• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Sumber-sumber tersebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Sumber-sumber tersebut"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penulisan karya ilmiah ini peneliti menguraikan beberapa literatur yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Sumber-sumber tersebut digunakan sebagai landasan pemikiran untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan yang berhubungan dengan “Perkembangan Kesenian Badawang di Rancaekek tahun 1972-2000”. Tinjauan pustaka dikembangkan melalui penelaahan terhadap sumber-sumber buku dan artikel secara mendalam.

Pemaparan tinjauan pustaka dibagi kedalam tiga sub bab berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Pertama, Seni dan Seni Pertunjukkan, dalam sub bab ini membahas pengertian seni menurut para ahli, hakikat seni, dan jenis-jenis kesenian. Dari sini kita bisa mengetahui kesenian Badawang termasuk kedalam jenis kesenian yang mana. Kedua, Perkembangan Kesenian Tradisional, dalam sub bab ini membahas perkembangan seni tradisional, perubahan masyarakat, dan dampak atau pengaruh dari perubahan masyarakat terhadap kesenian tradisional. Dalam bab ini membahas bagaimana perkembangan kesenian Badawang yang dipengaruhi pula oleh perkembangan masyarakat sekitarnya, kendala apa saja yang dihadapi oleh masyarakat Rancaekek untuk mempertahankan kesenian Badawang agar tidak mengalami kepunahan. Ketiga, Seniman, dalam sub bab ini dibahas mengenai peranan seniman dalam perkembangan kesenian Badawang. Keempat, Masalah Globalisasi dan Adaptasi Budaya, dalam bagian ini membahas bagaimana pengaruh globalisasi terhadap kesenian tradisional, disini juga

(2)

membahas bagaimana perubahan yang terjadi pada masyarakat karena pengaruh globalisasi, semakin menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian tradisional, dan juga upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memelihara kesenian tradisional agar tetap bertahan di era globalisasi. Berdasarkan hal tersebut dapat dikaji bagaimana upaya yang dilakukan oleh masyarakat Rancaekek untuk melestarikan kesenian Badawang di tengah derasnya arus globalisasi atau kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat agar bisa beradaptasi dan tetap diminati oleh masyarakat.

2.1 Seni dan Seni Pertunjukkan

Seni merupakan ungkapan kreativitas manusia yang dituangkan dalam bentuk hasil karya yang indah dan bernilai. Seni juga dapat digolongkan kedalam beberapa jenis. Dalam sub bab ini penulis mengkaji beberapa literatur yang membahas tentang seni dan seni pertunjukkan antara lain adalah buku yang ditulis oleh Jakob Soemardjo yang berjudul Filsafat Seni (2000). Buku ini menjelaskan tentang hakikat seni dilihat dari segi ilmu filsafat yang satu aspeknya tidak dapat dipisahkan dari aspek lainnya. Untuk menjelaskan kreasi, perlu disinggung ekspresi dan bentuknya begitu pun sebaliknya. Dalam buku ini disebutkan bahwa seni merupakan suatu wujud yang terinderakan atau yang biasa dirasakan oleh panca indera. Karya seni merupakan sebuah benda atau artefak yang dapat dilihat, didengar atau dilihat sekaligus didengar (visual, audio, dan audio-visual) seperti lukisan, musik dan teater. Tetapi yang disebut seni itu sendiri berada diluar benda

(3)

seni, sebab benda seni itu merupakan bagian dari nilai. Apa yang disebut indah, baik, adil, sederhana dan bahagia itu adalah nilai.

