• Tidak ada hasil yang ditemukan

KLEPTOMANIA DALAM KAJIAN FIQH JINAYAH DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KLEPTOMANIA DALAM KAJIAN FIQH JINAYAH DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

KLEPTOMANIA DALAM KAJIAN FIQH JINAYAH DAN HUKUM

PIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

Oleh Krisdianti NIM. C03211042

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari'ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Siyasah Jinayah

Surabaya

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian yang berjudul “Kleptomania dalam Kajian Fiqh Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia” Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan : Bagaimana konsep tindak pidana pengidap kleptomania dalam kajian hukum pidana Islam (fiqh jinayah) serta konsep tindak pidana pengidap kleptomania dalam kajian hukum pidana di Indonesia (KUHP).

Sehubungan dengan hal itu, jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat kepustakaan (Library research). Dan metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dengan menggunakan pendekatan normativ dan yuridis. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder.

Tindak pencurian yang dilakukan oleh pengidap kleptomania merupakan suatu perkara yang belum jelas ketentuan hukumnya. Apakah dikenai hukuman pidana pencurian atau tidak, oleh karena itu kleptomania belum dikenal istilah hukum. Disatu sisi kleptomania merupakan suatu kelainan jiwa yang menyebabkan pengidapnya menderita dan merasa tidak bahagia tetapi di sisi lain merupakan gangguan perilaku yang tindakannya mengganggu ketentraman individu/masyarakat dan perlu penanganan yang serius (khusus).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Kleptomania dikategorikan sebagai sakit jiwa atau yang dipersamakan dengan gila (psychis) dalam pandangan hukum, baik menurut fiqh jinayah dan hukum pidana di Indonesia (KUHP). Pembebasan hukuman pidana pencurian bagi penderita kleptomania lebih menitik beratkan pada aspek kejiwaan. Pembebasan hukuman pidana pencurian tersebut, apabila dapat dibuktikan di muka sidang bahwa pelaku pencurian benar-benar menderita kleptomania. Dalam fiqh jinayah, hapusnya hukuman pidana tidak berarti menghapuskan hukuman perdata, karena Islam tidak mengesampingkan kepentingan masyarakat dan suka akan ketentraman serta kedamaian. Oleh sebab itu dikenakan pembebanan materi (ganti rugi).

(5)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... iv

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TRANSLITERASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 14

C. Rumusan Masalah ... 14

D. Kajian Pustaka... 15

E. Tujuan penelitian ... 16

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 17

H. Metode Penelitian... 18

(6)

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM (Fiqh Jinayah) DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Definisi Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam .... 26

1. Definisi Tindak Pidana ... 26

2. Definisi Pencurian ... 26

3. Dasar hukum Tindak Pidana Pencurian ... 27

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian ... 28

5. Macam-macam Tindak Pidana Pencurian ... 28

6. Pertanggungjawaban dan Sanksi Tindak Pidana Pencurian ... 28

B. Definisi Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Pidana di Indonesia ... 29

1. Definisi Tindak Pidana ... 29

2. Definisi Pencurian ... 33

3. Dasar Hukum Tindak Pidana Pencurian ... 40

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian ... 42

5. Macam-macam Tindak Pidana Pencurian ... 46

6. Pertanggungjawaban dan Sanksi Tindak Pidana Pencurian ... 56

BAB III KLEPTOMANIA DAN BERBAGAI ASPEKNYA ... 59

A. Pengertian, Ciri-ciri, Jenis dan Gejala Kleptomania ... 59

B. Tingkatan Kleptomania ... 59

C. Perilaku Pengidap Kleptomania dan Faktor yang mempengaruhi... 59

D. Sebab-sebab timbulnya dan cara penanggulangannya ... 59

E. Perbedaan antara Pengidap Kleptomania dengan Mencuri Biasa ... 59

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA TERHADAP KLEPTOMANIA A. Analisis Hukum Pidana Islam (fiqh jinayah) Terhadap konsep tindak pidana pengidap Kleptomania ... 91

(7)

xiii

BAB V PENUTUP ... 96

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perjalanan hidup manusia tidak semuanya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, karena memang lebih digariskan oleh Allah SWT, manusia memiliki kemampuan yang terbatas sebagaimana Firman Allah SWT surat An-Nisa’ : 28

Artinya: “ Allah hendak memberikan keringanan kepadamu karena

manusia diciptakan bersifat lemah ”.1

Dari ayat tersebut dapat diketahui tentang hakikat manusia. Bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam hal kemampuan. Kemampuan manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Suatu hal yang lazim bahwa setiap manusia tentu mendambakan kebahagiaan, ketentraman dan kesehatan dalam hidupnya, serta terbebas dari segala macam gangguan fisik maupun psikologis, sehingga bisa mengembangkan diri secara optimal serta dapat menjalankan berbagai fungsi dan perannya sebagai makhluk individu dan sosial. Namun seiring dengan dinamikan perubahan yang begitu komplek ditengah kehidupan

      

1 Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya. (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), 107.

(9)

2  

modern yang keras dan serba berubah dengan cepat ini, manusia menjadi semakin rentan terhadap berbagai gangguan mental salah satunya adalah kleptomania. 2

Kleptomania adalah penyakit jiwa yang penderitanya tidak bisa menahan dirinya untuk mencuri atau mengambil barang tertentu. 3 Kleptomania merupakan suatu gangguan psychis (gangguan kejiwaan) yang disebabkan oleh pengalaman dan perilaku masa kecil yang mendalam dan banyak faktor yang membuat kebiasaan itu semakin berkembang. Ganggaun kejiwaan semacam ini bukan karena khayalan atau halusinasi, sehingga pengidap kleptomania juga bisa didiagnosa dan diobservasi dari kebiasaan dan kelakuan yang mereka lakukan ketika melihat barang atau sesuatu yang dimiliki orang. Mereka melakukan pencurian kecil-kecilan bukan karena cemburu atau benci terhadap orang yang mempunyai barang tertentu tetapi hanya karena ada dorongan dari otaknya untuk melakukan pengambilan barang itu yang menjadi semacam tantangan untuk membuktikan pada dirinya bahwa dia bisa melakukan itu tanpa diketahui oleh orang yang punya.4

Kata kleptomania dikalangan masyarakat kita belum diketahui secara umum dan dalam bahasa sehari-hari pun belum dipahami arti sesungguhnya sesuai dengan pengertian intelektual secara medis. Oleh karena itu kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya bila misalnya ada       

2

A. Supratikna, mengenal perilaku Abnormal. (Yogyakarta, Kasinius , 1995), 107 

3

Mustafa, Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. (Jakarta : Bulan Bintang , 1977), 98. 

4

(10)

3  

kejadian-kejadian yang sangat sadis dan berlebihan dalam menangani masalah pencurian yang sangat sepele di lingkungan tempat tinggal, ditoko-toko atau di jalan tanpa diketahui dulu historikal pencurinya.

Dari pengertian diatas kleptomania ini apakah berkaitan erat dengan tindak pidana pencurian. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pencurian diatur dalam pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “ Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk

dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak

Sembilan ratus rupiah.”5

Dalam pasal tersebut tidak dikatakan bahwa maksut dari pencurian itu adalah untuk memperkaya diri, akan tetapi sekedar untuk memiliki barang yang bukan miliknya. Selain itu, tujuan pencurian tidak selalu untuk memperkaya diri dapat dilihat juga dari pengertian mengenai “ barang ”6. maksut barang adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang. Dalam pengertian “barang” masuk pula “daya listrik” dan “ gas”, meskipun tidak terwujud, akan tetapi dialirkan dikawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Oleh karena itu, mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.

      

5

KUHP & KUHAP. ( Surabaya : Graha media Press, 2012 ), 102. 

