SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Disusun Oleh:
Nashihuddin NIM. B03213017
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
ABSTRAKSI
Nashihuddin (B03213017),Konseling Realitas dalam Mengatasi Perilaku Agresif Seorang Remaja Korban Perceraian Orang Tua.
Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana proses konseling realitas dalam mengurangi perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua? (2) Bagaimana hasil konseling realitas dalam mengurangi perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua?
Menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, jenis penelitian studi kasus dengan analisis deskriptif komparatif. Dalam Bab III peneliti mendeskripsikan permasalahan dan cara menanganinya, dan dalam bab IV peneliti mengkomparasi kondisi konseli sebelum dan sesudah diberikan treatment. Dalam proses penanganan permasalahan konseli yaitu
perilaku agresif konselor menggunakan konseling realitas dengan teknik WDEP
yang terdiri dari beberapa langkah yakni tahap pertama (pengarahan oleh peneliti), tahap kedua (pemberian contoh proses konseling realitas), tahap ketiga (waktu, tempat, hari dan tanggal pelaksanaan dari konseling realitas oleh konseli). Adapun informan penelitian adalah teman, orang tua atau keluarga konseli, tetangga dan konseli sendiri. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun teknik analisis data meliputi reduksi dan data, Display
(penyajian data) dan verifikasi (pengambilan keputusan).
Hasil penelitian dari pelaksanaan konseling realitas dapat di katakan berhasil, dilihat dari pengamatan peneliti pada saat sebelum dan sesudah proses konseling di lakukan, konseli sudah mulai menunjukkan perubahan seperti lebih tenang dan berkurangnya perilaku agresif konseli, sehingga bisa menjadi orang yang lebih baik.
DAFTAR ISI A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Definisi Konsep ... 5
F. Metode Penelitian... 8
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 9
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian ... 10
3. Tahap-tahap Penelitian ... 10
4. Jenis dan Sumber Data ... 13
5. Teknik Pengumpulan Data ... 14
6. Teknik Analisis Data ... 18
7. Teknik Keabsahan Data ... 19
G. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik ... 23
1. Pendekatan Realitas ... 23
a. Konsep Dasar Pendekatan Realitas ... 23
b. Pandangan Tentang Manusia... 25
c. Ciri-ciri Konseling Realitas... 28
d. Tujuan Konseling Realitas ... 30
e. Peran dan Fungsi Konseling... 30
f. Teknik-teknik Konseling Realitas ... 31
2. Perilaku Agresif ... 38
a. Pengertian Perilaku Agresif... 38
b. Ciri Perilaku Agresif ... 39
c. Jenis Perilaku Agresif... 41
d. Penyebab Perilaku Agresif ... 41
3. Perceraian ... 44
a. Pengertian Perceraian ... 44
b. Alasan-alasan Perceraian ... 45
B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 46
BAB III : PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 49
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 49
a. Letak Geografis Desa Sukosewu ... 49
b. Kondisi Sosial Ekonomi Desa Sukosewu ... 50
c. Kondisi Sosial Budaya Desa Sukosewu... 51
d. Kondisi Keagamaan Desa Sukosewu... 51
2. Deskripsi Konselor ... 52
b. Latar Belakang Keluarga Konseli ... 54
c. Kepribadian Konseli ... 55
d. Keadaan Ekonomi ... 56
e. Lingkungan Sekitar Konseli... 56
f. Latar Belakang Keagamaan Konseli ... 57
4. Deskripsi Masalah ... 57
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 58
1. Deskripsi Proses PelaksanaanTerapi ... 58
a. Identifikasi Masalah ... 59
b. Diagnosis ... 63
c. Prognosis ... 64
d. Terapi(Treatment)... 64
e. Evaluasi(Follow Up)... 73
2. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Terapi ... 74
BAB IV : ANALISIS DATA A. Analisis Proses Pelaksanaan Konseling ... 77
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aksi-aksi kekerasan remaja pada zaman sekarang ini dapat terjadi
di mana saja, seperti di jalan, di sekolah, di kompleks perumahan, bahkan
di kampung pedesaan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal
(mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul dan melukai).
Sedangkan pada kalangan remaja aksi yang biasa dilakukan yaitu tawuran,
para pelaku tindakan tersebut kebanyakan dilakukan oleh siswa siswi
SMP/SLTP.
Aksi-aksi kekerasan tersebut sebenarnya adalah perilaku agresif
dari diri individu atau kelompok. Agresif merupakan suatu tingkah laku
yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan
membahayakan orang lain bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara
psikis (psikologis). Remaja sangat rentang berperilaku agresif karena
mereka dalam proses mencari jati diri.
Remaja adalah seorang individu yang bisa dikatakan berada pada
masa tanggung (masa pertengahan), bukan anak kecil yang tidak mengerti
apa-apa, tapi juga bukan dewasa yang bisa membedakan mana hal yang
baik dan mana yang buruk. Agresif bisa bersifat positif jika dalam
olahraga, agresif untuk menjadi nomor satu atau memenangkan sebuah
kompetisi. Namun yang dibahas disini adalah agresif yang bersifat
James M. Kaufman mengemukakan Masa remaja sering dikenal dengan istilah masa pemberontakan. Pada masa-masa ini, seorang anak
yang baru mengalami pubertas seringkali menampilkan beragam gejolak
emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah, baik
di rumah, sekolah, atau di lingkungan pertemanannya.1
Terkait dengan penjelasan di atas, sangatlah relefan dengan
kejadian yang terjadi di sekitar lingkungan peneliti yaitu pada seorang
remaja yang sering berperilaku agresif dan mungkin itu terjadi karena
kurang adanya perhatian dari orang tua, karena salah satu remaja ini
adalah korban perceraian orang tua.
Peneliti mengambil contoh di Kec. Sukosewu, Kab. Bojonegoro.
Seorang remaja itu bernama Norma Indah Setiawan (Wawan), kurang
lebih berusia 18 tahun, wawan adalah seorang remaja yang terbuka, mudah
bergaul dan suka menolong orang lain. Sebelum orang tua wawan ini
bercerai sangatlah peduli, setiap waktu memperhatikan dia sampai-sampai
jika belum pulang atau belum ada di rumah sang ayah mencarinya dan
mengajaknya untuk pulang. Setelah orang tuanya bercerai, menurut
peneliti wawan ini kurang adanya kepedulian dari orang tua, bahkan orang
tua tidak tahu alasan yang pasti jika konseli ingin memutuskan untuk
berhenti sekolah, konseli hanya bilang lebih baik bekerja.
1
Setelah sebulan wawan bekerja di luar kota perubahan pada dirinya
mulai terlihat, mulai dari gaya rambut dan aksesoris yang dipakainya,
mungkin tidak lazim dipakai untuk seorang cowok, sedangkan orang tua
wawan tersebut diam saja dan tidak begitu memperdulikan. Akhirnya
wawan mulai bergaul bebas dan secara tidak langsung ikut melakukan hal
yang dilakukan temannya juga, sikap agresif yang terlihat adalah
meresahkan warga salah satunya perkelahian.
