• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geologi, Stratigrafi, dan Evolusi Tektonik Daerah Papua, Indonesia: Potensi Sumber Daya dan Kebencanaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Geologi, Stratigrafi, dan Evolusi Tektonik Daerah Papua, Indonesia: Potensi Sumber Daya dan Kebencanaan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Geologi, Stratigrafi, dan Evolusi Tektonik Daerah Papua, Indonesia:

Potensi Sumber Daya dan Kebencanaan

Adi Fantri Sandhie N., Aditya Setiabudi, Ahmad Muayyid, Alfajry, An Ikhrandi, Arnold Sintong O. T., Bayu C. Fadhilla, M. Adib S. B., Astin Nurdiana, Rheza Rilo P., Rifqi Aulia

Rahman, Rizky Budiman, Tika Puspyta, Wilsen Supriady Lauwijaya, dan Vani Novita A.

Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung, Indonesia Abstrak

Papua adalah pulau yang berada di timur wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia, secara administratif terletak pada posisi 130019’ BT - 150048’ BT dan 0019’ LS – 10043’ LS. Papua terbentuk akibat dari interaksi yang bersifat konvergen miring (oblique convergence) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik-Caroline. Konvergensi yang terjadi sejak Eosen hingga kini menimbulkan produk berupa dua tahapan kolisi yang terjadi pada Kala Oligosen (Orogenesa Peninsula) dan dikuti kolisi yang terjadi pada Miosen (Orogenesa Melanesia).

Stratigrafi Pulau Papua meliputi sikuen batuan-batuan Pra-Kambrium hingga endapan Kuarter yang masing-masing tersingkap dari bagian Kepala hingga Badan Burung. Evolusi tektonik yang berlangsung selama Mesozoikum Akhir hingga Kini menyebabkan struktur geologir yang beragam pada Pulau Papua, contohnya adalah Sesar Sorong, Antiklin Misool-Onin Kumawa, dan Jalur Sesar Naik Pegunungan Tengah. Evolusi tektonik yang terjadi tidak hanya menimbulkan struktur geologi, namun juga beberapa fase magmatisme di sepanjang Pegunungan Tengah Pulau Papua.

Berdasarkan peristiwa-peristiwa geologi yang terjadi, Pulau Papua menyimpan banyak potensi yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan. Potensi-potensi tersebut berupa potensi migas, potensi tambang, dan potensi kebencanaan, Potensi migas tersebar pada cekungan-cekungan dewasa, cekungan semi-mature, dan cekungan frontier pada Pulau Papua. Potensi tambang yang terkenal di Pulau Papua adalah Tambang Grasberg. Sedangkan, potensi bencana alam Pulau Papua umumnya tersebar pada zona-zona sebar dengan bahaya bencananya berupa gempa bumi, tsunami, dan longsor. Kata Kunci

Papua, Sesar Sorong, Kemum, Salawati, Bintuni, Lempeng Indo-Australia, Orogenesa Melanesia, Grasberg

Pendahuluan

Papua adalah pulau yang berada di timur wilayah kepulauan Indonesia. Bersama dengan Papua Nugini, pulau ini merupakan pulau terbesar kedua di dunia, sekaligus merupakan pulau yang mempunyai puncak tertinggi di Asia Tenggara

dan Australia, yaitu Puncak Jayawijaya (4.884 dpl).

Keadaan geologi Papua cukup kompleks, hal ini diakibatkan perkembangan geologi Papua pada Kenozoikum yang melibatkan aktivitas konvergensi antara Lempeng Australia di bagian

(2)

2

selatan-tenggara dan Lempeng Pasifik di bagian

utara-barat laut, serta orogenesa yang terjadi di sepanjang bagian tengah Pulau. Di pulau ini, hadir singkapan batuan dari umur Pra-Kambrium hingga Pleistosen.

Fisiografi Pulau Papua

Pulau Papua secara administratif terletak pada posisi 130019’ BT - 150048’ BT dan 0019’ LS – 10043’ LS. Pulau ini terletak di bagian paling timur Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Irian Jaya (sekarang Papua) merupakan ekspresi permukaan dari batas utara deformasi blok kontinen Australia dan Lempeng Pasifik. Secara fisiografi, van Bemmelen (1949) telah membagi Papua menjadi 3 bagian utama (Gambar 1), yaitu: a. Bagian Kepala Burung, yaitu bagian semenanjung di sebelah utara yang terhubung dengan bagian badan utama oleh bagian leher yang menyempit. Bagian ini terletak pada koordinat 1300 BT– 1350 BT.

b. Bagian Tubuh Burung, merupakan bagian daratan utama Pulau Papua yang didominasi oleh struktur berarah barat-baratlaut pada daerah Central Range. Bagian ini terletak pada koordinat 1350 BT– 143,50 BT.

c. Bagian Ekor Burung, terletak pada bagian timur New Guinea Island. Bagian ini terletak pada koordinat 143,50 BT– 1510 BT.

Tatanan Tektonik Papua

Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif. Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik-Caroline bergerak ke barat-baratdaya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan Lempeng Benua Indo-Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm/th (Gambar 2). Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur kompleks terhadap Papua Barat

(Papua), yang sebagian besar dilandasi kerak Benua Indo-Australia.

