• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Bayi: (Bulan) g/hari BALITA (Tahun) g/hari < 3 2,40 1 1,27 2 1, ,85 3 1, ,62 4 1, ,44 5 6

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Bayi: (Bulan) g/hari BALITA (Tahun) g/hari < 3 2,40 1 1,27 2 1, ,85 3 1, ,62 4 1, ,44 5 6"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi anak berjalan sangat cepat. Hal tersebut merupakan landasan bagi perkembangan anak berikutnya. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada balita dapat mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Pemenuhan kebutuhan zat gizi pada balita memang sangat penting untuk menunjang proses tumbuh kembang (Marendra & Febry 2008). Kebutuhan protein bayi dan anak balita disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari) Bayi: (Bulan) g/hari BALITA (Tahun) g/hari

< 3 2,40 1 1,27 2 1,19 3-6 1,85 3 1,12 6-9 1,62 4 1,06 9-11 1,44 5 6 1,01 0,98 Sumber: Sediaoetama 2006

Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP)

KEP merupakan salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan dan infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi. Manifestasi dari KEP dalam diri penderita ditentukan dengan mengukur status gizi anak atau orang yang menderita KEP. Jenis masalah gizi ini sering dijumpai di negara-negara miskin dan diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu kecuali pada wanita di daerah-daerah miskin. Namun, hingga tahun 2000 KEP pada anak usia di bawah lima tahun (balita) masih menjadi masalah yang memprihatinkan (Soekirman 2000).

Menurut almatsier (2006), KEP pada anak-anak akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi, dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Bayi sampai anak berusia di bawah lima tahun (balita) serta ibu hamil dan menyusui merupakan golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP. KEP pada balita sangat

(2)

berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan oleh keluarganya sekalipun.

Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti gizi buruk yang terjadi pada orang dewasa. Meskipun pangan di pasaran melimpah tetapi mungkin saja kasus gizi kurang dapat terjadi pada balita. KEP pada anak balita sering disebut sebagai masalah kelaparan yang “tersembunyi” atau hidden hunger. Faktor penyebab masalah gizi kurang pada anak balita bersifat lebih komplek dibandingkan pada orang dewasa, maka diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi. Tidak hanya memperbaiki aspek makanan tetapi juga harus memperbaiki lingkungan hidup anak seperti pola pengasuhan, pendidikan ibu, air bersih dan lingkungan, mutu pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Partisipasi aktif orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk pencegahan dan penanggulangan balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (Soekirman 2000).

Manifestasi Kurang Energi Protein (KEP) pada anak balita dalam jangka pendek dan panjang dapat berupa rendahnya berat badan umur (underweight), atau anak menjadi pendek (stunted) atau kurus (wasted). Untuk mengetahui status gizi anak balita termasuk normal atau tidak (gizi kurang atau gizi lebih) perlu dilakukan perbandingan antara ukuran antropometri anak (berat badan atau tinggi badan) dengan baku internasional. Seorang anak dikatakan mengalami gizi kurang jika berat badan atau tinggi badannya kurang dari -2 standar deviasi (SD). Anak balita dengan berat atau tingginya kurang dari -3 SD maka tergolong status gizi buruk (Prosiding Lokakarya Nasional II 2006).

Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa istilah dalam KEP, antara lain adalah kwashiorkor dan marasmus dengan gejala dan tanda-tandanya seperti yang diuraikan sebagai berikut: (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2007)

Kwashiorkor (Kekurangan Protein)

Kwashiorkor merupakan salah satu masalah gizi dengan suatu keadaan kekurangan protein baik secara kualitas maupun kuantitas ataupun kedua-duanya yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak.

(3)

Kekurangan protein ini biasanya menyerang anak-anak yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Anak yang disapih usia 1-4 tahun

2. Bertempat di daerah tropis atau sub tropis, dimana keadaan ekonomi, sosial, dan budaya merupakan kombinasi faktor yang dapat menimbulkan kekurangan protein pada anak-anak

3. Anak-anak yang sedang dirawat inap karena pembedahan atu hipermetabolik

Marasmus

Marasmus merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan protein dan energi yang kronis. Berat badan yang sangat rendah merupakan karakteristik dari marasmus. Berikut adalah gejala atau tanda-tanda marasmus:

1. Kurus kering

2. Tampak hanya tulang dan kulit

3. Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil) 4. Wajah seperti tua

5. Berkerut dan keriput 6. Layu dan kering 7. Umumnya terjadi diare

Marasmus umumnya terjadi karena beberapa faktor di bawah ini:  Masalah sosial yang kurang menguntungkan

 Kemiskinan  Infeksi

 Mikroorganisme pathogen penyebab diare  Kecepatan pertumbuhan yang melambat  Tidak ada dermatitis atau depigmentasi  Tidak ada edema

 Tumbuh kerdil serta mental dan emosi terganggu  Tidur gelisah, apatis dan merengus

 Menarik diri dari lingkungan

 Suhu tubuh subnormal karena tidak memiliki lemak subkutan yang menjaga agar tetap hangat

 Aktivitas metabolisme minimal  Jantung melemah

(4)

Status Gizi Balita

Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi seseorang atau sekelompok orang dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut kondisi gizinya baik atau sebaliknya (Nasoetion & Riyadi 1994). Menurut Suhardjo (1989c), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah berat bayi lahir rendah, kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek, penyapihan dini, pemberian makanan tambahan tertentu terlalu dini atau terlambat, sering terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang berpendidikan, kemiskinan, dan anak-anak yang orang tuanya tidak lengkap.

Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi dan berat badan yang akurat akan menjadi tidak berarti jika penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003).

Pemantauan status gizi balita BB/U dan TB/U lebih tepat bila menggunakan baku WHO-NCHS dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitungan telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara z-score lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing indeks. Nilai keadaan gizi anak dibagi menjadi empat kategori, yaitu baik, sedang, kurang, dan buruk (Gibson 1993 diacu dalam Khomsan et al. 2009).

Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun populasi. Anak yang menderita kekurangan gizi akan berpenampilan lebih pendek dengan berat badan lebih rendah dibandingkan teman-teman sebayanya yang sehat dan bergizi baik. Laju pertambahan berat akan lebih banyak terpengaruh pada kondisi kurang gizi dibandingkan tinggi badan. Oleh sebab itu, penurunan berat badan paling sering digunakan untuk menapis anak-anak yang mengalami gizi kurang. Jika defisiensi gizi berlangsung lama dan parah, maka pertumbuhan tinggi badan akan terpengaruh. Selain itu

(5)

juga proses pendewasaan akan terganggu. Apabila seorang anak mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup), anak tersebut tetap akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Khomsan 2002).

Status gizi anak dapat diketahui melalui pengukuran antropometri. Kata antropometri berasal dari bahasa Latin antropos yang berarti manusia (human being) (Soekirman 2000). Secara umum antropometri dapat diartikan sebagai ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2002).

Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator memiliki maknanya sendiri-sendiri. Kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”,kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengan “TB/U”, dan kombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau disimbolkan dengan “BB/TB” (Soekirman 2000).

Metode antropometri termasuk pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh (WHO 1995). Pengukuran antropometri memiliki keuntungan tambahan dalam menyediakan informasi mengenai sejarah status gizi pada masa lampau. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan menggunakan peralatan yang sudah distandarisasi (Gibson 2005). Antropometri umumnya digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah cairan dalam tubuh (Supariasa et al. 2002).

Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).

(6)

Indikator BB/U

Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah dibandingkan dengan standar WHO. Status gizi tergolong baik jika BB/U normal, BB/U rendah dapat diartikan status gizi tersebut tergolong gizi kurang atau buruk. Sedangkan BB/U tinggi digolongkan sebagai status gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun lebih, kedua-duanya memiliki resiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U dalam ilmu gizi digolongkan ke dalam kelompok “berat badan rendah” (BBR) atau underweight. Menurut tingkat keparahannya, BBR dikelompokkan ke dalam kategori BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat berat (berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai status gizi buruk. Gizi buruk pada anak-anak di masyarakat dikenal dengan marasmus dan kwashiorkor (Soekirman 2000).

Indikator TB/U

Indikator TB/U dapat dinyatakan normal, kurang, dan tinggi menurut standar WHO. Menurut WHO, bagi anak yang memilki TB kurang maka dikategorikan sebagai stunted (pendek tidak sesuai dengan umur). Tingkat keparahannya dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat atau buruk. Hasil pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Seorang anak yang tergolong stunted kemungkinan keadaan gizi masa lalu kurang atau tidak baik (Soekirman 2000).

Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak ataupun pada dewasa. Stunted pada orang dewasa tidak lagi dapat dipulihkan. Kemungkinan untuk memulihkan pada anak balita dengan cara menormalkan pertumbuhan linier (pertumbuhan berat badan mengikuti pertumbuhan tinggi badan dengan percepatan tertentu) dan mengejar pertumbuhan potensial (petumbuhan tinggi badan menurut keturunan genetik dalam lingkungan yang ideal) masih dapat dilakukan. Sedangkan pada anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan pertumbuhan linier masih ada, tetapi kemungkiannya kecil untuk dapat catch-up growth (Soekirman 2000).

Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru dapat dilihat dalam waktu yang cukup

(7)

lama. Oleh sebab itu indikator TB/U menggambarkan status gzizi masa lampau (Soekirman 2000).

Indikator BB/TB

Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator BB/TB. Ukuran ini menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik, Seseorang dengan BB/TB kurang dikategorikan sebagai “kurus” atau “wasted”. Berat badan behubungan linier dengan tinggi badan. Dalam kondisi normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proposional dengan tinggi badan. Indikator BB/TB ini diperkenalkan pertama kali oleh Jellife pada tahun 1966 dan merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini, terutama jika data umur yang akurat sulit untuk diperoleh. Oleh sebab itu, indikator BB/TB merupakan indikator yang independen terhadap umur (Soekirman 2000).

Pola Asuh

Proses pengasuhan adalah suatu proses interaksi, penyesuaian orang tua, pemenuhan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak serta perlindungan terhadap anak. Pengasuhan memiliki beberapa pola yang menunjukkan adanya hubungan dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan anak akan kebutuhan fisik dan non-fisik, agar anak dapat hidup normal dan mandiri di masa mendatang. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh kesehatan, dan pola asuh psikososial. Status gizi anak tidak hanya dipengaruhi oleh sistem sosial budaya, kualitas interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan kesehatan (Hastuti 2008).

Pola Asuh Makan

Pola asuh makan merupakan praktik yang diterapkan ibu khususnya yang berkaitan dengan situasi dan cara makan, sehingga dapat memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak pada situasi makan (Tambingon 1999 dalam Khairunnisak 2004). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas pertumbuhan dan perkembangan.

Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang penting dalam pemberian makan kepada anak. Pada masa perkembangan anak, keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat terhadap

(8)

makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kekhawatiran mengenai makan.Pola asuh makan yang baik, dalam arti secara kuantitatif maupun kualitatif yang tepat pada masa balita sangat dianjurkan. Praktik pemberian makan pada anak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesehatan dan status gizi. Kemampuan seorang ibu untuk memperkenalkan makanan baru pada anak memiliki pengaruh yang besar terhadap daya terima dan kesukaan anak terhadap suatu makanan (Khomsan et.al 2009b). Peran ibu sangat penting terhadap masalah kesehatan. Jika anak mulai diberi makanan tambahan, anak memiliki risiko terkena infeksi dan kekurangan gizi. Jika anak mulai mengkonsumsi makanan pelengkap dan atau makanan buatan, maka penyimpanan makanan dan higienitasnya perlu diperhatikan (Pramuditya 2010). Pola Asuh Kesehatan

Pengasuhan kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin selayaknya individu normal. Usaha preventif yang dilakukan orang tua untuk membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan tersebut antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku, mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya. Aspek kesehatan juga mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan kesehatan anak (Hastuti 2008).

Karakteristik Keluarga

Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Menurut Megawangi (2004) keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana seseorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama dalam resolusi majelis umum PBB adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Umur Orangtua

Orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (<20 tahun) cenderung kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh anak sehingga pada umumnya orang tua tersebut merawat dan mengasuh anak

(9)

berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).

Pendidikan Orangtua

Setiap orang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda, dari segi kuantitas maupun kualitas. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Tingkat pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar anggota keluarga (Gunarsa & Gunarsa 1995).

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004).

Pekerjaan Orangtua

Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Mulyani 1990).

Besar Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Pada suatu keluarga, terutama keluarga miskin akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah keluarganya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut,

(10)

tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 2003).

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003).