6

(11)

4  

Melihat ketentuan dalam pasal 362 KUHP, maka seorang kleptomania yang mengambil barang milik orang lain apakah dapat dipidana berdasarkan pasal 362 KUHP. Dari permasalahan tersebut masi ragu atas ketentuan kleptomania apakah termasuk tindak pidana kleptomania, karena pasal-pasal dalam KUHP ternyata dirasa belum cukup meliputi semua jenis tindak pidana.

Seiring dengan munculnya masalah kleptomania tentu hal ini tidak hanya menjadi problematika dan tantangan besar bagi para dokter serta psikiater dalam ilmu kesehatan dan kejiwaan untuk mengupayakan penyembuhan ataupun pemulihan terhadap penderitanya saja, akan tetapi juga menjadi problematika kriminal dan hukum Islam atas tindakan pencurian yang dilakukan oleh pengidap kleptomania, dimana hukum Islam yang diformulasikan sebagai sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum Muslim atas segala aspek baik yang bersifat individu maupun kolektif dituntut untuk peka terhadap perubahan sosial masyarakat yang melingkupinya serta solutif terhadap problematika hukum yang muncul dimasyarakat.7

Dalam hukum pidana Islam atau lebih dikenal dengan fiqih jinayah pencurian didefinisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam untuk dimiliki serta tidak adanya paksaan. pencurian adalah mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanan

      

7

(12)

5  

secara sembunyi-sembunyi dan tertutu 8 Selanjutya pencurian digolongkan sebagai tindak pidana (jarimah) yang dikenai sanksi had berupa hukuman potong tangan berdasarkan atas ketetapan dalam Al-Qur’an, as-sunnah dan

ijma’ al-ummah.9

Ketentuan diatas diterapkan dalam hukum Islam dalam rangka menjunjung tinggi aspek keadilan dan meminimalisir segala bentuk kesewenang-wenangan dimana keadilan menurut tujuan tertinggi dari penerapan hukum. Hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum yang berciri Islam.10 Karena substansi dari sistem Hukum Islam adalah menegakkan keadilan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang ada, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-nya yang menyatakan :

Artinya: “ dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia

hendaknya kamu menetapkannya dengan adil ”.11

Berangkat dari semangat keadilan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap nilai-nilai moralitas, kini yang menjadi problematika adalah bagaimanakah menentukan hukum tindak pidana karena kleptomania ini bukanlah perkara yang mudah atau diremehkan, serta sumber hukum bagi tindak pidana pencurian sifatnya masih menimbulkan ketidak pastian hukum khususnya menyangkut kleptomania.

      

8

Wahbah, Az-Zuhairi, Al Fiqh al-Islam Waadillatuh, jilid 7 cet. VII (Dimsik : Dar al Fikr, 2006), 54. 

9

Soleh, Hasan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), 449. 

10

Fathurrahman, Djamil, Filsafat Hukum Islam. Cet I (Yogyakarta ; Logung, 1997), 73. 

11

(13)

6  

Dalam as-Sunnah yang salah satu fungsinya sebagai penjelas al-Qur’an juga tidak mengakomodir masalah ini hingga untuk menyelesaikan masalah ini kita perlu merujuk pada pemikiran dan metode istimbat hukum.

Daud berkata, “Tangan keduanya (budak dan ayah) dipotong. Jika budak mencuri kekayaan tuannya, tangannya tidak dipotong. Jika seorang ayah mencuri kekayaan anaknya, tangannya tidak dipotong. Hukuman potong tangan ini berlaku bagi pencuri laki-laki dan pencuri wanita, orang merdeka dan budak, orang Muslim dan orang kafir. Jika anak kecil mencuri, tangannya tidak dipotong. Jika orang yang tidak sadarkan diri mencuri, ia tidak dapat dipotong tangannya.12

Orang yang tidak sadarkan diri atau kurang waras (orang gila), baik laki-laki maupun perempuan pasti sudah akil baligh atau mukallaf, sehingga wajib ditegakkan hukuman hudud bila yang bersangkutan melanggar hudud Allah. Dengan kata lain, bila usianya masih di bawah 15 tahun, meskipun sudah baligh tidak boleh dikenakan hukuman hudud jika yang bersangkutan melanggar hudud Allah. Melainkan cukup dita’zir sesuai dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, di dalam syari’at Islam tidak dikenal istilah penjara mereka cukup dikenai sanksi (ta’zir) yang dilakukan di depan publik kemudian dikembalikan kepada keluarganya atau walinya.13

      

12

Imam al-Mawardi, Al-ahkam as-sulthaniyyah ‘hukum-hukum penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam‘, Cet : 4 ( Jakarta : Darul Falah, 2012 ), 375. 

13

(14)

7  

“dari Ibnu Abi Mulaikah katanya : “sesungguhnya kepada Abdullah bin Azzubair didatangkan seorang anak muda yang mencuri,

lalu diperintahkan supaya anak itu diukur dengan jengkal tingginya, maka

jika anak itu telah mencapai 6 jengkal potonglah tangannya. Dan telah

diceritakan kepada pula, bahwa umar telah mengirim surat tentang anak

muda yang mencuri dari penduduk irak, kata Umar supaya anak itu diukur

dengan 6 jengkal maka potonglah tangannya. Maka anak itu segera

diukur dengan jengkal dan ternyata dia ada 6 jengkal kurang satu jari

kelingking, maka anak muda itu tidak dipotong tangannya dan dilepaskan.

”(HR. AL-Baihaqi dalam Syu’abil Iman, Musaddad, dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath).14

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian mengenai kleptomania, baik ditinjau dari fiqh jinayah maupun hukum pidana di Indonesia, untuk dijadikan sebuah kajian dalam skripsi. Untuk itu agar dapat komprehensip pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis membuat judul kajian : Kleptomania dalam kajian Fiqh

Jinayah dan Hukum pidana di Indonesia ”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas maka penulis mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan yang timbul, sebagai berikut:

      

14

(15)

8  

1. Perilaku dan sebab-akibat pengidap kleptomania dalam melakukan perbuatan tindak pidana.

2. Kajian hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah) terhadap konsep tindak pidana pengidap kleptomania.

3. Pertanggungjawaban tindak pidana pengidap kleptomania dan implementasi dalam penanganan pelaksanaan terhadap tindak pidana kleptomania.

4. Deskripsi kleptomania serta dalam jangkauan medis (infeksi, toksik, fisiologik, dan metabolik).

5. Konsep tindak pidana pengidap Kleptomania dalam kajian kitab Undang-Undang hukum Pidana ( KUHP ).

Batasan Masalah

Mengingat permasalahan diatas masih bersifat umum, maka untuk mengetahui lebih jelas arah pembahasan skripsi ini memerlukan adanya pembatasan masalah:

1. Konsep tindak pidana pengidap kleptomania dalam kajian hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah)

(16)

9  

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, agar lebih praktis dan opeasional, maka penulis mengambil beberapa rumusan masalah yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana Konsep Tindak Pidana Pengidap Kleptomania dalam kajian Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) ?

2. Bagaimana Konsep Tindak Pidana Pengidap Kleptomania dalam kajian Hukum Pidana di Indonesia?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas mengenai kajian atau penelitian yang sudah dilakukan seputar masalah yang diteliti, sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang sudah ada.

Dalam kajian pustaka ini, sejauh penulis ketahui, skripsi di Fakultas Syari’ah belum ada yang membahas tentang: Kleptomania dalam kajian Fiqh

Jinayah dan Hukum pidana di Indonesia. Namun, skripsi yang penulis bahas

ini sangat berbeda dari skripsi-skripsi yang ada. Hal ini dapat dilihat dari judul-judul skripsi yang ada, walaupun mempunyai kesamaan tema, tetapi berbeda dari titik fokus pembahasannya.

