• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada zaman modern ini, perkembangan arus globalisasi dunia dan kerjasama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada zaman modern ini, perkembangan arus globalisasi dunia dan kerjasama"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Pada zaman modern ini, perkembangan arus globalisasi dunia dan kerjasama di segala bidang berkembang sangat pesat. Dampak yang dirasakan akibat dari perkembangan tersebut salah satunya adalah di sektor ekonomi. Arah kebijakan bidang ekonomi adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan yang diprioritaskan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, dilakukan antara lain melalui pembangunan dibidang ekonomi.1

Dengan perkembangan yang sangat pesat di sektor ekonomi maka berdampak pada berkembang pesatnya hukum perjanjian dimana masyarakat semakin banyak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan masyarakat lainnya, yang kemudian menimbulkan berbagai macam perjanjian, diantaranya adalah perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan sebagainya.

Penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum perjanjian adalah karena pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam masyarakat modern dan pesatnya transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Pada dasarnya

(2)

suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar.2

Pada umumnya perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam perjanjian, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.3

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.4 Melalui perjanjian maka terciptalah suatu hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian.

2Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal. 1

3 Ibid.

4Suharnoko,Hukum Perjanjian (Teori Analisa dan Kasus), (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.1

(3)

Dalam dunia bisnis sangat penting mewujudkan kesepakatan mengenai suatu transaksi dengan menuangkannya kedalam suatu penjanjian. Banyak manfaat yang bisa didapatkan dari menuangkan isi kesepakatan ke dalam perjanjian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari timbulnya masalah baik pada saat pelaksanaan dari perjanjian tersebut. Sehingga pembuatan suatu perjanjian itu dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian kadang terjadi permasalahan dimana salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian atau disebut juga sebagai wanprestasi. Pihak yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu:

"penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya."

Akan tetapi tidak semua tindakan wanprestasi dapat dituntut ganti kerugian, karena apabila tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak bukan karena kelalaiannya maka pihak tersebut dapat terbebas dari pembayaran ganti kerugian. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata.

Dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan :

(4)

Dan dalam Pasal 1245 KUHPerdata menyebutkan :

"Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang".

Keadaan seperti yang tersebut diatas disebut juga keadaan memaksa (force majeure). Di dalam suatu perjanjian pada umumnya selalu memasukkan klausula mengenai force majeure ini agar para pihak mengerti pembatasan antara kelalaian yang disebabkan oleh para pihak itu sendiri dan kelalaian yang terjadi karena adanya keadaan yang memaksa. Akan tetapi walaupun telah dimasukkan ke dalam suatu perjanjian klausula mengenaiforce majeure ini, tetap saja timbul masalah mengenai sejauh mana dan bagaimana suatu keadaan bisa dimasukkan kedalam keadaan memaksa (force majeure) seperti yang terjadi dalam perkara antara Transenergy Grinding, Inc melawan CV.Borco Utama.

Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/Pdt/2010 diterangkan bahwa Transenergy Grinding, Inc yang berkedudukan di Houston, Texas menganggap CV.Borco Utama yang berkedudukan di Jakarta Selatan tidak mempunyai itikad baik dalam melaksanakan kewajiban yang tertera dalam perjanjian jual beli batu bara yang telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, sehingga Transenergy Grinding, Inc mengalami kerugian yang sangat besar yang disebabkan oleh CV.Borco Utama sehingga kemudian Transenergy Grinding, Inc mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan ganti kerugian. Kemudian kasus ini bergulir panjang dan sampai

(5)

pada tahapan peninjauan kembali yang diajukan oleh CV.Borco Utama kepada Mahkamah Agung.

CV. Borco Utama sebagai pihak yang dianggap melakukan wanprestasi, memakai alasanforce majeure yaitu terjadinya banjir sebagai salah satu alasan untuk melakukan peninjauan kembali sebagai usaha terakhir untuk terlepas dari tanggung jawabnya dalam membayar ganti kerugian. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 587 PK/Pdt/2010 menolak permohonan peninjauan kembali CV.Borco Utama dan juga mendefenisikan batas ruang lingkup klasulaforce majeure banjir yang berbeda dengan batas ruang lingkup klasulaforce majeure yang jelas tertera dalam perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak, dimana menurut Mahkamah Agung, banjir bukan termasuk sebagai force majeure di dalam perkara ini sehingga gugatan tetap dimenangkan oleh Transenergy Grinding, Inc.

