• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa dan manusia adalah dua hal yang tidak terpisah. Bahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bahasa dan manusia adalah dua hal yang tidak terpisah. Bahasa"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Bahasa dan manusia adalah dua hal yang tidak terpisah. Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Chaer dan Agustina (2004: 11) fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi. Melalui kegiatan berkomunikasi setiap penutur hendak menyampaikan tujuan atau maksud tertentu kepada mitra tutur dan bahasa sebagai medianya. Menurut Rani (2004: 37) dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Di dalam komunikasi, dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasi tuturan dengan maksud untuk menginformasikan sesuatu kepada mitra tuturannya, dan mengharap mitra tuturnya (pendengar/pembaca) dapat memahami dengan sesuatu tersebut yang hendak atau telah dikomunikasikan.

Pemerintah Jerman baru-baru ini menempelkan poster yang ditujukan kepada para pengungsi dan dipasang di kamp pengungsi bergambar pria, berjongkok di bawah pancuran mandi dan ada kotoran hitam di belakangnya. Kemudian ditambal dengan garis silang merah di atas gambar tersebut (sumber:

OKEZONE.COM dari laporan WND, Kamis, 21 Januari 2016). Di bawah poster

tertulis keterangan, Please do not poop in the shower! yang berarti “Dilarang buang hajat di kamar mandi!”. Hal ini terjadi dikarenakan para pengungsi yang belum tahu bentuk kamar mandi atau WC di Jerman yang tentunya berbeda sama sekali dengan tempat asal para pengungsi sebelumnya. Walaupun sudah dipasang poster tersebut masih saja terulang sehingga membuat pihak penanganan

(2)

pengungsi mendesain ulang poster dengan gambar yang lebih keras. Hal ini tentunya bukan hanya berkaitan dengan bahasa saja tapi juga budaya.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa telah terjadi proses komunikasi melalui konsep tindak tutur melalui tulisan atau kalimat pada poster-poster tersebut. Dengan adanya poster-poster tersebut, pihak penanganan pengungsi Jerman khususnya di Freiburg secara tidak langsung dapat memberi pesan atau maksud kepada para pengungsi yang dalam hal ini pihak penanganan pengungsi di Jerman sebagai penulis poster (penutur) dan para pengungsi di Jerman sebagai pembaca poster tersebut. Hal tersebut didasarkan juga pada penjelasan Allan (1986) mengenai tindak tutur yakni penulis atau pihak yang menunjuk penulis poster dapat diandaikan sebagai si penutur. Setiap kalimat yang tertera atau tertulis pada poster-poster tersebut merupakan tuturan yang diucapkan dengan prosodi ɸ. Tuturan yang tertulis itu dibaca oleh pembacanya, seperti halnya didengar secara lisan oleh pendengarnya. Proses ini berlangsung dalam suatu konteks tertentu.

Dalam penanganan pengungsi, pemerintah Jerman memberdayakan dan mempercayakan kepada organisasai, institusi lokal, atau komunitas gereja untuk mengedukasi, memberdayakan, dan mengelola potensi-potensi para pengungsi. Mereka menggunakan media tulisan dalam berkomunikasi dengan para pengungsi berupa poster. Pihak penanganan pengungsi di Jerman khususnya di Freiburg menggunakan poster untuk sesuatu yang penting dan memandu pengungsi menjalani kehidupannya di kamp pengungsian serta cara mereka hidup atau beraktifitas seperti menggunakan dapur, kamar mandi, atau ruang-ruang publik

(3)

lainnya tanpa pihak penanganan pengungsi harus memberitahunya berulang-ulang dan membuat para pengungsi selalu melihatnya dan disiplin menjalankannya. Poster-poster tersebut juga tidak hanya ditulis dalam bahasa Jerman namun juga disertakan dengan terjemahan bahasa Inggris maupun bahasa Arab. Menariknya beberapa poster tersebut disertakan dengan gambar karena beberapa pengungsi tidak tahu maksudnya dan tidak bisa membaca huruf alphabet.

