• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 1 June 2020: p-issn , e-issn Ekosistem Terumbu Karang Pulau Arborek Raja Ampat, Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 1 June 2020: p-issn , e-issn Ekosistem Terumbu Karang Pulau Arborek Raja Ampat, Papua Barat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

63

Ekosistem Terumbu Karang Pulau Arborek Raja Ampat, Papua Barat

The Coral Reef Ecosystem of Raja Ampat Island Arborek, West Papua Dian Sutono Hs1, Robert Perangin-angin1, Mustasim2

1) Politeknik Kelautan dan Perikanan Karawang 2) Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong *Korespondensi : sutono_dian@yahoo.com Diterima : Mei 2020 Disetujui: Juni 2020

ABSTRAK

Kabupaten Raja Ampat dikenal memilik keanekaragaman hayati laut tropis yang diperkirakan terkaya di dunia pada saat ini. Potensi sumberdaya terumbu karang yang dimiliki Kabupaten Raja Ampat, merupakan bagian dari "Segitiga karang dunia" (Coral Triangle) dengan ekosistem terumbu karang yang terbentang di paparan dangkal di hampir semua pulau-pulaunya. Pulau Arborek merupakan salah satu Daerah Pelindungan Laut (DPL) tujuan destinasi para wisatawan yang masuk dalam wilayah Distrik Meos Mansar Raja Ampat, Papua Barat sehingga dipandan perlu untuk melihat presentasi tutupan karang hidup pada perairan Pulau Arborek. Pengambilan data primer dilakukan dengan metode garis transek (Line Intercept Transect) sepanjang transek 50 meter pada kedalaman 8 – 10 meter, dengan analisa data meliputi persentase tutupan karang hidup, indeks keanekaragaman (H1), indeks keseragaman (E), dan indeks dominasi (C). Berdasarkan hasil analisa data, kondisi terumbu karang di perairan Pulau Arborek memiliki nilai tutupan karang hidup antara 11,33 % - 64,67 %, indeks keanekaragaman antara 1,20 – 2,87, indeks keseragaman 0,13 – 0,41, dan indeks dominasi antara 0,16 -0,60.

Kata kunci : karang, keanekaragaman, keseragaman, dominasi ABSTRACT

Raja Ampat Regency is known to have tropical marine biodiversity which is estimated to be the richest in the world at the moment. Potential coral reef resources owned by Raja Ampat Regency, are part of the "Coral Triangle" (Coral Triangle) with the coral reef ecosystems in shallow exposure on almost all of the islands. Arborek Island is one of the Marine Protected Areas (MPA) destinations of tourists who enter the Meos Mansar Raja Ampat District, West Papua so it is necessary to look at the presentation of live coral cover in the waters of Arborek Island."Primary data collection was carried out by the line transect method (Line Intercept Transect) along the 50-meters transect at a depth of 8-10 meters, with data analysis covering the percentage of coral cover, the diversity index (H’), evenness index (E), and dominance index (C) ). Based on the results of data analysis, the condition of coral reefs in Arborek Island waters has coral cover values between 11.33% - 64.67%, diversity index between 1.20 - 2.87, evenness index between 0.13 - 0.41, and dominance index between 0.16 - 0.60.

Keyword: coral, diversity, evenness, dominance PENDAHULUAN

Sejak tanggal 12 April 2003, Kepulauan Raja Ampat resmi menjadi Daerah Otonom Kabupaten, hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong dengan sekitar 610 buah pulau yang tercakup dalam wilayah administrasi Kabupaten Raja Ampat dan

diantaranya terdapat 4 pulau besar atau pulau utama (Pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool). Keanekaragaman hayati laut Kabupaten Raja Ampat diperkirakan terkaya di dunia dan potensi sumberdaya terumbu karangnya merupakan bagian dari "Segitiga karang dunia" (Coral Triangle), dengan

(2)

64 ekosistem terumbu karang yang terbentang di hampir semua paparan dangkal pulau-pulaunya.

