• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU A. Pengertian Korban Kejahatan

Istilah yang dikenal secara universal adalah victimology yang merupakan perkembangan dari kriminologi yang tidak dapat dipisahkan sebagai bagian integral dari kriminologi.28Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan29. Secara teoritis dan praktik pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai bagian perlindungan masyarakat sesuai teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument). Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985 sebagai Resolusi PBB Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985 yang telah disepakati oleh banyak negara, kita dapat mengerti bahwa korban kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun kelompok telah mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka melalui tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang dilakukan di

28 H.R. Abdussalam, Kriminologi, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm 147.

29 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan , (Yogyakarta: Graha Ilmu , 2010), hlm 51.

(2)

dalam negara anggota termasuk hukum yang melarang dalam penyalahgunaan kekuasaan.30

Korban kejahatan mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya kejahatan. Dan dalam pengertian yang luas korban kejahatan bukan saja keluarga dan teman korban tetapi juga badan hukum dan badan usaha, kelompok, organisasi maupun Negara karena badan-badan maupun kelompok-kelompok dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan dilindungi hukum. Akan tetapi kadang kala korban juga sebagai pelaku, contoh dalam kejahatan narkotika.

1. Hak-hak Korban

Setiap masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun media elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan atau kerugian bagi korban dan juga keluarga korban.

Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun refresif, dan semua harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.

Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga khusus untuk menanganinya. Namun pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan

30 http://hukum positif.com/node/18, Keberadaan Korban ditinjau Dalam Pandangan Teori dan

(3)

keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.

Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan (fisik, mental, atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.

Sekalipun demikian, tidak sedikit korban ataupun keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi31:

a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan.

b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;

c. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku; d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

e. Hak untuk memperoleh kembali hak miliknya; f. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;

g. Berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya.32

31

(4)

h. Berhak mempergunakan upaya hukum

i. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;

j. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;

k. Hak atas kebebasan pribadi / kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

Van Boven seorang pelapor khusus PBB mengemukakan hak-hak korban pelanggaran Hak Asasi Manusia secara komprehensif yang tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice) tetapi juga hak atas reparasi (right to reparation). Berdasarkan penyelidikan Van Boven, hak-hak tersebut sudah terangkai didalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku, dan sudah ditegaskan pula dalam putusan-putusan (yurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.33

Yang dimaksud dengan hak reparasi atau lebih sering kita dengar dengan istilah seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi yang bisa diterjemahkan sebagai proses pemulihan yaitu suatu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi korban pelanggaran hak asasi manusia; pemulihan ini sering disebut dengan istilah kompensasi, rehabilitasi dan restitusi.

32 Arif Gosita, op.cit, hlm 105.

33 Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi,

(5)

Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Sedangkan Restitusi adalah kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri. Sementara Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial.34

Hak-hak korban yang dipaparkan diatas menurut van Boven memang tidak mampu sepenuhnya memulihkan korban pada keadaannya semula. Karena pada dasarnya pelanggaran berat hak asasi manusia , apalagi yang dilakukan dalam skala besar tidak dapat diperbaiki. Sedangkan yang menjadi kewajibannya dari si korban adalah tidak main hakim sendiri, tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban dan bersedia menjadi saksi bila tidak membahayakan dirinya dan ada jaminan.35

Dalam pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan dikenal dengan 2 model yaitu model hak-hak procedural dan model hak-hak pelayanan. Yang dimaksud dengan model hak-hak procedural yaitu si korban diberikan hak berperan aktif dalam proses persidangan di pengadilan dan mendudukkan sikorban sebagai seorang subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk mengejar kepentingannya. Sedangkan model hak-hak pelayanan, penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan. Polisi

34 Theo Van Boven, op.cit, hlm xvii. 35

(6)

dapat mempergunakan korban kejahatan yaitu memberikan motivasi dan perlindungan keamanan. Kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat retributive dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan.36

2. Jenis-jenis Korban

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban sehingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut37:

a. nonparticipating victims yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.

b. latent victims yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban

c. procative victims yaitu mereka yang menimbulkan terjadinya kejahatan.

d. participating victims yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.

e. false victims yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan diatas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut:38

36 H. R. Abdussalam, op.cit, hlm 150.

37 Dikdik M Arief Mansur dan Eliatris Gultom, op.cit, hlm 49. 38

(7)

a. unrelated victims yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.

b. provocative victims yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.

c. participating victims yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. biologically victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. socially weak victims yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

f. self victimizing victims yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut39: a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban.

Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.

b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang meransang orang lain untuk melakukan kejahatan.

Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.

c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.

39

(8)

Anak-anak, orangtua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku.

Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran. perjudian,, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.

B. Perlindungan Saksi dan Korban dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sebelum lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006

Masalah perlindungan saksi dan korban sebelum lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006 sudah ada sebelumnya namun perlindungan yang diberikan bisa dikatakan masih kurang ataupun belum lengkap. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah:

1. Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia, dimana keluarga adalah lembaga pertama sebagai tempat manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna menumbuh kembangkan potensi seseorang untuk saling berbagi kasih sayang namun seringkali dalam kenyataannya keluarga malah menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan atau aktivitas illegal yang dapat menimbulkan penderitaan maupun kesengsaraan yang dilakukan

(9)

oleh salah satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, seperti penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.40

Dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum lelaki ditempatkan pada posisi dominan sebagai kepala rumah tangga. Pada posisi yang sedemikian superior sering mengakibatkan dirinya sangat berkuasa ditengah keluarga dan bahkan menyalah artikan posisi yang dimilikinya terhadap anggota keluarga lainnya dan menjadi aktor pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian dalam rumah tangga, laki-laki tidak melulu menjadi pelaku utama kekerasan, perempuan juga terlibat didalam tindak pidana ini walau hanya dalam skala yang lebih kecil.

Jika merujuk kepada pengertian kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 dalam pasal 1 huruf 1 menyebutkan;

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Dalam hal ini juga dikatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya melulu harus diartikan sebagai bentuk tindakan fisik (memukul atau menjambak), termasuk juga kekerasan dalam bentuk psikis, seperti terus menerus ditekan atau dipojokkan dalam keluarganya. Bahkan suatu bentakan atau kata-kata kasar atau memelototi, sudah dianggap sebagai suatu bentuk kekerasan.

40

(10)

Dengan mengacu pada pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud41:

a) Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit ataupun luka berat;

b) Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang

c) Kekerasan seksual yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang tingal menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. d) Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.

Rumah tangga menghadapi berbagai hambatan untuk dapat mengakses hukum, seperti:

41

(11)

a) Sulitnya melaporkan kasusnya, karena adanya pandangan yang tabu untuk membicarakan masalah rumah tangga seseorang.

b) Malu melaporkannya karena dinilai tidak mampu untuk mengurus keluarganya, yang dapat mencemarkan nama baik keluarganya.

c) Takut melaporkannya, karena justru dapat memperparah kekerasan yang dialami dalam keluarga.

d) Adanya kekhawatiran terjadi perceraian dalam keluarga yang dapat mengakibatkan terlantarnya anak-anak.

e) Tidak memperoleh tanggapan yang positif dari aparat penegak hukum, karena dianggap hanya sebagai persoalan keluarga biasa saja.

f) Sulitnya alat bukti sebagai salah satu persyaratan adanya tindak pidana g) Adanya anggapan besarnya biaya yang haus ditanggung dalam proses

selanjutnya

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga, yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Korban menurut Undang-undang ini adalah socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan/kerugian yang sangat beragam, seperti materiil, fisik maupun psikis sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus beragam juga. Tidak sedikit korban dalam kekerasan dalam rumah tangga mengalami penderitaan secara beruntun

(12)

pada waktu bersamaan. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

Setelah keluarnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diundangkan pada 22 September tahun 2004, muncul kesadaran dari korban untuk melapor kepada pihak yang berwajib apabila terjadi aksi kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-undang ini korban mendapat jaminan perlindungan sesuai dengan pasal 1 angka 4: 42

“Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”

Guna mengurangi beban penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, undang-undang memberikan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan:

a) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

42 Pasal 1 angka 4 UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

(13)

d) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e) Pelayanan bimbingan rohani.