Menurut organisasi yang menangani pengungsi, penggunaan poster untuk pengungsi juga dinilai memudahkan karena bisa dilihat atau menggunakan mata untuk mengetahuinya. Dan budaya di Jerman yang tidak mau mengulang penjelasan yang berkaitan dengan hal yang simple khususnya bagaimana menjalani kehidupan di Jerman, misalnya bagaimana menggunakan dapur, mereka hanya berkenan menjelaskan sekali namun terkadang para pengungsi bertanya lagi. Penjelasan ini penulis peroleh setelah melakukan interview dengan Franz Grasser yang merupakan seorang leader di organisasi sosial penanganan pengungsi (Diakonisker Werk) untuk kamp pengungsi di Lorracherstrasse 45, Freiburg.

Pihak penanganan pengungsi di Freiburg menggunakan media tulisan berupa poster agar mudah dilihat, diingat, dan dimengerti oleh khalayak atau publik khususnya para pengungsi. Hal ini menjadi menarik untuk diamati karena kamp pengungsi sebagai ruang publik akan sangat berbeda dengan ruang publik di tempat lain. Begitu juga dengan poster-poster yang ditempelkan oleh pihak penanganan yang jelas ditujukan kepada para pengungsi maupun pengunjung yang datang ke kamp pengungsi.

(4)

Berkaitan dengan poster-poster tersebut sebagai media tulisan tentu memiliki unsur komunikasi yang direpresentasikan pada pembentukan kalimat pada poster-poster tersebut. Menurut Wijana (2009), fungsi komunikatif suatu tuturan secara konvensional dapat berupa kalimat berita yang digunakan untuk memberitakan atau menginformasikan sesuatu, kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, dan kalimat tanya yang digunakan untuk bertanya dan mengharapkan jawaban dari lawan tutur. Akan tetapi poster-poster di kamp pengungsi di Freiburg merupakan media tulisan yang tidar sekedar terpaku pada bentuk konvensional kalimat dasar. Dari beberapa temuan, ada beberapa poster yang memiliki karakteristik tersendiri dalam pembentukannya, contohnya tindak tutur direktif yang mempunyai fungsi untuk mengajak pembaca poster berikut.

Crochet and knit, Friday, 10.00 – 11.30 am, Haus 7.

“Menyulam dan merajut, hari sabtu, jam 10 hingga 11.30 pagi, di Haus 7” (Poster 7)

Konteks: Penulis poster menginformasikan jadwal dan tempat sekaligus mengajak para pengungsi wanita untuk melakukan kegiatan menyulam dan merajut.

Tindak tutur yang terbentuk pada data poster di atas dikategorikan sebagai tindak tutur direktif karena bermaksud mengajak atau mengundang pembaca poster untuk mengikuti kegiatan menyulam dan merajut yang disertai informasi waktu dan tempat kegiatan tersebut berlangsung. Tuturan pada poster tersebut disampaikan penulis untuk mengajak pembaca dalam hal ini pengungsi untuk mengikuti kegiatan menyulam dan merajut pada waktu dan tempat yang telah tertera pada poster tersebut. Tuturan di atas ditulis dalam kalimat tunggal tanpa disertai subjek maupun objek karena berdasarkan konteks, pihak penutur dan lawan tutur telah saling mengetahui. Kalimat pada poster di atas merupakan

(5)

kalimat deklaratif. Oleh karena itu, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak langsung karena tidak berhubungan langsung dengan fungsi kalimatnya.

Penggunaan bahasa pada poster-poster di kamp pengungsi di Freiburg tidak hanya menarik dari sisi karakteristik baik jenis, bentuk, maupun fungsi. Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda menjadikannya menarik untuk diamati. Pihak penanganan pengungsi di Jerman khususnya di Freiburg tentu mempertimbangkan hal tersebut dalam penggunaan bahasa yang mereka gunakan dalam penulisan poster di kamp-kamp pengungsi di Freiburg karena dalam prakteknya mereka tidak hanya menyampaikan bahasa pada poster tersebut tetapi juga budaya, adat-istiadat, dan perilaku dan bahkan hukum yang berlaku di Jerman agar diketahui dan juga dipatuhi oleh para pengungsi yang notabene sebagai pendatang dari latar belakang budaya, adat-istiadat, dan bahkan norma hukum dari negara yang berbeda. Oleh karena itu penulis juga menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak tutur pada poster-poster di kamp pengungsi Freiburg. Hal tersebut dan uraian di atas yang membuat penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Tindak Tutur pada Poster di Kamp Pengungsi Freiburg.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik tindak tutur pada poster-poster di kamp pengungsi Freiburg?

