• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Stress Kerja dan Keadilan Organisasi terhadap Employee engagement

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Stress Kerja dan Keadilan Organisasi terhadap Employee engagement"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Stress Kerja dan Keadilan Organisasi terhadap Employee engagement

Endah Sekarwangi1 & IJK. Sito Meiyanto2 Magister Profesi Psikologi Universitas Gadjah Mada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres kerja dan keadilan organisasi terhadap Employee Engagement. Subjek penelitian adalah 186 karyawan tetap Direktorat Produksi PT. Pupuk Kalimantan Timur, dengan masa kerja minimal 2 tahun, memiliki latar belakang pendidikan minimal SMA atau sederajat. Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah Utrecht Work Engagement Scale, Stress Diagnostic Survey, dan Organizational Justice Scale. Data penelitian dianalisis dengan model regresi berganda dan membuktikan bahwa secara bersamaan stress kerja dan keadilan organisasi berpengaruh terhadap engagement karyawan (R=0.267; F=7.018; Sig=0.01). Variabel keadilan organisasi adalah variabel yang secara signifikan terbukti menjadi prediktor terhadap engagement. Keadilan organisasi yang dirasakan positif oleh karyawan akan meningkatkan tingkat keterikatannya denga perusahaan.

Kata kunci: Stress kerja; keadilan organisasi; engagement karyawan

PENGANTAR

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, istilah engagement muncul sebagai isu penting bagi dunia bisnis terutama pada iklim yang berangsur-angsur bangkit dari krisis ekonomi global (Andrew & Sofian, 2012). Meski termasuk sebuah konsep yang relatif baru, istilah ini telah menjadi determinan penting bagi kesuksesan organisasi terkait kualitas, efisiensi, dan produktivitas (Macey & Schneider, 2008; Janjhua, 2011). Besarnya efek engagement pada karyawan telah mendorong perhatian kalangan praktisi dan konsultan SDM (Saks, 2006). Istilah ini menjadi menarik bagi banyak organisasi karena karyawan yang engaged menghasilkan pekerjaan yang lebih produktif, lebih menguntungkan, lebih aman, lebih sehat, memiliki kecenderungan turnover yang rendah, tingkat absen yang minim, dan memiliki keinginan yang lebih kuat untuk memberikan usaha maksimal dalam pekerjaannya (Buchanan, 2004; Gallup Organization, 2001;

1

Mahasiswa Magister Profesi Psikologi, Universitas Gadjah Mada 2 Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

(2)

Wagner & Harter, 2006; Shuck & Wollard, 2010; Bakker, Albrecht, & Leiter 2011). Engagement mampu memprediksi hasil kerja karyawan, kesuksesan organisasi, dan kinerja keuangan organisasi (Saks, 2006). Lebih lanjut, sejumlah peneliti menyimpulkan engagement sebagai kunci pendorong sikap, perilaku, kinerja individu sama halnya dengan kinerja organisasi, produktivitas, retensi, kinerja keuangan, dan bahkan pembagian keuntungan (Harter, Schmidt, & Hayes, 2002; Bates, 2004; Baumruk, 2004; Richman, 2006; Shuck & Wollard, 2010).

Dalam perkembangannya, beberapa ahli memiliki pandangan dan pendapatnya masing-masing mengenai definisi engagement. Salah satu teori yang pertama muncul diungkapkan oleh William Kahn (1990). Ia mendeskripsikan

engagement sebagai kondisi terlibat penuh dengan peran dan tanggung jawab

kerjanya baik secara fisik, kognitif, dan emosional. Teori lainnya dikemukakan oleh Maslach & Leiter (1997) yang memandang engagement sebagai nilai positif dalam Maslach Burnout Inventory. Definisi ini menempatkan engagement pada kutub yang berlawanan dengan burnout (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001). Sehubungan dengan pandangan tersebut, Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, dan Bakker (2002) juga memandang engagement sebagai konsep yang berlawanan dengan burnout, namun memposisikan konstruk ini sebagai keadaan yang berdiri sendiri, secara struktur berbeda sehingga harus diukur dengan instrumen yang berbeda.

May, Gilson, Harter (2004) menyebutkan bahwa engagement memiliki tiga dimensi utama yaitu: komponen fisik berupa energi yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan; komponen emosi yang ditunjukkan melalui dedikasi yang diberikan pada karyawan; serta komponen pikiran yaitu berupa keadaan dimana karyawan larut dalam pekerjaannya sehingga melupakan hal-hal disekelilingnya.

