• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Remaja yang Menikah Muda. Berikut ini akan dipaparkan mengenai gambaran sampel penelitian.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Remaja yang Menikah Muda. Berikut ini akan dipaparkan mengenai gambaran sampel penelitian."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Remaja yang Menikah Muda

Berikut ini akan dipaparkan mengenai gambaran sampel penelitian. Secara umum penelitian ini menggunakan 97 sampel peneltian sebelum nantinya akan dilakukan pengkategorian tingkat penyesuaian diri sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Adapun gambaran umum sampel penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Jenis Kelamin

Berdasarkan seluruh sampel penelitian yang digunakan, sebagian besar sampel berjenis kelamin perempuan sebanyak 86,6%, sedangkan remaja yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 13 orang (13,4 %). Keterangan mengenai jenis kelamin sampel penelitian dapat dilihat dari diagram 4.1 berikut ini : laki-laki 13% peremp uan 87%

Jenis Kelamin

(2)

2. Usia

Usia sampel penelitian berdasarkan tahap perkembangan remaja menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan seluruh sampel yang digunakan dapat diketahui bahwa remaja yang berusia 16 tahun berjumlah 1 orang (1,0%), remaja yang berusia 18 tahun berjumlah 19 orang (19,6%), remaja yang berusia 19 tahun berjumlah 11 orang (11,3%), remaja yang berusia 20 tahun berjumlah 14 orang (14,4%), remaja yang berusia 21 tahun berjumlah 10 orang (10,3%), remaja yang berusia 22 tahun berjumlah 30 orang (30,9%), dan remaja yang berusia 23 tahun berjumlah 12 orang (12,4%). Keterangan mengenai usia sampel penelitian dapat dilihat pada diagram 4.2 berikut ini :

12-15 tahun 0% tahun16 1% 17 tahun 0% 18 tahun 20% 19 tahun 11% 20 tahun 15% 21 tahun 10% 22 tahun 31% 23 tahun 12%

Usia

(3)

3. Agama

Berdasarkan seluruh sampel penelitian, diperoleh data bahwa seluruh remaja di Desa tersebut memeluk agama islam, yaitu sebanyak 97 orang (100%). Keterangan mengenai agama sampel penelitian digambarkan dalam diagram 4.3 berikut ini :

100% 0% 0% 0% 0%

Agama

islam kristen katolik hindu

Diagram 4.3 Gambaran Umum Agama

4. Pekerjaan

Berdasarkan seluruh sampel penelitian, diketahui bahwa remaja yang bekerja sebagai buruh sebanyak 4 orang (4,1%), remaja yang bekerja sebagai ibu rumah tangga sebanyak 70 orang (72,2%), remaja yang bekerja sebagai karyawan sebanyak 9 orang (9,3%), remaja yang berprofesi sebagai mahasiswa/i sebanyak 2 orang (2,1%), dan remaja yang tidak bekerja ( pengangguran) dan wiraswasta sebanyak 6 orang (6,2%). Keterangan mengenai pekerjaan sampel penelitian digambarkan dalam diagram 4.4 berikut ini :

(4)

Diagram 4.4 Gambaran Umum Agama

5. Pendidikan Terakhir

Dari 97 remaja yang menjadi sampel penelitian memiliki tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, D3, S1 dan S2. Berdasarkan data yang diperoleh didapat bahwa remaja yang menikah muda yang pendidikan terakhirnya adalah D3 berjumlah 3 orang (3,1%), SD berjumlah 27 orang (27,8%), SMA berjumlah 21 orang (21,6%), dan mayoritas remaja yang menjadi sampel penelitian berasal dari tingkat pendidikan SMP yaitu berjumlah 46 orang (47,4%).Untuk lebih jelasnya mengenai pendidikan terakhir sampel penelitian dapat dilihat pada diagram 4.5 berikut ini :

sd 28% smp 47% sma 22% d3 3% s1 0% s2 0%

Pendidikan Terakhir

(5)

B. Kategorisasi Penyesuaian diri terhadap Pasangan pada Remaja yang Menikah Muda

1. Gambaran Umum Kategorisasi Penyesuaian Diri terhadap Pasangan

Berdasarkan perhitungan statistik deskriptif dengan dibantu alat hitung SPSS 15.0 didapat minimum 72,00 dan nilai maximum 162,00 dengan nilai mean 136,26 dan standar deviasi 15,20. Maka diperoleh pengkategorisasian penyesuaian diri sebagai berikut :

159 ≤ Sangat Tinggi

144 ≤ X < 158 Tinggi 129 ≤ X < 143 Sedang

113 ≤ X < 128 Rendah

< 113 Sangat Rendah

Tabel 4.1 Gambaran Umum Kategorisasi Penyesuaian Diri

Kategori Jumlah % Sangat Tinggi 13 13,40 Tinggi 11 11,30 Sedang 39 40,20 Rendah 34 35,10 Sangat Rendah 0 0 Total 97 100

(6)

Untuk pembahasan selanjutnya hanya akan digunakan 58 subyek karena skor total sangat tinggi dan tinggi dikategorikan menjadi tinggi dan kategori rendah dan sangat rendah akan dikategorikan menjadi rendah, sedangkan subyek berada pada kategori sedang tidak dipergunakan atau dibuang, yaitu terdiri dari tingkat penyesuaian diri tinggi 34 orang dengan persentase 35,10 % dan penyesuaian diri rendah 24 orang dengan persentase 24,70 %. Hal ini dilakukan karena peneliti hanya memfokuskan penelitian pada deskriptif pengkategorian penyesuaian diri tinggi dan rendah saja. Yang dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini :

Tabel 4.2 Gambaran Kategorisasi Penyesuaian Diri

Kategori Jumlah %

Tinggi 34 58,6%

Rendah 24 41,4%

Total 58 100%

Dari hasil perhitungan statistik pada tabel 4.2 mengenai pengkategorian penyesuaian diri terhadap pasangan tinggi dan rendah pada remaja yang menikah muda di Desa Tanimulya Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat maka dapat dilihat bahwa hanya ada sedikit selisih perbedaan angka antara remaja yang memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan dengan remaja yang memiliki penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangan. Remaja yang dapat menyesuaiakan diri dengan baik terhadap pasangan dalam kehidupan perkawinan kemungkinan besar dapat menjalani kehidupan rumah tangga dengan lebih

(7)

bertanggung jawab dan mampu berinteraksi baik dengan pasangan sehingga mampu menjalin kesepakatan antar pasangan dengan baik, mampu menjalin kelekatan antar pasangan, memiliki kepuasaan antar pasangan dalam hubungan perkawinannya, serta adanya frekuensi yang sering terhadap ungkapan perasaan dalam kehidupan perkawinannya (Lasswell & Lasswell, 1987). Adanya kesepakatan antar pasangan dalam hubungan perkawinan menjadikan beban dan tugas-tugas perkawinan merupakan tugas, peran dan tanggung jawab bersama sehingga relasi yang terjalin pun menitikberatkan pada keadilan masing-masing pihak untuk memberi kontribusi demi kebersamaan. Adanya kesepakatan yang terjalin antar pasangan antara lain mengenai masalah keuangan (item nomor 10 dan 32). Perkawinan mempertemukan dua orang dengan cirri-ciri pribadi, nilai-nilai yang dianut, dan berbagai karakteristik pribadi yang berbeda. Kedua individu yang berbeda ini akan menghadapi konflik-konflik dalam berbagai aspek kehidupan perkawinan mereka, sehubungan dengan perbedaan diantara mereka (Duvall & Miller, 1985). Dalam hubungan perkawinan, pasangan akan menemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang harus diputuskan, seperti mengatur anggaran belanja dan bagaimana membagi tugas-tugas rumah tangga, dan pasangan akan menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan perspektif terhadap berbagai hal (Arnold & Parker dalam Benokraitis, 1996). Kelekatan antar pasangan ditandai dengan frekuensi bekerja sama (item nomor 1 dan 18). Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama akan mempengaruhi

(8)

kepuasaan individu terhadap perkawinan (Miller dalam Hurlock, 1980). Selanjutnya Anderson menyatakan bahwa pasangan yang merespon peristiwa-peristiwa krisis dengan baik mempunyai derajat kedekatan (cohesion), ikatan emosi dengan kemampuan untuk beradaptasi yang tinggi (Anderson dalam Knox, 1988). Selanjutnya, Jhonson (dalam knox, 1988) menyatakan bahwa sumber kedekatan yaitu berbagi pengalaman-pengalaman di antara pasangan yang berlangsung selama bertahun-tahun, baik itu pengalaman kegagalan atau pengalaman kesuksesan. Adanya kepuasan antar pasangan meliputi frekuensi pertengkaran yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga (item nomor 7 dan 35). Atwater (1983) dan Benokraitis (1996) menyatakan bahwa peran (suami-istri) yang dijalankan sangat berperan dalam kepuasan hubungan perkawinan. Blumstein (dalam Benokraitis, 1996) menyatakan bahwa pasangan yang baru melakukan perkawinan melakukan proses identity bargaining dimana pasangan saling menyesuaikan diri kembali harapan ideal pasangan pada kenyataan (realities) kehidupan perkawinan mereka. Dalam proses identity bargaining, pasangan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap peran baru mereka sebagai suami-istri. Ungkapkan perasaan dalam rutinitas keseharian, seperti panggilan khusus terhadap pasangan (item nomor 5). Afeksi tidak selalu ditunjukkan dengan ucapan verbal atau sentuhan fisik, tetapi lewat perhatian dan kualitas pasangan suami istri menjaga hubungan perkawinannya.

(9)

Untuk kategori rendah yaitu 24 orang (24,7%), hal ini berarti bahwa sebagian dari remaja yang menikah di Desa Ngamprah memiliki kesulitan dalam menyesuaiakan diri dengan pasangannya. Hal ini sesuai dengan beberapa pernyataan yang antara lain adalah sulitnya menyepakati permasalahan mengenai kehidupan beragam (item nomor 8 dan 34). Seperti yang diungkapkan oleh Duvall dan miller (1985) bahwa dalam hubungan perkawinan, pasangan akan menemukan berbagai permasalahan permasalahan, yang harus diputuskan melalui kesepakatan untuk mendapatkan kesepahaman antar pasangan. Kurang adanya kelekatan antar pasangan meliputi frekuensi bertukar pikiran (item nomor 4 dan 28). Interaksi yang dilakukan menunjukkan wujudnya komunikasi terbuka diantara pasangan suami isteri, ada tanggung jawab untuk terus `menjaga’ kebersamaan mereka, menjaga keseimbangan untuk saling bergantung dengan pasangan, kesetaraan terhadap kemampuan bersama dan menghargai pasangan (Bidwell, 1999:259). Tidak adanya kepuasaan antar pasangan meliputi frekuensi membicarakan perceraian. ada tiga hal yang dapat menggambarkan kepuasan dalam suatu hubungan perkawinan yaitu (1) Setiap pasangan harus mempunyai sikap yang positif satu dengan yang lainnya. (2) Pasangan memahami bahwa kehidupan perkawinan memerlukan komitmen dalam jangka panjang dan waktu perkawinan merupakan lembaga yang suci dimana pasangan bersungguh-sungguh melakukan perjanjian perkawinan, sehingga konflik dapat dihindari. (3) Adanya dukungan emosional dari pasangan dalam hubungan perkawinan

(10)

tersebut. Kurang adanya ungkapan perasaan yang berhubungan dengan aktivitas seksual (item nomor 37 dan 23). Suami istri yang sudah terbiasa untuk tidak menampakkan afeksi akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang hangat dan intim, sebab masing-masing mengartikan perilaku pasangannya sebagai indikasi bahwa ia tidak acuh (Hurlock, 2002). Hal ini berpengaruh pada kualitas hubungan pasangan suami istri itu sendiri.