Meskipun menurut Mahkamah Agung perbedaan persepsi mengenai pembatasan force majeure dalam kasus ini bukan merupakan alasan untuk permohonan peninjauan kembali, Kasus ini sangat menarik untuk diteliti karena menjadi suatu pertanyaan sebenarnya bagaimana batasan dan penerapan suatu keadaan dapat disebut sebagai keadaan memaksa (force majeure).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul "Analisis Klausula Force Majeure dalam suatu Perjanjian (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/PDT/2010)".

(6)

B. Perumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pentingnya pencantuman klausula keadaan memaksa (force

majeure)dalam suatu perjanjian?

2. Bagaimanakah suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia?

3. Bagaimanakah penerapan klausula keadaan memaksa (force majeure) oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis5. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan pentingnya mencantumkan klausula keadaan memaksa (force majeure)dalam suatu perjanjian.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis suatu keadaan memaksa (force majeure)

yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia.

(7)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan klausula keadaan memaksa (force majeure) oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut:

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan juga mengembangkan Ilmu Hukum Kenotariatan pada umumnya, khususnya hukum perjanjian, serta menambah pengetahuan dan wawasan juga sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya dalam hal klausula mengenai force majeuredalam suatu perjanjian.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

(8)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan objek pembahasan sudah pernah dilakukan oleh program S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara:

1. Edi Santa Sembiring dengan judul skripsi "Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Perusahaan Apabila Terjadi Keadaan Memaksa (Force Majeure) Pada Saat Melaksanakan Pekerjaan Pemborongan (PT. Medan Smart Jaya)".

2. Mansur Sidauruk dengan judul skripsi "Analisis Yuridis Tentang Berlakunya

Force MajeureTerhadap Wanprestasi Dalam Kontrak Leasing".

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara umumnya dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian yang dilakukan peneliti lebih memfokuskan pada analisis klasula keadaan memaksa (force majeure) dalam suatu perjanjian berdasarkan studi kasus pada putusan Mahkamah Agung, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul, permasalahan serta metode penelitian belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan.

Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila ternyata dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari penelitian yang sudah ada sebelumnya.

(9)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.6

M.Solly Lubis menyatakan konsep teori merupakan:

"Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti".7

Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut di atas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang Analisis klausula Force Majeure dalam suatu perjanjian (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/PDT/2010), dalam ilmu hukum dikenal adanya 2 (dua) macam ajaran atau teori yang berkaitan dengan force majeure, yakni ajaran atau Teori Ketidakmungkinan, dan Teori Ajaran Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).

Teori Ketidakmungkinan, dan Teori Ajaran Penghapusan atau Peniadaan Kesalahan (afwesigheid van schuld) ini dijadikan acuan dalam penelitian ini sebagai

(10)

tolak ukur menganalisis klausula force majeure dengan permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:8

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi; c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Menurut J.Satrio di dalam Teori Ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1) Ketidakmungkinan dalam keadaan memaksa yang subjektif; 2) Ketidakmungkinan dalam keadaan memaksa yang objektif.9

8Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal.121.

(11)

Ajaran keadaan memaksa yang subjektif diartikan bahwa tidak di penuhinya prestasi oleh debitur sifatnya relatif. Artinya barangkali hanya pihak debitur sendiri yang tidak dapat memenuhi prestasi, sedangkan bila orang lain yang mengalami peristiwa dimaksud ada kemungkinan orang tersebut dapat memenuhi prestasinya. Sehingga untuk ajaran keadaan memaksa yang subjektif atau relatif ini dapat pula dikatakan sebagai “difficultas”. Pada keadaan memaksa yang subjektif ini, perikatan atau perjanjian tersebut tidak berarti menjadi batal, akan tetapi hanya berhenti berlakunya untuk sementara waktu. Apabila keadaan memaksa tersebut sudah tidak ada, maka perikatan atau perjanjian tersebut berlaku kembali.10Jadi teori subjektif ini memperhatikan pribadi daripada debitur pada waktu terjadinya overmacht, misalnya kesehatan, kemampuan keuangan debitur, dan lain-lain.