Undang-undang ini juga mengatur tentang perlindungan sementara yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga sosial atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat penting untuk diberikan segera diberikan kepada korban karena jika korban harus menunggu turunnya penetapan pengadilan yang berisikan perintah perlindungan, dikhawatirkan prosesnya lama sementara korban membutuhkan perlindungan dalam waktu yang relatif cepat.

Wujud dari pemberian perlindungan terhadap korban ini juga dapat dilihat dari pemberitahuan perihal perkembangan kasus yang ditangani oleh kepolisian kepada korban. Upaya ini dilakukan guna menghindarkan adanya upaya-upaya dari pihak tertentu yang berusaha untuk menghentikan proses pemeriksaan tanpa alasan yang jelas.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme

Aksi terorisme dapat terjadi kapan pun, dimana pun dan menimpa siapa pun tanpa pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi terorisme sangat besar43. Indryanto seno Adji menyatakan: terorisme sudah menjadi bagian dalam extra ordinary crimes yang berarti suatu kejahatan kekerasan yang berdimensi khusus

43

(14)

atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya yang sering disebut kejahatan kebiadaban dalam era keberadaban karena kejahatan itu mengorbankan manusia/orang-orang yang tidak berdosa.

Setelah terjadinya peristiwa Bom Bali I tahun 2002, muncul desakan pada pemerintah agar segera menyusun perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal itu disebabkan karena selama ini ketentuan yang dipergunakan untuk menjerat para pelaku peledakan bom adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Mengingat kondisi pada saat itu sangat mendesak, sementara untuk menyusun undang-undang memerlukan waktu yang relatif lama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam perkembangan berikutnya, Perpu no 1 Tahun 2001 telah diubah menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003.

Sebagaimana diketahui bersama, aksi-aksi terorisme yang selama ini telah terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, warga sipil hingga aparat keamanan, bahkan dalam beberapa peristiwa peledakan bom korban harus mengalami cacat tubuh hingga seumur hidup serta gangguan psikis lainnya yang sifatnya menahun. Oleh karena itu, guna mengurangi dan atau memulihkan keadaan korban (keluarganya), perlu diupayakan bentuk-bentuk perlindungan yang sifatnya komprehensif.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan pengaturan tentang perlindungan korban dan ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme. Bentuk perlindungan yang diberikan

(15)

meliputi pemberian kompensasi atau restitusi, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 36 ayat (1) bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.

Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan restitusi merupakan ganti kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya. Namun, sampai sekarang belum ada lembaga pemerintah yang secara khusus dibentuk untuk menjalankan tugas dalam mengelola masalah ini.

Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari welfare state. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Apabila Negara tidak mampu untuk memberikan kesejahterakan bagi warga negaranya (dalam hal ini melindungi warga negaranya dari aksi-aski terorisme) pemerintah harus bertanggungjawab untuk memulihkannya.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Apabila dipandang dari sudut victimologi, korban dalam undang-undang ini merupakan self-victimizing victims yaitu seseorang yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri44. Namun, ada juga yang mengelompokkannya dalam victimless crime atau kejahatan tanpa korban karena dalam kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak adalah terlibat.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak memberikan gambaran jelas bagaimana cara perlindungan dan perlakuan terhadap

44

(16)

korban penyalahgunaan psikotropika. Sebagaimana undang-undang lain pada umumnya, fokus utama undang-undang ini adalah dari sisi pelaku kejahatan bukan dari sisi korban kejahatan. Sekalipun demikian, ada ketentuan yang secara khusus memerintahkan kepada pelaku (korban) penyalahgunaan psikotropika untuk mengikuti program rehabilitasi ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang, seperti tercantum dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan medis dan social agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin. Sementara itu, rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan dan pengembangan baik fisik, mental maupun sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat.

