tersebut diperlukan triple helix antara perguruan tinggi, asosiasi profesi dan kalangan agroindustri, sehingga dihasilkan kurikulum agroindustri yang mengacu pada KKNI dan berbasis kompetensi.

A. LATAR BELAKANG

Berbagai perjanjian antar negera yang bersifat bilateral, multilateral, dan regional diikuti oleh Indonesia. Diantaranya, Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang sudah berlaku pada 2010, Asean Free Trade Agreement (AFTA) yang akan berlaku penuh pada 2015, serta Asean Economic Community (AEC) yang akan dimulai Desember 2015. Daya saing sumber daya manusia (SDM) dan agroindustri Indonesia sangat ditentukan berbagai upaya pembenahan saat ini.

(23)

menggerus pasar buah nasional, terutama di pasar swalayan. Sepanjang Januari sampai Maret 2011, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor jeruk mandarin meningkat 25,32% dari US$ 68,103 juta pada 2010 menjadi US$ 85,352 juta pada 2011. Peningkatan sangat besar, yaitu 168,56% terjadi pada buah pir dari US$ 11,317 juta pada 2010 menjadi US$ 30,312 juta. Dominasi jeruk mandarin, pir, dan apel impor dapat dirasakan. Produk buah nasional semakin tergusur buah impor. Padahal, Indonesia punya jeruk Medan dan Pontianak, manggis, salak, rambutan, dan buah nasional lain yang lebih segar dari buah impor.

Di sisi lain, sumber daya manusia (SDM) masih perlu ditingkatkan. Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia lebih rendah dari beberapa negara Asean lain. Dari 187 negara yang disurvei pada tahun 2012, Malaysia menempati rangking 64, Thailand (103), Philipina (114), Indonesia (121) Singapura (18) dan Brunei (30). (UNDP, 2013). Dorongan untuk menguatakan SDM dan berinovasi, khususnya di bidang agroindustri sering dilakukan, namun faktanya kemiskinan terbesar di sentra perikanan dan pertanian.

Dengan penguasaan dan pengembangn ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta inovasi mestinya komoditas tersebut dapat dioptimalkan nilai tambahnya. Faktanya, komoditas sawit, karet, kakao, komoditas agroindustri lain banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah. Perkembangan industri hilir masih minim, meski banyak produknya diperlukan masyarakat. Akibatnya, nilai tambahnya masih relatif kecil bagi petani. Inovasi di sektor hulu berupa peningkatan mutu dan produktivitas hasil petani masih sulit diakses petani.Berbagai kondisi yang memengaruhi daya saing indonesia, termasuk dalam bidang agroindustri sebagai berikut.

Dari sisi potensi pasar, Indonesia sangat strategis karena memiliki jumlah penduduk sekitar 40 % total penduduk Asean sekitar 598,5 juta jiwa. Berikut ini jumlah penduduk negara-negar Asean tahun 2011.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Negara-negara ASEAN 2011

No Negara Jumlah Penduduk

1 Indonesia 241.452.952

2 Filipina 86.241.697

3 Vietnam 82.689.518

4 Myanmar 42.720.196

5 Thailand 64.865.523

6 Malaysia 23.522.482

7 Kamboja 13.363.421

8 Laos 5.631.585

9 Singapura 4.353.893

10 Timor Leste 1.019.252

11 Brunei Darussalam 365.251

(24)

Tabel 2. Pendapatan Perkapita Negara-Negara ASEAN 2011

Dari sisi kualitas sumber daya manusia, jumlah wirausahawan di Indonesia tahun 2012 baru mencapai 1,56% dari jumlah penduduk. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya kurang lebih 0,24%. Idealnya, jumlah wirasahawan Indonesia setidaknya sekitar 2%. Saat ini, dibutuhkan sekitar 800 ribu wirausahawan untuk mencapai angka 2%. Perubahan cara pandang di kalangan pelajar dan mahasiswa dari pencari kerja menjadi pengusaha perlu didorong. Keberanian untuk memulai usaha dan tidak takut gagal berusaha perlu ditanamlkan sejak dini. Inilah pentingnya muatan wirausaha dalam kurikulum pembelajaran pendidikan formal.

Dari sisi infrasuktur, biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi. Berikut ini biaya logistik beberapa negara dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Tabel 3. Biaya Logistik

No Negara

Biaya logistik (%

dari PDB)

1 USA 9,9

2 Jepang 10,6

3 Korea Selatan 16,3

4 Singapura 8,0

5 Malaysia 13,0

6 Thailand 20,0

7 Vietnam 25,0

8 Indonesia 27,0

Sumber: dari berbagai sumber

Dari aspek perspektif performasi logistik, Indonesia masih di bawah beberapa negara Asean lain.

No Negara Pendapatan

Perkapita (US$)

1. Singapura 57,238

2 Brunei Darussalam 47,200

3. Malaysia 14,603

4. Thailand 8,643

5. Indonesia 4,380

6. Philippines 3,725

7. Vietnam 3,725

8. Laos 2,435

9. Kamboja 2,086

10. Burma 1,900

(25)

Tabel 4. Posisi Indonesia dari Perspektif Kinerja Logistik

Negara Rangking

LPI Pelanggan Infrastruktur Pengiriman

Internasional Kompetensi Inspeksi

Timeli ness

Tahun 2007

Singapura 1 3 2 2 2 1 1

Malaysia 27 23 25 24 26 28 26

Thailand 31 32 32 32 29 36 28

Indonesia 43 44 45 44 50 33 58

Vietnam 53 37 60 47 56 53 65

Filipina 65 53 86 63 55 50 67

Tahun 2010

Singapura 2 2 4 1 6 6 14

Malaysia 29 36 28 13 31 41 37

Thailand 35 39 36 30 39 37 48

Filipina 44 54 64 20 47 44 42

Vietnam 53 53 66 58 51 55 76

Indonesia 75 72 69 80 62 80 69

Sumber: Bank Dunia (diolah)

Dari Tabel 3 dan 4, dapat diketahui bahwa kondisi logistik nasional menjadi faktor krusial penyebab lemahnya daya saing angoindustri Indonesia. Perbaikan dan peningkatan infrastruktur, khususnya infrastruktur penunjang agroindustri, penting untuk menjadi prioritas pembangunan nasional. Infrastruktur penghubung sentra komoditas agroindustri unggulan dengan tempat pengolahan dan pasar mutlak diperbaiki untuk menguatkan daya saing komoditas tersebut.