Raja Ampat terkenal ke seluruh dunia karena kekayaan alam bawah lautnya, khususnya bagi penyelam dan peneliti. Keunikan dan keindahan panorama alam ditambah dengan keanekaragaman sumberdaya perikanan dan kelautan yang tinggi, terutama terumbu karang merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan luar negeri, bahkan di daerah tersebut menjadi lokasi penelitian para pakar biota laut dunia (Direktorat KKJI, 2015). Sebagai suatu kawasan wisata bahari, Raja Ampat berhasil menarik perhatian wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik.Jumlah wisatawan yang berkunjung ke daerah ini mengalami peningkatan sangat signifikan, yaitu dari hanya 998 pengunjung tahun 2007 menjadi 14.137 pengunjung pada tahun 2015, atau mengalami peningkatan lebih dari sepuluh kali lipat. Dengan demikian, Raja Ampat merupakan suatu kawasan yang paling popular (the hottest spot) di negara ini, ditinjau dari sisi pariwisata bahari (Nikijuluw, Renoldy, dan Papilaya, 2017).

Pulau Arborek merupakan salah satu Daerah Pelindungan Laut (DPL) yang masuk dalam wilayah Distrik Meos Mansar Raja Ampat Papua Barat, dikelola dan diawasi oleh Kelompok Masyarakat setempat, serta menjadi destinasi para wisatawan domistik maupun manca Negara. Sebagaimana dikatakan Pongantung, (2018), bahwa Pulau Arborek memiliki dua zona larangan Daerah Perlindungan Laut, yaitu DPL Indip seluas 34 ha di sebelah barat laut Kampung Arborek dan DPL Mambarayu seluas 68,7 ha di sebelah tenggara Kampung Arborek. Hal yang boleh dilakukan di daerah perlindungan laut hanyalah seluruh kegiatan yang bersifat menjaga atau melestarikan biota laut meliputi; penelitian ilmiah/pendidikan, pariwisata/ penyelaman terbatas, dan monitoring/pengawasan oleh Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat destruktif sangatlah dilarang keras dilakukan di Daerah Perlindungan Laut ini. Keberadaan

Daerah Perlindaungan Laut (DPL) yaitu dapat melindungi populasi yang dieksploitasi, meningkatkan produksi, melindungi spesies yang rentan, membantu pemulihan habitat, menjaga keanekaragaman spesies, dan memfasilitasi pemulihan setelah mendapat gangguan (Supriyadi, Alexander, Cappenberg, Souhoka, Makatipu dan Hafizt, 2017).

Minat wisatawan terhadap wisata bahari Raja Ampat semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal tersebut akan mempengaruhi kondisi terumbu karang yang dapat memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dipandan perlu untuk melihat presentasi tutupan karang hidup pada perairan Pulau Arborek.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan mulai Mei sampai dengan Juni 2019, di perairan Pulau Arborek Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Pengambilan data dilakukan dilakukan pada 6 stasiun pengamatan. Pengambilan data primer dilakukan dengan metode garis transek (Line Intercept Transect) sepanjang transek 50 meter pada kedalaman 8 – 10 meter, dan identifikasi jenis karang batu menggunakan standar panduan Suharsono (2010).

Analisa Data

Persentase Tutupan Karang Hidup;

Perhitungan persentase tutupan karang hidup dalam penelitian ini digunakan rumus UNEP (1993) dalam Sutono, D. (2018), sebagai berikut :

𝐏𝐞𝐫𝐬𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐞 𝐓𝐮𝐭𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐊𝐚𝐭𝐞𝐠𝐨𝐫𝐢

= 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐓𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐊𝐚𝐭𝐞𝐠𝐨𝐫𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐬𝐞𝐛𝐮𝐭

𝐁𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐓𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐀𝐜𝐚𝐤 𝐗 𝟏𝟎𝟎 %

Indeks Keanekaragaman (H1);

Banyaknya individu setiap spesies dalam suatu komunitas tergambar dalam indeks keanekaragaman. Indeks keanekaragaman karang hidup dalam penelitan ini dihitung dengan menggunakan rumus (Adi, Mustapa, dan Ketjulan, 2013), sebagai berikut :

(3)

65 𝐇𝟏= ∑(𝐏𝐢 𝐋𝐨𝐠 𝟐𝐏𝐢) 𝐒 𝐢=𝟏 Keterangan : H1 = Indeks keanekaragaman

S = Jumlah spesies karang

P1 = Perbandingan antara jumlah panjang karang spesies ke-I (ni) dengan jumlah panjang spesies karang (N) dalam cm I = 1, 2, 3……., n.