(17)

10  

1. Skripsi dengan judul “ implementasi Terapi Rasional Memotif behavior dalam menangani kasus siswa kleptomania pada siswa di smp Islam

al-Jaziel pademawu pamekasan ” Tahun 2013, yang ditulis oleh Nofijantie,

Lilik-Subaidi, Mohammad Anis, Nim : D03207027 jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel. Dalam karyanya yang dimuat ini menjelaskan tentang pelaksanaan terapi rasional emotif behavior dalam menangani kasus siswa kleptomania pada siswa di Smp Islam Al-Jaziel pademawu pamekasan15

2. Skripsi dengan judul “ bimbingan dan konseling dengan terapi tingkah laku dalam mengatasi kleptomania di desa keputih kec. Sukolilo Surabaya

: studi kasus pada anak gadis yang mempunyai kebiasaan mencuri ”

Tahun 2003, yang ditulis oleh Siti Aisyah, jurusan BKI, Dakwah. Dalam karyanya yang dimuat dijelaskan tentang terapi tingkah laku dalam mengatasi seorang gadis yang mempunyai kebiasaan mencuri (kleptomania)16

3. Skripsi dengan judul “ bimbingan konseling agama dengan terapi behavioral dalam mengatasi kleptomania pada seorang remaja putri kel.

Sutorejo kec. Mulyorejo Surabaya ” Tahun 2004, yang ditulis oleh

Waryono, jurusan BKI, dakwah. Dalam karyanya yang dimuat dijelaskan

      

15

Mohammad Anis, implementasi Terapi Rasional Memotif behavior dalam menangani kasus siswa kleptomania pada siswa di smp Islam al-Jaziel pademawu pamekasan, (Surabaya : Skripsi UIN Sunan Ampel, 2013). 

16

(18)

11  

tentang terapi tingkah laku dalam mengatasi seorang remaja pengidap kleptomania di kel, sutorejo kec, Mulyorejo surabaya.17

Adapun penelitian dalam skripsi ini, menitik fokuskan terhadap kleptomania dalam kajian fiqh jinayah dan hukum pidana di Indonesia.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas sebagai berikut :

1. Untuk memahami konsep tindak pidana pengidap kleptomania dalam kajian Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah).

2. Untuk memahami konsep tindak pidana pengidap kleptomania dalam kajian Hukum pidana di Indonesia.

F. Kegunaa Hasil Penelitian

Kegunaan hasil penelitian ini diharapakan dapat memberi menfaat yang berguna dalam dua aspek berikut :

1. Teoritis

Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan, khususnya dalam kleptomania dalam kajian fiqh jinayah dan hukum pidana di Indonesia. Dan penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi pemerhati hukum Islam.

      

17

(19)

12  

2. Praktis

Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang kajian fiqh jinayah dan hukum pidana di Indonesia terhadap kleptomania, selain itu juga sebagai pedoman dan masukan baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam mengatasi tindak pidana kleptomania.

G. Definisi Operasioanl

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini, dan untuk berbagai pemahaman interpretatif yang bermacam-macam, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

(20)

13  

dirinya bahwa dia bisa melakukan itu tanpa diketahui oleh orang yang punya.

2. Hukum Pidana adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.

3. Hukum Pidana Islam ( Fiqh Jinayah ) adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil yang terperinci. Dalam hal ini membahas tentang tindak pidana dalam konteks hukum pidana islam.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah tuntunan tentang bagaimana secara berurut penelitian dilakukan, menggunakan alat dan bahan apa, prosedurnya bagaimana dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan sistematis.18

1. Data yang dikumpulkan

a. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (library

research) yaitu penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku.

      

18

(21)

14  

Maksudnya, data-data di cari dan ditemukan melalui kajian-kajian pustaka dari buku-buku yang relevan.

b. Obyek Penelitian

Yang menjadi obyek penelitian disini adalah kleptomania dalam kajian fiqh jinayah dan hukum pidana di Indonesia.

c. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif-kualitatif, dengan cara mendeskripsikan data yang telah diperoleh kemudian menganalisa masalah kleptomania dalam kajian fiqh jinayah dan hukum pidana di Indonesia, untuk kemudian menarik kesimpulan yang relevan.

d. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif, dan yuridis. Pendekatan ini dipergunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah analisa terhadap perilaku kleptomania, peraturan perundang-undangan pidana pada umumnya dan juga hukum pidana Islam yang dikenal sebagai Fiqh Jinayah.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan seumber data, harus diketahui dari mana sumber datanya. Sedangkan pengertian sumber data itu sendiri adalah subyek dimana data itu diperoleh.19 Oleh sebab itu, sumber data yang menjadi obyek ini adalah :

      

19

(22)

15  

a. Sumber data primer, yaitu merupakan sumber data utama dalam penelitian ini yang diperoleh oleh peneliti dari sumbernya secara langsung. Adapun yang dimaksut dengan data primer yaitu :

meliputi buku-buku tentang kleptomania, penelitian-penelitian tentang obyek yang sama, Al-Qur’an, kitab-kitab Hadist, kitab-kitab Fiqh, KUHP, KUHAP, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

b. Sumber data sekunder, yaitu merupakan data pendukung yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penulisan penelitian ini. Adapun data sekunder yang dimaksud yaitu :

1. Saleh, Hassan. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.

2. V. Mark Durand David H. Barlow . Intisari Psikologi Abnormal . Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2007.

3. Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, jilid II, Jakarta : Bulan Bintang, 1977.

4. Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung : Mandar Maju, 1989.

5. Djazuli, Fiqh Jinayat (Mananggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000.

(23)

16  

7. Fauzan Al-Anshari, Abdurahman Madjrie, Hukuman Bagi

Pencuri, Jakarta : Kairul Bayan.

8. Sumber rujukan lain seperti makalah, jurnal, Koran, dan dari literatur yang terkait dengan pembahasan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang peneliti butuhkan dalam penulisan penelitian ini, maka peneliti menggunakan beberapa tekhnik pengumpulan data agar dapat memperoleh data yang akurat dan sesuai dengan kajian penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

Dokumentasi, Karena kategori penelitian ini adalah literature, maka teknik pengumpulan datanya diselaraskan dengan sifat penelitian. Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah dokumentasi. Studi dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen - dokumen yang ada baik berupa buku, artikel, Koran dan lainnya sebagai data penelitian yang cenderung bersifat sekunder yang berkaitan erat dengan tema pembahas.20 Dokumen ini digunakan untuk melengkapi yang berkaitan dengan kleptomania dalam kajian Fiqh jinayah dan hukum pidana di Indonesia.

      

20

(24)

17  

4. Teknik Pengelolaan Data

Untuk memudahkan analisis, data yang sudah diperoleh perlu diolah, adapun teknik yang digunakan dalam pengelolahan data antara lain21 :

1. Editing, yaitu : memeriksa kelengkapan data-data yang sudah

diperoleh. Data-data yang sudah diperoleh diperiksa dan dieedit apabila tidak terdapat kesesuaian atau relevansi dengan kajian penelitian.

2. Organizing, yaitu : menyusun dan mensistematiskan data-data

yang telah diperoleh tentang kleptomania dalam kajian Fiqh Jinayah dan hukum pidana di Indonesia.

3. Analyzing, yaitu memberikan analisis dari data-data yang telah

dideskripsikan dan menarik kesimpulan secara komparasi.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan teknik analisis data yang secara nyata digunakan dalam penelitian beserta alasan penggunannya. Masing-masing teknik analisis data diuraikan pengertiannya dan dijelaskan penggunannya untuk menganalisis data yang mana. 22

Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik deskriptif, yaitu suatu teknik dipergunakan dengan jalan memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan menyusun fakta-fakta sedemikian       

21

Ibid., 235. 