Kompresi ini hasil dari interaksi yang bersifat konvergen miring (oblique convergence) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik-Caroline (Dow dan Sukamto, 1984) (Gambar 3). Konvergensi tersebut diikuti oleh peristiwa tumbukan yang bersifat kolisi akibat interaksi pergerakan antara busur kepulauan dengan lempeng benua yang terjadi selama Zaman Kenozoikum (Dewey & Bird, 1970; Abers & McCafferey, 1988 dalam Sapiie, 1998). Interaksi kolisi ini pergerakannya hampir membentuk sudut 246° terhadap Lempeng Australia (Quarles van Ufford, 1996 dalam Sapiie, 1998).

Visser dan Hermes (1966; Dalam Darman dan Sidi, 2000) berpendapat bahwa kejadian kolisi terjadi pada Oligosen setelah pengendapan sedimen karbonat yang berubah menjadi pengendapan sedimen klastik akibat proses pengangkatan. Batuan metamorf yang hadir di kawasan ini memberikan umur proses kolisi terjadi pada Miosen (Pigram dkk., 1989 dalam Darman dan Sidi, 2000). Dow dkk. (1998; dalam Darman dan Sidi, 2000) menyimpulkan bahwa Papua merupakan produk dari dua kolisi yang terjadi pada Kala Oligosen (Orogenesa Peninsula) dan dikuti kolisi yang terjadi pada Miosen (Orogenesa Melanesia).

Orogenesa Peninsula bersifat lokal dan terjadi pada bagian timur Pulau New Guinea, sedangkan Orogenesa Melanesia bersifat regional dan berpengaruh terhadap seluruh Pulau new Guinea serta menyebabkan penyebaran sedimentasi klastik secara luas. Van Ufford (1996) dalam Sapiie (1998) membagi orogenesa ini menjadi 2 tahap, yaitu tahap pra-kolisi dan tahap kolisi. Tahap pra-kolisi diawali oleh penunjaman Lempeng Benua Australia ke bawah Lempeng Samudera pasihik sehingga terjadi pengangkatan

(3)

3

endapan passive margin Lempeng benua Australia

dan terjadi proses malihan regional akibat aktivitas penunjaman ini. Setelah itu, terjadi tahap kolisi yang diawali dengan berhentinya proses penunjaman lempeng ketika menumbuk batuan alas. Perbedaan daya apung lempeng menyebabkan pengangkatan secara vertikal batuan sedimen Lempeng Australia dan juga penipisan lempeng. Penipisan lempeng mengakibatkan magma astenosfer dapat menerobos hingga puncak Kompleks Pegunungan Tengah Papua (Central Range). Menurut Cloos dkk. (1994; dalam Sapiie, 1998), proses inilah yang menyebabkan adanya proses magmatisme dan aktifitas volkanisme yang menunjukkan adanya produk berupa batuan beku dengan ciri khasi afinitas magmatik yang berbeda.

Geologi Regional Papua

Dow dkk. (1986) membagi geologi Papua menjadi 3 lajur berdasarkan stratigrafi, magmatik, dan tektoniknya (Gambar 3), yaitu :

1. Kawasan Samudera Utara yang dicirikan oleh ofiolit dan busur vulkanik kepulauan (Oceanic

Province) sebagai bagian dari Lempeng

Pasifik. Batuan-batuan ofiolit pada umumnya tersingkap di sayap utara Pengunungan Tengah Papua dan Papua Nugini (Northeastern Islands).

2. Kawasan Benua yang terdiri atas batuan sedimen yang menutupi batuan dasar kontinen yang relatif stabil dan tebal yang terpisah dari kraton Australia (Southwest Cratonic Zone). 3. Lajur peralihan yang terdiri atas batuan

termalihkan (metamorf) dan terdeform-asi sangat kuat secara regional. Lajur ini terletak di tengah (Central Range) dan memisahkan kelompok 1 terhadap kelompok 2 dengan batas-batas sesar-sesar sungkup dan geser (Central Collisional Zone).

Dow dkk. (1986) juga menjelaskan ciri dominan dari perkembangan geologi Papua yang merupakan transformasi antara sejarah tektonik dari batuan kraton Australia dan Lempeng Pasifik di satu sisi, dan periode tektonik yang berlanjut dari zona deformasi di sisi lainnya (New Guinea

Mobile Belt). Dari paparan di sepanjang tepi Utara

dan dari eksplorasi bawah permukaan di sebelah Selatan, serta pencatatan lengkap sejarah geologi hingga saat ini menunjukkan bahwa batuan dari kraton Australia pada sebagian besar wilayah ini dicirikan oleh sedimentasi paparan (shelf

sedimentation). Hanya sebagian kecil yang

dipengaruhi oleh proses tektonik dari zaman Paleozoik Awal hingga Tersier Akhir. Batuan Lempeng Pasifik yang terpaparkan di Papua berumur lebih muda. Davies dkk. (1996) membagi geologi Papua berdasarkan tektoniknya (gambar 2).

