KECACINGAN PADA RUSA TOTOL (Axis axis)
DI HALAMAN ISTANA KEPRESIDENAN BOGOR
FATHIA RAMADHANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kecacingan pada Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Kepresidenan Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Fathia Ramadhani
ABSTRAK
FATHIA RAMADHANI. Kecacingan pada Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Kepresidenan Bogor. Dibimbing oleh RISA TIURIA.
Rusa termasuk ke dalam satwa harapan, istilah yang digunakan untuk hewan yang mempunyai potensi produksi daging tinggi yang dimanfaatkan dalam rangka diversifikasi sumber protein hewani baru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis telur cacing yang ada pada rusa totol (Axis axis) di Istana Kepresidenan Bogor. Sebanyak 24 sampel feses dikoleksi dari total populasi 689 ekor rusa, kemudian diperiksa menggunakan metode McMaster, metode apung, dan metode sedimentasi. Hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif pada 2 sampel memberikan tingkat kontaminasi 8.3%. Masing-masing sampel memberikan hasil jenis telur cacing yang berbeda, yaitu dari genus Strongyloides dan Toxocara. Rusa totol di Istana Kepresidenan Bogor memiliki tingkat kecacingan yang rendah.
Kata kunci: Axis axis, Strongyloides, Toxocara
ABSTRACT
FATHIA RAMADHANI. Helminthosis in Spotted Deer (Axis axis) on Presidential Palace of Bogor. Supervised by RISA TIURIA.
Deer is one of prospective animals, the term used for animals with potential as a source of meat instead of cattles. The objective of this research was to determined helminth parasites of spotted deer (Axis axis) on Presidential Palace of Bogor. A total of 24 faecal samples were collected from a total population of 689 deers. The samples were examined by McMaster, floatation, and sedimentation methods for helminth eggs. Eggs were found in 2 samples from the total taken samples showed a contamination rate of 8.3%. Each positive samples gave different results, which were of Strongyloides and Toxocara genus. This rate of contamination with helminth eggs of spotted deer on Presidential Palace of Bogor is considered low.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
KECACINGAN PADA RUSA TOTOL (Axis axis)
DI HALAMAN ISTANA KEPRESIDENAN BOGOR
FATHIA RAMADHANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah kecacingan. Judul yang dipilih untuk tema tersebut adalah Kecacingan pada Rusa Totol (Axis
axis) di Halaman Istana Kepresidenan Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Risa Tiuria, MS selaku pembimbing skripsi, serta Dr Drh Setyo Widodo sebagai pembimbing akademik yang selalu berhasil membuat penulis merasa termotivasi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Herman dan Bapak Ali dari Istana Kepresidenan Bogor beserta seluruh staf yang telah membantu selama pengumpulan data, serta Bapak Sulaiman beserta staf laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama pengamatan dan pelaksanaan di laboratorium. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, terutama Mama yang juga sedang dalam perjuangan menyusun disertasi. Rasa terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada rekan seperjuangan Anjani yang menemani sejak awal pengambilan data, rekan seperguruan Silvya yang selalu siap sedia membantu, dan rekan seperjalanan Dama yang memicu pembakaran semangat diri.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Penulis menyadari mungkin masih terdapat penyajian kalimat yang kurang berkenan dalam karya ilmah ini. Demikian prakata ini penulis akhiri.
