• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORETIS. Dalam pengertian sehari-hari istilah kesenian dan kebudayaan sering diartikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORETIS. Dalam pengertian sehari-hari istilah kesenian dan kebudayaan sering diartikan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORETIS A. Kesenian

Dalam pengertian sehari-hari istilah kesenian dan kebudayaan sering diartikan sama. Padahal berdasarkan pemikiran ilmu sosial, kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Didalam kesenian terkandung nilai-nilai, norma, pengetahuan dan kepercayaan yang terintregrasi dalam kebudayaan sehari-hari masyarakat guna mencapai tujuan idealnya. Tujuan utamanya adalah menambah interprestasi dan melengkapi kehidupan, adakalanya pada suatu waktu dijadikan alat bantu untuk tujuan lainnya, seperti perjuangan agama, propaganda simbolisme dan keharmonisan tatanan kemasyarakatan. Kesenian juga merupakan ciri universal manusia, artinya setiap manusia secara naluriah mempunyai rasa seni. Hal tersebut karena setiap individu mempunyai bakat untuk mencipta seni, karena berkesenian merupakan kebutuhan setiap manusia.

Tumbuh dan berkembangnya kesenian dipengaruhi oleh kondisi setempat, sehigga kesenian berbeda-beda disetiap tempat. Kesenianpun menggambarkan budaya setempat dan memberikan warna pada masyarakat di tempat itu serta memberikan gambaran umum tentang wujud suatu bangsa. Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat majemuk, pada setiap kelompok muncul berbagai jenis kesenian yang bersifat khas sebagai idenitas kebudayaan masing-masing.

Kesenian yang mengandung pesan-pesan budaya itu berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan, yang pada gilirannya akan mejadi sarana bagi upaya mempertahankan kolektifitas sosial, walaupun dalam kenyataan empirik yang menjadi pendukung kesenian itu adalah individu-individu dari masyarakat yang bersangkutan (Suparlan: 1987:45).

Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa, berkesenian merupakan bagian dari kehidupan sehaari-hari manusia. Seni juga serng muncul dalam keja keseharian, misalnya

(2)

dalam kegiatan keagamaan, sosial, ekonomi, seni sering menjadi pengiring dan menjadi hal yang sulit untuk dilepas atau dihilangkan.

Kesenian diciptakan oleh manusia pada awalnya tidak semata-mata atas dasar keindahan akan tetapi terdorong oleh suatu kebutuhan untuk amemperoleh gambaran, perlambangan dan wujud-wujud tertentu sebagai objek yang jelas mudah dikenal dan dipahami oleh mereka dalam melaksanakan kehidupan religius sesuai dengan kepercayaan yang telah diyakininya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan seni, sebagaimana dikutui dari Rasjoyo (1995: 14), yaiu:

1. Seni untuk tujuan keagamaan 2. Seni untuk tujuan ekspresivitas. 3. Seni untuk tujuan simbolis 4. Seni untuk tujuan kreatif 5. Seni untuk tujuan keindahan 6. Seni untuk tujuan komersial

A. Wayang Kulit Purwa 1. Pengertian Wayang Kulit

Wayang kulit purwa adalah hasil karya para pujangga–pujangga Indonesia yang umurnya telah baratus-ratus tahun dengan mengalami perubahan dan perkembangan. Wayang kulit purwa digemari bukan oleh orang Indonesia saja, melainkan banyak orang-orang asing menyukainya. Wayang kulit adalah wayang yang bonekanya terbuat dari kulit binatang yang biasanya kulit kerbau. Pertunjukan wayang kulit sampai sekarang masih digemari oelh berbagai lapisan masyarakat Indonesia mulai dari kota-kota sampai

(3)

pelosok-pelosok. Dengan kenyataan ini, sudah jelaslah bahwa pertnjukan wayang masih digemari, dimilii dan diresapi isi yang terkandung didalamnya. Suatu pertunjukan akan di gemari atau tidak terganung pula pada penyajiannya, jikalau penyajianny kurang menarik, tentu saja penggemarnya kurang, walaupun kesenian wayang kulit purwa itu adalah kesenian yang adiluhun.