Jadi dengan adanya data tersebut peneliti bisa mengetahui bahwa
perilaku agresif akan terjadi pada siapapun terutama pada masa remaja
karena remaja sangat mudah dalam bergaul, tidak akan menilai baik dan
buruk yang penting seorang itu nyaman. Jadi perilaku agresif ini dapat
timbul karena kelalaian, salah satunya yaitu kurang adanya perhatian serta
didikan dari orang tua karena orang tua wajib memarahi jika hal yang
dilakukan tersebut salah serta perilaku tersebut dapat merugikan orang lain
dan bahkan sampai melanggar norma-norma yang ada.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian yang berjudul Konseling Realitas
dalam Mengurangi Perilaku Agresif Seorang Remaja Korban Perceraian
Orang Tua yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi perilaku
agresif seorang remaja korban perceraian orang tua?
2. Bagaimana hasil pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang berjudul Pendekatan Konseling
Realitas dalam Mengurangi Perilaku Agresif pada Seorang Remaja
Korban Perceraian Orang Tua yaitu:
1. Mengetahui pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi perilaku
agresif seorang remaja korban perceraian orang tua.
2. Mengetahui hasil pelaksanaan konseling realitas dalam mengatasi
perilaku agresif seorang remaja korban perceraian orang tua.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang berjudul Konseling Realitas dalam
Mengatasi Perilaku Agresif Seorang Remaja Korban Perceraian Orang
Tua yaitu:
1. Secara Teoritis
a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain dalam
bidang pendekatan konseling realitas dalam mengatasi perilaku
agresif seorang remaja korban perceraian orang tua.
b. Sebagai sumber informasi dan referensi tentang cara mengatasi
perilaku agresif pada seorang remaja korban perceraian orang tua.
2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan agar individu yang menjadi objek
penelitian ini dapat mengatasi perilaku agresifnya.
b. Bagi peneliti atau konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengatasi perilaku agresif pada seorang remaja korban perceraian
orang tua.
E. Definisi Konsep
Untuk mendapatkan kejelasan tentang judul penulisan ini agar
tidak salah presepsi. Maka, perlu untuk memberikan gambaran yang jelas
terhadap judul penelitian ini melalui penegasan yang terdapat dalam judul
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Pendekatan Realitas
Terapi Realitas dikembangkan pada tahun 1960-an oleh seorang
psikiater sekaligus insinyur kimia terkemuka, William Glasser. Ia
mengembangkan terapi realitas untuk membuktikan bahwa psikiatri
konvensional yang selama ini ada, sebagian besar telah berlandaskan
asumsi-asumsi yang keliru. Bahkan Glasser juga menolak pandangan
Sigmund Freud mengenai aliran psikoanalisisnya yang berdasarkan
alam bawah sadar manusia, karena teorinya diangap kurang jelas.2
Konseling Realitas memandang individu dalam arti perilaku yang
dapat diamati tetapi bukan dalam arti paradigma stimulus respon
seperti halnya pandangan para konselor perilaku pada umumnya, dan
bukan pula dalam arti fenomenologis seperti pandangan konselor
humanistik, konseling realitas melihat perilaku melalui standart
obyektif yang disebut realita (realiti).
2
Terapi Realitas menolong konseli mengevaluasi apakah yang
konseli inginkan itu realistik dan apakah perilakunya bisa
menolongnya. Konselilah yang menentukan apakah yang konseli
lakukan itu bisa membuatnya mendapatkan apa yang konseli
kehendaki, dan mereka menentukan perubahan apa, kalaupun ada, apa
yang mereka kehendaki untuk dilakukan. Setelah konseli lakukan
penilaian terhadap masalah yang dihadapi konseli, maka konseli
dibantu oleh konselor dalam hal mendesain suatu rencana perubahan
sebagai cara menerjemahkan perkataan menjadi perbuatan.
Dari pemaparan tentang pendekatan realitas di atas bisa dijelaskan
bahwa realistis itu sebagai kenyataan dalam hidup kita (takdir), mampu
atau tidak mampu harus kita jalani dengan ikhlas dan sabar. Penerapan
konseling realitas sangat cocok dalam situasi-situasi konseling bagi
penanganan seorang remaja yang mempunyai perilaku agresif korban
perceraian orang tua.
2. Perilaku Agresif
Kauffman (1985) memaparkan penyebab perilaku agresif dari
berbagai sudut pandang teori secara holistik, yaitu:
a. Teori Biologis diasumsikan bahwa perilaku agresif merupakan
perilaku instink, respon kelainan hormon dan susunan kimiawi
dalam tubuh, akibat getaran-getaran elektrik yang terjadi pada
susunan syaraf pusat. Faktor biologis bukan satu-satunya yang
b. Teori Psikodinamika, agresif merupakan dorongan negatif dari
agresi (id), karena lemahnya fungsi kesadaran individu yaitu ego
dan superego. Teori frustrasi-Agresif, menjelaskan bahwa frustrasi
selalu mengakibatkan perilaku agresif, dan perilaku agresif selalu
bersumber dari kondisi frustrasi.
Sebagai sebuah disiplin akademis, psikologi sosial berhubungan
dengan banyak fase kehidupan sosial seseorang mulai dari pikiran,
perasaan, dan perilaku mereka terhadap orang lain dan dampak yang
diberikan orang lain terhadap cara mereka merasakan, berfikir, dan
bertindak.3
F. Metode Penelitian
Laporan ini tersusun dengan kelengkapan ilmiah yang disebut
sebagai metode penelitian, yaitu cara kerja penelitian sesuai dengan
cabang-cabang ilmu yang menjadi sasaran atau obyeknya.4 Cara kerja
tersebut merupakan pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan
logis dalam upaya pencarian data yang berkenaan dengan
masalah-masalah penelitian guna diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicarikan solusinya.5
3
Barbara Karhe,Prilaku Agresif,(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2005), hal. 14.
4
Koencoroningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981), hal. 16.
5
Metode dalam suatu penelitian merupakan upaya agar penelitian
tidak diragukan bobot kualitasnya dan dapat dipertanggung jawabkan
validitasnya secara ilmiah. Untuk itu dalam bagian ini memberi tempat
khusus tentang apa dan bagaimana pendekatan dan jenis penelitian, Obyek
penelitian, jenis dan sumber data, tahapan penelitian, teknik pengumpulan
data, teknik analisis data, dan teknik keabsahan data.
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh obyek penelitian
secara holistic dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.6
Pendekatan kualitatif yang digunakan pada penelitian ini untuk
memahami fenomena yang dialami oleh klien secara menyeluruh yang
di deskripsikan berupa kata-kata dan bahasa untuk kemudian
dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, dan definisi secara
umum.
6
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
Penelitian studi kasus (case study) adalah penelitian tentang status
subyak penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas
dari keseluruhan atau khas dari keseluruhan personalitas.7
Jadi pada penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus untuk
melakukan penelitian dengan cara mempelajari indvidu secara rinci
dan mendalam selama kurun waktu tertentu untuk membantunya
memperoleh penyesuaian diri yang lebih baik.