Ahli lainnya, Rothbard (2001) mendefinisikan engagement sebagai kehadiran dalam bentuk psikologis yang melibatkan dua komponen penting yaitu: perhatian (attention) dan keasyikan (absorption). Perhatian merujuk pada ketersediaan kognitif dan jumlah waktu yang dihabiskan oleh seorang pekerja dalam menjalankan tanggung jawabnya, sementara keasikan berarti menyatu

(3)

dengan tanggung jawab serta memiliki fokus intensif terhadap peran dalam pekerjaannya.

Hampir sejalan dengan pendapat Rothbard, ahli lain yang rumusan definisi

engagement-nya menjadi rujukan paling populer, Schaufeli dkk. (2002),

mengartikan engagement sebagai suatu keadaan dipenuhi pikiran positif terhadap pekerjaan dicirikan oleh semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan keasyikan

(absorption). Ia juga menambahkan, engagement merupakan keadaan

kognitif-afektif yang cenderung terus berlanjut dan berkembang. Karyawan yang masuk dalam kategori engaged melakukan pekerjaan dengan semangat, penuh dedikasi, dan menikmati proses pemenuhan tanggung jawabnya. Meski dapat berfluktuasi akibat tuntutan pekerjaan (Kuhnel, Sonnentag, & Westman 2009), namun Schaufeli dkk., (2002) menyebut engagement sebagai konstruk yang cenderung menetap, berlanjut, dan berkembang.

Secara lebih rinci, Schaufeli dkk. (2002) menjabarkan aspek-aspek engagement sebagai berikut :

1. Vigor/semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya dalam

pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus enerjik saat bekerja dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau kegagalan ditandai oleh tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental dalam bekerja, kesediaan untuk berusaha dengan sunguh-sunguh di pekerjaan, dan gigih dalam menghadapi kesulitan.

2. Dedication/dedikasi ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, inspirasi,

dankebanggaan. Pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha untuk mencapai tujuan.

3. Absorption/keasikan ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar

tenggelam dalam pekerjaan, dengan penuh konsentrasi dan minat yang mendalam terhadap pekerjaan, waktu terasa begitu cepat, dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

Seiring dengan semakin meningkatnya perhatian dan penelitian terhadap

(4)

sebagian besar teori menitikberatkan pada dua keadaan mendasar yaitu: a). Energi positif yang mendorong motivasi kerja; b). Keinginan tulus untuk memberikan kontribusi maksimal pada peran dalam pekerjaan demi pencapaian kesuksesan organisasi (Albrecht, 2010). Pekerja yang engaged menginvestasikan dirinya lebih total pada pekerjaannya. Mereka melaksanakan tugas-tugasnya dengan dorongan energi yang besar serta antusiasme yang kuat (Kahn, 1990; Saks, 2006; Macey & Schneider, 2008). Karyawan yang engaged memiliki energi dan berhubungan secara efektif dengan aktivitas kerja mereka. Mereka juga melihat diri mereka mampu menghadapi secara tuntas tuntutan dalam pekerjaan mereka (Schaufeli, dkk. 2002). Pada sisi berlawanan, pekerja yang tidak engaged (disengaged) hanya hadir secara “fisik” dalam pekerjaannya. Mereka tidak memiliki hasrat dan semangat untuk bekerja serta hanya sebatas mengikuti kegiatan rutin yang telah ada. Pekerja dalam kategori ini memiliki keterikatan emosi yang sangat kecil terhadap tanggung jawabnya, tidak peduli akan tujuan perusahaan, serta sangat jarang terlihat menikmati pekerjaannya (Fleck & Inceoglu, 2010).

Penelitian ini mengacu pada penjabaran Schaufeli dkk. (2002) mengenai

engagement sebagai suatu keadaan dipenuhi pikiran positif yang ditandai dengan

adanya semangat (vigor), keasyikan (absorption), dan dedikasi (dedication) pada karyawan/pekerja dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya.