Selama ini program rehabilitasi terhadap korban hanya terfokus pada rehabilitasi secara medis, sedangkan rehabilitasi secara sosial memegang peranan yang sama pentingnya dengan rehabiliatsi medis. Sekalipun rehabilitasi medis telah berhasil menghilangkan kecanduan seseorang terhadap psikotropika, jika tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, orang tersebut akan dengan mudah kembali kelingkungan lamanya, kemudian akan kembali menjadi pecandu oabat-obatan terlarang.

Kelemahan lain, praktik rehabilitasi yang selama ini terjadi di Indonesia adalah banyaknya ditemukan pusat-pusat rehabilitasi yang menawarkan beragam

(17)

metode rehabilitasi, mulai dari metode rehabilitasi yang bersifat rasional seperti detoksifikasi, hingga progam rehabilitasi yang sifatnya mistis, tanpa disertai dengan ijin.45

Hal yang dikhawatirkan dengan bermunculannya pusat-pusat rehabilitasi tanpa izin dari instansi terkait adalah tidak adanya pengawasan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Jangan sampai sampai muncul kasus dimana korban (pecandu) yang tadinya diharapkan sembuh dari ketergantungan, setelah mengikuti program rehabilitasi justru semakin menderita, seperti yag pernah terjadi pada sebuah pusat rehabilitasi, dimana setelah korban masuk kepusat rehabilitasi justru yang bersangkutan menjadi gila bahkan hingga meninggal dunia.

4. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan46. Namun, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, peruntukan narkotika mengalami perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif.

Oleh karena itu, agar pengguna narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menyebutkan Pengaturan narkotika bertujuan untuk:

a) Menjamin ketersediaan narkotika atau kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan

45 Ibid 46

(18)

b) Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika c) Memberantas peredaran gelap narkotika

Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Peredaran narkotika secara ilegal harus ditanggulangi mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya tetapi juga bagi keluarga, komunitas hingga bangsa dan negara. Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, untuk memberi kesempatan kepada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan agar yang bersangkutan terbebasdari kecanduannya, hakim dapat memutuskan memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan. Begitu pula, apabila pecandu narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan melakukan tindak pidana narkotika, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan dipusat rehabilitasi yang sudah disediakan oleh pemerintah.

Pemberian perlindungan kepada korban narkotika tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah, peran serta masyarakat pun diharapkan dengan diterimanya kembali mantan para pengguna dalam lingkungannya tanpa melakukan tindakan tindakan yang sifatnya diskriminatif bahkan dengan memosisikan mereka sebagai warga kelas dua yang harus dijauhi.47

47

(19)

5. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata cara Perlindungan khusus Bagi pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang48

Dalam pasal 3 Peraturan ini diatur bahwa perlindungan khusus diberikan kepada saksi dan pelapor pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara. Saksi dan pelapor tidak dikenakan biaya apapun didalam memberikan kesaksian dipengadilan serta perlindungan khusus yang diberikan kepada mereka.

6. Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian uang49

Pasal 42 undang-undang ini mengatur kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan khusus kepada saksi yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Selanjutnya pasal 43 UU ini menegaskan bahwa saksi tidak dapat dituntut baik secara pidana atau perdata atas pelaporan dan atau kesaksian yang diberikan olehnya.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban Menurut UU Nomor 13 Tahun 2006

Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang yang secara khusus mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada tanggal 11 agustus 2006, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, berlakunya undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban kejahatan

48 Gloria Juris, (Jurnal Hukum Fakultas Hukum UNIKA Atmajaya, Jakarta Vol 7 no.2 Mei-Agustus 2002), hlm 172.

49

(20)

Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur perlindungan korban kejahatan (dan saksi) untuk disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian menimbang daripada undang-undang ini, yang antara lain menyebutkan: penegak hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Padahal kita tahu bahwa peran saksi atau korban dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Keberadaan seorang saksi dan korban sebelum tahun 2006 merupakan suatu hal yang kurang diperhitungkan. Didalam KUHAP sendiri, sebagai suatu bentuk Hir/Rbg, memiliki kecenderungan dalam melindungi hak-hak warga negara yang berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana50.