Berlakunya berbagai perjanjian antar negara menyebabkan integrasi pasar produk barang atau jasa, serta tenaga kerja. Hal ini merupakan tantangan besar dalam pengembangan produk agroindustri dan sumber daya mausia. Tanpa kesiapan memadai, Indonesia akan menjadi penonton berbagai perjanjian anatar negara yang telah dilakukan.Sebagai contoh, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agroindustri Indonesia mesti dapat bersaing dalam pasar tunggal Asean. Jumlah penduduk indonesia yang besar diperebutkan seluruh pelaku usaha di kawasan Asean.

Berdasar data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) tahun 2011, usaha mikro 98,82%, kecil 1,09%, menengah 0,08%, dan usaha besar hanya 0,01%. Sementara itu, sumbangan sektor tersebut ke produk domestik bruto (PDB): usaha mikro 29,74%, kecil 10,46%, menengah 14,53%, dan usaha besar mencapai 45,27%. Ini menunjukkan kinerja UMKM belum sesuai harapan. Meski sektor UMKM mencapai 99,99%, sumbangannya terhadap perekonomian nasional baru 54,73%.

Kondisi ini tak lepas dari daya saing nasional. World Economic Forum (WEF) menempatkan indeks daya saing global Indonesia di peringkat 50 pada 2012. Dibanding anggota Asean, Singapura peringkat (2), Malaysia (25), dan Brunei Darusalam (25). Salah satu penyebabnya adalah masih sedikitnya inovasi yang dapat diwujudkan menjadi sebuah invensi. Dengan peningkatan novasi dan invensi membuka peluang usaha bagi penduduk yang jumlahnya besar.

(26)

menguntungkan. Di beberapa Negara seperti Korea, Jepang, dan Taiwan model ini telah berjalan.

Kualitas sumber daya manusia (SDM) mutlak ditingkatkan. Sedikit sekali UMKM dijalankan anak muda. Golongan muda lebih mengandalkan ijazah untuk bekerja daripada mencoba berusaha sendiri. Perbaikan kualitas SDM pelaku UMKM, dapat dilakukan dengan memberikan berbagai latihan ketrampilan, manajemen, dan diklat teknis lain sesuai kebutuhan penting diadakan periodik. Dalam jangka pendek, SDM diperkuat dengan pendampingan terintegrasi. Paradigma berpikir para pelaku UMKM perlu disiapkan menghadapi persaingan global. Dalam jangka panjang perbaikan SDM dilakukan melalui pendidikan kewirausahaan sejak dini. Pendidikan formal di berbagai jenjang diberi muatan wirausaha. Penghargaan karya inovasi terbaik memberi daya tarik anak muda berinovasi memulai usaha.

Masalah penting dan mendasar yang perlu diselesaikan pemerintah, yakni infrastruktur yang buruk, pasokan energi yang terbatas, proses perizinan usaha, dan kebijakan pajak yang penghambat tumbuhnya usaha.

Pada 2015, pasar Asean diperkirakan sekitar 598,5 juta jiwa. Pasar tersebut membutuhkan produk sangat besar. Inilah yang diperebutkan pelaku ekonomi global. Skema AEC menyepakati 12 produk prioritas, meliputi produk berbasis pertanian, transportasi udara, otomotif, komunikasi dan telekomunikasi, barang elektronik, perikanan, produk kesehatan, barang berbasis karet, tekstil dan pakaian, pariwisata, produk berbasis kayu, serta logistik.

Dilihat dari produk berbasis agrokompleks, Indonesia memiliki komoditas potensial dan berprospek cerah. Tanah subur, iklim tropis, dan garis pantai panjang merupakan bentuk keunggulan komperatif. Daerah-daerah memiliki komoditas unggulan, seperti sawit, karet, kakao, rumput laut, kopi, pala, gambir, dan lain-lain. Akan tetapi, potensi komoditas pertanian menjadi jebakan dalam prioritas pengembangan. Sepertinya negara kita punya segalanya, namun tak optimal semuanya. Kita terlena mengekspor bahan baku, padahal nilai tambahnya di produk hilir.

Kualitas TK memang masih bermasalah. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), total angkatan kerja per Agustus 2012 sebesar 118,04 juta jiwa, yang bekerja 110,80 juta dan mengganggur 7,24 juta jiwa. Dari jumlah tersebut pekerja tidak penuh 34,29 juta jiwa. Dari total yang bekerja, 70,51% bekerja di sektor informal, di antaranya 5,34% bekerja bebas di sektor pertanian. Tingginya pekerja di sektor informal menunjukkan ketidaksesuaian lapangan kerja dengan spesifikasi dan jumlah tenaga kerja.

Sementara itu, tingkat pendidikan TK didominasi pendidikan dasar. Data BPS Februari 2011 menunjukkan TK berpendidikan SD ke bawah 49,53%, diploma 2,98% dan sarjana 4,98%. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja terbanyak. Lebih spesifik, pendidikan petani sekitar 60-70% SD, 15% SLTP, 13% SLTA, dan hanya 1% lulus perguruan tinggi. Sektor pertanian didominasi TK usia lanjut 55-60 tahun.

