• Tidak ada hasil yang ditemukan

penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanfaatan Sumberdaya Udang

Pemanfaatan sumberdaya udang yang dilakukan oleh nelayan merupakan salah satu aktifitas yang berpengaruh terhadap perkembangan udang, terutama yang tumbuh di daerah mangrove. Pengaruh penangkapan udang terjadi apabila semakin besar laju penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim berikutnya.

Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau masih berukuran kecil (juvenilljuwana) dalam jumlah banyak. Kecenderungan yang terjadi apabila laju penangkapan semakin meningkat, maka jumlah hasil tangkapan udang semakin menurun dengan kondisi regenerasi yang sama. Bahkan dapat berakibat fatal, yaitu terjadi kepunahan sumberdaya udang pada daerah tersebut.

Hubungan antara upaya penangkapan udang dan jumlah hasil tangkap akan membentuk kurva, dimana titik maksimum dengan nilai Fmax yang berarti biologi adalah sebuah titik puncaknya. Setelah mencapai titik puncak, dimana terjadi keseimbangan antara jumlah tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) secara alami akan mengalami penurunan atau tidak mengalami kestabilan sepanjang titik . F,,, Kondisi demikian dapat dilihat pada kurva hasil tangkap

-

upaya (Gambar 2).

Clark dalam Adrianto (1 992) menyatakan, dengan adanya peningkatan jumlah upaya penangkapan hingga melebihi titik Maksimum Susteinable yield (MSY), maka pertambahan hasil tangkap akan bernilai negatif hingga mencapai titik no1 pada saat hasil tangkapan sama dengan daya dukung perairan tersebut. Kondisi semacam ini yang

(2)

dinamakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih secara biologi (biological overfishing).

Gambar 2. Kurva hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan (Sparre and Venema, 1998).

2.2. Udang Penaeid

Udang penaeid yang berada di Indonesia dikelompokan dalam tiga kategori disamping udang barong dan udang lainnya. Ketiga kelompok tersebut adalah udang windu atau giant tiger prawn (Penaeus monodon dan Penaeus semiculatus), udang putih atau banana prawn (Penaeus merguensis de Man dan Penaeus indicus) dan udang dogol atau metapenaeus shrimp (Metapenaeus spp.). Selanjutnya dari seluruh hasil tangkapan udang, maka yang mendominasi hasil tangkapan udang di lndonesia terdiri dari berbagai jenis spesies, yaitu Penaeus rnerguensis de Man, Penaeus monodon, Penaeus semiculatus, Metapenaeus afinis, Mefapenaeus brevicornis dan Mefapenaeus ensis (Nurfirman, 1992).

Udang penaeid memiliki ciri khas yaitu kaki jalan pertama-kedua-ketiga mempunyai capit, dan kulit chitin (pleura) pada segmen perut yang pertama tidak tertindih oleh kulit chitin pada degmen perut berikutnya. Secara umum siklus hidup udang penaeid, terbagi atas 3 kelompok, yaitu (1) keseiuruhan hidupnya di muara sungai, seperti

(3)

rbierapenaeus bannettae, dan M. insoliius, (2) keseluruhan hidupnya dl lautan, seperti Parapenaeus, Hymenopenaeus, Gennades, Aristaeomorpha, dan Funchalia, (3) keseluruhan hidupnya terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai, seperti udang penaeus (Kirkegaard, 1973 dalam Asbar, 1994).

Murtidjo (1989), menggambarkan morfologi udang penaeid, dimana bagian abdomen atau separuh tubuh yang memiliki ekor, dapat dilihat adanya kaki renang (pleopoda), dan pada kaki keenam akan mengalami perubahan bentuk menjadi sirip ekor (uropoda), serta ujung ruas membentuk ujung ekor (telson). Selain itu dibawah pangkal ujung ekor terdapat anus untuk ekskresi kotoran.