2. Subjek Penelitian
Wilayah penelitian yang dijadikan obyek atau sasaran dalam
penelitian ini adalah seorang remaja yang mempunyai sikap agresif.
Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Sukosewu Rt. 19 Rw.
03 Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
3. Tahap-tahap penelitian
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilakukan menurut buku
metode penelitian praktis adalah:
a. Perencanaan, meliputi penentuan tujuan yang dicapai oleh suatu penelitian dan merencanakan strategis untuk memperoleh dan
menganalisis data bagi peneliti. Hal ini dimulai dengan
memberikan perhatian khusus terhadap konsep dan hipotesis yang
akan mengarahkan penelitian yang bersangkutan dan menelaah
kembali terhadap literatur, termasuk penelitian yang pernah
7
diadakan sebelumnya, yang berhubungan dengan judul dan
masalah penelitian yang bersangkutan.
Dalam tahap perencanaan ini, peneliti merencanakan hal-hal
mengenai bagaimana proses penelitian ini kedepannya mulai dari:
menyusun rancangan penelitian, tujuan yang jelas dan strategi
dalam memperoleh data yang diinginkan. Dalam menyusun
rancangan penelitian, peneliti mendapati klien yang mempunyai
masalah dengan perilaku yang agresif. Oleh karena itu, peneliti
akan melakukan sebuah penelitian, dimana individu tersebut
menjadi objek dari penelitan. Dengan tujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan masalah itu terjadi, beserta
membantunya terlepas dari permasalahan yang dialami oleh
individu tersebut. Mengenai strategi dalam memperoleh data dari
klien, peneliti menggunakan tiga teknik untuk memperoleh data
tersebut, yaitu: Observasi, wawancara, dan dokumentasi.
b. Pengkajian secara teliti terhadap rencana penelitian, tahap ini merupakan pengembangan dari tahap perencanaan, disini disajikan
latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan penelitian, serta
metode atau prosedur analisis dan pengumpulan data.
Dalam tahap ini, peneliti harus mengetahui betul
permasalahan yang dialami oleh klien yaitu bagaimana proses
yang melatar belakangi individu yang sering berperilaku agresif,
satunya membantu individu tersebut bisa mengurangi sikap
tersebut karena sikap itu dapat meresahkan masyarakat sekitar.
Terapi yang akan digunakan oleh peneliti dalam membantu klien
tersebut yaitu menggunakan pendekatan realitas. Setelah itu,
peneliti turun langsung kelapangan untuk mengumpulkan data
yang diperlukan, guna untuk memperlancar dalam proses
konseling. Berikut adalah proses konseling yang akan dilakukan
dalam penelitian ini:
1) Identifikasi: peneliti melakukan wawancara dan observasi
terhadap klien dan informan lainnya seperti orang tuanya,
keluarga (famili), teman-teman akrabnya bahkan kepada
tetangga klien. Yang nantinya diperoleh data tentang diri klien,
serta keadaan klien.
2) Diagnosis: peneliti merumuskan masalah-masalah yang
dialami klien berdasarkan data yang diperoleh dari langkah
identifikasi. Kemudian peneliti menentukan masalah yang
sedang dialami oleh klien. Dimana masalah yang sedang
dialami oleh klien adalah seringnya melakukan perilaku yang
melanggar aturan dan norma.
3) Prognosis: pada langkah ini peneliti merumuskan jenis
bantuan yang tepat untuk klien. Dengan melihat data yang
bantuan yang akan peneliti berikan adalah proses bimbingan
konseling dengan pendekatan konseling realitas.
4) Treatmen: proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
peneliti atau Konselor terhadap klien.
5) Follow up: peneliti melihat sejauh mana perubahan yang
terjadi pada klien setelah melaksanakan proses konseling. Dari
perubahan perilaku, hingga kebiasaan yang sering
dimunculkan. Hal ini peneliti lakukan dengan observasi dan
wawancara langsung dengan diri klien dan juga informan
lainnya, yang dilaksanakan setelah selesainya proses
konseling. Peneliti tak lupa dengan melihat sikap dan perilaku
sebelum dan sesudah klien diberi treatment tersebut.
c. Analisis dan laporan, hal ini merupakan tugas terpenting dalam suatu proses penelitian.8
Dalam tahap ini, peneliti menganalisis hasil proses
konseling yang dilakukan oleh konselor terhadap klien, dengan
melihat dampak yang ditampakkan oleh klien. Dengan itu, peneliti
akan melihat tingkat keberhasilan dan tidak keberhasilan dari
proses konseling yang diberikan oleh konselor terhadap klien.
Setelah itu, peneliti menyusun laporan penelitian dari awal sampai
akhir proses penelitian.
8
4. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data
yang bersifat non statistik, dimana data yang diperoleh nantinya
dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka.
Adapun jenis data pada penelitian ini adalah:
1) Data primer yaitu data yang langsung diambil dari sumber
pertama di lapangan. Hal ini diperoleh dari deskripsi tentang
latar belakang dan masalah klien, prilaku klien, faktor-faktor
yang menyebabkan masalah tersebut yang dialami klien,
pelaksanaan proses, serta hasil akhir pelaksanaan.
2) Data sekunder yaitu data yang diambil dari sumber kedua atau
berbagai sumber guna melengkapi data primer. diperoleh dari
gambaran lokasi, penelitian, keadaan lingkungan klien, riwayat
pendidikan klien, dan perilaku keseharian klien.
b. Sumber data
Untuk mendapat keterangan dan informasi, peneliti
mendapatkan informasi dari sumber data, yang dimaksud dengan
sumber data adalah subyek dari mana data itu diperoleh.
Adapun sumber datanya adalah sebagai berikut:
1) Sumber data Primer yaitu sumber data yang langsung
2) Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari
orang lain guna melengkapi data yang peneliti peroleh dari
sumber data primer.9Sumber ini peneliti peroleh dari informan
seperti orang tua, keluarga (famili), teman serta tetangga klien.
5. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah
sebagai berikut:
a. Observasi
Diartikan sebagai pengamatan dan pecatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
Dalam penelitian ini, observasi dilakukan untuk mengamati Klien
meliputi: kondisi Klien, kegiatan Klien, proses yang dilakukan.
b. Wawancara
Merupakan salah satu metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber
data dengan dialog tanya jawab secara lisan baik langsung maupun
tidak langsung.10Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk
mendapatkan informasi mmendalam pada diri Klien yang meliputi:
Identitas sendiri Klien, kondisi keluarga, lingkungan dan ekonomi
klien, serta permasalahan remaja yang dialami klien.
9
Burhan Bungi, Metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2001), hal. 128.
10
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, (life histories), ceritera, Dokumen yang berbentuk gambar misalnya, foto, gambar
hidup, sketsa, dan lain-lain.11 Dokumen yang berbentuk karya
misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan
lain-lain. Dalam penelitian ini, dokumentasi dilakukan untuk
mendapat gambaran tentang lokasi penelitian yang meliputi: : Luas
wilayah penelitian, jumlah penduduk, batas wilayah, kondisi
geografis desa poreh, serta data lain yang menjadi data pendukung
dalam laporan penelitian.
