• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konseling realitas dalam mengatasi perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konseling realitas dalam mengatasi perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Disusun Oleh:

Nashihuddin NIM. B03213017

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

JURUSAN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAKSI

Nashihuddin (B03213017),Konseling Realitas dalam Mengatasi Perilaku Agresif Seorang Remaja Korban Perceraian Orang Tua.

Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana proses konseling realitas dalam mengurangi perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua? (2) Bagaimana hasil konseling realitas dalam mengurangi perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua?

Menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, jenis penelitian studi kasus dengan analisis deskriptif komparatif. Dalam Bab III peneliti mendeskripsikan permasalahan dan cara menanganinya, dan dalam bab IV peneliti mengkomparasi kondisi konseli sebelum dan sesudah diberikan treatment. Dalam proses penanganan permasalahan konseli yaitu

perilaku agresif konselor menggunakan konseling realitas dengan teknik WDEP

yang terdiri dari beberapa langkah yakni tahap pertama (pengarahan oleh peneliti), tahap kedua (pemberian contoh proses konseling realitas), tahap ketiga (waktu, tempat, hari dan tanggal pelaksanaan dari konseling realitas oleh konseli). Adapun informan penelitian adalah teman, orang tua atau keluarga konseli, tetangga dan konseli sendiri. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun teknik analisis data meliputi reduksi dan data, Display

(penyajian data) dan verifikasi (pengambilan keputusan).

Hasil penelitian dari pelaksanaan konseling realitas dapat di katakan berhasil, dilihat dari pengamatan peneliti pada saat sebelum dan sesudah proses konseling di lakukan, konseli sudah mulai menunjukkan perubahan seperti lebih tenang dan berkurangnya perilaku agresif konseli, sehingga bisa menjadi orang yang lebih baik.

(7)

DAFTAR ISI A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Definisi Konsep ... 5

F. Metode Penelitian... 8

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 9

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian ... 10

3. Tahap-tahap Penelitian ... 10

4. Jenis dan Sumber Data ... 13

5. Teknik Pengumpulan Data ... 14

6. Teknik Analisis Data ... 18

7. Teknik Keabsahan Data ... 19

G. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik ... 23

1. Pendekatan Realitas ... 23

a. Konsep Dasar Pendekatan Realitas ... 23

b. Pandangan Tentang Manusia... 25

c. Ciri-ciri Konseling Realitas... 28

d. Tujuan Konseling Realitas ... 30

e. Peran dan Fungsi Konseling... 30

f. Teknik-teknik Konseling Realitas ... 31

(8)

2. Perilaku Agresif ... 38

a. Pengertian Perilaku Agresif... 38

b. Ciri Perilaku Agresif ... 39

c. Jenis Perilaku Agresif... 41

d. Penyebab Perilaku Agresif ... 41

3. Perceraian ... 44

a. Pengertian Perceraian ... 44

b. Alasan-alasan Perceraian ... 45

B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 46

BAB III : PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 49

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 49

a. Letak Geografis Desa Sukosewu ... 49

b. Kondisi Sosial Ekonomi Desa Sukosewu ... 50

c. Kondisi Sosial Budaya Desa Sukosewu... 51

d. Kondisi Keagamaan Desa Sukosewu... 51

2. Deskripsi Konselor ... 52

b. Latar Belakang Keluarga Konseli ... 54

c. Kepribadian Konseli ... 55

d. Keadaan Ekonomi ... 56

e. Lingkungan Sekitar Konseli... 56

f. Latar Belakang Keagamaan Konseli ... 57

4. Deskripsi Masalah ... 57

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 58

1. Deskripsi Proses PelaksanaanTerapi ... 58

a. Identifikasi Masalah ... 59

b. Diagnosis ... 63

c. Prognosis ... 64

d. Terapi(Treatment)... 64

e. Evaluasi(Follow Up)... 73

2. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Terapi ... 74

BAB IV : ANALISIS DATA A. Analisis Proses Pelaksanaan Konseling ... 77

(9)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 88

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aksi-aksi kekerasan remaja pada zaman sekarang ini dapat terjadi

di mana saja, seperti di jalan, di sekolah, di kompleks perumahan, bahkan

di kampung pedesaan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal

(mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul dan melukai).

Sedangkan pada kalangan remaja aksi yang biasa dilakukan yaitu tawuran,

para pelaku tindakan tersebut kebanyakan dilakukan oleh siswa siswi

SMP/SLTP.

Aksi-aksi kekerasan tersebut sebenarnya adalah perilaku agresif

dari diri individu atau kelompok. Agresif merupakan suatu tingkah laku

yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan

membahayakan orang lain bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara

psikis (psikologis). Remaja sangat rentang berperilaku agresif karena

mereka dalam proses mencari jati diri.

Remaja adalah seorang individu yang bisa dikatakan berada pada

masa tanggung (masa pertengahan), bukan anak kecil yang tidak mengerti

apa-apa, tapi juga bukan dewasa yang bisa membedakan mana hal yang

baik dan mana yang buruk. Agresif bisa bersifat positif jika dalam

olahraga, agresif untuk menjadi nomor satu atau memenangkan sebuah

kompetisi. Namun yang dibahas disini adalah agresif yang bersifat

(11)

James M. Kaufman mengemukakan Masa remaja sering dikenal dengan istilah masa pemberontakan. Pada masa-masa ini, seorang anak

yang baru mengalami pubertas seringkali menampilkan beragam gejolak

emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah, baik

di rumah, sekolah, atau di lingkungan pertemanannya.1

Terkait dengan penjelasan di atas, sangatlah relefan dengan

kejadian yang terjadi di sekitar lingkungan peneliti yaitu pada seorang

remaja yang sering berperilaku agresif dan mungkin itu terjadi karena

kurang adanya perhatian dari orang tua, karena salah satu remaja ini

adalah korban perceraian orang tua.

Peneliti mengambil contoh di Kec. Sukosewu, Kab. Bojonegoro.

Seorang remaja itu bernama Norma Indah Setiawan (Wawan), kurang

lebih berusia 18 tahun, wawan adalah seorang remaja yang terbuka, mudah

bergaul dan suka menolong orang lain. Sebelum orang tua wawan ini

bercerai sangatlah peduli, setiap waktu memperhatikan dia sampai-sampai

jika belum pulang atau belum ada di rumah sang ayah mencarinya dan

mengajaknya untuk pulang. Setelah orang tuanya bercerai, menurut

peneliti wawan ini kurang adanya kepedulian dari orang tua, bahkan orang

tua tidak tahu alasan yang pasti jika konseli ingin memutuskan untuk

berhenti sekolah, konseli hanya bilang lebih baik bekerja.

1

(12)

Setelah sebulan wawan bekerja di luar kota perubahan pada dirinya

mulai terlihat, mulai dari gaya rambut dan aksesoris yang dipakainya,

mungkin tidak lazim dipakai untuk seorang cowok, sedangkan orang tua

wawan tersebut diam saja dan tidak begitu memperdulikan. Akhirnya

wawan mulai bergaul bebas dan secara tidak langsung ikut melakukan hal

yang dilakukan temannya juga, sikap agresif yang terlihat adalah

meresahkan warga salah satunya perkelahian.