Dalam suatu pertunjukan, wayang berfungsi selain sebagai media hiburan, fungsi wayang yang lainnya adalah sebagai media pendidikan, penerangan dakwah dan lain sebagainya. Sudah dijelaskan pada bab I bahwa pengertian wayang purwa adalah secara luas bisa mengandung makna gambar (penikmatnya hanya mungkin dari arah muka) boneka tiruan manusia yang terbuat dari kardus, kulit, kertas dan kayu. Wayang bisa disebut juga bayangan. Wayang bisa disebut semu atau maya. Didalam wayang terdapat beberapa unsur seni yaitu seni drama (teater), seni pahat (kriya), seni lukis (rupa), seni sastra, seni suara (vokal) dan seni tari (gerak).

Didalam penelitian ini, peneliti memaparkan beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian wayang supaya tidak ada kesalahpahaman. Dengan hal ini peneliti memaparkan beberapa pendapat tentang wayang yang diutarakan oleh para ahli, yaitu:

Jajang Suryana (Ismunandar, 2002,59) menyebutkan bahwa“ perkataan wayang kulit berasal dari bahasa Jawa krama ngoko (bahasa Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan yang terdiri dari barang dan sebelumnya, yang terkena cahaya (penerangan)”. Jajang Suryana (Mertosedono, 2002,59) memaparkan bahwa “wayang kulit terbuat dari kulit dan menceritakan peranan orang Jawa pada jaman dahulu. Disebut wayang karena dapat dilihat bayangannya pada kelir, menggambarkan orang pada jaman dahulu yang terbayang dalam angan-angan”.

(4)

Jajang Suryana (dalam kamus bahasa Sunda 2002,59) mengatakan pengertian wayang adalah “sarupaning jejelemaan tina kulit atawa tina kai anu diibaratkeun anu dilakonkeunnana dina carita Mahabarata jste; sarupaning tongtonan sabangsa tunil atawa sandiwara boneka” (wayang adalah perumpamaan orang-orangan yang terbuat dari kulit atau kayu yang diibaratkan atau yang diceritakan dari cerita Mahabarata dan lain sebagainya; yang berupa tontonan seperti sandiwara boneka).

Tuti Sumukti (Groenendael, 2005,21), menyatakan bahwa “wayang dapat berarti boneka atau tokoh dalam suatu drama dan yang utama diasosiasikan dengan teater boneka wayang, hal ini tergantung pada bahan yang digunakan atau dipakai untuk membuat boneka wayang itu. Orang dapat membedakan bahannya, kalau itu dibuat dari kulit, maka disebut wayang kulit sedangkan dibuatnya dari kayu maka disebut wayang golek. Wayang kulit yang pipih, kebanyakan diukir dan dicat secara artistik. Wayang kulit ini digerakan didepan lampu sedemikian rupa sehingga bayangannya jatuh pada kelir yang dibuat dari kain putih. Boneka wayang ini kalau ditempelkan di kelir oleh seorang dalang, bentuk garis-garisnya tampak nyata menembus kelir”.

Pengertian wayang menurut Bagyo Suharyono (2005, 25), mengatakan bahwa “wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan, yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertunjukan wayang adalah pertunjukan bayang-bayang. Arti filsafat yang lebih dalam lagi adalah bayangan kehidupan manusia, atau angan-angan manusia tentang kehidupan manusia”.

Pengertian wayang menurut R.M. Soedarsono (1996, 47) mengatakan bahwa “istilah wayang merupakan istilah yang memiliki makna yang sangat umum. Dalam

(5)

penggunaannya secara umum, kata wayang berarti pertunjukan yang berceritakan serta menggunakan dialog, yang mana aktor dan aktrisnya bias boneka dan bias pula manusia.