22

(25)

18  

rupa sehingga membentuk konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan mudah.23

Metode yang digunakan dalam mengkaji data dalam skripsi ini menggunakan metode deduktif,24 yaitu data-data yang diperoleh secara umum yang kemudian dianalisis untuk disimpulkan secara khusus yakni terkait gambaran umum kleptomania dalam kajian Fiqh Jinayah dan hukum pidana di Indonesia.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah peneleliti dalam menyusun penulisan penelitian ini secara sistematis, dan mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian ini, maka peneliti mensistematisasikan penulisan penelitian ini menjadi beberapa bab, sebagai berikut:

Bab pertama ini berisi tentang pendahuluan. Dalam bab ini, peneliti mengkaji secara umum mengenai seluruh isi penelitian, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua peneliti menjelaskan mengenai kajian teoritis tentang tindak pidana pencurian menurut hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah), dan Hukum pidana di Indonesia. Yang meliputi definisi tindak pidana, definisi pencurian, dasar hukum tindak pidana pencurian, unsur-unsur tindak pidana       

23

Consuelo G. Sevilla, Pengantar Metode Penelitian. (Jakarta : UI Press, 1993), 71. 

24

(26)

19  

pencurian, macam-macam tindak pidana pencurian, pertanggungjawaban dan sanksi tindak pidana pencurian.

Bab ketiga membahas kleptomania dan berbagai aspeknya, meliputi pengertian, ciri-ciri, jenis dan gejala kleptomania, Tingkatan kleptomania, Perilaku pengidap kleptomania & faktor Yang mempengaruhi, Sebab-sebab timbulnya & cara penanggulangannya, Perbedaan antara pengidap kleptomania dengan mencuri biasa.

Bab keempat peneliti menyajikan analisis terhadap hasil penelitian konsep tindak pidana pengidap Kleptomania dalam kajian hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah) dan Hukum pidana di Indonesia. Penyajian hasil peneliti ini bertujuan untuk menambah khazanah keilmuan.

(27)

20   

BAB II

TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT HUKUM

PIDANA ISLAM (

Fiqh Jinayah

) DAN HUKUM PIDANA DI

INDONESIA

A. Definisi Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Islam

1. Definisi Tindak Pidana

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata Fikih jinayah. Fikih jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadist. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Hadist. Hukum pidana Islam merupakan Syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.1

Dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana, yaitu jinayah dan jarimah. Dapat dikatakan bahwa kata jinayah yang digunakan para fuqaha’ adalah sama dengan yang diartikan istilah jarimah. Definisi jinayah didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist antara lain dipaparkan di bawah ini:

      

1

(28)

21   

a. Abdul Qodir’ Audah memberikan definisi jinayah sebagai berikut : Pengertian jinayah secara bahasa adalah :

ا

ﱢﺮ

ءﺮ ا

ا

ﺎ و

آ

.

“Nama bagi hasil perbuatan bagi seseorang yang buruk dan apa yang di usahakan”.

Pengertian jinayah secara istilah adalah :

ﺔ ﺎ ﺎ

إ

ﱠﺮ

م

,

ءا

و

ا

ا

و

لﺎ

ا

و

ذ

.

“jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.”2

b. Sedangkan Imam Mawardi mengatakan istilah jarimah adalah :

م

ءاﺮ ا

را

ت

ﱠﺔ

ز

ﷲا

ا

و

.

Segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan yang diancam dengan hukuman

had atau ta’zir).3

Larangan-larangan itu adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintah. Dengan kata lain, melakukan atau tidak melakukan. Suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan. Definisi tersebut mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif maupun pasif dihitung sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah ditentukan dalam syariat.4

Istilah jinayah lebih mempunyai arti luas yaitu menunjukan segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak       

2

Rahmad, Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 12. 

3

Mawardi, Al-Ahkam al-sulthoniyah wa al-wilayah al-Diniyah. (Mesir : Mustafa Halabi, 1773), 219. 

4

(29)

22   

ditujukan secara tertentu. Sedangkan jarimah identik dengan pengertian dalam hukum positif yang berarti tindak pidana seperti jarimah pencurian.5

Menurut Hanafi jarimah ialah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir, larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.6

Suatu perbuatan dapat dinamai suatu jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan atau hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Artinya, jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kepada pihak lain, baik berbentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun yang berbentuk non materi atau gangguan non fisik seperti ketenangan, ketentraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya.7

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan oleh syara’ serta diancam dengan ketentuan pidana.

2. Definisi Pencurian

Menurut bahasa, pencurian berarti mengambil sesuatu yang bersifat harta atau lainnya secara sembunyi-sembunyi dan dengan suatu taktik.

      

5

Ibid.,13. 

6

A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta :Bulan Bintang, 1986), 1. 

7

(30)

23   

Sedangkan menurut istilah atau syara’, pencurian adalah seseorang yang sadar dan sudah dewasa mengambil harta orang lain dalam jumlah tertentu secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang sudah maklum (biasa) dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak karena syubhat.8 Secara sembunyi-sembunyi tanpa seizin dari pemiliknya dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum dan perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-undang serta diancam dengan ketentuan pidana.

Seperti halnya dengan hukum pidana positif, dalam hukum pidana Islam juga dikenal dengan istilah pencurian yang biasa disebut sebagai jarimah sariqah.

Dalam hukum pidana Islam jarimah syariqah mempunyai dua definisi, antara lain :

1. Pencurian menurut bahasa adalah mengambil sesuatu barang atau lainnya dengan sembunyi-sembunyi.

2. Pencurian menurut istilah adalah seseorang yang mangambil barang (harta) orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak karena subhat.

Sariqah merupakan terjemahan dari bahasa Arab yang berarti

pencurian, yang menurut etimologi berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.

      

8

(31)

24   

Kata sariqah menurut bahasa berarti mengambil sesuatu atau lainnya yang bersifat benda secara sembunyi-sembunyi tanpa izin pemiliknya. Imam Ibn Rusydi merumuskan pencurian dengan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi tanpa dipercayakan kepadanya. Syarbin Khotib memberikan rumusan mengambil harta sembunyi-sembunyi secara kejahatan, kadar seperempat dinar, yang dilakukan oleh seorang mukallaf dari tempat simpanan.9

Menurut Mahmud Syaltut pencurian adalah mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga berang tersebut. Menurut beliau definisi tersebut menjelaskan perbedaan pencurian dengan penggelapan. Penggelapan dilakukan oleh orang yang dipercayai menjaganya sedangkan pencurian dilakukan oleh orang yang tidak dipercaya untuk menjaganya.10

Dari semua definisi mengenai pengertian pencurian tersebut diatas semuanya hampir mempunyai kesamaan pandangan mengenai pencurian. Tidak ada pertentangan mengenai definisi pencurian dikalangan fuqaha’.

3. Dasar Hukum Tindak Pidana Pencurian

Seperti halnya dengan hukum pidana positif, hukum pidana Islam juga mengatur mengenai tindak pidana pencurian atau jarimah sariqah dan mempunyai dasar hukum yang tidak bisa diganggu atau diubah karena

jarimah sariqah merupakan jarimah yang termasuk dalam jarimah hudud.

Adapun dasar hukum dari jarimah sariqah.       

9

Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 1991), 94. 

10

(32)

25   

Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 38 yang Artinya:

laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan

keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai

siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS

Al-Maidah : 38)11

Dan sesuai dengan Hadis Rasulullah Saw. Yaitu :

ا

ه

ة

ﱠ ا

ﷲا

و

:

ﷲا

ﱠ ا

ر

ق

قﺮ

ا

,

و

ق

ا

.

“Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah Saw. Bersabda : Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, maka (hukumannya) dipotong tangan; dan yang mencuri tali maka (hukumannya) dipotong tangannya” (HR. Bukhari)12

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

Hukum pidana Islam juga menerangkan mengenai unsur-unsur tindak pidana atau jarimah baik secara umum maupun secara khusus. Secara umum artinya berlaku untuk tindak pidana atau jarimah dalam Islam, adapun secara khusus adalah unsur-unsur yang ada dalam suatu tindak pidana atau jarimah.