Tabel 1.1
Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
No Jenis Data
Keterangan:
TTPD : Teknik-teknik pengumpulan data
D : Dokumentasi
O : Observasi
W : Wawancara
Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data
primer untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data adalah
langkah yang amat penting dalam metode ilmiah, karena pada
umumnya data yang dikumpulkan digunakan untuk menguji
hipotesa yang sudah dirumuskan.12
Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan
langsung oleh peneliti dalam situasi yang sesungguhnya. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data
dokumentasi, wawancara mendalam yang berhubungan dengan
data yang diperlukan dan observasi.
6. Teknik Analisis Data
Definisi analisis data, banyak dikemukakan oleh para ahli
metodologi penelitian. Berikut ini adalah definisi analisis data yang
dikemukakan oleh para ahli metodologi penelitian tersebut, yang
terdiri dari:
12
a) Menurut Bogdan dan Taylor (1971), analisis data adalah proses
yang merinci usaha formal untuk menemukan tema dan
merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesa
itu.
b) Menurut Lexy J. Moleong (2002), analisis data adalah proses
mengorganisasikan dari mengurutkan data ke dalam pola, kategori
dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa,
analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,
sistematisasi, penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena
memiliki nilai sosial, akademik dan ilmiah.13
Teknik analisis data dalam penelitian ini, dilakukan setelah
data-data diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan
observasi. Kemudian data-data tersebut, di analisis secara saling
berhubungan untuk mendapatkan dugaan sementara, yang dipakai
dasar untuk mengumpulkan data berikutnya, lalu dikonfirmasikan
dengan informan secara terus menerus secara triangulasi.
13
7. Teknik Keabsahan Data
Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini,
seperti yang dirumuskan ada tiga macam yaitu, antara lain:
a. Perpanjangan Keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam
pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan
dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan
keikutsertaan peneliti pada latar penelitian.14 Dalam konteks ini,
dalam upaya menggali data atau informasi yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian, peneliti selalu ikut serta dengan informan
utama dalam upaya menggali informasi yang berkaitan dengan
fokus penelitian. Misalnya peneliti selalu bersama informan utama
dalam melihat lokasi penelitian atau bisa juga melalui pemantauan.
b. Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan dilakukan dengan maksud
menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan
atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada
hal-hal tersebut secara rinci.15
c. Trianggulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin
14
Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 175.
15
(1978), membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode,
penyedik dan teori.16
Validitas dan objektivitas merupakan persoalan
fundamental dalam kegiatan ilmiah. Agar data yang diperoleh
peneliti memiliki validitas dan objektivitas yang tinggi,
diperlukan beberapa persyaratan yang diperlukan. Berikut ini akan
peneliti kemukakan metode yang digunakan untuk meningkatkan
validitas dan objektivitas suatu penelitian, terutama dalam
penelitian kualitatif.
Robert K. Yin (1996), mensyaratkan adanya validitas
design penelitian. Untuk itu, Paton (1984), menyarankan diterapkan teknik triangulasi sebagai validitas design penelitian. Adapun teknik triangulasi yang peneliti pakai dalam penelitian ini
adalah triangulasi data atau triangulasi sumber. Sebagaimana
dikemukakan Yin, triangulasi data dimaksudkan agar dalam
pengumpulan data, peneliti menggunakan multi sumber data.17
Dalam konteks ini, upaya yang dilakukan oleh peneliti
dalam pengecekan data yaitu dengan menggunakan sumber data
dalam pengecekan data yaitu dengan menggunakan sumber data
dalam penggaliannya, baik itu sumber data primer yang berupa
16
Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 178.
17
hasil wawancara maupun sumber data sekunder yang berupa buku,
majalah dan dokumen lainnya.
Sedangkan metode atau cara yang digunakan dalam analisis
data adalah metode analisis kualitatif. Artinya analisis kualitatif
dilakukan dengan memanfaatkan data (kualitatif) dari hasil
observasi dan wawancara mendalam, dengan tujuan memberikan
eksplanasi dan pemahaman yang lebih luas atas hasil data yang
dikumpulkan. Dan kemudian peneliti melakukan langkah
membandingkan atau mengkorelasikan hasil penelitian dengan
teori yang telah ada. Hal itu dilakukan untuk mencari perbandingan
atau hubungan antara hasil penelitian dengan teori yang telah ada.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam membahas suatu penelitian diperlukan sistematika
pembahasan yang bertujuan untuk memudahkan penelitian,
langkah-langkah pembahasan sebagai berikut:
BAB I : Yaitu pendahuluan, pada bab ini terdiri atas latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi
konsep, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II :Yaitu tinjauan pustaka, pada bab ini terdiri dari dua sub
bab, sub bab pertama yaitu pembahasan kajian teoritik dan sub bab kedua
BAB III : Yaitu penyajian data, yang terdiri dari dua sub bab yakni
yang pertama deskripsi umum obyek penelitian dan sub bab kedua
deskripsi hasil penelitian.
BAB IV : Yaitu Analisis data, pada bab ini memaparkan tentang
hasil pelaksanaan konseling.
BAB V : Yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan yang ditutup
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritik
1. Pendekatan Realitas (Reality Theraphy)
a. Konsep dasar Pendekatan Realitas (Reality Theraphy)
Terapi Realitas dikembangkan pada tahun 1960-an oleh seorang
psikiater sekaligus insinyur kimia terkemuka, William Glasser. Ia
mengembangkan terapi realitas untuk membuktikan bahwa psikiatri
konvensional yang selama ini ada, sebagian besar telah berlandaskan
asumsi-asumsi yang keliru. Bahkan Glasser juga menolak pandangan
Sigmund Freud mengenai aliran psikoanalisisnya yang berdasarkan alam
bawah sadar manusia, karena teorinya diangap kurang jelas.18
Sejak kemunculannya, terapi realitas telah mengalami berbagai
perkembangan yang sangat pesat dan telah digunakan oleh banyak
konselor. Ini semua tak lepas dari konsep yang ditawarkan oleh William
Glasser yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan.
Ciri yang khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada
kejadian-kejadian di masa lalu, tetapi lebih mendorong konseli untuk
menghadapi realitas atau kenyataan yang ada. Pendekatan ini juga tidak
memberi perhatian-perhatian pada motif-motif bawah sadar seperti
18
psikoanalisis. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab
pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental.19
Dalam pendekatan realitas, seorang konselor harus bertindak aktif,
direktif, dan didaktik. Konselor juga berperan sebagai guru dan model
bagi konseli.
Pendekatan realitas berpatokan pada ide sentral bahwa para
individu bertanggung jawab atas tingkah laku mereka masing-masing.
Ide inilah mendasari teori konseling yang ditemukan oleh William
Glasser yang dikenal dengan istilah 3-R, yaitu:
1) Responsibility (tanggung jawab)
Adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan
tanpa harus merugikan orang lain.
2) Reality (kenyataan)
Adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu
untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami
bahwa ada dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang
dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan
apa adanya.
