METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Sijungkang, Kecamatan Andam Dewi,
Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara dan di Laboratorium Kimia
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Waktu
penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 sampai Oktober 2016.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System) untuk menentukan koordinat geografis plot di lapangan, hagameter untuk mengukur tinggi pohon, phiband untuk mengukur diameter, parang atau gunting
rumput untuk memotong bagian-bagian tumbuhan bawah, meteran, patok, dan tali
plastik untuk pembuatan plot, timbangan untuk menimbang sampel, oven untuk
mengeringkan sampel, kamera digital untuk mendokumentasikan kegiatan
lapangan, alat tulis untuk mencatat data di lapangan, dan kalkulator untuk
menghitung data. Bahan yang digunakan adalah tally sheet untuk mencatat data
lapangan, kantong plastik untuk menyimpan sampel tumbuhan bawah, kertas label
untuk membuat label pada setiap sampel yang diambil pada setiap plot, dan
tumbuhan bawah di lahan agroforestri karet dan monokultur karet.
Metode Penelitian Desain Plot Penelitian
Penelitian dilakukan pada lahan agroforestri dan monokultur berbasis
tanaman karet. Luas plot contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,72
ha. Lahan agroforestri karet dan monokultur karet masing-masing memiliki luas
kedua lahan tersebut dibuat 6 plot penelitian, yaitu 3 plot pada lahan agroforestri
dan 3 plot pada monokultur. Plot yang digunakan berukuran 40 m × 60 m dengan
jarak antar plot 1 m. Pada setiap plot dibuat 3 petak contoh dengan ukuran 20×20
m2 untuk inventarisasi pohon (diameter ≥ 20 cm), 10×10 m 2 untuk inventarisasi tiang (diameter 10 sampai < 20 cm), 5×5 m2 untuk inventarisasi pancang
(diameter < 10 cm dan tinggi ≥ 1,5 m, 2×2 m2 untuk inventarisasi semai (tinggi ≤ 1,5 m), dan 1×1 m2 untuk inventarisasi tumbuhan bawah (rumput, herba, dan
semak belukar). Petak contoh pengamatan diletakkan secara systematic sampling
with random start. Desain plot dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Desain plot penelitian
Prosedur Penelitian
A. Struktur dan Komposisi Tegakan dan Tumbuhan Bawah Analisis Vegetasi
Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan
60 m 40 m a a a b b b c c c d d d e e e Keterangan : a. Petak 1 × 1 m2 b. Petak 2 × 2 m2 c. Petak 5 × 5 m2 d. Petak 10 × 10 m2 e. Petak 20 × 20 m2
Indeks Nilai Penting (INP) pada tumbuhan bawah dan tegakan. Rumus yang
digunakan mengacu kepada buku acuan Ekologi Hutan (Indriyanto, 2006).
a. Kerapatan
Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis
Luas plot contoh
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis
Kerapatan total seluruh jenis × 100 % b. Frekuensi
Frekuensi = Jumlah plot yang ditempati suatu jenis Jumlah seluruh plot pengamatan
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis
Frekuensi total seluruh jenis × 100 % c. Dominansi
Dominansi = Luas bidang dasar suatu jenis
Luas petak contoh
Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis
Dominansi total × 100 % d. Indeks Nilai Penting (INP)
INP = KR + FR (untuk tumbuhan bawah, semai, dan pancang)
INP = KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon)
e. Indeks Keanekaragaman dari Shannon-Wiener
H′ = - ∑ [(𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑁𝑁)𝑆𝑆𝑛𝑛=1 ⁄ ln(𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑁𝑁)⁄ ] Keterangan :
H′ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener S = jumlah jenis
ni = jumlah individu jenis ke-i
f. Indeks Keseragaman
E = H′
H maks
; H maks = ln S
Keterangan :
E = Indeks Keseragaman
H′ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener H maks = Indeks keanekaragaman maksimum
S = jumlah jenis
B. Pengukuran Biomassa
Pengambilan contoh biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan metode destruktif (mengambil bagian tanaman sebagai contoh). Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah semua tumbuhan hidup yang berdiameter < 5 cm, herba, dan rumput-rumputan (Hairiah et al., 2011).
1. Pengumpulan data di lapangan
Pengumpulan data tumbuhan bawah di lapangan dilakukan dengan pemanenan seluruh tumbuhan bawah pada petak contoh berukuran 1 m × 1 m.
Semua sampel tumbuhan bawah tersebut kemudian ditimbang, sehingga diketahui
berat basah setiap plotnya. Berat basah tumbuhan bawah adalah hasil penjumlahan
semua berat basah semua plot tumbuhan bawah (Hairiah et al., 2011). Tahapan kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Penempatan petak contoh berukuran 1 m × 1 m pada agroforestri karet dan
monokultur karet.
2. Pemanenan semua tumbuhan bawah yang terdapat dalam petak contoh dan
dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label sesuai kode titik
3. Penimbangan berat basah daun dan batang dan dicatat beratnya dalam tally
sheet.
4. Penyimpanan semua sampel tumbuhan bawah ke dalam kantong plastik untuk
mempermudah pengangkutan ke laboratorium.
2. Analisis di Laboratorium
Kadar air
Cara pengukuran kadar air contoh uji adalah sebagai berikut :
1. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103 ± 2o
2. Penurunan berat contoh uji yang dinyatakan dalam persen terhadap berat
kering tanur ialah kadar air contoh uji.
C sampai tercapai berat
konstan, kemudian dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang berat
keringnya.
Pengukuran kadar karbon
Pengukuran kadar karbon dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Kadar zat terbang
Prosedur penentuan kadar zat terbang menggunakan American Society for
Testing Material (ASTM) D 5832-98. Prosedurnya adalah sebagai berikut : a. Sampel dari tumbuhan bawah dicincang.
b. Sampel kemudian dioven pada suhu 80o
c. Sampel kering digiling menjadi serbuk dengan mesin penggiling (willey mill). C selama 48 jam.
d. Serbuk hasil gilingan disaring dengan alat penyaring (mesh screen) berukuran
e. Serbuk dengan ukuran 40-60 mesh dari contoh uji sebanyak ± 2 g,
dimasukkan kedalam cawan porselin, kemudian cawan ditutup rapat dengan
penutupnya, dan ditimbang dengan timbang Sartorius.
f. Contoh uji dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 950o
g. Selisih berat awal dan berat akhir yang dinyatakan dalam persen terhadap
berat kering contoh uji merupakan kadar zat terbang. Pengukuran persen zat
terbang terhadap sampel dari tumbuhan bawah dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan.