(6)

2. Bagaimanakah fungsi tindak tutur yang terkandung pada poster-poster di kamp pengungsi Freiburg?

3. Apa faktor yang mempengaruhi tindak tutur pada poster-poster tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka yang menjadi tujuan peneliti ini adalah untuk menjelaskan bagaimana karakteristik dan fungsi tindak tutur pada poster-poster di kamp pengungsi Freiburg serta menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan hasil yang bermanfaat sejalan dengan tujuan penelitian di atas. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis, praktis, dan akademis.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu budaya dan ilmu sosial, khususnya ilmu linguistik.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masukan bagi komunitas, pemerhati, dan pengambil kebijakan yang bergerak dan berkaitan dengan penanganan pengungsi, khususnya di Indonesia.

(7)

3. Manfaat Akademis

Penelitian ini mencoba untuk memberikan konstribusi berupa pemikiran temuan-temuan “empirik” mengenai peristiwa dan tindak tutur dalam proses komunikasi dan penanganan pengungsi yang sekarang ini menjadi masalah global. Sehingga nantinya diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian sejenisnya atau yang berkaitan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik tindak tutur di area publik atau tempat umum. Beberapa diantaranya adalah tesis karya Fransiscus Kintono Utomo Lambut (2014) yang berjudul Tindak Tutur Ilokusi dalam Papan Peringatan Pada Sarana Publik di Kota Melbourne. Dalam tesis tersebut, terdapat tiga jenis tindak tutur ilokusi yaitu representatif, direktif, dan fatis. Kalimatnya berbentuk imperatif dan deklaratif. Tindak tutur ilokusi dalam penelitian yang dilakukan Lambut ditemukan enam fungsi tindak tutur yaitu meminta, menyarankan, memerintahkan, melarang, menerangkan, dan memperingatkan. Dia juga menghubungkan fungsi-fungsi tersebut dengan bentuk tindak tutur ilokusi sehingga ditemukan dua strategi penutur dalam menyampaikan tuturannya, yakni tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung. Yang kedua, tesis karya Kurnia Asma Yuli (2010) yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam Rumah Kos di Yogyakarta. Dia menemukan bahwa jenis tindak tutur yang digunakan yang berkaitan dengan judulnya adalah tindak tutur direktif bertipe memerintah dengan kategori memerintah, meminta, mengajak, menasehati, mengkritik, dan bertipe

(8)

melarang kategori melarang dan mencegah. Berkaitan dengan strategi penuturnya, tindak tutur direktif tidak langsung paling banyak digunakan.

Ketiga, Penelitian Desi Andriyani (2012) yang berjudul Bentuk Imperatif Tindak Tutur Wacana Persuasif Pada Fasilitas Umum. Andriyani memfokuskan analisis wacana persuasif pada papan larangan dan perintah di fasilitas umum. Jenis tindak tutur yang ditemukan adalah tindak tutur langsung berupa kalimat perintah dan kalimat larangan, kemudian tindak tutur tidak langsung berupa kalimat berita. Keempat, Penelitian Renny Dwi Arumsari (2013) berjudul Tindak Tutur dalam Slogan di Pondok Modern Darussalam Gontor Putra 1. Menurut Arumsari seluruh slogan di Pondok Modern Darussalam Gontor menggunakan tindak tutur perlokusi yang di dalamnya terkandung tindak ilokusi yang penggunaanya untuk mengajak dan memperingatkan yang mengandung efek atau pengaruh bagi para santri. Berdasarkan modus kalimat slogan di tempat tersebut, penutur menggunakan empat bentuk tindak tutur yakni tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak literal, dan tindak tutur tidak literal.

Selain itu terdapat juga beberapa penelitian yang membahas secara spesifik tentang tindak tutur seperti tindak tutur asertif atau bisa juga disebut tindak tutur representatif oleh Ade Kristianus Kaloeti. Tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Representatif dan Kepaduan Wacana Penderita Bipolar Disorder” membahas tentang karakteristik tindak tutur representatif. Evi Jovita Putri, tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Direktif dan Citra Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Hateship, Friendship, Courtship, Loveship, Marriage Karya

(9)

Alice Munro” membahas tentang bentuk tindak tutur direktif dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak tutur tersebut.