Soemardjo mengutip beberapa pendapat ahli tentang pengertian seni yang antara lain:

a. Seni menurut Clive Bell, menurutnya semua sistem estetik dimulai dari pengalaman pribadi subjek tentang terjadinya emosi yang khas. Kalau seorang menatap sebuah karya seni (Bell hanya mau berbicara tentang seni lukis) dalam dirinya akan timbul suatu perasaan atau emosi yang khas, yang tidak sama dengan perasaan sehari-hari kita seperti marah, sedih, gembira dan lain-lain.

b. Seni menurut Leo Tolstoi, seni tidak dapat dilihat hanya pada segi memberikan kesenangan berupa keindahan, setiap orang mempunyai selera sendiri terhadap sesuatu yang disebut indah dan memberikan kepuasan serta kesenangan pada dirinya. Seni adalah ungkapan perasaan seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakannya. Tolstoi memandang seni lebih dari segi seniman, yakni ekspresi perasaan seniman.

c. Seni menurut Susanne K. Langer menyebutkan adanya tiga prinsip seni yakni ekspresi, kreasi dan bentuk seni.

1) Prinsip ekspresi berlaku untuk semua golongan seni yaitu seni musik, seni sastra, seni rupa, seni teater, seni film, seni tari dan lain-lain. Prinsip ini harus diterjemahkan dan disesuaikan dengan bentuk

(4)

seniyang dipeliharanya, disini orang mulai berbicara soal material seni dan teknik seni yang jelas berbeda-beda bagi setiap bentuk seni.

2) Prinsip kreasi, sesuatu yang tercipta berarti terwujud, yang tadinya tak ada menjadi ada. Tentu saja seniman harus menciptakan wujud seni berdasarkan material yang tak mungkin diciptakannya sendiri.

3) Prinsip bentuk dalam seni adalah pengertian abstrak, yakni struktur, artikulasi, hasil menyeluruh dari hubungan berbagai faktor yang saling berhubungan, atau lebih tepatnya cara terkaitnya berbagai aspek secara keseluruhan. Dalam hal bentuk seni ini dapat dikatakan sesuatu yang menyangkut nilai, bentuk seni yang hidup, dinamis, organis, berstruktur logis, yang penuh vitalitas gerak dalam dirinya, merupakan karya seni yang lebih berhasil daripada bentuk yang mati dalam kebekuan strukturnya.

Berdasarkan beberapa uraian tentang seni tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa seni merupakan hasil kreatifitas seseorang maupun kelompok sebagai ungkapan dari apa yang dialami maupun dipikirkan olehnya melalui sebuah hasil karya, baik yang berupa benda atau abstrak. Buku ini digunakan sebagai patokan atau dasar untuk memahami konsep seni lebih dalam, agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran atau pemahaman tentang seni. Dari pengertian tersebut dapat kita katakan bahwa Badawang merupakan hasil kreatifitas seseorang atau sekelompok orang yang diungkapkan melalui sebuah hasil karya dan dipertunjukkan kepada masyarakat.

(5)

Pembagian kesenian yang ada dan berkembang di Indonesia dibahas dalam buku yang berjudul Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan karya Rohidi (2000). Buku ini membahas tentang hubungan antara kesenian dan kebudayaan kontemporer serta pembagian kesenian yang ada dan berkembang di Indonesia. Pada pembahasannya Rohidi memaparkan tiga jenis kesenian yang terdapat di Indonesia yaitu:

1) Kesenian yang bersifat lokal atau tradisional, kesenian ini hidup di kalangan suku bangsa tertentu yang kerap kali menjadi bagian dari kehidupan diantara sesama warga masyarakat. Dikatakan juga bahwa kesenian lokal dapat menyerap nilai-nilai kebudayaan lain sehingga menjadi bagian dari kehidupan berkeseniannya serta diwariskan ke generasi berikutnya.

2) Kesenian umum, kesenian ini hidup dalam pergaulan seni di tempat umum dalam pergaulan masyarakat yang berbeda latar belakang sosialnya. Kesenian umum berlaku dalam tempat atau ruang lingkup tertentu yang berfungsi untuk menjembatani perbedaan-perbedaan dengan toleransi. Kesenian umum hidup serta berkembang di kalangan masyarakat yang terbuka hubungannya serta hidup pada masyarakat perkotaan yang alternatif untuk berkesenian baik dalam cara, corak, maupun tujuan keterlibatannya sangat luas.