19
3) Right (kebenaran)
Merupakan ukuran atau norma-norma yang diterima secara
umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang
melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melakukan
sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila
mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara
umum.20
b. Pandangan Tentang Manusia
Dalam terapi realitas, manusia dipandang sebagai individu yang
mampu menentukan dan memilih tingkah lakunya sendiri. Yang berarti
individu harus bertanggung jawab dan bersedia menerima konsekuensi
dari tingkah lakunya. Bertanggung jawab disini maksudnya adalah bukan
hanya pada apa yang dilakukannya, melainkan juga pada apa yang
dipikirkannya.21
Dinamika kepribadian manusia dalam terapi realitas ditentukan
oleh dua kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis.
Kebutuhan fisiologis berupa makan, minum, seks dan lainnya.
Sedangkan kebutuhan psikologis berupa kebutuhan psikis seperti
dicintai, mencintai, mendapat rasa aman, penghargaan dan lainnya.
Kedua kebutuhan dasar ini sudah terbentuk sejak masih anak-anak.22
20
Andi Mappiare AT,Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Hal. 159.
21
Namora Lumonnga Lubis,Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktek, Hal. 185.
22
Saat seseorang berhasil memenuhi kebutuhan psikologisnya, maka
ia akan mengembangkan identitas keberhasilan (success identity) dalam
dirinya, sebaliknya jika ia gagal dalam memenuhi kebutuhan
psikologisnya, maka ia akan mengembangkan identitas gagal (failure
identity) dalam dirinya. Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki
kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir
sepanjang rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Jadi ketika
seseorang mengalami masalah, hal tersebut diyakini Glasser disebabkan
oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seorang dalam memenuhi kebutuhan
psikologisnya.
Corey menyebutkan bahwa manusia tidaklah terlahir dengan kertas
kosong yang selalu menunggu adanya motivasi dari luar, tetapi kita
terlahir dengan lima kebutuhan secara genetis, yaitu kebutuhan akan rasa
cinta dan rasa memiliki, kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan akan
kebebasan, kebutuhan akan kesenangan, dan kebutuhan akan bertahan
hidup.
Berikut adalah penjelasan mengenai 5 kebutuhan dasar dalam terapi
realitas:
1) Cinta (Belonging/ Love)
Sebagai manusia, kita perlu cinta dan dicintai. Kita perlu rasa
memiliki dan dimiliki. Kita harus percaya bahwa kita diterima oleh
2) Kekuasaan (Power)
Merupakan kebutuhan khusus manusia. Kebutuhan akan
kekuasaan meliputi keinginan untuk berprestasi, merasa berharga,
kesuksesan dan mendapatkan pengakuan.
3) Kesenangan (Fun)
Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia.
Kebutuhan ini muncul sejak dini kemudian terus berkembang hingga
dewasa. Kebutuhan yang diinginkan pada setiap level usia. Misalnya
bertamasya untuk sekedar menghilangkan kepenatan hidup, bersantai
dan sebagainya.
4) Kebebasan (Freedom)
Kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan
tidak bergantung pada orang lain, misalnya dalam membuat pilihan
dan memutuskannya.
5) Kelangsungan Hidup (survival)
Kebutuhan untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Pada
hakekatnya semua individu senantiasa memandang kedepan dan
berusaha untuk selalu menjaga hidupnya dengan cara yang
menyebabkan kelanggengan (misal exercise & makan makanan
yang sehat).23
23
c. Ciri-ciri Terapi Realitas
Corey menyebutkan bahwa ada 7 ciri-ciri dari terapi realitas, yaitu
sebagai berikut :
1) Menolak konsep tentang penyakit mental
2) Berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau
Karena masa lalu seseorang itu merupakan takdir yang tidak
akan bisa diubah, maka yang bisa dilakukan hanyalah mengubah saat
sekarang dan masa yang akan datang. Sehingga yang paling
dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh
kesuksesan pada masa yang akan datang.
3) Menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai
Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran
klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam
menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Jika
para klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa
yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri,
maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan
positif, semata-mata karena menetapkan bahwa alternatif-alternatif
bisa lebih baik daripada gaya mereka sekarang yang tidak realitas.
4) Tidak menekankan transferensi
Terapi realitas tidak memandang konseptradisional tentang
transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi
pribadi. Terapi ini juga mengimbau agar para terapis menempuh
cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri,
tidak memainkan peran sebagai ayah maupun ibu klien.
5) Menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan ketidaksadaran
Terapi ini menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien,
bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak
mendapatkan apa yang diinginkannya. Terapi ini memeriksa
kehidupan klien sekarang secara rinci dan berpegang pada asumsi
bahwa klien akan menemukan tingkah laku sadar.
6) Menghapus konsep pemberian hukuman
Glasser menganggap bahwa pemberian hukuman untuk
kepentingan mengubah tingkah laku yang tidak efektif dalam diri
klien hanya akan mengakibatkan menguatnya identitas kegagalan
pada klien dan merusak hubungan terapeutik.
7) Menekankan tanggung jawab
Menurut Glasser orang yang bertanggung jawab yaitu orang
yang memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan melakukannya dengan cara tidak
mengurangi atau menghalangi kemampuan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.24
24
d. Tujuan Terapi Realitas
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, tujuan terapi realitas adalah
membantu manusia mencapai identitas keberhasilan (success identity)
dan otonomi, yaitu merupakan kematangan emosional yang diperlukan
individu dalam mendukung diirinya sendiri dengan cara bertanggung
jawab dengan tingkah lakunya sendiri.
Adapun tujuan-tujuan lain dari terapi realitas adalah sebagai
berikut:
1) Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri dan
melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul
segala resiko yang ada.
3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4) Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran
sendiri.25
e. Peran dan fungsi terapis
Fungsi konselor realitas adalah sebagai guru pembimbing untuk
kliennya, dan sebagai role model yang baik. Terapis realitas harus
menekankan bahwa yang dicari dalam terapi ini bukanlah hanya
semata-mata kebahagiaan saja, tetapi juga mampu menerima tanggung jawab.
Oleh karena itu, terapis realitas diharapkan memberikan pujian saat klien
25
bertindak secara bertanggung jawab dan menunjukkan
ketidaksetujuannya saat klien bertindak tidak tanggung jawab.
Peran terapis realitas yang lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya menghadapi
kenyataan.
2) Memasang batas-batas terapeutik (berkaitan dengan terapi).
3) Terapis realitas harus aktif, mendidik, membimbing, mendorong dan
menantang klien untuk dapat bertanggung jawab pada tingkah
lakunya. Dan membuat klien dapat menilai tingkah lakunya secara
realistis.26
f. Teknik-teknik Terapi Realitas
Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan dan potensi klien
yang berhubungan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk
mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk
menciptakan identitas keberhasilan, terapi dapat menggunakan beberapa
teknik:
1) Melibatkan diri
2) Menggunakan humor
3) Mengonfrontasikan klien dan menolak dalil apapun
4) Membantu klien dalam merumuskan rencana yang spesifik bagi
tindakan
5) Bertindak sebagai model dan guru
26
6) Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
7) Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak
untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah laku yang tidak
realistis.27
g. Tahap-tahap Konseling
Proses konseling dalam pendekatan realitas berpedoman pada dua
unsur utama, yaitu pencintaan kondisi lingkungan yang kondusif dan
beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya
perubahan pada konseli.
1) Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli (Be Friend) Konselor mengawali pertemuan dengan otentik, hangat, dan
menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor
harus dapat melibatan diri kepada konseli dengan memperlihatkan
sikap hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor
dan konseli sangat penting, sebab konseli akan terbuka dan bersedia
menjalani proses konseling jika dia merasa bahwa konselornya
terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu,
penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling
berjalan efektif.
Menunjukkan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan
dengan perilaku Attending. Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa
27
dibuat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju ke depan dan
tidak bersandar), poros tubuh (agak condong dan diarahkan ke
konseli), melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku
nonverbal konseli, dan melakukan respons parafrase.
2) Fokus pada Perilaku Sekarang
Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka
konselor menanyakan kepada konseli apa yamg akan dilakukan
sekarang. Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli.
Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam
menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli
mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam
menghadapi kondisi tersebut.
Pada tahap ini konselor juga perlu mengatakan kepada konseli
apa yang dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari
konseli, dan bagaimana konselor melihat situasi tersebut, kemudian
membuat komitmen untuk konseling.
3) Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan
konseli; cara pandang dalam konseling realita, akar permasalahan
konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi
konseling realita, yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi
hal-hal apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian.
4) Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan
perilakunya itu disadari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya.
Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku
konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat
ini. Beri kesempatan pada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia
cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Pada tahap ini, respon-respon konselor di antaranya
menanyakan apakah yang dilakukan konseli dapat membantunya
keluar dari permasalahannya atau sebaliknya. Konselor menanyakan
kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya.
5) Merencanakan Tindakan yang Bertanggung Jawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya
tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan
dirinya., dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang
lebih bertanggung jawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik
dan kongkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar
6) Membuat Komitmen
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana
yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan.
7) Tindak Lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan
konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat
berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum
tercapai.28
Praktik atau metode terapi realitas dilihat sebagai dua strategi utama
tetapi saling berhubungan. Pertama, membangun adanya hubungan antara
konselor dan konseli yang saling percaya, dan yang kedua, prosedur-prosedur
yang menuntun menuju perubahan yang dirangkum oleh Robert Wubbolding
sebagai sistem WDEP. Sistem WDEP memberikan kerangka pertanyaan yang
duajukan secara luwes dan tidak dimaksudkan hanya sebagai rangkaian
langkah sederhana. Tapi huruf WDEP melambangkan sekelompok gagasan.29
Berikut adalah penjelasan tentang teknik WDEP yang terdapat dalam
terapi realitas :
Teknik WDEP yang merupakan akronim dari W =wants or needs; D =
doing and direction; E = evaluation or self-evaluation; dan P = planning.30
28
Gantina Komalasari, Eka Wahyuni, Karsih,Teori dan Teknik Konseling,(Jakarta: PT INDEKS Permata, 2011), hal. 243-252.
29
Stephen Palomer (Ed.), Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 533-534.
30
Nurul Rizqa Fauziah, Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik WDEP Untuk
1. Wants/ keinginan
Kegiatan untuk menjelajahi keinginan dan persepsi konseli.
Menolong konseli untuk merumuskan dan menemukan apa yang
diinginkan dan diharapkan konseli, termasuk yang diinginkannya dari
bidang khusus yang relevan seperti teman, pasangan, anak, pekerjaan,
karir, kehidupan spiritual dan lain-lain.31
2. Direction/ doing/ arahan
“Apa yang anda lakukan?” dan “Kearah mana perilaku anda
membawa anda?”. Di awal konseling pentinguntuk mendiskusikan dengan
konseli secara keseluruhan arah dari kehidupan mereka. Eksplorasi ini
adalah awal untuk evaluasi berikutnya apakah itu adalah arah yang
diinginkan. Konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan
konseli. Cara pandang dalam konseling realita, akar permasalahan konseli
bersumber pada perilakunya (doing),bukan pada perasaannya.32
3. Evaluation/ penilaian
Kegiatan membantu konseli untuk mengevaluasi diri. Konselor
menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk
menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli
untuk menilai perilakunya saat ini. Terapis realitas kemudian mengajukan
pertanyaan-pertanyaan seperti contohnya Apakah yang anda lakukan agar
31
Sofwan Adiputra, Teknik WDEP System Dalam Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Undeachiever,Jurnal Fokus Konseling STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung, Volume 2 No.1 (Januari, 2016), Hal. 36.
32
dapat membuat anda semakin dekat dengan orang-orang yang anda
butuhkan?, Apakah yang anda inginkan realistis atau dapat dicapai?, Apa
lagi yang dapat anda lakukan?.
Pertanyaan diatas dan masih banyak pertanyaan evaluasi diri
lainnya merupakan batu pertama sistem WDEP. Semua itu perlu
ditanyakan dengan empati, kepedulian, dan perhatian positif pada klien.33
4. Planning/ perencanaan
Kegiatan menolong konseli untuk membuat rencana tindakan.
Rencana menekankan tindakan yang akan diambil, bukan tingkah laku
yang akan dihapuskan. Rencana juga dikendalikan oleh konseli dan
terkadang dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis yang menyebutkan
alternatif-alternatif yang dapat dipertanggung jawabkan. Konseli
kemudian diminta untuk berkomitmen terhadap rencana tindakan
tersebut.34
Penggunaan teknik WDEP ini bertujuan untuk membantu konseli agar
memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya sendiri dan mampu
membuat pilihan yang lebih baik nantinya.
Melalui penggunaan teknik WDEP ini, konselor mengajak konseli
untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kontrol diri dengan
melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan mengeksplorasi dan menilai
33
Stephen Palomer (Ed.),Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 536.
34
perilaku-perilaku konseli khususnya perilaku yang kurang bertanggung jawab
yang mengakibatkan kontrol dirinya rendah terhadap perilaku menyimpang.
Setelah mengetahui dan menilai perilakunya, konseli bersama dengan
konselor membuat perencanaan untuk perilaku kedepannya yang lebih
bertanggung jawab, dimana didalamnya terdapat komitmen antara konselor
dengan konseli. Dengan adanya komitmen tersebut konseli dituntut untuk
bertanggung jawab terhadap rencana yang telah dibuatnya.35
2. Perilaku Agresif
a. Pengertian Perilaku Agresif
Jika dipandang dari definisi emosional, pengertian agresi adalah
hasil dari proses kemarahan yang memuncak. Sedangkan dari definisi
motivasional perbuatan agresif adalah perbuatan agresif adalah perbuatan
yang yang bertujuan untuk menyakiti orang lain.36
Agresif menurut Baron adalah tingkah laku yang dijalankan oleh
individu dengan tujuan melukai atau mencelakakan individu lain.37
Agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. Menurut
Berkowitz, agresi (aggresion) manusia yaitu siksaan yang diarahkan
secara sengaja dan berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain.38
Menurut Aronson agresi adalah tingkah laku yang dijalankan oleh
individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain
35
Ali Masrohan, Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik Wdep Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Rogojampi Banyuwangi, Jurnal mahasiswa Bimbingan dan Konseling UNESA Vol 4, No 3, (2014), Hal 4.