Stratigrafi Regional Papua

Secara umum, stratigrafi regional Papua dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gambar 4) berdasarkan keadaan fisiografisnya yang menyerupai bentuk burung, yaitu stratigrafi bagian Kepala Burung, bagian Leher Burung, dan bagian Badan Burung. Batuan Pra-Tersier pada bagian Kepala Burung merupakan batuan dasar yang termasuk dalam sikuen turbidit Formasi Kemum berusia Silur-Devon. Formasi ini terdiri dari batuserpih,

greywacke, dan klastik kasar yang ter-epimetamorfosa, terlipat, dan terintrusi oleh tubuh granitik (pluton) selama orogenesa pasca-Devon. Pada bagian Badan Burung hadir batuan-batuan Pra-Kambrium, dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu Formasi Awigatoh (metabasalt, metavulkanik, batuserpih, dan batulempung). Formasi Kariem (perulangan batupasir-batulempung) dan Formasi Tuaba (batupasir kuarsa sisipan konglomerat). Masing-masing formasi tersebut memiliki hubungan tak selaras. Di atas batuan Pra-Kambrium terendapkan

(4)

4

Formasi Modio berumur Silur-Devon yang

didominasi batuan karbonat (anggota A) dan batupasir (anggota B).

Kelompok Aifam pada bagian Kepala dan Leher Burung secara tak selaras menumpangi batuan dasar, dan terpengaruhi oleh siklus transgresif-regresif pada Karbon Atas-Permian Atas. Kelompok terbagi menjadi 3 formasi, dari tua ke muda yaitu Formasi Aimau, Aifat, dan Ainim yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal di bagian bawahnya hingga lingkungan fluvio-deltaik ke arah atas. Formasi Aiduna pada bagian Badan Burung berumur setara dengan Kelompok Aifam, dicirikan oleh batuan siliklastik berlapis dengan sisipan batubara, ditafsirkan sebagai endapan fluvial hingga lingkungan delta.

Regresi yang berlanjut hingga Trias menyebabkan terendapkannya Formasi Tipuma. Formasi Tipuma (Trias-Jura Awal) diendapkan pada lingkungan fluvial selama periode rifting kerak benua. Formasi Tipuma tersebar dari bagian Kepala Burung hingga Badan Burung Papua Di atas Formasi Tipuma, secara tak selaras terendapkan Formasi Jass di bagian Kepala Burung yang menjari terhadap Kelompok Kembelangan yang masing-masing berumur Jura-Kapur. Formasi dan kelompok ini menandakan perubahan lingkungan menjadi passive margin dengan ciri khas sedimen laut. Formasi Waripi yang melapisi Formasi Jass dan Kelompok Kembelengan menandakan perubahan klastikPra-Tersier menjadi sikuen karbonat klastikPra-Tersier.

Sikuen karbonat berumur Eosen-Miosen terdiri dari 3 formasi, dari tua ke muda yaitu Formasi Faumai, Sago, dan Kais yang tergabung dalam Batugamping New Guinea. Formasi tersebut mencirikan lingkungan pengendapan paparan karbonat pada laut dangkal. Batugamping Formasi Yawee di bagian Badan Burung menjari terhadap

konglomerqat Formasi Iwur dan Formasi Akimeugah.

Pada Pliosen Awal, aktivitas tektonik aktif mempengaruhi cekungan-cekungan di area kepala burung, menyebabkan terendapkan-nya Formasi Klasaman pada Cekungan Salawati dan Formasi Steenkol pada Cekungan Bintuni, masing-masing me-wakili lingkungan laut dan transisi. Pada Formasi Klasaman dijumpai batulempung laut dalam dan batugamping, sedangkan di Formasi Steenkol dijumpai batubara.

Formasi Buru hadir tak selaras di atas Formasi Kais pada wilayah Kepala Burung, terdiri dari batuan siliklastik. Dan di beberapa tempat ditemukan endapan Mollase berumur resen yang tak selaras terhadap Formasi Buru. Peristiwa tektonik Pliosen Akhir-Pleistosen Awal mengakibat-kan hadirnya ketidakselarasan dan terendapkannya konglomerat Formasi Sele di wilayah Kepala Burung.

Struktur Regional Papua

Secara umum struktur regional Papua dapat dibagi menjadi 3 zona struktur (Gambar 5), yaitu:

1. Kepala Burung: didominasi oleh struktur sesar berarah Barat-Timur.

2. Leher Burung: didominasi oleh struktur berarah Utara- Barat Laut (Jalur Perlipatan Lengguru, LFB), yang berhenti pada tinggian Kemum pada daerah Kepala Burung.

3. Tubuh Burung: didominasi oleh struktur berarah Barat-Barat Laut sepanjang Central Range (Jalur Mobil Nugini). Diakhiri oleh sesar mendatar dengan arah Barat-Timur (Zona Sesar Tarera-Aiduna, TAFZ) pada Leher Burung.

Sistem Sesar Sorong memanjang dari daratan Irian Jaya bagian utara yang mengikuti garis pantai melewati Selat Sele dan bagian utara Pulau

(5)

5

Salawati. Lebarnya sampai 10 km dan berarah

barat-baratdaya. Sistem sesar itu berkembang sebagai hasil proses yang sangat rumit. Strike-slip dan sesar normal berkembang di sepanjang bidang sesar yang terputus-putus. Sungai Warsamson yang berarah timur-barat dan perbukitan sempit yang memanjang di utaranya dipengaruhi oleh sesar dan merupakan batas selatan struktur tersebut. Sistem Sesar Sorong (gambar randang) merupakan strike-slip bergerak mengiri sebagai hasil interaksi antara Lempeng Australia-India di selatan dan lempeng-lempeng di sebelah utara (Visser & Hermes, 1962; Hamilton, 1979; Dow & Sukamto, 1984; Pieters dkk, 1983). Pergerakan Sesar Sorong ditunjukkan oleh kehadiran struktur yang relatif tegak dan menyamping dan jenis batuan yang memiliki sejarah geologi yang berbeda-beda. Pergerakan Sesar Sorong yang terjadi di sepanjang Sistem Sesar Sorong itu kemungkinan berlangsung dari Miosen Akhir sampai Pliosen dan setelah itu terjadi pensesaran disertai pengangkatan wilayah bagian utara dan timur Kepala Burung pada kala Pliosen dan Kuarter. Pada bagian timur Kepala Burung, hadir Sesar Yapen sebagai kemenerusan dari Sesar Sorong.