Endo Suanda (2004, 12) mengatakan bahwa “wayang suatu jenis boneka yang terdapat di Pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok dan sebagian kecil di Sumatra dan Kalimantan. Wayang adalah boneka, tetapi dalam suatu set berjumlah banyak (ada yang sampai 200 buah atau lebih). Wayang dapat digerakan dan atau dapat dimainkan untuk menyajikan sebuah cerita”

Victoria M. Clara Van Groenedel (1987, 4) mengatakan bahwa “wayang ialah gambaran tentang boneka, yang lebih tegas lagi adalah boneka pertunjukan wayang”. Sujarno, dkk (2003, 27) mengatakan bahwa “wayang purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasan ceritanya bersumber pada kitab Mahabarata dan Ramayana”.

Dimas Prasetyo (2007) mengatakan bahwa “wayang artinya walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah wayang kulit purwa, seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna ini meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai penuturnya”.

Kem (2008) mengatakan bahwa “wayang berasal dari kata “wod”, yang artinya bayangan yang bergoyang-goyang, bolak-balik (berulang-ulang) atau mondar-mandir tidak tetap tempatnya”.

2. wayag sebagai suatu kerya seni

Sebagai bentuk budaya fisik, wayang kulit termasuk salah satu karya seni karena perwujudannya terdiri dari unsur-unsur yang dapat dihayati oleh indra mata dan dapat diraba. Jika dilihat dari segi seni rupa dan kerajinan, wayang dibedakan menjadi dua

(6)

dimensi (dwimatra) dan tiga dimensi (trimatra). Karya seni rupa dua dimensi atau dwimatra adalah seni rupa yang wujudnya atau bentuknya berupa bidang datar dengan ukuran panjang dan lebar. Karya seni rupa tiga dimensi atau trimatra adalah karya seni rupa yang wujudnya atau bentuknya berupa selain mempunyai ukuran panjang dan lebar juga mempunyai ukuran kedalaman. Wayang dilihat dari bentuk atau wujudnya memiliki ukuran panjang, lebar dan juga ukuran kedalaman sehigga wayang kulit dapat digolongkan ke dalam karya seni tiga dimensi.

Wayang kulit jika dilihat daari seni tari, tidak jauh dari masalah gerak, karena setiap gerakan wayang kulit tidak sama seperti pada manusia yang menari, namun gerakan pada wayang kulit purwa dibatasi dengan keadaan wayang, maksudnya wayang terbuat dari kulit binatang. Dari segi busana dan riasnya wayang memiliki berbagai bentuk seni misalnya tentang keindahan, kedamaian dan sebagainya.

C. Tokoh Punakawan Cungkring pada Wayang Kulit Purwa di Indramayu

Penelitian wayang kulit telah banyak dilakukan oleh orang, terutama pada wayang kulit purwa. Banyak para ahli meneliti wayang kulit purwa dengan berbagai permasalahannya. Didalam penelitian ini, peneliti memaparkan beberapa penelitian wayang yang telah diteliti sebelumnya supaya tidak ada kesalahpahaman. Diantara beberapa buku yang telah mengupas tentang wayang adalah buku yang ditulis oleh Hazim Amir yang berjudul Nilai-nilai Etis Wayang. Buku ini mengupas tentang nilai-nilai etis dalam wayang yang kaitannya dengan pendidikan watak. Buku Seni Kriya Wayang Kulit, Seni Rupa Tatahan dan Sunggingan yang ditulis oleh S. Haryanto. Buku ini memaparkan tentang bagaimana seni menatah atau menyinggung, masalah tentang bentuk tatahan dan jenis tatahan.