2. Gambaran Penyesuaian Diri Remaja terhadap Pasangan Berdasarkan Data Penunjang

a. Jenis Kelamin

Untuk melihat gambaran penyesuaian diri terhadap pasangan pada remaja di Desa Ngamprah berdasarkan jenis kelamin, maka digunakan perhitungan crosstabs. Dari remaja laki-laki (12,1%) dan remaja perempuan (87,9%), maka diperoleh hasil perhitungan crosstabs yaitu, remaja laki-laki sebanyak 42,9% berada pada kategori tinggi dan pada kategori rendah sebanyak 57,1%. Sedangkan untuk remaja perempuan yang berada pada kategori tinggi sebanyak 60,8% dan pada kategori rendah sebanyak 39,2%. Hasil perhitungan crosstabs dapat dilihat pada tabel 4.3 dibawah ini.

(11)

Tabel 4.3 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Penyesuaian Diri Jumlah

Tinggi % Rendah %

Laki- Laki 3 42,9% 4 57,1% 7

Perempuan 31 60,8% 20 39,2% 51

Total 34 24 58

Berdasarkan data diketahui bahwa remaja laki-laki dan remaja perempuan memiliki penyesuaian diri terhadap pasangan yang berbeda. Remaja perempuan memiliki penyesuaian diri yang tinggi sebanyak 60,8%, sedangkan remaja laki-laki sebanyak 57,1% menunjukan penyesuaian diri yang rendah. Hal ini ditunjukan beberapa remaja perempuan yang memiliki penyesuaian diri tinggi terhadap pasangannya menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 7 yaitu menyelesaikan dengan baik permasalahan kecil, pada item favorable nomor 35 yaitu memaafkan kesalahan kecil yang dilakukan pasangan, dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item unfavorable nomor 39 yaitu permasalahan kecil bisa menimbulkan pertengkaran. Artinya bahwa remaja perempuan menunjukan penyesuaian diri yang lebih tinggi daripada remaja laki-laki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lauran Brizendine, pelopor neuriopsikiatri (saraf-jiwa) yang mengatakan bahwa remaja perempuan lebih mahir atau memiliki orientasi dalam hubungan sosial, pandai membangunpersahabatan, dan cenderung menghindar dari konflik dan perpecahan yang melibatkan teman atau lingkungan di sekitarnya. Hal ini jug terkait dengan remaja perempuan yang memiliki

(12)

kemampuan bahasa dan mendiskripsikan persoalan secara lebih mendetil sehingga ketika menghadapi konflik dalam rumah tangganya, remaja perempuan lebih mengharapkan konflik tersebut terselesaikan sehingga melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikannya agar tidak menjadi persoalan yang panjang terhadap rumah tangganya yang mempengaruhi kepuasaan perkawinan satu sama lain. Adanya kecenderungan bahwa remaja laki-laki lebih peduli terhadap nilai-nilai keadilan dan kejujuran, sedangkan remaja perempuan terhadap nilai-nilai kesejahteraan, baik dalam lingkup keluarga, hubungan sebaya maupun masyarakat.

Sementara itu remaja laki-laki cenderung memiliki penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangan. Hal ini disebabkan karena beberapa remaja laki-laki yang memiliki penyesuaian diri rendah menyatakan tidak pernah dan jarang pada item favorable nomor 7 yaitu menyelesaikan dengan baik permasalahan kecil dan menyatakan sering dan selalu pada item unfavorable nomor 39 yaitu permasalahan kecil bisa menimbulkan pertengkaran. Artinya bahwa remaja laki-laki menunjukkan penyesuaian diri yang rendah dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan bahwa laki-laki secara umum berusaha menghindarkan diri untuk tenggelam pada perdebatan dalam bentuk apapun sehingga ketika terjadi pertengkaran remaja laki-laki memilih untuk tidak menyelesaikan permasalahan sehingga konflik pun muncul yang berdampak terhadap kepuasaan antar pasangan satu sama lain. Oleh karena itu bentuk reaksi dari penyesuaian diri yang rendah tersebut adalah melarikan diri dari situasi yang tidak

(13)

menyenangkan.Remaja laki-laki tidak mampu mengenal dirinya sehingga tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap situasi dalam diri sendiri maupun dalam lingkungan sosial, sehingga dapat menimbulkan konflik bagi dirinya maupun dengan lingkungannya. Brizendine (2006) seorang ahli neuropsikiatri dan direktur klinik yang khusus mengkaji fungsi otak perempuan menjelaskan bahwa memang secara struktur ada perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan, hal ini berakibat pada perbedaan keduanya dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, cara berkomunikasi, dan lain sebagainya. Penelitian Carlson (Purwati, 1993) menemukan bahwa laki-laki cenderung lebih tinggi dalam orientasi sosial sedangkan perempuan lebih berorientasi personal. Prawitasari & Kahn (1985) menjelaskan bahwa perempuan mempunyai kecenderungan untuk lebih hangat, emosional, sopan, peka, dan mentaati aturan, sedangkan laki-laki cenderung lebih stabil, dominan, dan impulsif. Hal terpenting untuk menentukan kualitas suatu hubungan perkawinan adalah kepuasan dan kebahagiaan dari pasangan tersebut (Rogers dan White, 1998:293-308). Adanya Salah satu pasangan merasa pasangannya tidak mampu menyelesaikan masalah dan tidak ada inisiatif untuk menyelesaikannya menjadi faktor yang menghambat penyesuaian perkawinan. Menurut Gunarsa (1982) setiap pasangan suami istri harus saling ikut serta dalam setiap perubahan yang terjadi melalui penyelesaian masalah demi masalah, khususnya perubahan dan perkembangan suasana rumah. Seperti yang diungkapkan oleh Duvall dan miller (1985) bahwa dalam hubungan

