• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Oleh: Diajukan Oleh. MUHAMMAD NURFAJRI NIM Mahasiswa Fakultas Syari ah Dan Hukum Program Studi HukumTata Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Oleh: Diajukan Oleh. MUHAMMAD NURFAJRI NIM Mahasiswa Fakultas Syari ah Dan Hukum Program Studi HukumTata Negara"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN ADAT TINGKAT MUKIM DALAM QANUN KABUPATEN ACEH SELATAN NOMOR 23

TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM (Studi Kasus di Pemukiman Asahan, Kecamatan Kluet Utara)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Diajukan Oleh MUHAMMAD NURFAJRI

Mahasiswa Fakultas Syari’ah Dan Hukum Program Studi HukumTata Negara

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH 1441 H /2020 M

(2)

Mahasiswa Fakultas Syari’ah Dan Hukum Program Studi HukumTata Negara

(3)

NIP.

(4)
(5)

v

ABSTRAK

Pelaksanaan Adat Mukim di Kabupaten Aceh Selatan dituangkan dalam Qanun No 23 Th 2012 Tentang Pemerintahan Mukim. Banyak mendapatkan respon yang positif terkait pelaksanaan pemerintahan Mukim, karena daerah ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya yang dapat diselesaikan dengan hukum adat. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana kinerja pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan No 23 Th 2012 dan bagaimana pelaksanaan adat Mukim Asahan menurut Qanun Aceh selatatan No 23 Th 2012 serta apa kendala-kendala kinerja Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan No 23 Th 2012. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif empiris dengan pendekatan penelitian hukum sosiologis empiris. Adapun hasil penelitian dalam skripsi ini, kinerja pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan No 23 Th 2012 masih tergolong kurang maksimal, dikarenakan pelaksaan adat mukim Asahan menurut Qanun Aceh selatan No 23 Th 2012 Relatif rendah karena faktor fasilitas yang kurang memadai sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan kinerja Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan No 23 Th 2012. Selain itu, kendala lainnya adalah kurangnya pemahaman Imum Mukim terhadap Qanun Aceh Selatan No 23 Th 2012. Namun pasca adanya Qanun tersebut, lembaga mukim juga berwenang mengawasi pembangunan serta menyelesaikan perselisihan di masyarakat tingkat Mukim.

Nama : Muhammad Nurfajri

: 140105040

Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/Hukum Tata Negara (siyasah) Judul : Pelaksanaan Pemerintahan Adat Tingkat Mukim

Dalam Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 23 tahun 2012 tentang Pemerintahan Mukim (Studi Kasus di Pemukiman Asahan, Kecamatan Kluet Utara)

Tanggal Munaqasyah : 20 Januari 2020 Tebal Skripsi : 71 Halaman

Pembimbing I : Sitti Mawar, S.Ag. MH Pembimbing II : Amrullah, S.HI. LLM

Kata Kunci : Pemerintahan adat tingkat mukim, Pemerintahan Mukim.

(6)

vi

Alhamdullillah, segala puji bagi Allah SWT atas Anugerah dan nikmatNya yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: PELAKSANAAN PEMERINTAHAN ADAT TINGKAT MUKIM MENURUT QANUN KABUPATEN ACEH SELATAN NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM (S tudi khasus di mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara). Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta para sahabat, tabi’in dan para ulama yang senantiasa berjalan dalam Risalah-Nya, yang telah membawa cahaya kebenaran yang penuh ilmu pengetahuan dan mengajarkan manusia tentang etika dan akhlaqul karimah sehingga manusia dapat hidupberdampingan secara dinamis dan tentram. Dengan selesainya skripsi ini, penulis turut menyampaikan ribuan terimakasih yang tak terhingga kepada:

Ibu Sitti Mawar, S.A.g. MH selaku pembimbing I beserta Bapak Amrullah, SHI. LLM selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, Ucapan terima kasih juga Kepada perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta perpustakaan UIN Ar-Raniry dan kepada perpustakaan Majelis Adat Aceh beserta seluruh karyawan yang telah memberikan pinjaman buku-buku Sebagai bahan rujukan serta kepada Imum Mukim Asahan beserta tokoh Masyarakat Kluet Utara yang telah meluangkan waktu wawancara sehingga menjadi rujukan dalam menulis Skripsi ini .Ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tercinta M.Najib Huspah dan ibunda tercinta Nurmala yang telah membesarkan ananda dengan penuh kasih sayang, yang tak pernah lelah dalam membimbing serta tak pernah lelah memberikan motivasi dan dukungan sehingga ananda mampu menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar

(7)

vii meminta pertolongan. Aamiin.

Banda Aceh 6 Januari 2020 Penulis,

(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

xi

DAFTAR ISI LEMBARAN JUDUL

PENGESAHAN PEMBIMBING PENGESAHAN SIDANG

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

TRANSLITERASI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB SATU PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7 1.3. Tujuan Penelitian... 8 1.4. Penjelasan Istilah ... 8 1.5. Kajian Pustaka ... 9 1.6. Metode Penelitian ... 13 1.7. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB DUA PEMERINTAHAN MUKIM DI ACEH ... 16

2.1. Adat Mukim Dalam Sistem Pemerintahan di Aceh .... 16

2.2. Lembaga Mukim di Aceh ... 23

2.3. Peranan Imum Mukim Dalam Sistem Kelembagaan Pemerintahan ... 31

BAB TIGA PELAKSANAAN ADAT MUKIM DALAM QANUN ACEH SELATAN NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM ... 37

3.1. Profil Kecamatan Kluet Utara ... 37

3.2. Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012 ... 38

3.3. Pelaksanaan Adat Mukim Asahan menurut Qanun nomor 23 tahun 2012 ... 52

3.4. Kendala Pelaksanaan Pemerintahan Adat Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara ... 57

3.5. Analisis Penulis ... 60

BAB EMPAT PENUTUP ... 66

4.1. Kesimpulan ... 66

4.2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah.

Pada masa Pemerintahan Kerajaan Aceh, dikenal ada empat (4) satuan pemerintahan yang berada di bawah Sulthan yaitu, Panglima Sagoe, Ulhee

Balang, Imum Mukim dan Keuchik. Imum Mukim merupakan Pemimpin Mukim.

Mukim adalah daerah teritorial yang merupakan gabungan dari beberapa Gampong yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan pemimpinnnya disebut Keuchik. Keuchik merupakan pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan Kerajaan Aceh. Pada masa itu Imum Mukim mempunyai tugas: (1) Bertindak sebagai Wakil Ulhee Balang untuk mengumumkan segala titahnya serta membantu pelaksanaan perintah Ulhee Balang dalam lingkungan Mukimnya. (2) Mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan Gampong. (3) Mengadili dan meyelesaikan perkara baik perdata maupun pidana yang tidak mampu diselaikan oleh Keuchik Gampong.1

Pemerintah adat yang telah dipraktikkan Aceh jauh sebelum Indonesia merdeka memiliki keistimewaan yang mungkin berbeda dengan daerah lain. Pemerintah adat di Aceh memiliki area kerja di gampông dan pada umumnya diwadahi dalam pemerintah mukim. Mukim dimaknai sebagai sebutan suatu kesatuan masyarakat yang memiliki hukum adat, batas wilayah, perangkat dan simbol adat, hak atas kepemilikan, penguasaan sumber daya, prasarana, dan memiliki pranata sosial yang spesifik dengan nuansa Islami.2

1 Mahdi Syahbandir, Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim di Aceh, Kanun Jurnal Ilmu

Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014), hlm. 1.