Menurut Grey ef.al. (1983), udang jerbung memiliki tubuh berwarna putih kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit tipis serta tembus cahaya. Rostrum berbentuk memanjang, langsing dan hampir berbentuk segi tiga. Pada pasangan sungut pendek (antennule) terdapat ban-ban berwarna merah kecoklatan dan memiliki bintik-bintik coklat dan hijau pada ujung ekornya (Gambar 3).

Disamping itu terdapat kaki jalan dan kaki renang udang jerbung berwarna kekuningan dan terkadang berwarna kemerahan. Sirip ekor (uropod) yang berwarna merah kecoklatan dengan ujung kuning kemerahan atau terkadang sedikit kebiruan. Udang jerbung dapat mencapai panjang total hingga 24 cm (Naarnin, 1977).

2.3. Ekologi dan Daur Hidup Udang

Udang penaeid di lndonesia terdapat 42 jenis, jenis-jenis yang termasuk ke dalam genera Penaeus dan Metapenaeus merupakan jenis-jenis utama yang menunjang perikanan udang lndonesia (Naamin, 1984). Menurut Badrudin dan Barus (1991),

(4)

penyebaran udang laut (Penaeus spp. dan Metapenaeus spp.) banyak ditemukan hampir disepanjang pantai landai dan dipengaruhi oleh adanya aliran sungai.

Pada Tabel 1. diperlihatkan habitat dari beberapa udang penaeid yang bernilai ekonomis tinggi yang terdapat di Indonesia (Holthuis (1980), Unar (1977), Naamin (1975) dalam Nurfirman (1992)). Udang penaeid umumnya hidup di dasar perairan, dengan dasar lumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Hal ini terkait dengan kebiasaan makan penaeid yang makanannya terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat didasar. Seperti contoh Udang Jerbung hidup didasar berlumpur pada kedalaman 10 - 45 meter.

Secara umum udang penaeid mencari makan pada dasar perairan, yaitu sebagai detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar. Dasar perairan yang sesuai bagi udang penaeid berupa lumpur, berpasir dan lumpur berpasir.

Tabel 1. Habitat Udang Penaeid

Udang Windu (Penaeus monodon)

Spesies -

Udang Putih

(Penaeus merguensis de Man)

Udang Putih (Penaeus indicus)

Habitat

Dasar berlumpur, di muara sungai, estuari, dan hut, kedalaman 10 - 45 m. Perairan pantai berlumpur atau berpasir, ditambak-tambak dan muara sungai kedalaman 0 - 110 m I Ukuran Maksimum i 4 24 cm I I 24 cm 270 gr Perairan dengan dasar lunak (lumpur

atau lumpur berpasir), daerah yang

22 cm (bentina) banyak menerima aliran sungai besar;

kedalaman 2 - 90 m 8 cm (Jantan) Udang Windul

Udang Kembang Penaeus semiculatus Metapenaeus affinis

Perairan dengan dasar berlumpur atau berpasir

Kedalaman 2 -1 30 m

M. brevicornis

23 cm (betina) 18 cm (jantan) Dasar berlumpur; kedalaman 5 - 92 m 22 cm (umumn~a

17 cm) Estuari dan laut; kedalaman 0 - 30 m 10 cm (betina)

(5)

- - - - - - -- -- - -

Spesies M. ensis

Josoef dalam Aziz eta/. (2001), menerangkan bahwa Panaeus merguensis dan P,

I

M monoceros

I

I

'

indicus mempunyai daya penyesuaian yang besar terhadap semua tipe dasar perairan,

-- - -- -

Habitat

Estuari dan laut dengan dasar lumpur berpasir

Tambak-tambak; 0 -64 m

tetapi lebih menyukai dasar perairan lempung liat. P. monodon lebih menyukai tekstur Ukuran Maksimum 16 (betina)