(14)

perkawinan, pasangan akan menemukan berbagai permasalahan-permasalahan, yang harus diputuskan melalui kesepakatan untuk mendapatkan kesepahaman antar pasangan.

b. Usia

Berdasarkan usia remaja yang menikah muda di Desa Ngamprah diperoleh data yaitu, remaja yang menikah muda terdiri dari usia 16 tahun (1,7%), 18 tahun (8,6%), 19 tahun (15,5%), 20 tahun (15,5%), 21 tahun (10,3%), 22 tahun (34,5%), dan 23 tahun (13,8). Dengan mengunakan perhitungan crosstabs penyesuaian diri berdasarkan usia diperoleh hasil yaitu remaja yang berusia 16 tahun sebanyak 0% berada pada kategori tinggi dan kategori rendah sebanyak 100%. Remaja yang berusia 18 tahun sebanyak 40,0% berada pada kategori tinggi dan kategori rendah sebanyak 60,0%. Remaja yang berusia 19 tahun yang berada pada kategori tinggi sebanyak 33,3% dan kategori rendah sebanyak 66,7%. Remaja yang berusia 20 tahun sebanyak 66,7% berada pada kategori tinggi dan kategori rendah sebanyak 33,3%. Remaja yang berusia 21 tahun yang berada pada kategori tinggi sebanyak 66,7% dan kategori rendah sebanyak 33,3%. Remaja yang berusia 22 tahun sebanyak 65,0% berada pasa kategori tinngi dan kategori rendah sebayak 35,0%. Dan remaja yang berusia 23 tahun yang berada pada kategori tinggi sebanyak 75,0% dan kategori rendah sebanyak 25,0%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.

(15)

Tabel 4.4 Gambaran Penyesuaian Diri terhadapa Pasangan Berdasarkan Usia

Usia Penyesuaian Diri

Jumlah Tinggi % Rendah % 16 tahun 0 0% 1 100% 1 18 tahun 2 40,0% 3 60% 5 19 tahun 3 33,3% 6 66,7% 9 20 tahun 6 66,7% 3 33,3% 9 21 tahun 4 66,7% 2 33,3% 6 22 tahun 13 65,0% 7 35,0% 20 23 tahun 6 75,0% 2 25,0% 8 Total 34 24 58

Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa remaja yang berusia 20 tahun (66,7%), 21 tahun (66,7%), 22 tahun (65,0%), dan 23 tahun (75,0%) memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan sedangkan remaja yang berusia 16 tahun (100%), 18 tahun (60%) dan 19 tahun (66,7%) menunjukkan penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangan. Beberapa remaja yang berusia 20-23 tahun memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 14 sepakat membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis. Artinya remaja yang berada pada usia akhir memiliki tingkat penyesuaian diri yang lebih baik. Hal ini berhubungan dengan tingkat kematangan yang dimiliki oleh remaja akhir. Remaja akhir cenderung memiliki tingkat kematangan yang lebih baik dibandingkan dengan remaja awal. Remaja akhir juga ditandai dengan munculnya stabilitas yang meningkat. Stabilitas itu mengandung pengertian relatif tetap atau mantap dan tidak mudah berubah pendirian

(16)

akibat adanya rayuan atau propaganda dan lebih dapat mengadakan penyesuaian-penyesuaian dalam dalam banyak aspek kehidupannya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya termasuk pernikahan. Selain itu, reaksi-reaksi dan ekspresi emosinalnya tampak mulai terkendali dan dapat menguasai dirinya.

Sedangkan remaja berusia 16 tahun memiliki penyesuaian diri yang rendah, dan remaja usia 18-19 tahun cenderung memiliki penyesuaian diri rendah terhadap pasangangannya menyatakan tidak pernah dan jarang pada pernyataan item unfavorable nomor 40 yaitu sepakat untuk bersama dalam keadaan susah maupun senang. Artinya remaja pada usia awal cenderung mengalami kesulitan menyesuaian diri. Hal ini berkaitan dengan perubahan emosi yang dialami oleh remaja awal. Ketidakstabilan emosi mempengaruhi bagaimana cara remaja berinteraksi dengan lingkungan, dalam hal ini dengan pasangannya. Selain itu remaja awal juga memiliki reaksi-reaksi dan ekspresi emosionalnya masih labil dan belum terkendali seperti pernyataan marah, gembira atau kesedihannya masih dapat berubah-ubah dan silih berganti dalam waktu yang cepat. Pada masa remaja awal merupakan masa kritis dalam rangka menghadapi krisis identitasnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi psiko-sosialnya, yang akan membentuk kepribadiannnya. Sehingga remaja awal cenderung memiliki kesulitan untuk menyesuaiakan diri dengan pasangan.

(17)

c. Agama

Seluruh remaja yang menikah muda di Desa Ngamprah memeluk agama islam sebanyak 58,65 pada kategori tinggi dan sebanyak 41,4% pada kategori rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini

Tabel 4.5 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Agama

Agama Penyesuaian Diri

Jumlah

Tinggi % Rendah %

Islam 34 58,6% 24 41,4% 58

Total 34 24 58

d. Pekerjaan

Sebagian besar pekerjaan remaja yang menikah muda adalah sebagai ibu rumah tanggal sebanyak 45 orang (77,6%), bekerja sebagai karyawan sebanyak 5 orang (8,6%), bekerja sebagai buruh sebanyak 4 orang (6,9%) dan yang tidak bekerja sebanyak 4 orang (6,9%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini

Tabel 4.5 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Penyesuaian Diri

Jumlah Tinggi % Rendah % Buruh 4 100% 0 0% 4 Ibu Rumah Tangga 27 60,0% 18 40,0% 45 Karyawan 3 60,0% 2 40,0% 5 Tidak bekerja 0 0% 4 100% 4 Total 34 24 58

(18)

Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa remaja yang bekerja sebagai buruh (100%), ibu rumah tangga (60%), karyawan (60%) memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan, sedangkan remaja yang tidak memiliki pekerjaan (100%) memiliki penyesuaian diri yang rendah. Beberapa remaja yang memiliki penyesuaian diri tinggi terhadap pasangan yang bekerja sebagai buruh, ibu rumah tangga, dan karyawan menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 32 yaitu memutuskan bersama ketika akan membeli suatu barang dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item unfavorable nomor 3 yaitu merahasiakan pengeluaran dari pasangan. Artinya remaja yang memiliki kesibukan baik di dalam maupun di luar rumah memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap pasangan. Hal ini berkaitan dengan adanya pembagian perhatian antara rumah tangga dengan kesibukan yang dimilikinya sehingga mengurangi perasaan kebosanan terhadap pasangan dan rutinitas dalam kehidupan perkawinan yang dijalaninya. Remaja yang memiliki kesibukan cenderung membagi dua fokus perhatian dan tanggung jawabnya sehingga interaksi terhadap pasangannya lebih berkualitas.

Sedangkan beberapa remaja yang tidak memiliki pekerjaan dengan penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangan menyatakan sering dan selalu pada pernyataan unfavorable nomor 27 yaitu langsung membeli barang tanpa membicarakan dengan pasangan dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item favorable nomor 10 yaitu saling

(19)

memberitahu tentang pengeluaran satu ama lain. Artinya remaja yang tidak memiliki kesibukan cenderung memiliki penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangan. Remaja yang tidak bekerja cenderung mengalami kesulitan untuk menyesuaian diri, hal ini dikarenakan remaja yang tidak bekerja cenderung merasa tidak berguna serta kehilangan fungsi dalam mencari nafkah untuk keluarga. Keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung rentan terhadap konflik antara suami dan istri. Selain itu juga, remaja yang tidak bekerja mengalami kejenuhan terhadap rutinitasnya karena tidak adanya kesibukan lain selain keluarga sehingga mudah mengalami perasaan frustasi.

e. Pendidikan Terakhir

Berdasarkan pendidikan terakhir diperoleh data remaja yang menikah muda memiliki pendidikan terakhir terdiri dari SD (29,3%), SMP (48,3%), SMA (19,0%), dan D3 (3,4%). Dengan mengunakan perhitungan crosstabs penyesuaian diri berdasarkan pendidikan terakhir diperoleh hasil yaitu remaja yang menikah dengan pendidikan terakhirnya SD sebanyak 35,3% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 64,7% berada pada kategori rendah. Remaja yang pendidikan terakhirnya SMP sebanyak 64,3% berada pada kategori tinggi dan pada kategori rendah sebanyak 35,7%. Remaja yang pendidikan terakhirnya SMA sebanyak 72,7% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 27,3% berada pada kategori rendah. Sementara iru remaja yang pendidikan

(20)

terakhirnya D3 sebanyak 100% berada pada kategori tinggi dan 0% berada pada kategori rendah. Hasil perhitungan crosstabs dapat dilihat pada tabel 4.6 dibawah ini.

Tabel 4.6 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Pendidikan Terakhir Penyesuaian Diri Jumlah Tinggi % Rendah % SD 6 35,3% 11 64,7% 17 SMP 18 64,3% 10 35,7% 28 SMA 8 72,7% 3 27,3% 11 D3 2 100% 0 0% 2 Total 34 24 58

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa remaja yang pendidikan terakhirnya adalah SMP (64,3%), SMA (72,7%), dan D3 (100%) memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangannya, sedangkan remaja yang pendidikan terakhirnya adalah SD (64,7%) menunjukkan penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangannya. Beberapa pernyataan remaja yang pendidikan terakhirnya adalah SMP,SMA dan D3 dengan penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 11 yaitu saling meminta pendapat dengan pasangan ketika sedang bingung dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item unfavorable nomor 4 yaitu merahasiakan dari pasangan permasalahan mengenai anak/keluarga besar. Artinya remaja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada Sekolah Dasar mampu menyesuaian diri dengan baik terhadap pasangannnya. Hal ini seperti pernyataan Dyer (1983) menunjukkan, bahwa semakin tinggi

(21)

tingkat pendidikan pasangan suami istri, maka mempunyai kemungkinan lebih besar untuk melakukan penyesuaian perkawinan dan sedikit terjadinya perceraian. Tingkat pendidikan seseorang mampu mengukur kemampuan berkomunikasi yang baik dengan orang lain serta mengukur kemampuan penyelesaian masalah terhadap krisis sehingga terhindar dari kesalahpahaman dan permasalahan yang berlarut-larut yang mampu memicu terjadinya konflik.

Sedangkan remaja yang pendidikan terakhirnya adalah SD memiliki penyesuaian diri rendah terhadap pasangan menyatakan sering dan selalu pada item unfavorable nomor 28 yaitu tidak memperdulikannya ketika pasangan sedang emosi dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item favorable nomor 33 yaitu menceritakan terhadap pasangan ketika ada permasalahan mengenai anak/keluarga besar. Artinya remaja yang rendah tingkat pendidikannya cenderung mengalami kesulitan dalam menyesuaiakan diri. Kurangnya pengetahuan mengenai keterbukaan terhadap pasangan dalam kehidupan berumah tangga menjadi hal utama yang sering terjadi pada remaja yang tingkat pendidikannya cenderung rendah. Sedikitnya informasi yang didapat mengenai pembentukan keluarga yang bahagia menjadikan remaja dengan tingkat pendidikan yang rendah kurang mengetahui upaya-upaya pasangan suami istri untuk saling beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada diri sendiri maupun pasangan. Selain itu juga, kurang pahamnya dengan pembelajaran-pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan perkawinan

(22)

menjadikan remaja dengan tingkat pemdidikan rendah tidak menjadikan setiap konflik sebagai bahan intropeksi diri sehingga terjadi pengulangan konflik yang sama. Hal ini dipengaruhi dengan pola pikir pada remaja. Remaja cenderung egosentris, mengganggap benar setiap pendapatnya sehingga kurang mau menerima masukan dari orang lain. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan yang didapatnya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka pola pikir pada remaja pun semakin berkembang.