(7)

Buku selanjutnya adalah karya Tuti Sumukti yang berjudul Semar Dunia Batin Orang Jawa. Didalam buku ini hanya mengupas tentang Semar saja, mulai dari asal usulnya Semar sampai tingkah laku Semar. Buku Wayang Beber Wonosari yang ditulis oleh Bagyo Suharyono, didalam buku ini hanya mengupas tentang wayang beber di Wonosari, yaitu dari asal usul sampai dengan kelangkaan wayang beber di Wonosari. Buku yang ditulis oleh S.P. Adhika yang berjudul Dewaruci dan bukunya yang lain berjudul Nawaruci. Didalam buku ini hanya menerangkan masalah-masalah Bima yang mencari air kehidupan di dalam lautan yang ditipu oleh gurunya yaitu Resi Drona.

Buku selanjutnya adalah buku yang ditulis oleh I. Made Purna dan Sri Mintosih, yang berjudul Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Mahabarata dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak (seri I) dan buku yang kedua dengan judul Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Ramayana dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak (seri I). Didalam buku ini hanya membahas beberapa tokoh satria, ponggawa dan putri pada wayang dengan mengkaji masalah nilai, silsilah dan riwayatnya saja. Buku Dalang di Balik Wayang yang ditulis oleh Victor M.Clara Groendael. Buku ini hanya menerangkan tentang dalang yang akan mendalang, seperti pendidikanya, syarat-syarat menjadi dalang dan lain sebagainya.

Dari sekian banyaknya orang yang meneliti atau menulis tentang wayang, hanya membicaraan tentang wayang secara luas, tetapi tidak khusus kepada satu tokoh wayang. Walaupun ada yang meneliti tentang satu tokoh wayang yaitu dalam buku Semar Dunia Batin Orang Jawa yang ditulis oleh Tuti Sumukti hanya menulis tokoh Semar keseluruhan, tidak pada daerah tertentu karena bentuk wayang pada tokoh Semar setiap daerah pasti berbeda baik dari bentuk sunggingan atau tatahan, jenis busana, wanda dan

(8)

lain sebagainya. Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang tokoh punakawan wayang kulit purwa Indramayu belum pernah diteliti, demikian pula dengan penelitian pada tokoh punakawan Cungkring yaitu tentang gerakan, tata rias dan tata busananya. Wayang yang diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini yakni wayang kulit purwa Indramayu pada tokoh punakawan Cungkring yang merupakan tokoh punakawan yang ada dalam lakon Mahabarata, Ramayana dan carangan.

Tokoh punakawan Cungkring selalu ditunggu kehadirannya, karena banyolannya yang sangat menggelitik segar. Penulis ingin meneliti pada tokoh Cungkring yaitu tentang gerakan, rias dan busannya karena, menurut penulis yang pernah dengar bahwa dari gerakan, rias dan busana yang terkandung ditokoh Cungkring memiliki beberapa makna yang tersembunyi. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk menelitinya.

D. Gerak Tokoh Punakawan Cungkring Pada Wayang Kulit Purwa Indramayu Wayang kulit purwa Indramayu setiap okoh mempunyai erak yang khas, ada yang lincah, dinamis dan bahkan ada juga yang monoton. Setiap gerakan mencrikan peranan setiap tooh seperti sifatnya jujur, egois, kasar bijaksana dan sebagainya. La Meri (1978: 20) mengadakan perincan yang lebih cermat lagi tentang pola-pola gerak yang masing-masing mempunyai watak tersendiri, yaitu sebagai berikut:

1. Gerak yang berpola datar mempunyai watak terbuka, jujur, tetapi juga wataknya dangkal

2. Gerak yang berpola dalam, menjauhi atau mendekati penonton, memberikan kesan perasaan yang dalam

(9)

3. Gerak yang berpola vertikal keatas atau kebawah, memiliki watak yang egosentris dan sangat cocok untuk mengungkapka rasa menyerah.