Jadi dengan adanya data tersebut peneliti bisa mengetahui bahwa

perilaku agresif akan terjadi pada siapapun terutama pada masa remaja

karena remaja sangat mudah dalam bergaul, tidak akan menilai baik dan

buruk yang penting seorang itu nyaman. Jadi perilaku agresif ini dapat

timbul karena kelalaian, salah satunya yaitu kurang adanya perhatian serta

didikan dari orang tua karena orang tua wajib memarahi jika hal yang

dilakukan tersebut salah serta perilaku tersebut dapat merugikan orang lain

dan bahkan sampai melanggar norma-norma yang ada.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian yang berjudul Konseling Realitas

dalam Mengurangi Perilaku Agresif Seorang Remaja Korban Perceraian

Orang Tua yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi perilaku

agresif seorang remaja korban perceraian orang tua?

2. Bagaimana hasil pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi

(13)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang berjudul Pendekatan Konseling

Realitas dalam Mengurangi Perilaku Agresif pada Seorang Remaja

Korban Perceraian Orang Tua yaitu:

1. Mengetahui pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi perilaku

agresif seorang remaja korban perceraian orang tua.

2. Mengetahui hasil pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi

perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang berjudul Konseling Realitas dalam

Mengatasi Perilaku Agresif Seorang Remaja Korban Perceraian Orang

Tua yaitu:

1. Secara Teoritis

a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain dalam

bidang pendekatan konseling realitas dalam mengatasi perilaku

agresif seorang remaja korban perceraian orang tua.

b. Sebagai sumber informasi dan referensi tentang cara mengatasi

perilaku agresif pada seorang remaja korban perceraian orang tua.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan agar individu yang menjadi objek

penelitian ini dapat mengatasi perilaku agresifnya.

b. Bagi peneliti atau konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat

(14)

mengatasi perilaku agresif pada seorang remaja korban perceraian

orang tua.

E. Definisi Konsep

Untuk mendapatkan kejelasan tentang judul penulisan ini agar

tidak salah presepsi. Maka, perlu untuk memberikan gambaran yang jelas

terhadap judul penelitian ini melalui penegasan yang terdapat dalam judul

tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Pendekatan Realitas

Terapi Realitas dikembangkan pada tahun 1960-an oleh seorang

psikiater sekaligus insinyur kimia terkemuka, William Glasser. Ia

mengembangkan terapi realitas untuk membuktikan bahwa psikiatri

konvensional yang selama ini ada, sebagian besar telah berlandaskan

asumsi-asumsi yang keliru. Bahkan Glasser juga menolak pandangan

Sigmund Freud mengenai aliran psikoanalisisnya yang berdasarkan

alam bawah sadar manusia, karena teorinya diangap kurang jelas.2

Konseling Realitas memandang individu dalam arti perilaku yang

dapat diamati tetapi bukan dalam arti paradigma stimulus respon

seperti halnya pandangan para konselor perilaku pada umumnya, dan

bukan pula dalam arti fenomenologis seperti pandangan konselor

humanistik, konseling realitas melihat perilaku melalui standart

obyektif yang disebut realita (realiti).

2

(15)

Terapi Realitas menolong konseli mengevaluasi apakah yang

konseli inginkan itu realistik dan apakah perilakunya bisa

menolongnya. Konselilah yang menentukan apakah yang konseli

lakukan itu bisa membuatnya mendapatkan apa yang konseli

kehendaki, dan mereka menentukan perubahan apa, kalaupun ada, apa

yang mereka kehendaki untuk dilakukan. Setelah konseli lakukan

penilaian terhadap masalah yang dihadapi konseli, maka konseli

dibantu oleh konselor dalam hal mendesain suatu rencana perubahan

sebagai cara menerjemahkan perkataan menjadi perbuatan.

Dari pemaparan tentang pendekatan realitas di atas bisa dijelaskan

bahwa realistis itu sebagai kenyataan dalam hidup kita (takdir), mampu

atau tidak mampu harus kita jalani dengan ikhlas dan sabar. Penerapan

konseling realitas sangat cocok dalam situasi-situasi konseling bagi

penanganan seorang remaja yang mempunyai perilaku agresif korban

perceraian orang tua.

2. Perilaku Agresif

Kauffman (1985) memaparkan penyebab perilaku agresif dari

berbagai sudut pandang teori secara holistik, yaitu:

a. Teori Biologis diasumsikan bahwa perilaku agresif merupakan

perilaku instink, respon kelainan hormon dan susunan kimiawi

dalam tubuh, akibat getaran-getaran elektrik yang terjadi pada

susunan syaraf pusat. Faktor biologis bukan satu-satunya yang

(16)

b. Teori Psikodinamika, agresif merupakan dorongan negatif dari

agresi (id), karena lemahnya fungsi kesadaran individu yaitu ego

dan superego. Teori frustrasi-Agresif, menjelaskan bahwa frustrasi

selalu mengakibatkan perilaku agresif, dan perilaku agresif selalu

bersumber dari kondisi frustrasi.

Sebagai sebuah disiplin akademis, psikologi sosial berhubungan

dengan banyak fase kehidupan sosial seseorang mulai dari pikiran,

perasaan, dan perilaku mereka terhadap orang lain dan dampak yang

diberikan orang lain terhadap cara mereka merasakan, berfikir, dan

bertindak.3

F. Metode Penelitian

Laporan ini tersusun dengan kelengkapan ilmiah yang disebut

sebagai metode penelitian, yaitu cara kerja penelitian sesuai dengan

cabang-cabang ilmu yang menjadi sasaran atau obyeknya.4 Cara kerja

tersebut merupakan pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan

logis dalam upaya pencarian data yang berkenaan dengan

masalah-masalah penelitian guna diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan

selanjutnya dicarikan solusinya.5

3

Barbara Karhe,Prilaku Agresif,(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2005), hal. 14.

4

Koencoroningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981), hal. 16.

5

(17)

Metode dalam suatu penelitian merupakan upaya agar penelitian

tidak diragukan bobot kualitasnya dan dapat dipertanggung jawabkan

validitasnya secara ilmiah. Untuk itu dalam bagian ini memberi tempat

khusus tentang apa dan bagaimana pendekatan dan jenis penelitian, Obyek

penelitian, jenis dan sumber data, tahapan penelitian, teknik pengumpulan

data, teknik analisis data, dan teknik keabsahan data.

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh obyek penelitian

secara holistic dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.6

Pendekatan kualitatif yang digunakan pada penelitian ini untuk

memahami fenomena yang dialami oleh klien secara menyeluruh yang

di deskripsikan berupa kata-kata dan bahasa untuk kemudian

dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, dan definisi secara

umum.

6

(18)

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus.

Penelitian studi kasus (case study) adalah penelitian tentang status

subyak penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas

dari keseluruhan atau khas dari keseluruhan personalitas.7

Jadi pada penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus untuk

melakukan penelitian dengan cara mempelajari indvidu secara rinci

dan mendalam selama kurun waktu tertentu untuk membantunya

memperoleh penyesuaian diri yang lebih baik.

2. Subjek Penelitian

Wilayah penelitian yang dijadikan obyek atau sasaran dalam

penelitian ini adalah seorang remaja yang mempunyai sikap agresif.

Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Sukosewu Rt. 19 Rw.