Indeks Keseragaman (E);

Gambaran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas terumbu karang terlihat pada indeks keseragaman. Untuk menghitung indeks keseragaman dalam penelitian ini digunakan rumus (Odum, 1971) sebagai berikut :

𝐄 = 𝐇𝟏

𝐇𝟏 𝐦𝐚𝐤𝐬 Keterangan :

E = Indeks keseragaman spesies H1 = Indeks keanekaragaman H1

maks = Keanekaragaman maksimum

Indeks Dominansi (C);

Nilai dominasi jenis tertentu terhadap jenis-jenis lainya dalam suatu komunitas akan berbanding terbalik dengan nilai indeks keseragaman dan indeks keanekaragaman. Semakin besar nilai dominasi menandakan kecilnya nilai indeks keseragaman dan indeks keanekaragaman, yang selanjutnya akan mengarah pada kondisi ekosistem dengan komunitas yang labil atau tertekan. Dalam penelitian ini perhitungan indeks dominasi digunakan rumus (Krebs, 1989) sebagai berikut : 𝐂 = ∑(𝐏𝐢)𝟐 𝐒 𝐢=𝟏 Keterangan : C = Indeks dominasi

Pi2 = Perbandingan antara panjang spesies karang ke-I (ni) dengan panjang spesies karang (N) dalam cm

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian

Pengamatan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Arborek dilakukan pada 6 stasiun pengamatan dengan kedalaman 5-10 meter. Kondisi terumbu karang pada masing-masing lokasi pengamatan dianalisis berdasarkan persentase tutupan karang keras (hard coral).

Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, terumbu karang yang terdapat di perairan pulau Arborek tumbuh dan berkembang di sepanjang pantai dan dapat tumbuh berada jauh dari pantai hingga digolongkan kedalam terumbu karang tepi (freenging reef) dan terumbu karang penghalang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sukmara, Audrie, Siahainenia, Rotinsulu (2001), bahwa terumbu karang tepi adalah tipe yang paling banyak terdapat di Indonesia, dan terumbu karang tepi ini berada di tepi pantai yang jaraknya kurang dari 100 meter ke arah laut. Selanjutnya menurut Nontji (2002), terumbu karang penghalang berada jauh dari pantai dipisahkan oleh goba (lagoon) sekitar 40-75

(4)

66 meter.

Kondisi terumbu karang didominasi oleh terumbu karang bercabang dan padat karena kondisi perairan yang berarus. Sesuai dengan pernyataan Suryanti, Supriharyono, Roslinawati (2011), bahwa jenis karang yang dominan di suatu habitat tergantung lingkungan atau kondisi dimana karang tesebut hidup. Pada biota bentik lain di dominansi oleh soft coral karena pada perairan pulau Arborek terdapat banyak rubbel yang cocok untuk substrat hidupnya soft coral.

Persentase Tutupan Karang Hidup Berdasarkan pengamatan di perairan Pulau Arborek, kondisi persentase terumbu karang pada kedalaman 5-10 meter berkisar antara 11,33 % s/d 64,67 %, dengan tutupan karang hidup tertinggi pada stasiun 4sebesar 64,67 % termasuk dalam kriteria baik, dan tutupan terendah pada stasiun 1 yaitu 11,33 % termasuk kriteria buruk sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4/Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Selama penelitian ditemukan beberapa bentuk lifeform jenis-jenis karang antara lain; Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submassive (ACS), Acropora Enrausting (ACE), Acropora Tabulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Filiose (CF), Coral Masive (CM), Coral Mushroom (CMR), dan Coral Submasive (CS).

Stasiun 1

Stasiun 1 terletak pada koordinat 00⁰ 33' 46" LS/130⁰ 31' 29" BT, dengan persentase tutupan karang hidup pada kedalaman dasar perairan 8 meter adalah sebesar 11,33 % yang terdiri dari karang Acropora dan non-acropora. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4/Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, tutupan karang hidup pada stasiun ini berkriteria buruk.

