• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... I. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... I. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...

i

DAFTAR TABEL ...

iii

BAB

I.

Pendahuluan ... 1

Latar Belakang Pembangunan Perkebunan ... 1

II. Kontribusi Perkebunan Terhadap Perekonomian Nasional.. ………..

5

2.1.

Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan Tahun 2011-2015………

5

2.2. Kinerja Mikro Pembangunan Perkebunan Tahun 2011-2016...

9

2.2.1. Luas Areal Perkebunan ... .

9

2.2.2. Produksi Perkebunan ...

10

III. Kinerja Program Pembangunan Perkebunan...

14

Program Pembangunan Perkebunan Tahun 2012-2016... 14

3.1. Realisasi Program Ditjen Perkebunan...

14

3.2. Realisasi Anggaran per Belanja ... ...

16

3.3. Realisasi Anggaran per Satker ...

16

3.3.1. Satker Provinsi ... 17

3.3.2. Satker Kabupaten dan Kota ... 19

3.3.3. Satker Pusat dan UPT Pusat ... 21

3.4. Realisasi Anggaran Berdasarkan Output Komoditas ………..

22

3.4.1. Realisasi Pengembangan Kakao...

22

3.4.2. Realisasi Pengembangan Teh...

23

3.4.3. Realisasi Pengembangan Kelapa Sawit...

24

3.4.4. Realisasi Pengembangan Tanaman Sagu...

25

3.4.5. Realisasi Pengembangan Tanaman Karet...

25

3.4.6. Pengembangan Tanaman Kelapa...

26

3.4.7. Realisasi Pengembangan Tanaman Kopi...

27

3.4.8.

Realisasi Pengembangan Tanaman Jambu Mete...

28

3.4.9. Realisasi Kegiatan Pengembangan tanaman kapas...

28

3.4.10. Realisasi Pengembangan Tanaman Nilam...

29

3.4.11. Realisasi Pengembangan Tanaman Tembakau...

29

3.4.12. Realisasi Pengembangan Tanaman Lada...

30

3.4.13.

Realisasi Pengembangan Tanaman Pala...

30

3.4.14.

Realisasi Pengembangan Tanaman Cengkeh...

31

3.4.15.

Realisasi Pengembangan Tanaman Kemiri Sunan...

31

3.5. Realisasi Anggaran Per-Output………...

32

3.6. Integrasi Tanaman Perkebunan dan Jagung... ... .

35

3.7. Responsif Gender/Pengarus Utamaan Gender (PUG)...

36

Latar Belakang...

36

Succes Story PUG Ditjen Perkebunan...

37

IV. Permasalahan dan Rencana Tindak Lanjut.... ...

39

4.1. Permasalahan Yang Dihadapi ...

39

4.1.1. Permasalahan Administrasi...

39

(3)

4.1.2. Permasalahan Teknis ...

40

1. Perencanaan...

40

2. Pengorganisasian...

40

3. Pelaksanaan...

41

4. Pengawasan...

42

4.2. Upaya Tindak Lanjut Penyelesaian Masalah ...

42

4.2.1. Upaya Tindak Lanjut Penyelesaian Masalah Administrasi... ...

42

4.2.2. Upaya Tindak Lanjut Penyelesaian Masalah Teknis ...

44

1. Perencanaan...

44

2. Pengorganisasian...

44

3. Pelaksanaan...

45

4. Pengawasan...

45

V. PENUTUP ...

47

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan tahun 2011-2015 ... 5

Tabel 2. Devisa dan Penerimaan Negara dari Produk Perkebunan ... 7

Tabel 3. Luas Areal Perkebunan tahun 2011-2016... 9

Tabel 4. Produksi Komoditas Perkebunan tahun 2010 - 2016 ...

10

Tabel 5. Produktivitas Komoditas Perkebunan tahun 2011-2016 ... 12

Tabel 6. Kegiatan dan Anggaran Program Tahun 2012-2016 ... 14

Tabel 7. Realisasi anggaran & fisik berdasarkan kegiatan utama TA. 2016 15

Tabel 8. Realisasi per Akun Belanja TA. 2016 ... . . 16

Tabel 9. Realisasi Anggaran per Satker Provinsi ………... 17

Tabel 10. Realisasi Anggaran per Satker Kabupaten/Kota ……….... 19

Tabel 11. Realisasi Anggaran Satker Pusat dan UPT Pusat ...……… 21

Tabel 12. Realisasi Pelaksanaan Komoditas Kakao ……… 22

Tabel 13.

Realisasi Pengembangan Teh……… . .. 23

Tabel 14. Realisasi Pengembangan Kelapa Sawit ……… ... . 24

Tabel 15. Realisasi Pengembangan Sagu... 25

Tabel 16. Realisasi Pengembangan Karet... 25

Tabel 17. Realisasi Pengembangan Kelapa... 26

Tabel 18. Realisasi Pengembangan Tanaman Kopi... ... ... 27

Tabel 19. Realisasi Pengembangan Tanaman Jambu Mete... 28

Tabel 20. Realisasi Kegiatan Pengembangan tanaman kapas... .. 28

Tabel 21. Realisasi Pengembangan Tanaman Nilam... ... 29

Tabel 22. Realisasi Pengembangan Tanaman Tembaka... 29

Tabel 23. Realisasi Pengembangan Tanaman Lada... 30

Tabel 24. Realisasi Pengembangan Tamanan Pala... 30

Tabel 25. Realisasi Pengembangan Tanaman Cengkeh... 31

Tabel 26. Realisasi Pengembangan Kemiri Sunan... 32

Tabel 27. Realisasi Anggaran Per Output... 32

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pembangunan Perkebunan

Pengembangan perkebunan terus dilakukan melalui berbagai kebijakan dengan tujuan

akhir adalah meningkatnya produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan yang

dapat mensejahterakan pekebun sebagai pelaku usaha perkebunan dan rakyat secara

luas. Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2005-2025 bahwa tahun 2015-2019

memasuki periode jangka menengah tahap III yang difokuskan dalam memantapkan

pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian

daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan

sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan IPTEK yang terus meningkat.

Implementasi fokus perencanaan jangka menengah tersebut diakomodir dalam

dokumen Rencana Strategis.

Rencana Strategis Ditjen. Perkebunan tahun 2015-2019 disusun dengan mengacu

pada arah dan kebijakan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam

RPJMN 2015-2019 sesuai amanat Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019. Arah kebijakan

umum pembangunan nasional tahun 2015-2019 adalah 1) meningkatkan pertumbuhan

ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan; 2) meningkatkan pengelolaan dan nilai

tambah sumber daya alam yang berkelanjutan; 3) mempercepat pembangunan

infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan; 4) meningkatkan kualitas lingkungan

hidup, mitigasi bencana alam dan penanganan perubahan iklim; 5) penyiapan landasan

pembangunan yang kokoh; 6) meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan

kesejahteraan rakyat yang berkeadilan; dan 7) mengembangkan dan memeratakan

pembangunan daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan 9

Agenda Prioritas NAWACITA sebagai jalan perubahan menuju Indonesia yang

berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam

kebudayaan.

Pada tahun 2015-2019, sub sektor perkebunan masih menjadi sub sektor penting

dalam peningkatan perekonomian nasional. Peran strategis sub sektor perkebunan

baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial budaya ini digambarkan melalui

kontribusinya dalam penyumbang PDB; nilai investasi yang tinggi dalam membangun

perekonomian nasional; berkontribusi dalam menyeimbangkan neraca perdagangan

komoditas pertanian nasional; sumber devisa negara dari komoditas ekspor;

berkontribusi dalam peningkatan penerimaan negara dari cukai, pajak ekspor dan bea

keluar; penyediaan bahan pangan dan bahan baku industri; penyerap tenaga kerja;

sumber utama pendapatan masyarakat pedesaan, daerah perbatasan dan daerah

tertinggal; pengentasan kemiskinan; penyedia bahan bakar nabati dan bioenergy yang

bersifat terbarukan, berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca serta

berkontribusi dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan

mengikuti kaidah-kaidah konservasi. Sejalan dengan berbagai kontribusi sub sektor

(6)

perkebunan tersebut maka segala bentuk usaha budidaya perkebunan harus

mengedepankan keseimbangan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia

dan alat/sarana prasarana input produksi melalui kegiatan penyelenggaraan

perkebunan yang memenuhi kaidah pelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut

dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan bahwa

perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya

manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budidaya, panen, pengolahan dan

pemasaran terkait tanaman perkebunan. Dengan pengertian yang luas tersebut,

penyelenggaraan perkebunan mengemban amanat dalam mendukung pembangunan

nasional. Amanat tersebut mengharuskan penyelenggaraan perkebunan ditujukan

untuk (1) meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (2) meningkatkan

sumber devisa negara; (3) menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha;

(4) meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa

pasar; (5) meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri

dalam negeri; (6) memberikan perlindungan pada pelaku usaha perkebunan dan

masyarakat; (7) mengelola dan mengembangkan sumber daya perkebunan secara

optimal, bertanggung jawab dan lestari; dan (8) meningkatkan pemanfaatan jasa

perkebunan.