03 Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

3. Tahap-tahap penelitian

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilakukan menurut buku

metode penelitian praktis adalah:

a. Perencanaan, meliputi penentuan tujuan yang dicapai oleh suatu penelitian dan merencanakan strategis untuk memperoleh dan

menganalisis data bagi peneliti. Hal ini dimulai dengan

memberikan perhatian khusus terhadap konsep dan hipotesis yang

akan mengarahkan penelitian yang bersangkutan dan menelaah

kembali terhadap literatur, termasuk penelitian yang pernah

7

(19)

diadakan sebelumnya, yang berhubungan dengan judul dan

masalah penelitian yang bersangkutan.

Dalam tahap perencanaan ini, peneliti merencanakan hal-hal

mengenai bagaimana proses penelitian ini kedepannya mulai dari:

menyusun rancangan penelitian, tujuan yang jelas dan strategi

dalam memperoleh data yang diinginkan. Dalam menyusun

rancangan penelitian, peneliti mendapati klien yang mempunyai

masalah dengan perilaku yang agresif. Oleh karena itu, peneliti

akan melakukan sebuah penelitian, dimana individu tersebut

menjadi objek dari penelitan. Dengan tujuan untuk mengetahui

faktor-faktor yang menyebabkan masalah itu terjadi, beserta

membantunya terlepas dari permasalahan yang dialami oleh

individu tersebut. Mengenai strategi dalam memperoleh data dari

klien, peneliti menggunakan tiga teknik untuk memperoleh data

tersebut, yaitu: Observasi, wawancara, dan dokumentasi.

b. Pengkajian secara teliti terhadap rencana penelitian, tahap ini merupakan pengembangan dari tahap perencanaan, disini disajikan

latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan penelitian, serta

metode atau prosedur analisis dan pengumpulan data.

Dalam tahap ini, peneliti harus mengetahui betul

permasalahan yang dialami oleh klien yaitu bagaimana proses

yang melatar belakangi individu yang sering berperilaku agresif,

(20)

satunya membantu individu tersebut bisa mengurangi sikap

tersebut karena sikap itu dapat meresahkan masyarakat sekitar.

Terapi yang akan digunakan oleh peneliti dalam membantu klien

tersebut yaitu menggunakan pendekatan realitas. Setelah itu,

peneliti turun langsung kelapangan untuk mengumpulkan data

yang diperlukan, guna untuk memperlancar dalam proses

konseling. Berikut adalah proses konseling yang akan dilakukan

dalam penelitian ini:

1) Identifikasi: peneliti melakukan wawancara dan observasi

terhadap klien dan informan lainnya seperti orang tuanya,

keluarga (famili), teman-teman akrabnya bahkan kepada

tetangga klien. Yang nantinya diperoleh data tentang diri klien,

serta keadaan klien.

2) Diagnosis: peneliti merumuskan masalah-masalah yang

dialami klien berdasarkan data yang diperoleh dari langkah

identifikasi. Kemudian peneliti menentukan masalah yang

sedang dialami oleh klien. Dimana masalah yang sedang

dialami oleh klien adalah seringnya melakukan perilaku yang

melanggar aturan dan norma.

3) Prognosis: pada langkah ini peneliti merumuskan jenis

bantuan yang tepat untuk klien. Dengan melihat data yang

(21)

bantuan yang akan peneliti berikan adalah proses bimbingan

konseling dengan pendekatan konseling realitas.

4) Treatmen: proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh

peneliti atau Konselor terhadap klien.

5) Follow up: peneliti melihat sejauh mana perubahan yang

terjadi pada klien setelah melaksanakan proses konseling. Dari

perubahan perilaku, hingga kebiasaan yang sering

dimunculkan. Hal ini peneliti lakukan dengan observasi dan

wawancara langsung dengan diri klien dan juga informan

lainnya, yang dilaksanakan setelah selesainya proses

konseling. Peneliti tak lupa dengan melihat sikap dan perilaku

sebelum dan sesudah klien diberi treatment tersebut.

c. Analisis dan laporan, hal ini merupakan tugas terpenting dalam suatu proses penelitian.8

Dalam tahap ini, peneliti menganalisis hasil proses

konseling yang dilakukan oleh konselor terhadap klien, dengan

melihat dampak yang ditampakkan oleh klien. Dengan itu, peneliti

akan melihat tingkat keberhasilan dan tidak keberhasilan dari

proses konseling yang diberikan oleh konselor terhadap klien.

Setelah itu, peneliti menyusun laporan penelitian dari awal sampai

akhir proses penelitian.

8

(22)

4. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data

yang bersifat non statistik, dimana data yang diperoleh nantinya

dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka.

Adapun jenis data pada penelitian ini adalah:

1) Data primer yaitu data yang langsung diambil dari sumber

pertama di lapangan. Hal ini diperoleh dari deskripsi tentang

latar belakang dan masalah klien, prilaku klien, faktor-faktor

yang menyebabkan masalah tersebut yang dialami klien,

pelaksanaan proses, serta hasil akhir pelaksanaan.

2) Data sekunder yaitu data yang diambil dari sumber kedua atau

berbagai sumber guna melengkapi data primer. diperoleh dari

gambaran lokasi, penelitian, keadaan lingkungan klien, riwayat

pendidikan klien, dan perilaku keseharian klien.

b. Sumber data

Untuk mendapat keterangan dan informasi, peneliti

mendapatkan informasi dari sumber data, yang dimaksud dengan

sumber data adalah subyek dari mana data itu diperoleh.

Adapun sumber datanya adalah sebagai berikut:

1) Sumber data Primer yaitu sumber data yang langsung

(23)

2) Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari

orang lain guna melengkapi data yang peneliti peroleh dari

sumber data primer.9Sumber ini peneliti peroleh dari informan

seperti orang tua, keluarga (famili), teman serta tetangga klien.

5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah

sebagai berikut:

a. Observasi

Diartikan sebagai pengamatan dan pecatatan secara

sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan untuk mengamati Klien

meliputi: kondisi Klien, kegiatan Klien, proses yang dilakukan.

b. Wawancara

Merupakan salah satu metode pengumpulan data yang

dilakukan dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber

data dengan dialog tanya jawab secara lisan baik langsung maupun

tidak langsung.10Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk

mendapatkan informasi mmendalam pada diri Klien yang meliputi:

Identitas sendiri Klien, kondisi keluarga, lingkungan dan ekonomi

klien, serta permasalahan remaja yang dialami klien.

9

Burhan Bungi, Metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2001), hal. 128.

10

(24)

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah

berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya

monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan

misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, (life histories), ceritera, Dokumen yang berbentuk gambar misalnya, foto, gambar

hidup, sketsa, dan lain-lain.11 Dokumen yang berbentuk karya

misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan

lain-lain. Dalam penelitian ini, dokumentasi dilakukan untuk

mendapat gambaran tentang lokasi penelitian yang meliputi: : Luas

wilayah penelitian, jumlah penduduk, batas wilayah, kondisi

geografis desa poreh, serta data lain yang menjadi data pendukung

dalam laporan penelitian.

Tabel 1.1

Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data

No Jenis Data

(25)
(26)

Keterangan:

TTPD : Teknik-teknik pengumpulan data

D : Dokumentasi

O : Observasi

W : Wawancara

Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data

primer untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data adalah

langkah yang amat penting dalam metode ilmiah, karena pada

umumnya data yang dikumpulkan digunakan untuk menguji

hipotesa yang sudah dirumuskan.12

Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan

langsung oleh peneliti dalam situasi yang sesungguhnya. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data

dokumentasi, wawancara mendalam yang berhubungan dengan

data yang diperlukan dan observasi.