1.6 Landasan Teori

Tuturan adalah suatu ujaran yang disampaikan oleh seorang penutur kepada mitra tutur ketika sedang berkomunikasi. Tuturan dalam kajian pragmatik dapat dipahami sebagai bentuk tindak tutur itu sendiri di samping juga dapat dipahami sebagai produk suatu tindak tutur (Nadar, 2009: 7). Hal senada juga disampaikan oleh Leech (1993: 20) bahwa tuturan dalam pragmatik diartikan sebagai produk suatu tindakan verbal (bukan tindakan verbal itu sendiri).

Menurut Wijana (1996: 12) tuturan yang digunakan di dalam pragmatik merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak tutur. Sebagai contoh kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungannya dengan pragmatik dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utterance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu. Dari pengertian di atas, tuturan dapat diartikan sebagai ujaran yang dihasilkan dari proses tindak tutur yang di dalamnya terkandung makna dan digunakan pada situasi tertentu.

1.6.1 Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan gejala berbahasa yang terjadi pada suatu proses komunikasi. Menurut Cunningsworth (via Tarigan, 1990: 41) teori tindak tutur merupakan teori yang memusatkan perhatian pada cara penggunaan bahasa dalam

(10)

mengkomunikasikan maksud dan tujuan sang pembicara dan juga dengan maksud penggunaan bahasa yang dilaksanakannya. Selain itu, Rani (2004:37) mengungkapkan bahwa dalam berkomunikasi terdapat tindak tutur, komunikasi bahasa bukan sekedar lambang, kata, kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang atau kalimat yang terwujud. Suatu tindak tutur tidaklah semata-mata merupakan representasi langsung elemen makna unsur-unsurnya.

Tindak tutur adalah produk tuturan yang dihasilkan sebagai bagian dari interaksi sosial (Sumarsono, 2009: 323). Chaer dan Agustina (2004: 50) mendefinisikan tindak tutur sebagai gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur ini lebih menekankan pada makna atau arti tindakan dalam suatu tuturan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa tindak tutur yang digunakan oleh seseorang sangat ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya faktor bahasa, lawan bicara, situasi, dan struktur bahasa yang digunakan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh manusia untuk menyampaikan makna dan tujuan penggunaan bahasa guna menghadapi situasi tertentu.

(11)

Austin (via Chaer dan Agustina, 2004: 53) menyatakan bahwa tindak tutur dapat dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu.

1. Tindak lokusi

Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalamarti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (Chaer dan Agustina, 2004: 53). Selanjutnya menurut Yule (2006: 83) tindak lokusi merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya dalam bentuk lokusi ini tidak dipermasalahkan lagi fungsi tuturannya karena makna yang dimaksudkan adalah memang benar makna yang terdapat pada kalimat diujarkan.

2. Tindak ilokusi

Menurut Wijana (1996: 18) tindak ilokusi merupakan sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan (Chaer dan Agustina, 2004: 53).

Hal senada juga diungkapkan Nadar (2009: 14) bahwa tindakan ilokusi adalah tindakan apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat merupakan tindakan menyatakan berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya. Dengan

(12)

demikian dapat dikatakan bahwa tindakan ilokusi tidak hanya bermakna untuk menginformasikan sesuatu tetapi juga mengacu untuk melakukan sesuatu.

Menurut Searle (dalam Tarigan, 1986: 46-48) mengklasifikasikan tindak ilokusi menjadi lima kriteria sebagai berikut.

a) Asertif

Tindak tutur ini melibatkan pembicara pada kebenaran proposisi yang diekspresikan, misalnya: menyatakan, memberitahukan, menyarankan, membanggakan, mengeluh, menuntut, atau melaporkan.

b) Direktif

Tindak tutur ini dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek melalui tindakan sang penyimak, misalnya: memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menganjurkan, menasehati.

c) Komisif

Tindak tutur ini melibatkan pembicara pada beberapa tindakan yang akan datang, misalnya: menjanjikan, bersumpah, menawarkan, memanjatkan (doa).

d) Ekspresif

Tindak tutur ini mempunyai fungsi mengekspresikan, mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi, misalnya: mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memaafkan, mengampuni, menyalahkan, memuji, menyatakan belasungkawa, dan sebagainya.

(13)

e) Deklarasi

Tindak tutur deklaratif adalah ilokusi yang bila performasinya berhasil akan menyebabkan korespondensi yang baik antara proposisional dengan realitas, misalnya: menyerahkan diri, memecat, membebaskan, membaptis, memberi nama, mengucilkan, menunjuk, menentukan, menjatuhkan hukuman, memvonis dan sebagainya.