Blok Kemum adalah bagian dari tinggian batuan dasar, dibatasi oleh Sesar Sorong di utara dan Sesar Ransiki di timur. Dicirikan oleh batuan metamorf, pada beberapa tempat diintrusi oleh granit Permo-Trias. Batas selatannya dicirikan oleh kehadiran sedimen klastik tidak termetamorfosakan berumur Paleozoikum - Mesozoikum dan batugamping - batugamping Tersier (Pigram dan Sukanta, 1981; Pieters dkk., 1983).

Pada bagian timur Blok Kemum dibatasi oleh Jalur Lipatan Anjakan Lengguru. Jalur Lipatan Anjakan Lengguru berarah baratdaya-tenggara diperlihatkan oleh suatu seri bentukan ramps dan

thrust. Di bagian selatannya, jalur ini terpotong

oleh Zona Sesar Tarera-Aiduna (Hobson, 1997). Intensitas perlipatan Lipatan Anjakan Lengguru cenderung melemah ke arah utara zona perlipatan dan meningkat kearah timur laut yang berbatasan dengan zona Sesar Wandemen (Dow dkk., 1984). Zona Sesar Wandaman pada arah selatan-tenggara, merupakan jalur sesar yang dibatasi oleh batuan metamorf dan merupakan kelanjutan dari belokan Sesar Ransiki ke utara. Geologi daerah Zona Sesar Wandamen terdiri dari batuan alas berumur Paleozoikum Awal, batuan penutup paparan dan batuan sediment yang berasal dari lereng benua. Zona Sesar Tarera-Aiduna merupakan zona sesar mendatar mengiri di daerah selatan Leher Burung. Jalur Lipatan Anjakan Lengguru secara tiba-tiba berakhir di zona berarah barat-timur ini. Sesar ini digambarkan (Hamilton, 1979 dalam Pigram dkk., 1982) memotong Palung Aru dan semakin ke barat menjadi satu dengan zona subduksi di Palung Seram. Pada bagian barat daya leher, terdapat Antiklin Misol-Onin-Kumawa yang merupakan bagian antiklinorium bawah laut yang memanjang dari Peninsula Kumawa sampai ke Pulau Misool (Pigram dkk., 1982).

Jalur Sesar Naik New Guinea (JSNNG) hadir di daerah tengah-selatan badan burung. Jalur ini melintasi seluruh zona yang ada di daerah sebelah timur New Guinea yang menerus kearah barat dan dikenal sebagai Jalur Sesar Naik Pegunungan Tengah (JSNPT). Zona JSNNG-JSNPT merupakan zona interaksi antara lempeng Australia dan pasifik. Zona JSNPT dibatasi oleh sesar yapen, sesar sungkup mamberamo di utara. Batas tepi barat oleh sesar benawi torricelli dan di selatan oleh sesar naik foreland. Sesar terakhir yang membatasi JSSNG ini diduga aktif sebelum Orogen Melanesia.

Sesar sungkup JSNPT dihasilkan oleh gaya pemampatan yang sangat intensif dan kuat dengan komponen utama berasal dari arah utara. Gaya ini

(6)

6

juga menghasilkan beberapa jenis antiklin dengan

kemiringan curam bahkan sampai mengalami pembalikan (overtuning). Proses ini juga menghasilkan sesar balik yang bersudut lebar (reserve fault). Penebalan batuan kerak yang diduga terbentuk pada awal pliosen ini memodifikasi bentuk daerah JSNPT. Periode ini juga menandai kerak yang bergerak ke arah utara.membentuk sesar sungkup Mamberamo (Mamberamo Thrust Belt) dan mengawali Gautier

Offset.

Evolusi Tektonik dan Sejarah Geologi Papua Pembentukan Pulau Papua telah banyak didiskusikan oleh para ahli geologi dan mendapat perhatian yang cukup besar karena geologinya yang kompleks tersebut. Pada mulanya pulau Papua merupakan dasar lautan Pasifik yang paling dalam. Awal terpisahnya benua yang mencakup Papua di dalamnya (Benua Australia) terjadi pada masa Kapur Tengah (kurang lebih 100 juta tahun yang lalu). Lempeng Benua India-Australia (atau biasa disebut Lempeng Australia) bergerak ke arah Utara keluar dari posisi kutubnya dan bertubrukkan dengan Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah Barat.