Teori subjektif yang bersifat relatif disamakan dengan ini Inspanning theory/ teori upaya. Teori Upaya yang dikemukakan oleh Houwing yaitu jika debitur telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan ukuran yang wajar dalam masyarakat, maka tidak dipenuhi prestasinya dan ia tidak dapat dipersalahkan.11

Kemudian dalam teori keadaan memaksa yang objektif, debitur baru bisa mengemukakan adanyaovermachtkalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya). Disini ketidak mungkinan berprestasi bersifat absolut, siapun tak bisa. Kalau setiap orang tak bisa, maka hal itu

(12)

berarti ketidakmungkinan untuk memberikan prestasi di sini bersifat mutlak (permanen).12

Teori atau ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheidvan schuld), berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau

overmachtpeniadaan kesalahan. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh atau bisa dipertanggung jawabkan.13

Teori-teori yang disebutkan diatas dipandang tepat untuk menganalisis rumusan permasalahan karena tidak ada pengaturan secara umum dalam perundang-undangan mengenai keadaan memaksa (force majeure) sehingga teori-teori diatas dijadikan tolak ukur dalam dalam menetapkan suatu keadaan memaksa (force majeure), yang mana dalam penelitian ini untuk menganalisis bagaimana suatu peristiwa banjir dapat didefenisikan sebagai keadaan memaksa (force majeure).

2. Kerangka Konsepsi

Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan relitas.14

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.15Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali

12J.Satrio,op.cit, hal.254. 13

M.Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986),hal.84. 14Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34. 15Sumadi Suryabrata,Metodologi Penelitian, (Jakarta:Raja Grafindo, 1998), hal.3.

(13)

bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.16

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa konsepsi dan pengertian dari istilah yang digunakan sebagaimana yang terdapat di bawah ini:

a. Perjanjian

Pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal17.

Hal ini sesuai dengan pengertian perjanjian yang diatur dalam buku ketiga tentang perikatan. Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.18

b. Klausula

Klausula (clause) dalam suatu perjanjian adalah kalimat atau bagian dari kalimat yang merupakan bagian dari substansi dokumen hukum tertulis yang tercantum dalam suatu pasal, atau ketentuan terpisah dari pasal atau ketentuan lain.

(14)

c. Prestasi

Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.19

d. Wanprestasi

Wanprestasi, artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perikatan atau perjanjian.20

e. Force majeure

Black’s Law Dictionary, 2nd Pocket Edition, defines Force Majeure as “An event or effect that can be neither anticipated nor controlled. The term includes both acts of nature (e.g., floods and hurricanes) and acts of people (e.g., riots, strikes, and wars).”21(Suatu peristiwa yang tidak dapat diantisipasi maupun dikontrol. Termasuk kejadian alam maupun tindakan manusia).

Force majeure merupakan istilah yang sama dengan overmacht dan juga keadaan yang memaksa.

f. Kerugian

19Munir Fuady,Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 87.

20Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hal.99.

21

Ari Brumer, Force Majeure – A Trap to Avoid in a Data Center Contract, diakses dari http://datacentermarketplace.com/portals/11/documents/force_majeure_article.pdf, pada tanggal 18 Juli 2012.

(15)

Pengertian kerugian adalah penurunan nilai benda atau barang, atau biaya tambahan yang perlu dikeluarkan, atau kehilangan peluang untuk melakukan sesuatu aktifitas yang bernilai ekonomis.22

g. Ganti Rugi

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perjanjiannya tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya (Pasal 1243 KUH Perdata). Dengan demikian pada dasarnya, ganti-kerugian itu adalah ganti-kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi.23

h. Banjir

Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan yang mana diakibatkan oleh volume air di suatu badan air seperti sungai atau danau yang meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan alaminya.24

G. Metode Penelitian

Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna

22Heni Suhaeni, Kerugian Sosial Pendudukan Kawasan Pemukiman Pantai, diakses dari http://sim.nilim.go.jp/GE/SEMI3/PROSIDING/11-HEN.docpada tanggal 16 Pebruari 2012.