3) Kesenian formal, merupakan kesenian resmi baik dalam tingkat regional maupun nasional yang dipandang sebagai kesenian yang mewakili kesenian regional atau nasional. Kesenian formal umumnya menjadi

(6)

bagian dari pementasan resmi dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi unsur-unsur sistem pemerintahan.

Kontribusi buku ini terhadap pembahasan penulis yaitu bahwa kesenian Badawang jika dilihat dari jenisnya termasuk dalam jenis kesenian lokal tradisional yang mengalami pertumbuhan di masyarakat Rancaekek yang dalam perkembangannya mampu menyerap budaya dari luar sehingga dapat memperkaya seni Badawang baik dari alat-alat, lagu yang dimainkan sampai bentuk pertunjukannya. Selain itu juga menurut penulis kesenian Badawang ini bisa dimasukkan kedalam jenis kesenian formal karena sering dipertunjukkan dalam acara-acara resmi di kecamatan Rancaekek seperti peringatan proklamasi kemerdekaan bahkan kesenian ini pernah dipentaskan juga di istana presiden.

Kajian tentang pengelompokkan seni diungkapkan dalam buku yang berjudul Taksonomi Seni karya Saini (2001), dalam bukunya Saini mengkaji seni dengan melakukan pengelompokkan terlebih dahulu, bahwa seni terdiri atas seni teater, sajak, lukisan serta musik. Seni dapat dipahami jika terlebih dahulu dikaitkan dengan aspek-aspek luar yang mengitarinya seperti penciptanya, penikmatnya serta kritikus dari seni. Langkah-lankah yang ditempuh dalam proses memahami seni Badawang dengan mengaitkannya dengan masyarakat selaku pencipta serta penikmat daei seni Badawang, serta bagaimana proses masyarakat dapat menciptakan sebuah hasil kreasi yang pada akhirnya melekat dalam kehidupan masyarakatnya.

Saini menyajikan pembahasan seni secara utuh ditinjau sebagai seni, hal ini sangat berbeda dengan Arthur dan Sarjono serta Rohidi yang membahas

(7)

kesenian dalam sudut pendekatan yang sama yaitu kebudayaan, dengan fokus bahasan yang dikaji berbeda. Di satu sisi menekankan pada fungsi seni dalam masyarakat yang memiliki nilai serta makna yang tinggi dalam kehidupan manusia. Seni tidak hanya sebagai pengungkapan rasa keindahan manusia saja namun seni dapat membantu manusia dalam menyelamatkan dan mensejahterakan dirinya. Melalui kesenian manusia dapat memahami masalah-masalah dengan kehalusan perasaannya.

Di sisi lain Rohidi menekankan asal mula terbentuknya kesenian, yaitu sebagai serangkaian tata kebiasaan masyarakat yang mengendap dari masa ke masa. Mereka menilai bahwa seni merupakan bagian dari unsur kebudayaan manusia. Dari sini kita bisa mengkaji bagaimana asal mula kesenian Badawang di Rancaekek dan juga kebudayaan atau tradisi yang berkembang dalam masyarakat Rancaekek yang mempengaruhi terhadap kesenian badawang. Penulis mendapat pemahaman bahwa seni memiliki perbedaan dengan ilmu pengetahuan lainnya yang membahas sisi kehidupan secara analitis, sedangkan seni lebih menyoroti sisi kehidupan dengan presentasi melalui sajian-sajian hasil karya manusia.

Kajian lebih mendalam tentang pertumbuhan seni pertunjukkan dibahas dalam buku karya Edy Sedyawati yang berjudul Pertumbuhan Seni Pertunjukkan (1981). Buku ini secara umum merupakan kumpulan artikel yang menggambarkan sejarah seni pertunjukkan Indonesia seperti seni tari, seni teater dan seni musik. Secara khusus Edy Sedyawati menjelaskan tentang seni tradisional yang sesuai dengan tradisi dan mempunyai suatu pola kerangka tertentu. Kesenian yang tidak tradisional tidak terikat kepada suatu kerangka apapun.