Amanat pembangunan nasional dalam 9 Agenda Prioritas NAWACITA yang wajib

dilaksanakan Ditjen. Perkebunan dalam pengembangan perkebunan tahun 2015-2019

sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015-2019 mencakup 2 agenda prioritas

diantaranya 1) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional

dengan sub agenda prioritas akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui

peningkatan agroindustri berbasis komoditas perkebunan; dan 2) mewujudkan

kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik

dengan sub agenda peningkatan kedaulatan pangan. Selain itu, agenda prioritas terkait

membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah (perbatasan,

daerah tertinggal dan daerah kawasan timur Indonesia) dan desa dalam kerangka

negara kesatuan menjadi salah satu arah kebijakan yang akan diprioritaskan Ditjen.

Perkebunan melalui kegiatan tematik.

Sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan agroindustri adalah peningkatan

produksi komoditas andalan dan prospektif ekspor perkebunan seperti kelapa sawit,

karet, kakao, teh, kopi dan kelapa serta mendorong berkembangnya agroindustri di

perdesaan. Sedangkan sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan kedaulatan

pangan adalah tercapainya peningkatan ketersediaan pangan dari tebu yang

bersumber dari produksi dalam negeri untuk memenuhi konsumsi gula rumah tangga

dan industri rumah tangga.

Secara umum pengembangan komoditas perkebunan difokuskan pada 16 komoditas

unggulan yaitu Tebu, Kelapa Sawit, Karet, Kelapa, Kakao, Kopi, Lada, Teh, Pala,

Cengkeh, Jambu Mete, Sagu, Kemiri Sunan, Kapas, Tembakau dan Nilam. Penentuan

komoditas tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor

511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal

Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura

(7)

serta Keputusan Menteri Pertanian nomor 3399/Kpts/PD.310/10/2009 tentang

perubahan lampiran I dari Keputusan Menteri Pertanian nomor

511/Kpts/PD.310/9/2006. Arah pengembangan komoditas-komoditas tersebut dicapai

melalui program peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan dengan

implementasi kegiatan seperti rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi

yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, pemberdayaan pekebun dan

penguatan kelembagaan, pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber benih,

penanganan pascapanen, pengolahan, fasilitasi pemasaran, standarisasi mutu,

pembinaan usaha dan perlindungan perkebunan serta pemberian pelayanan

berkualitas dibidang manajemen dan kesekretariatan. Komoditas-komoditas unggulan

perkebunan yang masih dalam tahap inisiasi tetap dikembangkan dan difasilitasi Ditjen.

Perkebunan yang diarahkan untuk pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM)

yang meliputi penyediaan benih/ varietas unggul, pembangunan/ pemeliharaan kebun

sumber benih (demplot, kebun induk, kebun entres dan lain-lain), pengendalian OPT,

penanganan pascapanen, pemberdayaan pekebun, peningkatan kapasitas sumber

daya insani (SDI) dan penguatan kelembagaan. Sedangkan dalam tahap penumbuhan/

pengembangan selain penguatan aspek budidaya dan perlindungan perkebunan juga

difasilitasi aspek pengolahan, standarisasi mutu dan pemasarannya.

Arah kebijakan pembangunan nasional dalam dokumen RPJMN 2015-2019

diimplementasikan dalam 11 (sebelas) sasaran strategis Kementerian Pertanian.

Sesuai tugas pokok dan fungsinya, Ditjen. Perkebunan bertanggungjawab dalam

mendukung pencapaian 7 (tujuh) sasaran strategis yang terbagi kedalam 3 (tiga)

sasaran strategis utama dan 4 (empat) sasaran strategis pendukung. Sasaran strategis

Ditjen. Perkebunan juga mengacu pada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP)

2013-2045 yang fokus dalam hal optimalisasi sumber daya alam (sumber daya lahan,

sumber daya genetika dan sumber daya iklim); pengembangan sumber daya insani

yang kompeten dan berkarakter (insan berkualitas, modal sosial dan modal politik)

pertanian; sistem inovasi science and bio-engineering; infrastruktur pertanian/

perkebunan; sistem usaha tani bio/agro industri dan bio/agro-services terpadu; klaster

rantai nilai bio-industri; dan lingkungan pemberdayaan bio-bisnis melalui pendekatan

Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan.

Sasaran strategis utama Ditjen. Perkebunan tahun 2015-2019 yang selaras dengan

kebijakan Kementerian Pertanian sebagaimana tertuang dalam Renstra Kementerian

Pertanian tahun 2015-2019 (edisi revisi) adalah mendukung: 1) pemenuhan

penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional; 2)

peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam

mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan yang difokuskan pada pengembangan

produk segar dan olahan dari 16 komoditas unggulan perkebunan; 3) pemenuhan

penyediaan bahan baku energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian

bio-industry dengan fokus pengembangan komoditas kelapa sawit baik melalui kegiatan

budidaya dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas maupun melalui

kegiatan integrasi tanaman perkebunan dengan ternak dan tumpang sari dengan

komoditas pertanian lainnya serta penyediaan benih kemiri sunan. Sedangkan sasaran

strategis pendukung Ditjen. Perkebunan tahun 2015-2019 adalah mendukung: 1)

Peningkatan kualitas sumber daya insani perkebunan; 2) Penguatan kelembagaan

pekebun dan kemitraan usaha perkebunan; 3) Akuntabilitas kinerja aparatur

(8)

pemerintah yang baik dengan menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas,

efektivitas, efisiensi, supremasi hukum, keadilan, integritas/ komitmen, kejujuran,

konsistensi dan bebas KKN di lingkungan organisasi Ditjen. Perkebunan; dan 4)

Peningkatan pendapatan keluarga pekebun yang merupakan resultan dari pencapaian

sasaran strategis lainnya.

Sasaran strategis tersebut, dituangkan dalam dokumen Renstra Direktorat Jenderal

Perkebunan tahun 2015-2019 edisi revisi yang substansinya secara garis besar

meliputi 1) kondisi umum yang meliputi kinerja pendanaan, makro dan mikro

pembangunan perkebunan; 2) potensi dan tantangan; 3) arah kebijakan, sasaran

strategis dan strategi Direktorat Jenderal Perkebunan; 4) visi, misi dan tujuan Direktorat

Jenderal Perkebunan; 5) program, implementasi agenda prioritas NAWACITA dan

kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan; 6) proyeksi kebutuhan investasi dan

ketersediaan APBN Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2015-2019 dalam ruang

lingkup kerangka pendanaan; 7) kerangka regulasi dan kerangka kelembagaan

Direktorat

Jenderal Perkebunan tahun 2015-2019; dan 8) dukungan

Kementerian/Lembaga dalam pembangunan perkebunan tahun 2015-2019.

Dokumen Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun

2015-2019 ini diharapkan dapat menjadi acuan perancangan/ perencanaan dan pedoman

pelaksanaan kebijakan di bidang perkebunan secara nasional baik pusat maupun

daerah, menjangkau kemitraan lintas bidang, lintas sektor, lintas program, lintas pelaku

dan lintas Kementerian/Lembaga dalam membuka ruang solusi yang lebih lapang

seiring dengan semakin luasnya rentang potensi, kelemahan, peluang, tantangan dan

permasalahan yang melingkupi penyelenggaraan perkebunan saat ini dan kedepan

termasuk dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berimplikasi terhadap

pengembangan sub sektor perkebunan tahun 2015-2019.

(9)

BAB II

KONTRIBUSI PERKEBUNAN TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL

Sub sektor perkebunan memainkan peranan penting dalam 3 aspek pembangunan

nasional yaitu ekonomi, sosial budaya dan ekologi. Konstribusi sub sektor perkebunan

dalam ketiga aspek dalam jangka menengah II secara makro/mikro selama periode

2010-2014, sebagai berikut:

2.1. Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan Tahun 2011-2015

PDB perkebunan medio 2010-2014 masih mengalami pertumbuhan positif, baik

pada harga berlaku maupun harga konstan. Trends positif berlaku juga pada

pendapatan tenaga kerja, ekspor dll. Memasuki pembangunan perkebunan jangka

menengah III, pada 2 (dua) tahun pertama

Berikut gambaran kinerja makro pembangunan perkebunan yang telah dicapai

selama periode 2010-2014 dan 2015-2016, sebagai berikut:

Tabel 1. Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan tahun 2011-2015.

NO. INDIKATOR REALISASI

2011 2012 2013 2014 2015 1. Harga Berlaku (Rp. Milyar) 303.403 323.362 358.172 398.261 411.863

2 Harga Konstan

(Rp. Milyar) 281.465 301.020 319.533 338.502

350.490

3. Neraca Perdagangan

Perkebunan (US$ milyar) 29,36 25,77 22,63 22,84 20,72

4. Investasi (Rp. Triliun) 1,98 1,49 1,77 1,32

5. Jumlah Petani & Tenaga Kerja

(juta orang) 20,94 21,12 22,51 22,16 22,09

6. Pendapatan Pekebun (US$/KK) 1.702 1.832 1.886 1.891 7. Ekspor

a. Volume (ribu ton) 21.682 24.431 26.310 29.130

b. Nilai (US$ milyar) 32,22 29,96 26,77 26,78

8. Impor

a. Volume (ribu ton) 21.682 24.431 26.310 29.130

b. Nilai (US$ milyar) 32,22 29,96 26,77 26,78

9. Neraca Perdagangan Perkebunan (US$ milyar)

29,36 25,77 22,63 22,84

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016.

Tabel 1. memperlihatkan bahwa capaian pertumbuhan PDB perkebunan selama

2011-2015 berdasarkan harga berlaku dan harga konstan, menunjukkan pola

pertumbuhan yang positif. Tumbuhnya PDB perlkebunan ini didukung oleh

meningkatnya kapasitas produksi dan ekspor komoditas sawit, kopi, lada,

tembakau, dll. Meskipun ada penurunan kecil dari produksi karet karena

terdampak penurunan harga. Industri perkebunan kelapa sawit nasional memiliki

potensi yang sangat besar.