4. Gerak yang berpola horizontal, mempunyai watak perasaa kesan kuat tetapi juga kesan bingung.

5. Gerak berpola lengkung berwatak manis.

6. Gerak yang berpola lurus atas siku-siku memberikan kesan kuat.

7. Gerak yang berpola murni yang tidak ada sedikitpun bagian badan yang bersilang mempunyai watak tenang dan terbuka.

8. Gerak yang berpola spiral lebih mendekatkan hubungan antara penari dengan penontonnya.

Gerakan pada tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu sangatlah sederhana, karena tokoh ini sifatnya sangat sederhana sekali. Gerakan Cungkring disesuaikan dengan postur tubuhnya yang tinggi/jangkung dan sifatnya yang humoris.

Berbagai gaya gerak yang digerakan pada tokoh punakawan Cungkring sangatlah monoton dan cenderung distorsi serta membosankan, hal ini membuat para dalang semakin kreatif dalam memberikan sentuhan-sentuhan baru dalam menggerakan tokoh ini dengan semaksimal mungkin. Banyak para dalang di Indramayu yang kurang begitu memperhatikan gerakan Cungkring hal ini sangat tertarik penulis untuk meneliti gerakan tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu. Oleh kerana itu, dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti bagaimana gerakan pada tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu.

(10)

D. Rias Tokoh Punakawan Cungkring pada Wayang Kulit Purwa Indramayu Menurut Dedi Rosala,dkk (1999,139) mengatakan bahwa “pengertian tata rias secara umum merupakan perkembangan dari istilah berhias dan bersolek”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, tata rias adalah usaha untuk mewujudkan dan mamperkuat penampilan watak dari pesan secara visual.

Didalam wayang, rias tidak dapat ditinggalkan karena, rias merupakan fasilitas untuk menata rupa mukanya dan tubuhnya yang sesuai dengan karakter. Rias pada tokoh punakawan Cungkring mencerminkan kesederhana dan sifat Cungkring sebagai manusia biasa atau punakawan para satria.

Rias dalam wayang kulit purwa Indramayu merupakan pembentukan karakter atau watak, sebagian besar terwujud dalam bentuk raut muka, yaitu dalam bentuk sikap dan warnanya. Raut muka wayang kulit purwa Indramayu pada tokoh punakawan Cungkring mengutamakan pelukisan watak dasar lahir dan batin manusia Indramayu.

Perwujudan watak dasar tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu itu dilukiskan dalam pola bentuk dan warna raut muka atau wajah, yaitu pada pola bentuk mata, bentuk hidung, bentuk mulut, warna muka, posisi muka dan juga pada posisi perbandingan ukuran tubuh. Pelukisan watak ini dijelaskan dengan suara yang diucapkan oleh Ki dalang, atau yang disebut dengan Astawecana.

Didalam tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu, riasnya terdiri dari bentuk alis, bentuk hidung yang panjang, bentuk mulut dan lain sebagainya. Rias Cungkring yang sederhana ini, mencerminkan sifatnya yang sederhana dan suka humoris. Raut muka pada tokoh Cungkring ini, memberikan jiwa wayang itu. Posisi atau letak bagian-bagiannya memegang peranan penting agar wayang itu hidup

(11)

dan menarik. Tokoh Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu mempunyai ciri khas pada rias wajahnya yaitu sebagai berikut:

1. Hidung panjang. 2. Mata juling sedikit.

3. Mulut gusen (tertawa kecil) dan sedikit monyong dengan gigi terlihat satu biji. 4. Muka berbentuk totol-totol atau bintik hitam.

5. Kumis tipis yang mengikuti bentuk mulut dan alis yang mengikuti bentuk mata.

Sesuai dengan penjelasan di atas tentang ciri-ciri tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu, bahwa Cungkring memiliki sifat yang sederhana dan humoris. Didalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti bagaimana rias yang terkandung pada tokoh punakawan Cungkring.