6. Teknik Analisis Data

Definisi analisis data, banyak dikemukakan oleh para ahli

metodologi penelitian. Berikut ini adalah definisi analisis data yang

dikemukakan oleh para ahli metodologi penelitian tersebut, yang

terdiri dari:

12

(27)

a) Menurut Bogdan dan Taylor (1971), analisis data adalah proses

yang merinci usaha formal untuk menemukan tema dan

merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesa

itu.

b) Menurut Lexy J. Moleong (2002), analisis data adalah proses

mengorganisasikan dari mengurutkan data ke dalam pola, kategori

dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa,

analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,

sistematisasi, penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena

memiliki nilai sosial, akademik dan ilmiah.13

Teknik analisis data dalam penelitian ini, dilakukan setelah

data-data diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan

observasi. Kemudian data-data tersebut, di analisis secara saling

berhubungan untuk mendapatkan dugaan sementara, yang dipakai

dasar untuk mengumpulkan data berikutnya, lalu dikonfirmasikan

dengan informan secara terus menerus secara triangulasi.

13

(28)

7. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini,

seperti yang dirumuskan ada tiga macam yaitu, antara lain:

a. Perpanjangan Keikutsertaan

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam

pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan

dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan

keikutsertaan peneliti pada latar penelitian.14 Dalam konteks ini,

dalam upaya menggali data atau informasi yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian, peneliti selalu ikut serta dengan informan

utama dalam upaya menggali informasi yang berkaitan dengan

fokus penelitian. Misalnya peneliti selalu bersama informan utama

dalam melihat lokasi penelitian atau bisa juga melalui pemantauan.

b. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan dilakukan dengan maksud

menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan

atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada

hal-hal tersebut secara rinci.15

c. Trianggulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin

14

Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 175.

15

(29)

(1978), membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik

pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode,

penyedik dan teori.16

Validitas dan objektivitas merupakan persoalan

fundamental dalam kegiatan ilmiah. Agar data yang diperoleh

peneliti memiliki validitas dan objektivitas yang tinggi,

diperlukan beberapa persyaratan yang diperlukan. Berikut ini akan

peneliti kemukakan metode yang digunakan untuk meningkatkan

validitas dan objektivitas suatu penelitian, terutama dalam

penelitian kualitatif.

Robert K. Yin (1996), mensyaratkan adanya validitas

design penelitian. Untuk itu, Paton (1984), menyarankan diterapkan teknik triangulasi sebagai validitas design penelitian. Adapun teknik triangulasi yang peneliti pakai dalam penelitian ini

adalah triangulasi data atau triangulasi sumber. Sebagaimana

dikemukakan Yin, triangulasi data dimaksudkan agar dalam

pengumpulan data, peneliti menggunakan multi sumber data.17

Dalam konteks ini, upaya yang dilakukan oleh peneliti

dalam pengecekan data yaitu dengan menggunakan sumber data

dalam pengecekan data yaitu dengan menggunakan sumber data

dalam penggaliannya, baik itu sumber data primer yang berupa

16

Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 178.

17

(30)

hasil wawancara maupun sumber data sekunder yang berupa buku,

majalah dan dokumen lainnya.

Sedangkan metode atau cara yang digunakan dalam analisis

data adalah metode analisis kualitatif. Artinya analisis kualitatif

dilakukan dengan memanfaatkan data (kualitatif) dari hasil

observasi dan wawancara mendalam, dengan tujuan memberikan

eksplanasi dan pemahaman yang lebih luas atas hasil data yang

dikumpulkan. Dan kemudian peneliti melakukan langkah

membandingkan atau mengkorelasikan hasil penelitian dengan

teori yang telah ada. Hal itu dilakukan untuk mencari perbandingan

atau hubungan antara hasil penelitian dengan teori yang telah ada.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam membahas suatu penelitian diperlukan sistematika

pembahasan yang bertujuan untuk memudahkan penelitian,

langkah-langkah pembahasan sebagai berikut:

BAB I : Yaitu pendahuluan, pada bab ini terdiri atas latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi

konsep, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II :Yaitu tinjauan pustaka, pada bab ini terdiri dari dua sub

bab, sub bab pertama yaitu pembahasan kajian teoritik dan sub bab kedua

(31)

BAB III : Yaitu penyajian data, yang terdiri dari dua sub bab yakni

yang pertama deskripsi umum obyek penelitian dan sub bab kedua

deskripsi hasil penelitian.

BAB IV : Yaitu Analisis data, pada bab ini memaparkan tentang

hasil pelaksanaan konseling.

BAB V : Yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan yang ditutup

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritik

1. Pendekatan Realitas (Reality Theraphy)

a. Konsep dasar Pendekatan Realitas (Reality Theraphy)

Terapi Realitas dikembangkan pada tahun 1960-an oleh seorang

psikiater sekaligus insinyur kimia terkemuka, William Glasser. Ia

mengembangkan terapi realitas untuk membuktikan bahwa psikiatri

konvensional yang selama ini ada, sebagian besar telah berlandaskan

asumsi-asumsi yang keliru. Bahkan Glasser juga menolak pandangan

Sigmund Freud mengenai aliran psikoanalisisnya yang berdasarkan alam

bawah sadar manusia, karena teorinya diangap kurang jelas.18

Sejak kemunculannya, terapi realitas telah mengalami berbagai

perkembangan yang sangat pesat dan telah digunakan oleh banyak

konselor. Ini semua tak lepas dari konsep yang ditawarkan oleh William

Glasser yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan.

Ciri yang khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada

kejadian-kejadian di masa lalu, tetapi lebih mendorong konseli untuk

menghadapi realitas atau kenyataan yang ada. Pendekatan ini juga tidak

memberi perhatian-perhatian pada motif-motif bawah sadar seperti

18

(33)

psikoanalisis. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab

pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental.19

Dalam pendekatan realitas, seorang konselor harus bertindak aktif,

direktif, dan didaktik. Konselor juga berperan sebagai guru dan model

bagi konseli.

Pendekatan realitas berpatokan pada ide sentral bahwa para

individu bertanggung jawab atas tingkah laku mereka masing-masing.

Ide inilah mendasari teori konseling yang ditemukan oleh William

Glasser yang dikenal dengan istilah 3-R, yaitu:

1) Responsibility (tanggung jawab)

Adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan

tanpa harus merugikan orang lain.

2) Reality (kenyataan)

Adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu

untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami

bahwa ada dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang

dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan

apa adanya.

19

(34)

3) Right (kebenaran)

Merupakan ukuran atau norma-norma yang diterima secara

umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang

melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melakukan

sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila

mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara

umum.20

b. Pandangan Tentang Manusia

Dalam terapi realitas, manusia dipandang sebagai individu yang

mampu menentukan dan memilih tingkah lakunya sendiri. Yang berarti

individu harus bertanggung jawab dan bersedia menerima konsekuensi

dari tingkah lakunya. Bertanggung jawab disini maksudnya adalah bukan

hanya pada apa yang dilakukannya, melainkan juga pada apa yang

dipikirkannya.21

Dinamika kepribadian manusia dalam terapi realitas ditentukan

oleh dua kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis.

Kebutuhan fisiologis berupa makan, minum, seks dan lainnya.