Bogor, Oktober 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 1 TINJAUAN PUSTAKA 2 Klasifikasi 2 Morfologi 2Rusa sebagai Sumber Protein Hewani Baru 3
METODE 4
Waktu dan Lokasi 4
Alat dan Bahan 4
Koleksi Sampel 4
Pemeriksaan Kuantitatif 4
Pemeriksaan Kualitatif 5
Prosedur Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Strongyloides spp. 7
Toxocara spp. 8
Observasi Klinis 9
SIMPULAN DAN SARAN 9
Simpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 9
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan kandungan nutrisi daging rusa merah dengan hewan
ternak lainnya per 100 gram 3
2 Persentase telur cacing dari sampel feses rusa totol di halaman Istana
Kepresidenan Bogor 5
3 Telur cacing yang ditemukan pada rusa totol yang positif kecacingan 6
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar BelakangIstilah satwa harapan memiliki arti sebagai hewan yang mempunyai potensi produksi daging tinggi yang dimanfaatkan dalam rangka diversifikasi sumber protein hewani baru. Rusa termasuk dalam kategori satwa harapan sehingga mempunyai peluang pengembangan intensif (Rachmawati 2012). Rusa totol (Axis
axis) yang dipelihara di halaman Istana Kepresidenan Bogor bukan rusa asli
Indonesia tetapi rusa yang berasal dari Nepal dan didatangkan ke Indonesia oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1811 dengan jumlah awal enam pasang (Trubus 1996). Perkembangbiakan rusa totol juga semakin pesat setiap tahunnya. Berdasarkan pada penelitian Fajri (2000), pertumbuhan rata-rata populasi rusa totol tahun 1991/1992 sampai 1999/2000 adalah 59 ekor per tahun (105%) dengan peningkatan kepadatan populasi 2.95 ekor/ha. Peningkatan populasi ini apabila tidak diikuti dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pada habitatnya maka dapat menyebabkan kelebihan populasi rusa totol yang berada di istana. Selain itu, persaingan untuk mendapatkan pakan meningkat karena rusa hidup liar di halaman istana.
Inventarisasi telur cacing yang ditemukan pada rusa totol di halaman istana sebelumnya pernah dilakukan oleh Pribadi (1991) dengan populasi pada tahun itu berjumlah 392 ekor. Seiring dengan peningkatan populasi dan perkembangan pemeliharaannya, jenis cacing yang menginfeksi rusa totol perlu didata kembali karena dikhawatirkan adanya infeksi parasit yang bersifat zoonosis mengganggu kesehatan rusa yang termasuk ke dalam satwa harapan ini.
Pengelola Istana Kepresidenan Bogor memelihara rusa totol di halaman hanya untuk memanfaatkan fungsinya sebagai sarana keindahan istana (Trubus 1996). Hal ini dapat dilihat dari cara pemeliharaannya yang dilepasliarkan di halaman istana, dan dengan bebas rusa memakan rumput maupun tumbuhan lain dan minum dari air kolam yang selalu tersedia. Pengelola istana juga melakukan penyaluran rusa totol ke berbagai penangkaran seperti kebun binatang instansi pemerintah maupun badan swasta. Perkembangbiakan rusa yang semakin pesat setiap tahunnya mendorong penyaluran rusa totol ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kelebihan populasi yang akan berpengaruh terhadap perkembangan rusa totol (Garsetiasih dan Herlina 2005).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis cacing rusa totol (Axis
axis) di halaman Istana Kepresidenan Bogor.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menyediakan informasi dan data mengenai jenis cacing yang menginfeksi rusa totol dan perawatan kesehatannya sehingga dapat dijadikan suatu acuan yang lebih baik
2
tentang rusa totol dalam upaya pencegahan terhadap penyakit parasitik, terutama yang bersifat zoonosis dalam rangka pembudidayaan satwa ini.
TINJAUAN PUSTAKA
KlasifikasiRusa totol (Axis axis) ditinjau dari taksonomi menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994), Anderson dan Jones (1967) termasuk dalam filum chordata, sub filum vertebrata, kelas mamalia, ordo artiodactyla, sub ordo ruminansia, famili Cervidae, sub famili Cervinae, genus Axis, spesies Axis axis, dan memiliki nama lokal rusa totol, uncal (Sunda), maupun chital (India). Sebelumnya rusa ini termasuk dalam genus Cervus sebelum menjad Axis axis. Menurut Grzimek (1972), genus Axis memiliki lima spesies, yaitu Axis axis, terdapat di India dan Cylon, Axis porcinus calamianensis, terdapat di pulau Calamian bagian barat Filipina, Axis porcinus kuhli, terdapat di pulau Bawean, Axis porcinus porcinus, terdapat di daerah bagian utara India, dan Axis porcinus annamiticus, terdapat di daerah bagian selatan India.