Pendapatan Keluarga

Menurut Suhardjo (1989a), dengan meningkatnya pendapatan seseorang, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan.

Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik, tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003).

Konsumsi Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang cukup lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006).

Menurut Notoatmodjo (1993) perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku makan ini meliputi pengetahuan, sikap dan praktek terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi). Praktek atau konsumsi pangan seseorang tercermin dari pola konsumsi pangannya. Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam pangan yang biasa dikonsumsi oleh keluarga atau masyarakat dalam hidangannya sehari-hari. Pola konsumsi pangan ini disusun berdasarkan jenis makanan , frekuensi makan, dan jumlah yang

(11)

dimakan. Pengukuran praktek konsumsi iini dapat dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden tentang makanan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989).

Kebiasaan Makan

Menurut Khumaidi (1989), kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan atau pemilihan makanan. Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (misalnya pantangan), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (misalnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Meningkatnya pendapatan perorangan menyebabkan terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Suhardjo 1989b).

Pengelolaan atau penyediaan makanan dalam keluarga pada umumnya dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin kepada anaknya (Suhardjo 1989b). Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu akan semakin luas wawasan berfikirnya sehingga akan lebih banyak informasi zat gizi yang dapat diserapnya. Dengan demikian akan semakin baik ibu tersebut memilih bahan makanan yang bergizi untuk dikonsumsi keluarganya (Soewondo dan Sadli 1989 dalam Khomsan et al. 2009).

Menurut Suhardjo (1989b), adat kebiasaan yang berhubungan dengan makanan di antaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, waktu makan, makan bersama, jajan, dan adanya prioritas makanan tertentu terhadap anggota keluarga. Kepercayaan, kebiasaan makan pantangan dan suka atau tidak suka terhadap makanan tertentu merupakan unsur budaya yang memiliki hubungan langsung dengan kebiasaan makan.

Frekuensi pemberian makanan pertama pada anak cukup dua kali sehari, sebanyak satu atau dua sendok teh penuh. Seiring tumbuh-kembangnya, kebutuhan bayi akan meningkat. Apabila bayi telah menyukai makanan baru tersebut, maka ia akan mengonsumsi 3-6 sendok besar penuh setiap kali makan.

(12)

Menurut Arisman (2007), terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memberikan makanan sapihan. Pemberian makanan padat pertama harus bertekstur sangat halus dan licin agar bayi perlahan-lahan dapat menerima makanan dengan tekstur yang lebih kasar. Apabila bayi sudah tumbuh gigi, maka dapat diberikan bubur saring, sedangkan bagi bayi yang telah pandai mengunyah makanan dapat diberikan makanan cincang. Dalam pemberian makanan, sebaiknya makanan tidak dicampur agar bayi dapat membedakan tekstur dan rasa makanan.

Kesehatan Lingkungan

Kesehatan lingkungan merupakan segala usaha pengendalian/ pengawasan kondisi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan atau dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia baik berupa benda maupun suatu keadaan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat. Lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: (Widyati dan Yuliarsih 2002)

 Lingkungan Biologis

Lingkungan yang terdiri dari semua makhluk hidup, baik tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme yang berada di sekitar manusia.

 Lingkungan Fisik

Lingkungan yang terdiri dari benda-benda tak hidup, tetapi berhubungan dengan kehidupan atau kelangsungan hidup manusia.

 Lingkungan Sosial Budaya

Lingkungan sosial budaya adalah interaksi antara manusia dengan makhluk sesamanya. Lingkungan sosial budaya ini merupakan lingkungan yang erat dengan masalah kesehatan dan harus dilihat dari kehidupan masyarakat secara luas.

Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), kesehatan ligkungan ,mencakup aspek yang sangat luas, meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku manusia. Berikut di bawah ini merupakan ruang lingkup kesehatan lingkungan yang terdiri dari:

(13)

1. Penyediaan air minum

2. Pengolahan air limbah dan pengendalian pencemaran air 3. Pengolahan sampah padat

4. Pengendalian vektor (perantara penyakit)

5. Pencegahan atau pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia 6. Sanitasi makanan dan minuman

7. Pengendalian kebisingan

8. Kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan 9. Perumahan dan pemukiman

10. Pengawasan terhadap tempat-tempat rekreasi umum dan pariwisata. Program Pemberian Makanan Tambahan

Balita merupakan kelompok usia yang rawan mengalami kekurangan zat gizi, seperti KEP. Kejadian gizi kurang pada balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kekurangan pangan dan kelaparan sehingga diperlukan pendekatan dalam upaya penanggulangannya, salah satunya yaitu dengan cara perbaikan gizi dari aspek makanan (Khomsan 2004).