f. Alasan Menikah Muda

Berdasarkan alasan menikah muda diperoleh data alasan remaja menikah muda terdiri dari suka sama suka (89,7%), dijodohkan (8,6%), dan kehamilan tidak diinginkan (1,7%). Dengan mengunakan perhitungan crosstabs penyesuaian diri berdasarkan alasan menikah muda diperoleh hasil yaitu alasan menikah muda berdasarkan suka sama suka sebanyak 63,5% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 36,5% berada pada kategori rendah. Alasan menikah muda karena dijodohkan yang berada pada kategori tinggi sebanyak 0% dan sebanyak 100% berada pada kategori rendah. Sementara alasan menikah muda karena kehamilan tidak diinginkan sebanyak 100% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 0% berada pada kategori rendah. Hasil perhitungan

(23)

Tabel 4.7 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Alasan Menikah Muda

Alasan Menikah Muda Penyesuaian Diri Jumlah Tinggi % Rendah % Suka Sama Suka 33 63,5% 19 36,5% 52 Dijodohkan 0 0% 5 100% 5 KTD 1 100% 0 0% 1 Total 34 24 58

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa remaja yang memiliki alasan untuk menikah muda adalah berdasarkan atas suka sama suka (63,5%) dan kehamilan tidak diinginkan (100%) memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan, sedangkan remaja yang memutuskan untuk menikah karena alasan dijodohkan (100%) memiliki penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangan. Beberapa pernyataan remaja yang menikah muda karena alasan suka sama suka dan kehamilan tidak diinginkan menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 30 yaitu memeluk pasangan ketika sedang rindu dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item unfavorable nomor 37 yaitu malu mencium pasangan ketika sedang berduaan. Artinya pasangan yang memiliki alasan menikah muda karena berdasarkan atas suka sama suka cenderung mampu mengungkapkan perasaannya melalui aktivitas seksual yang tepat sehingga mampu menyesuaian diri dengan baik terhadap pasangannya. Sebelum memutuskan untuk menikah remaja yang akhirnya menikah melalui proses pemikiran segala konsekuensi yang ada dengan bahan

(24)

pertimbangan-pertimbangan yang matang. Hal ini berkaitan dengan adanya kesiapan fisik maupun psikis pada remaja sehingga penyesuaian terhadap pasangannya pun tinggi. Remaja yang menikah berdasarkan keinginannya sendiri cenderung memiliki komitmen terhadap diri sendiri dan pasangannya untuk dapat membina rumah tangga yang harmonis sehingga mampu mengupayakan diri untuk menyesuaiakan diri dengan pasangan sehingga tujuan dari pernikahan pun tercapai. Sementara itu, remaja yang memiliki alasan menikah karena kehamilan tidak diinginkan juga mampu menyesuaian diri dengan baik terhadap pasangannya. Adanya kehadiran anak mampu meningkatkan keintiman antara pasangan suami-istri. Hal ini dikarenakan anak menjadi pengikat antara pasangan suami istri sehingga banyak upaya dilakukan untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia, serta adanya keinginan bersama untuk membesarkan anak tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi remaja mampu menyesuaiakan diri dengan baik terhadap pasangannya.

Remaja yang memutuskan untuk menikah karena alasan dijodohkan memiliki penyesuaian diri yang rendah terhadap pasangannya menyatakan sering dan selalu pada item unfavorable nomor 23 yaitu malu memeluk pasangan walaupun sedang rindu. Artinya remaja yang menikah berdasarkan alasan ini cenderung mengalami kesulitan untuk menyesuaiakan diri dengan pasangannya. Hal ini dikarenakan kurang mengenalnya pribadi satu sama lain secara mendalam. Sedikitnya kesempatan untuk saling mengenal dikarenakan pasangan yang menikah

(25)

dengan cara dijodohkan tidak mengenal dengan baik pasangannya. Biasanya pasangan yang dijodohkan hanya berdasarkan latar belakang keluarga tanpa mengenal kepribadiannya sehingga pada pasangan yang dijodohkan akan mengalami kesulitan dalam menyesuaiakan diri dengan pasangannya.

g. Usia Perkawinan

Berdasarkan usia perkawinan diperoleh data remaja yang usia perkawinannya terdiri dari 0-1 tahun (46,6%), 2-3 tahun (41,4%), dan 4 tahun ke atas (12,1%). Dengan mengunakan perhitungan crosstabs penyesuaian diri berdasarkan usia perkawinan diperoleh hasil yaitu usia perkawianan 0-1 tahun sebanyak 55,6% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 44,4% berada pada kategori rendah. Usia perkawinan 2-3 tahun sebanyak 66,7% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 33,3% berada pada kategori rendah. Sementara usia perkawinan 4 tahun ke atas sebanyak 42,9% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 57,1% berada pada kategori rendah. Hasil perhitungan crosstabs dapat dilihat pada tabel 4.8 dibawah ini.