C selama 2 menit.
Kemudian didinginkan dalam eksikator dan selanjutnya ditimbang.
2. Kadar Abu
Prosedur penentuan kadar abu menggunakan American Society for Testing
Material (ASTM) D 2866-94. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan ke dalam tanur
listrik bersuhu 900 o
b. Selanjutnya didinginkan di dalam eksikator dan kemudian ditimbang untuk
mencari berat akhirnya.
C selama 6 jam.
c. Berat akhir (abu) yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur
contoh uji merupakan kadar abu contoh uji.
Pengukuran kadar abu terhadap sampel dari tiap bagian tumbuhan bawah
dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
3. Kadar Karbon
Penentuan kadar karbon contoh uji dari tumbuhan bawah menggunakan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995, dimana kadar karbon contoh uji
C. Pengolahan Data
Analisis data yang dilakukan untuk memperoleh data Kadar Air (KA),
Biomassa, dan juga Kadar Karbon yang terdapat pada tumbuhan bawah. Rumus
yang digunakan mengacu kepada buku pendugaan cadangan karbon tersimpan
(Hairiah dan Rahayu, 2007).
1. Perhitungan Kadar Air
Perhitungan persentase kadar air dihitung dengan rumus:
% KA = BB −BKT
BKT × 100 %
Keterangan :
% KA = Persentase Kadar Air (%)
BB = Berat Basah contoh sampel (g)
BKT = Berat Kering Tanur (g)
2. Perhitungan Biomassa
Biomassa tumbuhan bawah dihitung dengan rumus:
B = BB tot × BKc
BBc ×A
Keterangan :
B = Biomassa
BB tot = Berat basah total (kg)
A = Area Contoh (m2
BKc = Berat kering contoh uji (g) )
3. Perhitungan Karbon Kadar zat terbang
Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat dengan
rumus sebagai berikut :
Kadar zat terbang = A−B
A × 100 %
Dimana :
A = Berat kering tanur pada suhu 105o
B = Berat contoh uji dikurangi berat cawan dan sisa contoh uji berat cawan dan
sisa contoh uji pada suhu 950 C
o
Kadar Abu
C
Besarnya kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kadar Abu = Berat abu
Berat contoh uji kering oven × 100 % Kadar Karbon
Penentuan kadar karbon terikat (fixed carbon) ditentukan berdasarkan
rumus berikut ini :
Kadar karbon terikat arang = 100% - kadar zat terbang arang - kadar abu
4. Analisis Data
Untuk menguji signifikansi beda rata-rata cadangan karbon tumbuhan
bawah pada lahan agroforestri dan monokultur karet, maka perlu dilakukan uji t
menggunakan software SPSS. Uji t yang digunakan adalah uji independent
sample t test. Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut:
Jika nilai Sig.(2-tailed) > 0,05, maka H0 diterima (tidak berbeda secara signifikan)
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
1. Topografi
Topografi Kabupaten Tapanuli Tengah sebagian besar berbukit-bukit
dengan ketinggian 0 – 1.266 meter di atas permukaan laut. Dari seluruh wilayah
Tapanuli Tengah, 43,90% berbukit dan bergelombang.
Andam Dewi merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten
Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Andam Dewi
berada di Pantai Barat Sumatera yang terletak antara 23o20’ – 34o55’ Lintang
Utara dan 65o58’ – 76o36’ Bujur Timur serta terletak antara 0-3 m di atas
permukaan laut. Kecamatan Andam Dewi terbagi atas tiga belas desa dan satu
kelurahan, dengan luas wilayah 122,42 km2 (BPS Tapteng, 2012). Peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Desa Sijungkang merupakan desa terluas di Kecamatan Andam Dewi,
yaitu 23, 71 km2
− Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sogar
. Batas-batas Desa Sijungkang adalah sebagai berikut :
− Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Barus Utara − Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pakkat − Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pangaribuan
2. Iklim
Kondisi Iklim di Kabupaten Tapanuli Tengah tidak jauh berbeda dengan
iklim di wilayah Sumatera Utara lainnya. Terbagi atas dua kondisi, yaitu musim
kemarau (Januari – Agustus) dan musim hujan (September – Desember). Jumlah
curah hujan tercatat pertahun berkisar antara 2000 – 3000 mm, sedangkan
temperatur udara antara 22 – 33 o
Kelembaban udara rata-rata di Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2015
adalah 82,50 %. Rata-rata penyinaran matahari di Kabupaten Tapanuli Tengah
tahun 2015 adalah 46,50 %. Kecepatan angin rata-rata di Kabupaten Tapanuli
Tengah tahun 2015 adalah 6,36 knot. Penguapan rata-rata sebesar 4,95 mm. C.
3. Sosial
Berdasarkan data dari Koordinator Statistik Kecamatan yang dimuat dalam
BPS Tapteng (2016), jumlah penduduk di Desa Sijungkang pada tahun 2015
adalah 2062 jiwa.
4. Potensi Sumber Daya Alam (SDA)
Berdasarkan data dari Pimpinan Pertanian Kecamatan (PPK) yang dimuat
dalam BPS Tapteng (2016), Desa Sijungkang memiliki luas lahan karet dan
karet di Desa Sijungkang 265 ha dengan produksi 128 ton. Hasil pertanian lain
yang terdapat di Desa Sijungkang adalah kelapa, coklat, dan kopi. Desa
Sijungkang juga menghasilkan tanaman palawija, seperti ubi kayu, jagung, ubi
jalar, kacang kacang tanah, dan kacang hijau. Selain itu, Kecamatan Andam Dewi
juga menghasilkan buah-buahan dan sayuran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan yang dilakukan di Desa Sijungkang, Kecamatan Andam
Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara pada agroforestri
karet dan monokultur karet masing-masing sebanyak tiga plot. Titik koordinat
plot agroforestri karet, yaitu Plot I (N 02°03'57,8" : E 098°25'31,7"), Plot II
(N 02°03'57,4" : E 098°25'33,7"), dan Plot III (N 02°03'58,4" : E 98°25'35,5").
Titik koordinat plot monokultur karet yaitu Plot I (N 02°04'08,5" : E
098°25'15,9"), Plot II (N 02°04'06,8" : E 098°25'16,5"), dan Plot III (N
02°04'04,3" : E 098°25'17,5").