2 JKMA, Tatkala “Raja Nanggroe” Bertemu Imum Mukim. Diakses di internet pada

(17)

Menurut sejarahnya, mukim merupakan lembaga adat yang mengurusi masalah sengketa adat di wilayah kemukiman, seperti tentang pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya, hak berburu, penangkapan ikan di sungai dan laut dangkal, pembagian air, pengembalaan ternak, sengketa adat antar anggota, dan kelompok adat, upacara adat, dan lain-lain yang berhubungan dengat adat. Di samping itu, mukim juga telah berperan aktif dalam pengendalian roda pemerintahan gampông, menata, dan membina kehidupan rakyat di gampông, juga memelihara ketertiban, kemakmuran, ketentraman, dan pembangunan masyarakat.3

Adat merupakan suatu gagasan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan dalam masyarakat, oleh karena itu adat juga bisa dikatakan sebagai suatu kesadaran hukum, khususnya pada masyarakat dengan struktur kebudayaan sederhana dan lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila tidak ditaati peraturan adat tersebut maka menimbulkan masalah baru terhadap pelaku yang dianggap menyimpang. 4 Sedangkan hukum adat merupakan salah satu bentuk hukum yang masih diterapkan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Perlu diketahui bahwa hukum adat merupakan salah satu bentuk hukum yang berlaku dalam kehidupan dan budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih berlaku sampai saat ini. Keberadaan hukum adat dapat dilihat hingga saat ini melalui adanya peradilan-peradilan adat serta perangkat-perangkat hukum adat yang masih dipertahankan oleh masyarakat hukum adat untuk menyelesaikan berbagai sengketa dan delik yang tidak dapat ditangani oleh lembaga kepolisian, pengadilan, serta lembaga pemasyarakatan.5

Hukum adat tetap dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat sebab mereka percaya bahwa putusan yang dikeluarkan melalui peradilan adat

3Ibid.

4 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,

2001), hlm. 28.

(18)

terhadap suatu delik yang diadili melaluinya dapat memberikan kepuasan akan rasa keadilan, serta kembalinya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pada pasal 18 B ayat (2) yang menentukan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum. Pengakuan negara terkait dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tidak lepas dari Nota kesepahaman antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan Ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tidak merubah pelaksanaan sistem pemerintahan Mukim bahkan memperkuat kedudukan Mukim sebagaimana dalam pasal 1 ayat 19 dinyatakan bahwa: “Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dibawah kacamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung dibawah camat”.

Lebih lanjut pada pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 diatur tentang pembentukan Mukim yaitu; “Imum Mukim selaku kepala pemerintahan mukim menyelenggarakan tugas dan fungsi mukim dan tata cara pemilihan Imum Mukim dan masa jabatannya, serta menunjuk Qanun kabupaten/kota untuk mengatur mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan Mukim.6 Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Mukim sebagai perangkat daerah yang langsung dibawah Camat telah mendapat pengakuan secara legalitas.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 terdapat satu pasal yang mengatur qanun kabupaten/kota yaitu pasal 114 tentang mukim antara lain:

(19)

1. Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong.

2. Mukim dipimpin oleh Imum Mukim sebagai penyelenggar tugas dan fungsi mukim.

3. Imum mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5

(lima) tahun. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Imeum Mukim diatur dengan Qanun Aceh.

Berdasarkan hukum tersebut di Kabupaten Aceh Selatan lahirlah Qanun Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim. Hal ini tentunya di Aceh Selatan mendapatkan respon yang positif terkait pelaksanaan pemerintahan mukim, karena daerah ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya yang dapat diselesaikan dengan hukum adat, dalam hal ini oleh pemerintahan mukim, Mukim yang ada di Aceh menjadi struktur pemerintahan unik yang diakui, namun dalam pelaksanaan adat di tingkat mukim masih banyak kekurangan dan hambatan kondisional, sebagai contoh tugas dan fungsi Imum Mukim dalam membantu pelaksanaan pemerintahan, Walaupun tugas dan fungsi Imum Mukim yang sesungguhnya dalam Pemerintahan Mukim di Kecamatan Kluet Utara masih belum maksimal untuk dijalankan seperti yang di amanahkan oleh UUPA dan Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012.

Dalam Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim, pada bab dua tentang kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang imum mukim dalam stuktur pemerintahan kabupaten yang terdiri dari pasal 2 sampai dengan pasal 5.

Pasal 2

Mukim berkedudukan sebagai institusi peemintahan dan adat dibawah kecamatan yang membawahi gabungan (federasi) dari beberapa gampong dalam struktur kemungkiman setempat menyelenggarakan

(20)

pemerintahan mukim dalam rangka mewujudkan kesejahtraan dan kehidupan berdemokrasi dalam wilayah kemukiman.

Pasal 3

Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan kemukiman, melaksanakan kemukiman, melindungi adat dan istiadat, membina dan meningkatkan kesejahtraan kemukimam dan meningkatkan kualitas pelaksanaan syari’at Islam.

Pasal 4

Untuk melaksanakan tugas sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 3 mukim mempunyai fungsi penyelenggaraan pemerintah berdasarkan adat, asas desentralisasi maupun asas dekontrasi dan tugas pembentukan pemerintah lainnya yang berada di mukim.

Pasal 5

a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul mukim dan ketentuan adat serta adat istiadat.

b. Kewenangan memberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Atas dasar itulah, pemerintahan mukim yang ada di Aceh menjadi struktur pemerintahan unik yang diakui oleh Negara dan hanya berlaku di Aceh saja. Dinamika kelembagaan di masal lampau yang relatif mampu mengatur kehidupan sosio-kultural masyarakat secara adil dan bijaksana dipandang relevan untuk di aplikasikan pada kehidupan masa kini. Padahal, konteks kebijakan dan tatanan kehidupan masyarakat Aceh sekarang telah jauh berbeda. Harus diakui bahwa penyelenggaraan pemerintahan Mukim di Aceh saat ini pun penuh dinamika dan terkesan problematik. Akibatnya, Mukim belum mampu memberi peran yang signifikan sesuai tugas dan fungsi formalnya. Mukim diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas hubungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat.

Mukim Asahan, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun

(21)

2012 Tentang Pemerintahan Mukim selalu mengedepankan profesionalitas dan melestarikan adat budaya yang ada di Aceh Selatan, seperti adat kanduri laot, kanduri blang, dan lain sebagainya. Seorang Mukim dalam bertugas memiliki kekhususan, sebagaimana lembaganya sendiri telah mengakar dalam kehidupan masyarakat di Aceh Selatan. Eksistensi Mukim Asahan, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan sesuai dengan Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim menjalankan berbagai aturan yang ada dalam qanun tersebut serta memimpin penyelenggaraan pemerintahan mukim secara demokratis, transparan, partisipatif dan akuntabel. Selain itu, Mukim Asahan juga menjadi hakim adat dalam penyelesaian persengketaan adat (community justice system) di kemukiman.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pemerintahan Adat Tingkat Mukim Dalam Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim (Studi Kasus di Pemukiman Asahan, Kecamatan Kluet Utara)”

1.2. Rumusan Masalah.

Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi rumusan masalah adalah:

1. Bagaimana kinerja pemerintahan mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012?

2. Bagaimana pelaksanaan adat Mukim Asahan menurut Qanun kabupaten Aceh selatan nomor 23 tahun 2012?

3. Apa kendala-kendala dalam pelaksanaan kinerja Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012?

(22)

1.3. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kinerja pemerintahan mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan kinerja

Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012.