(10)

Peranan perkebunan dalam perekonomian nasional adalah sebagai penyumbang

devisa nomor 2 terbesar setelah hasil tambang sekaligus sebagai tempat jutaan

rakyat Indonesia menggantungkan nasib. Berdasarkan data produksi CPO

nasional mencapai 31,5 juta ton dan PKO sebesar 3 juta ton sehingga total

keseluruhan produksi minyak sawit Indonesia adalah 34,5 juta ton. Sementara,

harga CPO global rata-rata sepanjang 2016 tercatat sebesar USD 700 per metrik

ton atau naik 14 persen dibanding harga rata-rata 2015. Untuk ekspor minyak

sawit Indonesia (CPO dan turunannya) tahun lalu sebesar 25,1 juta ton, dan

menyumbangkan devisa senilai USD 18,1 miliar.

Berdasarkan lapangan usaha, keterlibatan tenaga kerja perkebunan berbanding

lurus dengan pertumbuhan PDB yaitu masih menunjukkan pertumbuhan positif.

Sampai akhir 2015 tercatat ada 22,09 juta orang yang terlibat dalam usaha

perkebunan turun sedikit dari tahun 2014. Kemampuan sub sektor perkebunan

dalam menarik minat tenaga kerja sebagian besar dipengaruhi penyerapan

tenaga kerja dari komoditas kelapa sawit yang memberikan potensi ekonomi yang

cukup tinggi bagi masyarakat pekebun namun juga tidak terlepas dari komoditas

lain seperti kakao setelah ada program gernas kakao.

Ekspor komoditas perkebunan secara volume sampai dengan 2015 masih tumbuh

positif namun secara nilai turun karena dipengaruhi oleh rendahnya harga 2

komoditas penyumbang ekspor terbesar yaitu sawit dan karet. Baru

dipertengahan tahun 2016 harga 2 komoditas tersebut mengalami peningkatan

signifikan namun data belum dapat direkam. Impor komoditas perkebunan

sebagai subtitusi terhadap produk perkebunan tertentu yang belum dapat

dipenuhi dari dalam negeri yang sangat dibutuhkan pabrikan nasional namun

jumlah dan nilainya kecil. Hanya gula refinasi yang masih banyak diimpor karena

produk gula dalam negeri belum mencukupi kebutuhan nasional, hal ini

dipengaruhi oleh produktivitas tebu yang rendah rata-rata dibawah 70 ton/hektar

dengan rendemen kisaran 6-7% dan juga dipengaruhi oleh tidak efisiennya PG di

Indonesia yang rata-rata merupakan PG peninggalan masa kolonial.

Pertumbuhan pendapatan pekebun selama 2011-2015 menunjukan trend positif

namun perlu ada peningkatan produksi dan produktivitas untuk menghindari

kehilangan potensi pendapatan pekebun melalui peremajaan dan intensifikasi

tanaman, serta inovasi teknologi budidaya perkebunan. Saat ini pada

pengusahaan kelapa sawit, luas lahan sawit milik pekebun mencapai 3,8 juta ha

atau 41 persen dari total luas kebun kelapa sawit nasional yaitu 11,3 juta ha.

Seluas lebih 2,5 juta ha kebun kelapa sawit petani sudah perlu diremajakan

karena berumur tua dan/atau produktivitasnya rendah yakni sekitar 2-3 ton

CPO/Ha/Tahun. Sebagian besar dari 2,5 juta Ha tersebut adalah milik petani

swadaya yang tidak mempunyai biaya dan memerlukan pendampingan teknis

agronomi yang baik serta manajemen. proses peremajaan tersebut harus

dilaksanakan dalam bentuk kemitraan dengan perusahaan. Program peremajaan

ini akan meningkatkan produksi lahan petani menjadi 5-6 ton CPO/Ha/Tahun

tanpa pembukaan lahan kelapa sawit baru. Kecenderungan pendapatan petani

2014-2015 menurun karena disebabkan harga ke 2 produk pertkebunan tersebut

menurun tajam di pasar internasional sehingga mempengaruhi harga jual getah

karet dan TBS ditingkat petani.

(11)

Hal yang menggembirakan di sub sektor perkebunan adalah masuknya investasi

yang meskipun menunjukkan pola negatif di mulai dari tahun 2011, kondisi ini

dipengaruhi oleh moratorium investasi di bidang perkelapa sawitan. Di luar

perkelapa sawitan masih tumbuh karena didukung oleh iklim usaha perkebunan

yang mendukung usaha budidaya perkebunan, jaminan pasar dan besarnya

dukungan pemerintah melalui regulasi investasi.

Penerimaan negara lainnya seperti cukai hasil tembakau dan bea keluar CPO

selama 5 tahun mengalami pola pertumbuhan yang meningkat signifikan. Laju

pertumbuhan cukai hasil tembakau sampai dengan tahun 2015 sebesar 15,28%,

sedangkan untuk bea keluar CPO dan turunannya sebesar 49,66%. Industri Hasil

Tembakau mempunyai peran cukup besar terhadap penerimaan negara melalui

pajak dan cukai, penyerapan tenaga kerja, penerimaan ekspor dan perlindungan

terhadap petani tembakau dan dampak ganda lainnya. Namun disisi lain, industri

hasil tembakau juga memberikan efek negatif bagi aspek kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu, setiap kebijakan terhadap industri hasil tembakau sepatutnya

mempertimbangkan beberapa aspek yang saling bertolak belakang tersebut.

Dalam hal ini, pemerintah telah memiliki Roadmap Industri Hasil Tembakau yang

disusun para stakeholder yang berkepentingan. Dalam road map tesebut, arah

kebijakan Industri Hasil Tembakau tahun 2015-2020 diprioritaskan pada aspek

kesehatan masyarakat, tenaga kerja dan penerimaan negara.

Tabel 2. Devisa dan Penerimaan Negara dari Produk Perkebunan

No Nama Komoditas TAHUN 2011 2012 2013 2014 2015*) 1 Ekspor Perkebunan (Juta US$) 32.222,54 29.956,14 26.767 26.780 23.934 2 Cukai Hasil Tembakau

(Juta Rp.) 73.258.780

90.510.910 103.600.867 116.284.000 126.747.000 3 Bea Keluar CPO dan

Turunannya (Juta Rp.) 13.334.859 17.563.575 14.909.869 9.116.239 524.358 4 Bea Keluar Biji Kakao

(Juta Rp.)

354.001

123.071 231.481 182.006 66.221

Sumber : - Ditjen. Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan RI (diolah Ditjen. Perkebunan) - Buku Statistik Indonesia (BPS RI)

Pada tabel 2 menunjukkan trends nilai ekspor dalam US$ terus menurun, Tahun

2011 nilai ekspor mencapai lebih US$32 milyar namun di akhir Tahun 2015 hanya

kurang dari US$24 milyar namun dari volume masih tumbuh positif, penurunan

nilai ekspor dipengaruhi oleh harga jual produk komoditas utama sawit dan karet

turun tajam sejak Tahun 2012.

Penerimaan cukai rokok/tembakau meningkat cukup besar, sesuai tabel diatas

terlihat di akhir 2015 mencapai lebih dari Rp126 milyar meningkat hampir 2 kali

lipat dibanding akhir 2011. Cukai yang dipungut akan dikembalikan ke

masyarakat/wilayah penghasil tembakau melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau (DBH-CHT) sesuai Peraturan Presiden Nomor 162 Tahun 2014

(12)

tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran

2015 adalah sebesar Rp2,411 triliun.

DBH-CHT mulai diberikan pada tahun 2008 dengan realisasi sekitar 200 milyar

rupiah dan sampai dengan tahun 2016 mengalami peningkatan realisasi sebesar

2,79 triliun rupiah atau mengalami pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 67,4%.

Pada tahun 2016, telah terbit Permenkeu nomor: 28/PMK.07/2016 tanggal 19

Februari 2016 tentang Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi

Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Pada Bab II penggunaan DBH-CHT (pasal 2)

menyatakan prinsip penggunaan DBH-CHT ditentukan sebagai berikut:

a. Paling sedikit 50% untuk mendanai program/ kegiatan yang terdiri dari

peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan

sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan pemberantasan barang kena

cukai illegal.

b. Paling banyak 50% untuk mendanai program/ kegiatan sesuai dengan

kebutuhan dan prioritas daerah.

Program peningkatan kualitas bahan baku dilaksanakan oleh Kementerian

Pertanian dalam hal ini dilaksanakan oleh Ditjen. Perkebunan. Program

peningkatan kualitas bahan baku meliputi kegiatan standarisasi kualitas bahan

baku, pembudidayaan bahan baku berkadar nikotin rendah, penyediaan sarana

laboratorium uji dan pengembangan metode pengujian, penanganan panen dan

pasca panen bahan baku, pembinaan dan fasilitasi pembentukan dan/ atau

pengesahan badan hukum kelompok tani tembakau serta pengembangan bahan

baku alternative untuk tembakau Virginia.