Struktur dan Komposisi Tegakan pada Agroforestri Karet
Desa Sijungkang merupakan salah satu desa yang terdapat Kecamatan
Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah. Desa ini memiliki lahan karet terluas
di kecamatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan iklim dan tanah
sesuai untuk pertumbuhan tanaman karet. Menurut Anwar (2001), daerah yang
cocok untuk tanaman karet adalah zona antara 15oLS dan 15oLU. Tanaman karet
tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 200 dari permukaan laut.
Suhu optimal yang diperlukan berkisar antara 25oC sampai 35oC dan curah hujan
optimal antara 2500 mm sampai 4000 mm/tahun. Berbagai jenis tanah dapat
sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis merah dan tua,
bahkan pada tanah gambut < 2 m.
Sistem agroforestri dalam objek penelitian ini termasuk sistem agroforestri
sederhana, yaitu sistem penggunaan lahan yang memadukan pepohonan dengan
satu atau lebih jenis tanaman semusim. Kondisi agroforestri karet dapat dilihat
(a) (b)
Gambar 3. Kondisi agroforestri karet di Desa Sijungkang (a) Perpaduan tanaman karet, kuweni, pisang, dan nanas ; (b) Perpaduan tanaman karet, petai, dan aren Agroforestri ini didominasi oleh tanaman karet yang berumur 10-12 tahun
dan merupakan tanaman karet alam. Luas lahan agroforestri karet ini adalah 1,5
ha dengan jarak tanam 3 m × 3 m. Komposisi jenis tanaman penyusun
agroforestri dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi jenis-jenis tanaman penyusun agroforestri
No. Nama Lokal Nama Latin
1. Karet Hevea brasiliensis
2. Jengkol 3.
Archidendron pauciflorum
Kuweni Mangifera odorata
4. Durian 5. Durio zibethinus Nangka 6. Artocarpus heterophyllus
Petai Parkia speciosa
7. Rambutan Nephelium lappaceum
8. Jeruk nipis 9.
Citrus aurantifolia
Aren Arenga pinnata
10. Singkong 11. Manihot utilissima Pisang 12. Musa paradisiacal
Nanas Ananas comosus
13. Lengkuas Alpinia galangal
Komponen penyusun agroforestri tersebut terdiri dari tanaman kehutanan,
tanaman penghasil buah, tumbuhan palmae, rempah-rempah, dan sayuran. Karet
merupakan tanaman kehutanan. Jengkol, kuweni, durian, nangka, petai, rambutan,
jeruk nipis, pisang, dan nanas merupakan tanaman buah-buahan. Aren merupakan
tanaman sayur-sayuran. Struktur dan komposisi tegakan pada masing-masing
tingkat pertumbuhan di lahan agroforestri adalah sebagai berikut.
A. Tingkat Pohon
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh data bahwa pohon yang
mendominasi pada lahan agroforestri adalah pohon karet dengan nilai INP 188,44
% dan terendah pada
Tabel 2. Indeks nilai penting pohon pada agroforestri karet
durian, yaitu 10,57 %. INP suatu jenis merupakan nilai yang
menggambarkan peranan keberadaan suatu jenis dalam komunitas. Makin besar
INP suatu jenis makin besar pula peranan jenis tersebut dalam komunitas (Kainde
dkk., 2011). Nilai INP tertinggi pada tanaman karet menunjukkan bahwa peranan
jenis tersebut sangat besar dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting tingkat
pohon pada agroforestri karet dapat dilihat pada Tabel 2.
No. Nama Lokal Nama Latin K KR (%) F
FR (%) D
DR
(%) INP 1. Karet Hevea brasiliensis 52,78 63,33 0,78 43,75 36,71 81,36 188,44 2. Jengkol Archidendron pauciflorum 13,89 16,67 0,33 18,75 4,87 10,80 46,22 3. Nangka Artocarpus heterophyllus 5,56 6,67 0,22 12,5 0,72 1,60 20,77 4. Petai Parkia speciosa 5,56 6,67 0,22 12,5 0,58 1,29 20,46 5. Kuweni Mangifera odorata 2,78 3,33 0,11 6,25 1,79 3,96 13,54 6. Durian Durio zibethinus 2,78 3,33 0,11 6,25 0,45 0,99 10,57 Total 83,35 100 1,77 100 45,12 100 300 Besarnya nilai INP pada pohon karet disebabkan karena tanaman karet
ditanam sebagai tanaman utama pada sistem agroforestri ini. Produksi getah
pohon karet dimanfaatkan oleh pemilik lahan agroforestri sebagai sumber mata
pencaharian. Tanaman lain seperti jengkol, nangka, petai, kuweni, dan durian
ditanam lebih awal di lahan agroforestri sebagai tanaman yang hasilnya untuk
dikonsumsi.
Richards (1996) dalam Idris dkk (2013) menyatakan suatu jenis tumbuhan dapat berperan jika INP untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15 %. Dari hasil
analisis vegetasi tingkat pohon, jenis yang berperan adalah karet, jengkol, nangka,
dan petai
B. Tingkat Tiang
.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh data bahwa kerapatan karet
pada tingkat tiang sebesar 644,44 individu/ha dan dominansi sebesar 529,41. Data
hasil analisis vegetasi pada tingkat tiang di lahan agroforestri karet dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Indeks nilai penting tiang pada agroforestri karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR
(%) F
FR
(%) D
DR (%) INP
1. Karet Hevea brasiliensis 644,44 100 1 100 529,41 100 300
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa hanya tanaman karet yang
ditemukan pada tingkat tiang. Hal ini disebabkan karena jenis tanaman lain seperti
jengkol, nangka, petai, kuweni, dan durian ditanam dalam jumlah yang lebih
sedikit serta telah berumur sekitar 15-25 tahun sehingga tingkat tiang untuk
tanaman ini tidak ditemukan.
C. Tingkat Pancang
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh data bahwa hanya tanaman
karet yang ditemukan pada tingkat pancang. Hal ini disebabkan oleh jenis vegetasi
dominan yang menyusun agroforestri ini adalah tanaman karet. Data hasil analisis
vegetasi pada tingkat pancang di lahan agroforestri karet dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Indeks nilai penting pancang pada agroforestri karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR
(%) F
FR
(%) INP
1. Karet Hevea brasiliensis 666,67 100 0,89 100 200
Kerapatan tanaman karet pada tingkat pancang sebesar 666,67 individu/ha.
yang kerapatannya sebesar 644,44 individu/ha. Frekuensi karet pada tingkat
pancang sebesar 0,89. Bila dibandingkan dengan frekuensi tanaman karet pada
tingkat tiang yang bernilai 1, maka nilai frekuensi tanaman karet pada tingkat
pancang ini lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran tanaman karet
pada tingkat tiang lebih merata daripada tingkat pancang.
D. Tingkat Semai
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh data bahwa semai yang
mendominasi pada lahan agroforestri adalah semai karet dengan INP 121,43 %
dan terendah adalah durian sebesar 11,9 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
jenis yang memiliki INP tinggi pada tingkat pohon memiliki nilai INP tinggi juga
pada tingkat semai atau permudaan. Penelitian Dendang dan Handayani (2015)
menyebutkan bahwa jenis yang mendominasi pada tingkat pohon (A. excelsa) dan
tiang tidak ditemukan pada tingkat semai maupun pancang. Hal tersebut
menunjukkan adanya perubahan komposisi jenis yang menduduki tiap strata
pertumbuhan, dan telah terjadi gangguan terhadap proses regenerasi jenis
dominan pada tingkat pohon khususnya A. excelsa.
Tabel 5. Indeks nilai penting semai pada agroforestri karet
Indeks nilai penting tingkat
semai pada agroforestri karet dapat dilihat pada Tabel 5.
No. Nama Lokal Nama Latin K KR
(%) F
FR
(%) INP
1. Karet Hevea brasiliensis 5555,56 71,43 0,67 50 121,43
2. Jengkol Archidendron pauciflorum 1111,11 14,29 0,33 25 39,29
3. Aren Arenga pinnata 833,33 10,71 0,22 16,67 27,38
4. Durian Durio zibethinus 277,78 3,57 0,11 8,33 11,9
Total 7777,78 100 1,33 100 200
Richards (1996) dalam Idris dkk (2013) menyatakan suatu jenis tumbuhan dapat berperan jika INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari 10 %. Dari
hasil analisis vegetasi tingkat semai, jenis yang berperan adalah semua jenis semai yang ditemukan dalam plot penelitian.
Struktur dan Komposisi Tegakan pada Monokultur Karet A. Tingkat Pohon
Jenis tanaman karet pada lahan monokultur ini adalah karet klon PB 260
yang berumur 8-12 tahun. Budi dkk (2008) mengatakan bahwa klon PB 260
termasuk dalam klon penghasil lateks yang telah direkomendasikan oleh Balai
Penelitian Sembawa-Pusat Penelitian Karet untuk periode 2006-2010. Klon PB
260 merupakan salah satu klon karet terpilih untuk daerah Sumatera dan
Kalimantan. Beberapa jenis klon yang telah dipilih untuk sistem wanatani
berbasis karet termasuk PB 260 memberikan hasil yang baik, pertumbuhan batang
yang cepat, dan dapat beradaptasi dengan kondisi kebun rakyat yang kondisi
pengelolaannya tidak sebaik perkebunan besar (Joshi dkk., 2001). Bentuk tajuk
dan kondisi monokultur karet dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Monokultur karet
Luas lahan monokultur yang ditanami tanaman karet ini sekitar 1,5 ha
dengan jarak tanam karet 3 m × 5 m dan 3 m × 6 m. Hasil analisis vegetasi tingkat
Tabel 6.Indeks nilai penting pohon pada monokultur karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR
(%) F
FR
(%) D
DR (%) INP
1. Karet Hevea brasiliensis 41,67 100 0,56 100 28,24 100 300
Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon diperoleh data bahwa
nilai kerapatan tanaman karet adalah 41,67 individu/ha. Nilai kerapatan ini lebih
kecil bila dibandingkan dengan kerapatan pohon pada agroforestri. Hal ini
disebabkan oleh jarak tanam pada agroforestri lebih rapat daripada monokultur.
Nilai frekuensi pohon karet pada lahan monokultur sebesar 0,56. Nilai frekuensi
ini menunjukkan bahwa penyebaran tanaman karet pada tingkat pohon tidak
tersebar merata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan waktu tanam
karet sehingga karet yang penanamannya lebih awal hanya ditemukan pada
beberapa plot saja.
Nilai dominansi pohon karet pada lahan monokultur juga lebih kecil
daripada dominansi pohon di lahan agroforestri. Hal ini disebabkan karena jumlah
penguasaan pohon karet di lahan monokultur lebih rendah.
B. Tingkat Tiang
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh data bahwa kerapatan karet
pada tingkat tiang sebesar 322,22 individu/ha. Nilai kerapatan tanaman karet pada
tingkat tiang di lahan monokultur lebih rendah daripada di lahan agroforestri
disebabkan oleh jarak tanam yang lebih renggang pada monokultur. Hasil analisis
vegetasi tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.Indeks nilai penting tiang pada monokultur karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR
(%) F
FR
(%) D
DR (%) INP
1. Karet Hevea brasiliensis 322,22 100 1 100 122,46 100 300
Nilai frekuensi karet pada tingkat tiang adalah 1. Hal ini menunjukkan
dominansi karet pada tingkat tiang sebesar 122,46. Nilai dominansi tingkat tiang
ini lebih tinggi daripada tingkat pohon. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
monokultur ini didominasi oleh tanaman karet pada tingkat tiang. Walaupun
pertumbuhan batang karet klon PB 260 tergolong cepat, namun dominansi karet
pada lahan agroforestri dengan jenis karet alam dan lahan monokultur dengan
jenis karet klon PB 260 sama-sama didominasi oleh tingkat tiang. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh sifat karet jenis klon jagur yang pertumbuhan
awalnya lebih cepat pada masa belum produksi. Menurut Aidi-Daslin (2005)
dalam Sayurandi dkk (2014), klon karet yang tergolong jagur memiliki
pertumbuhan awal cepat selama masa TBM (Tanaman Belum Menghasilkan)
dengan rata-rata pertambahan lilit batang ≥ 11 cm/tahun.