Sebagai istilah yang relatif baru, banyak penelitian yang berusaha mengupas engagement secara lebih mendalam. Para akademisi dan praktisi berusaha untuk menemukan faktor-faktor yang terkait dengan engagement dengan harapan dapat digunakan untuk mengelola karyawannya demi tercapainya keunggulan kompetitif. Salah satu faktor yang disinyalir menyebabkan penurunan pada engagement adalah stres (Iqbal, Khan, & Iqbal, 2012). Dalam penelitiannya, Iqbal dkk. (2012) menemukan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara

Job Stress dan Employee engagement (r=0.79 & R2=0.63). Stres adalah faktor

yang harus diminimalisir untuk mengelola keterikatan karyawan dengan organisasi tempatnya bekerja.

Dalam perkembangan konstruknya, para ahli dan peneliti mendefinisikan stres dengan berbagai pendekatan berbeda. Pada awal perkembangannya, stres

(5)

dijabarkan sebagai beban yang dirasakan oleh seseorang akibat tekananyang berasal dari lingkungannya. Penelitian terdahulu dari Hans Selye (1956) mengartikan stres sebagai interaksi antara situasi dan respon individu (Cooper & Dewe, 2004).

Ivancevich, Konopaske, & Metteson (2008) menguraikan stres sebagai respon adaptif yang dimoderasi oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa dan memberikan tuntutan khusus terhadap seseorang. Tindakan, situasi, atau peristiwa dapat menghasilkan stres ketika hal tersebut dipersepsikan oleh individu sebagai sumber ancaman, tantangan, atau bahaya. Stres kerja, pada dasarnya tidak lepas dari pengertian stres secara umum. Hanya saja, stres kerja terjadi dalam konteks organisasional.

Beehr dan Newman (1988) menyatakan stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat individu yang mengubah fungsi fisik maupun psikis yang normal. Artinya, stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan individu. Ahli lainnya, Arsenault & Dolan (1988) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul karena seseorang merasa terancam dalam bekerja. Perasaan terancam ini merupakan hasil persepsi dan penilaian individu yang menunjukkan ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara karakteristik tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan sistem kepribadiannya.

Stres kerja dapat menimbulkan efek positif sekaligus negatif bagi individu (Selye, 1956 dalam Cooper & Dewe, 2004; Ongori & Agolla, 2008; Yahaya A., Yahaya N, Arshad, Ismail, Jalaam, & Zakariya, 2009). Jika dikelola dengan baik stres kerja justru bisa meningkatkan produktivitas dan kematangan individu. Sebaliknya, apabila individu tidak mampu mengelola stres yang dialaminya maka cenderung menjadi tidak produktif. Stres yang berefek baik dan dapat mendorong performansi kerja menjadi maksimal disebut dengan eustress. Sementara jika individu merasa tidak mampu memiliki sumber daya/modal yang cukup untuk menghadapi tekanan tersebut maka individu akan mengalami stress yang berakibat negatif atau disebut dengan distress. Hubungan antara eustress dan

(6)

distress terhadap kinerja secara lebih jelas diilustrasikan oleh gambar di bawah

ini:

Gambar 1.Eustress & Distress (Bartlett, 1998)

Stres kerja dapat menganggu komunikasi atau hubungan antar karyawan, menimbulkan kelelahan/kejenuhan dalam bekerja yang dapat menyebabkan adanya perasaan depersonalisasi, kelelahan emosional, dan memicu terjadinya perilaku menyimpang dalam pekerjaan. (Smith, 2000; Colbert, Mount, Witt, Harter, & Barrick, 2004; Schaufeli, Bakker, & Rhenen, 2009; Omar, Halim, Zainah, Farhadi, Nasir, & Khairudin, 2011). Kondisi stress yang berkepanjangan juga akan menyebabkan terjadinya burnout yang secara signifikan terbukti menyebabkan penurunan tingkat produktivitas, gangguan kesehatan fisik, dan perilaku menyimpang yang lebih ekstrim dalam tempat kerja (Langelaan, Bakker, Van Doornen, & Schaufeli, 2006; Chen & Chen 2012).