Namun sering kita lupa bahwa proses pembuktian membutuhkan keterangan saksi atau saksi korban (korban yang bersaksi). Keberadaan keduanya sering kali tidak dihiraukan oleh aparat penegak maupun hukum di Indonesia. Keselamatan,baik diri sendiri maupun keluarganya pada kasus-kasus tertentu menjadi taruhannya, atas kesaksiannya.

Pada tahun 2003, good will (itikad baik) dari pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban mulai tampak, tetapi baru sebatas pada

50 Rocky Marbun, Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum, (Jakarta :Visi Media, 2010), hlm 86.

(21)

kasus tertentu. Perlindungan hukum yang diberikannya pun hanya dalam peraturan pemerintah (PP) yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang tata cara Perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Baru pada tahun 2006, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban51. Dan yang dimaksud dengan perlindungan dalam undang-undang ini adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai ketentuan undang-undang.

Keberadaan saksi dan atau korban memang sangat diperlukan dan merupakan suatu hal yang harus diperhatikan sebagai satu kesatuan dalam proses pemeriksaan dalam peradilan pidana. Saksi sebagai alat bukti utama ditegaskan dalam Pasal 184 KUHAP, yang menyebutkan:

Alat bukti yang sah yaitu: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

(22)

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa

Urutan tersebut bukan hanya urutan, tetapi juga menggambarkan tingkat kekuatan pembuktian, sehingga saksi merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian utama (nomor satu).

Pada prinsipnya perlindungan akan hak-hak seseorang sebagai saksi telah diakomodasikan dalam KUHAP, tetapi mengingat jenis tindak pidana yang semakin beragam dan menimbulkan efek atau akibat bagi keselamatan jiwa dari saksi/korban atau keluarganya, sehingga ada hal-hal khusus yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006 tersebut. Hal-hal yang diatur diluar KUHAP sebagai berikut:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan. 4. Mendapat penerjemah.

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus 7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

9. Mendapatkan identitas baru

(23)

11. Mendapatkan nasihat hukum

12. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

13. Mendapatkan tempat kediaman baru

Sementara itu, untuk korban atas pelanggaran HAM Berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial52.

Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Bahkan, dalam memberikan kesaksian didepan persidangan, jika karena kehadirannya membuat jiwanya terancam, undang-undang dalam memberikan perlindungan terhadap saksi atau korban atau pihak keluarga dengan cara melakukan kesaksian tanpa kehadirannya di pemeriksaan depan persidangan. Atau seperti contoh dalam Kasus Nazaruddin dengan saksi Terpidana kasus suap Wisma Atlet Mindo Rosalina Manullang ketika ia dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan ia dikawal atau dijaga ekstra oleh pihak keamanan karena dikatakan bahwa Rosa mendapat ancaman atau teror dari anak buah Nazarudin diluar.53 Hal ini merupakan salah satu perwujudan dari lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 dimana keselamatan dari seorang saksi menjadi prioritas dari lembaga yang dibentuk oleh Undang-undang tersebut atau sering disebut dengan LPSK. Bahkan pada saat Rosa bersaksi dia memakai rompi anti peluru sebagai bentuk upaya perlindungan

52 Ibid, hlm 88 53

(24)

keselamatan atas dirinya dari ancaman yang walaupun menurut penulis ini sedikit berlebihan mengingat sudah banyak aparat keamanan yang berjaga diluar pengadilan. Akan tetapi jika hal tersebut membuat seorang saksi nyaman maka tidak ada salahnya diberikan perlindungan yang seperti itu.

Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang memiliki itikad baik untuk melaporkan tindak pidana dan juga saksi yang memberikan kesaksiannya bahwa berdasarkan kesaksiannya tersebut ia tidak dapat dapat dituntut, baik secara pidana maupun gugatan secara perdata dan seorang saksi yang juga tersangka untuk kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan54. Ini merupakan perlindungan hak asasi seorang saksi yang diharapkan dapat memberikan keterangan sehingga terjadi kejelasan dalam suatu perkara serta menjauhkannya dari perasaan tertekan dan takut.

Dalam melakukan perlindungan atas hak-hak saksi dan korban, pemerintah membentuk suatu lembaga yang disebut Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Lembaga ini bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Permohonan agar terlindunginya hak-hak saksi atau korban dapat diajukan kepada LPSK tersebut. Namun, tidak serta merta permohonan tersebut disetujui, karena berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006, ketua

54

(25)

LPSK melakukan penelitian terhadap kasus tertentu dan dituangkan dalam keputusan LPSK55.

Pada pasal 44 undang-undang nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa pada saat undang-undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan atau korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.56

Dengan demikian hak korban dan saksi untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana tecantum dalam pasal 32 UU Nomor 36 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan pasal 3 PP Nomor 3 tahun 2000 dianggap tidak bertentangan dengan UU Nomor 13 tahun 2006, meskipun didalam undang-undang tersebut tidak diatur. Demikian juga pengaturan hal-hal lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tetap berlaku.

Berkaitan dengan permohonan bagi korban pelanggaran HAM berat akan haknya atas kompensasi dan hak restitusi (ganti kerugian), pengajuannya dilakukan oleh LPSK kepada pengadilan Negeri berdasarkan permohonan korban.

Menurut Undang-undang tersebut diatas, meskipun hak-hak dan kepentingan korban, telah dikuasakan pada LPSK, namun kenyataannya dalam Sistem Peradilan Pidana, korban tetap sebagai figuran atau hanya saksi (korban) dalam persidangan, karena hak-hak dan kepentingan korban dalam peradilan (pidana) masih di wakili oleh Polisi dan Jaksa.57 Hal ini dikarenakan belum ada pengaturan mengenai

55

Ibid, hlm 90 56

Gloria Juris, op.cit, hlm 174.

57 http://www.badilag.net/data/ARTIKEL KORBAN DALAM SUDUT

(26)

kemungkinan hakim akan memakai pendapat dari saksi dan atau korban seperti ketentuan dalam model hak-hak prosedural yang menekankan dimungkinkannya seorang korban berperan aktif dalam persidangan yang ada. Dalam model hak prosedural ini seorang korban dapat bertindak membantu jaksa di pengadilan.58

58 http://www.prakarsa-rakyat.org/download/HAM/Kampanye ELSAM RUU Perlindungan Saksi dan Korban, Kampanye ELSAM RUU Perlindungan Saksi dan Korban, diakses tanggal 29 Februari, pukul 10.00 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang saat ini dilakukan yaitu terkait place (tempat), terbukti bahwa ada empat faktor dari store atmosphere yang mempengaruhi impulse buying yaitu

 enaga enaga kerja kerja adalah adalah seluruh seluruh jumlah jumlah penduduk penduduk "ang "ang dianggap dianggap dapat dapat $ekerja dan sanggup $ekerja

0,661, hal ini menunjukkan bahwa jika anggota Gapoktan Subur Mukti menggunakan berbagai media baik media cetak maupun media elektronik, mendapatkan informasi atau pengetahuan dan

 Pengaruh perkembangan IPA dan teknologi pada pembangunan di segala bidang kehidupan telah memperlebar kesenjangan antara negara maju (kelompok utara) dengan negara

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel daun sirsak (Annona muricata L.) yang berasal dari daerah Makassar

Penelitian ini mempunyai dua tujuan. 1) Mendeskripsikan jenis kata majemuk yang terdapat pada teks berita karya siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Surakarta. 2) Mendeskripsikan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti, yaitu penerapan model pembelajaran AIR melalui media lagu bertema sejarah untuk