Bea keluar dan CPO Supporting Fund merupakan satu paket pungutan terhadap

kegiatan ekspor sawit. Apabila harga rata-rata CPO di bawah harga referensi atau

patokan (treshold), maka eksportir akan dikenakan CPO Supporting Fund sesuai

dengan tarif yang sudah ditentukan. Tapi jika harga CPO di atas treshold, maka

selisihnya menjadi penerimaan bea keluar, sedangkan yang di bawah itu masuk

jadi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) BLU Sawit. Landasan kebijakan

pemerintah dalam mengendalikan ekspor minyak sawit adalah dengan

mengenakan pajak ekspor dalam bentuk Bea Keluar. Tujuan utamanya untuk

menjaga stabilitas harga di pasaran domestik. Kebijakan Bea Keluar mampu

mengubah komposisi produksi dan ekspor kelapa sawit Indonesia. Dominasi

ekspor produk hulu secara bertahap digantikan produk hilir kelapa sawit sehingga

nilai tambah pengolahan produk perlahan dapat dinikmati stakeholder kelapa

sawit domestik.

Kecenderungan penurunan penerimaan negara dari BK kakao dipengaruhi oleh

melemahnya harga internasional untuk komoditas kakao sehingga ekspor kakao

cenderung menurun. Disamping itu kakao Indonesia kurang dapat bersaing di

pasar Internasional, pekebun kakao Indonesia lebih suka menjual kakao basah

karena margin harga yang tidak jauh berbeda dengan kakao fermentasi.

Pesaing

bisnis kakao adalah Pantai Gading dan Ghana memiliki kualitas kakao lebih baik

dan mudah diterima di pasar internasional, sehingga harga kakao dunia-pun

terbentuk dari produk kedua negara ini.

Menilik pada kebijakan pemerintah tentang Penetapan Barang Ekspor yang

dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar menetapkan BK biji kakao yang diatur

(13)

dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 mengatur mengenai

tarif Bea Keluar (BK) sebesar 0-15% atas ekspor biji kakao dengan melihat

patokan harga referensi biji kakao dunia. Untuk harga referensi sampai dengan

US$ 2.000 tidak dikenakan tarif BK (0%), harga referensi US$ 2.000-2.750

ditetapkan tarif BK sebesar 5%, harga referensi US$ 2.750-3.500 ditetapkan tarif

BK sebesar 10% dan harga referensi lebih dari US$ 3.500 ditetapkan tarif BK

sebesar 15%. Kebijakan ini diambil untuk menghambat ekspor biji mentah dan

mendorong hilirisasi industri kakao. Dengan demikian diharapkan industri kakao

nasional lebih berdaya saing dan memberikan nilai tambah lebih bagi ekonomi

nasional.

2.2. Kinerja Mikro Pembangunan Perkebunan Tahun 2011-2016

Pengembangan perkebunan terus dilakukan melalui berbagai kebijakan dengan

tujuan akhir adalah meningkatnya produksi, produktivitas dan mutu tanaman

perkebunan yang dapat mensejahterakan pekebun sebagai pelaku usaha

perkebunan dan rakyat secara luas

Berikut ini adalah kinerja mikro pembangunan yang telah dicapai dalam upayanya

mengembangkan komoditas perkebunan selama tahun 2010-2016, sebagai

berikut:

2.2. 1. Luas Areal Perkebunan

Perkembangan luas areal perkebunan dari tahun ke tahun semakin meningkat

terus terutama didukung oleh perkembangan pesat luas areal kelapa sawit karena

bisnis CPO sangat menguntungkan, berikut data luas areal periode 2011-2016.

Tabel 3. Luas Areal Perkebunan tahun 2011-2016

No Komoditas Luas Areal (Hektar)

Laju Pertumb. (%) 2011 2012 2013 2014 2015 2016* I. TAN. TAHUNAN 1. Karet 3.456.127 3.506.201 3.555.946 3.606.245 3.621.103 3.639.000 1,02% 2. Kelapa Sawit 8.992.824 9.572.715 10.465.020 10.754.801 11.260.277 11.914.499 5,45% 3. Kelapa 3.767.704 3.781.649 3.654.478 3.609.812 3.585.599 3.566.103 -1,11% 4. Kopi 1.233.698 1.235.290 1.241.712 1.230.495 1.230.001 1.228.512 -0,09% 5. Kakao 1.732.641 1.774.464 1.740.612 1.727.437 1.709.284 1.701.351 -0,38% 6. Jambu Mete 575.841 575.920 554.315 531.154 522.863 515.348 -2,26% 7. Lada 177.490 177.787 171.920 162.751 167.590 168.080 -1,14% 8. Cengkeh 485.191 493.887 501.378 510.174 535.694 542.281 2,19% 9. Teh 123.938 122.206 122.035 118.899 114.891 117.268 -1,13% 10. Sagu 102.601 127.157 128.106 135.484 196.415 213.280 12,89% 11. Pala 122.396 134.709 140.424 158.326 168.904 169.285 6,20% 12. Kemiri Sunan 944 995 1.057 1.062 1.135 1.132 3,53% II. TAN. SEMUSIM

13. Tebu 451.788 451.255 469.227 478.108 454.171 445.520 -0,33% 14. Kapas 10.238 9.565 8.738 3.670 6.118 5.919 -23,59% 15. Tembakau 228.770 270.290 192.809 215.865 209.095 206.337 -3,74% 16. Nilam 28.615 31.155 28.226 20.714 18.626 18.562 -10,01% Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016.

Ketreangan: * angka sementara

(14)

Tabel 3. masih ada penambahan luas pada komoditas utama dan 3 komoditas

lainnya ditandai dengan laju pertumbuhan yang positif. Laju pertumbuhan luas

areal kelapa sawit mencapai lebih 5%. Pertumbuhan ini didorong komoditas

kelapa sawit masih jadi primadona investasi, terlihat dari banyaknya PMA/PMDN

yang mengajukan izin investasi perluasan areal maupun bukaan baru, selain itu

juga didorong oleh investasi perseorangan/kelompok/kebun rakyat dengan luas

areal kurang dari 25 hektar.

Selain komoditas kelapa sawit, komoditas perkebunan lain yang juga

menunjukkan pola pertumbuhan positif seperti pala, kemiri sunan, sagu, cengkeh,

dan karet. Sedangkan sampai dengan akhir tahun 2016, diperkirakan komoditas

kelapa, jambu mete, lada, teh, jarak pagar, tembakau, nilam, kopi, kakao dan

kapas menunjukkan pola negatif. Berbagai faktor menjadi penyebab terjadinya

penurunan luas areal komoditas-komoditas tersebut, salah satu diantaranya

adalah konversi ke komoditas lain yang lebih ekonomis.

2.2. 2. Produksi Perkebunan

Perkembangan produksi 16 komoditas utama perkebunan secara umum

cenderung fluktuatif, berikut data produksi 5 tahun terakhir.

Tabel 4.

Produksi Komoditas Perkebunan tahun 2010 - 2016.

No Komoditas

Produksi (ton) Laju

Pertumb. (%) 2011 2012 2013 2014 2015 2016* 1. Karet (karet kering) 2.990.184 3.012.254 3.237.433 3.153.186 3.145.398 3.157.780 1,03% 2. Kelapa Sawit (CPO) 23.096.541 26.015.518 27.782.004 29.278.189 31.070.015 33.229.381 6,99% 3. Kelapa (kopra) 3.174.379 3.189.897 3.051.585 3.005.916 2.920.665 2.890.735 -1,90% 4. Kopi (kopi berasan) 638.647 691.163 675.881 643.857 639.412 639.305 -0,07% 5. Kakao (biji kering) 712.231 740.513 720.862 728.414 593.331 656.817 -2,19% 6. Jambu Mete

(gelondong kering)

114.789 116.915 116.113 131.302 137.580 130.072 2,30% 7. Lada (lada kering) 87.089 91.039 91.039 87.448 81.501 82.167 -1,25% 8. Cengkeh (bunga

kering)

72.207 99.890 109.694 122.134 139.641 139.522 11,86% 9. Teh (daun kering) 150.776 145.575 145.460 154.369 132.615 144.015 -1,27% 10. Sagu 85.960 132.309 155.061 310.656 423.946 440.516 26,05% 11. Pala 19.877 25.321 28.167 32.729 33.711 34.408 10,10% 12. Kemiri Sunan (biji

kering) 0 0 0 3 6 6 16,67% 13. Tebu (gula) 2.267.887 2.591.687 2.551.026 2.579.173 2.497.997 2.222.971 -0,73% 14. Kapas (serat berbiji) 2.275 2.948 1.871 761 759 715 -37,40% 15. Tembakau (daun kering) 214.524 260.818 164.448 198.301 193.790 196.154 -4,98% 16. Nilam (minyak nilam) 2.866 2.648 2.082 2.103 1.986 1.954 -8,39% Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016.

(15)

Produksi karet masih tumbuh 1,03% meskipun dalam 3 tahun terakhir masih

dibawah tingkat produksi tahun 2013, penurunan produksi disebabkan rendahnya

harga karet tahun 2014/2015, kondisi ini mulai pulih tahun 2016 dimana harga

karet sudah kembali pada posisi normal meskipun produksi belum mampu

menyamai tahun 2013 namun jika harga terus stabil tingkat produksi diperkirakan

akan dapat melampui. Berbeda dengan produksi sawit, meskipun harga terbilang

sangat rendah namun tidak mempengaruhi tingkat produksi, hal ini disebabkan

oleh dominannya pasokan dari korporasi yang memiliki tingkat produktivitas jauh

lebih tinggi dibanding petani. Selain karet dan kelapa sawit, dari 16 komoditas

utama perkebunan yang mengalami trend pertumbuhan positif adalah jambu

mete, cengkeh, sagu, pala, dan kemiri sunan.