Komunitas pada stasiun ini terdiri kelompok abiotik yang didomiasi oleh jenis rubbel, dan kelompok biotik dari jenis karang hidup coral massive dan bentik lain seperti soft coral. Banyaknya rubbel karena

di daerah ini banyak dilakukan kegiatan manusia sebagai tempat penyandaran perahu bagi pengunjung yang keluar dan masuk ke kampung wisata Arborek. Daerah ini juga merupakan lokasi spot snorkeling dan diving yang paling ramai dikunjungi.

Dominasi coral massive pada stasiun ini dimungkinkan karena jenis karang ini tahan terhadap tekanan kegiatan manusia. Sebagaimana dikatakan Yulius et al (2015) adanya non Acropora karena karang tersebut strukturnya lebih kuat terhadap tekanan alami maupun yang disebabkan oleh manusia seperti pada karang non Acropora jenis massive dan submassive.

Stasiun 2

Stasiun pengamatan 2 secara geografis terletak pada koordinat 00⁰ 33' 40" LS/130⁰ 31' 15" BT, dengan persentase tutupan karang hidup pada perairan tersebut sebesar 23,81 % yang terdiri dari karang Acropora dan non-acropora, dengan kriteria baik sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4/Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kelompok biota bentik lain yaitu Soft coral dan abiotik seperti Rubbel dan pasir sebagai subsrat yang mendominasi stasiun ini.

Banyaknya Soft coral karena pada substrat dasar banyak terdapat patahan karang, hal ini sesuai dengan pernyataan Maramis, Kaligis, dan Kusen (2013), bahwa substrat yang cocok pada Soft coral adalah patahan karang keras yang pada umumnya mati serta bebatuan dan pasir yang dapat di temukan pada rataan terumbu sampai pada kedalaman 10 meter.

Stasiun 3

Titik koordinat stasiun pengmatan 3 berada pada 00⁰ 33' 38" LS/130⁰ 30' 49" BT. Persentase tutupan karang hidup pada Stasiun 3 adalah sebesar 23,81 % yang terdiri dari karang Acropora dan non-acropora dengan kriteria baik, hal ini sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4/Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.

Pada stasiun ini Acropora branching merupakan tutupan karang yang tinggi, selain itu terdapat Dead coral with algae dan Soft

(5)

67 coral yang lebih mendominansi.

Tutupan karang tertinggi pada jenis Acropora karena jenis ini mudah untuk tumbuh, hal ini sesuai dengan pernyataan Septyadi, Widyorini, dan Ruswahyuni (2013), bahwa Acropora sp merupakan bentuk karang hidup yang paling banyak dari kelompok karang di suatu perairan. Koloni ini tumbuh ke arah vertikal maupun horisontal, dengan arah vertikal lebih dominan. Percabangan dapat memanjang atau melebar, sementara bentuk cabang halus atau tebal.

Stasiun 4

Secara geografis stasiun pengamatan 4 berada pada titik koordinat 00⁰ 33' 56" LS/130⁰ 30' 49" BT, dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 64,67 % yang terdiri dari karang Acropora dan non-acropora, dengan kriteria baik sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4/Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.

Pada stasiun ini dalam musim tertentu memiliki arus yang kuat, dan karang hidup didominansi oleh Acropora branching, serta banyak ditemukan Soft coral pada substrat Rubbel. Banyaknya Acropora branching karena pertumbuhannya yang cepat dan hidup di tempat yang jarang dilakukan aktifitas pada stasiun ini, hal ini sesuai dengan pendapat Pasanea (2013) karang bercabang memiliki tingkat pertumbuhan yang paling cepat yaitu bisa mencapai 20 cm/tahun. Karang Acropora sp. umumnya merupakan salah satu kelompok karang yang sangat dominan pada suatu perairan.

Ditemukannya Rubbel yang di tumbuhi oleh Soft coral pada stasiun ini, menurut Ihsan, Elizal, dan Thamrin (2013) karang lunak atau Soft coral merupakan karang yang penting dan terkenal hidup di habitat karang. Beberapa diantaranya tumbuh dengan cepat dan merupakan taman bunga liar 10 - 30 m di bawah permukaan laut, strukturnya menyerupai karang keras (hard coral) yaitu terdiri dari koloni polyp yang mengumpulkan makanan berbentuk plankton.