1.4. Penjelasan Istilah.

Dalam penjelasan istilah, maka penulis akan menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam penelitian ini, dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam penentuan makna.

1. Adat

Gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang.7 Adat adalah kaidah-kaidah sosial yang tradisional ketentuan leluhur dan ditaati secara turun temurun.8 2. Mukim.

Mukim (Aceh) adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Uleebalang. Sistem ini diterapkan pada zaman Kesultanan Aceh.9 Mukim atau nama lain, adalah kesatuan

7 Wikipedia, Adat. Diakses di internet pada tanggal 10 September 2019 dari situs:

https://id.wikipedia.org

8 Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandar Lampung:

Mandar Maju, 1992), hlm. 9.

9Wikipedia, Mukim (Aceh). Diakses di internet pada tanggal 23 Mei 2017 dari

(23)

masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain.10

1.5. Kajian Pustaka.

Kajian yang membahas tentang “Pelaksanaan Pemerintahan Adat Tingkat Mukim Dalam Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim (Studi Kasus di Pemukiman Asahan, Kecamatan Kluet Utara)” belum ada yang membahas secara spesifik mengenai persoalan tersebut. Persoalan ini sesuatu yang cukup kompleks, sehingga perlu di telaah dan di analisis sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry.

Pertama, dalam jurnal hukum No. 3 Vol. 18 Juli 2011: 320-335, karangan Jum Anggriani dengan judul, “Kedudukan Qanun dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan Mekanisme Pengawasannya” dituliskan, bahwa dalam rangka pengawasan, Pemerintah Pusat dapat menangguhkan atau membatalkan Qanun jika bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Pengawasan preventif dilakukan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang mengatur anggaran pendapatan dan belanja daerah, pajak daerah, peraturan lain yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi.11

Kedua, dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 15 No. 2, May 2015, karangan Mukhlis dengan judul, “Mukim Concept As Government Administrators In Aceh” menjelaskan, Mukim sebagai penyelenggara pemerintahan di Aceh sudah diatur dalam undang-undang dan qanunqanun di

10Bisa dilihat pada Bab 1, Pasal 1, Qanun Nomor 4 Tahun 2003.

11 Jum Anggriani Kedudukan Qanun dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan

(24)

Aceh, namun fungsi mukim dalam menyelenggarakan pemerintahan belum dijelaskan secara terperinci.12

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Afrizal Woyla Saputra Zaini dengan judul, Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)” tahun 2013. Dalam skripsinya Zaini menjelaskan pemerintahan daerah atau desentralisasi merupakan salah aplikasi pelaksanaan pemerintahan yang tidak asing lagi di Indonesia, hal itu dikarenakan Indonesia adalah negara flural dan keragaman lokalitas yang tinggi. Salah satu dari daerah keragaman lokalitas tersebut adalah keberadaan pemerintahan Mukim di Aceh yang telah diakui secara sosial maupun secara politis, salah satu pengakuan politis adalah adanya Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 maupun dalam Qanun. Peraturan dan perundang-perundangan tersebut mengakui posisi dan kedudukan mukim dalam pelaksaan pemerintahan Aceh, salah satunya adalah berhubungan langsung dengan gampong secara hirarki.13

Keempat, skripsi yang ditulis oleh Jaili Farman dengan judul, “Hukum Adat Dalam Qanun Mukim Kuala Ba’u Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan Nomor 21 Tahun 2012 (Studi Tentang Penyelesaian Perkara Maisir, Khamar, dan Khalwat)” tahun 2017 menjelaskan dalam Qanun Mukim Kuala Ba’u tidak menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pelaku jarimah. Secara umum materi Qanun Mukim Kuala Ba’u menerapkan sanksi berupa, nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh masyarakat gampong, dikeluarkan dari masyarakat gampong dan pencabutan gelar adat. Disisi lain penyelesaian perkara secara Qanun Mukim

12 Mukhlis, Mukim Concept As Government Administrators In Aceh. Jurnal Dinamika

Hukum Vol. 15 No. 2, May 2015.

13 Afrizal Woyla Saputra Zaini dengan judul, (Relasi Pemerintahan Mukim Dengan

Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah Studi Penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)

(25)

terdapat beberapa kekurangan karena setiap daerah berbeda sanksi adatnya. Mukim Kuala Ba’u penerapan hukum adat bersifat lokalistik tidak bisa menyelesaiakan perkara terhadap pelaku jarimah yang berbeda daerah atau mukim.14

Kelima, dalam jurnal Ilmu Hukum Unsyiah yang ditulis oleh Mahdi Syahbandir dengan judul, “Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim di Aceh” tahun 2014 menjelaskan bahwa Pemerintahan Imum Mukim merupakan pemerintahan bentukan Kerajaan Aceh. Kedudukannya berada di bawah Pemerintahan Ulhee Balang. Dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya didasarkan kepada adat dan hukum adat. Pada masa penjajahan, keberadaan Imum Mukim tetap diakui dan kedudukannya bearada di bawah Pemerintahan Wedana karena pemerintahan Ulhee Balang sudah dihilangkan pada masa itu. Setelah Indonesia merdeka keberadaan Imum Mukim sangat diwarnai oleh pemberlakuan Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemerintahan desa. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan Imum Mukim sudah sangat kuat karena diakui dan mendapat tempat sebagai satu unit pemerintahan tersendiri yang berada di bawah camat dan di atas Pemerintahan Gampong sebagai unit pemerintahan terendah di Aceh.15

Perbedaan kajian ini dengan kajian terdahulu ada pada fokus penelitian, dimana beberapa penelitian terdahulu lebih fokus pada kasus-kasus tertentu yang dikaji dengan berbagai latar belakang, sehingga kajian terdahulu melihat aspek kajian sanksi atau penerapan sanksi melalui hukum adat mukim. Sedangkan dalam kajian ini, peneliti melihat dari pelaksanaan pemerintahan

14 Jaili Farman, Hukum Adat Dalam Qanun Mukim Kuala Ba’u Kecamatan Kluet Utara

Kabupaten Aceh Selatan Nomor 21 Tahun 2012 (Studi Tentang Penyelesaian Perkara Maisir, Khamar, dan Khalwat). Mahasiswa Prodi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry tahun 2017.

15 Mahdi Syahbandir, sejarah pemerintahan Imum mukim di Aceh. Qanun Jurnal Ilmu

(26)

adat Mukim Asahan, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan sesuai dengan Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim.

1.6. Metode Penelitian.

1.6.1. Jenis penelitian.

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif empiris, suatu istilah dalam filsafat untuk menjelaskan teori epistemologi yang mengganggap bahwa pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pengalaman disini maksudnya adalah suatu yang diterima dimaksud melalui indera atau yang diamati untuk menjelaskan kajian ini.

1.6.2. Pendekatan penelitian.

Penelitian ini termasuk dalam kategori pendekatan penelitian hukum sosiologis empiris, dalam penelitian hukum empiris data primer merupakan data utama yang akan dianalisis. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden.16 Sedangkan data sekunder berfungsi mendukung data primer. Maka tujuan penelitian hukum empiris dalam penelitian ini untuk mengetahui cara penyelesaian hukum mukim di Aceh Selatan.