3. Tindak perlokusi

Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non-linguistik dari orang lain itu (Chaer dan Agustina, 2004: 53). Selanjutnya menurut Wijana (1996: 20) tindak tutur perlokusi merupakan sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Pendapat lainnya adalah menurut Darmansyah (1989: 89) tindak perlokusi menyangkut konsekuensi atau efek yang mungkin ditimbulkan oleh tindak ucap pembicara terhadap pikiran, perasaan dan kepercayaan pendengar.

Sejalan dengan pendapat di atas, Nadar (2009: 15) menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi sebagai tindakan untuk mempengaruhi lawan tutur seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk dan lain sebagainya. Hal senada juga diungkapkan oleh Rohmadi (2004: 31) yang menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindak

(14)

tutur perlokusi adalah tindak tutur yang memiliki makna untuk mempengaruhi pendengarnya atau dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur.

Pandangan terbaru mengenai tindak tutur dari Kreidler (1998:183-194) dalam bukunya Introducing English Semantics membagi tindak tutur menjadi tujuh, yaitu:

1) Asertif (Assertif Utterances)

Tindak tutur asertif terjadi karena penutur menggunakan bahasa untuk menceritakan apa yang mereka ketahui dan percayai, misalnya mengatakan,

mengumumkan, menjelaskan, menunjukkan, menyebutkan, melaporkan.

2) Performatif (Performative Utterances)

Tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang membuat atau menyebabkan resminya apa yang diucapkan, misalnya mengumumkan,

membaptis, menyebut,mencalonkan, menamakan, menjatuhkan hukuman.

3) Verdiktif (Verdictive Utterances)

Tindak tutur verdiktif terjadi karena penutur membuat penilaian terhadap tindakan orang lain, biasanya mitra tutur, misalnya menuduh, bertanggung jawab, berterima kasih.

4) Ekspresif (Expressive Utterances)

Tindak tutur ekspresif terjadi karena tindakan penutur, kegagalan penutur serta akibat yang ditimbulkan kegagalan itu, misalnya mengakui, bersimpati, memaafkan, dan sebagainya.

(15)

Tindak tutur direktif mengandung maksud bahwa penutur meminta mitra tutur untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Tindak tutur direktif terbagi menjadi tiga macam, yaitu perintah (commands), permintaan (request), dan anjuran (suggestions).

6) Komisif (Commissive Utterances)

Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang mengikat seorang penutur untuk melakukan suatu tindakan, misalnya menyetujui, bertanya,

menawarkan,menolak, berjanji, bersumpah.

7) Fatis (Phatic Utterances)

Tindak tutur fatis merupakan tindak tutur yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antara penutur dan mitra tutur.

1.6.3 Fungsi Tindak Tutur

Fungsi tindak tutur dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada maksud spesifik dari setiap tuturan yang dihasilkan dari poster-poster penganganan pengungsi di Freiburg. Menurut lambut (2014), fungsi tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang tercermin dari tuturan yang terlihat atau ditampilkan berdasarkan konteks. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Wijana (2010), pembagian jenis tindak tutur didasarkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan oleh setiap tuturan dalam peristiwa komunikasi.

(16)

Bentuk pengungkapan tindak tutur diklasifikasi berdasarkan bentuk dasar kalimat dan fungsi komunikatifnya yakni kalimat deklaratif yang memuat pernyataan atau informasi, kalimat imperatif yang memuat perintah, larangan, atau permintaan, dan kalimat introgatif yang memuat unsur pertanyaan yang menghendaki jawaban baik jawaban panjang maupun singkat. Menurut Wijana (2009), jika terdapat hubungan langsung antara fungsi komunikatif dari bentuk dasar kalimat dengan kekuatan ilokusinya maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung. Dan jika tidak terdapat hubungan langsung antara kekuatan ilokusi dengan fungsi kalimatnya maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tak langsung.