Pendekatan psikologi industri dan organisasi menekankan pentingnya stressor sebagai penyebab stress pada karyawan. Stressor adalah sumber penyebab stress (Rollison, 2005). Banyak penelitian menemukan beragam stressor di tempat kerja antara lain; role ambiguity, role conflict, beban kerja, tanggung jawab kerja, hubungan atasan bawahan, pengembangan karir, dan lingkungan kerja (Parker & DeCotiis, 1983; Coetzer & Rothmann, 2007; Schaufeli dkk., 2009; Omar, dkk., 2011; Dewa, Thompson, & Jacobs, 2011)

(7)

Stres tidak semata-mata diakibatkan oleh kejadian tunggal ataupun kondisi psikologis tertentu. Stres kerja merupakan proses keseluruhan yang meliputi usaha individu dalam merespon dan mengelola tuntutan lingkungan kerja untuk memenuhi target yang telah ditetapkan baginya dari waktu ke waktu (Zedeck, S., 2009). Stres kerja juga dapat dipahami sebagai keadaan di mana individu menghadapi tugas atau pekerjaan yang tidak dapat atau belum dapat dijangkau oleh kemampuannya (Beehr dkk. 2003; Ehrhart, 2006). Artinya, jika kemampuan seseorang baru sampai angka lima tetapi menghadapi pekerjaan yang menuntut kemampuan dengan angka sembilan maka sangat mungkin sekali orang itu akan terkena stres kerja (Ehrhart, 2006). Hal ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh model Job Demand-Resources di mana stres terjadi saat ada ketidakseimbangan antara Job Resources dan Job Demands (Bakker & Demerouti, 2006; Kousar, Dogar, Ghazal, & Khattak, 2006; Bakker, Demerouti, Hakanen, & Xanthopoulou, 2007; Schaufeli dkk., 2009).

Menurut model Job Demand-Resources setiap pekerjaan memiliki resiko dasar yang berpotensi menimbulkan stres bagi individu itu sendiri. Resiko dasar itu dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu: Job Resource dan Job

Demand. Job Resources adalah sumber kerja yang berasal dari organisasi (gaji,

kesempatan kerja, keamanan); hubungan interpersonal dan sosial (iklim kerja, hubungan atasan-bawahan); pengaturan kewenangan (role clarity, participation); dan level penugasan (skill variety, task identity, task significance, autonomy,

performance feedback). Sementara Job Demands berhubungan dengan tuntutan

fisik, psikologis, sosial, ataupun organisasional yang membutuhkan ketahanan fisik, psikologis, ataupun keterampilan. Job Demands seringkali diasosiasikan sebagai beban fisik/psikologis/stressor (Bakker & Demerouti, 2006).

Schaufeli & Bakker (2004); Bakker dkk., (2007) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya engagement karyawan adalah adanya job resources. Sementara itu, Bakker dkk., (2007); Coetzer & Rothmann (2007); Schaufeli dkk., (2009); Albrecht (2010); Chen & Chen (2012) menemukan bahwa kegagalan dalam pemenuhan job demands

(8)

(misalnya: beban kerja, kondisi kerja, tanggung jawab kerja) menyebabkan terjadinya stres dan berhubungan negatif dengan engagement karyawan.

Hasil penemuan Bakker dkk., (2007); Coetzer & Rothmann (2007); Schaufeli dkk., (2009); Chen & Chen (2012) mengungkap bahwa saat seseorang tidak mampu mempertahankan konsentrasinya akibat stressor/demand yang tinggi, maka level engagement-nya akan menurun. Terlebih apabila individu tidak memiliki Job Resources yang cukup. Penelitian ini juga menghasilkan temuan bahwa stressor/demand berupa beban kerja yang berlebihan, role ambiguity, dan kurangnya kemampuan kontrol terhadap pekerjaan terbukti berhubungan negatif secara signifikan dengan aspek-aspek penyusun engagement (vigor, dedication, &

absorption).

Definisi stres kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada uraian Ivancevich & Matteson (1980) yaitu tekanan yang dirasakan mengganggu oleh karyawan, yang umumnya bersumber dari enam dimensi utama yaitu: kekaburan peran, konflik peran, kelebihan beban kerja kuantitatif, kelebihan beban kerja kualitatif, kekhawatiran mengenai pengembangan karir, dan beban terhadap tanggung jawab.

Selain dipengaruhi oleh stres kerja, penelitian yang dilakukan oleh Saks (2006) tentang anteseden dan konsekuensi dari Engagement menunjukkan bahwa

Perceived Organizational Support merupakan prediktor yang signifikan terhadap

munculnya engagement karyawan pada pekerjaan. Salah satu bentuk dari

Perceived Organizational Support adalah keadilan organisasi. Keadilan organiasi

terbukti berhubungan positif dengan employee engagement (Saks, 2006; Inoue, Kawakami, Ishizaki, Shimazu, Tsuchiya, Tabata, Akiyama, Kitazume, & Kuroda, 2008; Albrecht, 2010). Keadilan organisasi yang positif dapat meningkatkan kepuasan, komitmen, menekan tingkat absensi, serta meningkatkan produktivitas (Lam, Schaubroeck, & Aryee, 2002; Murtaza. Shad, Shahzad, Shah, & Khan, 2011).