C. Tingkat Pancang
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh data bahwa kerapatan karet
pada tingkat pancang sebesar 533,33 individu/ha. Rendahnya kerapatan karet pada
tingkat pancang pada sistem monokultur dibandingkan dengan sistem agroforestri
disebabkan oleh jarak tanam. Jarak tanam karet yang lebih renggang pada sistem
monokultur ini dapat meningkatkan pertumbuhan karena persaingan antar
tanaman dalam memperoleh unsur hara maupun cahaya lebih kecil. Selain faktor
jarak tanam, rendahnya nilai kerapatan pancang disebabkan oleh sifat
pertumbuhan awal klon jagur yang cepat pada masa tanaman belum
menghasilkan. Tanaman karet klon belum menghasilkan pada tingkat pancang
sehingga pertumbuhan batangnya lebih cepat. Sifat pertumbuhan inilah yang
kemungkinan menyebabkan kerapatan pancang lebih rendah pada sistem
Tabel 8. Indeks nilai penting pancang pada monokultur karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR
(%) F
FR
(%) INP
1. Karet Hevea brasiliensis 533,33 100 0,89 100 200
Frekuensi pancang pada sistem monokultur sebesar 0,89. Nilai frekuensi
ini juga sama dengan frekuensi pancang pada agroforestri.
D. Tingkat Semai
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh data bahwa kerapatan karet
pada tingkat semai sebesar 5277,78 individu/ha sedangkan frekuensi sebesar 0,56.
Hasil analisis vegetasi tingkat semai dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Indeks nilai penting semai pada monokultur karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR
(%) F
FR
(%) INP
1. Karet Hevea brasiliensis 5277,78 100 0,56 100 200
Struktur dan Komposisi Tumbuhan Bawah pada Agroforestri dan Monokultur Karet
Berdasarkan hasil inventarisasi tumbuhan bawah di Desa Sijungkang,
Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara,
diperoleh 23 jenis tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan 15 jenis tumbuhan
bawah pada monokultur karet. Total seluruh jenis tumbuhan bawah yang
ditemukan pada kedua lokasi tersebut sebanyak 28 jenis. Jenis tumbuhan bawah
Tabel 10. Jenis tumbuhan bawah pada agroforestri karet
No. Nama Lokal Nama Latin Jumlah
1. Situdu langit Stachytarpheta jamaicensis 42
2. Bawang- bawangan Eleutherine Americana 21
3. Rumput sabut Ottochloa nodosa 15
4. Salhot babi Paspalum conjugatum 15
5. Paku pita Vittaria elongata 14
6. Rumput tali Desmodium triflorum 13
7. Lalang Imperata cylindrical 13
8. Ria-ria Scleria sumatrensis 8
9. Rumput setaria Setaria sphacelata 6
10. Sanduduk Melastoma malabathricum 6
11. Simarbau-bau Cromolaena odorata 5
12. Rumput jenggot Sporobolus indicus 5
13. Belimbing tanah Oxalis barrelieri 4
14. Sanggul lote Porophyllum ruderale 3
15. Rumput keriting Diodia sarmentosa 2
16. Kacang asu Calopogonium mucunoides 2
17. Ramuk-ramuk Borreria latifolia 2
18. Nasi-nasi Sauropus androgynus 2
19. Pahu harupat Nephrolepis bisserata 1
20. Andorpalas Tetracera indica 1
21. Rumput teki Cyperus rotundus 1
22. Simarriman-riman Lygodium microphyllum 1
23. Sanduduk bulu Clidemia hirta 1
Total 183
Tabel 11. Jenis tumbuhan bawah pada monokultur karet
No. Nama Lokal Nama Latin Jumlah
1. Ara sungsang Asystasia gangetica 32
2. Ramuk-ramuk Borreria latifolia 26
3. Rumput rotan Echinochloa colona 22
4. Sanggul lote Porophyllum ruderale 20
5. Rumput teki Cyperus rotundus 14
6. Akar wangi Polygala paniculata 13
7. Rumput setaria Setaria sphacelata 9
8. Salhot babi Paspalum conjugatum 8
9. Sentro Centrosema pubescens 6
10. Belimbing tanah Oxalis barrelieri 4
11. Simarbau-bau Cromolaena odorata 4
12. Sitanggis Belamcanda chinensis 3
13. Rumput keriting Diodia sarmentosa 3
14. Kacang asu Calopogonium mucunoides 1
15. Simarriman-riman Lygodium microphyllum 1
Total 166
Jumlah dan jenis tumbuhan bawah pada agroforestri karet lebih banyak
dibandingkan dengan monokultur karet. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan
lahan berupa penyemprotan gulma di monokultur lebih intensif dibandingkan
dengan agroforestri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Langi (2007) yang
Hal ini disebabkan pengelolaan yang dilakukan oleh petani pada beberapa jenis
lahan cukup intensif sehingga keberadaan tumbuhan bawah sangat dinamis.
Pengelolaan yang lebih intensif di lahan monokultur karet ini menyebabkan
pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan bawah masih lebih sedikit.
Berdasarkan hasil inventarisasi terdapat sepuluh jenis tumbuhan bawah
yang selalu ditemukan pada kedua lokasi tersebut, diantaranya Ramuk-Ramuk
(Borreria latifolia), Sanggul Lote (Porophyllum ruderale), Rumput Teki
(Cyperus rotundus), Rumput Setaria (Setaria sphacelata), Salhot Babi
(Paspalum conjugatum), Belimbing Tanah (Oxalis barrelieri), Simarbau-bau
(Cromolaena odorata), Rumput Keriting (Diodia sarmentosa), Kacang Asu
(Calopogonium mucunoides), dan Simarriman-riman (Lygodium microphyllum).