1.6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan produk ujaran yang merupakan fenomena kebahasaan yang terjadi sebagian besar karena faktor di luar bahasa. Seperti yang diungkapkan Wijana (2014: 202), dalam mewujudkan berbagai tindak tutur, penutur menggunakan berbagai bentuk tuturan bergantung dengan berbagai faktor ekstralingual yang terdapat antara penutur, lawan tutur, dan situasi pertuturan. Ibrahim (1993) menyatakan bahwa faktor sosial menentukan penggunaan bahasa penutur. Suwito (1982: 30) menjelaskan bahwa seorang penutur dalam menyampaikan maksud dalam wujud tindak tutur yang dipilihnya sangat brgantung kepada beberapa faktor yaitu dengan bahasa apa ia harus bertutur, kepada siapa ia akan menyampaikan tuturannya, dalam situasi bagaimana tuturan tersebut disampaikan dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang dipergunakan. Selain itu, Holmes (1992: 11-12)

(17)

mengungkapkan bahwa beberapa faktor sosial berpengaruh terhadap penggunaan bahasa yakni pihak yang terlibat, status pihak yang terlibat, tujuan, setting atau konteks, dan topik yang diutarakan.

Leech (dalam Rohmadi, 2010: 27-28) mengemukakan aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam dalam studi pragmatik yang berkaitan dengan maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh penutur dalam sebuah tuturan, yaitu:

1) Penutur dan lawan tutur. Konsep yang juga berlaku bagi penulis dan pembaca bila tuturan dikomunikasikan dengan media tulisan.

2) Konteks tuturan. Konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan.

3) Tujuan tuturan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan.

4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas 5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Suwito (1982: 30) menjelaskan bahwa seorang penutur dalam menyampaikan maksud dalam wujud tindak tutur yang dipilihnya sangat brgantung kepada beberapa faktor yaitu dengan bahasa apa ia harus bertutur, kepada siapa ia akan menyampaikan tuturannya, dalam situasi bagaimana tuturan tersebut disampaikan dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang dipergunakan. Dell Hymes (dalam Lambut, 2014)

(18)

memberikan delapan kategori yang menjadi faktor-faktor pengaruh pada peristiwa tindak tutur yang disingkat dengan SPEAKING, terdiri atas:

a) S (setting/scene), yakni tempat tutur dan suasana tuturan.

b) P (participant), yakni penutur dan lawan atau mitra tutur; E (end), yakni maksud atau tujuan tuturan.

c) A (act), yakni suatu peristiwa di mana seorang penutur sedang melakukan tuturan (action).

d) K (key), yakni nada suara atau ragam bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan tuturannya.

e) I (instrument), yakni alat yang digunakan untuk menyampaikan

tuturannya.

f) N (norms of interaction), norma-norma yang berkaitan dengan tindak tutur.

g) G (genre), yakni jenis kegiatannya dalam bentuk apa atau bagaimana; Berkaitan dengan penjelasan para ahli di atas, penulis akan menggunakan teori dari Dell Hymes tersebut yang dinilai mewakili dan merangkum pendapat para ahli tersebut yang memuat delapan kategori yang menjadi faktor-faktor pengaruh pada peristiwa tindak tutur yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini khususnya untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tindak tutur pada poster-poster penanganan pengungsi di Freiburg, Jerman.

(19)

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memahami fenomena kebahasaan yang terdapat pada poster-poster di kamp pengungsi Freiburg kemudian dianalisis dan dideskripsikan secara cermat untuk membuat kesimpulan yang tepat.

1.7.1 Obyek Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berupa keterangan, kalimat, atau kata-kata, dalam hal ini adalah poster. Data kualitatif digunakan sebagai dasar untuk menganalisis tindak tutur pada poster-poster di kamp pengungsi di Freiburg, Jerman. Poster-poster tersebut sebagian besar dibuat dan berasal dari pusat penanganan pengungsi bagian selatan Jerman yang berlokasi di Stuttgart. Di sana merupakan pintu masuk para pengungsi sebelum masuk dan bermobilisasi di Freiburg dan disana juga para pengungsi melakukan pendataan awal.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan metode simak dengan teknik catat. Dengan teknik catat, peneliti mencatat secara langsung tuturan-tuturan yang ditemukan pada poster-poster dalam penanganan pengungsi di Freiburg. Selain itu, untuk mendapatkan data dibutuhkan juga alat bantu berupa kamera handphone. Kamera handphone ini digunakan untuk mengambil gambar poster-poster dalam penanganan pengungsi di Freiburg yang diteliti serta dengan menggunakan teknik wawancara untuk data pendukung. Penulis masuk ke kamp-kamp pengungsi di Freiburg dengan menggunakan surat resmi dari University of Freiburg. Hal

(20)

tersebut dilakukan karena prosedur yang diwajibkan oleh kamp-kamp pengungsi di Freiburg. Penulis mewawancari beberapa manajer kamp pengungsi dan staff kamp pengungsi termasuk penerjemah yang bekerja di kamp pengungsi dan volunteer yang yang berkegiatan di kamp pengungsi.