Kondisi tersebut memicu pekerja di sektor pertanian memiliki jam kerja sedikit, produktivitas dan pendapatan relatif rendah. Kesenjangan pendapatan sektor pertanian dibanding sektor lain melebar. Jika kondisi ini berlanjut, alih-alih meningkatkan produksi pangan nasional untuk memasok kebutuhan Asean, kita akan digelontor produk impor. Kemandirian pangan nasional terancam. Karena itu, peningkatan kualitas TK, khususnya bidang pertanian dan agroindustri mutlak dilakukan.

Beberapa upaya dapat ditempuh. Perbaikan sistem pendidikan, kurikulum sesuai pasar tenaga kerja, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Inovasi pembelajaran mutlak dilakukan. Kerja sama lembaga pendidikan dan pengguna lulusan perlu diintensifkan. Soft skill peserta didik terkait penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mutlak ditingkatkan. TIK dibutuhkan TK untuk mengakses teknologi dan manajemen terbaru. Info pasar TK cepat diperoleh.

(27)

ketrampilan (skill) termasuk IQ hanya memengaruhi 20% sikap TK. Selebihnya, sikap TK dipengaruhi pembentukan karakter yang terkait EQ dan SQ. Nilai dan kebiasaan yang baik mutlak ditanamkan. Demikian juga keyakinan spiritual. Salah satu aplikasinya adalah konsep pendidikan berkelanjutan (sustainability education) dan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) yang mengedepankan aspek lingkungan alam dan sosial masyarakat.

Saatnya kita tumbuh-kembangkan jiwa kewirausahaan. Saat ini, jumlah pengusaha di negeri ini kurang dari 1%. Banyak pihak mengemukakan agar Indonesia maju perlu pengusaha minimal 2% penduduk. Bahkan, pengusaha di Malaysia mencapai 5% penduduk. Dengan jumlah pengusaha yang cukup, inovasi bernilai tambah tinggi semakin terdorong. Akselerasi pembangunan pertanian semakin cepat untuk membuka peluang kerja. Jiwa kewirausahaan mutlak dikembangkan melalui kerja sama dengan lembaga terkait. Berbagai regulasi ketenagakerjaan mutlak dibenahi agar mampu melahirkan TK berkualitas, andal, dan berdaya saing tinggi. Pengembangan kemampuan TK selama bekerja mesti dilakukan pengusaha. Kesehatan tenaga kerja mutlak diperhatikan pengusaha dan pemerintah. Dengan regulasi yang menguntungkan pekerja dan dunia usaha, investasi akan tumbuh, produksi nasional meningkat secara efisien.

B. POSISI STRATEGIS AGROINDUSTRI

Agroindustri merupakan industri yang mengolah komoditas primer pertanian menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir. Hal ini meliputi penanganan pascapanen, industri pengolahan makanan dan minuman, industri biofarmaka, bioenergi, pengolahan hasil ikutan, serta agrowisata. Pengembangan agroindustri sangat strategis dan berprospek cerah di negeri ini, karena pasar dan potensinya luar biasa. Penguatan agroindustri nasional akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian kita di pasar global. Hal ini mendorong pemberdayaan pertanian Indonesia ke arah lebih baik. Beberapa komoditas unggulan ekspor agroindustri, antara lain, kelapa sawit, karet, dan kakao. Di luar itu, ada juga kopi, teh, gambir, pala, lada, rumput laut, kerang mutiara, udang, dan ikan hias.

Potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia sangat besar. Sayangnya, kondisi ini belum membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi berkualitas. Agroindustri berprospek sangat cerah dikembangkan di negeri ini, karena pasar dan potensinya luar biasa. Iklim tropis dan tanah subur menyebabkan banyak daerah memiliki keunggulan komperatif dengan beragam SDA hayati.

Sucipto (2012) menyatakan ada banyak kawasan yang memiliki keunggulan komparatif tersebut, seperti sawit di Sumatera Utara, karet di Sumatera Selatan, dan tebu yang diperlukan untuk industri gula sangat cocok di Jawa Timur. Selain itu, rumput laut dan kakao di Sulawesi Selatan, ternak sapi di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan dan berbagai daerah lainnya. Mestinya komoditas tersebut dapat dioptimalkan nilai tambahnya dengan inovasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Faktanya, komoditas sawit, karet, kakao, komoditas agroindustri lainnya masih banyak yang diekspor berupa bahan mentah. Nilai tambahnya bagi petani kecil. Akibatnya, perkembangan industri hilir minim, meski produknya diperlukan masyarakat. Sementara itu, inovasi di hulu terkait peningkatan produktivitas dan mutu komoditas hasil petani sulit diakses petani.

Pemerintah menyadari bahwa inovasi penting sebagai salah satu pemacu pertumbuhan ekonomi. Karena itulah dibentuk Komite Inovasi Nasional (KIN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010. Ini diperkuat dengan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) dan Sistem Inovasi Daerah (Sida). Meski ada langkah maju, ini semua masih perlu penajaman kerja sama pihak-pihak terkait.

(28)

sehingga mampu mendorong tumbuhnya produk unggulan daerah. Dua sisi inovasi dan iptek di hilir dan hulu mutlak dikembangkan.

Untuk menghasilkan inovasi industri hilir tidak mudah. Banyak penghalang mesti diatasi. Saat ini, ada kekuatan negara maju yang menghambat tumbuhnya industri hilir di negera berkembang. Ini terjadi pada ndustri berbahan baku karet, sawit, kakao, rumput laut, kopi, dan sebagainya. Misalnya, industri hilir produk karet sebagai suku cadang otomotif dapat dihasilkan dengan kualitas tak kalah produk luar negeri. Faktanya, seorang pengusaha Indonesia yang ingin memasok suku cadang berbahan baku karet ke salah satu industri mobil milik asing tidak diterima dengan alasan kualitas tidak sesuai standar. Meski dilakukan perbaikan berkali-kali tetap ditolak. Karena itu, berbagai halangan negara maju terhadap pengembangan industri hilir agroindustri kita mesti disikapi tegas oleh pemerintah.