Sedangkan kebutuhan psikologis berupa kebutuhan psikis seperti

dicintai, mencintai, mendapat rasa aman, penghargaan dan lainnya.

Kedua kebutuhan dasar ini sudah terbentuk sejak masih anak-anak.22

20

Andi Mappiare AT,Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Hal. 159.

21

Namora Lumonnga Lubis,Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktek, Hal. 185.

22

(35)

Saat seseorang berhasil memenuhi kebutuhan psikologisnya, maka

ia akan mengembangkan identitas keberhasilan (success identity) dalam

dirinya, sebaliknya jika ia gagal dalam memenuhi kebutuhan

psikologisnya, maka ia akan mengembangkan identitas gagal (failure

identity) dalam dirinya. Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki

kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir

sepanjang rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Jadi ketika

seseorang mengalami masalah, hal tersebut diyakini Glasser disebabkan

oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seorang dalam memenuhi kebutuhan

psikologisnya.

Corey menyebutkan bahwa manusia tidaklah terlahir dengan kertas

kosong yang selalu menunggu adanya motivasi dari luar, tetapi kita

terlahir dengan lima kebutuhan secara genetis, yaitu kebutuhan akan rasa

cinta dan rasa memiliki, kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan akan

kebebasan, kebutuhan akan kesenangan, dan kebutuhan akan bertahan

hidup.

Berikut adalah penjelasan mengenai 5 kebutuhan dasar dalam terapi

realitas:

1) Cinta (Belonging/ Love)

Sebagai manusia, kita perlu cinta dan dicintai. Kita perlu rasa

memiliki dan dimiliki. Kita harus percaya bahwa kita diterima oleh

(36)

2) Kekuasaan (Power)

Merupakan kebutuhan khusus manusia. Kebutuhan akan

kekuasaan meliputi keinginan untuk berprestasi, merasa berharga,

kesuksesan dan mendapatkan pengakuan.

3) Kesenangan (Fun)

Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia.

Kebutuhan ini muncul sejak dini kemudian terus berkembang hingga

dewasa. Kebutuhan yang diinginkan pada setiap level usia. Misalnya

bertamasya untuk sekedar menghilangkan kepenatan hidup, bersantai

dan sebagainya.

4) Kebebasan (Freedom)

Kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan

tidak bergantung pada orang lain, misalnya dalam membuat pilihan

dan memutuskannya.

5) Kelangsungan Hidup (survival)

Kebutuhan untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Pada

hakekatnya semua individu senantiasa memandang kedepan dan

berusaha untuk selalu menjaga hidupnya dengan cara yang

menyebabkan kelanggengan (misal exercise & makan makanan

yang sehat).23

23

(37)

c. Ciri-ciri Terapi Realitas

Corey menyebutkan bahwa ada 7 ciri-ciri dari terapi realitas, yaitu

sebagai berikut :

1) Menolak konsep tentang penyakit mental

2) Berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau

Karena masa lalu seseorang itu merupakan takdir yang tidak

akan bisa diubah, maka yang bisa dilakukan hanyalah mengubah saat

sekarang dan masa yang akan datang. Sehingga yang paling

dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh

kesuksesan pada masa yang akan datang.

3) Menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai

Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran

klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam

menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Jika

para klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa

yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri,

maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan

positif, semata-mata karena menetapkan bahwa alternatif-alternatif

bisa lebih baik daripada gaya mereka sekarang yang tidak realitas.

4) Tidak menekankan transferensi

Terapi realitas tidak memandang konseptradisional tentang

transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi

(38)

pribadi. Terapi ini juga mengimbau agar para terapis menempuh

cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri,

tidak memainkan peran sebagai ayah maupun ibu klien.

5) Menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan ketidaksadaran

Terapi ini menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien,

bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak

mendapatkan apa yang diinginkannya. Terapi ini memeriksa

kehidupan klien sekarang secara rinci dan berpegang pada asumsi

bahwa klien akan menemukan tingkah laku sadar.

6) Menghapus konsep pemberian hukuman

Glasser menganggap bahwa pemberian hukuman untuk

kepentingan mengubah tingkah laku yang tidak efektif dalam diri

klien hanya akan mengakibatkan menguatnya identitas kegagalan

pada klien dan merusak hubungan terapeutik.

7) Menekankan tanggung jawab

Menurut Glasser orang yang bertanggung jawab yaitu orang

yang memiliki kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan melakukannya dengan cara tidak

mengurangi atau menghalangi kemampuan orang lain dalam

memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.24

24

(39)

d. Tujuan Terapi Realitas

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, tujuan terapi realitas adalah

membantu manusia mencapai identitas keberhasilan (success identity)

dan otonomi, yaitu merupakan kematangan emosional yang diperlukan

individu dalam mendukung diirinya sendiri dengan cara bertanggung

jawab dengan tingkah lakunya sendiri.

Adapun tujuan-tujuan lain dari terapi realitas adalah sebagai

berikut:

1) Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri dan

melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.

2) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul

segala resiko yang ada.

3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

4) Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran

sendiri.25

e. Peran dan fungsi terapis

Fungsi konselor realitas adalah sebagai guru pembimbing untuk

kliennya, dan sebagai role model yang baik. Terapis realitas harus

menekankan bahwa yang dicari dalam terapi ini bukanlah hanya

semata-mata kebahagiaan saja, tetapi juga mampu menerima tanggung jawab.

Oleh karena itu, terapis realitas diharapkan memberikan pujian saat klien

25

(40)

bertindak secara bertanggung jawab dan menunjukkan

ketidaksetujuannya saat klien bertindak tidak tanggung jawab.

Peran terapis realitas yang lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya menghadapi

kenyataan.

2) Memasang batas-batas terapeutik (berkaitan dengan terapi).

3) Terapis realitas harus aktif, mendidik, membimbing, mendorong dan

menantang klien untuk dapat bertanggung jawab pada tingkah

lakunya. Dan membuat klien dapat menilai tingkah lakunya secara

realistis.26

f. Teknik-teknik Terapi Realitas

Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan dan potensi klien

yang berhubungan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk

mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk

menciptakan identitas keberhasilan, terapi dapat menggunakan beberapa

teknik:

1) Melibatkan diri

2) Menggunakan humor

3) Mengonfrontasikan klien dan menolak dalil apapun

4) Membantu klien dalam merumuskan rencana yang spesifik bagi

tindakan

5) Bertindak sebagai model dan guru

26

(41)

6) Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi

7) Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak

untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah laku yang tidak

realistis.27

g. Tahap-tahap Konseling

Proses konseling dalam pendekatan realitas berpedoman pada dua

unsur utama, yaitu pencintaan kondisi lingkungan yang kondusif dan

beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya

perubahan pada konseli.

1) Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli (Be Friend) Konselor mengawali pertemuan dengan otentik, hangat, dan

menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor

harus dapat melibatan diri kepada konseli dengan memperlihatkan

sikap hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor

dan konseli sangat penting, sebab konseli akan terbuka dan bersedia

menjalani proses konseling jika dia merasa bahwa konselornya

terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu,

penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling

berjalan efektif.

Menunjukkan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan

dengan perilaku Attending. Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa

27

(42)

dibuat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju ke depan dan

tidak bersandar), poros tubuh (agak condong dan diarahkan ke

konseli), melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku

nonverbal konseli, dan melakukan respons parafrase.