Pulau Papua merupakan pulau yang terbentuk dari sedimentasi dengan masa yang panjang pada tepi utara kraton Australia yang pasif dimulai pada Zaman Karbon sampai Tersier Akhir. Lingkungan pengendapan berfluktuasi dari lingkungan air tawar, laut dangkal, sampai laut dalam dan mengendapkan batuan klastik kuarsa, termasuk lapisan batuan klastik karbonat, dan berbagai batuan karbonat yang ditutupi oleh Kelompok Batugamping New Guinea berumur Miosen. Ketebalan urutan sedimentasi ini mencapai lebih dari 12.000 meter.

Selain itu, Papua juga terbentuk berdasarkan pertumbukan yang dihasilkan dari interaksi konvergen kedua lempeng yaitu Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia, dijelaskan bahwa

Lempeng Pasifik mengalami subduksi sehingga lempeng ini berada di bawah Lempeng Australia. Pada saat dimulainya gerakan ke utara dan rotasi dari benua super ini, seluruh Papua dan Australia bagian utara berada di bawah permukaan laut. Bagian daratan paling Utara pada Lempeng India-Australia antara 90-100 juta tahun lalu berada pada 48⁰ Lintang Selatan yang merupakan titik pertemuan Lempeng India-Australia dan Pasifik. Ketika Lempeng India-Australia dan Lempeng Pasifik bertemu di sekitar 40 juta tahun lalu, Pulau Papua mulai muncul di permukaan laut pada sekitar 35⁰ Lintang Selatan, dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa subduksi antara ke-2 lempeng tersebut telah menyebabkan endapan Benua Australia terangkat sehingga memunculkan Pulau Papua (Gambar 6). Proses ini berlanjut selama masa Pleistosen hingga Pulau Papua terbentuk seperti sekarang ini. Proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi, kecepatannya adalah 2,5 km per juta tahun.

Apabila dijabarkan berdasarkan periode-periodenya, maka aktivitas tektonik penting yang menjadi cikal bakal Papua saat ini terjadi melalui beberapa tahap (Gambar 6), yaitu :

1. Pada Kala Oligosen terjadi pergerakan tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat dari tumbukan Lempeng Australia dengan busur kepulauan berumur Eosen pada Lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies sekis hijau berbutir halus dan turbidit karbonat pada sisi benua sehingga membentuk Jalur “Metamorf Rouffae” yang dikenal sebagai “Metamorf Dorewo". Akibat lebih lanjut dari aktivitas tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke atas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua.

(7)

7

2. Peristiwa tektonik penting kedua yang

melibatkan Papua adalah Orogenesa Melanesia yang dimulai pada pertengahan Miosen yang diakibatkan oleh adanya tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik. Hal ini mengakibatkan deformasi dan pengangkatan kuat dari batuan sedimen Karbon-Miosen (CT) dan membentuk Jalur Aktif Papua. Kelompok Batugamping New Guinea kini terletak pada Pegunungan Tengah. Jalur ini dicirikan oleh sistem yang kompleks dengan kemiringan ke arah utara, sesar naik yang mengarah ke Selatan, lipatan kuat atau rebah dengan kemiringan sayap ke arah selatan. Orogenesa Melanesia ini diperkirakan mencapai puncaknya pada Pliosen Tengah. Dari pertengahan Miosen sampai Plistosen, cekungan molase berkembang baik ke Utara maupun Selatan. Erosi yang kuat dalam pembentukan pegunungan menghasilkan detritus yang diendapkan di cekungan-cekungan sehingga mencapai ketebalan 3.000 – 12.000 meter. Tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan deformasi batuan dalam cekungan molase tersebut.

Pemetaan Regional yang dilakukan oleh PT Freeport menemukan paling tidak pernah terjadi tiga fase magmatisme di daerah Pegunungan Tengah. Secara umum, umur magmatisme diperkirakan berkurang ke arah selatan dari utara dengan polayang dikenali oleh Davies (1990) di Papua Nugini.

Fase magmatisme tertua terdiri dari terobosan gabroik sampai dioritik, diperkirakan berumur Oligosen dan terdapat dalam lingkungan Metamorfik Derewo. Fase kedua magmatisme berupa diorit berkomposisi alkalin terlokalisir dalam Kelompok Kembelangan pada sisi Selatan Sesar Orogenesa Melanesia-Derewo yang

berumur Miosen Akhir sampai Miosen Awal. Magmatisme termudadan terpenting berupa instrusi dioritik sampai monzonitik yang dikontrol olehsuatu patahan yang aktif mulai Pliosen Tengah sampai kini. Batuan-Batuan intrusitersebut menerobos hingga mencapai Kelompok Batugamping New Guinea, dimanaendapan porphiri Cu-Au dapat terbentuk seperti Tembagapura dan OK Tedi di Papua Nugini.

Tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan deformasi batuan dalam cekungan molase tersebut. Menurut Smith (1990), sebagai akibat benturan lempeng Australia dan Pasifik adalah terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang kedalam batuan sedimen diatasnya yang sebelumnya telah mengalami patahan dan perlipatan. Hasil penerobosan itu selanjutnya mengubah batuan sedimen danmineralisasi dengan tembaga yang berasosiasi dengan emas dan perak. Tempat -tempat konsentrasi cebakan logam yang berkadar tinggi diperkiraakan terdapat padalajur Pegunungan Tengah Papua mulai dari komplek Tembagapura (Erstberg, Grasberg, DOM, Mata Kucing, dll), Setakwa, Mamoa, Wabu, Komopa, Dawagu, Mogo Mogo Obano, Katehawa, Haiura, Kemabu, Magoda, Degedai, Gokodimi, Selatan Dabera, Tiom, Soba-Tagma, Kupai, Etna Paririm Ilaga. Sementara didaerah Kepala Burung terdapat di Aisijur dan Kali Sute.