1.7.3 Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data digunakan metode identifikasi, padan, dan wawancara. Metode identifikasi adalah metode yang dilakukan dengan cara menetapkan suatu jenis tindak tutur. Tindak tutur yang mempunyai kesamaan karakteristik diklasifikasi ke dalam satu jenis tindak tutur, sedangkan tindak tutur yang memiliki perbedaan karakteristik diklasifikasi ke dalam satu jenis tindak tutur yang berbeda. Metode padan adalah metode atau cara yang digunakan dalam upaya menganalisis data yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Metode padan digunakan dalam menentukan jenis, bentuk, fungsi, dan makna tuturan pada poster-poster dalam penanganan pengungsi di Freiburg. Metode padan yang digunakan adalah metode padan ekstralingual, adalah teknik untuk membandingkan sesuatu yang mengandung makna adanya keterhubungan, atau dengan kata lain menghubungbandingkan karena makna-makna unsur yang dihubungbandingkan berada di luar bahasa, seperti hal-hal yang menyangkut makna, informasi, konteks, tuturan dan lain-lain (Mahsun, dalam Lambut 2014). Sedangkan metode wawancara digunakan untuk menganalisis data temuan secara lebih mendalam dengan melakukan wawancara langsung kepada pihak yang menulis poster-poster dalam penanganan pengungsi di Freiburg dan para pengungsi yang menjadi tujuan

(21)

poster-poster tersebut. Atau bisa juga dikatakan bahwa dalam menganalisis data, penulis akan menggunakan analisis pragmatis yaitu analisis bahasa berdasarkan pada sudut pandang pragmatik (Rustono, 1999:18). Analisis ini untuk menemukan maksud penutur baik diekspresi secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat dibalik kalimat atau wacana poster-poster untuk pengungsi di Freiburg. 1.7.4 Teknik Penyajian Data

Hasil analisis data disajikan dengan menggunakan kata-kata biasa ke dalam bentuk laporan tertulis. Menyajikan perumusan hasil analisis data dengan cara menggunakan kata-kata biasa disebut juga dengan metode informal. Menurut Sudaryanto (1993: 145), metode informal merupakan metode yang menggunakan kata-kata biasa dalam penyajian hasil analisis data. Selanjutnya Jati Kesuma (2007: 74), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan menggunakan kata-kata biasa dalam penyajian hasil analisis data adalah penggunaan kata-kata yang dapat dipahami dengan mudah ketika dibaca.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, yaitu: bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Sementara itu, pada bab II membahas karakteristik tindak tutur pada poster-poster di kamp-kamp pengungsi di Freiburg. Bab III memuat bagaimana fungsi tindak tutur yang terkandung pada poster-poster tersebut. Bab IV berisi penjelasan faktor-faktor yang

(22)

mempengaruhi terjadinya tindak tutur pada poster di kamp pengungsi di Freiburg. Sementara itu, bab V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Jotkut oppilaat kuitenkin toteavat, että olisi myös mukava olla pelkästään oman luokan kanssa luontokoulussa.. “Meijän luokan luontokoulussa on myös

Pada variabel penelitian interaksi sosial dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara interaksi sosial yang dimiliki oleh siswa sekolah dengan interaksi

[r]

terhadap kejadian kurus pada anak usia di bawah dua tahun (baduta), serta mengetahui upaya yang telah dilakukan tenaga penyuluh gizi (TPG) dalam peningkatan praktik pemberian

Sekolah menengah pertama negeri 1 kuantan mudik telah memiliki ruang komputer sendiri, dengan sarana dan prasarana penunjang antara lain:.. Komputer memiliki

Salah satu pemanfaatan teknologi yang dapat memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan membuat sistem manajemen parkir menggunakan pengolahan citra digital

Mifano inaonesha mapungufu ya kiisimuyanayotokana na majibu yasiyokuwa sahihi. Miongoni mwa mapungufu hayo ni matumizi ya viambishi vya nafsi vinavyokosekana katika

Untuk mengetahui manakah dari ketiga variabel tersebut yang berpengaruh paling dominan terhadap loyalitas pelanggan kartu prabayar Telkomsel pada mahasiswa STIE