36
Willis Sofyan,Remaja dan Masalahnya, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 121.
37
E. Koeswara,Agresi Manusia, (Bandung: PT. Eresco, 1998), hal. 5.
38
dengan atau tanpa tujuan tertentu. Murray dan Fine mendefinisikan
agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal
terhadap individu lain atau terhadap objek- objek.39
Berbagai perumusan tentang pengertian perilaku agresif yang telah
dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku agresif adalah suatu bentuk tingkah laku pelampiasan dari
perasaan frustasi untuk mengatasi perlawanan dengan kuat atau
mengkuhum orang lain, yang ditujukan untuk melukai pihak lain secara
fisik maupun psikologis pada orang lain yang dapat dilakukan secara
verbal maupun non verbal.
Agresi secara verbal meliputi kekerasan yang dilakukan secara
fisik, seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, berkelahi,
dan lain sebagainya. Sedangkan agresi secara non verbal adalah
penggunaan kata-kata kasar tidak sopan, mengejek, menfitnah, dan
berkata- kata kotor.
b. Ciri-ciri Perilaku Agresif
Menurut Anantasari, pada dasarnya perilaku agresif pada manusia
adalah tindakan yang bersifat kekerasan, yang dilakukan oleh manusia
terhadap sesamanya. Dalam agresif terkandung maksud untuk
membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif juga dapat
disebut sikap bermusuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku agresif
diindikasikan antara lain oleh tindakan untuk menyakiti, merusak, baik
39
secara fisik, psikis maupun sosial. Sasaran orang yang berperilaku agresif
tidak hanya ditujukan kepada orang, tetapi juga kepada benda-benda
yang ada dihadapannya yang memberi peluang bagi dirinya untuk
merusak. Perilaku menyerang, memukul, mencubit, berkata kasar dan
kotor yang ditunjukan oleh anak dapat dikategorikan sebagai perilaku
agresif.
Lebih lanjut dikemukakan gejala-gejala perilaku agresif, yaitu
sebagai berikut:
1) Selalu membenarkan diri sendiri
2) Mau berkuasa dalam setiap situasi
3) Mau memiliki segalanya
4) Bersikap senang mengganggu orang lain
5) Menggertak, baik dengan ucapan atau perbuatan
6) Menunjukkan sikap pemusuhan secara terbuka
7) Menunjukkan sikap menyerang dan merusak
8) Keras kepala
9) Bersikap balas dendam
10) Memperkosa hak orang lain
11) Bertindak serampangan (impulsif)
12) Marah secara sadis.40
40
c. Jenis-jenis Perilaku Agresif
Para ahli psikologi membedakan perilaku agresif merupakan
batasannya sendiri-sendiri. Menurut Bartol, jenis agresif digolongkan
menjadi dua, yaitu agresif permusuhan dan agresif instrumental:
1) Agresif permusuhan (Hostile aggression), semata-mata dilakukan
dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan
kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi.
2) Agresif instrumental (instrumental aggression) yang pada umumnya
tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk
mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresif
instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan
terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk
membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang.41
d. Penyebab Perilaku Agresif
Sylvia Rimm menyebutkan beberapa penyebab munculnya
perilaku agresif.42Antara lain:
1) Korban kekerasan
Sebagian anak-anak yang terlalu agresig pernah menjadi
korban perilaku agresif. Orang tua, saudara, teman, atau pengasuh
yang melakukan tindakan kekerasan bisa membuat anak meniru
perbuatan tersebut. Anak yang menjadi korban kemudian menjadikan
anak lain sebagai korbannya.
41
Robert A. Baron dan Donn Byrne,Psikologi Social Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 169.
42
2) Terlalu dimanjakan
Anak yang terlalu dimanjakan juga bisa menjadi agresif baik
secara verbal maupun fisik terhadap anak lain karena mereka
berkuasa dan tidak mau berbagi atau tidak bisa menerima jika
keinginannya tidak segera terpenuhi. Mereka bahkan bisa berbuat
kasar terhadap orang tua dan saudaranya.
3) Televisi dan video game
Perilaku agresif yang dicintihkan ditelevisi dapat mendorong
anak menjadi agresif pula. Kadang-kadang acara anak-anak
mengandung tindak kekerasa seperti acara orang dewasa. Bahkan
film kartun pun memberi contoh perilaku agresif. Video game juga
sering kali mengajarkan kekerasan dan tidak sesuai untuk anak.
4) Sabotase antar orang tua
Sumber perilaku agresif yang juga penting adalah sikap orang
tua yang tidak merupakan satu tim. Jika salah satu oran tua memihak
kepada anak yang menentang orang tua lainnya, ini akan
membangkitkan sikap manipulative dan agresif pada anak karena
menjadi lebih berkuasa dari orang tua yang ditentangnya itu. Mereka
pun belajar untuk tidak menghargai orang tua karena orang tua yang
5) Kemarahan
Perilaku agresif bisa timbul akibat kemarahan dari dalam diri
anak yang muncul karena ada sesuatu yang tidak beres dan tidak
dapat dipahami oleh si anak itu sendiri. Misalnya anak adopsi, sikap
traumatis dan lain sebagainya.
6) Penyakit dan alergi
Ketegangan dan rasa frustasi yang timbul akibat penyakit,
alergi atau kelemahan yang tidak disadari orang tua bisa membuat
anak bersikap agresif. Alergi terhadap makanan utama seperti susu
gandum bisa menjadi penyebabnya. Kelemahan pendengaaran,
pandangan atau intelektual yang tidak dapat diungkapkan anak
kepada orang tua juga bisa menimbulkan kemarahan atau perilaku
agresif.
7) Frustasi
Frustasi adalah situasi dimana individu terhampar atau gagal
daam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya atau
mengalami hambatan untuk bebas dalam rangka mencapai tujuan.
Frustasi merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan
frustasi dapat menyebabkan agresi sebagian besar karena adanya
fakta tersebut. Dengan kata lain, frustasi kadang-kadang
menghasilkan agresi karena adanya hubungan mendasar antara efek
negatif (perasaan tidak menyenangkan). Misalnya, jika seorang
yang besar kemudian menerima jumlah yang jauh lebih dari sedikit
tanpa penjelasan mengapa ini terjadi, ia menyimpulkan bahwa ia
diperlakukan dengan sangat tidak adil bahwa hak-haknya yang sah
telah diabaikan. Hasilnya, ia dapat memiliki pikiran-pikiran yang
hostile, mengalami kemarahan yang intens, dan mencari cara untuk
membalas dendam terhadap sumber yang dipersepsikan sebagai
penyebab frustasi tersebut (bos atau perusahaan).43
3. Perceraian
a. Pengertian Perceraian
Kata Cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pisah, putus hubungan sebagai suami istri, talak. Kemudian kata perceraian
adalah perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan.