Suatu perbuatan dapat dipandang sebagai suatu tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Secara umum suatu tindak pidana mempunyai beberapa unsur diterapkan dalam masyarakat antara lain :

1. Unsur formal (Rukun Syar’i)

Adanya nash atau ketetapan yang menunjukan bahwa perbuatan itu sebagai jarimah atau tindak pidana. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang       

11

Qs. Al-Maidah : 151. 

12

(33)

26   

menyatakan bahwa jarimah atau tindak pidana tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana kecuali dengan adanya nash .

2. Unsur materiel (Rukun Maddi)

Yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan atau adanya yang membentuk tindak pidana baik berupa perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat.

3. Unsur Moral (Rukun Adabi)

Yaitu adanya niatan pelaku untuk melakukan tindak pidana. Unsur ini menyangkut tanggungjawab pidana yang hanya dikenakan atas orang yang telah baligh, sehat akal dan memiliki kebebasan berbuat (Ikhtiyar). Dengan demikian unsur ini berhubungan dengan tanggungjawab pidana yang hanya dapat dikenakan atas orang yang telah balig, sehat akal dan memiliki kebebasan untuk berbuat.13

Selain ketiga unsur tersebut yang harus ada dalam suatu tindak pidana, yang merupakan unsur-unsur secara umum terdapat juga unsur-unsur secara khusus yang ada pada masing-masing tindak pidana. Adapun unsur-unsur khusus jarimah sariqah menurut keterangan dari kamus dan menurut Ibnu Arafah mencuri mengandung tiga unsur yaitu :

1. Mangambil barang milik orang lain.

2. Cara mengambilnya secara sembunyi-sembunyi.

      

13

(34)

27   

3. Milik orang lain tersebut ada ditempat penyimpanan.14

Menurut pendapat lain yang menyatakan bahwa jarimah sariqah mempunyai unsur-unsur dan syarat-syarat yang harus ada untuk dapat dikenakan had, antara lain :

1. Tindakan mengambil (harta orang lain) secara sembunyi-sembunyi. Pada unsur pertama ini perlu diperhatikan dua hal yaitu, pertama adanya tindakan mengambil harta orang lain. Tindakan mengambil harta orang lain dianggap sebagai pencurian apabila memiliki beberapa syarat: a. Benda yang diambil telah dikeluarkan dari tempat penyimpanan yang

layak bagi sejenisnya. Yang dimaksud dengan tempat penyimpanan yang layak adalah tempat yang pantas untuk menyimpan sejenis harta sehingga sulit untuk diambil orang lain, seperti tempat yang dikunci dengan rapi.

b. Benda tersebut diambil dan telah dikeluarkan dari kekuasaan pemiliknya. Oleh karenanya, jika harta itu baru dikeluarkan dari tempat penyimpanan tapi belum keluar dari kekuasaan pemiliknya seperti masuk dihalaman rumah pemiliknya, belum dianggap sebagai pencurian yang dikenakan hukuman had.

c. Benda itu telah berada dalam kewenangan pihak pencuri.

Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut kurang atau tidak ada, maka tindakan mangambil belum dianggap sebagai pencurian yang dikenakan hukuman had. Karena dengan kurangnya syarat tersebut       

14

(35)

28   

berarti pelaku hanya melakukan percobaan pencurian yang tidak dapat dikenakan hukuman had.

Hal kedua dari unsur pertama adalah tindakan mengambil

dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Seperti telah diketahui bahwa mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi berarti pengambilannya dilakukan tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.

Unsur pertama ini disepakati oleh para fuqaha’, kecuali ulama kalangan Zahiriyah, mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan percobaan pencurian, misalnya meskipun baru saja meletakkan tangannya pada benda yang hendak dicuri sudah dapat dianggap sebagai pencurian yang dapat dikenakan hukuman had.15

2. Benda yang diambil adalah berupa harta

Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, yang dimakasud dengan harta adalah sesuatu yang dicenderungi oleh tabiat manusia dan mungkin disimpan sampai waktu dibutuhkan. Unsur kedua ini dianggap sempurna bila memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

a. Harta yang dicuri berupa benda yang bergerak. Harta yang bergerak adalah harta yang mungkin dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Karena tindakan pencurian memerlukan adanya kemungkinan bahwa harta tersebut dapat dipindahkan ke tempat lain.

       15 

(36)

29   

b. Benda yang diambil adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis. Menurut Fiqh Syafi’i ditambahkan bahwa harta yang bernilai ekonomis halal menurut hukum Islam. Oleh karena itu seseorang mencuri Khamar atau babi tidak dikenakan hukuman had. Pendapat lain mengemukakan bahwa barang yang diambil adalah sesuatu yang berharga menurut pemiliknya, bukan atas pandangan pencuri.16

c. Benda yang diambil berada ditempat penyimpanan yang layak bagi jenis harta itu.

d. Harta yang diambil telah sampai pada satu nisab. Para ulama berbeda pendapat mengenai kadar satu nisab. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanafi berpendapat bahwa kadar satu

nisab pencurian yang diancam dengan hukuman had adalah

sebanyak seperempat dinar emas. Jika dihitung dengan gram satu dinar emas adalah 4,45 gram, maka seperempat dinar adalah kurang lebih 1,11 gram emas. Pendapat ulama kalangan Hanafiyah berbeda, mereka berpendapat bahwa kadar satu nisab pencurian adalah sebanyak satu dinar atau sepuluh dirham, bila diukur dengan emas adalah 4,45 gram emas. Syiah, Ibnu Rusyd juga berpendapat lain, mereka menyebutkan kadar pencurian yang dikenakan hukuman had adalah sebesar 4 dinar atau 40 dirham.17

      

16

Ibid.,84. 

17

(37)

30   

Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW :

ﺔ ﺋﺎ

:

ر

نﺎآ

ل

ﷲا

و

ﱠ ا

رﺎ

ق

ر

د

رﺎ

ا

)

ا

اور

(

“diriwayatkan Aisyah ra dari Nabi SAW, beliau bersabda : Dipotong tangan pencuri dalam pencurian ¼ (seperempat) dinar atau lebih”. (HR Muslim)18

ا

ا

ﱠن

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

رﺎ

د

ر

ها

)

ا

ور

(

diriwayatkan dari Umar ra ia berkata : Nabi Saw memotong tangan

pencuri dalam pencurian tameng yang harganya 3 (tiga) dirham”.

(HR Muslim)19

Apabila pencurian yang dilakukan kurang dari kadar satu nisab seperti yang telah ditentukan maka pelaku tidak dapat dikenakan hukuman had akan tetapi dikenakan ta’zir.

3. Benda yang diambil itu harta orang lain.

Dengan unsur ini dapat diketahui bahwa seseorang yang mengambil benda yang bukan hak miliknya. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 188 yang Artinya :

“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan batil (tidak halal) dan kamu bawa perkaranya kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan cara (berbuat)

dosa sedang kamu mengetahui”.20

Barang-barang yang tidak ada pemiliknya boleh diambil, akan tetapi jika sudah ada dalam penguasaan seseorang atau Ulil Amri, maka dianggap telah ada pemiliknya. Sedangkan harta yang sengaja

      

18

Imam Muslim, Muhammad Fu’ad, Abdul Baqi’ (ed), Sahih Muslim, Juz II. Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1995, 45. 

19

Ibid,. 46. 

20

(38)

31   

ditinggalkan atau dibuang oleh pemiliknya adalah sama dengan harta yang tidak ada pemiliknya.

4. Adanya kesengajaan melakukan kejahatan atau adanya itikat tidak baik.21

Maksud adanya kesengajaan melakukan tindakan kejahatan adalah adanya kesengajaan mengambil harta orang lain padahal pelaku mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang dan adanya kesengajaan mengambil harta orang lain dipertegas dengan adanya niat untuk memiliki harta yang diambil.

5. Barang yang dicuri itu sudah diambil kepemilikannya dari yang punya maksudnya barang tersebut telah berpindah ke tangan pencuri dan pencuri tersebut bermaksud untuk memilikinya.