Kalau negara maju membuat banyak syarat standar produk impor dari negeri kita, semestinya kita dapat membuat syarat impor dari negara maju yang juga tak kalah ketatnya. Investasi di Indonesia mesti diberi syarat penggunaan komponen lokal dan transfer teknologi. Hal ini dilakukan Cina. Besarnya pasar negeri ini dapat menjadi daya tawar transaksi dengan negara lain.

Di sisi lain, inovasi di hulu yang menyentuh efisiensi dan perbaikan mutu komoditas petani perlu segera diintrodusi. Ini penting karena banyak inovasi teknologi sumber daya pertanian, budidaya berbagai komoditas pertanian, dan agroindustri hasil anak bangsa hanya menjadi jurnal ilmiah. Ada jarak antara peneliti dan perekayasa dan petani. Akibatnya, berbagai inovasi yang dibiayai negara sulit diakses petani yang minim pendidikannya. Sebagai contoh, riset lembaga penelitian sawit menghasilkan bibit sawit berkualitas, namun produktivitas sawit rakyat rendah.

Perlu adanya sinergi pengusaha, Balitbang pusat dan daerah, peneliti, serta penyuluh, agar berbagai inovasi anak bangsa akan berimbas langsung pada perbaikan mutu komoditas agroindustri unggulan daerah. Dengan inovasi di hulu, produktivitas pertanian akan naik, penggunaan lahan menjadi efisien, dan mutu komoditas pertanian pun meningkat. Inovasi industri hilir secara optimal memanfaatkan komoditas bermutu baik hasil petani sehingga sesuai kebutuhan pasar konsumen langsung dan industri dalam dan luar negeri. Kedua sisi inovasi ini akan meningkatkan nilai tambah bagi petani dan pengusaha.

Beberapa kasus terkait potensi dan kendala pengembangan agroindustri Indonesia sebagai berikut. Sebagai pemain utama minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dunia, Indonesia merasakan kontraksi permintaan serta harga CPO dan produk turunannya. Namun, karena CPO merupakan bahan pokok dan minyak nabati paling kompetitif, maka pasar CPO tetap terbuka. India dan China merupakan pasar terbesar CPO Indonesia dengan menyerap 70% total pasokan CPO dunia. Ekspor CPO akan terus tumbuh jika diversifikasi pasar ekspor berhasil. Pasar Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin mutlak dikelola lebih baik. Industri kelapa sawit prospektif dan berperan besar dalam ekonomi nasional. Industri ini menampung lapangan kerja total 3,82 juta orang. Karena itu, masalah hilirisasi CPO menjadi berbagai produk turunan perlu didorong.

Kebijakan Bea Keluar (BK) mutlak berorientasi pada hilirisasi CPO, namun tak merugikan petani dan pekebun. Pemerintah dan pelaku usaha perlu lebih gencar promosi praktek minyak sawit berkelanjutan sebagai antisipasi kampanye negatif minyak sawit Indonesia dan penurunan permintaan CPO akibat krisis. Hal ini tak hanya untuk memperbaiki kinerja ekspor, namun akan berkontribusi pada pergerakan ekonomi dalam jangka panjang.

(29)

Selain itu, perbaikan sistem manajemen, teknis budidaya, pengendalian penyakit, peremajaan dengan klon unggul, dan diversifikasi produk industri hilir karet. Besarnya potensi karet alam ini berpeluang memperbaiki kinerja ekspor Indonesia.

Berikutnya kakao. Saat ini, Indonesia penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Perbaikan industri kakao nasional akan berkontribusi pada kinerja ekspor agroindustri. Monitoring dan evaluasi gerakan nasional (Gernas) peningkatan produksi dan mutu kakao menjadi fondasi penguatan industri hilir kakao nasional.

Rencana pemerintah melarang ekspor kakao tanpa fermentasi perlu diikuti insentif kenaikan harga kakao fermentasi petani. Bea keluar kakao mesti dikembalikan untuk peningkatan produktivitas, mutu, dan kemajuan kakao rakyat. Tumbuhnya industri olahan kakao nasional yang efisien perlu didorong sehingga memberi nilai tambah lebih besar.

Semua komoditas agroindustri penting akan berdaya saing tinggi jika dikelola serius. Ini tentu perlu didukung makro ekonomi dan kebijakan yang baik, penguatan dan kemudahan akses modal, dan perbaikan infrastruktur penunjang yang diperlukan. Kebijakan keringanan bea masuk (BM) peralatan dan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi agroindustri hilir diperlukan selama teknologi dalam negeri belum siap.

Standarisasi produk agroindustri perlu dikontrol ketat dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar internasional lain. Pemerintah perlu aktif menegosiasikan penurunan BM produk olahan agroindustri hilir Indonesia ke negara tujuan ekspor sehingga daya saing produk agroindustri hilir meningkat. .

Kasus, tingginya harga daging sapi menjadi masalah serius di negeri ini. Harga yang tinggi dipengaruhi 2 faktor, yaitu meningkatnya permintaan dan kurangnya pasokan daging. Perubahan pola konsumsi masyarakat mengakibatkan peningkatan konsumsi daging sapi nasional. Pada 2013, diperkirakan 2,2 kg meningkat dari 1,9 kg per kapita per tahun. Kebutuhan daging tahun 2013 sebesar 550 ribu ton dan 431 ribu ton akan dipenuhi dari dalam negeri. Beberapa langkah untuk menstabilkan harga daging sapi telah ditempuh pemerintah, misalnya mengintruksikan Perum Badan Usaha Logistik (Bulog) mengimpor daging beku, membuka kran impor impor.