(8)

Menurut Edy Sedyawati terdapat sebuah kesulitan untuk membedakan antara seni tradisional dan seni bukan tradisional apabila melihat suatu pertunjukkan yang nyata. Lebih lanjut Edy Sedyawati menjelaskan bahwa untuk menyebutkan suatu pertunjukkan tradisional atau tidak, perlu dibedakan dataran-dataran wilayahnya, apakah yang dimaksud unsur-unsur dasarnya, apakah gumpalan unsur-unsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap atau pola konvensi penyajian atau ketiga-tiganya. Dalam mengembangkan seni tradisional diperlukan upaya kealitatif dan kuanitatif. Upaya kuantitatif adalah mengembangkan seni pertunjukkan Indonesia berarti membesarkan volume penyajiannya, meluaskan wilayah pengenalannya. Sedangkan upaya kualitatif adalah mengolah, memperbaharui wajah dan penampilan kesenian tersebut.

Edy Sedyawati juga memaparkan bahwa pengembangan seni pertunjukkan tradisional selain secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan juga sarana dan prasarana serta karyanya tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Dalam konteksnya seni pertunjukkan Indonesia berangkat dari lingkungan etnik yang berbeda-beda. Dalam lingkungan etnik ini terdapat suatu kesepakatan yang turun temurun mengenai perilaku, wewenang untuk menentukan rebah bangkitnya seni pertunjukkan.

Seni pertunjukkan yang berasala dari lingkungan etnik akan mengalami sebuah perubahan di kota-kota. Apabila kesenian itu dipindah dari lingkungan etnik ke lingkungan kota, maka ia akan mengalami modulasi dalam berbagai hal. Modulasi-modulasi yang pada dasarnya ditimbulkan oleh tata kehidupan kota, pada gilirannya bisa saja menyerbu ke daerah, ke desa dengan suatu tampang

(9)

bahwa itulah ciri-ciri kemodernan. Buku Edy Sedyawati ini merupakan sebuah kajian kesenian yang dipandang dari sudut antropologis dan sosiologis. Kajiannya yang mendalam tentang konsep-konsep seni, sejarah seni pertunjukkan Indonesia, perkembangan seni pertunjukkan tradisional dan pada akhirnya bermuara kepada pelestarian budaya bangsa dibahas secara lugas. Buku ini memberikan gambaran perkembangan seni pertunjukkan Indonesia yang sesuai dengan jiwa zaman (zeitgest).

Dalam bukunya Edy Sedyawati juga mengungkapkan mengenai teori modulasi kesenian yang menyebutkan bahwa seni pertunjukkan yang berasala dari lingkungan tradisional akan lebih mendapatkan perkembangannya justru apabila ditempatkan di daerah perkotaan, dimana terdapat tempat pergelaran kesenian, sistem imbalan jasa, dasar kesepakatan harga sebagai landasan pergelaran kesenian dan kecenderungan pengkhususan dalam memilih bidang kegiatan. Edy sedyawati juga menyebutkan apabila seni pertunjukkan dari lingkungan etnik dipindahkan ke lingkungan perkotaan, maka seni pertunjukkan tersebut akan mengalami modulasi dalam berbagai hal, yakni:

1) Dalam kaitannya dengan tata hidup. Sehubungan dengan kaidah efisiensi yang dianut perkotaan, maka suatu pergelaran seni pertunjukkan hanya diselenggarakan ditempat dan waktu yang ditetapkan atas dasar kemungkinan terbanyak untuk membawakan hasil lebih dari pada atas dasar perhitungan kosmologis.

2) Dalam rasa harmoni. Adanya perubahan persepsi bahwa seni pertunjukkan yang panjang adalah sesuatu yang berlebihan dan tidak mengandung

(10)

harmonisasi atau tidak sesuai dengan kehidupan perkotaan. Suatu pertunjukkan akan dianggap baik dalam masyarakat perkotaan apabila pertunjukkan tersebut mengandung banyak variasi dan tidak membosankan.