Program pemberian makanan menyediakan makanan gratis bagi seseorang yang membutuhkan. Makanan yang diberikan dapat berasal dari pemerintah dalam negeri, pemerintah luar negeri, ataupun dari organisasi di luar pemerintahan. Pemberian makanan tambahan ini merupakan salah satu cara untuk membantu keluarga yang masih kekurangan pangan (miskin). Terdapat beberapa tipe dalam program pemberian makanan, yaitu: pemberian makanan pada kelompok “at risk”/ rawan gizi kurang (balita, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui), institutional feeding (pada anak sekolah), dan emergency feeding. Tujuan adanya pemberian makanan tambahan ini adalah untuk meningkatkan asupan makanan dan memperbaiki gizi pada ibu-ibu dan anak-anak yang paling berisiko mengalami gizi kurang (King & Burgess 1995).

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp)

Terdapat berbagai jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah ikan lele. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) (Mahyuddin 2007). Bentuk tubuh ikan lele memanjang dan tidak bersisik sehingga memiliki kulit yang licin. Bentuk kepala ikan lele ini pipih dengan tulang kepala yang keras sebagai batok kepala, sesuai dengan kelas familinya yaitu Clariidae. Di sekitar mulut lele dumbo terdapat nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam yang

(14)

terdapat kumis di setiap mandibula. Sirip punggu, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda (Suyanto 1999).

Biskuit Tinggi Protein

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit merupakan sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan melalui proses pemanasan dan percetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan hingga kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Berdasarkan penelitian Mervina (2009), kandungan energi dan protein biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 480 Kal dan 18,8 gram (bb) per 100 gram biskuit. Agar dapat memenuhi 20% AKG protein, maka balita harus mengonsumsi biskuit sebanyak 4 keping (50 gram biskuit). Kandungan gizi per takaran penyajian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian

Energi (kkal) 240 Protein (gram) 9.8 Karbohidrat (gram) 26.9 Lemak (gram) 10.6

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai memiliki kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi. Kontribusi protein yang dapat diberikan sebesar 25.12% dan 39.20% dari AKG berdasarkan perhitungan AKG yang didasarkan pada kecukupan energi dan protein pada balita usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun (WNPG 2004), sehingga dapat dikatakan biskuit ini menjadi makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein (Mervina 2009).

Jika dibandingkan dengan biskuit untuk bayi yang dijual di pasaran, biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan biskuit komersial yang ada. Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian 2 keping (21,8 gram) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian (21,8 gram)

Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian

Energi (kkal) 90

Protein (gram) 2

Karbohidrat (gram) 17

Gambar

Tabel 1  Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari)  Bayi: (Bulan)  g/hari  BALITA (Tahun)  g/hari
Tabel 2  Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)  Energi &amp; Zat Gizi  Jumlah per sajian

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa

WLD2 Bulak Banteng-Dukuh Kupang PP

Adanya variasi waktu penahanan yang diberikan pada briket batok kelapa muda pada proses pirolisis fluidisasi bed menggunakan media gas argon, mampu memperbaiki

Pengawasan kualitas merupakan alat bagi manajemen untuk memperbaiki kualitas produk bila dipergunakan, mempertahankan kualitas produk yang sudah tinggi dan

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan karunia-Nya tesis yang berjudul “ANALISIS TENTANG KONSOLIDASI TANAH PADA DESA

Para PNS lingkungan Kecamatan dan Kelurahan wajib apel pagi setiap hari senin di Halaman Kantor Kecamatan Kebayoran Baru, dan akan diberikan teguran kepada yang tidak ikut apel

Setelah melalui proses evaluasi dan analisa mendalam terhadap berbagai aspek meliputi: pelaksanaan proses belajar mengajar berdasarkan kurikulum 2011, perkembangan

1) Berdasarkan validasi pada ahli media, media pembelajaran memperoleh nilai 82%, sehingga berdasarkan interprestasi skala likert media pembelajaran masuk dalam kategori