Semua unsur tersebut merupakan unsur-unsur khusus yang ada dalam

jarimah sariqah. Apabila keempat unsur tersebut atau semua unsur dan

syarat-syaratnya telah lengkap dan terpenuhi semuanya, maka perbuatan itu dianggap sebagai tindakan kejahatan pencurian atau jarimah syariqah sehingga pelakunya diancam dengan hukuman had yang berupa potong tangan.

5. Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)

Bentuk pencurian menurut hukum pidana Islam berdasarkan ancaman hukumannya dan berdasarkan kadar nilai barang yang diambil terdiri dari :       

21

(39)

32   

1. Pencurian yang harus dikenai sanksi.

Pencurian yang harus dikenai sanksi adalah pencurian yang dilakukan oleh seseorang akan syarat-syarat penjatuhan hukuman had tidak lengkap. Jadi Karena syarat-syarat penjatuhkan hukuman tidak lengkap, maka pencurian ini tidak dikenakan hukuman had tetapi dikenai sanksi.22

Rasulullah SAW telah memberikan putusan dengan melipat gandakan tanggungan atas orang yang mencuri barang, dimana pencuri tidak dikenai hukuman potong tangan. Pencurian pada buah-buahan yang masih tergantung pada pohonnya dengan tidak membawa pulang buah-buahan tetapi memakannya ditempat.23

2. Pencurian yang harus dikenai had

Pencurian yang dapat dikenai had adalah pencurian yang dilakukan dengan semua syarat-syarat penjatuhan hukuman had telah terpenuhi. Ancaman hukuman pada pencurian ini adalah hukuman potong tangan. Bentuk pencurian ini masih dibagi lagi menjadi dua macam bentuk yaitu:

1. Pencurian kecil (sariqah al-sugra)

Pencurian kecil (sariqah al-sugra) adalah pencurian biasa yang hanya wajib dikenakan hukuman had potong tangan. Dalam hukum pidana Islam sariqah al-sugra biasa dikenal dengan sariqah saja dan seperti diketahui bahwa ancaman hukumannya adalah had potong       

22

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9, Terj. Mohammad Nabhan Husein, (Bandung :Maarif, 1984), 214. 

23

(40)

33   

tangan. Pencurian ini dilakukan dengan tanpa adanya beberapa keadaan yang mengakibatkan pencurian ini berubah menjadi besar. 2. Pencurian besar (sariqah al-Kubra)

Pencurian kubra yaitu mengambil harta orang lain dengan jalan paksaan (mengalahkan) dan pencurian besar ini dinamakan juga

hirabah (perampokan).24

Hukuman had dapat gugur apabila dari para pelaku kejahatan, baik itu kejahatan pencurian (Sughra dan kubra), maupun kejahatan yang lain, jika mereka bertaubat sebelum mereka dapat ditangkap. Karena Allah SWT berfirman :

إ

ﱠل

ﻮ ﻏ

ﷲا

ﱠنأ

اﻮ ﺎ

اورﺬ

نأ

اﻮ ﺎ

ﺬﱠا

ر

ر

.

Kecuali orang-orang yang bertaubat, sebelum kamu kuasai (menjauhkan

hukuman ) atas mereka. Maka kamu ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Selain bertaubat, perbaikan tingkah laku mereka juga turut menentukan apakah had menjadi gugur atau tidak. Firman Allah SWT :

بﺎ

و

أ

ﱠن

ﷲا

ب

إ

ﱠن

ﷲا

ر

ر

.

Barang siapa yang bertaubat sesudah aniaya dan memperbaiki

(amalannya), maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.

Sesungguhnya Allah Maha Penyayang”.25

6. Pertanggungjawaban dan Sanksi Tindak Pidana Pencurian

Sama halnya dengan hukum positif dalam hukum pidana Islam juga mengenal pemidanaan. Sanksi pidana menurut hukum Islam

bermacam-      

24

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islam. (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1994), 514. 

25

(41)

34   

macam, penggolongan hukum pidana Islam berkaitan antara hukuman yang satu dengan hukuman yang lain, yaitu :

1. Hukuman pokok (al-uqubah al-asliyyah) : yaitu hukuman utama bagi suatu kejahatan, seperti qisas pada hukuman pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja.

2. Hukuman pengganti (al-uqubah al-badaliyah) : hukuman yang menggantikan hukuman pokok yang karena suatu sebab tidak dapat dilaksanakan. Seperti hukuman ta’zir pada pelaku jarimah had tapi tidak dapat dilaksanakan karena adanya unsur kesamaran atau subhat.

3. Hukuman tambahan (al-uqubah al-taba’iyyah) : hukuman yang dikenakan mengiringi hukuman pokok. Seperti seorang pembunuh waris tidak mendapat warisan dari harta korban.

4. Hukuman pelengkap (al-uqubah al-Takhmiliyyah) : hukuman untuk melengkapi hukuman pokok yang telah dijatuhkan namun harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim. Seperti pemecatan suatu jabatan bagi pegawai karena melakukan suatu tindak kejahatan tertentu.26

Pemidanaan dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kedzaliman atau kemadaratan. Seperti juga dalam hukum pidana positif, hukum pidana Islam juga mengenal teori pemidanaan dan merupakan tujuan dari pemidanaan, yaitu :

1. Pembalasan (retribution) : teori ini menetapkan bahwa hukuman wajib dilaksanakan jika suatu kejahatan telah dilaksanakan dan telah terbukti.       

26

(42)

35   

Dalam teori ini perlu diperhatikan satu hal, yaitu al-afwan (permaafan), pemaafan dapat dilakukan oleh ahli waris korban. Seperti dalam qisas meskipun seseorang berhak menuntut pembalasan, tetapi jika dia memaafkan hal itu diperkenankan.

2. Pencegahan (deterence) : salah satu tujuan pemidanaan adalah pencegahan, baik pencegahan terhadap pelaku untuk tidak melakukan tindak pidana lagi maupun terhadap orang lain.

3. Perbaikan (reformation) : menurut hukum pidana Islam suatu perbuatan pencurian telah dilakukan oleh seseorang, maka wajib hukuman had dilakukan terhadap pelakunya. Apabila tindak pidana pencurian telah terbukti dan telah lengkap semua unsur-unsur tindak pidana pencurian tersebut, maka tindak pidana pencurian tersebut dapat dikatakan sebagai pencurian yang telah lengkap syarat dan rukunnya (sariqah al-tammah). Tindak pidana tersebut diancam dengan dua hukuman had yaitu hukuman potong tangan dan hukuman berupa keharusan mengembalikan harta yang dicuri.

(43)

36   

Menurut Imam Malik dan Syafi’I hukuman potong tangan dilakukan pertama dengan memotong tangan kanan, jika melakukan kedua kali dipotong kaki kiri, pencurian ketiga dipotong tangan kiri, pencurian keempat dipotong kaki kanan dan pada pencurian kelima dipenjara hingga taubat. Menurut Imam Abu Hanifah pelaksanaan hukuman potong tangan pada pelaku dikenakan pertama pada tangan kanan, jika melakukan kedua kali dipotong kaki kiri dan jika melakukan ketiga kali dipenjara sampai taubat.27

b. Pencuri harus mengembalikan barang atau harta yang dicuri. Jika harta yang dicuri sudah tidak ada pada tangan pelaku atau sudah pindah ketangan orang lain. Maka pelaku harus membayar ganti rugi senilai barang tersebut.

Mengenai keharusan mengembalikan harta yang dicuri dan ganti rugi serta sanksi yang dikenakan terhadap pelaku, para fuqaha masih berbeda pendapat.

Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, mereka berpendapat bahwa pelaku wajib mengembalikan harta yang dicuri walaupun telah dikenakan sanksi potong tangan. Alasan mereka bahwa tindakan pencurian telah melanggar dua macam hak, yaitu hak Allah berupa keharaman mencuri atau hak umum dan hak hamba (hak individu) berupa pengambilan harta.