E. Busana Tokoh Punakawan Cungkring pada Wayang Kulit Purwa Indramayu Busana tidak pernah jauh dari kehidupan manausia, karena busana atau busana merupakan kebutuhan yang sangat diperlukan. Pada jaman moderen seperti ini, berbagai macam busana banyak sekali macamnya. Setiap tokoh wayang kulit purwa Indramayu mempunyai busana yang khas sesuai dengan karakter, sifat dan wataknya. Di Indamayu tidak jauh beda nama busana yang dikenakan pada setiap tokoh baik itu tokoh satria, tokoh ponggawa, tokoh dewa, tokoh pendeta, tokoh denawa dan maupun tokoh punakawan

Setiap tokoh pada wayang kulit purwa Indramayu tidak jauh hubungannya dengan busana, karena busana melambangkan keserasian setiap tokohnya, maka dalam wayang kulit purwa Indramayu sangat khas busana yang dikenakannya pada setiap tokoh.

(12)

Didalam wayang kulit purwa Indramayu banyak dijumpai berbagai macam busana wayang yang merupakan pakaian tokoh tertentu, yang kalau letak busananya sedikit berubah, tokoh wayang tersebut menjadi berlainan sifat dan karakternya. Berbagai macam motif, warna pada busana wayang kulit purwa memilii makna tertentu. La Meri (1975: 106), menganalisisnya lebih mendalam, yaitu sebagai berikut:

1. Merah adalah menarik 2. Biru adalah tentram

3. Hitam adalah kebijaksanaan, sedih 4. Putih adalah kesucian

5. kuning adalah penuh gembira

6. Hitam menelan warna–sinar, putih memantulkannya

7. Abu-abu mudah sekali menangkap, memberi keuntungn warna dari sinar.

Pada umumnya atribut dalam busana setiap tokoh selalu ada baik itu tokoh satria, ponggawa, danawa dan punakawan. Sebenarnya pakaian tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu tidak memakai baju, tetapi hanya memakai seperti celana yang berbentuk cawet yang panjang dan didodot. Pakaian bagian bawah menunjukan kedudukan tokoh wayang punakawan. Busana seorang tokoh punakawan akan tampak lebih sederhana dari pada dibandingkan dengan tokoh satria, ponggawa, danawa dan lain sebagainya. Disamping itu, berdasarkan bentuk pakaian tokoh wayang ini bagian bawah oleh para seniman di Indramayu dibuatnya sesederhana mungkin.

Tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu selain busananya yang sederhana, perlengkapannya yang lain juga sederhana seperti memakai kalung sederhana dan membawa sebuah senjata yang berupa kampak. Didalam penelitian

(13)

ini, peneliti ingin meneliti lebih jauh dan mendalam tentang bagaimana busana pada tokoh punakawan Cungkring pada wayang kulit purwa Indramayu.

Referensi

Dokumen terkait

Wakil Bupati Lombok Tengah atas nama H. Moh Suhaili dan Lalu Fathul Bahri dengan tidak melakukan verifikasi terhadap syarat pencalonan pasangan calon tersebut terkait dengan

(2) Tarif jasa layanan di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam kontrak kerja sama

Mengingat bahwa Selandia Baru dan Australia merupakan negara kepulauan yang sama-sama memiliki wilayah maritim yang luas, maka ancaman eksternal yang dihadapi oleh kedua

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka penelitian ini akan menerapkan campuran beraspal hangat ( Warm Mix Asphalt) dengan penggunaan bahan

Lingkungan persaingan yang semakin ketat dan penurunan pertumbuhan penjualan perlu dicermati dan disikapi agar perusahaan swasta nasional dapat terus bertambah dan bahkan

Proses penyimpanan atau pengarsipan naskah-naskah dalam suatu organisasi, kantor, ataupun instansi perlu dilakukan dengan rapi karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

Banyak sungai Kunjungan rumah / Monitoring kurang Material Metode Gerakan masyarakat untuk kerjabakti Kurangnya Penyuluhan Bebas BAB disembarang tempat Kesadaran masyarakat

 Tingkat Ratio Perbandingan Parkir di T-Plaza adalah 1 : 2 Dimana setiap 2 Unit Hunian mendapatkan 1 Slot Parkir , dan sistem parkir yang akan digunakan adalah dengan cara