Salah satu masalah daging sapi adalah pasarnya di Jabodetabek banyak dipenuhi dari impor. Pasokan sapi nasional dari Nusa Tenggara Barat dan Jatim yang transportasinya mahal. Sistem logistik nasional (silognas) yang tidak efisien dan memicu harga daging sapi lokal lebih mahal dibanding impor. Biaya angkut dari sentra sapi di Jawa Timur ke Jabodetabek sangat tinggi. Perbaikan sislognas perlu dipercepat melibatkan pemerintah, BUMN, dan swasta. Jika diperlukan, subsidi transportasi dari sentra sapi ke pasar dapat dianggarkan pemerintah untuk mendorong produksi sapi lokal. Pengembangan sapi lokal dan pembelaan peternak masih lemah. Sapi lokal, yang kecil dan kurang cepat pertumbuhannya, tak diurus dan dikembangkan. Sapi lokal termarjinalkan. Padahal sapi lokal seperti dari Bali tahan terhadap cuaca kering dan penyakit.

Sebagian importir, pengusaha penggemukan sapi, dan RPH besar yang nakal dengan menahan pasokan sapi dan daging ke pasar sehingga harganya melonjak. Dalam jangka pendek, spekulasi harga oleh pengusaha harus ditindak. Upaya menambah bakalan sapi dengan cara melarang pemotongan sapi betina produktif mesti ditegakkan. RPH mutlak menjalankan fungsi mencegah pemotongan sapi betina produktif. Insentif bagi peternak yang tidak menjual sapi betina produktif perlu diteruskan. Inseminasi buatan (IB) dalam negeri digencarkan dengan bibit hasil sendiri. Penguatan pembibitan sapi dalam negeri mesti didorong. BUMN, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian perlu dikerahkan menjawab tantangan ini. Produksi sapi terintegrasi dengan sawit mesti dipercepat karena pakan di kebun sawit Sumatra melimpah. Harga pasar yang layak perlu diketahui peternak secara transparan. Harga sapi dari peternak semestinya berdasarkan berat sapi hidup dengan menyediakan timbangan ternak di sentra sapi atau di pasar hewan. Kepastian harga bagi peternak dan pedagang akan terjadi.

(30)

berdaya saing, baik dari sisi keunggulan komparatif di pasar internasional maupun indikator lain, seperti potensi produksi; market share; nilai tambah bisnis; nilai tambah teknis; keterkaitan dengan sektor lain; potensi permintaan; dan lokasi penyebaran. Berdasarkan indikator tersebut ada beberapa komoditas yang dijadikan unggulan yaitu: kelapa sawit, karet, kakao, rotan, dan rumput laut.

Pengembangan agroindustri sangat strategis dan mampu menggerakkan sektor lain, namun pengembangan komoditas unggulan tersebut masih banyak tantangan. Berbagai permasalahan seperti minimnya insentif bagi pengembangan industri padat tenaga kerja; hambatan regulasi; ekonomi biaya tinggi; suku bunga kredit investasi yang masih cukup tinggi; dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim dan jauh dari memadai; hingga perkembangan teknologi pengolahan yang lamban merupakan beberapa masalah utama yang menghambat peningkatan daya saing agroindustri melalui hilirisasi (Anonymous, 2012). Berbagai masalah di atas secara bertahap dan serius perlu diselesaikan. Hal pertama yang perlu dibenahi adalah menyiapkan SDM yang akan terjun di bidang agroindustri. Karena itu, sangat penting untuk menguatkan kompetensi lulusan agroindustri, khususnya dari perguruan tinggi penyelenggara agroindustri. Kerjasama dari perguruan tinggi, pengusaha agroindustri, dan asosiasi profesi sangat diperlukan untuk mendukung perekonomian Indonesia yang berbasis agroindustri.

C. PENTINGNYA ASOSIASI PROFESI

Di Indonesia keberadaan asosiasi profesi agroindustri yang mampu mengakomodir kebutuhan alumni TIP ada 2, yaitu Asosiasi Agroindustri Indonesia (AGRIN) dan Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA) yang masih relatif baru, APTA dideklarasikan pada tahun 2010, namun demikian perkembangannya sangat menggembirakan karena telah mampu memfasilitasi alumni dari 13 perguruan tinggi dengan anggota 445 orang di Indonesia, dan sekitar 135 program studi terkait dengan agroindustri. Asosiasi tersebut secara proaktif telah melakukan koordinasi dengan anggota selama ini, namun demikian masih diperlukan upaya peningkatan kerjasama yang lebih luas dengan kalangan agroindustri dan pemerintah. Untuk masa mendatang yang tidak kalah penting juga adalah konsep pengembangan pendidikan technopreneurship di perguruan tinggi, konsep pendidikan technopreneur di PT diharapkan mampu menambah kinerja agroindustri khususnya di sektor hilir, sehingga pertumbuhan produk turunan agroindustri semakin banyak dan mampu memberikan nilai tambah serta kontribusi yang tinggi terhadap devisa negara.

Disisi lain untuk mempersiapkan lulusan atau tenaga kerja yang mampu bersaing dengan lulusan luar negeri terutama dari negara-negara yang telah berhasil memasuki dunia industri, diperlukan penguasaan kompetensi yang sesuai dan skill yang memadai, serta kemampuan komunikasi internasional. Permasalahan yang dihadapi oleh perguruan tinggi di Indonesia adalah selain jumlah Program Studi Agroindustri sangat sedikit, juga peran asosiasi profesi yang dinilai belum maksimal dalam memberikan masukan untuk membangun kurikulum yang diharapkan.

Berkenaan dengan hal tersebut diperlukan peran aktif antara 2 asosiasi profesi agroindustri, yaitu Agrin dan Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (AFTA) untuk selalu berkoordinasi dengan perguruaan tinggi yang memiliki PS Teknologi Agroindustri, peran serta asosiasi mempunyai muatan strategis untuk mengkomunikasikan standar-standar kompetensi yang diperlukan oleh dunia agroindustri yang semakin waktu semakin berkembang di era persaingan global saat sekarang. Disisi lain peran serta asosiasi profesi juga sangat diperlukan untuk membangun standar kompetensi lulusan, dengan cara melakukan sertifikasi profesi agroindustri, seperti halnya asosiasi profesi yang lain Persatuan Insinyur Indonesia (PII).