      

27

(44)

37   

Menurut Imam Abu Hanifah berbeda, beliau berpendapat bahwa pelaku pencurian tidak diharuskan mengembalikan harta yang dicuri apabila dia telah dihukum potong tangan, beliau beralasan dalam surat Al-Maidah ayat 38 tidak menyebutkan keharusan mengembalikan harta yang dicuri dan hanya keharusan hukuman potong tangan. Akan tetapi yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa pelaku disamping telah mendapat hukuman potong tangan juga diharuskan mengembalikan harta yang dicuri atau membayar ganti rugi.

Seperti yang telah diketahui bahwa, pelaku suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana yang telah ditentukan dalam Undang-undang, apabila telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana baik unsur umum maupun khusus serta tidak adanya keraguan atau subhat. Seperti tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang anak atau orang yang belum balig. Pelaku pencurian ini tidak dapat dikenakan sanksi pidana atau hukuman had seperti yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan hadis. Hal itu dikarenakan dalam unsur-unsur suatu tindak pidana terdapat unsur moral atau rukun adaby yang menyatakan seseorang dapat dikenakan hukuman apabila telah balig, berakal, mempunyai kemampuan berfikir dan memiliki kebebasan berbuat.

(45)

38   

Apabila seorang anak melakukan tindak pidana pencurian tidaklah memenuhi unsur dan syarat dikenakan hukuman had potong tangan, tetapi walinya dapat dituntut untuk membayar ganti rugi senilai harta yang dicuri dan dapat dikenai hukuman ta’zir sebagai ganti hukuman had potong tangan untuk pengajaran.28

B. Definisi Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Positif

1. Definisi Tindak Pidana

Ada berbagai istilah untuk tindak pidana mencakup kejahatan dan pelanggaran, antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, criminal act, dsb. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Simons mendefinisikan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu.29

Moeljatno memberikan definisi tindak pidana semakna dengan perbuatan pidana, namun kata “tindak” menyatakan keadaan konkret sebagaimana halnya dengan peristiwa dan tidak menunjukan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan. Tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau tingkah laku jasmaniah. Istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya

      

28

Basyir Ahmad Azhar, Ikhtiar Fikih Jinayah (Hukuman Pidana Islam), (Yogyakarta:UII Press Yogyakarta, 2010), 35. 

29

(46)

39   

maupun dalam penjelasannya selalu dipakai kata perbuatan.30 Moeljatno sebenarnya tidak setuju penggunaan istilah tindak pidana dalam perkara pidana, beliau lebih memakai istilah perbuatan pidana.

Secara umum tindak pidana dapat diartikan sebagai delik yang mempunyai arti perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang.31

2. Definisi Pencurian

Pengertian pencurian sangatlah penting bagi bahasa hukum Indonesia karena tindak pidana tersebut sering terjadi dalam masyarakat terhadap harta kekayaan milik orang lain.

Pencurian berasal dari kata “curi” yang berarti mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah dan biasanya secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan pencurian adalah proses, cara, perbuatan mencuri.32

Menurut Pipin Syarifin, pencurian berasal dari kata curi artinya mengambil secara diam-diam, sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain secara tidak sah. Pencurian berarti perbuatan atau perkara tentang mencuri dan orang yang melakukan pencurian disebut pencuri.33

Sedangkan menurut KUHP, pencurian adalah perbuatan mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan

      

30

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), 55. 

31

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (DELIK), (Jakarta : Sinar Grafika, 1991), 3. 

32

Departemen Pendidikan, kamus Besar, 1195. 

33

(47)

40   

maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus ribu rupiah.34

3. Dasar Hukum Tindak Pidana Pencurian

Seperti yang telah diketahui bahwa, sebuah hukum dapat dikenakan terhadap seseorang jika mempunyai dasar hukum yang jelas terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang tersebut. Dalam hukum pidana positif terdapat suatu asas yang dikenal dengan asas legalitas hukum pidana begitu juga dengan hukum pidana Islam, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah dasar hukum yang digunakan sebagai dasar penetapan hukuman. Dalam hukum pidana positif yang berlaku diindonesia sebagai dasar hukum adalah KUHP dan peraturan Undang-undang lainnya. Sedangkan hukum pidana Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist serta sumber hukum lainnya. Adapun dasar penetapan hukuman dan sanksi pertanggungjawaban dari tindak pidana pencurian dalam KUHP :

1. Pasal 362 KUHP :

“Barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan

melawan hukum, dipidana karena mencuri dengan pidana penjara

selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Sembilan

ratus ribu rupiah”.

Dalam pasal tersebut tidak dikatakan bahwa maksut dari pencurian itu adalah untuk memperkaya diri, akan tetapi sekedar untuk memiliki barang

      

34

(48)

41   

yang bukan miliknya. Selain itu, tujuan pencurian tidak selalu untuk memperkaya diri dapat dilihat juga dari pengertian mengenai “barang”35. maksut barang adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang. Dalam pengertian “barang” masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak terwujud, akan tetapi dialirkan dikawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Oleh karena itu, mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.36

Melihat pada ketentuan dalam pasal 362 KUHP, maka seorang kleptomania yang mengambil barang milik orang lain dapat dipidana berdasarkan pasal 362 KUHP. Akan tetapi perlu diingat bahwa dalam hukum pidana ada yang disebut dengan alasan pembenar dan pemaaf :

a. Alasan Pembenar, berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (Objektif). Misalnya, tindakan “pencabutan nyawa” yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati

(Pasal 50 KUHP)37

b. Alasan Pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga       

35

Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentar lengkap pasal demi pasal. (Bogor : Politeria, 1991), 249. 

36 

Ibid.,250.  37 

(49)

42   

tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP)38

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

Suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi, apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Pada umumnya unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua macam :

1. Unsur obyektif : unsur yang menitik beratkan pada wujud perbuatan. Dalam unsur ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.

a. Perbuatan manusia yaitu suatu perbuatan positif atau perbuatan negatif yang menyebabkan pelanggaran pidana.

b. Akibat perbuatan yaitu akibat yang terjadi atas merusak atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, ada yang timbul bersamaan dengan perbuatan da nada yang timbul setelah perbuatan. c. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan, keadaan ini bias jadi terdapat pada

waktu melakukan perbuatan.

d. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum, perbuatan itu melawan hukum jika bertentangan dengan Undang-undang.

2. Unsur Subjektif : kesalahan (schuld) dari orang yang melanggar norma pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat dipersalahkan jika orang itu melanggar norma hukum.39

       38 

Ibid., 60. 

39

(50)

43   

Selain unsur-unsur umum tindak pidana juga mempunyai unsur-unsur khusus. Menurut hukum pidana positif unsur-unsur tindak pidana pencurian adalah :

1. Unsur Subyektif :

a. Perbuatan mengambil atau wegnemen

Maksudnya adalah bahwa perbuatan yang dilakukan adalah mengambil sesuatu. Menurut Lamintang, perbuatan mengambil itu haruslah ditafsirkan sebagai “setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda yang dibawah kekuasaanya yang nyata dan mutlak”. Untuk dapat membawa sesuatu benda yang dibawah kekuasaanya yang nyata dan mutlak, seseorang haruslah mempunyai maksud melakukannya.

b. Suatu benda atau enig goed

Pengertian suatu benda disini masih dalam perdebatan dan tidak mempunyai patokan secara jelas. Hal itu dikarenakan perbedaan penafsiran terhadap pasal-pasal tersebut. Akan tetapi sebagian ahli hukum positif menafsirkan benda dengan benda berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan.

c. Sifat dari benda tersebut adalah seluruhnya kepunyaan orang lain dan sebagian kepunyaan orang lain. Maksudnya adalah bahwa benda tersebut bukan milik pelaku secara nyata dan mutlak.