Stasiun 5

Koordinat stasiun pengamatan 5

terletak pada 00⁰ 34' 06" LS/130⁰ 30' 45" BT, dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 64,00 % yang terdiri dari karang Acropora dan non-acropora. Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4/Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, maka tutupan karang hidup pada stasiun ini berkriteria baik.

Tutupan karang hidup didominasi oleh Acropora submassive dengan kelompok biota bentik lain paling dominan Soft coral dengan substrat dasar perairan Dead coral with algae. Dengan kondisi lingkungan yang relatif baik, maka pada stasiun ini ditemukan hamparan Soft coral yang luas dan dapat tumbuh dengan cepat. Hal ini sesuai Ihsan, Elizal, dan Thamrin (2013), yang menyatakan bahwa karang lunak atau Soft coral tumbuh dengan cepat dan merupakan taman bunga liar 10 - 30 m di bawah permukaan laut.

Stasiun 6

Stasiun pengamatan 6 terletak pada koordinat 00⁰ 33' 57" LS/130⁰ 31' 24" BT. Persentase tutupan karang hidup pada stasiun 6 adalah sebesar 15,00 % yang terdiri dari karang Acropora dan non-acropor,a dengan kriteria buruk sesuai Kepmen LH No. 4 Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.

Acropora submassive mendominasi persentase jenis karang hidup dengan kelompok biota bentik lain di dominansi oleh soft coral pada substrat perairan Rubble. Berdasarkan informasi, lokasi ini pernah menjadi daerah penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak yang menyebabkan buruknya persentase karang hidup. Dahuri, Rias, Ginting, dan Sitepu (2001) menyatakan bahwa rendahnya persentase karang disebabkan dari berbagai kegiatan manusia dalam menangkap ikan dengan menggunakan bahan kimia ataupun born.

Dominasi Soft coral pada stasiun ini, karena tersedianya substrat Rubbel akibat penggunaan bahan peledak. Sebagaimana dikatakan Maramis, Kaligis, dan Kusen (2013), substrat yang cocok pada Soft coral

(6)

68 adalah patahan karang keras yang pada umumnya mati serta bebatuan dan pasir dan dapat di temukan pada rataan terumbu sampai pada kedalaman 10 meter.

Menurut Maramis, Kaligis, dan Kusen (2013) juga menyatakan bahwa pada perairan dangkal, aksi gelombang juga merupakan faktor pembatas untuk karang lunak berkolonisasi, sedangkan pada perairan dalam, ketersediaan cahaya merupakan faktor pembatas karang lunak untuk berkolonisasi. Nilai Indeks Terumbu Karang

Indeks keanekaregaman (H) terumbu karang perairan Pulau Arborek dari enam stasiun pengamatan berkisar anara 1,20 - 2,87, dengan rata-rata 2,24 (keanekaragaman jenis sedang). Indeks keanekaragaman terendah terjadi pada stasiun pengamatan 1 bernilai 1,20 dan tertinggi pada stasiun pengamatan 2 bernilai 2,87, yang berarti masih dalam kriteria keanekaragaman sedang. Sesuai kesimpulan hasil penelitian Sinaga, Roeroe, dan Menembu (2017), bahwa keanekaragaman genus karang di Pulau Salawati (Kabupaten Raja Ampat) yang diwakili dari hasil pengamatan di 3 stasiun didapatkan nilai keanekaraaman (H’) perstasiun termasuk dalam kriteria sedang. Selanjutnya dikatakan Nugroho (2006) dan Septyadi, Widyorini, dan Ruswahyuni (2013), bahwa keanekaragaman tidak hanya dilihat dari banyaknya jenis tapi juga dari penyebaran individu dalam tiap jenisnya dan tergantung dari kelimpahan individu dalam spesies.