(31)

dapat membantu perbaikan kurikulum untuk memperbaiki kualitas tenaga agroindustri di sektor hulu dan hilir sehingga memacu pertumbuhan agroindustri di Indonesia.

Pada level standarisasi pendidikan kejuruan diarahkan pada penguasaan teknologi agroindustri yang mengarah pada ketepatan sasaran dengan tingkat penanganan bahan pascapanen pada tahap awal sehingga teknologi yang dikuasai diarahkan pada skala tekologi tepat guna (TTG) atau teknologi madya, sedangkan untuk tenaga operator indutri hilir harus menguasai teknologi yang mengarah ke presisi atau moderen untuk mampu menghasilkan produk agroindustri yang berstandar internasional.

D.

KERJASAMA

PERGURUAN

TINGGI,

ASOSIASI

PROFESI

DAN

AGROINDUSTRI

Beberapa kebutuhan yang dirasa penting untuk meningkatkan kompetensi pendidikan agroindustri adalah pemahaman tentang Kerangka Kompetensi Nasional Indonesia (KKNI), serta kebutuhan keahlian dan ketrampilan riil yang dibutuhkan oleh dunia agroindustri Indonesia untuk mampu bersaing dengan agroindustri luar negeri. Dengan mengadaan kegiatan dialog tripartet antara PT, asosiasi profesi dan pelaku industri maka kompetensi pendidikan agroindustri dapat dicapai, sehingga dapat dihasilkan lulusan yang benar-benar mampu bersaing dengan lulusan luar negeri.

Berbagai kerjasama yang dapat dibangun untuk keperluan penyusunan kompetensi kurikulum berfokus pada technopreneurship diantaranya adalah : pelaksanaan kuliah tamu agroindustri, studi lapang, tempat pemagangan praktek kerja lapang (PKL), penelitian Skripsi berbasis kebutuhan industri dll. Kegiatan tersebut akan dapat mempercerat komunikasi antar perguruan tinggi, asosiasi profesi dan kalangan aagroindustri. Dampak yang diharapkan dari komunikasi intensif tersebut adalah pesatnya pertumbuhan sektor agroindustri yang diharapkan mampu mengoptimalkan perannya dalam pembangunan nasional.

Tidak mudah untuk dapat menyatukan berbagai kepentingan dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, namun demikian apabila peran alumni yang bekerja di sektor agroindustri bila dikelola dengan baik diharapkan akan dapat memberikan kontribusi yang kita harapkan terhadap perbaikan kurikulum di masa mendatang. Selain hal tersebut yang bisa dilakukan adalah meningkatkan frekuensi koordinasi Forum Komunikasi Teknologi Pertanian Indonesia (FK-TPI), yang diharapkan mampu mengakomodir berbagai isu-isu strategis dari berbagai PS yang terkait dengan agroindustri yang ada di seluruh PTN/PTS di Indonesia, dengan forum tersebut diharapkan peran serta PS TIP terhadap perkembangan agroindustri dapat tercapai.

E. KURIKULUM BERBASIS INOVASI DAN PELUANG BISNIS

Dalam pengembangan kurikulum yang mampu menjawab tantangan jaman adalah kurikulum yang difokuskan pada upaya inovasi dan eksplorasi peluang bisnis yang berbasis pada kondisi di Indonesia. Menurut Purba (2009), dalam hal inovasi Indonesia menduduki urutan ke 24, di atas Kanada (27), Italia (31), Eslandia (32), Spanyol (57), Hongkong (29), Cina (30) dan India (41).

Walaupun kemampuan inovasi Indonesia tinggi akan tetapi perolehan hak paten tidak melebihi dari 5%, sementara sisanya sebanyak 95% merupakan paten asing. Dari data tersebut menunjukkan bahwa minat peneliti Indonesia untuk mematenkan hak cipta inovasinya masih relatif rendah, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah 1) banyaknya paten yang telah diperoleh akan tetapi tidak laku, atau 2) paten yang dihasilkan belum siap dikomersialkan, karena penelitian masih pada tarap percobaaan laboratorium belum pada skala ganda atau pilot plant sehingga gambaran kelayakan produksi belum muncul, 3) Sebagian besar perguruan tinggi masih berorientasi pada teaching university, sehingga dalam pembimbingan tugas akhir sebagian besar materi berorientasi pada latihan analisis bukan pada inovasi atau perancangan produk yang potensi industri tinggi.

(32)

tinggi, oleh karena itu upaya melibatkan kalangan pelaku agroindustri menjadi dosen tamu diperguruan tinggi mutlak dibutuhkan. Disisi lain, agar penelitian siap dikomersialkan harus ada upaya menindaklanjuti penelitian dari skala laboratorium menuju ke skala pilot plant atau skala industri, dengan upaya tersebut diharapkan penelitian di perguruan tinggi mampu menjawab kebutuhan dinamika yang ada di indutrisaat kini dan mendatang.

Pada saat sekarang telah ada beberapa perguruan tinggi yang berupaya untuk melakukan revitalisasi kearah pendidikan technopreneur, diantaranya adalah Universitas Brawijaya dan Institut Pertanian Bogor. Universitas Brawijaya memasukkan substansi technopreneurship kedalam misi universitas sebagai berikut : menyelenggarakan pendidikan agar peserta didik menjadi manusia yang berkualitas, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa emtrepreneur, berwawasan luas, memiliki disiplin dan etos kerja, sehingga menjadi tenaga akademis dan profesional yang tangguh dan mampu bersaing di tingkat internasional. Lebih lanjut untuk implementasi di tingkat jurusan, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UB mempunyai visi : menjadi pusat pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat dalam bidang ilmu dan teknologi agroindustri yang unggul dan berwawasan technopreneur di tingkat nasional dan internasional, dan misi : melaksanakan pendidikan, penelitian, pengabdianmasyarakat danpenyebarluasan ilmu dan teknologi agroindustri guna menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian dan kemampuan untuk menjalankan tugas secara profesional, serta bersikap mental technopreneur, berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, bermoral tinggi, dan berkepribadian Indonesia.

Dalam rangka implementasi visi dan misi tersebut, Universitas Brawijaya telah menetapkan muatan mata kuliah wajib Kewirausahaan, sedangkan di FTP kewirausahaan menjadi mata kuliah wajib dengan nama yang berbeda-beda disetiap jurusan. Di Jurusan TIP menjadi Kewirausuhaan Agroindustri (TPI 4224) dengan bobot SKS 3 (3-0) dan dilanjutkan dengan Praktikum Terpadu Pengembangan Agroindustri (SKS 3), di Jurusan THP Kewirausahaan Pangan (TPP 4214) dengan bobot SKS 3 dan dilanjutkan dengan Praktikum Kewirausahaan Pangan (TPP 4215) dengan bobot SKS 2, sedangkan di Jurusan TEP menjadi Kewirausahaan Agroindustri (TPE 4213) dengan obbot SKS 3 (2-1).

Beberapa program technopreneur yang telah lama dikembangkan oleh Dikti bekerjasama dengan RAMP (Recognition and Monitoring Programe) IPB, pada saat sekarang memberikan Hibah Proyek Pengembangan Kurikulum Berbasis Technopreneurship pada 7 Perguruan Tinggi, diantaranya adalah Jurusan Teknologi Industri Pertanian UB. RAMP mencoba membangun atmosfir technopreneurship di perguruan tinggi melalui beberapa metode, antara lain : perbaikan kurikulum technopreneurship, pendampingan mahasiswa dalam pengembanganinovasi kewirausahaan.

Dari berbagai konsep pemberdayaan kurikulum untuk meningkatkan kemampuan technopreneurship lulusan perguruan tinggi kita dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain: a) muatan SKS materi technopreneurship, b) fasilitas laboratorium untuk technopreneurship, c) lembaga pendukung untuk inkubasi bisnis, d) Perusahaan/ industri yang mau digunakan magang kewirausahaan, serta e) Kebutuhan mentor technopreneurship.

a) SKS mata kuliah

(33)

dikelola PD-3. Tujuan dari pembentukan lembaga adalah untuk memfasilitasi kegiatan kewirausahaan mahasiswa, khususnya bagi program yang tidak dibiayai oleh Dikti, akan tetapi didanai oleh fakultas secara simultan.

b) Fasilititas laboratorium technopreneurship

Laboratorium yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan technopreneurship adalah laboratorium yang sekaligus dapat digunakan untuk menghitung biaya produksi, oleh sebab itu Lab. Pilot Plant mutlak diperlukan untuk mendukung pendidikan tersebut. Bilamana jumlah pilot plant yang ada dikampus tidak mencukupi, alternatif solusi yang dapat dimunculkan adalah penggunaan UKM sebagai Laboratorium Lapang, yang diharapkan mampu membantu kegiatan mahasiswa dalam penelitian yang berorientasi pada technopreneurship.

c) Lembaga pendukung technopreneurship

Keberadaan lembaga pendukung untuk technopreneurship di perguruan tinggi tidaklah banyak, oleh sebab diperlukan upaya membuat UPT yang benar-benar mampu melakukan bisnis industri. Lembaga pendukung tersebut bisa berada di dalam kampus maupun di luar kampus, namun demikian permasalahan yang timbul adalah mengelola bisnis industri dibutuhkan personal yang profesional, dan hal tersebut tidaklah mudah dirangkap oleh tenaga pendidik (dosen). Di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian UB telah dibentuk Baking School, yang pada tahap selanjutnya berkembang menjadi Food Production and Training Centre (FPTC), sementara di jurusan TIP UB dibentuk Agroindustrial Business and Technopreneurship Centre (ABEC). Pengalaman berharga yang bisa diambil dari penyelenggaraan lembaga tersebut adalah kinerja dosen kurang optimal akibat keterbatasan pengalaman dan waktu yang tersita untuk perkualiahan dan pembimbingan, apalagi bagi yang aktif di penelitian dan pengabdian masyarakat. Alternatif solusinya adalah mengangkat profesional bisnis dan industri untuk mengelola Unit Bisnis milik perguruan tinggi.

d) Perusahaan/ industri untuk magang

Proses pemagangan memegang peran penting dalam pendidikan yang berorientasi technopreneurship, karena dengan adanya kegiatan tersebut mahasiswa akan mampu memahami bisnis dan industri riil dari berbagai aspek sistem produksi, mulai dari penanganan bahan, proses produksi, distribusi dan pemasaran secara menyeluruh. Namun demikian tidak mudah mencari perusahaan yang mau diajak sharing membantu pendidikan tersebut, dengan pertimbangan mengganggu siklus kerja serta alasan jurusan yang tidak memiliki cukup biaya pembimbingan untuk instansi luar. Solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah merangkul alumni yang telah sukses untuk dilibatkan sebagai dosen tamu, tempat magang PKL dan juga tempat pelaksanaan skripsi berbasis bisnis dan industri.

e) Mentor technopreneurship

Dalam sistem pendidikan technopreneur kecukupan mentor sangat dibutuhkan, baik dari aspek kemampuan/ pengalaman berwirausaha maupun jumlah mentor yang cukup dengan semakin banyaknya mahasiswa. Permasalahan yang dihadapi dalam mendapatkan mentor hampir sama dengan industri tempat magang, oleh sebab itu pendekatan hubungan dengan alumni yang telah sukses sangat dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya pendidikan berbasis technopreneurship.

PENUTUP

Dari paparan di atas dapat dikerucutkan beberapa masalah mendasar untuk membangun agroindustri di Indonesia, diantaranya adalah:

(34)

 Rendahnya ketersediaan SDM yang berkualitas, terampil, mampu menerapkan teknologi dan manajemen produksi di bidang agroindustri.

 Perbaikan kualitas SDM dapat dilakukan dengan kajian ulang sistem pendidikan agroindustri di perguruan tinggi Indonesia, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.

 Lemahnya penguasaan agroindustri di Indonesia selain disebabkan oleh sistem perkualiahan yang mengandalkan teaching oriented, juga akibat kurangnya substansi technopreneurship pada kurikulum sehingga kemampuan lulusan kurang dalam melakukan job creation di bidang agroindustri.

 Untuk mendapatkan kurikulum sesuai dengan keinginan tersebut diperlukan triple helix antara perguruan tinggi, asosiasi profesi dan kalangan agroindustri, sehingga dihasilkan kurikulum agroindustri yang mengacu pada KKNI dan berbasis kompetensi.

Berbagai perbaikan di atas diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing di kawasan Asean khususnya dan Asia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

ANONYMOUS. 2013. ASEAN LOGISTICS INTEGRATION 2013: SYNERGISE NATIONAL

LOGISTICS COMPANIES. DAPAT DIAKSES

HTTP://WWW.INDII.CO.ID/NEWS_DAILY_DETAIL.PHP?ID=2188

Anonymous. 2011. Outlook Industri 2012. Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri. Kementerian Perindustrian RI.

Purba, A Zen Umar, 2013. Daya Saing, Inovasi dan Paten. Kompas, 25 September 2013, halaman 6.

(35)
(36)

APLIKASI MICROWAVE RUMAH TANGGA UNTUK MENJAGA KUALITAS BERAS MISKIN DARI KERUSAKAN AKIBAT KUTU BERAS (SITOPHILLUS ORYZAE)

APPLICATION OF HOUSEHOLD MICROWAVE HEAT TREATMENT FOR MAINTAINING THE QUALITY OF RASKIN FROM DETERIORATION CAUSED BY RICE WEEVIL

(SITOPHILLUS ORYZAE)

Anggoro Cahyo Sukartiko1, Wahyu Supartono1, Ashari Priyanto1, dan Yessi Setyaningrum1

1)

Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Jl Flora 1 Bulaksumur Yogyakarta 55281 Korespondensi Email:

cahyos@ugm.ac.id

ABSTRACT

Raskin is a kind of rice, which is distributed by the Indonesian government, for the poor people. Due to its relatively long storage under suboptimal condition, the rice may not free from rice weevil (Sitophillus oryzae), which can cause damage and deterioration such as cracking and discoloration. Efforts to control the pest during storage, both biologically and chemically is effective enough. However, it is believed that the both efforts, especially the chemical effort, may have risks, either for the safety of the food (rice) or the deterioration of its quality. Alternatively, dielectric heat treatment using microwave on the rice, alleged to be effective in controlling Sitophillus oryzae with minimum deterioration on its quality. Therefore, application of the treatment, especially using household microwave on raskin, requires an investigation in order to solve such kind of agroindustrial-existing problem in the community. The study aims to determine the mortality rate of Sitophillus oryzae (egg, pupa and adult stages) at various times of heat treatment that was applied to raskin sample, and to investigate the effect of the treatment on the color and hardness of the samples. To achieve the objectives, various heating time, in the range 1 to 3 minutes, were applied on 250 g sample. Mortality of eggs, pupae and adult weevils were determined on the 7th day, 21st day and 35th day, respectively, according to their growth stages. Raskin color and hardness was measured before and after heat treatment to find out the effect of the treatment. Color parameters were measured using chromameter (Konica Minolta CR-410) while the parameters of hardness was measured using universal testing machine (EZ Test Shimadzu). The results showed that the heat treatment for 1 to 2 min resulted in a mortality rate of 97% and 100%, respectively in the sample (egg, pupa and adult). On those heating time, raskin had a lower decrease of its hardness and a brighter color but slightly more yellow, when compared with control.

Keywords: raskin, microwave, rice weevil mortality, color, hardness

PENDAHULUAN

Raskin merupakan beras yang ditujukan pada golongan masyarakat tidak mampu di Indonesia. Pemberiannya merupakan implementasi kebijakan pemerintah dalam mengurangi beban masyarakat golongan tersebut. Temuan di lapangan, yang dipublikasikan oleh berbagai media cetak dan televise, menunjukkan keluhan masyarakat penerima akan kualitas raskin yang diterima, seperti bau apek, warna kusam kekuningan, dan mengandung kutu.

Kutu beras (Sitophillus oryzae) merupakan serangga yang mampu meletakkan telurnya pada bulir beras, merusak dan memakan isi bulir beras,

mengakibatkan penurunan kualitas beras, dan mengakibatkan susut beras sampai dengan 20% pada penyimpanan selama 4 bulan (Subedi, Thapa, & Rijal, 2009). Sementara itu, Mulyati dan Sukartiko (2010) melaporkan kenaikan kutu beras yang berlipat setelah penyimpanan 2 sampai 4 minggu pada raskin yang dibagikan di 14 kecamatan di wilayah Kota Yogyakarta. Upaya pengendalian telah dilakukan, baik secara kimiawi maupun biologis. Upaya pengendalian tersebut walaupun efektif, khususnya secara kimiawi, namun mempunyai risiko pada keamanan dan penurunan kualitas beras.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk Negara-negara ASEAN 2011
Tabel 2. Pendapatan Perkapita Negara-Negara ASEAN 2011
Tabel 4. Posisi Indonesia dari Perspektif Kinerja Logistik
Gambar 2. Warna raskin sebelum dan            sesudah penyimpanan
+7

Referensi

Dokumen terkait