2) Fokus pada Perilaku Sekarang

Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka

konselor menanyakan kepada konseli apa yamg akan dilakukan

sekarang. Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli.

Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam

menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli

mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam

menghadapi kondisi tersebut.

Pada tahap ini konselor juga perlu mengatakan kepada konseli

apa yang dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari

konseli, dan bagaimana konselor melihat situasi tersebut, kemudian

membuat komitmen untuk konseling.

3) Mengeksplorasi Total Behavior Konseli

Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan

konseli; cara pandang dalam konseling realita, akar permasalahan

konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi

(43)

konseling realita, yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi

hal-hal apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian.

4) Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi

Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan

perilakunya itu disadari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya.

Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku

konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat

ini. Beri kesempatan pada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia

cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.

Pada tahap ini, respon-respon konselor di antaranya

menanyakan apakah yang dilakukan konseli dapat membantunya

keluar dari permasalahannya atau sebaliknya. Konselor menanyakan

kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh

keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya.

5) Merencanakan Tindakan yang Bertanggung Jawab

Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya

tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan

dirinya., dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang

lebih bertanggung jawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik

dan kongkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar

(44)

6) Membuat Komitmen

Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana

yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu

yang ditetapkan.

7) Tindak Lanjut

Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan

konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat

berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum

tercapai.28

Praktik atau metode terapi realitas dilihat sebagai dua strategi utama

tetapi saling berhubungan. Pertama, membangun adanya hubungan antara

konselor dan konseli yang saling percaya, dan yang kedua, prosedur-prosedur

yang menuntun menuju perubahan yang dirangkum oleh Robert Wubbolding

sebagai sistem WDEP. Sistem WDEP memberikan kerangka pertanyaan yang

duajukan secara luwes dan tidak dimaksudkan hanya sebagai rangkaian

langkah sederhana. Tapi huruf WDEP melambangkan sekelompok gagasan.29

Berikut adalah penjelasan tentang teknik WDEP yang terdapat dalam

terapi realitas :

Teknik WDEP yang merupakan akronim dari W =wants or needs; D =

doing and direction; E = evaluation or self-evaluation; dan P = planning.30

28

Gantina Komalasari, Eka Wahyuni, Karsih,Teori dan Teknik Konseling,(Jakarta: PT INDEKS Permata, 2011), hal. 243-252.

29

Stephen Palomer (Ed.), Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 533-534.

30

Nurul Rizqa Fauziah, Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik WDEP Untuk

(45)

1. Wants/ keinginan

Kegiatan untuk menjelajahi keinginan dan persepsi konseli.

Menolong konseli untuk merumuskan dan menemukan apa yang

diinginkan dan diharapkan konseli, termasuk yang diinginkannya dari

bidang khusus yang relevan seperti teman, pasangan, anak, pekerjaan,

karir, kehidupan spiritual dan lain-lain.31

2. Direction/ doing/ arahan

“Apa yang anda lakukan?” dan “Kearah mana perilaku anda

membawa anda?”. Di awal konseling pentinguntuk mendiskusikan dengan

konseli secara keseluruhan arah dari kehidupan mereka. Eksplorasi ini

adalah awal untuk evaluasi berikutnya apakah itu adalah arah yang

diinginkan. Konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan

konseli. Cara pandang dalam konseling realita, akar permasalahan konseli

bersumber pada perilakunya (doing),bukan pada perasaannya.32

3. Evaluation/ penilaian

Kegiatan membantu konseli untuk mengevaluasi diri. Konselor

menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh

keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk

menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli

untuk menilai perilakunya saat ini. Terapis realitas kemudian mengajukan

pertanyaan-pertanyaan seperti contohnya Apakah yang anda lakukan agar

31

Sofwan Adiputra, Teknik WDEP System Dalam Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Undeachiever,Jurnal Fokus Konseling STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung, Volume 2 No.1 (Januari, 2016), Hal. 36.

32

(46)

dapat membuat anda semakin dekat dengan orang-orang yang anda

butuhkan?, Apakah yang anda inginkan realistis atau dapat dicapai?, Apa

lagi yang dapat anda lakukan?.

Pertanyaan diatas dan masih banyak pertanyaan evaluasi diri

lainnya merupakan batu pertama sistem WDEP. Semua itu perlu

ditanyakan dengan empati, kepedulian, dan perhatian positif pada klien.33

4. Planning/ perencanaan

Kegiatan menolong konseli untuk membuat rencana tindakan.

Rencana menekankan tindakan yang akan diambil, bukan tingkah laku

yang akan dihapuskan. Rencana juga dikendalikan oleh konseli dan

terkadang dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis yang menyebutkan

alternatif-alternatif yang dapat dipertanggung jawabkan. Konseli

kemudian diminta untuk berkomitmen terhadap rencana tindakan

tersebut.34

Penggunaan teknik WDEP ini bertujuan untuk membantu konseli agar

memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya sendiri dan mampu

membuat pilihan yang lebih baik nantinya.

Melalui penggunaan teknik WDEP ini, konselor mengajak konseli

untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kontrol diri dengan

melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan mengeksplorasi dan menilai

33

Stephen Palomer (Ed.),Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 536.

34

(47)

perilaku-perilaku konseli khususnya perilaku yang kurang bertanggung jawab

yang mengakibatkan kontrol dirinya rendah terhadap perilaku menyimpang.

Setelah mengetahui dan menilai perilakunya, konseli bersama dengan

konselor membuat perencanaan untuk perilaku kedepannya yang lebih

bertanggung jawab, dimana didalamnya terdapat komitmen antara konselor

dengan konseli. Dengan adanya komitmen tersebut konseli dituntut untuk

bertanggung jawab terhadap rencana yang telah dibuatnya.35

2. Perilaku Agresif

a. Pengertian Perilaku Agresif

Jika dipandang dari definisi emosional, pengertian agresi adalah

hasil dari proses kemarahan yang memuncak. Sedangkan dari definisi

motivasional perbuatan agresif adalah perbuatan agresif adalah perbuatan

yang yang bertujuan untuk menyakiti orang lain.36

Agresif menurut Baron adalah tingkah laku yang dijalankan oleh

individu dengan tujuan melukai atau mencelakakan individu lain.37

Agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. Menurut

Berkowitz, agresi (aggresion) manusia yaitu siksaan yang diarahkan

secara sengaja dan berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain.38

Menurut Aronson agresi adalah tingkah laku yang dijalankan oleh

individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain

35

Ali Masrohan, Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik Wdep Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Rogojampi Banyuwangi, Jurnal mahasiswa Bimbingan dan Konseling UNESA Vol 4, No 3, (2014), Hal 4.

36

Willis Sofyan,Remaja dan Masalahnya, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 121.

37

E. Koeswara,Agresi Manusia, (Bandung: PT. Eresco, 1998), hal. 5.

38

(48)

dengan atau tanpa tujuan tertentu. Murray dan Fine mendefinisikan

agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal

terhadap individu lain atau terhadap objek- objek.39

Berbagai perumusan tentang pengertian perilaku agresif yang telah

dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku agresif adalah suatu bentuk tingkah laku pelampiasan dari

perasaan frustasi untuk mengatasi perlawanan dengan kuat atau

mengkuhum orang lain, yang ditujukan untuk melukai pihak lain secara

fisik maupun psikologis pada orang lain yang dapat dilakukan secara

verbal maupun non verbal.