Morfologi
Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994) menyatakan bahwa rusa totol yang baru lahir mempunyai totol putih, warna dasar cokelat, warna bulu cokelat terang, ekor berambut sikat dengan warna cokelat pada bagian atas dari pangkal ekornya dan
Gambar 1 Rusa totol (Axis axis) di halaman Istana Kepresidenan Bogor (sumber: dokumentasi pribadi)
3 bagian bawah daerah ujung ekor, dan leher berwarna putih. Penampilan rusa totol menurut Grzimek (1972), Axis axis memiliki kepala yang pendek, memiliki senjata di kepalanya, mata yang besar, kelopak mata sebelah atas memiliki bulu mata yang lebih panjang dari bulu mata sebelah bawah, kaki yang panjang, tubuh yang panjang, dan mempunyai sebuah ekor yang panjang. Daerah tengah telinga, ekor, dan leher berambut lebih panjang dari bagian lainnya. Daerah punggung memiliki garis gelap yang membujur dari kepala sampai dengan pangkal ekor. Dada memiliki bintik-bintik yang menyerupai garis putih, biasanya satu atau dua deretan bintik-bintik. Ukuran lingkar dada 75-79 cm, panjang ekor 20-30 cm, tinggi bahu 110-40 cm, dan berat hidup dewasa 75-100 kg (Grzimek 1972). Menurut Semiadi (1998), berat jantan 70-90 kg dengan tinggi gumba 90 cm, berat betina 40-50 kg dengan tinggi gumba 80 cm, dan berat lahir 3.5 kg.
Rusa mempunyai alat pertahanan berupa tanduk/rangga yang dibentuk dari jaringan tulang, mempunyai percabangan yang diawali dari bungkul kepala, dan tumbuh hanya pada rusa jantan, seperti terlihat pada rusa totol di halaman Istana Kepresidenan Bogor dalam gambar 1. Rangga rusa selama masa pertumbuhannya terbungkus oleh kulit yang dinamakan velvet. Jika pertumbuhan rangga tersebut sempurna maka velvet akan mengering dan luruh. Waktu untuk mencapai pertumbuhan rangga tersebut memerlukan waktu selama 4 bulan dan mencapai kesempurnaan setelah umur 15-16 bulan (Jacoeb dan Wiryosuhanto 1994). Selain itu, menurut Considine (1976), tanduk rusa totol mencapai sempurna dengan percabangan tiga cabang.
Rusa sebagai Sumber Protein Hewani Baru
Tabel 1 memperlihatkan perbandingan kandungan nutrisi daging rusa dengan daging dari ternak lain. Rusa dipromosikan sebagai daging tinggi protein dan rendah lemak. Reputasi ini cukup sesuai karena secara umum jaringannya mengandung protein lebih tinggi dibanding daging hewan ternak dan proporsi anatomi rusa secara alami menggambarkan rendahnya lemak pada dagingnya (Dryden 1997). Menurut English (1992), Axis axis yang diternakkan di Australia dilaporkan hanya memiliki 2.2-7.2% kandungan lemak dari karkasnya. Ini bisa dibandingkan dengan sapi yang rata-rata persentase lemaknya sebesar 13.1%. Tabel 1 Perbandingan kandungan nutrisi daging rusa merah dengan hewan ternak
lainnya per 100 gram
Hewan Kalori (kkal) Lemak (g) Kolesterol (mg) Protein (g)
Rusa Merah 159 3.30 66 25 Sapi 214 9.76 92 31 Babi 219 10.64 101 29 Domba 178 7.62 83 25 Ayam 159 3.42 83 31 Kalkun 154 3.45 68 29 Salmon 138 5.75 39 20 Sumber: Semiadi 1998
4
METODE
Waktu dan LokasiPenelitian ini berlangsung dari Februari hingga November 2013. Pengambilan sampel feses rusa totol dan data sekunder dilakukan di Istana Kepresidenan Bogor. Pengamatan dan identifikasi terhadap jenis telur cacing dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel feses dan data sekunder di halaman Istana Kepresidenan Bogor antara lain sendok plastik, kantung plastik,
coolbox, ice pack, lembar pencatatan, dan kamera digital.