13 cm (jantan) Perairan dasar lumpur, berpasir,

tambak-tambak; kedalaman 1 - 60 m; umumnya 10 - 30 m

dasar perairan lempung berdebu (lumpur pasir). Udang Windu lebih menyukasi perairan 19 cm (betina) 15 cm (jantan) Parapenaeosis sp. I Muara sungai dan saluran tambak

yang terlindung dari musim barat, seperti teluk Lampung dan perairan selatan jawa

I

khususnya di pantai Pangandaran-Cilacap. Sumber : Nurfirman dalam Lindawaty (1994)

Umumnya juvenile udang atau juwana terutama Penaeus Monodon berada di wilayah perairan estuaria yang dipengaruhi oleh air sungai yang telah dewasa berada pada perairan dalam (Grey ef. a1.,1983). Udang penaeid bersifat bentik yang hidup pada permukaan dasar perairan laut. Habitat yang disukai adalah dasar laut yang lunak, biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir (Unar dalam Dahuri, 1984).

Menurut Lindawaty (1994), udang penaeid umumnya hidup didasar berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Hal ini berhubungan erat dengan makanan dan cara makan dari udang. Makanan udang terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar perairan

Menurut Aziz et. al. (2001), beberapa jenis udang melakukan aktivitas makannya siang dan malam dan jarang membenamkan diri dalam substar seperti udang jerbung dan udang lainnya (udang dogol) lebih senang keluar dari substrat pada malam hari. Udang

(6)

jerbung meencari makan di atas atau dalam sedimen di dasar perairan, yaitu berupa detritus, organisme demersal kecil dan bagian dari tumbuhan air. Selanjutnya untuk jenis udang seperti Penaeus esculatus, P. merguensis, P. plebejus dan Metapenaeus spp. terdiri dari sisa-sisa hewan kecil dan sebagian besar material yang tidak dikenal dari makanan mikroorganisme (bakteri, ganggang dan mikrofauna) yang tumbuh di permukaan substrat.

Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai cukup besar dan bervegetasi mangrove merupakan daerah udang penaeid yang baik (Kirkegraad dalam Naamin, 1984). Daerah Selatan Jawa yang memiliki bentuk teluk, salah satunya adalah kawasan Segara Anakan, dengan potensi pengaliran air sungai dari beberapa lokasi berbeda yang cukup besar memberikan masukan air tawar dan hutan mangrove yang cukup luas, sehingga perairan ini dapat memenuhi kesuburannya sebagai daerah berkembangnya udang.

Beberapa wilayah di Indonesia memiliki beberapa daerah udalig yang baik, seperti pantai barat sumatera (Meulaboh, Sibolga, dan Air Bangis); pantai timur sumatera mulai dari langsa di sebelah utara sampai teluk lampung di sebelah selatan; sepanjang pantai utara jawa; pantai selatan jawa (Pangandaran, Cilacap, selatan Yogya, Pacitan, Nusa Barung, dan Grajagan); perairan Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan, dan Timur); Sulawesi (Teluk Bone dan Selat Makasar); dan perairan Maluku-lrian Jaya (Laut Arafuru dan sekitarnya) (Naamin, 1984).

Berdasarkan berbagai hasil penelitian oleh para pakar udang di dunia yang dirangkum oleh Naamin (1984), bahwa selain keadaan dasar laut dan aliran air sungai beberapa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan perikanan udang penaeid adalah suhu, salinitas, oksigen, sedimentasi, curah hujan, kekeruhan, arus dan pasang surut air, fase bulan, keadaan hari (siang atau malam), unsur hara, dan

(7)

keadaan hutan mangrove. Menurut Gunarso (1985), keadaan perairan serta perubahan akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Selanjutnya faktor musim dan perubahan suhu tahunan akan mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan suatu jenis ikan, karena terjadi pula perubahan kelimpahan makanan.