Agresi secara verbal meliputi kekerasan yang dilakukan secara

fisik, seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, berkelahi,

dan lain sebagainya. Sedangkan agresi secara non verbal adalah

penggunaan kata-kata kasar tidak sopan, mengejek, menfitnah, dan

berkata- kata kotor.

b. Ciri-ciri Perilaku Agresif

Menurut Anantasari, pada dasarnya perilaku agresif pada manusia

adalah tindakan yang bersifat kekerasan, yang dilakukan oleh manusia

terhadap sesamanya. Dalam agresif terkandung maksud untuk

membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif juga dapat

disebut sikap bermusuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku agresif

diindikasikan antara lain oleh tindakan untuk menyakiti, merusak, baik

39

(49)

secara fisik, psikis maupun sosial. Sasaran orang yang berperilaku agresif

tidak hanya ditujukan kepada orang, tetapi juga kepada benda-benda

yang ada dihadapannya yang memberi peluang bagi dirinya untuk

merusak. Perilaku menyerang, memukul, mencubit, berkata kasar dan

kotor yang ditunjukan oleh anak dapat dikategorikan sebagai perilaku

agresif.

Lebih lanjut dikemukakan gejala-gejala perilaku agresif, yaitu

sebagai berikut:

1) Selalu membenarkan diri sendiri

2) Mau berkuasa dalam setiap situasi

3) Mau memiliki segalanya

4) Bersikap senang mengganggu orang lain

5) Menggertak, baik dengan ucapan atau perbuatan

6) Menunjukkan sikap pemusuhan secara terbuka

7) Menunjukkan sikap menyerang dan merusak

8) Keras kepala

9) Bersikap balas dendam

10) Memperkosa hak orang lain

11) Bertindak serampangan (impulsif)

12) Marah secara sadis.40

40

(50)

c. Jenis-jenis Perilaku Agresif

Para ahli psikologi membedakan perilaku agresif merupakan

batasannya sendiri-sendiri. Menurut Bartol, jenis agresif digolongkan

menjadi dua, yaitu agresif permusuhan dan agresif instrumental:

1) Agresif permusuhan (Hostile aggression), semata-mata dilakukan

dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan

kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi.

2) Agresif instrumental (instrumental aggression) yang pada umumnya

tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk

mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresif

instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan

terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk

membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang.41

d. Penyebab Perilaku Agresif

Sylvia Rimm menyebutkan beberapa penyebab munculnya

perilaku agresif.42Antara lain:

1) Korban kekerasan

Sebagian anak-anak yang terlalu agresig pernah menjadi

korban perilaku agresif. Orang tua, saudara, teman, atau pengasuh

yang melakukan tindakan kekerasan bisa membuat anak meniru

perbuatan tersebut. Anak yang menjadi korban kemudian menjadikan

anak lain sebagai korbannya.

41

Robert A. Baron dan Donn Byrne,Psikologi Social Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 169.

42

(51)

2) Terlalu dimanjakan

Anak yang terlalu dimanjakan juga bisa menjadi agresif baik

secara verbal maupun fisik terhadap anak lain karena mereka

berkuasa dan tidak mau berbagi atau tidak bisa menerima jika

keinginannya tidak segera terpenuhi. Mereka bahkan bisa berbuat

kasar terhadap orang tua dan saudaranya.

3) Televisi dan video game

Perilaku agresif yang dicintihkan ditelevisi dapat mendorong

anak menjadi agresif pula. Kadang-kadang acara anak-anak

mengandung tindak kekerasa seperti acara orang dewasa. Bahkan

film kartun pun memberi contoh perilaku agresif. Video game juga

sering kali mengajarkan kekerasan dan tidak sesuai untuk anak.

4) Sabotase antar orang tua

Sumber perilaku agresif yang juga penting adalah sikap orang

tua yang tidak merupakan satu tim. Jika salah satu oran tua memihak

kepada anak yang menentang orang tua lainnya, ini akan

membangkitkan sikap manipulative dan agresif pada anak karena

menjadi lebih berkuasa dari orang tua yang ditentangnya itu. Mereka

pun belajar untuk tidak menghargai orang tua karena orang tua yang

(52)

5) Kemarahan

Perilaku agresif bisa timbul akibat kemarahan dari dalam diri

anak yang muncul karena ada sesuatu yang tidak beres dan tidak

dapat dipahami oleh si anak itu sendiri. Misalnya anak adopsi, sikap

traumatis dan lain sebagainya.

6) Penyakit dan alergi

Ketegangan dan rasa frustasi yang timbul akibat penyakit,

alergi atau kelemahan yang tidak disadari orang tua bisa membuat

anak bersikap agresif. Alergi terhadap makanan utama seperti susu

gandum bisa menjadi penyebabnya. Kelemahan pendengaaran,

pandangan atau intelektual yang tidak dapat diungkapkan anak

kepada orang tua juga bisa menimbulkan kemarahan atau perilaku

agresif.

7) Frustasi

Frustasi adalah situasi dimana individu terhampar atau gagal

daam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya atau

mengalami hambatan untuk bebas dalam rangka mencapai tujuan.

Frustasi merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan

frustasi dapat menyebabkan agresi sebagian besar karena adanya

fakta tersebut. Dengan kata lain, frustasi kadang-kadang

menghasilkan agresi karena adanya hubungan mendasar antara efek

negatif (perasaan tidak menyenangkan). Misalnya, jika seorang

(53)

yang besar kemudian menerima jumlah yang jauh lebih dari sedikit

tanpa penjelasan mengapa ini terjadi, ia menyimpulkan bahwa ia

diperlakukan dengan sangat tidak adil bahwa hak-haknya yang sah

telah diabaikan. Hasilnya, ia dapat memiliki pikiran-pikiran yang

hostile, mengalami kemarahan yang intens, dan mencari cara untuk

membalas dendam terhadap sumber yang dipersepsikan sebagai

penyebab frustasi tersebut (bos atau perusahaan).43

3. Perceraian

a. Pengertian Perceraian

Kata Cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pisah, putus hubungan sebagai suami istri, talak. Kemudian kata perceraian

adalah perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan.

Adapun kata bercerai berarti tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti dalam hubungan (suami istri).44

Perkataan talak dalam istilah figih mempunyai dua arti, yaitu ari

umum dan khusus. Talak menurut arti umum ialah segala macam bentuk

perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, atau yang ditetapkan oleh

hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian

karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam

arti khusus ialah percerian yang dijatuhkan oleh pihak suami.45

43

Robert A. Baron dan Donn Byrne,Psikologi Social Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 144.

44

Tim penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal. 185.

45

(54)

Istilah Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami

dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah

tangga) antara suami istri tersebut, terdapat dalam pasal 38

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Bahwa talak (talak, atau Perceraian) hukumnya mubah

(dibolehkan). Meskipun demikian, prceraian adalah hal yang paling

dibenci oleh Allah SWT. Selain itu, perceraian dianggap mubah selama

tidak disertai dengan gangguan yang bertumpuh atas kebatinan. Padahal

jika seorang suami menceraikan isterinya, maka dengan itu telah

menimpakan gangguan padanya. Sedangkan gangguan yang terhadap

orang lain tidak dibenarkan kecuali dengan adanya tidak kejahatan dari

orang itu atau keterpaksaaan yang diakibatkan olehnya, Allah SWT

Berfirman: (QS. Al-Nisa 34).

b. Alasan-alasan Perceraian

Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana

ditentukan dalam pasal 19 PP No.09 Tahun 1975, yaitu:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal

lain diluar kemampuannya.