Produksi tembakau menunjukkan besarnya kekuatan sumber daya pekebun

dalam mengembangkan suatu komoditas yang dapat memberikan jaminan harga

yang remuneratif meskipun dibatasi oleh berbagai peraturan dan tanpa adanya

bantuan input produksi dari APBN. Namun demikian, peran Pemerintah dalam

upaya peningkatan produksi tembakau, masih tetap dilakukan terutama dalam hal

pembinaan dan pengawalan serta pemberdayaan petani baik oleh Pemerintah

Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adanya alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau (DBH-CHT) kepada daerah penghasil tembakau, memungkinkan

Pemerintah Daerah membina para pekebun tembakau di wilayahnya secara lebih

intensif.

Usaha perkebunan kelapa sawit, meskipun didominasi oleh perusahaan

perkebunan besar (±59%) namun kontribusi perkebunan rakyat dalam

peningkatan produksi kelapa sawit nasional tidak dapat diabaikan. Laju

peningkatan produksi rata-rata selama periode 2010-2014 dapat lebih ditingkatkan

apabila berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pekebun kelapa sawit, seperti

dominannya tanaman tua di pertanaman dan buruknya infrastruktur, dapat

diselesaikan dalam skala yang lebih luas. Fasilitasi Direktorat Jenderal

Perkebunan melalui APBN untuk pengembangan komoditas kelapa sawit

dilakukan melalui kegiatan demplot model peremajaan kelapa sawit, penanganan

OPT, perluasan areal di daerah perbatasan/ daerah tertinggal, pergantian benih

tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu dan bersertifikat dalam skala

terbatas, serta mendorong lebih banyak pekebun untuk dapat memanfaatkan

fasilitas subsidi bunga perbankan yang disalurkan melalui program skim Kredit

Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) dalam

rangka pengembangan usaha perkebunan kelapa sawitnya.

Fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan untuk komoditas cengkeh, karet, jambu

mete dan lada selama 5 tahun ini cukup berhasil. Hal ini dibuktikan sampai

dengan tahun 2014, laju pertumbuhan produksi rata-rata keempat komoditas

tersebut mencapai 1-8%. Selama ini kegiatan peremajaan, rehabilitasi,

intensifikasi dan perluasan tanaman cengkeh, jambu mete dan lada serta kegiatan

peremajaan, intensifikasi dan perluasan tanaman karet di wilayah khusus

(perbatasan, daerah tertinggal, pasca bencana dan pasca konflik) cukup

mengangkat tingkat produksi tanaman.

Dalam usaha perkebunan tebu, selama periode 2010-2014 terjadi peningkatan

produksi tebu yang cukup signifikan. Rasionalisasi atau penataan varietas tebu

untuk mendapatkan komposisi varietas tebu unggul dan penerapan sistem

(16)

tebangan Manis, Bersih dan Segar (MBS) menjadi salah satu pengungkit

peningkatan produksi tebu. Peran pemerintah pusat dalam APBN diwujudkan

dalam bentuk penyediaan benih unggul bermutu melalui pembangunan Kebun

Benih Induk (KBI) dan Kebun Benih Datar (KBD) menggunakan teknik kultur

jaringan, bantuan alat dan mesin pertanian, bongkar ratoon, rawat ratoon dan

perluasan areal pada daerah potensial pengembangan tebu.

Komoditas kemiri sunan, kapas, jarak pagar, kakao, kopi, kelapa dan teh

menunjukkan laju pertumbuhan produksi dengan pola negatif yang cukup tinggi

sampai dengan tahun 2014 yaitu berturutturut sebesar 37,50%, 23,65%,

-10,43%, -3,16%, -1,44%, -1,28% dan -0,28%. Untuk Kemiri Sunan, secara umum

hal ini disebabkan kegiatan pengembangan Kemiri Sunan selama periode

2010-2014 baru dimulai rintisannya tahun 2011 dan diarahkan pada perluasan areal

penanaman sehingga diproyeksikan baru berproduksi pada tahun 2015. Adapun

biji kemiri sunan dari pohon-pohon kemiri sunan yang tumbuh secara alami tidak

dipanen karena fasilitas unit pengolahannya belum cukup tersedia.

Untuk komoditas kapas, rendahnya trend produksi antara lain disebabkan jaminan

pasar dan harga yang kurang bersaing untuk menarik minat petani dalam

membudidayakan kapas. Untuk komoditas jarak pagar, masih diperlukan

penelitian lebih lanjut agar dapat dihasilkan varietas unggul baru, teknik budidaya

jarak pagar yang produktivitasnya tinggi dan mekanisme usahanya ditingkat

petani yang dapat menghasilkan keuntungan. Pada komoditas kakao, walaupun

program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas)

Kakao cukup memberikan dampak bagi kinerja komoditas kakao tetapi persoalan

serangan OPT dan banyaknya tanaman tua/ rusak menjadi faktor penyebab

terbesar dari penurunan produksi. Kendala lahan dan produktivitas masih menjadi

simpul kritis pengembangan kopi ditengah meningkatnya permintaan dunia akan

biji kopi berkualitas. Untuk komoditas kelapa, banyaknya tanaman tua/ rusak dan

rendahnya produktivitas, persoalan lahan cukup berpengaruh terhadap penurunan

produksi. Kendala peningkatan produksi komoditas teh sebagian besar

disebabkan produktivitas menurun akibat banyaknya tanaman tua/rusak sehingga

kedepan perlu adanya kegiatan peremajaan tanaman.

Tabel 5. Produktivitas Komoditas Perkebunan tahun 2011-2016

No Komoditas Produktivitas (Kg/Hektar)

Laju Pertumb. (%) 2011 2012 2013 2014 2015 2016* I. TANAMAN TAHUNAN 1. Karet 1.071 1.073 1.083 1.053 1.036 1.045 -0,50% 2. Kelapa Sawit 3.526 3.722 3.536 3.601 3.625 3.763 1,23% 3. Kelapa 1.158 1.157 1.130 1.136 1.110 1.103 -0,98% 4. Kopi 702 745 739 716 707 706 0,07% 5. Kakao 821 850 880 803 775 785 -1,02% 6. Jambu Mete 367 364 359 416 430 414 2,18% 7. Lada 784 771 776 921 828 833 0,81% 8. Cengkeh 238 325 350 391 441 424 10,35%

(17)

9. Teh 1.477 1.467 1.465 1.683 1.495 1.618 1,43% 10. Sagu 1.854 1.921 2.174 4.198 3.656 3.696 9,92%

11. Pala 387 466 469 484 479 482 4,05%

12. Kemiri Sunan 0 0 0 222 186 190 -5,75%

II. TANAMAN SEMUSIM

13. Tebu 5.030 5.770 5.467 5.406 5.605 5.004 -0,46%

14. Kapas 303 333 288 220 151 178 -13,61%

15. Tembakau 950 1.009 928 947 946 989 0,67%

16. Nilam 132 110 120 149 162 160 2,91%

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016.

Berdasarkan analisis trend pertumbuhan produktivitas rata-rata pada 16

komoditas sampai dengan tahun 2014 mengalami pola negatif sebesar -0,52%.

Walaupun demikian, sebagian besar komoditas yang menunjukkan laju

pertumbuhan produktivitas yang positif. Komoditas cengkeh, nilam, jambu mete,

kakao, teh, tembakau, karet, tebu, lada dan kelapa sawit menunjukkan trend

pertumbuhan produktivitas yang positif dengan persentase range antara

0,12-7,48% sampai dengan tahun 2014 sedangkan laju pertumbuhan produktivitas

komoditas kapas, jarak pagar, kopi dan kelapa menunjukkan pola negatif.

Laju pertumbuhan produksi beberapa komoditas perkebunan diiringi dengan

meningkatnya produktivitas tanaman. Hal ini ditunjukkan pada komoditas

tembakau, cengkeh, kelapa sawit, karet, jambu mete, tebu, lada dan nilam.

Kedelapan komoditas tersebut menunjukkan trend positif yang disebabkan oleh

kontribusi kegiatan-kegiatan yang dialokasikan Direktorat Jenderal Perkebunan

pada sentra-sentra produksi untuk memacu produktivitas tanaman seperti 1)

kegiatan peremajaan dan perluasan areal pada komoditas karet dan jambu mete;

2) intensifikasi dan rehabilitasi pada komoditas cengkeh dan lada, 3) kegiatan

pengendalian OPT dan SL-PHT, 4) kegiatan rawat ratoon, bongkar ratoon,

perluasan areal dan bantuan peralatan pada komoditas tebu; 5) kegiatan

pengembangan komoditas nilam dan tembakau dalam skala terbatas; 6)

pengembangan komoditas kelapa sawit yang meliputi pergantian benih

bersertifikat, model pengembangan dan perluasan daerah khusus; dan 7)

pemberdayaan petani yang secara tidak langsung membina petani untuk

meningkatkan produktivitas tanamannya.

Laju pertumbuhan produktivitas kapas dan jarak pagar menunjukkan pola negatif

yang cukup besar. Rendahnya produktivitas jarak pagar pada dasarnya

disebabkan belum adanya varietas tanaman yang dapat menghasilkan produksi

yang maksimal dengan rendemen yang layak untuk bahan baku sumber bahan

bakar nabati (BBN). Pengembangan jarak pagar yang didanai pemerintah untuk

sementara dihentikan dan dikembalikan pada penelitian Badan Litbang Pertanian

untuk menghasilkan varietas-varietas unggul.

Ketidakpastian iklim dan ketersediaan benih unggul sebagian faktor yang

mempengaruhi penurunan produktivitas tanaman kapas.