Adanya persamaan jenis tumbuhan bawah yang dijumpai pada kedua lokasi
disebabkan jenis tersebut mempunyai batas toleransi yang luas terhadap intensitas
cahaya dan persaingan nutrisi yang dianggap sebagai faktor yang sangat penting
dalam pertumbuhan tumbuhan di bawah tegakan. Jumlah jenis tumbuhan bawah
yang hanya dijumpai pada agroforestri maupun monokultur karet berjumlah 18
jenis. Jenis-jenis yang hanya dijumpai pada suatu lokasi menunjukkan jenis
tersebut mempunyai batas toleransi yang sempit terhadap intensitas cahaya
sehingga adanya perbedaan tutupan tajuk pada agroforestri dan monokultur
menyebabkan jenis-jenis tersebut hanya dijumpai pada salah satu lokasi
(Fitter dan Hay, 1991). Indeks nilai penting tumbuhan bawah pada agroforestri
Tabel 12. Indeks nilai penting tumbuhan bawah pada agroforestri karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR (%) F FR (%) INP
1. Situdu langit Stachytarpheta jamaicensis 46666,67 22,95 0,44 7,69 30,64 2. Bawang-bawangan Eleutherine americana 23333,33 11,48 0,44 7,69 19,17 3. Rumput sabut Ottochloa nodosa 16666,67 8,20 0,56 9,62 17,82 4. Rumput tali Desmodium triflorum 14444,44 7,10 0,44 7,69 14,79 5. Lalang Imperata cylindrical 14444,44 7,10 0,44 7,69 14,79 6. Salhot babi Paspalum conjugatum 16666,67 8,20 0,33 5,77 13,97 7. Ria-ria Scleria sumatrensis 8888,89 4,37 0,44 7,69 12,06 8. Paku pita Vittaria elongata 15555,56 7,65 0,22 3,85 11,50 9. Sanduduk Melastoma malabathricum 6666,67 3,28 0,33 5,77 9,05 10. Rumput setaria Setaria sphacelata 6666,67 3,28 0,22 3,85 7,13 11. Simarbau-bau Cromolaena odorata 5555,56 2,73 0,22 3,85 6,58 12. Sanggul lote Porophyllum ruderale 3333,33 1,64 0,22 3,85 5,49 13. Rumput keriting Diodia sarmentosa 2222,22 1,09 0,22 3,85 4,94 14. Ramuk-ramuk Borreria latifolia 2222,22 1,09 0,22 3,85 4,94 15. Rumput jenggot Sporobolus indicus 5555,56 2,73 0,11 1,92 4,65 16. Belimbing tanah Oxalis barrelieri 4444,44 2,19 0,11 1,92 4,11 17. Kacang asu Calopogonium mucunoides 2222,22 1,09 0,11 1,92 3,01 18. Nasi-nasi Sauropus androgynus 2222,22 1,09 0,11 1,92 3,01 19. Pahu harupat Nephrolepis bisserata 1111,11 0,55 0,11 1,92 2,47 20. Andorpalas Tetracera indica 1111,11 0,55 0,11 1,92 2,47 21. Rumput teki Cyperus rotundus 1111,11 0,55 0,11 1,92 2,47 22. Simarriman-riman Lygodium microphyllum 1111,11 0,55 0,11 1,92 2,47 23. Sanduduk bulu Clidemia hirta 1111,11 0,55 0,11 1,92 2,47
Total 203333,3 100 5,78 100 200
Tabel 13. Indeks nilai penting tumbuhan bawah pada monokultur karet
No. Nama Lokal Nama Latin K KR (%) F FR (%) INP
1. Ara sungsang Asystasia gangetica 35555,56 19,28 0,78 13,73 33,01 2. Ramuk-ramuk Borreria latifolia 28888,89 15,66 0,67 11,76 27,42 3. Rumput rotan Echinochloa colona 24444,44 13,25 0,44 7,84 21,09 4. Sanggul lote Porophyllum ruderale 22222,22 12.05 0,44 7,84 19,89 5. Rumput teki Cyperus rotundus 15555,56 8,43 0,56 9.80 18,23 6. Salhot babi Paspalum conjugatum 8888,89 4,82 0,56 9,80 14,62 7. Akar wangi Polygala paniculata 14444,44 7,83 0,33 5,88 13,71 8. Rumput setaria Setaria sphacelata 10000,00 5,42 0,44 7,84 13,26 9. Belimbing tanah Oxalis barrelieri 4444,44 2,41 0,33 5,88 8,29 10. Rumput keriting Diodia sarmentosa 3333,33 1,81 0,33 5,88 7,69 11. Sentro Centrosema pubescens 6666,67 3,61 0,22 3,92 7,53 12. Simarbau-bau Cromolaena odorata 4444,44 2,41 0,22 3,92 6,33 13. Sitanggis Belamcanda chinensis 3333,33 1,81 0,11 1,96 3,77 14. Kacang asu Calopogonium mucunoides 1111,11 0,60 0,11 1,96 2,56 15. Simarriman-riman Lygodium microphyllum 1111,11 0,60 0,11 1,96 2,56
Total 184444,4 100 5,67 100 200
Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13, jenis tumbuhan bawah yang
mendominasi pada agroforestri karet adalah Situdu Langit
(Stachytarpheta jamaicensis) dengan INP sebesar 30,64 % dan pada monokultur
karet adalah Ara Sungsang (Asystasia gangetica) sebesar 33,01 %. Indriyanto
(2006) menyatakan bahwa spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam
suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi,
yang paling besar. Jenis tumbuhan bawah yang mendominasi pada masing-masing
lokasi dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Gambar 5. Situdu Langit Gambar 6. Ara Sungsang (Stachytarpheta jamaicensis) (Asystasia gangetica)
Jenis tumbuhan bawah yang mempunyai INP terendah pada agroforestri
karet adalah Paku Harupat (Nephrolepis bisserata), Andorpalas
(Tetracera indica), Rumput Teki (Cyperus rotundus), Simarriman-riman
(Lygodium microphyllum), dan Sanduduk Bulu (Clidemia hirta) dengan INP
sebesar 2,47 % sedangkan pada monokultur karet adalah Kacang Asu
(Calopogonium mucunoides) dan Simarriman-riman (Lygodium microphyllum)
dengan INP sebesar 2,56. Nilai KR dan FR pada jenis tersebut juga paling rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis tumbuhan bawah ini paling sedikit ditemukan
pada petak contoh dan tingkat penyebarannya paling rendah.
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh Indeks Keanekaragaman (H’)
tumbuhan bawah pada agroforestri karet sebesar 2,62 dan pada monokultur karet
sebesar 2,35. Indeks keanekaragaman tumbuhan bawah pada agroforestri karet
lebih tinggi daripada monokultur disebabkan oleh jumlah jenis tumbuhan bawah
lebih banyak ditemukan pada agroforestri karet. Hal ini sesuai dengan pernyataan
komunitas tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis. Sebaliknya suatu
komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah jika komunitas
itu disusun oleh sedikit jenis dan hanya sedikit jenis yang dominan.
Nilai indeks keanekaragaman tumbuhan bawah yang diperoleh pada kedua
lokasi ini termasuk dalam kategori sedang. Mason (1980) menyatakan bahwa jika
nilai indeks keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman jenis
rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekaragaman jenis sedang, jika lebih besar
dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi. Indeks keanekaragaman tumbuhan
bawah yang tergolong sedang pada kedua lokasi ini menunjukkan bahwa faktor
lingkungan mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan yang dapat tumbuh
pada kondisi lingkungan seperti Desa Sijungkang. Menurut Barbour et al (1987)
dalam Sofiah dkk (2013), komposisi dan keanekaragaman jenis tumbuhan dalam
suatu kawasan tergantung pada beberapa faktor lingkungan, seperti kelembapan,
hara dan mineral, cahaya matahari, topografi, batuan induk, karakteristik tanah,
struktur kanopi dan sejarah tata guna lahan.