Keadilan organisasi dipandang sebagai persepsi individu dan persepsi organisasi terhadap keadilan dari penerimaan perlakuan sebuah organisasi dan reaksi perilaku mereka sebagai suatu persepsi (Aryee, Pawan, & Chen, 2002).

(9)

Individu menginginkan adanya keadilan yang diberikan dari organisasi kepada mereka, demikian pula sebaliknya. Individu membandingkan apa yang sudah diberikannya kepada organisasi dengan yang telah diterima darinya, disisi lain organisasi membandingkan apa yang telah diterima dari individu dengan apa yang sudah diberikannya kepada karyawan. Kondisi yang seimbang antara apa yang diberikan dengan apa yang telah diperoleh akan menimbulkan persepsi yang sama akan keadilan dalam organisasi baik dari sisi karyawan maupun organisasi.

Greenberg & Baron (2003) menjelaskan keadilan organisasi sebagai persepsi individu terhadap keadilan dalam proses pembuatan keputusan dan distribusi hasil yang telah diterima oleh individu. Ahli lainnya, Robbins & Judge (2007) menyatakan bahwa keadilan organisasi adalah persepsi keseluruhan dari apa yang adil di tempat kerja. Karyawan menganggap adil organisasi mereka ketika mereka yakin bahwa hasil yang mereka terima dan cara diterimanya hasil tersebut adalah adil. Satu elemen penting dari keadilan organisasional adalah persepsi seorang individu tentang keadilan. Dengan kata lain, keadilan bersifat subyektif, dan terletak dalam persepsi individu..

Cropanzano, Bowen, & Gilliland, (2007) mendefinisikan keadilan organisasi sebagai evaluasi personal tentang kedudukan etika dan moral dari sebuah tindakan manajerial. Keadilan organisasi memiliki potensi untuk memberikan manfaat positif bagi organisasi dan karyawan di dalamnya. Manfaat yang diharapkan dari keadilan organisasi antara lain adalah meningkatnya kepercayaan dan komitmen karyawan pada organisasi; meningkatkan kinerja; meningkatkan perilaku kewarganegraan; meningkatkan kepercayaan konsumen; mengurangi konflik.

Colquitt (2001) secara umum membagi keadilan organisasional dalam empat aspek, yaitu; (a) Keadilan distributif (persepsi alokasi keluaran); (b) Keadilan prosedural (persepsi terhadap proses dan aturan dalam pembuatan keputusan); (c) Keadilan interpersonal (sensitivitas dan penghargaan yang ditunjukan kepada seseorang); (d) Keadilan informasi (persepsi tentang penjelasan kepada seseorang).

(10)

Keadilan distributif adalah keadilan mengenai jumlah dan pemberian penghargaan diantara individu (Robbin & Judge, 2007). Konsep keadilan distributif oleh beberapa peneliti dikaitkan dengan konsep alokasi saat beberapa orang mendapatkan dan orang yang lain tidak (Cropanzano dkk., 2007). Prinsip dasar keadilan distributif terletak pada rasio atau perbandingan antara hasil yang diperoleh seseorang dengan hasil yang diperoleh dengan karyawan lain.

Keadilan distributif mengacu pada konsep dasar persamaan atau equity. Konsep ini mendasarkan penjabaran keadilan sebagi kesetaraan imbalan (seperti gaji dan insentif lainnya) dengan pekerjaan yang telah dilakukan. Keadilan terjadi apabila karyawan merasa merasa bahwa rasio antara input (usaha) dan outcomes (imbalan) sebanding dengan rasio karyawan lain. Ketidakadilan terjadi apabila rasio tersebut tidak sebanding, yaitu rasio antara usaha dan hasil, lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan rasio yang lain (Greenberg & Baron, 2003)

Secara lebih rinci keadilan distributif diartikan sebagai pengamatan mengenai sejauh mana keadilan dari cara pembagian pemberian upah antar pekerja. Pendekatan utama dalam keadilan distributif menekankan bahwa individu akan termotivasi untuk mempertahankan keadilan atau perasaan adil dalam hubungan diri mereka sendiri dengan orang lain dalam hal pembagian hasil atau upah dan menghindari hubungan yang tidak adil (Greenberg & Baron, 2003).