(18)

BAB III

KINERJA PROGRAM PEMBANGUNAN PERKEBUNAN

Program Pembangunan Perkebunan Tahun 2012-2016

Alokasi program pembangunan perkebunan 2012-2016, untuk Program Peningkatan

Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan dilaksanakan

Tahun Anggaran 2012-2015, sedang pada Tahun Anggaran 2016 sebagai awal

program Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan Berkelanjutan.

Kegiatan-kegiatan utama program dan anggaran yang disajikan dalam tabel dibawah ini sudah

termasuk kegiatan utama baru pada tanaman semusim dan rempah, dukungan

perbenihan beserta pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan.

Tabel 6. Kegiatan dan Anggaran Program Tahun 2012-2016.

NO. KEGIATAN

BESARAN APBN (MILYAR RUPIAH) PER TAHUN

2012 2013 2014 2015 2016 1. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu

Tanaman Rempah dan Penyegar 730 350 326 2.066 64

2. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu

Tanaman Semusim 232 736 511 1.565 1

3. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu

Tanaman Tahunan 222 206 174 387 544

4. Pengembangan Penanganan Pascapanen

Komoditas Perkebunan 31 36 37 48 2

5. Dukungan Perlindungan Perkebunan 34 77 77 174 110

6. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis

Lainnya Ditjen. Perkebunan 145 139 129 187 152

7.

Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan (Surabaya, Medan dan Ambon)

70 165 67 70 87

8. Pengembangan Tanaman Semusim dan rempah - - - - 119

9. Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Perkebunan - - - - 82

10. Dukungan Perbenihan Tanaman Perkebunan - - - - 31

Jumlah 1.464 1.709 1.321 4.497 1.192

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016.

Rata-rata pendanaan pembangunan perkebunan selama 5 tahun terakhir sebesar Rp2 triliun, anggaran terbesar diperoleh pada TA. 2015 yang mencapai Rp4,5 triliun dengan fokus pembangunan pada pengembangan tebu. Pada TA. 2016 terjadi penurunan alokasi untuk pembangunan perkebunan hingga diakhir TA. 2016 tinggal tersisa Rp1,192 triliun (catatan: Rp1,8 triliun di blokir) karena pemotongan anggaran dari semula Rp1,7 triliun.

3.1. Realisasi Program Perkebunan

Penyerapan anggaran dan pencapaian fisik sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan kegiatan dalam tahun berjalan.

(19)

Tabel 7. Realisasi anggaran dan fisik berdasarkan kegiatan utama TA. 2016 No Kegiatan Pagu (Rp000) Blokir (Rp000) Pagu setelah Blokir (Rp000) Realisasi Rp000 % Pagu Awal % pasca Blokir % Fisik 1 1775. Pengembangan

Tanaman Rempah dan Penyegar

64.095.132 9.822.196 54.272.936 54.249.439 80,34 94,88 98,57

2 1776. Pengembangan

Tanaman Semusim 807.172 215 806.957 805.934 99,85 99,87 99,99 3 1777. Pengembangan

Tanaman Tahunan dan Penyegar

544.048.691 42.138.435 501.910.256 489.067.518 89,77 97,31 99,87

4 1778. Penanganan Pasca Panen dan Pengembangan Usaha

1.814.777 1.286 1.813.491 1.806.622 97,44 97,51 99,88

5 1779. Dukungan Perlindungan

Perkebunan 110.231.426 7.325.375 102.906.051 99.950.691 90,65 97,11 99,86 6 1780. Dukungan Manajemen

dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen Perkebunan

151.802.940 12.029.094 139.774 130.676.028 86,05 93,45 99,67

7 1781. Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih Serta Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan

87.179.928 2.471.534 84.708.394 79.135.673 90,72 93,36 99,67

8 5888. Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah

119.380.478 19.360.702 100.019.776 97.145.963 81,37 97,13 99,86

9 5889. Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan

82.244.542 9.482.034 72.762.508 68.181.102 82,87 93,67 99,68

10 5890. Dukungan Perbenihan

Tanaman Perkebunan 30.813.197 3.669.129 27.144.068 25.310.897 82,09 93,18 99,66

Jumlah 1.192.418.283 106.300.000 1.086.118.283 1.046.329.868 87,75 96,34 99,75

Penyerapan anggaran berdasarkan pagu awal secara rata-rata hanya mencapai kurang dari 88% hal ini disebabkan sampai dengan tahun anggaran berakhir terdapat Rp106,300 milyar dana yang tidak bisa digunakan karena diblokir. Sesuai kesepakatan di tingkat Kementerian Pertanian, angka blokir dianggap sebagai realisasi maka realisasi rata-rata tercatat menjadi 96,34%.

Ada 3 kegiatan yang berubah/dihilangkan menjelang pertengahan tahun karena mengikuti perubahan organisasi Ditjen Perkebunan yaitu kegiatan Pengembangan Tanaman Semusim, Pengembangan Tanaman Rempah dan Penyegar serta Penanganan Pasca Panen dan Pengembangan Usaha. Kegiatan tanaman semusim berubah menjadi Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah, penanganan pasca panen berubah menjadi Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan. Untuk kegiatan Pengembangan Tanaman Rempah dan Penyegar dihilangkan karena bergabung dengan Tanaman Semusi dan Tanaman Tahunan menyesuaikan organisasi

(20)

baru. Perubahan ini mempengaruhi kecepatan penyerapan anggaran karena perlu ada penyesuaian administrasi keuangan ditingkat satker maupun KPPN.

Dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan TA. Anggaran 2016 mengalami beberapa kali perubahan besaran anggaran dimulai dari refocusing dan blokir jilid I-IV. Kondisi ini menyebabkan banyak kegiatan dilapangan yang tertunda karena anggaran sementara waktu tidak bisa digunakan karena ada penyesuaian besaran anggaran. Dampak lain di lapangan/ditingkat Kelompok Tani terjadi penguran jumlah sasaran kelompok yang akhirnya menimbulkan gesekan antara petugas teknis pada Dinas pelaksana dengan petani. Bahkan pada satker tertentu kegiatan yang sudah CP/CL dibatalkan sama sekali karena anggaran dipotong habis.

3.2. Realisasi Anggaran per Belanja

Komposisi anggaran berdasarkan akun belanja, terdapat 3 akun belanja dengan alokasi anggaran terbesar digunakan untuk belanja barang diikuti belanja pegawai dan terakhir belanja modal.

Tabel 8. Realisasi per Akun Belanja TA. 2016

Kode/Jenis Belanja (Rp000) Pagu Blokir (Rp000) Pagu Pasca

Realisasi Blokir (Rp000) Rp000 Pagu % Awal % Pasca Blokir 51 BELANJA PEGAWAI 82.285.609 79.038.285 75.435.526 91,72 95,48 3.247.324 52 BELANJA BARANG 1.098.053.853 995.215.182 955.839.464 87,38 96,41 102.838.671 53 BELANJA MODAL 12.078.821 11.864.816 11.421.292 94,56 96,26 214.005 Jumlah 192.418.283 1.086.118.283 1.042.696.282 87,75 96,34 106.300.000 Sumber : Spannint DJA Kemenkeu TA. 2016

Pemotongan anggaran menyasar seluruh komponen belanja termasuk belanja pegawai, dari 3 jenis belanja serapan tertinggi adalah belanja modal meskipun memiliki anggaran paling kecil. Namun bila ditilik dari realisasi fisik maka belanja barang menduduki tempat pertama tertinggi dengan serapan anggaran paling rendah.

3.3. Realisasi Anggaran per Satker

Mempertimbangkan banyaknya jumlah kabupaten dan kota sebanyak 511 yang tersebar di 34 provinsi, serta adanya keterbatasan anggaran yang bersumber dari APBN DIPA Ditjen Perkebunan maka untuk mengembangkan pembangunan perkebunan agar dapat merata ke seluruh Indonesia perlu ditetapkan kriteria satker mandiri Tugas Pembantuan Kabupaten/Kota, sebagai berikut: (a). Kinerja satker dua tahun terakhir (2013 dan 2014); (b). Nomenklatur Dinas. Urutan prioritas pengalokasian anggaran terkait dengan nomenklatur dinas secara berurutan: apabila Dinas Perkebunan berdiri sendiri akan memperoleh prioritas utama, Dinas Gabungan namun masih tersurat kata "Perkebunan", seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan menjadi prioritas kedua, dan Dinas Gabungan tanpa kata "Perkebunan" akan menjadi prioritas terakhir; (c) Alokasi anggaran yang

(21)

dikelola minimal Rp 1 milyar. Bila anggaran yang dikelola dibawah Rp 1 milyar, maka dana tersebut dialokasikan dan dikelola oleh Provinsi sebagai Tugas Pembantuan (TP) Provinsi; dan (d) Besar-kecilnya kontribusi terhadap sasaran produksi dan luas areal secara nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Pembangunan Perkebunan tahun 2015-2019. Dari kriteria tersebut, ditetapkan penerima Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebanyak 84 satker yang terdiri atas 4 Satker UPT Pusat, 33 Satker Dinas Provinsi, 46 Satker Dinas Kabupaten/kota dan 1 Pusat. 3.3.1. Satker Provinsi

Tabel 9. Realisasi Anggaran per Satker Provinsi

No Satker (Rp000) Pagu Pagu Pasca Blokir (Rp000) Realisasi Blokir (Rp000) Rp000 Pagu % Awal % Pasca Blokir 1 029101 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI JAWA BARAT 25.339.984 18.650.195 18.153.981 71,64 97,34 6.689.789 2 039098 | DINAS PERKEBUNAN