Indeks keseragaman (E) tumbuhan bawah pada agroforestri karet sebesar
0,83 dan pada monokultur karet sebesar 0,87. Nilai ini menunjukkan bahwa
keseragaman tumbuhan bawah pada kedua lokasi tergolong tinggi. Hal ini berarti
jenis-jenis tumbuhan bawah yang berlainan pada kedua lokasi tergolong sedikit.
Krebs (1985) menyatakan bahwa Indeks Keseragaman rendah apabila 0<E<0,5
dan keseragaman tinggi apabila 0,5<E<1.
Kadar Air
Berdasarkan hasil analisis laboratorium diperoleh rata-rata kadar air
karet sebesar 332,42 %. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa rata-rata
kadar air terbesar terdapat pada tumbuhan bawah di monokultur karet. Perbedaan
kadar air pada kedua lokasi tersebut disebabkan oleh jenis-jenis tumbuhan bawah
pada kedua lokasi juga berbeda-beda sehingga perbedaan kadar air pada tiap jenis
tumbuhan bawah mempengaruhi nilai rata-rata kadar air pada masing-masing
lokasi. Rekapitulasi kadar air tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan
monokultur karet dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Rekapitulasi kadar air tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan monokultur karet
No. Plot KA pada agroforestri karet (%) KA pada monokultur karet (%)
I 203,06 273,46
II 236,10 321,19
III 173,54 402,61
Rata-rata 204,23 332,42
Persentase kadar air yang diperoleh pada tiap plot menunjukkan nilai lebih
besar dari 100. Hal ini dikarenakan penghitungan kadar air dilakukan dengan
faktor pembagi Berat Kering Tanur (BKT). Rahmawan (2001) dalam Hani (2012)
menyatakan bahwa kadar air suatu bahan menunjukkan banyaknya kandungan air
persatuan bobot bahan yang dapat dinyatakan dalam persen berat basah
(wet basis) atau dalam persen berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air berat
kering dapat lebih dari 100%. Hasil perhitungan kadar air menunjukkan bahwa
kandungan air tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan monokultur karet ±
3,6 kali lipat berat kering tanurnya.
Biomassa Tumbuhan Bawah
Rata-rata biomassa tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan
monokultur karet sebesar 0,89 ton/ha. Rata-rata biomassa tumbuhan bawah pada
(0,84 ton/ha). Meskipun jumlah jenis tumbuhan bawah di agroforestri karet lebih
banyak dibandingkan monokultur karet, namun keanekaragaman jenis ini tidak
mempengaruhi besarnya biomassa. Rata-rata biomassa tumbuhan bawah pada
monokultur karet lebih besar dibandingkan pada agroforestri disebabkan oleh
kerapatan tegakan pada monokultur lebih rendah sehingga tajuk di lahan
monokultur lebih terbuka. Keterbukaan tajuk ini menyebabkan cahaya matahari
dapat sampai pada vegetasi bawah. Azham (2015) menyatakan bahwa semakin
rapat tajuk pohon penyusun suatu lahan maka biomassa tumbuhan bawah akan
semakin berkurang karena kurangnya cahaya matahari yang mencapai lantai
hutan, sehingga menyebabkan pertumbuhan vegetasi bawah menjadi tertekan dan
tidak dapat tumbuh. Rekapitulasi biomassa tumbuhan bawah pada agroforestri
karet dan monokultur karet dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Rekapitulasi biomassa tumbuhan bawah pada agroforestri dan monokultur karet
Kawasan Plot Biomassa (ton/ha)
Agroforestri karet I 1,32 II 0,89 III 0,32 Rata-rata 0,84 Monokultur karet I 0,71 II 1,77 III 0,34 Rata-rata 0,94 Rata-rata 0,89
Karbon Tumbuhan Bawah
Rata-rata cadangan karbon tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan
monokultur karet sebesar 0,23. Rata-rata cadangan karbon tumbuhan bawah pada
monokultur karet (0,25 ton/ha) lebih besar dibandingkan pada agroforestri karet
(0,21 ton/ha). Hal ini disebabkan oleh rata-rata biomassa tumbuhan bawah pada
monokultur karet lebih besar daripada tumbuhan bawah agroforestri. Menurut
biomassa. Kemampuan vegetasi dalam menyimpan biomassa ini secara langsung
dapat menggambarkan kondisi simpanan karbon dalam suatu kawasan hutan. Hal
ini dikarenakan karbon merupakan pecahan dari CO2 yang diserap oleh vegetasi
hijau yang kemudian dipecah menjadi biomassa dan disimpan dalam bentuk
karbon. Kuantitas simpanan karbon berbanding lurus dengan kuantitas simpanan
biomassa. Rekapitulasi karbon tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan
monokultur karet dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Rekapitulasi karbon tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan monokultur karet
Kawasan Plot Karbon (ton/ha)
Agroforestri karet I 0,31 II 0,23 III 0,07 Rata-rata 0,21 Monokultur karet I 0,18 II 0,43 III 0,08 Rata-rata 0,25 Rata-rata 0,23
Tabel 15 dan Tabel 16 menunjukkan bahwa nilai rata-rata biomassa
tumbuhan bawah yang lebih besar pada monokultur karet diikuti juga dengan nilai
rata-rata cadangan karbon yang lebih besar pada monokultur karet. Berdasarkan
data tersebut maka faktor kerapatan tegakan yang mempengaruhi biomassa
tumbuhan bawah juga akan mempengaruhi cadangan karbon tumbuhan bawah.
Chanan (2012) menyatakan bahwa simpanan karbon sangat dipengaruhi oleh
biomassa oleh karena itu apa pun yang menyebabkan bertambah atau
berkurangnya potensi biomassa akan berpengaruh pula terhadap serapan karbon.
Jumlah jenis tumbuhan bawah pada monokultur karet lebih rendah
dibandingkan agroforestri, namun cadangan karbon tumbuhan bawah pada
monokultur karet lebih besar. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya yang
terdapat perbedaan jenis tanah pada kedua lokasi. Menurut Hairiah dan Rahayu
(2007), penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan
tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas tanah (biomasa
tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di dalam tanah (bahan
organik tanah, BOT).