Potensi Pulau Papua

Potensi-potensi yang terdapat pada Pulau Papua dibagi menjadi 3, yaitu potensi migas, potensi tambang, dan potensi kebencanaan.

Potensi Migas

Potensi migas terbagi menjadi beberapa jenis cekungan, yaitu cekungan mature, cekungan semi-mature, dan cekungan frontier.

(8)

8

Cekungan mature merupakan cekungan yang

telah berproduksi dan memiliki sistem petroleum yang lengkap dan telah berproduksi, contohnya adalah Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni. Pada Cekungan Salawati, Formasi Klasafat bertindak sebagai batuan induk dan reservoirnya merupakan Formasi Kais, dengan sistem perangkap berasosiasi dengan struktur sesar normal yang menghubungkan sikuen Perm dengan perangkap Kais. Pada Cekungan Bintuni, potensi batuan induk terbagi dalam 3 zona: Formasi Ainam, FormasiWaripi, dan kelompok Batugamping New Guinea. Reservoir utama yang mengandung hidrokarbon adalah batupasir Kelompok Kembelangan Bawah dan Formasi Kais, sedangkan batuan penutupnya adalah Formasi Stenkool.

Cekungan Biak termasuk dalam cekungan semi-mature, yaitu cekungan yang belum berproduksi dikarenakan hidrokarbon yang terkandung belum cukup matang. Batuan induk yang berpotensi adalah batulempung dan batulanau dari Formasi Ambai, batugamping berlempung dan batugamping berfosil dari Formasi Wainukendi, dan napal dari Napal Sumboi. Namun, masalah di Cekungan Biak adalah kurangnya reservoir berkualitas baik. Pada Cekungan Biak, sedimen klastik batupasir hanya tipis saja pada data sumur, sementara reservoir yang terbaik didapatkan terdapat pada batugamping Formasi Wurui. Cekungan frontier, yaitu cekungan baru yang dapat dieksploitasi dan dikembangakan di Papua adalah Cekungan Akimegah, Sahul, dan Waropen. Batuan induk dan reservoir pada Cekungan Akimegah dan Sahul hadir dalam formasi batuan Tersier dan batuan-batuan Pra-Tersier (Mesozoikum hingga Paleozoikum Akhir),. Sedangkan untuk Cekungan Waropen, batuan induk dan batuan reservoirnya termasuk dalam batuan-batuan Tersier. Sistem perangkap pada ketiga cekungan tersebut berupa jebakan struktur,

stratigrafi, maupun gabungannya dengan batuan penutupnya adalah batulempung dan batuserpih. Potensi Tambang

Sektor pertambangan dan bahan galian Papua berpotensi sangat besar (Tabel 1), contohnya adalah pertambangan emas dan tembaga PT Freeport di Timika. Potensi pertambangan terbesar di Papua adalah Grasberg. Tambang Grasberg adalah tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Tambang ini terletak di provinsi Papua di Indonesia dekat latitude -4,053 dan longitude 137,116, dan dimiliki oleh Freeport yang berbasis di AS(67.3%), Rio Tinto Group (13%), Pemerintah Indonesia (9.3%) dan PT Indocopper Investama Corporation (9%). Pada 2004, tambang ini diperkirakan memiliki cadangan 46 juta ons emas. Pada 2006 produksinya adalah 610.800 ton tembaga; 58.474.392 gram emas; dan 174.458.971 gram perak (Gambar 3).

Potensi Kebencanaan

Berdasarkan tatanan tektonik Papua (Gambar 2), maka Papua memiliki potensi bencana yang cukup besar, diantaranya adalah potensi gempa bumi, potensi tsunami, bahkan potensi longsor.

Potensi bencana gempa bumi dapat terjadi di sepanjang zona sesar (contoh: Zona Sesar Sorong, Sesar Ransiki, Sesar Yapen). Detachment yang terjadi pada zona sesar tersebut di wilayah lautan berpotensi memicu tsunami yang berbahaya bagi area pesisir pantai Papua.

Potensi longsor dapat dilihat dari banyaknya daerah-daerah terjal yang terbentuk akibat tumbukan antara lempeng Australia dengan lempeng Pasifik. Proses tersebut meng-hasilkan pegunungan lipatan yang cukup terjal. Akibat hal tersebut, daerah-daerah rendahan yang berada di sekitar pegunungan memiliki potensi longsor yang cukup besar. Potensi tersebut diperkuat jika daerah pegunungan berada pada zona sesar aktif

(9)

9

yang dapat mengganggu kesetimbangan statis

lereng ketika gempa terjadi.

Selain hal tersebut, pengaruh dari adanya pegunungan lipatan adalah potensi banjir bandang pada daerah Papua. Potensi tersebut terjadi jika air yang mengalir di permukaan (runoff) memiliki debit yang cukup besar sehingga daerah lembahan yang berada di sekitar pegunungan merupakan daerah limpasan air.