PROPINSI JAWA TENGAH 22.250.172 15.989.277 15.053.857 67,66 94,15 6.260.895 3 049058 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN PROV D.I.YOGYAKARTA

9.500.099 8.816.958 8.742.162 92,02 99,15 683.141

4 059114 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI JAWA TIMUR 32.405.139 30.151.515 29.105.307 89,82 96,53 2.253.624 5 060100 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI ACEH 12.838.774 11.089.520 10.768.738 83,88 97,11 1.749.254 6 079077 | DINAS PERKEBUNAN

PROV SUMATERA UTARA 21.963.365 17.681.897 15.673.941 71,36 88,64 4.281.468 7 089083 | DINAS PERKEBUNAN

PROV SUMATERA BARAT 13.724.924 11.022.916 9.884.076 72,02 89,67 2.702.008 8 099270 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI RIAU 7.542.228 7.170.173 7.063.205 93,65 98,51 372.055 9 109071 | DINAS PERKEBUNAN

PROPINSI JAMBI 17.524.539 16.440.281 15.204.761 86,76 92,48 1.084.258 10 119081 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI SUMATERA SELATAN 14.026.464 13.187.536 12.511.617 89,20 94,87 838.928 11 129072 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI LAMPUNG 22.376.475 21.166.913 21.051.268 94,08 99,45 1.209.562 12 139076 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI KALIMANTAN BARAT 12.264.311 11.628.508 11.112.294 90,61 95,56 635.803 13 149067 | DINAS PERKEBUNAN

PROV KALIMANTAN TENGAH 7.760.987 7.226.837 6.959.348 89,67 96,30 534.150 14 159064 | DINAS PERKEBUNAN

PROP.KALIMANTAN SELATAN 6.848.556 6.111.083 5.324.822 77,75 87,13 737.473 15 169066 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 4.901.260 4.081.886 3.184.688 64,98 78,02 819.374

(22)

16 179062 | DINAS PERKEBUNAN

PROPINSI SULAWESI UTARA 24.230.383 23.698.703 23.364.830 96,43 98,59 531.680 17 189084 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI SULAWESI TENGAH 74.055.827 70.609.452 69.230.994 93,48 98,05 3.446.375 18 199078 | DINAS PERKEBUNAN

PROPINSI SULAWESI SELATAN 20.118.070 13.417.209 12.687.280 63,06 94,56 6.700.861 19 209008 | DINAS PERKEBUNAN &

HORTIKULTURA PROP. SULAWESI TENGGARA 80.331.005 70.013.441 68.437.651 85,19 97,75 10.317.564 20 219001 | DINAS PERTANIAN PROVINSI MALUKU 12.343.999 12.017.999 11.832.759 95,86 98,46 326.000 21 229061 | DINAS PERKEBUNAN PROVINSI BALI 15.713.706 14.315.340 13.939.940 88,71 97,38 1.398.366 22 239072 | DINAS PERKEBUNAN

PROV. NUSA TENGGARA BARAT 33.351.228 27.354.908 26.295.584 78,84 96,13 5.996.320 23 249031 | DINAS PERTANIAN DAN

PERKEBUNAN PROVINSI NTT 39.580.667 38.741.996 36.754.079 92,86 94,87 838.671 24 259060 | DINAS PERKEBUNAN PROVINSI PAPUA 27.090.369 26.766.557 25.016.492 92,34 93,46 323.812 25 269065 | DINAS PERKEBUNAN PROVINSI BENGKULU 8.020.329 7.566.957 7.517.369 93,73 99,34 453.372 26 289035 | DINAS PERTANIAN

PROVINSI MALUKU UTARA 46.814.522 46.008.947 45.446.815 97,08 98,78 805.575 27 299347 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN PROP. BANTEN 4.213.835 3.992.851 3.950.523 93,75 98,94 220.984 28 309033 | DINAS PERTANIAN.

PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

6.376.557 6.138.137 6.087.524 95,47 99,18 238.420

29 319057 | DINAS PETERNAKAN DAN PERKEBUNAN PROVINSI

GORONTALO

20.422.818 19.989.367 19.909.808 97,49 99,60 433.451

30 329027 | DINAS PERTANIAN. KEHUTANAN. DAN PETERNAKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

943.795 816.435 723.512 76,66 88,62 127.360

31 330023 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI PAPUA BARAT 20.531.931 20.116.214 19.668.931 95,80 97,78 415.717 32 340999 | DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI SULAWESI BARAT 20.778.053 19.733.275 19.573.087 94,20 99,19 1.044.778 33 350036 | DINAS PERTANIAN.

KEHUTANAN DAN KETAHANAN PANGAN PROV.KALIMANTAN UTARA

919.306 769.036 350.206 38,09 45,54 150.270

JUMLAH 687.103.677 622.482.319 600.581.448 87,41 96,48 64.621.358 Sumber: Spannint DJA Kemenkeu

Data dalam tabel diatas merupakan gabungan anggaran Tugas Pembantuan dan Dekonsentrasi. Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi baru masih belum mampu menyesuaikan diri dalam mendukung pembangunan petrkebunan, dalam 2 (dua) tahun

(23)

terakhir serapan anggaran tercatat sebagai yang terendah, hal ini disebabkan terkendala SDM baik ditingkat pimpinan, teknis maupun administrasi dan terutama sekali kebijakan pimponan daerah belum mendukung perkebunan meskipun perkebunan termasuk salah satu komoditas penyumbang pendapatan asli daerah tertinggi diluar hasil tambang. Secara rata-rata tingkat penyerapan 33 provinsi sebesar 96,48% masih diatas rata-rata nasional hal ini ditopang oleh penyerapan tinggi oleh provinsi-provinsi yang memperoleh alokasi besar seperti Lampung, Sulawesi Barat, DIY, Gorontalo, Bengkulu dengan tingkat penyerapan diatas 99%. Provinsi Sulawesi Utara/Tengah/Tenggara dan Papua sangat berperan dalam serapan tinggi meskipun tidak setinggi tingkat penyerapan provinsi-provinsi diatas namun memiliki anggaran yang sangat besar terutama Sulawesi Tengah dan Tenggara dengan anggran diatas 70 Milyar rupiah.

3.3.2. Satker Kabupaten dan Kota

Tabel 10. Realisasi Anggaran per Satker Kabupaten/Kota

No Satker (Rp000) Pagu Pagu Pasca Blokir (Rp000) Realisasi Blokir (Rp000) Rp000 Pagu % Awal % Pasca Blokir 1 029107 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. CIANJUR 3.127.975 1.501.275 1.487.600 47,56 99,09 1.626.700 2 029116 | DINAS PERKEBUNAN

KABUPATEN GARUT 8.101.595 7.538.449 7.197.914 88,85 95,48 563.146 3 029120 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB TASIKMALAYA 4.266.250 4.091.140 3.609.541 84,61 88,23 175.110 4 059124 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB BONDOWOSO 3.491.800 2.964.584 2.918.251 83,57 98,44 527.216 5 069082 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB BENER MERIAH 566.100 566.100 527.150 93,12 93,12 0 6 069087 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB PIDIE 2.864.088 2.818.288 2.606.049 90,99 92,47 45.800 7 069090 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. ACEH UTARA 851.432 851.432 818.905 96,18 96,18 0 8 069092 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB ACEH TIMUR 1.089.080 1.089.080 1.052.609 96,65 96,65 0 9 069108 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. NAGAN RAYA 2.553.000 2.553.000 2.544.769 99,68 99,68 0 10 089102 | DINAS PERKEBUNAN KAB.

PASAMAN BARAT 14.338.500 7.246.750 7.005.740 48,86 96,67 7.091.750 11 091312 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. MERANTI 4.833.609 4.475.833 4.462.271 92,32 99,70 357.776 12 119088 | DINAS PERKEBUNAN

KABUPATEN MUARA ENIM 875.434 760.460 698.803 79,82 91,89 114.974 13 119093 | DINAS PERKEBUNAN KAB

MUSI RAWAS 5.050.778 4.651.448 4.607.859 91,23 99,06 399.330 14 119095 | DINAS PERKEBUNAN KAB.

OGAN KOMERING ILIR 7.602.314 6.045.652 5.912.414 77,77 97,80 1.556.662

(24)

15 139085 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. SANGGAU 2.232.186 2.025.064 2.025.034 90,72 100,00 207.122 16 139087 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. SINTANG 1.159.560 1.126.030 1.098.681 94,75 97,57 33.530 17 139090 | DINAS PERKEBUNAN DAN

KEHUTANAN KAB. KAPUAS HULU 1.314.542 1.314.542 1.201.808 91,42 91,42 0 18 139092 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. BENGKAYANG 948.000 800.000 791.975 83,54 99,00 148.000 19 149081 | DINAS PERKEBUNAN

KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

1.769.135 1.732.760 1.718.333 97,13 99,17 36.375

20 150527 | DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KAB. HULU SUNGAI TENGAH

3.115.154 3.115.154 3.096.761 99,41 99,41 0

21 150861 | DINAS PERKEBUNAN

KABUPATEN KOTABARU 852.837 847.175 842.415 98,78 99,44 5.662 22 159084 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KABUPATEN TABALONG

1.532.200 1.532.200 1.467.042 95,75 95,75 0

23 179075 | DINAS PERKEBUNAN KAB.