Kehidupan udang penaeid di alam secara garis besar meliputi dua fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai (Toro dan Soegiarto, 1979). Menurut Gracia dan Le Reste dalam Aziz ef.al, (2001) mengungkapkan bahwa secara ekosistem, penyebaran udang dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah muara sungai atau estuaria (sebagai spawning ground) dan daerah lepas pantai pada stadia dewasa. Udang penaeid secara fisiologis juga, mengalami perubahan kapasitas dengan kenyataan hidup yang harus dijalani, yaitu bermigrasi dari satu kondisi lingkungan menuju kondisi lingkungan lainnya.

Daur hidup kelompok udang ini dimulai dari induk udang betina yang memijahkan telurnya di daerah laut terbuka. Selanjutnya kira-kira setelah 24 jam, telur menetas menjadi larva tingkat pertama yang dinamakan nauptilus bersifat planktonis. Nauplius ini bergerak mengikuti arus kearah pantai atau muara sungai.

Menurut Aziz ef. al. (2001), telur penaeid menetas setelah 24 jam dan menjadi larva (nauplius), selanjutnya mengalami delapan kali pergantian kulit (molting) dan berubah menjadi profozoea. Protozoea berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit, dimana pada masa ini bersifat planktonis. Mysis akan menjadi pascalarva setelah berganti kulit sebanyak tiga kali.

Matosudarmo dan Ranamihardjo (1 983) menjelaskan, stadia nauplius berlangsung sekitar 35 jam pada Penaeus japanicus dan 46 jam untuk Penaeus monodon. Setelah mengalami molting atau pergantian kulit selama enam kali nauptilus berubah menjadi mysis selama 3-6 hari (De Los Santos dalam Asbar, 1994). Mysis berubah menjadi pasca

(8)

(PL) setelan tiga kali berganti kulit. Umumnya pada pasca larva memiliki pleopoda berambut (satae) untuk berenang dan merupakan stadia yang sudah mencapai daerah asuhan (nursery ground) di perairan pantai, serta mulai menuju ke dasar perairan.

Pascalarva merupakan tingkat yang sudah mencapai daerah asuhan di dasar perairan, dirnana pada masa ini secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah mengalami bebrapa kali pergantian kulit. Yuwana mencari makan dan tumbuh di daerah asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian akan mulai beruaya kearah laut seiring dengan kematangan gonad. Udang akan matang gonad dan memijah di laut. Setelah matang gonad udang melepaskan telurnya ke laut untuk segera dibuahi sedangkan jenis udang lain umurnnya menyimpan telurnya samapi menetas menjadi larva. Fase kematangan gonad mengalami lima tahapan, yaitu belum berkembang (kondisi kantung telur), proses berkembang, hampir matang, matang, dan salin. Fekunditas diperkirakan antara 30.000 - 180.000 telur (Aziz et.al., 2001)

Menurut lmai (1977), berpindahnya udang dari daerah asuhan menuju laut terjadi pada saat udang sudah matang gonad. Pada dearah laut terbuka udang penaeus menjadi dewasa kelamin dan melakukan pemijahan. Secara umum gambaran siklus udang dapat dilihat pada Gambar 4.

(9)

Gambar 2. Anatomi Udang Penaeidae (Grey et. Al. 1983)

(10)

2.4. Kondisi Perairan

Perairan kelurahan Karanganyar termasuk daerah Segara Anakan bagian barat. Kawasan ~ n i merupakan perairan estuaria yang dinamik, sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan memiliki suplai air tawar dari beberapa sungai. Sungai yang berakhir di kawasan Segara Anakan antar lain: sungai Citanduy dan Cibeureum, dimana kedua aliran sungai ini berpotensi membawa partikel sedimen. Sehingga pengaruh keduanya terhadap perairan cukup besar, salah satunya dapat mengakibatkan pendangkalan pada daerah akhir atau kawasan Segara Anakan.