Berdasarkan buku dari Edy Sedyawati dapat dikaji bagaimana Badawang sebagai sebuah kesenian tradisional mempunyai pola kerangka tertentu yang terkait dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kesenian Badawang juga mengalami modulasi atau perubahan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar bisa tetap bertahan. Menurut Edy Sedyawati dalam pengembangan seni tradisional diperlukan sarana dan prasarana yang dalam hal ini tidak dimiliki oleh masyarakat Rancaekek sehingga kesenian Badawang sulit untuk berkembang di tengah perubahan masyarakat yang semakin maju.

2.2 Perkembangan Kesenian Tradisional

Pengkajian terkait dengan perkembangan seni tradisi dalam masyarakat serta upaya yang dapat dilakukan dalam pengembangan seni tradisional, penulis dapatkan dari beberapa pengarang. Seni tradisi mengalami pasang surut dalam perkembangannya, di satu masa seperti yang diutarakan oleh Caturwati seni tradisi mengalami masa kemajuannya sebelum tanun 1970-an dimana seni tradisi kerap dikaitkan dengan unsur-unsur ritual, namun setelah tahun 1970-an seni tradisi telah kehilangan unsur ritual, serta mengalami perubahan fungsi sebagai sarana hiburan.

(11)

Dari Caturwati (2004) dan Kuntowijoyo (1987), penulis mendapat gambaran bahwa seni sangat berkaitan erat dengan masyarakat, serta perkembangan seni akan beriringan dengan perkembangan masyarakat, melalui pembahasannya Kuntowijoyo menganalisis dampak perubahan yang terjadi pada masyarakat yaitu dari masyarakat yang bersifat agraris menuju masyarakat industri. “Kebudayaan tradisional pusat-pusatnya terpukul oleh perubahan sosial dan ekonomi mengalami perubahan, budaya tradisional mulai mengabur, selera publik menjadi penyebab dekadensi dan pencemaran kebudayaan” (Kuntowijoyo, 1987: 29). Bahwa perubahan masyarakat agraris menuju industri akan berdampak pada seni tradisional jika tidak disikapi secara baik oleh masyarakat. Dipaparkan pula bebrapa faktor pendukung serta kendala yang dihadapi oleh elemen masyarakat yang ingin mempertahankan seni tradisi yang dimilikinya ditengah arus perubahan kondisi sosial masyarakat. Dari buku tersebut penulis menyoroti seni dengan pendekatan kebudayaan. Seni memiliki peran tertentu dalam masyarakat.

Penulis mendapat pemahaman mengenai beberapa permasalahan yang harus dialami budaya lokal seni tradisional pada khususnya dalam melakukan penyesuaian dengan kondisi masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan, serta upaya dalam menjaga nilai budaya daerah. Selain hal diatas, buku-buku tersebut mengkaji perkembangan masyarakat Indonesia serta perubahan kebudayaannya, membahas bagaimana pengalaman masyarakat Indonesia dalam masa peralihan menuju masyarakat industri, dengan meninggalkan identitas masyarakat tradisional pertanian.

(12)

Dalam perkembangannya kesenian Badawang mengalami pasang surut. Selain itu seiring dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat dan berubahnya minat masyarakat dari kesenian tradisional kepada kesenian yang lebih modern membuat para seniman melakukan perubahan terhadap kesenian Badawang untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat agar bisa tetap dinikmati.

Penelaahan tentang dampak negatif dari perubahan masyarakat dibahas pulah oleh Oemar (1985). Penulis memperoleh upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang ingin menjaga kelestarian seni tradisional. Penuturan solusi tersebut digunakan pula oleh penulis dalam mengkaji upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat Rancaekek yang dalam menyikapi kemunduran seni Badawang. Buku-buku yang telah dipaparkan merupakan sumber rujukan bagi penulis dalam pembahasan seni yang dikaitkan dengan perkembangan masyarakat.