Bahan yang digunakan di laboratorium antara lain feses rusa totol dan larutan pengapung. Alat yang digunakan di laboratorium antara lain gelas, sendok, spoid, saringan bertingkat, sentrifus, gelas ukur, kamar hitung McMaster, tabung reaksi, rak tabung reaksi, object glass, cover glass, mikroskop cahaya, lemari es, timbangan digital, pipet, lembar pencatatan, dan kamera digital.
Koleksi Sampel
Sampel dikoleksi di halaman Istana Kepresidenan Bogor. Sampel feses untuk analisis parasit gastrointestinal dikoleksi dengan mengenakan sarung tangan dan menggunakan sendok plastik, lalu dimasukkan ke dalam wadah tertutup. Wadah diberi label dengan nomor identifikasi dan tanggal. Sampel dikoleksi dari delapan kali pengambilan dengan jumlah sampel 24 dari 689 ekor rusa.
Pemeriksaan Kuantitatif
Metode McMaster modifikasi (Roepstorff dan Nansen 1997)
Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk menghitung derajat infeksi cacing pada rusa totol. Sampel feses terlebih dahulu ditimbang sebanyak 4 gram. Air ditambahkan sebanyak 50 ml dalam gelas plastik berisi 4 gram feses tersebut dan diaduk hingga homogen. Campuran ini disedot dengan spoid sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu disentrifus selama 5 menit dengan percepatan 2500 rpm. Supernatan dibuang dan endapan disimpan di lemari es (4 °C).
Endapan yang akan diperiksa ditambahkan 6 ml larutan pengapung dan dihomogenkan. Filtrat diambil dengan pipet lalu diisikan ke dalam kedua sisi kamar hitung McMaster hingga penuh dan dibiarkan selama 5 menit. Pemeriksaan filtrat tersebut selanjutnya dilakukan dengan mikroskop.
5 Pemeriksaan Kualitatif (Hansen dan Perry 1994) dengan modifikasi Metode Apung
Metode apung dilakukan untuk memeriksa keberadaan cestoda dan nematoda pada sampel feses berdasarkan prinsip berat jenis bahwa telur cestoda dan nematoda akan mengapung dalam larutan pengapung. Sampel feses terlebih dahulu ditimbang sebanyak 4 gram. Air ditambahkan sebanyak 50 ml ke dalam gelas plastik berisi 4 gram feses tersebut dan diaduk hingga homogen. Campuran ini disedot dengan spoid sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu disentrifus selama 5 menit dengan percepatan 2500 rpm. Supernatan dibuang dan endapan disimpan di lemari es (4 °C).
Endapan yang akan diperiksa ditambahkan 6 ml larutan pengapung dan dihomogenkan. Setelah homogen, ditambahkan larutan pengapung kembali hingga suspensi feses membentuk meniskus cembung pada bagian atas tabung reaksi. Tabung reaksi ditutup dengan cover glass dan dibiarkan selama 20 menit, setelah itu cover glass diangkat dengan hati-hati dari tabung dan segera ditempatkan pada object glass untuk diperiksa dengan mikroskop.
Metode Sedimentasi
Metode sedimentasi dilakukan untuk memeriksa keberadaan trematoda karena berdasarkan berat jenisnya, telur trematoda tidak mengapung dalam larutan pengapung. Sampel feses terlebih dahulu ditimbang sebanyak 4 gram. Air ditambahkan sebanyak 50 ml dan diaduk hingga homogen. Suspensi disaring dengan saringan bertingkat. Filtrat hasil penyaringan bisa disimpan di tabung film
roll dan diletakkan dalam lemari es sebelum diperiksa.