Perubahan kualitas perairan di kawasan ini sangat cepat. Komponen yang dapat mempengaruhi kualitas perairan antara lain:

a) Pasang Surut

Pengaruh masuknya air laut dari laut lepas menyebabkan berfluktuasinya nilai kualitas air. Menurut Purba et. a1 dalam Matsuyama et. a/. (1994), Pergerakan air di kawasana Segara Anakan dipengaruhi oleh pasang surut yang berasal dari dua sumber yaitu, bagian barat dan timur estuaria. Fluktuasi permukaan air laut mengalami dua kali pasang (M2) atau semidiurnal mencapai 0,5 m di luar estuari.

Menurut Defant, Pasang surut di sepanjang pantai selatan Jawa dominan bersifat semidiurnal, dimana terjadi dua kali pasang (M2) yang berlangsung kontinyu (Matsuyama et. al., 1994).

Selanjutnya Matsuyama ef. a/. (1994) mengungkapkan maksimum kecepatan berasal dari pintu barat Segara Anakan dan berkisar 1,5 meterldetik. Pengaruh pasang ini mencapai majingklak dan kelurahan klaces, dimana pengaruh pasang melemah pada sekitar mulut sungai Cibereum dan Cikonde yang ber!angsung selama 3 jam.

(11)

Pada kondisi pasang umumnya nelayan apong tidak melakukan pemasangan apong, akan tetapi melakukan persiapan hingga terjadi surut.

b) Suhu

Adanya perubahan pasang surut dapat berpengaruh terhadap suhu perairan. Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di perairan adalah fotosintesa tumbuhan air dan proses fisologi hewan, meliputi metabolisme dan siklus reproduksinya.

c) pH dan Salinitas

Nilai pH dan salinitas pada perairan Segara Anakan mengalami fluktuasi, dan sangat tergantung besar kecilnya pengaruh pasang surut dan suplai air yang berasal dari sungai di sekitar perairan.

Menurut hasil penelitian Taurusman (1999), nilai pH di muara sungai Citanduy pada waktu kemarau sebesar 6,70 dan salinitas 0, sedangkan pada musim hujan nilai pH sebesar 7.33 dan salinitas 0,5 %o. Pada daerah tengah laguna pada musim kemarau nilai

pH mencapai 7,11 dengan salinitas

3,O

%o, sedangkan pada musim hujan nilai pH sebesar 7.48 dan salinitas 4,O %o. Sehingga pengaruhnya terhadap keberadaan sumberdaya sangat menentukan.

2.5. Aktivitas Penangkapan Alat Apong

Alat tangkap yang beroperasi di sekitar Segara Anakan terdiri dari berbagai jenis diantaranya; jaring lempar, wadong, widei, jaring nilon, dan apong. Lokasi penangkapan udang dengan alat tangkap tersebut bervariasi, dan sangat tergantung dengan kedalaman dan sifat alam seperti pasang surut air. Alat jaring dioperasikan pada saat air mulai surut disekitar mangrove, dimana udang yang berada di hutan mangrove keluar untuk mencari makanan. Wadong dan jaring nilon memiliki waktu beroperasi yang hampir sama, akan tetapi alat tersebut merupakan jebakan bagi kepiting yang keluar saat air pasang.

(12)

Sedangkan alat tangkap apong yang beroperasi di kawasan Segara Anakan memiliki jumlah alat yang dominan.

Jumlah alat tangkap apong yang beroperasi di Segara Anakan semakin meningkat dan daerah operasi penangkapannya selalu tetap. Setiap satu alat apong memiliki tiang yang diberi tanda untuk membedakan dengan milik nelayan lainnya. Tiang tanda pada daerah operasi penangkapan apong biasanya dimiliki secara turun temurun, sehingga kepemilikan tanda ini tidak dapat diganggu oleh nelayan lain.

2.6. Konstruksi Alat Tangkap Apong

Alat tangkap apong sejak lama diperkenalkan nelayan dengan menjanjikan hasil tangkapan yang besar. Alat ini memiliki bentuk yang sama dengan jaring trawl, yaitu bentuk kantong yang menggunakan ukuran mata jaring besar pada mulut kantong dan semakin menuju kantong akan semakin mengecil hingga mirip berbentuk kantong besar. Ukuran alat ini bervariasi, karena tergantung dengan kedalaman lokasi penangkapan. Ukuran alat yang kecil dikenal dengan nama kisril, sedangkan yang besar disebut sebagai apong.