Indeks keseragaman (E) terumbu karang perairan Pulau Arborek dari enam stasiun pengamatan berkisar anara 0,13 - 0,41 dengan rata-rata 0,30. Indeks keseragaman terendah ditemukan pada stasiun pengamatan 1 bernilai 0,13 mendekati 0 (nol) yang berarti tingkat keseragamannya rendah, hal ini mencerminkan bahwa kekayaan individu masing-masing spesies sangat jauh berbeda. Sedangkan Indeks keseragaman tertinggi pada stasiun pengamatan 5 bernilai 0,41 maka keseragamannya sedang yang menunjukan bahwa keseragaman antara spesies relatif merata dengan perbedannya

tidak begitu menyolok. Hal ini sesuai Nugroho (2006) dan Septyadi, Widyorini, dan Ruswahyuni (2013), yang menjelaskan bahwa jika nilai Indeks keseragaman mendekati 0, maka semakin kecil pula keseragaman biotanya sehingga dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominansi spesies tertentu. Semakin besar nilai keseragaman mendekati 1, dapat diartikan bahwa dalam komunitas tersebut memiliki kelimpahan spesies yang sama atau dalam komunitas tersebut tidak didominansi oleh satu spesies dan dapat hidup secara merata, tetapi pertumbuhannya juga dipengaruhi oleh faktor kondisi lokasi tersebut.

Indeks dominansi (C) terumbu karang perairan Pulau Arborek dari enam stasiun pengamatan berkisar anara 0,16 - 0,60 dengan rata-rata 0,30. Indeks dominansi tertinggi ditemukan pada stasiun pengamatan 1 bernilai 0,60 berarti mendekati nilai 1(satu), maka ada salah satu jenis yang mendominasi jenis lain dan komunitas dalam keadaan labil, serta terjadi tekanan ekologis (stress). Sedangkan pada stasiun pengamatan lainnya indeks dominasi mendekati 0 (nol), dan terendah ditemukan pada stasiun pengamatan 2 bernilai 0,16 berarti Indeks dominansi rendah, maka hampir tidak ada jenis yang mendominasi dan komunitas relatif stabil. Sebagaimana dikatakan Muqsit, Purnama, dan Ta’alidin (2016), bahwa nilai indeks dominansi mendekati 1 (satu) apabila komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika indeks dominansi mendekati 0 (nol), maka tidak ada jenis atau spesies yang mendominasi.

SIMPULAN

Presentasi tutupan karang hidup pada perairan Pulau Arborek dari nilai rata-rata persentase tutupan secara umum tergolong dalam kategori sedang dengan nilai 39,17 % (11,33 % - 64,67 %). Indeks keanekaragaman (H’) komunitas jenis pembentuk ekosistem terumbu karang masuk kategori rendah sampai sedang dengan rata-rata 2,24. Indeks keseragaman (E’) Komunitas jenis pembentuk ekosistem terumbu karang secara

(7)

69 umum kategori kecil sampai sedang, dengan rata-rata 0,30 (0,13 – 0,41). Nilai indeks dominansi (C’) komunitas pembentuk ekosistem terumbu karang perairan Pulau Arborek dalam kategori rendah dengan rata-rata 0,30, hal ini menunjukan bahwa tidak ada dominansi ekstrim dari spesies tertentu terhadap spesies lainnya dalam struktur komunitas biota yang diamati. Dengan demikian maka komunitas pembentuk ekosistem terumbu karang perairan Pulau Arborek pada umumnya dalam keadaan stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, A. B., Mustafa, A., & Ketjulan, R. (2013). Kajian Potensi Kawasan dan Kesesuaian Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Lara Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari. Jurnal Mina Laut Indonesia Volume 1, Nomor 1.

Dahuri, R., Rias, J., Ginting, S. P., dan Sitepu, M. J., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2015. Profil Kawasan Konservasi Provinsi Papua – Papua Barat. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Ihsan, K., Elizal, dan Thamrin, 2013. The Coral Reef Condition In Cerocok Beach Waters of Painan, West Sumatera Province. Universitas Riau. Pekanbaru

Kementerian Lingkungan Hidup, 2001. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4, Tahun 2001, Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta

Krebs, C.J. (1989). Ecology Methodology. (No.QH541. 15. S72.K74 1999). New Yok: Harper & Row Publisher.