Tabel 4.8 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Usia Perkawinan

Usia Perkawinan Penyesuaian Diri Jumlah Tinggi % Rendah % 0-1 tahun 15 55,6% 12 44,4% 27 2-3 tahun 16 66,7% 8 33,3% 24 4 tahun ke atas 3 42,9% 4 57,1% 7 Total 34 24 58

(26)

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa remaja yang usia perkawinannya 0-1 tahun memiliki penyesuaian diri yang tinggi (55,6%), begitu juga pada usia perkawinan 2-3 tahun (66,7%). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa remaja yang usia perkawinannya 0-1 tahun dan 2-3 tahun memiliki penyesuaian diri yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa remaja yang usia perkawinannya adalah 0-1 tahun dan 2-3 tahun yang memiliki penyesuaian diri yang tinggi menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 1 yaitu membereskan rumah bersama. Artinya remaja pada usia perkawinan 0-1 tahun mampu menyesuaiakan diri dengan baik terhadap pasangannya. Usia 0-1 tahun sering disebut dengan fase Blending. Menurut Kurdek & Smith (1994) fase bleding adalah suami istri belajar hidup bersama dan memahami bahwa mereka saling bergantung sehingga perbuatan salah satunya akan mempunyai konsekuensi terhadap yang lain. Usia perkawinan 2-3 tahun disebut dengan fase Nesting. Pada usia perkawinan 2-3 tahun remaja masih mampu menyesuaiakan diri dengan baik terhadap pasangannya. Usia perkawinan 2-3 tahun pada perkawinan remaja masih tergolong

Remaja yang usia perkawinan 4 tahun ke atas memiliki penyesuaian diri yang rendah (57,1%). Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pernyataan remaja yang peyesuaian diri terhadap pasangannya rendah yang menyatakan tidak pernah dan jarang pada item favorable nomor 18 yaitu berbelanja kebutuhan rumah tangga bersama. Artinya

(27)

usia perkawinan 4 tahun ke atas cenderung kesulitan dalam menyesuaian diri dengan pasangan.

h. Selisih Umur dengan Pasangan

Berdasarkan selisih umur dengan pasangan diperoleh data selisih umur remaja dengan pasangannya adalah 1-3 tahun (36,2%), 4-5 tahun (31,0%), dan lebih dari 5 tahun (32,8%). Dengan mengunakan perhitungan crosstabs penyesuaian diri berdasarkan selisih umur dengan pasangan diperoleh hasil yaitu remaja yang selisih umur dengan pasangannya 1-3 tahun sebanyak 52,4% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 47,6% berada pada kategori rendah. Remaja yang selisih umur dengan pasangannya 4-5 tahun sebanyak 50% berada pada kategori tinggi dan pada kategori rendah sebanyak 50%. Sementara remaja yang selisih umur dengan pasangannya lebih dari 5 tahun sebanyak 73,7% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 26,3% berada pada kategori rendah. Hasil perhitungan crosstabs dapat dilihat pada tabel 4.9 dibawah ini.

Tabel 4.9 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Selisih Umur dengan Pasangan Selisih Umur dengan Pasangan Penyesuaian Diri Jumlah Tinggi % Rendah % 1-3 tahun 11 52,4% 10 47,6% 21 4-5 tahun 9 50,0% 9 50,0% 18 Lebih dari 5 tahun 14 73,7% 5 26,3% 19

(28)

Total 34 24 58

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa remaja yang selisih umur dengan pasangannya adalah 1-3 tahun (52,4%) dan lebih dari 5 tahun (73,7%) memiliki penyesuaian diri yang tinggi, sedangkan remaja yang selisih umur dengan pasangannya adalah 4-5 tahun memiliki jumlah yang seimbang pada tingkat penyesuaian diri tinggi (50%) dan rendah (50%). Beberapa pernyataan remaja yang selisih usia dengan pasangannya 1-3 tahun dan lebih dari 5 tahun yang memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 41 yaitu saling menyempatkan diri untuk beribadah bersama. Artinya pada remaja yang selisih usia dengan pasangannya adalah 1-3 tahun memiliki penyesuaian yang baik dengan pasangan. Salah satu diantaranya adalah mengenai kehidupan beragama. Remaja yang memiliki pasangan dengan usia yang terpaut jauh dapat mengayominya mengenai permasalahan rumah tangga maupun permasalahan yang lain sehingga tingkat pengertian yang ada pun lebih besar terhadap pasangannya sehingga penyesuaian diri pun cenderung baik. Begitu pun dengan remaja yang selisih usia dengan pasangan lebih dari 5 tahun.

Remaja yang memiliki selisih umur dengan pasangan adalah 4-5 tahun memiliki penyesuaian diri yang sama antara tinggi dan rendah.

(29)

i. Lama Berpacaran

Berdasarkan lama berpacaran diperoleh data remaja yang menikah berpacaran selama 1-2 tahun (75,9%), lebih dari 3 tahun (12,1%), dan tidak berpacaran dahulu (12,1%). Dengan mengunakan perhitungan

crosstabs penyesuaian diri berdasarkan lama berpacaran diperoleh hasil

yaitu remaja yang sebelumnya berpacaran selama 1-2 tahun sebanyak 54,5% berada pada kategori tinggi dan berada pada kategori rendah sebanyak 45,5%. Remaja yang sebelumnya berpacaran selama lebih dari 3 tahun sebanyak 100% berada pada kategori tinggi dan sebanyak 0% pada kategori rendah. Sementara itu remaja yang sebelumnya tidak berpacaran terlebih dahulu sebanyak 42,9% berada pada kategori tinggi dan kategori rendah sebanyak 57,1%. Hasil perhitungan crosstabs dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah ini.

Tabel 4.10 Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Berdasarkan Lama Berpacaran

Lama Berpacaran Penyesuaian Diri Jumlah Tinggi % Rendah % 1-2 tahun 24 54,5% 20 45,5% 44 Lebih dari 3 tahun 7 100% 0 0% 7 Tidak berpacaran 3 42,9% 4 57,1% 7 Total 34 24 58

Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa remaja yang sebelum menikah berpacaran terlebih dahulu selama 1-2 tahun (54,5%) dan yang sebelumnya berpacaran selama lebih dari 3 tahun (100%) memiliki

(30)

penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa remaja yang sebelumnya berpacaran terlebih dahulu selama 1-2 tahun dan lebih dari 3 tahun yang memiliki penyesuaian diri tinggi terhadap pasangan menyatakan sering dan selalu pada item favorable nomor 9 bahwa percaya bahwa pasangannya setia ketika berada di luar rumah dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item unfavorable nomor 12 bahwa mencurigai pasangan berselingkuh ketika berada di luar rumah. Artinya bahwa remaja yang sebelum menikah mengalami proses pengenalan atau berpacaran dalam waktu yang lama dapat dengan mudah menyesuaiakan diri dengan pasangannya setelah menikah. Hal ini senada dengan yang diungkapakan oleh Grover (dalam Benokraitis, 1996) menyatakan ada pengaruh yang sangat tinggi antara lamanya waktu pacaran dengan kepuasan perkawinan yang merupakan indikator dari penyesuaian perkawinan yang baik. Remaja yang sebelum menikah berpacaran selama 5 tahun pun memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangannya. Makin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang dimiliki seseorang, makin besar pengertian wawasan sosial yang telah mereka kembangkan, dan semakin besar kemauan mereka untuk bekerja sama dengan sesamanya, serta semakin baik mereka menyesuaikan diri satu sama lain dalam perkawinan.