Adapun kata bercerai berarti tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti dalam hubungan (suami istri).44
Perkataan talak dalam istilah figih mempunyai dua arti, yaitu ari
umum dan khusus. Talak menurut arti umum ialah segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, atau yang ditetapkan oleh
hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian
karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam
arti khusus ialah percerian yang dijatuhkan oleh pihak suami.45
43
Robert A. Baron dan Donn Byrne,Psikologi Social Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 144.
44
Tim penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal. 185.
45
Istilah Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami
dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah
tangga) antara suami istri tersebut, terdapat dalam pasal 38
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Bahwa talak (talak, atau Perceraian) hukumnya mubah
(dibolehkan). Meskipun demikian, prceraian adalah hal yang paling
dibenci oleh Allah SWT. Selain itu, perceraian dianggap mubah selama
tidak disertai dengan gangguan yang bertumpuh atas kebatinan. Padahal
jika seorang suami menceraikan isterinya, maka dengan itu telah
menimpakan gangguan padanya. Sedangkan gangguan yang terhadap
orang lain tidak dibenarkan kecuali dengan adanya tidak kejahatan dari
orang itu atau keterpaksaaan yang diakibatkan olehnya, Allah SWT
Berfirman: (QS. Al-Nisa 34).
b. Alasan-alasan Perceraian
Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana
ditentukan dalam pasal 19 PP No.09 Tahun 1975, yaitu:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya.
3) Dalam satu pihak mendapat hukuman penjarah 5 tahun atau
4) Salah pihak melakukan kekejaman penganiyayan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebai suami atau isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
7) Suami melanggar talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.46
Dalam penelitian ini kasus perceraian yang dialami oleh orang tua
konseli (wawan) terjadi karena kurang adanya keharmonisan dalam
keluarga atau mungkin permasalahan yang terus-menerus tiada akhir.
Perceraian terjadi bukan karena talak melainkan ibu dari konseli sendiri
yang meminta untuk diceraikan, karena ibu konseli (wawan) pergi dan
menghilang begitu saja. Ibu meninggalkan mereka (suami dan anak)
tanpa alasan yang pasti dan sampai sekarang belum ada kabar tentang ibu
konseli.
B. Penelitian terdahulu yang relevan
1. Penerapan Konseling Realitas Melalui Prosedur WDEP Untuk Mengatasi
Rendahnya Penerimaan Diri Fisik Pada Siswa Kelas X SMAN 1 Mejobo
Kudus.
46
Oleh : Wiewiek Ardy Wijayanti
Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya
Tahun : 2015
Perbedaan dan Persamaan
Jadi Perbedaan yang terdapat dalam penelitian dari saudari Wiewiek ini
adalah ia meneliti tentang cara mengatasi rendahnya penerimaan diri fisik
siswa, bukan tentang perilaku agresif pada seorang remaja serta jenis
penelitiannya adalah menggunakan metode penelitian kuantitatif. Namun
letak persamaan yang ada dalam penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan
konseling realitas dengan menggunakan teknik WDEP.
2. Terapi realitas untuk membantu penyesuaian diri santri madrasah diniyah
Miftahul Ulum 1 Sumberdawesari Grati Pasuruan.
Oleh : Nikmatul Khabibah
Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya
Tahun : 2017
Perbedaan dan Persamaan
Jadi Perbedaan yang terdapat dalam penelitian saudari Nikmatul Khabibah ini
adalah ia meneliti tentang penyesuaian diri santri madrasah diniyah, bukan
tentang perilaku agresif pada seorang remaja. Letak persamaan yang ada
dalam penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan konseling realitas dengan
3. Bimbingan konseling islam dengan teknik modelling melalui sikap peduli
dalam menangani perilaku agresif anak di desa ketengan tanggulangin
sidoarjo.
Oleh : Yuli Agustin
Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya
Tahun : 2015
Perbedaan dan Persamaan
Jadi perbedaan dalam penelitian saudari yuli agustin adalah terletak pada
pendekatan dan teknik yang digunakan, sedangkan kami disini memakai
pendekatan realitas dengan teknik WDEP. Letak Persamaan yang ada pada
penelitian kami ini adalah sama-sama mengatasi tentang perilaku agresif.
4. Pola asuh yang salah dalam menciptakan agresivitas anak dan penanganannya
melalui konseling keluarga.
Oleh : Noor Dewi Marwanty
Jurusan : BKI/ Fakultas Dakwah / UIN Sunan Ampel Surabaya
Tahun : 2016
Perbedaan dan Persamaan
Jadi perbedaan dalam penelitian saudari noor dewi marwanty adalah terletak
pada pendekatan dan teknik yang digunakan, karena ia menggunakan
pendekatan konseling keluarga dan sedangkan kami disini memakai
pendekatan konseling realitas dengan teknik WDEP. Letak Persamaan yang
ada pada penelitian kami ini adalah sama-sama mengatasi tentang perilaku
BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Deskripsi Umum Objek Penelitian
1. Deskripsi lokasi penelitian
a. Desa Sukosewu
1) Letak Geografis Desa Sukosewu
Penelitian ini dilakukan konselor di suatu desa. Sukosewu
adalah desa yang berada di Kecamatan Sukosewu. Desa sukosewu
merupakan daerah yang berada dilokasi Kabupaten Bojonegoro. Desa
sukosewu dihuni ± 3346 penduduk (laki-laki berjumlah 1594, dan
perempuan 1752). Luas wilayah Desa sukosewu 275x346. Desa
sukosewu berbatasan dengan beberapa Desa, diantaranya yaitu:
a) Sebelah utara dibatasi oleh Desa Sidodadi
b) Sebelah selatan dibatasi oleh Desa Kalicilik
c) Sebelah barat dibatasi oleh Desa Sumberjo Kidul
d) Sebelah timur dibatasi oleh Desa Klepek
Jarak dari pusat pemerintahan adalah sebagai berikut:
a) Jarak dari pemerintahan Kecamatan: 1 Km.
2) Kondisi Sosial Ekonomi desa sukosewu
Sosial ekonomi merupakan keberlangsungan masyarakat yang
mendapatkan penghasilan ataupun pengeluaran, keuntungan ataupun
kerugian yang dirasakan oleh masyarakat desa Sukosewu. Sehingga
kondisi sosial ekonomi dapat dilihat melalui mata pencahariannya
yakni sebagai berikut:
Tabel 3.1
Mata Pencaharian Masyarakat desa sukosewu
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Orang
1 Karyawan 150 Orang
2 Wiraswasta 50 Orang
3 Tani 1.250 Orang
4 Pertukangan 73 Orang
5 Buruh tani 475 Orang
6 Pensiun 17 Orang
7 Pemulung 7 Orang
Sumber: monografi Desa Sukosewu47
Dengan demikian, profesi terbanyak di desa sukosewu adalah
petani, yakni berkisar 1.250 orang. Sedangkan profesi yang lainnya
500 orang kebawah.
47