Kesimpulan

Papua terbentuk akibat dari interaksi yang bersifat konvergen miring (oblique convergence) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik-Caroline. Konvergensi yang terjadi sejak Eosen hingga kini menimbulkan produk berupa dua tahapan kolisi yang terjadi pada Kala Oligosen (Orogenesa Peninsula) dan dikuti kolisi yang terjadi pada Miosen (Orogenesa Melanesia).

Stratigrafi regional Papua dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian Kepala Burung, bagian Leher Burung, dan bagian Badan Burung.

Batuan Pra-Tersier pada bagian Kepala Burung merupakan batuan dasar yang termasuk dalam sikuen turbidit Formasi Kemum berusia Silur-Devon. Pada bagian Badan Burung hadir batuan-batuan Pra-Kambrium, dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu Formasi Awigatoh, Formasi Kariem, dan Formasi Tuaba. Masing-masing formasi tersebut memiliki hubungan tak selaras. Di atas batuan Pra-Kambrium terendapkan Formasi Modio berumur Silur-Devon.

Formasi Aiduna pada bagian Badan Burung berumur setara dengan Kelompok Aifam yang berumur Karbon Atas-Perm Atas, hadir menumpangi batuan dasar secara tak selaras. Regresi yang berlanjut hingga Trias menyebabkan

terendapkannya Formasi Tipuma pada seluruh Papua.

Batuan-batuan Mesozoik secara tak selaras hadir di atas Formasi Tipuma, batuan-batuan fersebut adalah Formasi Jass dan Kelompok Kembelangan. Di atas batuan-batuan Mesozoik, hadir sikuen karbonat Eosen-Miosen yang termasuk dalam Batugamping New Guinea. Batuan-batuan berusia Pliosen-Pleistosen menunjukkan lingkungan pengendapan yang berbeda-beda, yaitu lingkungan laut (Formasi Klasaman dan Buru), lingkungan transisi (Formasi Steenkool), dan lingkungan darat (Formasi Sele dan endapan Mollase).

struktur regional Papua dapat dibagi menjadi 3 zona struktur (Gambar 5), yaitu:

1. Kepala Burung: didominasi oleh struktur sesar berarah Barat-Timur, yaitu Sesar Sorong. dan Tinggian Kemum.

2. Leher Burung: didominasi oleh struktur berarah Utara- Barat Laut (Jalur Perlipatan Lengguru), Sesar Ransiki, Aru Through, Antiklin Misool-Onin Kumawa, dan Sesar Wandaman, Sesar Tarera-Aiduna.

3. Tubuh Burung: didominasi oleh struktur berarah Barat-Barat Laut sepanjang Central

Range, diantaranya adalah Jalur Sesar Naik

New Guinea (JSNNG), Jalur Sesar Naik Pegunungan Tengah (JSNPT), Sesar SungkupMamberamu, dan Sesar Yapen. Pemetaan Regional yang dilakukan oleh PT Freeport menemukan paling tidak pernah terjadi tiga fase magmatisme di daerah Pegunungan Tengah. Fase magmatisme tertua terdiri dari terobosan gabroik sampai dioritik, diperkirakan berumur Oligosen dan terdapat dalam lingkungan Metamorfik Derewo. Fase kedua magmatisme berupa diorit berkomposisi alkalin terlokalisir dalam Kelompok Kembelangan pada sisi Selatan

(10)

10

Sesar Orogenesa Melanesia-Derewo yang

berumur Miosen Akhir sampai Miosen Awal. Magmatisme termudadan terpenting berupa instrusi dioritik sampai monzonitik yang dikontrol olehsuatu patahan yang aktif mulai Pliosen Tengah sampai kini.

Potensi Pulau Papua meliputi potensi migas, potensi mineral, dan potensi kebencanaan. Potensi migas Papua dikelompokkan menjadi 3, yaitu cekungan dewasa (Cekungan Bintuni dan Salawati), cekungan belum dewasa (Cekungan Biak), dan cekungan frontier (Cekungan Sahul, Cekungan Akimegah, dan Cekungan Waropen. Potensi tambang berada di Grasberg, yaitu tambang tembaga dan emas. Potensi kebencanaan Papua meliputi gempa, tsunami, dan longsor yang dapat terjadi di zona-zona sesar, serta bencana banjir sebagai bencana permukaan.

Daftar Pustaka

Atasi, R., 2011, Analisis Geometri dan Kualitas

Reservoir Batupasir Daram Waripi Bawah, Endapan Turbidit. Lapangan Jefta, Cekungan Bintuni. Papua Barat, Tugas Akhir Sarjana

Strata 1, Program Studi Teknik Geologi, Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Bemmelen, R. W., 1949, The Geology of

Indonesia, Batavia: Government Printing

Office, The Hague, 766 hal.

Darman, H. dan Sidi, F. H., 2000, An Outline of

The Geology of Indonesia, Indonesia: IAGI,

205 hal.

Davies, H. L., Winn, R. D., dan KenGemar, P., 1996, Evolution of the Papian Basin: a view

from the orofen in Buchanan P.G. (ed), Petroleum, Exploration, Development, and Production in Papua New Guinea, Prosiding

ketiga Konvensi Petroleum PNG, Port Moresby, hal 53-62.

Dow, D.B., dan Sukamto, R., (1984), Western

Irian Jaya: the end-product ofoblique plate convergence in the Late Tertiary,

Tectonophysics, vol. 106, hal. 109-139.