Sedangkan remaja yang sebelum menikah tidak berpacaran terlebih dahulu memiliki penyesuaian diri yang rendah (57,1%). Hal ini dapat

(31)

dilihat dari beberapa pernyataan remaja yang menyatakan sering dan selalu pada item unfavorable nomor 17 bahwa ketika bertengkar kemudian membicarakan perceraian dan menyatakan tidak pernah dan jarang pada item favorable nomor 22 bahwa ketika bertengkar menghindari kata perceraian. Artinya remaja yang sebelum menikah tidak berpacaran dahulu sulit melakukan penyesuaian diri yang baik terhadap pasangan setelah menikah. Hal tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan akan pribadi satu sama lain sehingga lebih mudah merasakan ketidakcocokan begitu konflik muncul. Periode atau masa pacaran yang lebih singkat berdampak pada setidaknya waktu bagi pasangan untuk memecahkan banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka melangsungkan perkawinan.

C. Dimensi Penyesuaian Diri yang Dominan

Penelitian ini menggunakan emapat dimensi penyesuaian diri terhadap pasangan yang dikemukakan oleh Spanier (Lasswell & Lasswell,1987) yang terdiri dari kesepakatan antar pasangan (kesepakatan mengenai keuangan, rekreasi, agama, filsafat kehidupan, dan tugas-tugas rumah tangga), kelekatan antar pasangan (frekuensi bertukar pikiran bekerja sama, dan berbagi minat), kepuasan antar pasangan (frekuensi pertengkaran, membicarakan perceraian dan saling percaya), dan ungkapan perasaan (penyampaian kasih sayang dan aktivitas seksual).

(32)

Berdasarkan penghitungan statistik deskriptif Z-score, dimensi yang dominan ada pada dimensi kepuasaan antar pasangan, hasil perhitungan Z-skor dapat dilihat pada tabel 4.19.

Tabel 4.19 Dimensi yang Dominan Dimensi Penyesuaian

Diri

Jumlah subyek Persentase

Kesepakatan antar Pasangan 10 17 % Kelekatan antar Pasangan 13 22 % Kepuasan antar Pasangan 19 33 % Ungkapan Perasaan 16 28 % Jumlah 58 100 %

Berdasarkan hasil perhitungan nilai Z-score dengan menggunakan

SPSS 15.00 menunjukkan bahwa dimensi kepuasaan antar pasangan

merupakan dimensi yang paling dominan dari penyesuaian diri terhadap pasangan pada remaja yang menikah yaitu sebesar 33 %. Dimensi kepuasaan antar pasangan mengacu pada frekuensi pertengkaran, membicarakan perceraian dan saling percaya antar pasangan. Dimensi kepuasaan antar pasangan dapat dilihat dari item pernyataan favorable menyelesaikan dengan baik permasalahan kecil/sepele (item nomor 7), memaafkan kesalahan kecil yang dilakukan oleh pasangan (item nomor 35), menghindari kata perceraian setiap bertengkar (item nomor 22), percaya pasangan setia ketika berada di luar rumah (item nomor 9),

(33)

percaya bahwa pasangan mencintainya (item nomor 36). Dan pernyataan

unfavorable seperti permasalahan kecil/sepele bisa membuat bertengkar

dengan pasangan (item nomor 39), ketika bertengkar besar, membicarakan perceraian (item nomor 17), setiap bertengkat berpikir untuk bercerai (item nomor 38), mencurigai pasangan berselingkuh ketika berada di luar rumah (item nomor 12), meragukan apa yang dikatakan pasangan (item nomor 31).

Gambar

Diagram 4.1 Gambaran Umum Jenis Kelamin
Diagram 4.2 Gambaran Umum Usia
Diagram 4.4 Gambaran Umum Agama
Tabel 4.4 Gambaran Penyesuaian Diri terhadapa Pasangan Berdasarkan Usia

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penerapannya, muqarnas dapat bertransformasi menjadi bentuk yang benar- benar tiga dimensional, seperti yang terdapat pada kubah-kubah dan relung pintu gerbang, dapat

Surveilans reduksi campak merupakan salah satu kegiatan surveilans khusus dan global, sehingga semua pihak harus dapat berperan untuk mensukseskan komitmen global yang telah

 Struktural patch: secara umum terdiri dari satu tipe tanah yang dioverlap oleh asosiasi vegetasi!.  Fungsional patch: suatu area yang homogen untuk satu fungsi atau

Dalam pengertian itu, sketsa lebih merupakan gambar kasar, bersifat sementara, baik diatas kertas maupun diatas kanvas, dengan tujuan untuk dikerjakan lebih lanjut sebagai

Untuk menghapus data, pertama, pilih jenis barang yang akan dihapus, kemudian click tombol Delete, dan selanjutnya akan ditampilkan jendela seperti berikut:. Jendela Hapus Data

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik ( LPSE ) dan memenuhi persyaratan SBU Bidang Arsitektural

Hal ini sejalan dengan pernyataan Sanchez dan Larrea (1972) melalui percobaan umur bibit padi dengan mulai umur 30 sampai dengan 105 hari pembibitan pada tiga