Komponen keadilan distributif menurut Cropanzano dkk. (2007) antara lain: (a) Equity: memberikan kompensasi kepada karyawan berdasarkan konstribusi masing-masing. (b) Equality: memberikan kompensasi yang sama kepada setiap karyawan. (c) Need: memberikan tunjangan berdasarkan kebutuhan masing-masing.

Keadilan prosedural (procedural justice) adalah keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan. Keadilan prosedural lebih menitikberatkan dalam melihat sejauh mana kewajaran proses pembuatan keputusan dalam organisasi. Keadilan prosedural didefinisikan sebagai persepsi dari keadilan dalam pembuatan prosedur untuk menentukan hasil (Greenberg & Baron, 2003). Keadilan prosedural (procedural justice) adalah

(11)

keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan (Robbin & Judge, 2007).

Elemen utama dari keadilan prosedural adalah pengendalian proses dan penjelasan. Pengendalian proses adalah peluang untuk mengemukakan pandangan seseorang tentang hasil-hasil yang diinginkan kepada para pembuat keputusan. Sedangkan penjelasan adalah alasan-alasan secara jelas yang diberikan kepada seseorang oleh manajemen atas hasil yang mereka terima (Robbin & Judge, 2007). Keadilan prosedural dilihat sebagai keadilan dari proses bagaimana keputusan organisasional dibuat. Anggota organisasi yang diberi kesempatan untuk lebih banyak terlibat dalam pembuatan keputusan maka akan mempersepsikan adanya keadilan dalam pembuatan keputusan tersebut. Semakin besar keterlibatan anggota dalam pembuatan keputusan organisasi maka penerimaan mereka pada keputusan organisasi akan semakin besar. Hal ini yang mempengaruhi mereka semakin kuat dalam mengidentifikasi dan melibatkan diri kedalam organisasi (Greenberg & Baron, 2003).

Komponen keadilan prosedural menurut Cropanzano dkk. (2007) antara lain: (a) Konsistensi: semua karyawan diperlakukan dengan perlakuan yang sama. (b) Bebas dari bias: tidak ada diskriminasi. (c) Akurasi: keputusan diambil berdasarkan informasi yang akurat. (d) Representasi dari semua yang terlibat: keputusan yang diambil melibatkan semua pihak yang terkait. (e) Koreksi: adanya mekanisme perbaikan jika terjadi kesalahan. (f) Etika: Norma perilaku profesional tidak dilanggar.

Keadilan interpersonal adalah keadilan yang didapatkan melalui interaksi interpersonal saat menegakkan prosedur/aturan serta saat membagikan hasil (Collquitt, 2001). Komponen keadilan interpersonal terdiri dari: (a) penghormatan dan kesopanan: individu diperlakukan dengan hormat dan dihargai. (b) ketulusan: individu dihargai dengan tulus oleh rekan kerjanya tanpa penilaian subjektif.

Keadilan informasional adalah keadilan yang dirasakan dalam pemberian penjelasan dan informasi terkait penghargaan/kompensasi kepada individu (Colquitt, 2011). Komponen keadilan informasional terdiri atas: (a) Masuk akal: penjelasan yang beralasan dan logis dirasa lebih adil. (b) Tepat waktu: waktu yang

Gambar

Gambar 1.Eustress & Distress (Bartlett, 1998)

Referensi

Dokumen terkait

Semesta Alam, atas semua karunia yang diberikan kepada kita semua sehingga di hari yang berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam forum Seminar Nasional Biodiversitas VI, yang

Peneliti memilih rumah sakit William Booth sebagai penelitian karena untuk memberikan gambaran Balanced Scorecard terhadap penilaian kinerja keuangan pada manajemen

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan penguasaan pengetahuan laundry melalui penggunaan video pembelajaran pada peserta didik SMKN

Faktor ancaman dari faktor strategik eksternal yang mempengaruhi peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Situbondo memiliki total skor sebesar 1,293 dengan faktor

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di

SRI International telah mengembangkan program yang disebut VALS1 (value and life style 1) untuk mengukur gaya hdup ditinjau dari aspek nilai cultural yaitu (1) outer

[r]

Perkembangan tersebut akan dicapai dengan penggunaan metode Snowball Throwing yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat serta menjawab