2.3 Seniman

Seniman adalah istilah subyektif yang merujuk kepada seseorang yang kreatif, atau inovatif, atau mahir dalam bidang seni. Penggunaan yang paling kerap adalah untuk menyebut orang-orang yang menciptakan karya seni, seperti lukisan, patung, seni peran, seni tari, sastra, film dan musik. Seniman menggunakan imajinasi dan bakatnya untuk menciptakan karya dengan nilai estetik.

Para Seniman Badawang adalah orang-orang kreatif yang mahir dalam bidang seni khususnya seni Badawang. Dengan imajinasinya para seniman

(13)

Badawang menciptakan dan mengembangkan sebuah kesenian tradisional yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memiliki nilai estetis yang tinggi.

Menurut Tisna Sanjaya seorang seniman yang identik dengan media berupa performance art, di dalam karya seni terkandung nilai-nilai yang mampu menciptakan perubahan, meskipun secara tidak langsung, bahkan karya seni merupakan instrument penting dalam sebuah perubahan kebudayaan. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa seni juga mempunyai nilai penyadaran bagi masyarakat. Seniman adalah intelektual, namun sekaligus orang biasa, seniman boleh bermimpi dan berkhayal namun bersamaan dengan itu dia harus menjejakkan kakinya di bumi.

Di dalam kesenian Badawang terkandung nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat seperti nilai-nilai keagamaan dan juga nilai moral. Para seniman Badawang adalah orang biasa, mereka hidup dan bekerja seperti masyarakat lainnya, namun mereka adalah seorang intelektual di bidang seni. Seniman adalah sosok paket lengkap yang sempurna. Kalau dia seorang seniman Badawang, maka dia akan mendedikasikan hidupnya dalam bidang tersebut.

2.4 Masalah Globalisasi dan Adaptasi Seni Budaya

Tulisan yang membahas tentang kesenian dan hubungannya dengan globalisasi sudah dilakukan oleh beberapa orang. Pertama, dari Arthur S. Salah (1996) yang mengkaji mengenai eksistensi kesenian khususnya seni Sunda yang sedang dihadapkan pada pengaruh globalisasi. Globalisasi ditandai dengan semakin majunya sistem komunikasi dan informasi menjadikan masyarakat lebih

(14)

cenderung meminati jenis hiburan yang ditayangkan oleh stasiun TV, baik itu kesenian tradisional maupun seni yang datangnya dari budaya luar bila dibandingkan dengan hiburan seni pertunjukkan daerah.

Berubahnya minat masyarakat yang lebih memilih jenis kesenian yang ditayang kan oleh media elektronik membuat tugas seniman karawitan Sunda menjadi semakin berat. Para seniman harus membuat konsep garapan yang memperhatikan perkembangan zaman dan selera masyarakat, disamping memperhitungkan tentang keterampilan dan ilmu pengetahuan para penyajinya. Konsep garapan yang kurang mempertimbangkan perkembangan zaman dan selera masyarakat akan kurang memperoleh perhatian dari para penonton secara kuantitatif.

Manusia (seniman) merupakan aspek yang paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan sebuah kesenian dalam bayang-bayang globalisasi. Para seniman harus kreatif dalam menggarap sebuah seni pertunjukkan daerah. Mereka harus tanggap terhadap makna, jiwa serta pesan yang harus disampaikan kepada masyarakat, mereka harus memperhatikan untung ruginya, untuk siapakah, kapan dan dimanakah kesenian tersebut dipentaskan.

Dampak dari globalisasi juga mengakibatkan adanya perpaduan atau penggabungan antara kesenian tradisional dengan unsur seni yang datang dari Barat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan keberadaan kesenian tradisional ditengah derasnya arus budaya global, karena itu dilakukan berbagai inovasi dalam segi musik pengiring, kostum, bentuk Badawang, gerakan atau tarian dan lain-lain.