Prosedur Analisis Data
Data pemeriksaan jenis kecacingan yang didapat disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan kualitatif sampel feses rusa totol di halaman Istana Kepresidenan Bogor yang ditampilkan pada tabel 2 menunjukkan hasil positif 2 sampel dari jumlah total 24 sampel memberikan tingkat kontaminasi 8.3%. Masing-masing sampel memberikan hasil telur cacing yang berbeda, yaitu dari genus Strongyloides dan genus Toxocara. Penghitungan ini tidak digunakan sebagai acuan suatu derajat infeksi tetapi hanya digunakan untuk melihat infestasi Tabel 2 Persentase telur cacing dari sampel feses rusa totol di halaman Istana
Kepresidenan Bogor
Sampel positif Jumlah Sampel Hasil
a
+ -
2 24 8.3% 91.7%
a
6
genus telur cacing yang ada pada rusa totol. Pemeriksaan kuantitatif yang dilakukan untuk menghitung derajat infeksi cacing tidak memberikan hasil positif sehingga penghitungan derajat infeksi tidak bisa dilakukan. Hasil ini menunjukkan gambaran rendahnya tingkat kecacingan pada rusa totol di halaman Istana Kepresidenan Bogor sebagai satwa harapan. Hal ini dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan hewan di Istana Kepresidenan Bogor, di antaranya pemberian pakan tambahan dan kualitas sumber air. Selain itu, ada dokter hewan dinas yang mengontrol kesehatan rusa totol. Namun demikian, kedua jenis telur cacing yang ditemukan dalam feses rusa totol tersebut merupakan jenis telur cacing yang bersifat zoonosis (Singh 2002, Borecka 2010, Strube et al. 2013).
Pemeriksaan sampel feses dari rusa totol di halaman Istana Kepresidenan Bogor sebelumnya telah dilakukan oleh Pribadi (1991). Jenis telur cacing yang diperoleh dalam penelitian tersebut antara lain berasal dari filum nematoda, yaitu
Haemonchus sp, Cooperia sp, Strongylus sp, dan Gongylonema sp. Selain itu
ditemukan juga dari filum cestoda, yaitu Monieza sp. dan dari filum trematoda, yaitu Fasciola sp.
Perbedaan hasil tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam manajemen pemeliharaan rusa totol di halaman Istana pada tahun 1990 dengan saat penelitian ini dilaksanakan. Populasi rusa totol pada tahun 1990 berjumlah 392 ekor. Pemeliharaannya masih dilepasliarkan secara total dengan dibiarkan memakan rumput maupun tumbuhan yang ada di halaman istana dan minum tersedia dari kolam yang terletak di depan istana maupun parit-parit yang membelah halaman istana menjadi beberapa bagian. Pengambilan data pada penelitian ini menyatakan
Tabel 3 Telur cacing yang ditemukan pada rusa totol yang positif kecacingan
No. Genus Gambar (Pengamatan)
(Perbesaran: 40x10) Gambar (Literatur)
1 Strongyloides
bar=10µm (Viney dan Lok 2007)
2 Toxocara
7 bahwa populasi rusa totol untuk periode tahun 2013/2014 berjumlah 689 ekor. Peningkatan populasi ini diikuti dengan adanya tindakan tambahan untuk menyeimbangkan kualitas hidup rusa totol. Saat memasuki musim kemarau, rusa totol diberikan asupan ubi jalar secara utuh bersama daun dan dahannya untuk mencukupi kebutuhan nutrisi yang kurang karena kondisi rumput dan tumbuhan yang kurang mendapat curah hujan. Daun ubi jalar ini dipercaya sebagai anthelmentik alami bagi rusa totol (Ali Istana Kepresidenan Bogor 18 April 2014, komunikasi pribadi). Air minum yang dialirkan untuk rusa pada saat pengamatan ini dilaksanakan dengan pada saat pengamatan Pribadi (1991) juga berasal dari sumber yang berbeda. Faktor yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi oleh
Fasciola sp. di antaranya adalah jika terjadi kontak antara pakan dengan air yang
kemungkinan besar tercemar oleh siput-siput yang bertindak sebagai inang antara
Fasciola sp. Menurut Pribadi (1991), rusa totol di halaman Istana Kepresidenan
Bogor terinfeksi oleh Fasciola sp. dari kolam tempat minum rusa. Kolam tersebut bagian alami dari aliran air sungai Cibalok yang juga membawa limbah pembuangan warga di daerah itu. Sumber air minum rusa mulai diperbarui pada masa kepemimpinan Presiden tahun 2002. Presiden terpilih pada masa itu mengalokasikan anggaran negara untuk mengalirkan sumber air dari Katulampa agar rusa-rusa totol di halaman istana selalu mendapat air minum yang baik dan tidak kekurangan dalam kondisi apa pun. Aliran air minum yang baru ini langsung dari sumber air dan tidak membawa limbah pembuangan. Air minum lebih terjaga kualitasnya karena langsung dialirkan dari sumber air dan tidak ditemukan adanya siput di sepanjang aliran parit pada saat pengamatan di lapangan sehingga tidak ada kontak dengan inang antara Fasciola sp.
Strongyloides spp.
Menurut Viney dan Lok (2007), telur Strongyloides yang terlihat dari pemeriksaan feses berbentuk mendekati elips dengan dinding tipis yang mengandung larva. Telur yang ditemukan pada sampel feses rusa totol sama dengan yang dideskripsikan oleh Viney dan Lok (2007). Pemeriksaan filtrat dari metode sedimentasi menunjukkan adanya bentuk elips dengan larva yang terlihat masih bergerak di dalam dinding tipisnya (Tabel 3).
Strongyloides adalah genus dari nematoda parasit yang menginfeksi
mamalia, aves, reptil, dan amfibi. Genus Strongyloides diketahui memiliki setidaknya 52 spesies yang sudah teridentifikasi (Grove 1996). Spesies yang menginfeksi hewan bisa menginfeksi manusia, sehingga strongyloidiasis termasuk ke dalam penyakit zoonosis (Singh 2002). Reaksi yang ditimbulkan oleh infeksi ini adalah alergi pada kulit yang disebut larva currens, istilah yang digunakan untuk menunjukkan infeksi kutaneus yang berlangsung lebih cepat dibanding
cutaneous larva migrans oleh nematoda dari genus Ancylostoma (Corte et al.
2013).
Infeksi Strongyloides terjadi melalui kontak langsung dengan larva infektif, misalnya yang berada di tanah, sehingga salah satu cara yang paling mudah untuk mencegah adanya penularan terhadap manusia adalah dengan selalu mengenakan alas kaki. Penggunaan sepatu sendiri merupakan hal yang umum di wilayah Istana Kepresidenan Bogor sebagai bagian dari prosedur standar berpakaian sopan dan
8
para petugas yang berada di area halaman Istana Kepresidenan Bogor selalu terlihat mengenakan boots. Strongyloides juga mampu menginfeksi calon inangnya melalui oral (Dillard et al. 2007), walaupun sangat jarang adanya laporan mengenai infeksi melalui oral.
Toxocara spp.
Tipe telur dari genus Toxocara adalah oval atau subglobuler dan terselubung kulit telur yang cukup tebal serta bertitik-titik halus. Telur yang ditemukan pada sampel feses rusa totol memiliki tipe yang sama dengan tipe telur dari genus Toxocara. Terlihat adanya bentukan subglobuler dengan kulit telur yang cukup tebal dilihat dengan perbesaran 40 x 10 mikroskop cahaya (Tabel 3).
Genus Toxocara ditemukan pertama kali pada tahun 1782 oleh Werner sebagai Lumbricus canis (=Toxocara canis) (Gallas dan Silveira 2013). Saat ini sudah diketahui 27 spesies dari genus Toxocara dengan dua di antaranya sangat penting bagi dunia kesehatan, yaitu T. canis dan T. cati (Borecka 2010, Strube et
al. 2013). Kedua spesies ini tersebar hampir di seluruh dunia melalui inang
definitifnya, yaitu anjing bagi T. canis dan kucing bagi T. cati. Penyebaran ini tidak hanya menginfeksi inang definitifnya, tetapi juga sering kali muncul pada spesies lain, termasuk manusia, sehingga kedua spesies ini sangat diperhatikan karena bersifat zoonosis (Strube et al. 2013).
Toxocarosis pada manusia menimbulkan gejala klinis yang dibagi secara sistematis ke dalam empat bentuk, yaitu sindroma visceral larva migrans (VLM),
neurological toxocarosis (NT), sindroma ocular larva migrans (OLM), dan covert toxocarosis atau toxocarosis tersembunyi. Respon hipersensitivitas terhadap larva
di organ-organ viscera, termasuk paru-paru dan hati merupakan penyebab utama munculnya gejala yang dikarakteristikkan sebagai VLM (Despommier 2003). Bentuk neurologik muncul ketika migrasi larva Toxocara spp. ke otak menimbulkan meningitis, encephalitis, myelitis, atau kombinasinya. Sindroma OLM dikarakteristikkan dengan respon imun terhadap migrasi larva ke mata (Strube et al. 2013). Sindroma toxocarosis yang disebut covert ditemukan pada pasien dengan gejala klinis yang kurang spesifik dan tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori VLM, OLM, atau NT (Overgaauw dan van Knapen 2008).
Cara transmisi ke manusia yang paling banyak terjadi adalah melalui tertelannya telur infektif Toxocara dari tanah yang tercemar sehingga penularan ini disebut juga sapro-zoonosis, maupun tertelannya larva infektif pada daging mentah yang berasal dari inang paratenik yang terinfeksi, seperti sapi dan domba (Overgaauw dan van Knapen 2008, Salem dan Schantz 1992, Strube et al. 2013). Ini adalah salah satu hal yang ditakutkan dari dampak kecacingan terhadap rusa, yaitu adanya zoonosis parasit pada dagingnya, sedangan penularan melalui telur infektifnya bisa dicegah dengan selalu mencuci tangan sebelum makan agar tidak ada telur infektif yang ikut tertelan. Petugas yang melakukan kontak langsung dengan tanah di halaman Istana Kepresidenan Bogor juga bisa menambah proteksi dengan selalu mengenakan sarung tangan ketika beraktivitas.
9 Observasi Klinis
Rusa totol di halaman Istana Kepresidenan Bogor tidak menunjukkan gejala klinis yang bisa dilihat karena tingkat kecacingannya sendiri sangat rendah. Menurut Forrester et al. (1974), efek yang berhasil diamati dari adanya manifestasi nematoda pada rusa dewasa adalah adanya diare, anoreksia, dan kelemahan yang berlangsung progresif. Hasil nekropsi seekor rusa betina yang mati di Universitas Florida setelah beberapa minggu mengalami gejala diare tersebut menunjukkan adanya peradangan non-spesifik pada usus halusnya selain ditemukannya telur nematoda dalam jumlah besar pada pemeriksaan fesesnya.
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanPrevalensi kecacingan pada rusa totol di halaman Istana Kepresidenan Bogor sebagai satwa harapan sangat rendah. Identifikasi sampel memberikan hasil telur cacing dari genus Strongyloides dan genus Toxocara. Kedua hasil pemeriksaan telur cacing yang ditemukan dalam feses rusa totol tersebut menunjukkan jenis telur cacing yang bersifat zoonosis.
Saran
Diadakannya kontrol kecacingan yang teratur untuk melihat tingkat kecacingan secara kuantitatif. Kontrol kecacingan ini bisa berbentuk pemeriksaan setiap enam bulan sekali. Diharapkan adanya hasil negatif kecacingan dalam pemeriksaan kecacingan ini ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson S, Jones JK. 1967. Recent Mammals of the World: A Synopsis of
Families. New York (US): Ronald Press Company.
Borecka A. 2010. The spread of nematodes from Toxocara genus in the world.
Wiad Parazytol. 56(2): 117-124.
Considine DM. 1976. Van Nostrand’s Scientific Encyclopedia. New York (US): Van Nostrand Reinhold Company.
Corte LD, Silva MVS, Souza PRM. 2013. Simultaneous Larva Migrans and Larva Currens Caused by Strongyloides stercoralis: A Case Report. Case Reports in
Dermatological Medicine.
Despommier D. 2003. Toxocariasis: Clinical Aspects, Epidemiology, Medical Ecology, and Molecular Aspects. Clinical Microbiology Reviews. 16(2): 265-272.
Dillard KJ, Saari SAM, Anttila M. 2007. Strongyloides stercoralis infection in a Finnish Kennel. Acta Veterinaria Scandinavica. 49(37).
10
Dryden GMcL. 1997. Venison in the human diet – is venison a low-fat meat?
Proceedings of the Nutrition Society of Australia. 21: 41-51.
English AW. 1992. Management Strategies for Farmed Chital Deer. The Biology
of Deer. New York (US): Springer-Verlag. p: 189-196.
Fajri S. 2000. Perilaku harian rusa totol (Axis axis) yang dikembangbiakkan di padang rumput halaman Istana Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Forrester DJ, Taylor WJ, Nair KPC. 1974. Strongyloidisis in captive white-tailed deer. Journal of Wildlife Disease. 10: 11-17.
Gallas M, Silveira EF. 2013. Toxocara cati (Schrank 1788) (Nematoda, Ascarididae) in different wild feline species in Brazil: new host records.
Biotemas. 26(3): 117-125.
Garsetiasih R, Herlina N. 2005. Evaluasi plasma nutfah rusa totol (Axis axis) di halaman Istana Bogor. Buletin Plasma Nutfah. 11(1): 1-7.
Grove DI. 1996. Human Strongyloidiasis. Advances in Parasitology. 38: 251-309. Grzimek B. 1972. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia, Volume 13: Mammals IV.
New York (US): Van Nostrand Reinhold Company.
Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemiology, Diagnosis, and Control of Helminth
Parasites of Ruminants. Nairobi (KE): The International Laboratory for
Research on Animal Diseases.
Jacoeb TN, Wiryosuhanto SD. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa. Jakarta (ID): Penerbit Kanisius.
Overgaauw PAM, van Knapen F. 2008. Toxocarosis, an important zoonosis.
European Journal of Companion Animal Practice. 18(3): 259-266.
Pribadi BA. 1991. Inventarisasi telur cacing yang ditemukan pada rusa totol (Axis
axis) di halaman Istana Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rachmawati A. 2012. Motilitas dan viabilitas semen rusa timor (Cervus
timorensis) menggunakan pengencer yang berbeda pada suhu 5°C. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan. 20(2): 1-9.
Roepstorff A, Nansen P. 1997. The Epidemiology, Diagnosis, and Control of
Helminthparasites of Swine. Rome (IT): FAO.
Salem G, Schantz P. 1992. Toxocaral Visceral Larva Migrans after ingestion of raw lamb liver. Clinical Infectious Diseases. 15: 743-744.
Semiadi G. 1998. Budidaya Rusa Tropika sebagai Hewan Ternak. Masyarakat Zoonosis Indonesia. Jakarta (ID): Armas Duta Jaya.
Singh S. 2002. Human Strongyloidiasis in AIDS era: its zoonotic importance.
Journal of the Association of Physicians of India. 50: 415-422.
Strube C, Heuer L, Janecek E. 2013. Toxocara spp. infection in paratenic hosts.
Veterinary Parasitology. 193(4): 375-389.
Tavassoli M, Hadian M, Charesaz S, Javadi S. 2008. Toxocara spp. eggs in public parks in Urmia City, West Azerbaijan Province Iran. Iranian Journal of
Parasitology. 3(3): 24-29.
Trubus. 1996. Rusa Istana Negara Bogor. Trubus No. 321 Th XXVII. 1 Agustus 1996. Jakarta (ID).
Viney ME, Lok JB. 2007. Strongyloides spp. WormBook ed. The C. elegans Research Community. WormBook.
11
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 November 1990 dari ayah Fauzi Abdul Patah dan ibu Ety Rahayu sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2005, penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 103 Jakarta. Penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 39 Jakarta pada tahun 2008 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri dengan pilihan program studi Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik serta mengikuti kepanitiaan dan kegiatan magang maupun volunteering seperti pada lembaga nonprofit Multispecies