3) Dalam satu pihak mendapat hukuman penjarah 5 tahun atau

(55)

4) Salah pihak melakukan kekejaman penganiyayan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebai suami atau isteri.

6) Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

7) Suami melanggar talak.

8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.46

Dalam penelitian ini kasus perceraian yang dialami oleh orang tua

konseli (wawan) terjadi karena kurang adanya keharmonisan dalam

keluarga atau mungkin permasalahan yang terus-menerus tiada akhir.

Perceraian terjadi bukan karena talak melainkan ibu dari konseli sendiri

yang meminta untuk diceraikan, karena ibu konseli (wawan) pergi dan

menghilang begitu saja. Ibu meninggalkan mereka (suami dan anak)

tanpa alasan yang pasti dan sampai sekarang belum ada kabar tentang ibu

konseli.

B. Penelitian terdahulu yang relevan

1. Penerapan Konseling Realitas Melalui Prosedur WDEP Untuk Mengatasi

Rendahnya Penerimaan Diri Fisik Pada Siswa Kelas X SMAN 1 Mejobo

Kudus.

46

(56)

Oleh : Wiewiek Ardy Wijayanti

Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya

Tahun : 2015

Perbedaan dan Persamaan

Jadi Perbedaan yang terdapat dalam penelitian dari saudari Wiewiek ini

adalah ia meneliti tentang cara mengatasi rendahnya penerimaan diri fisik

siswa, bukan tentang perilaku agresif pada seorang remaja serta jenis

penelitiannya adalah menggunakan metode penelitian kuantitatif. Namun

letak persamaan yang ada dalam penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan

konseling realitas dengan menggunakan teknik WDEP.

2. Terapi realitas untuk membantu penyesuaian diri santri madrasah diniyah

Miftahul Ulum 1 Sumberdawesari Grati Pasuruan.

Oleh : Nikmatul Khabibah

Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya

Tahun : 2017

Perbedaan dan Persamaan

Jadi Perbedaan yang terdapat dalam penelitian saudari Nikmatul Khabibah ini

adalah ia meneliti tentang penyesuaian diri santri madrasah diniyah, bukan

tentang perilaku agresif pada seorang remaja. Letak persamaan yang ada

dalam penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan konseling realitas dengan

(57)

3. Bimbingan konseling islam dengan teknik modelling melalui sikap peduli

dalam menangani perilaku agresif anak di desa ketengan tanggulangin

sidoarjo.

Oleh : Yuli Agustin

Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya

Tahun : 2015

Perbedaan dan Persamaan

Jadi perbedaan dalam penelitian saudari yuli agustin adalah terletak pada

pendekatan dan teknik yang digunakan, sedangkan kami disini memakai

pendekatan realitas dengan teknik WDEP. Letak Persamaan yang ada pada

penelitian kami ini adalah sama-sama mengatasi tentang perilaku agresif.

4. Pola asuh yang salah dalam menciptakan agresivitas anak dan penanganannya

melalui konseling keluarga.

Oleh : Noor Dewi Marwanty

Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya

Tahun : 2016

Perbedaan dan Persamaan

Jadi perbedaan dalam penelitian saudari noor dewi marwanty adalah terletak

pada pendekatan dan teknik yang digunakan, karena ia menggunakan

pendekatan konseling keluarga dan sedangkan kami disini memakai

pendekatan konseling realitas dengan teknik WDEP. Letak Persamaan yang

ada pada penelitian kami ini adalah sama-sama mengatasi tentang perilaku

(58)

BAB III

PENYAJIAN DATA

A. Deskripsi Umum Objek Penelitian

1. Deskripsi lokasi penelitian

a. Desa Sukosewu

1) Letak Geografis Desa Sukosewu

Penelitian ini dilakukan konselor di suatu desa. Sukosewu

adalah desa yang berada di Kecamatan Sukosewu. Desa sukosewu

merupakan daerah yang berada dilokasi Kabupaten Bojonegoro. Desa

sukosewu dihuni ± 3346 penduduk (laki-laki berjumlah 1594, dan

perempuan 1752). Luas wilayah Desa sukosewu 275x346. Desa

sukosewu berbatasan dengan beberapa Desa, diantaranya yaitu:

a) Sebelah utara dibatasi oleh Desa Sidodadi

b) Sebelah selatan dibatasi oleh Desa Kalicilik

c) Sebelah barat dibatasi oleh Desa Sumberjo Kidul

d) Sebelah timur dibatasi oleh Desa Klepek

Jarak dari pusat pemerintahan adalah sebagai berikut:

a) Jarak dari pemerintahan Kecamatan: 1 Km.

(59)

2) Kondisi Sosial Ekonomi desa sukosewu

Sosial ekonomi merupakan keberlangsungan masyarakat yang

mendapatkan penghasilan ataupun pengeluaran, keuntungan ataupun

kerugian yang dirasakan oleh masyarakat desa Sukosewu. Sehingga

kondisi sosial ekonomi dapat dilihat melalui mata pencahariannya

yakni sebagai berikut:

Tabel 3.1

Mata Pencaharian Masyarakat desa sukosewu

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Orang

1 Karyawan 150 Orang

2 Wiraswasta 50 Orang

3 Tani 1.250 Orang

4 Pertukangan 73 Orang

5 Buruh tani 475 Orang

6 Pensiun 17 Orang

7 Pemulung 7 Orang

Sumber: monografi Desa Sukosewu47

Dengan demikian, profesi terbanyak di desa sukosewu adalah

petani, yakni berkisar 1.250 orang. Sedangkan profesi yang lainnya

500 orang kebawah.

47

Gambar

        Tabel 1.1Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
                    Tabel 3.1Mata Pencaharian Masyarakat desa sukosewu
                    Tabel 3.2Aplikasi Teknik WDEP
          Tabel 3.3
+4

Referensi

Dokumen terkait

Disini penulis menjelaskan tentang bagaimana proses konseling spiritual dalam mengatasi kenakalan seorang remaja di SMK Agung Mulia yaitu salah satu siswa kelas XI

TINJAUAN TERHADAP KONSEP DIRI REMAJA KORBAN PERCERAIAN DI KLASIS POSO KOTA DARI PERSPEKTIF KONSELING

Berbagai perumusan perilaku agresif yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif merupakan tingkah laku pelampiasan dari perasaan

21 Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, sejauh ini belum ada yang meneliti terkait judul penelitian yang penulis akan teiliti yaitu mengkaji tentang pelaksanaan

Tujuan dari penelitian ini ingin mengungkapkan dua hal, (1). Ingin mengetahui bagaimana perilaku agresif remaja di Desa Baleadi Pati. Bagaimana pola asuh keagamaan orang

Tabulasi Silang Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perilaku Agresif Pada Remaja Di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.. Dari 19 responden tersebut,

Sebab dari hasil pengamatan peneliti di lapangan ditemukan bahwa tidak hanya di lingkungan teman bermain di luar sekolah saja para pelajar berkomunikasi dengan bahasa kasar, akan tetapi

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa konseling Islam peranan dalam mengatasi masalah perilaku menyimpang pada korban penyalahgunaan narkoba di Klinik Cure & Care 1Malaysia Tampoi