1.6.3. Data penelitian. a. Data Primer.

Data ini diperoleh dari penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara dengan responden sesuai dengan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dan dikembangkan pada saat wawancara dengan membatasi pertanyaan sesuai dengan aspek masalah yang diteliti. Wawancara merupakan salah satu bentuk

16 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

(27)

teknik pengumpulan data dalam metode survei melalui daftar pertanyaaan yang diajukan secara lisan terhadap responden.17 Data primer ini dipergunakan untuk memperoleh keterangan yang benar dan dapat menjawab permasalahan yang ada.Dalam wawancara mendalam penulis terlebih dahulu menentukan populasi dan sampel.

b. Data Sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mencari data berupa konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin, dan asas-asas hukum yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang diteliti.18

1.6.4. Teknik pengumpulan data.

pengumpulan data yangakan digunakan dalam meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan carawawancara. Data primer hasil wawancara tersebut kemudian di analisis dengan data sekunder yang kemudian menjadi suatu kesimpulan. Data sekunder yang dimaksud adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mencari data berupa konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin, dan asas-asas hukum

17 Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2010), hlm. 23.

(28)

yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang diteliti.19

1.7. Sistematika Pembahasan.

Skripsi ini terdiri dari empat bab, setiap bab terdiri dari beberapa poin yang berhubungan dengan judul. Adapun ke empat bab tersebut adalah:

Bab Satu, Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Penjelasan Istilah, Kajian Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab Dua, Pemerintahan Mukim di Aceh terdiri dari Adat Mukim Dalam Sistem Pemerintahan di Aceh, Lembaga Mukim di Aceh dan Peranan Imum Mukim Dalam Sistem Kelembagaan Pemerintahan.

Bab Tiga, Pelaksanaan Adat Mukim Dalam Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim terdiri dari Profil Aceh Selatan, Kinerja Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012, Kendala Dalam Pelaksanaan Kinerja Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara dan Analisis Penulis.

Bab Empat, Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

19Ibid., hlm.14

(29)

16

BAB II

PEMERINTAHAN MUKIM DI ACEH

2.1. Adat Mukim Dalam Sistem Pemerintahan di Aceh.

Sejak zaman dahulu, Aceh dikenal dengan adanya pemerintahan hukum adat mukim. Pemerintahan adat mukim adalah pemerintahan adat pada tingkat teritorial yang merupakan pemerintahan gabungan dari beberapa buah gampong di Aceh. Pemerintahan mukim dipimpin oleh seorang Imum Mukim dan dibantu oleh perangkat-perangkat adat yang ada di gampong dalam wilayah pemerintahan mukim. Pemerintahan mukim di Aceh pada masa lampau disebut pemerintahan Ule Balang dimana kedudukannya memimpin persekutuan masyarakat hukum adat yang terdiri dari beberapa Gampong/Desa.1

Di Aceh, keberadaan pemerintahan mukim sempat tidak diakui lagi keberadaannya dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, hal ini tidak berarti keberadaan pemerintahan mukim hilang begitu saja dalam sistem hukum adat masyarakat adat Aceh, meskipun sudah tidak diakui lagi keberadaannya, akan tetapi pada prakteknya keberadaan pemerintahan mukim di Aceh tetap dipertahankan oleh masyarakat adat Aceh dalam sistem pemerintahan hukum adat.

Keberadaan mukim di Aceh telah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad abad dan telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh. Jika menelusuri sejarah Aceh, khususnya yang menyangkut tentang struktur pemerintahan, maka akan ada fakta bahwa pemerintahan mukim merupakan salah satu strata pemerintahan dalam struktur kerajaan Aceh Darussalam. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Qanun Al-Asyi (Adat meukuta Alam) yang merupakan Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Qanun Meukuta Alam strata pemerintahan di Kerajaan

1 Airi Safrijal, Hukum Adat Dalam Perspektif Hukum Nasional, (Banda Aceh: FH

(30)

Aceh Darussalam tersusun dari Gampong, Mukim, Nanggroe, Sagoe, dan Kerajaan.2

Sesuai fakta sejarah, pemerintahan mukim memiliki fungsi dan kedudukan yang penting dalam sistem dan struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam. Fakta ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai perangkat adat mukim yang dibentuk untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan rakyat di Aceh, seperti Qadhi Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, Panglima Glee, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Peukan dan lain-lain. Jadi, mukim merupakan strata pemerintahan yang memiliki hak otonom baik keluar maupun kedalam.

Pemerintahan Mukim sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 Qanun Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim, Jo Pasal 1 angka 13 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat, disebutkan bahwa:

Mukim atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain.

Pemerintahan adat mukim di Aceh dilaksanakan oleh seorang Imum Mukim dan dibantu oleh perangkat mukim yang berkedudukan langsung di bawah Camat. Penyelenggaraan sistem pemerintahan adat mukim di Aceh, dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam. Mukim sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Qanun Nomor 4 Tahun 2003 mempunyai fungsi, yaitu:

a. Penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya.

2Ibid, hlm. 179.

(31)

b. Pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual.

c. Pembinaan kemasyarakatan dibidang pelaksanaan Syariat Islam, Pendidikan, Peradatan, Sosial budaya, ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

d. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat.

e. Penyelesaian dalam rangka memutuskan dan/atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat.

Selama ini pemerintahan adat mukim baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, telah cukup berjasa dalam menata dan membina kehidupan rakyat

di Gampong. Mukim bukan saja telah mampu berperan aktif dalam

mengendalikan jalannya roda pemerintahan Gampong, tetapi juga dalam memelihara ketertiban, kerukunan, ketenteraman dan pembangunan masyarakat. Apalagi peranannya dalam mempertinggi syiar agama Islam, memelihara, menjaga, membela, menerapkan, dan memberlakukan adat istiadat dan hukum adat dalam masyarakat sesungguhnya sangat menonjol, sehingga mukim menjadi basis perjuangan bangsa ketika perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.3

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh juga diakomodir keberadaan peemrintahan adat mukim dan diakui sebagai salah satu strata pemerintahan di Aceh. Selain itu, keberadaan lembaga adat yang ada di Aceh secara legal formal diatur di dalam Pasal 98 UUPA, yaitu:

1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.

3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi:

a. Majelis Adat Aceh

b. Imeum Mukim atau nama lain

(32)

c. Imeum Chik atau nama lain d. Keuchik atau nama lain e. Tuha Peut atau nama lain f. Tuha Lapan atau nama lain g. Imeum Meunasah atau nama lain h. Keujreun Blang atau nama lain i. Panglima Laot atau nama lain j. Pawang Glee atau nama lain k. Peutua Seuneubok atau nama lain l. Haria Peukan atau nama lain; dan m. Syahbanda atau nama lain.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

Selanjutnya, tentang Imum Mukim juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 19 UUPA:

Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.

Selain itu, dalam Pasal 114 UUPA, juga disebutkan bahwa:

1) Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong.

2) Mukim dipimpin oleh Imum Mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet Mukim atau nama lain. 3) Imum Mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5

(lima) tahun.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Imum Mukim diatur dengan Qanun Aceh.

Sebagai lembaga adat yang mempunyai batas kekuasaan, mukim dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip adat istiadat yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat baik ke dalam maupun keluar. Keberadaan mukim dalam masyarakat adat Aceh sebagai sistem pemerintahan hukum adat

(33)

mukim, merupakan salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat Aceh dalam menertibkan dan memelihara kedamaian dalam masyarakat. Dengan demikian Imum Mukim dalam sistem pemerintahan hukum adat Aceh adalah berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan mitra pemerintahan dibawah Camat, dalam menjalankan pemerintahan dan mewujudkan perdamaian dan adat istiadat serta memelihara kerukunan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan prinsip pelaksanaan Syariat Islam.

Berdasarkan kewenangan yang dimiliki Mukim, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan hukum adat mukim di Aceh, Imum Mukim, bersama menjalankan roda pemerintahan hukum adat mukim, untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Majelis Musyawarah Mukim, dimana dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh seluruh perangkat-perangkatnya yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Namum Imum Chiek sebagai tokoh ulama dan pemangku adat dalam sistem pemerintahan hukum adat mukim, memiliki tugas untuk menjaga adat dan hukum adat, serta menjalankan pemerintahan hukum adat mukim sesuai dengan Syariat Islam.

Kepemerintahan mukim dan gampông adalah pelibatan masyarakat secara langsung dalam berbagai pengambilan kebijakan, yaitu bermaksud melibatkan rakyat secara partisipatif dalam berbagai program pembangunan gampong. Komitmen akan lahir dari penyertaan pemuka-pemuka masyarakat terhadap suatu perkara/sengketa. Pemuka dimaksud seperti Imum Mukim dan Geuchik akan menjadi pemuka masyarakat pada masyarakat tersebut, masyarakat dengan pemuka, dan tokoh dengan pemerintahan yang lebih tinggi di tingkat kabupaten.4

Sejak berlaku otonomi khusus sesuai undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, penetapan terhadap keberadaan Mukim dan Gampông semakin diperkuat

4 JKMA, Kemandirian Pemerintahan Aceh terhadap Mukim dan Gampông. Diakses di

(34)

dengan disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 98 Ayat (3), Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), salah satunya meliputi Imum Mukim atau nama lain. Namun demikian, belum ada ketegasan pasti tentang peran Imum Mukim dan perangkat adat lainnya seperti yang diharapkan masyarakat di tingkat gampông.5

Ada sembilan azas hukum pemerintahan mukim yang sudah diakui sejak zaman dahulu, yaitu:6

1. Kedudukan kepala gampông (Geuchik) hendaknya diakui secara resmi oleh pemerintah.

2. Jabatan kepala gampông mesti diperoleh melalui suatu pemilihan (bukan penunjukan langsung oleh atasan serupa camat).

3. Pendapatan kepala gampông dan pembantu-pembantunya diperoleh berdasarkan adat yang berlaku di komunitas tersebut.

4. Pengelolaan pemerintahan gampông diserahkan kepada kepala gampông berdasarkan aturan-aturan yang akan menjamin pelaksanaannya tercapai baik.

5. Disebutkan bahwa mesti ada sejumlah orang yang ditentukan boleh ikut berembuk mengenai persoalan gampông. Dalam hal ini maksudnya adalah perangkat adat lainnya seperti Tuha Peut, Tuha Lapan, Teungku Sagoe, Teungku Meunasah.

6. Kepala gampông akan mewakili gampôngnya dalam setiap perkara hukum, baik di gampôngnya maupun di luar gampông.

7. Harta kekayaan komunal harus dijaga dan dipertahankan.

8. Kerja wajib (tanpa bayaran) untuk kepentingan desa hendaknya dibenar-kan dan mesti ada pemebenaran-pembenaran.

5Ibid.

(35)

9. Pejabat yang berkedudukan lebih di atas kepala gampông dibenarkan ikut campur masalah gampông dengan keizinan masyarakat dan kepala gampông selama hal itu menyangkut kewenangan yang ada pada kepala gampông.

Pemerintahan tingkat bawah (mukim) akan dapat mandiri dan masyarakat di Gampông diasumsikan dapat mengatur segala persoalannya tanpa harus meminta turun tangan pihak kepolisian atau pejabat tingkat kabupaten. Artinya, inilah yang disebutkan kehidupan mandiri.

Berdasarkan hal di atas, lembaga adat mukim di Aceh tidak akan pernah hilang, walaupun undang-undang sempat tidak mengakui keberadaan lembaga adat tersebut dalam sistem hukum nasional. Perlu diingat bahwa masyarakat adat Aceh, selalu menjunjung tinggi nilai-nilai leluhurnya, dan selalu dijadikan sebagai pedoman hidup dalam masyarakat adat Aceh. Bagi masyarakat adat Aceh, hukum adat adalah perwujudan yang terkandung dalam hukum Islam, dan hukum Islam adalah jiwanya hukum adat bagi orang Aceh. Oleh karena itu antara hukum adat dan hukum Islam memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

2.2. Lembaga Mukim di Aceh.

Mukim adalah salah satu bentuk pemerintahan di Aceh yang diakui dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006. Model tersebut sudah dijalankan di Aceh sejak masa kesultanan Iskandar Muda tahun 1607. Pada masa Pemerintahan Kerajaan Aceh, dikenal ada empat (4) satuan pemerintahan yang berada di bawah Sulthan yaitu, Panglima Sagoe,

Ulhee Balang, Imum Mukim dan Keuchik. Imum Mukim merupakan Pemimpin

Mukim. Mukim adalah daerah teritorial yang merupakan gabungan dari beberapa Gampong yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan pemimpinnnya disebut Geuchik. Geuchik

(36)

merupakan pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan Kerajaan Aceh. Pada masa itu Imum Mukim mempunyai tugas:

1. Bertindak sebagai Wakil Ulee Balang untuk mengumumkan segala titahnya serta membantu pelaksanaan perintah Ulhee Balang dalam lingkungan Mukimnya.

2. Mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan Gampong. 3. Mengadili dan meyelesaikan perkara baik perdata maupun pidana yang

tidak mampu diselaikan oleh Geuchik Gampong.7

Pada masa Penjajahan Belanda, Pemerintahan Imum Mukim tetap diakui dan diberlakukan dalam system pemerintahan di Aceh dengan diatur secara khusus dalam Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederland Indie Nomor 8 tanggal 18 Nopember 1937. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang Pemerintahan Imum Mukim juga tetap diakui keberadaannya dengan diatur dalam Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. Berdasarkan peraturan tersebut Mukim diubah namanya menjadi “Ku” dan Imum mukimnya disebut “Kuco”.8 Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Pemerintahan Imum Mukim tetap dipertahankan. Oleh Keresidenan Aceh dengan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 3 tanggal 10 Desember 1946 dinyatakan bahwa Pemerintahan Mukim diberlakukan di seluruh Aceh. Berdasarkan peraturan tersebut, keberadaan Imum Mukim menjadi formal. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulee Balang karena lembaga tersebut sudah dihapus dengan Peraturan Keresidenan, melainkan berada di bawah Camat dan membawahi beberapa Geuchik Gampong.9

7 Mahdi Syahbandir, Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim di Aceh. Kanun Jurnal Ilmu

Hukum No. 62, Th. XVI (April, 2014), hlm. 1.

8 Tabrani Ibrahim, Monografi Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Tunggal,

1986), hlm. 10-11. Bisa lihat juga pada Mahdi Syahbandir, Sejarah Pemerintahan Imum Mukim di Aceh.

(37)

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, gampong merupakan satuan terendah susunannya di tingkat pemerintahan di Aceh. Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada saat itu menetapkan Gampong sebagai Desa. Pada hal yang memenuhi syarat sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang tersebut adalah Mukim. Dengan ditetapkan Gampong sebagai Desa, maka di Aceh pada saat itu terdapat 5.351 Desa dan 112 Kelurahan.10 Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 mengakibatkan hilangnya Pemerintahan Imum Mukim, karena Undang-Undang tersebut tidak mengaturnya. Kedaan ini menjadi suatu permasalahan tersendiri karena keberadaan dan peranan Imum Mukim tidak dapat digantikan baik oleh Pemerintahan Kecamatan maupun oleh Pemerintahan gampong.

Unit pemerintahan terkecil di Aceh disebut Gampong, ketika itu, persekutuan dari beberapa Gampong disebut Mukim. Gampong yang dipimpin seorang Geuchik sebagai pimpinan adat memiliki kewenangan atas lingkungan dan sumber daya alam, hak atas pemanfaatan sumber daya alam, hak untuk ikut dalam pengaturan lingkungan dan menyelenggarakan sejenis peradilan untuk menyelesaikan sengketa.11

Gampong-Gampong di Aceh, pernah mengalami proses pelemahan yang sistematis selama puluhan tahun. Proses ini, dimulai dengan dikeluarkannya sejumlah Undang-Undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistis. Seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Pertambangan. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang akhirnya direvisi dengan Undang-Undang

10 Mahdi Syahbandir, Sejarah Pemerintahan Imeum Mukim di Aceh, hlm. 14.

11 Shamdana, Mendorong Pemerintah Daerah untuk Mengakui Kesepakatan Adat

sebagai Inisiatif Mukim-Gampong dalam Perlindungan Sumber Daya Alam. Laporan Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) Aceh Tahun 2015, hlm. 3.

(38)

Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan kewenangan otonom bagi desa untuk mengurus berbagai hal, termasuk didalamnya aset desa (sumber daya alam).

Meskipun saat ini Mukim dan Gampong sudah mendapat pengakuan dalam Undang-Undang dan Qanun di Aceh yang berbeda prosesnya dengan Undang-Undang Desa, di prakteknya kedudukan Mukim belum sepenuhnya mendapatkan perlakukan sebagaimana tertulis dalam Peraturan Negara dan juga peraturan daerah. Mukim masih harus berjuang dalam mengadvokasi hak dan kewenangannya, hal ini bertujuan agar kedaulatan Mukim dapat dipraktekkan dalam semua aspek, kewenangan dan hak Mukim tidak hanya sebatas di peraturan saja, tetapi harus diterjemahkan secara praktek nyata.

Dalam kenyataannya masyarakat masih membutuhkan Imum Mukim. Kalau ada masalah dalam masyarakat yang tidak mampu diselesaikan oleh Kepala Desa, mereka akan melapor dan meminta bantuan Imum Mukim. Begitu pula bila ada masalah antara gampong dengan gampong yang tidak dapat diselesaikan, Camat juga akan meminta bantuan Imum Mukim. Menyadari hal itu maka Pemerintah Daerah Istimerwa Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Perda ini dibuat dalam rangka mengakomodasi Lembaga Imum Mukim dan Lembaga adat lainnya yang dalam kenyataannya masih hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat Aceh. Adapun lembaga-lembaga adat yang diatur dalam Perda itu adalah, Tuha Peut, Imum Meunasah, Kejreun

Blang, Panglima Laot, Petua Seunebok, Haria Pekan, dan Syahbandar. Semua

lembaga adat tersebut berkedudukan sebagai unsur pembantu Kepala desa dalam melaksanakan tugas sehari-hari sepanjang menyangkut dengan hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat.

Saat berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, keberadaan Imum Mukim diakui secara legal

(39)

formal. Pengaturan lebih rinci tentang kedudukan, tugas, fungsi, oragnisasi, pembentukan Mukim dan tentang harta kekayaan dan pendapatan Mukim diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2003. Pada tahun 2006 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Menurut Undang-Undang ini mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan Mukim diatur dengan Qanun Kabupaten/kota. Dengan demikian keberadaan pemerintahan Mukim sekarang ini diserahkan kepada masing-masing Pemerintahan Kabupaten/kota untuk mengaturnya.

Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, mengakibatkan pemerintahan Imum Mukim tidak lagi dakui sebagai pemerintahan formal di Aceh. Dengan Undang-Undang tersebut Gampong ditingkatkan statusnya menjadi Desa dan Geuchik sebagai pimpinan Gampong diubah sebutannya menjadi Kepala Desa. Keberadaan Imum Mukim manjadi Kuat kembali setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Melalui Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dapat ditemukan empat jenjang Pemerintahan di Aceh, yakni:

1) Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota. 2) Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan. 3) Kecamatan dibagi atas mukim.

4) Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong.

Berdasarkan aturan tersebut, menggambarkan bahwa secara yuridis, posisi Mukim terdapat dalam salah satu strata pemerintahan di Aceh. Secara konsep yuridis, yang dimaksudkan dengan mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat (dalam Pasal 1 ayat (19) Undang-Undang Pemerintahan Aceh). Di samping pengaturan mengenai strata

(40)

pemerintahan, Mukim itu sendiri juga harus dilihat dalam dua pemposisian. Pemposisian pertama, apa yang diatur dalam Pasal 98 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa Imum Mukim sebagai salah satu lembaga adat (Pasal 98 ayat (3) huruf b), dimana lembaga tersebut berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat (Pasal 98 ayat (1)), serta penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat (Pasal 98 ayat (2)).12 Menariknya, qanun pelaksana terhadap pasal tersebut sudah tersedia, yakni Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Pemposisian Kedua, apa yang diatur dalam Pasal 114 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal tersebut disebutkan mengenai ketentuan pembentukan mukim yang terdiri atas beberapa gampong yang dipimpin oleh Imum Mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh Tuha Peut Mukim atau nama lain (Pasal 114 ayat (1) dan (2)). Imum Mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun (Pasal 114 ayat (3)). Ketentuan tersebut melahirkan dua amanah, yakni Qanun Kabupaten/Kota yang mengatur mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim (Pasal 114 ayat (4)), dan Qanun Aceh mengenai tata cara pemilihan Imum Mukim (Pasal 114 ayat (5)). Amanah tersebut, antara lain melahirkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim. Dalam Qanun ini juga diberikan klausul, bahwa Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dinyatakan tidak berlaku lagi apabila telah ada Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Di samping dua pemposisian tersebut, sebenarnya masih ada ketentuan lainnya, yakni Pasal 112 ayat (3) huruf (b) yang mengatur mengenai Camat yang

12 Taqwaddin Husin, dkk., Mukim di Aceh, (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia,

(41)

menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi membina penyelenggaraan pemerintahan mukim.13

Semua ketentuan di atas, pada dasarnya menggambarkan bahwa secara de jure, kedudukan Mukim dan Imum Mukim sudah diakui dalam Undang-Undang. Pengakuan de jure tersebut, diklasifikasi kembali kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

1. Mukim sebagai lembaga pemerintahan. Di samping itu, dalam Pasal 3 Qanun Nomor 3 Tahun 2009 tegas pula disebut bahwa, Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.

2. Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki wilayahnya

sendiri. Hal ini terlihat dari konsep dasar yang dibangun dalam Pasal 1 angka (19) Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

3. Imum Mukim sebagai lembaga adat, yang berfungsi dan berperan sebagai

wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, serta penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.14

Tiga klasifikasi di atas, menyebutkan bahwa yang harus dilakukan Mukim sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, yakni: Pemungsian pertama, Mukim sebagai pemerintahan, melakukan tugas-tugas pemerintahan, yang di dalamnya membutuhkan pelaksanannya, antara lain

Imum Mukim sebagai kepala pemerintahan dan Tuha Lapan sebagai

”penyeimbang”. Hal ini merupakan bentuk dari kekuasaan ”eksekutif” dan ”legislatif”. Pemungsian kedua, Mukim sebagai kesatuan masyarakat adat

13Ibid, hlm. 13-14. 14Ibid.

(42)

memiliki sebuah sistem berbeda yang umumnya tidak tertulis. Konsekuensinya adalah butuh optik yang berbeda dalam melihat wilayah Mukim sebagai Pemerintahan dibandingkan dengan optik dalam melihat konsep pemerintahan pada umumnya. Pemungsian ketiga, Imum Mukim sebagai lembaga adat, yang memiliki peradilan adat, yang bisa digolongkan dalam wilayah kerja ”yudikatif”. Namun dalam hal ini, Tuha Lapan yang sebenarnya lebih kepada kekuatan eksekutif, dalam hal ini diposisikan kembali sebagai ”pembantu” Imum Mukim, yang juga dibantu Imum Masjid.

2.3. Peranan Imum Mukim Dalam Sistem Kelembagaan Pemerintahan.

Menilik sejenak pemerintahan adat mukim masa Orde Lama atau ketika Aceh dinabalkan menjadi daerah istimewa, mukim masih mendapat peranan dalam tatanan kepemerintahan. Peran yang dijalankan oleh mukim pada masa itu masih menyangkut lima hal, yaitu pelaksanaan peradilan, adat, syariah, pem-bangunan, dan pemerintahan. Dalam wilayah peradilan, Imum Mukim berperan sebagai mediasi terhadap sengketa masyarakat yang belum bisa diselesaikan oleh Geuchik. Dalam wilayah adat, Imum Mukim berfungsi membawahi lembaga-lembaga adat lainnya di tingkat mukim dan gampông. Dalam wilayah pembangunan, Imum Mukim menjadi pengawas dan pemimpin pembentukan panitia. Dengan kata lain, segenap peran dan fungsi imum mukim pada masa Orla masih berjalan sebagaimana mestinya sesuai adat yang berlaku di Aceh.15

Namun, seiring pergantian rezim, yaitu dengan masuknya Orde Baru (Orba), fungsi Imum Mukim dihilangkan. Hal ini terjadi karena kebijakan sepihak pemerintah yang mengesahkan undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang telah menyeragamkan segala bentuk pemerintahan adat di Indonesia. Dalam konteks Aceh, gampông digubah menjadi Desa yang struktur kepemerintahan di atasnya diberikan kepada Camat

15 Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Rumpun

(43)

sehingga Imum Mukim kehilangan peran dan fungsi. Pemimpin dalam sebuah gampông diberikan kepada kepala desa (Kades) yang semua tindakannya mesti dipertanggungjawabkan kepada Camat. Dengan kata lain, desa dijadikan sebagai instrumen kekusaan pusat.16

Masa konflik, kendati Pemerintahan gampong masih dibakukan, aparat (polisi/TNI) dan GAM tetap menjumpai Imum Mukim saat masuk sebuah wilayah di Aceh. Ini menunjukkan bahwa keberadaban Pemerintahan gampong hanya diputuskan sepihak oleh pemerintah Jakarta, sedangkan orang-orang di tingkat bawah hingga aparatur negara, tetap masih mengakui keberadaan Imum Mukim di Aceh.

Kalau melihat pada masa Kesultanan Aceh, Imum Mukim merupakan struktur formal dalam penyelenggaraan Pemerintah Gampong. Imum Mukim merupakan mitra kerja dari para Geuchik-Geuchik. Setelah dikeluarkanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang penyempurnaan Pemerintahan Desa, Imum Mukim dihapuskan dalam struktur pemerintahan Gampong, sedangkan peran dan fungsinya masih diakui oleh masyarakat. Dengan adanya permasalahan ini, Pemerintah Daerah menindak lanjuti dengan Perda Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasan masyarakat beserta lembaga adat di Propinsi daerah Istimewa Aceh, dan diperkuat lagi dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1996 tentang Mukim sebagai kesatuan masyarakat adat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Peran Imum Mukim dalam hal koordinasi Imum Mukim telah dapat memberikan masukan dan pertimbangan dalam perencanaan pemerintahan dan pembangunan. Dalam melakukan evaluasi, Imum Mukim telah dapat melaksanakan pengawasan sebagai bagian dari masyarakat, dalam pelaksanaan hukum adat, Imum Mukim bertidak sebagai mediator, dalam pelestarian adat dan

(44)

budaya Imum Mukim berkedudukan sebagai pengarah, dalam pengelolaan kekayaan Mukim Imum Mukim sebagai pengelola. Peranan Imum Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Gampong sangat penting, mengingat Imum Mukim merupakan tokoh yang sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat.17

Berkaitan dengan sejarah timbulnya mukim telah mengalami masa yang sangat panjang. Problema dan tarik ulur tentang eksistensi adanya mukim tersebut juga telah mengalami perubahan yang signifikan. Mukim terbentuk bersamaan dengan masuknya Agama Islam ke Aceh. Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial kemasyarakatan maupun untuk kehidupan beragama. Dalam tata pemerintahan aturan dalam mukim tersebut juga digunakan untuk menentukan sistem pemerintahan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Terbentuknya mukim tersebut menjadi dasar bagi pelaksanaan kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at. Inti dari pelaksanaan mukim itu adalah penegakan syariat Islam. Masa demi masa telah dilalui oleh masyarakat Aceh dalam mempertahankan keberadaan sistem hukum adat tersebut.18

Adapun pada masa Kerajaan Aceh struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu:19

1. Seorang Sultan yang memimpin sebuah kerajaan dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee balang atau anak buahnya. 2. Seorang Panglima yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang.

3. Ulee Balang yang bertugas mengkoordinir beberapa mukim.

4. Imem mukim yang membawahi beberapa gampong, dan

5. Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah.

17 Rahmad Fadli, Peranan Imeum Mukim dalam pelaksanaan Pemerintahan Gampong

(Studi kasus di Mukim Meuraxa Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh). Diakses di internet pada tanggal 25 September 2019 dari situs: http://etd.repository.ugm.ac.id

18 Muhammad Jamin, Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional, (Surakarta: UNS

Press, 2004), hlm. 22.

(45)

Dalam sistem yang dijalankan dalam kehidupan sehari-harinya, sistem mukim ini mempunyai ciri khusus yaitu, dasar yang diterapkan dalam ritual keagamaannya menunjukkan bahwa sistem pemerintahan mukim berazaskan Agama Islam, adanya perhatian terhadap syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan atau pemuka agama Islam, adanya mekanisme dan pola pengelolaan tanah yang dijalankan, dan terakhir dalam penyelesaian sengketa yang mengutamakan perdamaian melalui musyawarah.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia sistem pemerintahan mukim tetap diberlakukan dengan mengacu pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Pada masa rezim Orde Baru penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara sentralistik yang diikuti dengan politik hukum unifikasi untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Otonomi Daerah, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka keberadaan Pemerintahan Mukim ini tidak lagi mendapat pengakuan dari pemerintah. Dampak terbesarnya adalah sistem pemerintahan mukim tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan dalam struktur pemerintahan di Aceh. Hal ini dalam prakteknya tidak serta merta dapat menghapuskan keberadaan lembaga adat mukim yang ada di Aceh. Justru sebagian masyarakat, lembaga Mukim beserta lembaga adat lainnya tetap dipertahankan. Hal ini memang telah bertolak belakang dengan aturan yang ada.20

Dengan berjalannya proses reformasi rekonstruksi sistem pemerintahan di Indonesia, maka maka pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan

(46)

kelembagaan pada tingkat gampong di Aceh. Khusus bagi Aceh dalam rangka penyelesaian konflik pemerintah membuat produk hukum juga pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 1 point 11 Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan di atas, melainkan berada di bawah Camat dan membawahi beberapa gampong. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Dalam perkembangan tentang sistem prolegnas di Indonesia maka pemerintah juga telah mengambil kebijakan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Undang-Undang tersebut maka eksistensi dan keberadaannya makin terjamin sehingga sistem mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan.

(47)

37

BAB III

PELAKSANAAN ADAT MUKIM DALAM QANUN ACEH

SELATAN NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAHAN MUKIM

3.1. Profil Kecamatan Kluet Utara.

Peta tersebut di atas adalah wilayah kecamatan Kluet Utara di kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Kecamatan ini terdiri dari 3 mukim dan 21 gampong, yaitu:

No Mukim Gampong

1. Asahan Fajar Harapan

Krueng Bate Pasi Kuala Asahan Gunong Pulo Puloe Ie 1 Jambo Manyang Simpang Empat Kampung Tinggi Ruak

(48)

2. Sejahtera Limau Purut Pulo Kambing Kampung Paya Krueng Batu Krueng Kluet Alurmas

3. Kuala Bau Simpang Lhee

Suaq Geringgeng Pasi Kuala Bau Keude Padang Kotafajar Gunung Pudung

Kecamatan Kluet Utara memiliki batas wilayah sebagai berikut: Utara : Kecamatan pasi Raja

Timur : Kecamatan Kluet Tengah

Selatan : Kecamatan Kluet Timur dan Kluet Selatan Barat : Kecamatan Pasi Raja

3.2. Pemerintahan Mukim Asahan Kecamatan Kluet Utara Menurut Qanun Aceh Selatan Nomor 23 Tahun 2012.

Mukim adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Ulee Balang. Sistem ini diterapkan pada zaman Kesultanan Aceh. Mukim dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum dibawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah, tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim dan berkedudukan langsung dibawah Camat.

(49)

Mukim berasal dari bahasa Arab, dan diartikan sebagai suatu distrik yang terdapat satu mesjid yang dipakai bersama-sama untuk Sembahyang Jumat. Sedangkan menurut KBBI Mukim dapat berarti orang yang tetap tinggal di Mekkah, penduduk tetap, tempat tinggal, kediaman, daerah (dalam lingkungan suatu Masjid) dan kawasan.

Setelah Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Mukim kembali digunakan dalam struktur Pemerintahan Aceh. Pemimpin Mukim disebut Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara Musyawarah Mukim. Pemilih yang mempunyai hak untuk memilih mukim adalah:

1. Imum Chik

2. Keuchik Gampong dalam wilayah mukim yang bersangkutan. 3. Tuha Peuët Mukim.

4. Imum Meunasah.

5. Ketua lembaga adat yang ada di mukim bersangkutan.

6. Tiga orang tokoh masyarakat perwakilan ulama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan.

Hal di atas sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Pasal 114

1) Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong.

2) Mukim dipimpin oleh Imum Mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet Mukim atau nama lain. 3) Imum mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5

(lima) tahun.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Imum Mukim diatur dengan Qanun Aceh.

(50)

Mengenai ketentuan lebih lanjut terkait dengan pemilih yang mempunyai hak untuk memilih Imum Mukim, disebutkan dalam Pasal 11 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim di Aceh, yaitu:

1) Pemilih yang mempunyai hak untuk memilih Imum Mukim adalah anggota musyawarah mukim, terdiri atas:

a) Imum Chick.

b) para keuchik dalam wilayah mukim yang bersangkutan.

c) Tuha Peuet Mukim.

d) Imum Gampong.

e) Para ketua lembaga adat yang ada di mukim bersangkutan; dan f) 3 (tiga) orang tokoh masyarakat yang mencerminkan ulama, tokoh

perempuan dan tokoh pemuda.

2) Nama pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh panitia pemilihan dalam suatu daftar pemilih.

Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Aceh yang terdiri dari gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berkedudukan langsung dibawah kecamatan /sagoe cut atau nama lain yang dipimpin oleh Imum Mukim. Selanjutnya, lembaga

mukim dipimpin oleh seorang Imum Mukim yang dibantu oleh sekretaris mukim.

Keputusan mukim dilakukan dalam rapat adat yang diikuti oleh Imum Mukim, sekretaris mukim dan Tuha Peut, sebagaimana yang terdapat pada uraian bab terdahulu.

Keberadaan mukim saat ini hanya sebagai lembaga adat yang tidak mempunyai kekuasaan pemerintah. Mukim ini sudah sejak lama merupakan simbol adat yang lazim dipentingkan pada upacara-upacara adat saja, seperti kanduri blang, kanduri laot, dan kanduri-kanduri lainnya. Fakta seperti ini tentunya sangat berbeda dengan keberadaan mukim zaman kesultanan Aceh. Ketika kita melihat kembali sejarah, dimana saat itu keberadaan mukim tidak saja mendapatkan pengakuan sosio-antropologis masyarakatnya, tetapi

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan menulis catatan harian merupakan lanjutan dari kegiatan yang berawal dari menulis satu kejadian yang pernah dialami siswa. Kegiatan yang sama

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kooperasi dan kompetisi secara parsial terhadap kinerja perusahaan, pengaruh kompetisi dan kooperasi

Dari hasil observasi terhadap siswa dengan kemampuan sedang dapat dilihat bahwa siswa telah mengerti operasi perkalian dan pembagian, sehingga waktu yang dibutuh tidak terlalu lama

Dengan tidak menjadi jaringan televisi swasta nasional, diharapkan nilai-nilai lokal dalam program televisi lokal tersebut bisa terjaga.. Observasi

Instruksi Presiden untuk mengambil langkah tegas terhadap para pelaku Illegal Fishing yang salah satunya dilakukan dengan menenggelamkan kapal dilakukan dengan

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Jl. Beberapa contoh aplikasi di lapangan adalah pada struktur jalan raya yang membutuhkan perbaikan atau

Belum layak Pasien autoimun tidak dianjurkan untuk diberikan vaksinasi Covid sampai hasil penelitian yang lebih jelas telah dipublikasi... HIV Layak (dengan

Penelitian ini bertujuan membandingkan potensi inhibisi dari senyawa a-mangostin, ~-mangostin, y-mangostin sebagai inhibitor protein Akt Kinase secara in silica