Dow, D. B., Robinson, G. P., Hartono, U., dan Ratman, N., 1986, Peta Geologi Irian Jaya,

skala 1:1000.000, Bandung: Pusat Sumber

Daya Geologi.

Hamilton, W.R., 1979, Tectonics of The Indonesia

Region. United States Geological Survey.

Mutti, Emiliano, 1992, Turbidite Sandstones : Instituto di Geologia, Universitas Parma. Riandini, P dan Sapiie, B., 2011, The Sorong fault

Zone Kinematics: Implication for Structural Implication on Salawati Basin, Seram and Misool, West Papua, Indonesia, AAPG Annual

Convention and Exhibition Houston, Texas, USA.

Sapiie, B. dan Cloos, M., 1998, Strike-slip

deformation, breccia formation and porphyry Cu-Au mineralization in the Gunung Bijih (Erstberg) Mining District, Irian jaya, Indonesia, Disertasi Akhir Ph.D Strata 3,

Geological Sciences Universitas Texas.

Sapiie, B., 2000, Structural geology and ore

deposit: case study of the Grasberg super porphyry Cu-Au mineralization, Irian Jaya, Indonesia, Prosiding ke-29 Konvensi Tahunan

Ikatan Alumni Geologi Indonesia, Bandung, Indonesia.

Sapiie, B., Hadiana, M., dan Ibrahim, A. M., 2007, Strike-slip Deformation and Formation

Hydrocarbon Trap in The Seram Island, Easter Indonesia, Bandung: Departemen

(11)

11

Sapiie, B., 2010, Mesozoic and Paleozoic

Tectonic Evolution of Indonesian Regions :

Fact, Model and Problems. IAGI

Sapiie, B., Naryanto, W., Adyagharini, A. C.,

dan Pamumpuni, A., 2012, Geology and

Tectonic Evolution of Bird head Region

Papua, Indonesia: Implication for

Hydrocarbon Exploration in the Eastern

Indonesia, Artikel Search and Discovery

no. 30260.

Pieters P.E., 1983, The Stratigraphy of

Western Irian Jaya. Proceeding 12th

Annual Convention.

Pigram, C.J, Panggabean, H., 1981, Pre

Tertiary Geology of western Irian Jaya

and Misool Island : Implications for The

Tectonic

Development

of

Eastern

Indonesia, Proceeding IPA 10th Annual

Convention.

Syafron, Edward, 2011, Evaluation of The

Mesozoic Stratigraphy of Misool Island

and

Implications

for

Petroleum

Exploration in the Bird’s Head Region,

West Papua, Indonesia. IPA, 35th Annual

Covention.

Wulandari, S., dan Sulistio, E. B., 2013,

Otonomi Khusus dan Dinamika

Perekonomian di Papua, Jurnal Ilmiah

Administrasi Publik dan Pembangunan,

vol. 4., No. 1, Januari-Juni 2013.

(12)

12

Gambar 1. Peta lokasi Papua dan fisiografi. (http://en.wikipedia.org/wiki/New_Guinea). Pada peta diatas, tampak pembagian dari fisiografis regional dari Pulau Papua yang tampak seperti seekor burung. Pulau ini

terbagi menjadi bagian-bagian seperti bagian kepala, badan dan ekor.

Gambar 2. Kondisi tektonik Pulau Papua (Nillandaroe dan Barraclough, 2003; dalam Sapiie dkk., 2007). Pada gambar di atas tampak struktur sesar geser mengiri hadir sebagai zona-zona sesar utama. Pada bagian utara Pulau New Guinea terdapat Zona Sesar Sorong yang menerus berarah barattimur. Pada bagian selatan

terdapat Zona Sesar Tarera-Aiduna yang memiliki pola mirip dengan Zona Sesar Sorong.

(13)

13

Gambar 3. Pembagian geologi Papua menjadi 3 provinsi tektonik : SW atau southwest cratonic zone, C atau

central collisional zone atau zona tubrukan tengah NE atau northeastern islands dan jajaran yang terbentuk

(14)

14

Gambar 4. Stratigrafi di daerah Kepala Burung, Leher Burung, dan Badan Burung Papua. (Sapiie, 2000, dalam Darman dan Sidi, 2000)

(15)

15

Gambar 5. Struktur Regional Papua (dimodifikasi dari Sapiie, 2000). Tanda panah

menunjukkan gerakan relatif antara Lempeng Pasifik dan Australia. Keterangan :

MTFB = Mamberamo Thrust and Fold Belt WO = Weyland Overthrust

WT = Waipona Trough

TAFZ = Tarera-Aiduna Fault Zone RFZ = Ransiki Fault Zone LFB = Lengguru Fault Belt SFZ = Sorong Fault Zone YFZ = Yapen Fault Zone MO = Misool-Onin High

(16)

16

Gambar 6. Evolusi Tektonik Papua selama Mesozoik-Kini (dimodifikasi

(17)

17

Gambar 7. Perbandingan Tonase emas di seluruh dunia (Slide Kuliah Endaman Mineral, 2012)

Gambar

Gambar 2. Kondisi tektonik Pulau Papua (Nillandaroe dan Barraclough, 2003; dalam Sapiie dkk., 2007)
Tabel 1. Perusahaan tambang di Provinsi Papua (Wulandari dan Sulistio, 2013

Referensi

Dokumen terkait