MINAHASA SELATAN 2.727.848 2.727.848 2.717.125 99,61 99,61 0 24 189096 | DINAS PERKEBUNAN KAB.

TOLI-TOLI 5.849.000 5.480.000 5.378.750 91,96 98,15 369.000 25 189104 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KABUPATEN MOROWALI

21.721.990 21.304.271 20.905.902 96,24 98,13 417.719

26 189112 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB SIGI 9.145.171 9.145.171 9.139.511 99,94 99,94 0,185 27 189113 | DINAS PERTANIAN.

KEHUTANAN DAN KELAUTAN KOTA PALU

3.002.931 3.002.931 2.953.928 98,37 98,37 0

28 191504 | DINAS PERTANIAN

KABUPATEN TAKALAR 3.923.025 3.731.775 3.725.324 94,96 99,83 191.250 29 199470 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. BULUKUMBA 7.605.350 7.305.350 6.813.297 89,59 93,26 300.000 30 199549 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB.SOPPENG 4.812.436 4.544.082 4.527.080 94,07 99,63 268.354 31 199563 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. LUWU UTARA 11.752.480 652.480 577.100 4,91 88,45 11.100.000 32 209053 | DINAS PERTANIAN KAB

KONAWE 11.617.567 11.617.567 11.614.360 99,97 99,97 0 33 209079 | DINAS PERKEBUNAN

KABUPATEN KOLAKA 11.593.868 11.593.868 11.367.480 98,05 98,05 0 34 209223 | DINAS PERKEBUNAN DAN

HORTIKULTURA KABUPATEN KONAWE SELATAN

4.379.905 4.379.905 4.252.895 97,10 97,10 0

35 249047 | DINAS PERTANIAN. PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN KABUPATEN SIKKA

3.549.180 3.549.180 3.515.130 99,04 99,04 0

(25)

36 249106 | DINAS PERKEBUNAN

KABUPATEN ALOR 8.684.222 8.684.222 8.016.533 92,31 92,31 0 37 289044 | DINAS PERTANIAN KAB.

HALMAHERA UTARA 1.163.181 1.163.181 1.154.381 99,24 99,24 0 38 289056 | DINAS PERTANIAN

KABUPATEN HALMAHERA BARAT 3.239.031 3.084.101 3.075.171 94,94 99,71 154.930 39 289181 | DINAS PERKEBUNAN KAB.

HALMAHERA TENGAH 3.000.430 3.000.430 2.978.530 99,27 99,27 0 40 299045 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KABUPATEN PANDEGLANG

1.345.020 1.314.570 1.263.532 93,94 96,12 30.450

41 299352 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB. LEBAK 2.561.472 2.232.672 2.228.146 86,99 99,80 328.800 42 319067 | DINAS PERTANIAN.

PERKEBUNAN DAN KETAHANAN PANGAN KAB. POHUWATO

6.621.825 6.355.840 6.265.227 94,61 98,57 265.985

43 340176 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KABUPATEN MAJENE 19.755.863 19.533.573 19.460.887 98,51 99,63 222.290 44 340217 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KAB MAMUJU 33.179.890 33.179.890 33.092.103 99,74 99,74 0 45 340443 | DINAS KEHUTANAN DAN

PERKEBUNAN KABUPATEN POLEWALI MANDAR

32.265.790 32.265.790 32.265.419 100,00 100,00 0

46 340510 | DINAS PERTANIAN. PERKEBUNAN DAN HORTIKULTURA KAB MAMASA

5.272.512 5.270.918 5.270.909 99,97 100,00 1.594

JUMLAH 291.305.556 264.766.031 260.250.643 89,34 98,29 26.539.525 Sumber : Spannint DJA Kemenkeu

Pelaksanaan pembangunan perkebunan di kabupaten/kota berlangsung lebih baik dibanding di tingkat provinsi, hal ini ditandai dengan adanya beberapa satker yang mencapai serapan 100%, bahkan satker dengan anggran diatas 30 milyar rupiah bisa mencapai serapan 99-100%, teristimewa lagi satker-satker tersebut berada dalam satu provinsi yaitu Sulawesi Barat.

3.3.3. Satker Pusat dan UPT Pusat

Tabel 11. Realisasi Anggaran Satker Pusat dan UPT Pusat

No Satker (Rp000) Pagu Pagu Pasca Blokir (Rp000) Realisasi Blokir (Rp000) Rp000 Pagu % Awal % Pasca Blokir 1 238830 | DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN 118.071.072 105.499.674 97.987.261 82,99 92,88 12.571.398 2 567338 | BALAI BESAR

PERBENIHAN DAN PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN (BBP2TP) SURABAYA

26.290.336 26.117.524 24.458.473 93,03 93,65 172.812

(26)

3 567408 | BALAI BESAR PERBENIHAN DAN PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN (BBP2TP) MEDAN 31.791.286 30.379.464 28.478.659 89,58 93,74 1.411.822 4 567521 | BALAI PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN PONTIANAK 14.537.045 14.354.145 12.702.614 87,38 88,49 182.900 5 567717 | BALAI BESAR PERBENIHAN DAN PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN (BBP2TP) AMBON

23.319.311 22.519.311 21.870.769 93,79 97,12 800.000

Jumlah 214.009.050 198.870.118 185.497.776 86,68 93,28 15.138.932 Sumber : Spannint DJA Kemenkeu

Sama seperti ditingkat Provinsi, satker BPTP Pontianak dengan anggaran terendah juga sebagai penyerap anggaran terendah. Tingkat penyerapan tertinggi diraih oleh BPPTP Ambon, namun secara rata-rata tingkat penyerapan Pusat dan UPT menjadi paling terendah dibanding satker provinsi dan kabupaten.

3.4. Realisasi Anggaran Berdasarkan Output Komoditas

Pengembangan kakao dalam APBN 2016 memperoleh porsi terbesar, kebijakan ini diambil sebagai upaya pengembangan komoditas potensial ekspor, selain itu luasnya areal tanaman kakao rakyat yang sudah tua dan rusak dengan produktivitas yang rendah. Sasaran utama pengembangan kakao diarahkan sesuai kawasan dan sentra kakao. Sedang komoditas lain dilihat kemudahan potensi pengembangannya sesuai kemapuan APBN Perkebunan, sebagai berikut.

3.4.1. Pengembangan Tanaman Kakao

Pengembangan kakao dalam APBN 2016 memperoleh porsi terbesar, kebijakan ini diambil sebagai upaya pengembangan komoditas potensial ekspor, selain itu luasnya areal tanaman kakao rakyat yang sudah tua dan rusak dengan produktivitas yang rendah. Sasaran utama pengembangan kakao diarahkan sesuai kawasan dan sentra kakao. Hasil akhir pelaksanaan penhgembangan kakao, sebagai berikut.

Tabel 12. Realisasi Pelaksanaan Komoditas Kakao NO KEGIATAN TARGET REALISASI KEUANGAN Rp.(000) FISIK KEUANGAN Rp.(000) (%) FISIK

VOL SAT VOL SAT %

1 Intensifikasi Tanaman Kakao 236.260.806 62.945 Ha 233.331.061 98,76 62.945 Ha 100,00 2 Peremajaan Tanaman Kakao 62.079.171 7.350 Ha 61.107.925 98,44 7.350 Ha 100,00 3 Perluasan Tanaman Kakao 1.933.938 1.520 Ha 753.937 38,98 1.420 Ha 93,42 4 Pembanguan KI dan Entres 1.359.267 43 Ha 1.299.828 95,63 43 Ha 100,00 5 Kegiatan Pendukung Lainnya 41.441.608 40.328.942 97,32

a Pengawalan dan

pendampingan tan. Kakao 13.421.920 101 Pkt 12.955.727 96,53 101 Pkt 100,00 b TKP dan PL-TKP 10.084.490 500 Org 9.936.390 98,53 500 Org 100,00

Gambar

Tabel  1.  memperlihatkan bahwa capaian pertumbuhan PDB perkebunan  selama  2011-2015  berdasarkan harga berlaku dan harga konstan,  menunjukkan pola  pertumbuhan yang positif
Tabel 2. Devisa dan Penerimaan Negara dari Produk Perkebunan
Tabel 3.   Luas Areal Perkebunan tahun 2011-2016
Tabel  3.  masih ada penambahan luas  pada komoditas utama dan 3 komoditas  lainnya  ditandai dengan laju pertumbuhan yang positif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk membuat katalis logam transisi (Co, Ni, Cu, Zn) yang diembankan pada zeolit fluka yang digunakan untuk proses konversi etanol menjadi

Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan APBD Kota Madiun Tahun Anggaran 2020 dimaksudkan sebagai dokumen kebijakan yang dapat dijadikan acuan

bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah telah dibentuk Peraturan Daerah Kabupaten Tanah

Penelitian ini akan dihadirkan suntingan teks, struktur sastra kitab, dan analisis fungsi ajaran tauhid untuk memudahkan pembaca memahami isi dan fungsi dari

Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi apa saja yang dilakukan KJKS untuk meningkatkan kepercayaan anggota terhadap KJKS Nusa Indah

Ruangan yang terdapat pada halaman Ruangan yang terdapat pada halaman naskah harus diisi penuh (.. naskah harus diisi penuh (  justified ), artinya  justified  ), artinya

Struktur naskah harus memuat substansi yang disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul, Nama Penulis, Instansi Penulis, Alamat Instansi, E-mail, Abstrak, Kata

Kata sandang dalam _apita tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan tanda لا namun dalam transliterasi ini tidak dibedakan antara kata sandang yang bersambung