(15)

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dalam penyajiannya kesenian Badawang dilakukan beberapa perubahan agar lebih menarik dan dapat dinikmati oleh penonton. Dalam hal ini seniman memasukkan beberapa unsur seni modern dalam penyajian kesenian badawang seperti perubahan dalam musik pengiring, bentuk Badawang, gerak tari, serta kostum dari Badawang itu sendiri yang disesuaikan dengan apa yang sedang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian terjadi perpaduan antara kesenian badawang dengan unsur-unsur seni modern dengan tujuan agar kesenian badawang dapat beradaptasi di tengah derasnya arus globalisasi.

Subjek dalam suatu kesenian adalah para seniman, jadi mereka yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan sebuah kesenian ditengah persaingan dengan kesenian yang datang dari luar, yang mampu merubah selera masyarakat. Sedangkan yang menjadi objek adalah penonton, dimana penonton ini memilih seni mana yang sesuai dengan kebutuhannya dan mampu memuaskannya. Pada dasarnya kedua pihak baik itu penonton maupun seniman memiliki kesamaan kebutuhan yaitu kebutuhan psikologis. Pada satu sisi seniman akan merasa senang bila hasil karyanya mendapat sambutan baik dari penonton. Di sisi lain penonton akan merasa senang setelah mereka puas menyaksikan sebuah hasil karya seniman.

Kedua, kajian analitis lainnya datang dari Soedarsono (1991) mengenai pengaruh globalisasi dan modernisasi terhadap seni lokal Indonesia. Menurut Soedarsono globalisasi dalam bidang seni dan budaya semakin menjadi-jadi di Indonesia dan yang paling berperan dalam maslah ini adalah karena semakin

(16)

canggihnya media komunikasi kita, terutama media televisi yang sudah sampai ke desa-desa dengan parabolanya dan masyarakat bisa mengakses berbagai jenis hiburan kapan dan dimana saja.

Menurut Soedarsono (1991: 3), masyarakat Indonesia belum siap menghadapi keadaan seperti ini bahkan mungkin tidak akan pernah siap. Indonesia tidak bisa mengejar bahkan cenderung menghindar dari pengaruh budaya yang dirasa tidak sesuai dengan budayanya. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia belum selesai dalam mengkaji mengenai masa lalu dari seni, sehingga mengakibatkan ketidaktahuan mengenai seluk beluk seni. Akibatnya masyarakat tidak bisa memilih mana yang masih sesuai dengan gaya hidup sekarang dan mana yang sudah harus ditinggalkan. Selain itu, dengan tidak mengetahui seluk beluk budaya warisan, maka kecintaan terhadapnya tidak ada, sedangkan kecintaan tersebut merupakan senjata utama membendung pengaruh dari luar tersebut.

Di dalam budaya Indonesia banyak upacara-upacara adat yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Soedarsono menyebutnya dengan sampah, dimana hal tersebut paling bagus hanya untuk konsumsi turis, sedangkan bagian-bagian didalamnya yang masih bisa dikembangkan tidak mendapat perhatian, hal tersebut oleh Soedarsono disebut mutiara didalam sampah. Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap kesenian tradisioanl diperlukan pengetahuan tentang asal mula kesenian tersebut sehingga dapat berkembang dalam masyarakat. Hal inilah yang tidak diketahui khususnya oleh sebagian besar generasi muda masyarakat Rancaekek sehingga kesenian Badawang sulit berkembang karena kebanyakan

(17)

masyarakat yang masih melestarikan kesenian Badawang di Rancaekek adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah tua.

Pengaruh budaya yang datang dari luar harus dihadapi agar seniman siap untuk bersaing memperebutkan simpati dari penonton sehingga kesenian tradisional khususnya Badawang dapat tetap diminati oleh masyarakat di era globalisasi ini. Penyesuaian terhadap pengaruh budaya yang datang dari luar dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur budaya luar kedalam kesenian tradisional dengan tidak meninggalkan ciri khas dari kesenian tradisional itu sendiri.