2. Unsur Objektif :

(51)

44   

Arti dari maksud pelaku adalah keinginan pelaku untuk memiliki barang atau benda tertentu dengan jalan mengambilnya secara sembunyi-sembunyi.

b. Untuk menguasai benda itu sendiri. c. Secara melawan hak.40

Semua hal tersebut merupakan unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut beberapa ahli hukum, akan tetapi masih ada pendapat yang hampir sama. Menurut mereka unsur-unsur tindak pidana pencurian yang dapat dilihat dari rumusan pasal-pasal KUHP adalah :

a. Mengambil barang

Mengambil barang disini masih dalam menurut beberapa ahli hukum positif seperti Noyon Langemeyer, beliau mengemukakan bahwa pengambilan yang diperlukan untuk pencurian adalah pengambilan yang

eigen machtig yaitu karena kehendak sendiri atau tanpa persetujuan yang

menguasai. Adapun menurut Simons dan pompe mengatakan tidak diperlukan pemindahan tempat dimana barang berada, tetapi hanya memegang saja belum cukup tersangka harus menarik barang itu kepadanya dan menempatkannya dalam penguasaanya. Sedangkan menurut V. Bemmelen merumuskan tiap-tiap perbuatan dimana orang menempatkan barang harta kekayaan orang lain dalam kekuasaannya tanpa turut serta atau tanpa persetujuan orang lain atau tiap-tiap perbuatan

      

40

(52)

45   

dengan mana seseorang memutuskan ikatan dengan sesuatu cara antara orang lain dengan barang kekayaan itu.41

b. Barang harus kepunyaan orang lain seluruhnya atau sebagian.

Artinya barang atau harta yang diambil bukan merupakan hak pelaku yang mengambilnya secara mutlak.

c. Mengambil barang yang demikian itu harus dengan maksud memiliki secara melawan hukum.42Maksudnya bahwa untuk memiliki barang tersebut pelaku melakukannya secara tidak sah dan menyalahi aturan hukum yang berlaku.

Selain ketiga unsur tersebut, Pipin Syarifin menambahkan unsur keempat yaitu sesuatu yang diambil tersebut adalah suatu barang.43

5. Tindak Pidana Pencurian menurut KUHP atau Hukum Positif

Seperti telah diketahui bahwa, tindak pidana pencurian merupakan tindak pidana terhadap harta kekayaan yang dapat diancam dengan hukuman yang telah ditentukan dalam KUHP. Dalam KUHP pasal yang mengatur mengenai pencurian adalah pasal 362-365 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dapat dikategorikan macam-macam bentuk pencurian menurut hukum pidana positif, antara lain :

a. Pencurian biasa

      

41

Suharto RM, Hukum Pidana Materil (Unsur-unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan). (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), 28. 

42

Ibid. 

43

(53)

46   

Bentuk pencurian ini berdasarkan pada pasal 362 yang menyebutkan bahwa pencurian yang dilakukan dengan mengambil barang yang mutlak milik orang lain atau sebagainya dengan maksud untuk memilikinya dengan cara melawan hukum atau tidak sah.

b. Pencurian berat

Seperti yang dapat dilihat pada pasal 363 yang menyebutkan bahwa pencurian berat adalah pencurian biasa yang dilakukan atau disertai dengan salah satu keadaan yang ada dalam pasal 363.

c. Pencurian kekerasan

Pencurian yang dilakukan adalah pencurian biasa akan tetapi diikuti oleh beberapa keadaan seperti halnya pada pencurian berat, akan tetapi dilakukan dengan kekerasan. Kekerasan disini dikenakan pada orang bukan pada barang atau harta. Seperti pelaku mengikat, menyekap korban untuk memudahkan pencurian. Kekerasan dapat dilakukan sebelum, pada saat pelaksanaan pencurian maupun sesudah melakukan pencurian tersebut. Bahkan terkadang mengakibatkan luka berat atau kematian korban. Bentuk pencurian ini diatur pada pasal 365. Ancaman hukuman bagi pelaku bentuk pencurian ini lebih berat dari bentuk pencurian biasa dan pencurian berat.44

Selain hukum pidana positif, hukum pidana Islam juga mengatur mengenai bentuk tindak pidana pencurian atau yang dalam Islam biasa dikenal

      

44

(54)

47   

dengan jarimah syariqah. Bentuk pencurian menurut hukum pidan Islam berbeda dengan bentuk pencurian pada hukum pidana positif.

6. Pertanggungjawaban dan sanksi

Seperti telah diketahui bahwa, setiap pelaku tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana jika telah melakukan tindak pidana secara sempurna meliputi semua unsur, baik itu unsur umum tindak pidana maupun unsur khusus yang ada pada suatu tindak pidana tertentu. Pelaku tindak pidana harus menerima sanksi dan pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya.

Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment)dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh Negara atau lembaga menjadi dua macam :

1. Hukuman pokok : hukuman yang harus ada dalam sanksi suatu tindak pidana.

Hukuman pokok hanya boleh dijatuhkan dalam satu kejahatan saja tidak boleh kumulasi hukuman dalam satu kejahatan. Hukuman pokok terdiri dari beberapa macam bentuk :

a. Pidana mati : pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat dari susunan sanksi pidana dan juga merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dalam sistem pemidanaan di Indonesia.

(55)

48   

umumnya pelaksanaan pidana penjara membatasi kebebasannya untuk dijalankan didalam gedung penjara yang sekarang di Indonesia dinamakan Lembaga Permasyarakatan (LP).

c. Pidana kurungan : pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Karena ancaman maksimum pidana kurungan jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan maksimum ancaman pidana penjara. Maksimum pidana kurungan selama-lamanya satu tahun, sedangkan minimal pidana penjara lima belas tahun.

d. Pidana denda : pidana denda merupakan kewajiban membayar sejumlah uang, sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan hakim yang dibebankan kepada terpidana atas tindak pidana yang telah dilakukannya.

e. Pidana tutupan : pidana ini merupakan pidana tambahan yang berdasarkan Undang-undang No.20 tahun 1946 (Berita Negara RI tahun 11 No.24 tanggal 1 dan 15 November 1946).45

2. Hukuman tambahan : menurut aturan umum kodifikasi hukum pidana mengenai pidana tambahan ini dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Pidana tambahan itu hanya dapat ditetapkan disamping pidana pokok. Menurut hukum pidana positif pidana tambahan terdiri dari beberapa bentuk:

a. Pencabutan beberapa hak tertentu. b. Perampasan beberapa barang tertentu.

      

45

(56)

49   

c. Pengumuman putusan hakim.

Semua bentuk hukuman tersebut merupakan sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Pembagian macam-macam hukuman tersebut tercantum dalam KUHP pasal 10.

Sebagai dasar penentuan sanksi pidana dari pencurian dapat dilihat pada pasal-pasal yang mengatur mengenai pencurian yaitu pasal 362-365 KUHP. Selain itu dalam hukum pidana positif dikenal beberapa teori pemidanaan yang merupakan tujuan pemidanaan, yaitu :

1. Teori absolut (mutlak) : menurut teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak. Seseorang mendapat pidana karena melakukan kejahatan. Tokohnya dalam teori ini adalah Kant dan Hegel mereka beranggapan bahwa hukuman adalah suatu ken

Referensi

Dokumen terkait

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

Ayat tersebut menjelaskan bahwa qadzaf (menuduh) perempuan yang baik baik melakukan perbuatan zina adalah merupakan salah satu perbuatan yang masuk dalam kategori tindak

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

Dari penelitian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tindak pidana pencurian presfektif hukum Islam diartika sebagai sariqah (pencurian) dan apabila mencuri maka

Teori pembalasan yang menarik perhatian adalah persyaratan yang diajukan oleh Leo Polak bahwa pidana harus mempunyai tiga syarat yaitu: bahwa perbuatan yang

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP , Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami

2 Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak

Pasal 2 ayat 1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau