• Tidak ada hasil yang ditemukan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pengembangan itik Cihateup juga dialakukan diluar daerah asalnya yaitu di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pengembangan itik Cihateup juga dialakukan diluar daerah asalnya yaitu di"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Itik Cihateup

2.1.1. Karakteristik Itik Cihateup

Itik Cihateup merupakan itik lokal yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Pengembangan itik Cihateup juga dialakukan diluar daerah asalnya yaitu di Kabupaten Garut. Itik Cihateup sesuai untuk dipelihara didaerah pegunungan karena memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan dingin yang baik. Itik Cihateup mampu hidup pada ketinggian 378 m diatas permukaan laut (dpl), (Wulandari, 2005).

Itik lokal merupakan itik domestikasi dan telah beradaptasi dengan lingkungannya. Itik lokal diberi nama sesuai lokasinya seperti itik Alabio, Cihateup, Mojosari, Tegal, Lombok, Bali, Rambon dan Magelang (Prasetyo dan Muryanto, 2006).

Itik Cihateup merupakan komoditas ternak unggas yang sangat potensial sebagai penghasil telur. Itik Cihateup mampu menghasilkan 250-280 butir per ekor per tahun. Taksonomi Itik Cihateup menurut Srigandono (1997) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Sub-kingdom : Metazoan Filum : Chordata Sub-filum : Vetebrata Kelas : Aves Ordo : Anseriformes

(2)

Family : Anatidae Genus : Anas

Spesies : Anas plathyrhynchos

Karakteristik Itik Cihateup secara umum mirip dengan itik-itik jawa lainnya, seperti itik Karawang, itik Cirebon ataupun itik Tegal. Terdapat sedikit variasi genetik diantara itik-itik ini. Bulu itik Cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shanknya berwarna hitam. Warna itik Cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu disekitar kepala mengarah kehitaman, akan tetapi betina memiliki warna bulu yang leih cerah. Itik Cihateup memiliki bentuk badan langsing dengan leher bulat panjang. Itik Cihateup memiliki lingkar dada yang lebih besar dari itik Cirebon maupun itik Mojosari menurut Wulandari dkk. (2005).

Ukuran tubuh unggas dapat dijadikan sebagai penentu karaktertistik jenis unggas tersebut. Bobot badan merupakan salah satu penentu karaktersistik jenis unggas. Rata-rata bobot badan itik Cihateup umur 15 minggu adalah 1,388 kg menurut Wulandari dkk. (2005).

2.1.2. Kebutuhan Nutrien Itik Cihateup

Ransum adalah makanan dengan campuran beberapa bahan pakan yang disediakan bagi hewan untuk memenuhi kebutuhan akan nutrien yang seimbang dan tepat selama 24 jam meliputi lemak, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Anggorodi, 1995; Rasyaf, 1997). Fungsi ransum yang diberikan pada prinsipnya untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan membentuk sel jaringan tubuh. Selain itu, ransum dapat menggantikan bagian-bagian zat nutrien yang menjadi kebutuhan seperti karbohidrat, lemak dan protein yang selanjutnya menghasilkan energi selama proses penguraiannya (Sudaryani dan Santoso, 1995).

(3)

Kebutuhan nutrien dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, aktivitas ternak, energi ransum dan tingkat produksi (Anggorodi, 1995). Kebutuhan nutrisi itik Cihateup fase grower yang berumur 14 minggu dengan berat badan rata-rata 1043 gram ± 51,631 gram disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Itik Cihateup Fase Grower

Nutrien Kebutuhan Itik Grower*

EM (Kkal/kg) 2800 PK (%) 16.00 Ca (%) 0.60 P (%) 0.60 Lisin (%) 0.90 Metionin (%) 0.56** Sumber: *) NRC (1984) **) ARC (1984) 2.2. FOS

FOS merupakan substansi karbohidrat dari famili fruktan, terdiri dari bermacam-macam gugus polimer fruktosa. Zat ini terdapat pada berbagai jenis tanaman, dan disimpan sebagai karbohidrat oleh tanaman (Mahan, 2008). FOS termasuk dalam serat fungsional karena memiliki efek fisiologis yang berguna bagi kesehatan manusia. FOS mengandung campuran oligomer dan polimer β-(2- 1)-fruktosa (Cho dan Dreher, 2001). Karena adanya konfigurasi β pada monomer fruktosa, FOS tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan usus halus. (Roberfroid, 2007) Struktur kimia FOS ditunjukkan dengan simbol GFn ; G menunjukkan unit glukosil, F menunjukkan unit fruktosil, sedangkan n menunjukkan jumlah unit yang terikat oleh α-(2-1)-fruktosa. Unit fruktosil pada FOS panjangnya bervariasi antara dua hingga lebih dari 60 fruktosil (Niness, 1999).

(4)

FOS memiliki banyak manfaat yaitu, dapat meningkatkan jumlah sel L dalam usus, terutama yang terletak di proksimal kolon (Delzenne dkk., 2007). FOS juga merupakan Penghasil komponen SCFA. Sifat FOS yang tahan terhadap enzim pencernaan saluran cerna bagian atas, menyebabkan komponen FOS tetap utuh di usus halus. Di kolon, FOS mengalami fermentasi oleh bakteri anaerob dan menghasilkan SCFA (asetat, propionat, butirat), asam laktat, serta beberapa gas seperti hidrogen (H2), karbondioksida (CO2 ), dan metan (CH4) (Cho dkk., 1999).

Sebagai prebiotik FOS berfungsi melalui penurunan pH di dalam kolon yang bermanfaat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, terutama Escherichia coli, Clostridium spp, dan Bacteroides, serta dapat meningkatkan aktivitas dan pertumbuhan bakteri di kolon (Roberfroid dkk., 1998).

FOS merupakan penyedia energi dan substrat metabolisme. Sekitar 90-95% SCFA (Short Chain Fatty Acid) diabsorbsi di sekum dan kolon ascenden. Salah satu komponen SCFA, yaitu butirat digunakan sebagai sumber energi utama bagi kolonosit, sedangkan propionat, laktat, dan asetat masuk ke dalam vena porta menuju ke hati untuk mengalami metabolisme lebih lanjut (Cho dkk., 1999).

FOS juga dapat meningkatkan volume (bulk) feses dan mencegah konstipasi. Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah bakteri anaerob akibat proses fermentasi menyebabkan berat kering feses (fecal dry weight) dan ekskresi biomassa bakteri meningkat. Setiap gram FOS yang dimakan dapat meningkatkan berat feses sebesar 1,5-2 gram, sehingga FOS juga dapat digunakan untuk menanggulangi konstipasi (Cho dan Dreher, 2001; Niness, 1999).

FOS yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kulit pisang batu (Musa rachycarpa Harper). Kulit pisang yang digunakan sudah tua tetapi belum matang penuh (berumur 90-100 hari setelah pembungaan) dengan warna masih

(5)

hijau dan tekstur keras, yang diperoleh dari perusahaan kripik pisang di sekitar kotamadya Bandar Lampung dan kulit pisang jantan matang yang diperoleh dari limbah pembuatan pisang goreng dan makanan peganan di sekitar kotamadya Bandar Lampung, Kaffi dkk. (2010).

2.3. Stres Panas pada Unggas

Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona fisiologis yang disebut zona homeostasis (Noor dan Seminar 2009). Apabila terjadi stres, maka zona homeostasis ini akan terganggu dan tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang menyebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun dari dalam tubuh ternak (Ewing dkk., 1999), sedangkan Moberg dkk. (2000) mendefinisikan stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu homeostasis pada hewan, bahkan setiap stresor yang menyebabkan dampak negatif pada kesejahteraan binatang dapat dikategorikan sebagai stres.

Secara fisiologis, suhu lingkungan tinggi mempengaruhi sintesis, stabilitas dan aktivitas enzim. Perubahan temperatur mempengaruhi keseimbangan reaksi biokimia, terutama pembentukan ikatan kimia yang lemah (Noor dan Seminar, 2009), sehingga ternak yang dipelihara di atas suhu nyaman akan mengalami perubahan fisiologis.

Ternak unggas tergolong hewan homeothermic (berdarah panas) dengan ciri spesifik tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu. Kondisi biologis seperti ini menyebabkan ternak unggas dalam kondisi panas mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan.

(6)

Ternak unggas yang menderita stres akan memperlihatkan ciri-ciri gelisah, banyak minum, nafsu makan menurun dan mengepak-ngepakan sayap di lantai kandang. Disamping itu, ternak yang menderita stres akan mengalami panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan tingkat stres, suhu rektal meningkat yang disertai dengan peningkatan kadar hormon kortikosteron (Tamzil dkk., 2013). Munculnya stres panas pada ternak unggas dapat menjadi pemicu munculnya berbagai macam penyakit, laju pertumbuhan dan produksi telur menurun dan berakhir dengan turunnya tingkat keuntungan. Penurunan produksi (pertumbuhan dan produksi telur) antara lain disebabkan oleh berkurangnya retensi nitrogen dan berlanjut ke penurunan daya cerna protein dan beberapa asam amino (Tabiri dkk., 2000).

Ketika ternak menderita stres, maka sistem neurogenik langsung diaktifkan (Virden dan Kidd, 2009), yang pada fase alarm ditandai dengan peningkatan tekanan darah, otot, sensitivitas saraf, gula darah dan respirasi. Bila upaya ini gagal untuk mengatasi stres, maka tubuh akan mengaktifkan hypothalamicpituitary-adrenal cortical system. Ketika sistem ini diaktifkan, hipotalamus menghasilkan corticotrophinreleasing factor (CRF), yang pada gilirannya merangsang pituitari untuk pelepasan adreno kortikotropik hormon (ACTH). Sekresi ACTH menyebabkan sel-sel jaringan korteks adrenal berproliferasi mengeluarkan kortikosteroid. Hormon ini kemungkinan difasilitasi oleh aksi katekolamin yang menyebabkan katekolamin merangsang corticotrophin-releasing factor yang dibebaskan dari hipotalamus, sedangkan ACTH dibebaskan dari pituitari, sementara kortikosteroid dibebaskan dari korteks adrenal (Siegel, 1995; Virden dan Kidd, 2009). Distribusi dan pengiriman kortikosteroid ke jaringan, setidaknya dikontrol oleh corticosteroidbinding globulins. Menurut Virden dan Kidd (2009)

(7)

kortisol adalah kortikosteroid yang paling utama pada mamalia, sedangkan kortikosteron adalah kortikosteroid utama pada bangsa burung. Kortisol dan kortikosteron merupakan salah satu dari adrenal cortical hormone major yang tergolong glucocorticoids yang berfungsi dalam proses glikolisis, glukoneogenesis dan lipolisis (Ewing dkk., 1999). Kehadirannya dapat mengganggu fungsi kekebalan tubuh dan jaringan limfoid (Virden dan Kidd, 2009). Terganggunya fungsi kekebalan tubuh tersebut ditandai dengan peningkatan rasio heterofillimfosit dalam darah (Davis dkk., 2008; Tamzil dkk., 2014).

2.4. Sistem Pencernaan Itik

Pada umumnya bagian - bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman dkk., 1991).

Itik tidak mempunyai gigi geligi untuk mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan, oleh karena itu, daya cerna itik terhadap ransumnya lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).

Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di gizzard (empedal) dengan menggunakan batu - batu kecil atau grit yang sengaja dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan pencernaan dengan menggunakan enzim - enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Di dalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus (proteolitik)

(8)

(Tillman dkk., 1991). Didalam empedal bahan - bahan makanan mendapat proses pencernaan secara mekanis. Partikel - partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum banyak dilakukan dengan menggiling bahan - bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).

2.4.1. Usus Halus

Usus Halus atau intestinum tenue adalah saluran panjang berkelok-kelok dengan panjang kira-kira 5-7 m. Ini adalah bagian saluran pencernaan terpanjang. Usus halus terbentang dari pertauatan dengan lambung untuk menyatu dengan usus besar atau colon (intestinum crassum). Untuk kepeluan deskriptif, usus halus dibagi menjadi 3 bagian : duodenum, jejenum dan ileum. Meskipun perbedaan mikroskopiknya hanya sedikit, namun ketiga segmen tersebut dapat dibedakan. Fungsi utama usus halus adalah mencerna isi lambunng dan abrsorpsi nutrien kedalam kapiler darahdan laktealin limfe (Eroschenko, 2002).

Mukosa usus halus adalah lapisan terdalam dari 4 lapisan dalam saluran pencernaan. Mukosa usus halus menunjukkan modifikasi struktural khusus yang meningkatkan luas permukaan sel untuk absorpsi nutrien dan cairan. Modifikasi ini temasuk plika sirkularis, vili, dan mikrovili. Plika sirkularis adalah lipatan atau peninggian mukosa (dengan inti submukosa) permanen yang berpilin dan terjulur kedalam lumen khusus. Vili adalah tonjolan permanen lamina propria mukosa mirip-jari yang terjulur kedalam lumen usus. Vili dilapisi oleh epitel selapis silindris dan juga menonjol dibagian proksimal usus halus. Epitel selapis silindris yang melapisi vili, juga melapisi kelenjar intestinal, di kelenjar dijumpai sel induk, sel absorptif, sel goblet, sel paneth, dan beberapa sel enteroendokrin. Sel absorptif

(9)

adalah jenis sel terbanyak di sel epitel usus. Sel goblet terselip diantara sel-sel absorptif komular epitel usus. Sel goblet di epitel permukaan mengahsilkan mucus yang melumasi, menyelubungi, dan melindungi permukaan usus dari efek korosif bahan kimiawi dan enzim pencernaan (Eroschenko, 2002).

Duodenum adalah segmen terpendek usus halus. Vili dibagian ini tampak lebar, tinggi, dan banyak, dengan sedikit sel goblet diepitel. Jejenum memperlihatkan vili yang lebih pendek, lebih sempit dan lebih sedikit dari pada duodenum. Sel goblet di epitel lebih banyak. Ileum mengandung sedikit vili yang sempit dan pendek. Selain itu, epitel mengandung lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan duodenum dan jejenum. Nodulus limfoit berukuran besar dan banayak di ileum, tempat nodulus limfoit membentuk agregasi dilamina propia dan submukosa untuk membentuk nodulus lymphoideus aggregatus submucocus (Eroschenko, 2002).

Ilustrasi 1.Vili usus halus (potongan longitudinal dan trasversal) pembesaran sedang.

Gambar

Ilustrasi 1.Vili usus halus (potongan longitudinal dan trasversal) pembesaran  sedang.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a dan huruf b, maka perlu menetapkan Peraturan Bupati Ponorogo tentang Pencabutan Peraturan Bupati Ponorogo

Karena indikasi-indikasi pada layar osiloskop mengukur waktu antara pantulan pulsadari permukaan depan dan belakang, maka  jarak indikasi adalah merupakan ketebalan

Pada penulisan ini yang akan dibahas ialah mengenai perancangan museum musik yang menyajikan alat-alat musik tradisional dari berbagai wilayah di Indonesia dengan pengolahan

Dengan demikian harus dilakukan pengkajian fenomena alam dalam rangka pengembangan IPA dalam konteks mempertebal iman, takwa, dan sikap rohaniyah kepada Tuhan

Pertama, keadilan sosial itu dirumuskan sebagai “suatu” yang sifatnya konkrit, bukan hanya abstrak-filosofis yang tidak sekedar dijadikan jargon politik tanpa makna; Kedua,

apabila sebagian pembiayaan Mudharabah hilang setelah usaha tanpa adanya kelalaian atau kesalahan pengelola dana maka rugi tersebut diperhitungkan pada saat bagi hasil

Kertas yang sangat tipis dan berserat dan biasa digunakan untuk membersihkan sesuatu. Berdasarkan jenis-jenis kertas tersebut, jenis kertas yang paling memungkinkan untuk

Metode yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi mitra (2) adalah membuat pelet dari kotoran puyuh yang dapat diproduksi dengan menggunakan