Terakhir Soedarsono (1991) mengungkapkan bahwa sebelum terjadi perubahan kondisi yang terlalu jauh, yang diakibatkan oleh derasnya arus modernisasi yaitu adanya krisis nilai. Hal tersebut harus ditanggulangi dengan cara melihat sejauh mana tradisi yang masih relevan dan berlaku bagi masyarakat diupayakan supaya tetap eksis. Melakukan perpaduan sebagai wujud sebuah kreativitas tentunya bukan merupakan sesuatu yang tabu, dengan catatan tidak menghilangkan identitas keetnikannya, dengan tujuan demi menyesuaikan dengan selera masyarakat demi kelangsungan sebuah seni tradisi tersebut.

Tulisan Soedarsono ini seperti kajian sebelumnya berusaha memaparkan faktor yang dominan dari modernisasi dan pengaruhnya terhadap kondisi seni Indonesia secara umum. Soedarsoso juga menjelaskan mengenai kesiapan bangsa Indonesia dalam menghadapi pengaruh modernisasi sehingga diperoleh solusi yang bisa ditempuh guna mempertahankan seni lokal dibawah pengaruh budaya global, hal ini merupakan kelebihan tulisannya. Kekurangan dari kajian ini adalah

(18)

terlalu luas yang berusaha mengkaji dampak modernisasi terhadap seni Indonesia secara umum dan kajian ini tidak menyentuh aspek seniman sebagai ujung tombak dari keberlangsungan sebuah seni lokal yang berperan dalam perubahan atau perkembangan.

Dengan masuknya globalisasi yang menyebabkan kemunduran terhadap berbagai jenis kesenian tradisional termasuk kesenian Badawang, maka untuk dapat bertahan ditengah arus globalisasi, kesenian Badawang harus dapat beradaptasi dengan arus globalisasi. Masuknya arus globalisasi dan modernisasi bukan berarti kita harus menolak semuanya, bahkan kita wajib melakukan modernisasi untuk beradaptasi dengan globalisasi. Pertanyaannya adalah modernisasi seperti apa yang harus dilakukan oleh kesenian Badawang agar bisa bertahan ditengah arus globalisasi?. Kesenian tradisional khususnya kesenian Badawang harus melakukan berbagi inovasi dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang untuk menciptakan kesenian yang menarik bagi masyarakat. Perubahan dan inovasi yang dilakukan kesenian Badawang tentunya dengan tidak menghilangkan esensi dari kesenian itu sendiri sebagai sebuah kesenian tradisional yang mencirikan masyarakat pendukungnya.

Referensi

Dokumen terkait

penggunaan/pemanfaatan, pengolahan dan pemurnian, serta peningkatan nilai tambah utamanya terhadap sumberdaya alam kita khususnya mineral dan batubara tentu membutuhkan

Satu hal yang perlu di pertimbangkan pada saat penerapan multi faktor otentikasi di sebuah organisasi adalah bahwa sistem ini masih memiliki beberapa kelemahan yang

Dari hasil simulasi yang dilakukan dengan object oriented unbalanced 3 phase load flow diperoleh tegangan untuk masing-masing fasa seperti diperlihatkan pada grafik

Adapun hasil yang didapat dari proses tersebut adalah kelas VII-1 MTs PAB 2 Sampali Tahun Pembelajaran 2017-2018 yang berjumlah 35 orang siswa sebagai kelas

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Yesus Kristus Sang Juruselamat karena atas berkat dan kasih karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Bogor dengan Pendekatan Fuzzy. Dibimbing oleh MACHFUD, MARIMIN dan ANI SURYANI. Perusahaan nata de coco semakin banyak berkembang di Kota Bogor. Hal ini mengakibatkan

Analisis ini digunakan dengan tujuan mengetahui hubungan antara kualitas udara fisik (pencahayaan, suhu, kelembaban, dan laju ventilasi), kualitas udara biologi

Rumah sakit dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih, dan memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah sakit, kepuasan muncul dari