Cadangan karbon yang tinggi juga disebabkan oleh jenis tumbuhan bawah
penyusun sistem penggunaan lahan. Tumbuhan bawah berkayu akan mempunyai
jumlah karbon yang lebih besar daripada tumbuhan bawah tidak berkayu. Pada
kedua lokasi penelitian, ditemukan tumbuhan bawah berkayu. Jumlah tumbuhan
bawah berkayu lebih banyak ditemukan pada agroforestri karet. Namun
berdasarkan hasil uji karbon tumbuhan bawah pada kedua lokasi, cadangan
karbon tumbuhan bawah di agroforestri karet lebih rendah. Hal ini disebabkan
oleh jenis tumbuhan bawah berkayu yang ditemukan di agroforestri memiliki
ukuran yang kecil dan pertumbuhannya lebih lambat akibat terhalangnya cahaya
matahari oleh tajuk tegakan. Pertumbuhan tumbuhan bawah di monokultur karet
lebih cepat karena cahaya matahari dapat sampai ke vegetasi bawah sehingga
walaupun jenis tumbuhan bawah berkayu di monokultur lebih sedikit, cadangan
karbonnya lebih banyak dibandingkan di agroforestri. Penelitian Widyasari dkk
(2010) juga memperoleh data biomassa dan karbon tumbuhan bawah berkayu di
hutan rawa gambut bekas terbakar lebih rendah dibandingkan tumbuhan bawah
tidak berkayu karena pengaruh pembukaan tajuk pada lokasi penelitian.
Penelitian lain terkait dengan cadangan karbon di agroforestri adalah
penelitian Nasution (2016) menunjukkan rata-rata cadangan karbon tumbuhan
Kehutanan Aek Nauli sebesar 0,59 ton/ha. Penelitian Rusolono (2006)
menunjukkan rata-rata karbon tumbuhan bawah pada agroforestri di Desa
Pecekelan, Jawa Tengah dan Desa Kertayasa, Jawa Barat adalah 0,3 ton/ha dan
0,2 ton/ha. Penelitian Siarudin dkk (2014) di DAS Balantieng, Sulawesi Selatan
menunjukkan cadangan karbon tumbuhan bawah di kebun campuran sebesar
0,002 ton/ha dan di monokultur karet sebesar 0,006 ton/ha.
Beberapa penelitian cadangan karbon di hutan adalah penelitian Muhdi
(2012) tentang massa karbon semai dan tumbuhan bawah di Hutan Alam Tropika
yang dikelola oleh IUPHHK PT Inhutani II, Kalimantan Timur. Massa karbon
semai dan tumbuhan bawah yang diperoleh di areal IUPHHK PT Inhutani II
tersebut sebesar 4,43 ton/ha di hutan primer, 3,98 ton/ha di areal bekas tebangan
konvensional, dan 4,44 ton/ha di areal bekas tebangan RIL (Reduced Impact
Logging). Penelitian lainnya adalah penelitian Saragih (2016) di Hutan Desa Simorangkir Julu dengan rata-rata cadangan karbon 4,91 ton/ha dan penelitian
Simorangkir (2016) di arboretum dan Hutan Diklat Pondok Buluh dengan
rata-rata cadangan karbon 4,095 ton/ha. Bila dibandingkan dengan cadangan karbon
yang terdapat di hutan, maka penelitian karbon di agroforestri dan monokultur
karet di Desa Sijungkang ini lebih kecil (0,23 ton/ha). Berdasarkan hasil penelitian
cadangan karbon tersebut diperoleh data bahwa cadangan karbon tumbuhan
bawah di agroforestri dan monokultur pada lahan masyarakat lebih kecil daripada
Uji Independent Sample t test
Rekapitulasi uji independent sample t test karbon tumbuhan bawah pada
agroforestri karet dan monokultur karet dapat dilihat pada Tabel 17 (untuk data
lengkap hasil uji independent sample t test dapat dilihat pada Lampiran 3).
Tabel 17. Rekapitulasi uji independent sample t test karbon tumbuhan bawah pada agroforestri karet dan monokultur karet
Karbon Tumbuhan Bawah Rata-Rata Karbon Beda Rata-Rata
Karbon Nilai t
Agroforestri karet 0,21
0,04 0,905
Monokultur karet 0,25
Berdasarkan hasil uji independent sample t test pada selang kepercayaan
95% diperoleh nilai t hitung sebesar 0,905 (t hitung < t tabel) yang berarti Ho
diterima. Nilai tersebut menunjukkan bahwa cadangan karbon tumbuhan bawah pada
agroforestri karet dan monokultur karet tidak berbeda secara signifikan (hipotesis
ditolak). Perbedaan pengelolaan lahan pada kedua lokasi tersebut menyebabkan
jumlah individu dan jenis tumbuhan bawah bersifat dinamis. Kawasan agroforestri
karet dan monokultur karet mempunyai perbedaan berdasarkan struktur dan
komposisi tegakannya, namun pengelolaan lahan pada kedua kawasan tersebut
berbeda. Pengelolaan lahan pada monokultur lebih intensif dibandingkan dengan
lahan agroforestri sehingga pertumbuhan tumbuhan bawah tidak terlalu tinggi.
Faktor inilah yang diduga menyebabkan struktur dan komposisi tegakan tidak
berpengaruh nyata terhadap cadangan karbon tumbuhan bawah pada kawasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada agroforestri karet dan
monokultur karet di Desa Sijungkang ada 28 jenis, 23 jenis ditemukan pada
agroforestri karet dan 15 jenis pada monokultur karet. Jenis tumbuhan bawah
yang mendominasi pada agroforestri karet adalah Situdu Langit
(Stachytarpheta jamaicensis) dengan INP 30,64 % dan yang mendominasi
pada monokultur karet adalah Ara Sungsang (Asystasia gangetica) dengan
INP 33,01 %.
2. Rata-rata cadangan karbon tumbuhan bawah pada agroforestri karet sebesar
0,21 ton/ha dan pada monokultur karet sebesar 0,25 ton/ha.
3. Cadangan karbon tumbuhan bawah di agroforestri karet dan monokultur karet
tidak berbeda secara signifikan.
Saran
Perlu adanya penelitian untuk menghitung cadangan karbon dari setiap