(16)

terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.25

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala-gejala yang bersangkutan.26

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya yang relevan dengan perumusan penelitian.27

Sifat penelitian penulisan ini adalah deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimaksudkan berdasarkan gambaran 25Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal.2.

26Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, PenelitianHukum Normatif-suatu tinjauan singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal.1.

27Ibrahim Johni, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), hal.336.

(17)

fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.28

2. Sumber Data

Data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yang terdiri dari :

1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

3) Putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010; 4) Putusan MARI No. 1787K/Pdt/2005

5) Undang-Undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi; 6) Undang-Undangnomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

7) Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian;

8) Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

9) Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

10) Keppres nomor 80 Tahun 2003, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Kepres nomor 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden nomor 32

(18)

Tahun 2005, Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden nomor 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden nomor. 79 Tahun 2006, Peraturan Presiden nomor 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden nomor 95 Tahun 2007 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;

11) Peraturan Bank Indonesia nomor 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat;

12) Peraturan Bank Indonesia nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum;

13) Peraturan Bank Indonesia nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat;

14) Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat;

15) Prinsip UNIDROIT.

b. Bahan Hukum sekunder yang terdiri dari pendapat para ahli yang termuat dalam literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan Hukum Tersier terdiri dari kamus hukum, atau ensiklopedia yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumen untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan

(19)

penelitian yang dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan cara menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar belakang pemikiran tentang klasulaforce majeure.

Pemikiran dan gagasan serta konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan dengan objek penelitian ini, artikel yang termuat dalam bentuk jurnal, makalah ilmiah, ataupun yang termuat dalam data elektronik seperti pada website dan sebagainya maupun dalam bentuk dokumen atau putusan berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif,29 yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.30

Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, yang kemudian akan dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara deduktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

(20)

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.31

Langkah selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut ke dalam satuan-satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Data yang dikategorisasikan, kemudian ditafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara menjadi teori substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif yaitu dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kearah kesimpulan yang lebih bersifat khusus.

H. Sistematika Penulisan

Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang segala hal yang umum dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan konsepsi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang pentingnya pencantuman klausula force majeure

dalam perjanjian yang terdiri dari pelaksanaan suatu perjanjian, force majeure, dan alasan pentingnya pencantuman klausulaforce majeuredalam Perjanjian.

Bab III membahas tentang bagaimana suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia yang terdiri dari unsur-unsur force majeuredi Indonesia, ruang lingkup force majeure di Indonesia, sistem

31Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2002), hal.190

(21)

pembuktian force majeure di Indonesia, dan force majeure dalam sistem common law.

Bab IV membahas tentang penerapan force majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara dengan putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010 yang terdiri dari kasus posisi, pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung, dan analisis kasus.

Bab V merupakan bab yang membahas mengenai kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran terhadap data yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa capital adequacy ratio, non perfoming loan dan loan to depositratio secara

Untuk membatasi permasalahan agar tidak menyimpang terlalu jauh dan dapat dianalisis dengan lebih jelas dan efisien maka penulis akan membatasi pembahasan dari awal

Hasil belajar yang diproleh perserta didik yakni peningkatan hafalan hadist, tentunya tingkatan perserta didik hafalanya berbeda- beda. 100 Daya ingatpun

Dalam upaya pensinergiskan RTRW maka rencana pengembangan pertanian juga mengacu dan mempedomani UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Peserta akan diperiksa tekanan darah 2x, jika masih tinggi akan kami arahkan tunda vaksinasi dan periksa ke fasilitas kesehatan sesuai rekomendasi ahli jantung pembuluh darah.

Untuk mengetahui pengaruh pembiayaan yang diberikan BPRS Sindanglaya Kotanopan terhadap diversifikasi produk UKM di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal.

Orang Asli suku kaum Jakun kaya dengan pelbagai budaya yang unik dan tersendiri. Arus globalisasi kini, telah memberi kesan kepada pengamalan kebudayaan warisan mereka dalam

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNyalah yang tidak pernah berhenti dan selalu memberi kekuatan dalam hidup