Alat tangkap apong yang dioperasikan nelayan terdiri dari 2 (dua) ukuran, yaitu berukuran besar (apong) dan kecil (kisril). Ukuran besar memiliki bentuk bukaan mulut hingga mencapai 15 meter, sedangkan ukuran kecil hanya mencapai 5 meter (Gambar 5).

Apong termasuk alat tangkap yang menetap yang dipasang pada kedalaman 3

-

5 m. Konstruksi alat tangkap ini terdiri dari sepasang sayap dan kantong. Alat tangkap ini diikatkan pada tiang kayu yang dipasang pada dasar perairan. Pemasangan jaring dilakukan selama seminggu dan diambil hasil tangkapannya setiap hari. Hasil tangkapan udang dan ikan demersal merupakan hasil terbanyak (Takashima, F. dan Suwardi K., 1994)

(13)

Apong dipasang pada saat air pasang hingga air surut, dimana saat air surut udang yang melakukan ruaya ke laut akan terperangkap di dalam jaring yang berbentuk kantung. Jenis ikan yang diperoleh dari penangkapan apong ini sangat banyak jenisnya, disamping udang kecil dan ikan yang melakukan ruaya menuju wilayah Segara Anakan.

Penggunaan alat tangkap apong sangat tergantung dengan keadaan pasang surut perairan dan musim. Penghitungan kondisi pasang surut menentukan keberhasilan operasi penangkapan yang pada umumnya dihitung sesuai dengan keberadaan bulan. Pengaruh musim ikan akan menentukan jumlah dominan udang atau ikan tertentu pada hasil tangkapan yang diperoleh.

Gambar 5. Alat Tangkap Apong

2.7.

Daerah Penangkapan Alat Tangkap Apong

Alat tangkap apong yang beroperasi di sekitar Segara Anakan pada umumnya berada pada aeral yang terpengaruh langsung dengan pasang surut perairan. Disamping

(14)

itu adanya tingkah laku ikan yang selalu mengikuti perubahan pasang surut dan umumnya melintas pada pinggir perairan, sehingga pemasangan alat dilakukan pada pinggir perairan, namun ditemukan banyak sekali alat yang dipasang ditengah perairan dan mengganggu aktifitas transportasi air di Segara Anakan.

Gambar

Gambar 2.  Kurva  hubungan  hasil  tangkapan  dan  upaya  penangkapan  (Sparre  and  Venema, 1998)
Tabel 1.  Habitat Udang Penaeid
Gambar  2.  Anatomi Udang Penaeidae (Grey et. Al. 1983)
Gambar  5.  Alat Tangkap Apong

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kehidupan manusia pendidikan mempunyai peran strategis untuk membentengi peserta didik sebagai penerus bangsa, memberikan basic perilaku untuk saling menghormati

Perkembangan Jumlah Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal

Apabila tidak dilakukan kebijakan merger, seperti ditunjukkan pada table 4.2, maka kelompok bank dengan jumlah asset terbesar adalah BUSN Devisa, dengan besaran

Menimbang, bahwa oleh karena Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama bersifat positif dengan mengabulkan sebagian atas dasar bukti P-11 yang masih belum jelas kepastian

Nusa Alam Lestari melakukan komitmen bagi masyarakan sebagai startegi komunikasi untuk meningkatkan citra perusahaan dimata masyarakat asam jujuhan sebagai berikut,

Dari hasil penelitian terhadap 30 sampel telah ditetapkan beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen dalam mengkonsumsi daging ayam yang berpengaruh juga terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode inokulasi penyiraman dengan pelukaan akar paling tepat untuk digunakan dalam pengujian ketahanan nilam terhadap penyakit