Maramis, J., Kaligis, F., dan Kusen, J.,

2013. Distribusi Karang Lunak Di Perairan Teluk Manado Dengan Perbandingan Antara Kawasan Non Reklamasi Dan Reklamasi. Jurnal Perikanan Dan Kelautan Tropis Volume 2, Nomor 1, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Manado Muqsit, A., Purnama, D., dan Ta’alidin, Z.,

2016. Struktur Komunitas Terumbu Karang Di Pulau Dua Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Enggano Vol. 1, No. 1, April 2016, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu

Nikijuluw V., Renoldy L., dan Papilaya B. 2017. Daya Dukung Pariwisata Berkalanjutan Raja Ampat. Conservation Internasional Indonesia Nontji, A., 2002. Laut Nusantara,

Djambatan. Jakarta

Nugroho, A., 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta Odum, E.P. (1971). Fundamental of

Ecology. W.E. Sounders, Philadelphia Pasanea, Y.E., 2013. Kondisi Terumbu Karang Dan Penyusunan Konsep Strategis Pengawasan Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Universitas Hasanudin. Makasar.

Pongantung, N. V., 2018. Peubahan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Kampung Arborek Kabupaten Raja Ampat Setelah Menadi Kawasan Wisata. Jurnal Agri-Sosio Ekonomi Unsrat, Volume 14 Nomor 1, Januari 2018. Ambon

Septyadi, K.A. , Widyorini, N., dan Ruswahyuni, 2013. Analisis Perbedaan Morfologi Dan Kelimpahan Karang Pada Daerah Rataan Terumbu (Reef Flate) Dengan Daerah Tubir (Reef Slope) Di Pulau Panjang, Jepara. Journal Of Management Of Aquatic Resources, Volume 2, Nomor 3. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Semarang.

(8)

70 Sinaga, B.P., Roeroe K. A. K. A., dan

Menembu I. S., 2017. Kondisi Terumbu Karang Di Pulau Salawat Kabupaten Raja Ampat Papua Barat. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 1 Nomor 2 Tahun 2017. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Manado. Suharsono, 2010. Jenis-Jenis Karang Di

Perairan Indonesia. Pusat Penelitian Osenaografi LIPI. Coremap Program. Jakarta

Sukmara, A., Audrie, J., Siahainenia, Rotinsulu, C., 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat Dengan Metoda Manta Tow. Proyek Pesisir - CRMP. Indonesia. Jakarta

Supriyadi, I. H., Alexander H. W., Cappenberg, Souhoka, J., Makatipu P. C., dan Hafizt, M., 2017. Kondisi Terumbu Karang, Lamun dan Mangrove Di Suaka Alam Perairan Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Pusat Penelitian Oseanografi –Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI),

Volume 23, Nomor 4, Desember 2017. Jakarta.

Suryanti, Supriharyono, Roslinawati, Y., 2011. Pengaruh Kedalaman Terhadap Morfologi Karang Di Pulau Cemara Kecil Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Saintek Perikanan Volume 7, Nomor 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Semarang

Sutono, D. HS, dan Lubis, S. B., 2018. Terumbu Karang Taman Wisata Perairan Pulau Pieh Sumatera Barat. Jurnal Airaha Volume VII, Nomor 2, Desember 2018. Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong. Sorong

Yulius, Novinati, N., Arifin, T., Hadiwijaya, L., Salim, Ramdhan, M., dan Pubani, D., 2015. Distribusi Spasial Terumbu Karang Di Perairan Pulau Wangi-Wangi, Wakatobi. Jurnal Ilmu dan Kelautan Tropis, Volume 7, Nomor 1, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelauan dan Perikanan. Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Peta Daerah Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

(9) Calon peserta didik baru yang dinyatakan lulus seleksi di SMK diharuskan mendaftar ulang pada tanggal 7 sampai 11 Juli 2009 di sekolah tempat calon... b

Kali ini saya akan membuat sebuah kalkulator yang sederhana sekali dengan memakai kelas QLineEdit dan teknik casting (konversi tipe data) dari QString ke int (dan sebaliknya)..

Transaksi restrukturisasi entitas sepengendali dicatat dengan menggunakan metode yang sama seperti metode penyatuan kepemilikan. Selisih antara harga pengalihan dengan proporsi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan secara umum bahwa penerapan model artikulasi memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa

Apakah terdapat perbedaan antara metode pembelajaran Guide Note Taking dengan metode pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) dalam meningkatkan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja perawat rawat inap dengan variabel moderator disiplin kerja pada

Maka dari itu peneliti tertarik membandingkan beberapa variasi latihan pliometrik yaitu latihan plyometric rope jump , step up dan diagonal cone hops