• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Jl. Mayjen Sutoyo No. 2 (depan Lap. A. Yani) Kota Tangerang, Banten, Indonesia Website : http://jurnal.umt.ac.id/index.php/nyimak

(3)

DAFTAR ISI (TABLE OF CONTENT)

Efektivitas Dakwah melalui Instagram

––Febri Nurrahmi dan Puteri Farabuana––

1 – 16

Perbandingan Konsep-konsep TriumvirateSunda dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

––Rangga Saptya Mohamad Permana dan Jimi Narotama Mahameruaji––

17 – 33

Tantangan Humas Pemerintah Daerah dalam Upaya Publikasi Inovasi Program Smart City

––Umaimah Wahid dan Nurzahara Amalia––

35 – 51

Studi Kasus Politik Identitas Perempuan dalam Film Ada Apa Dengan Cinta

––Arni Ernawati––

53 – 72

Twitter Media Platform to Set-Up Political Branding: Analyzing '@Kiyai_Marufamin in 2019 Presidential Election Campaign

––Al Fauzi Rahmat & Eko Priyo Purnomo––

73 – 88

Preferensi Media Sosial Generasi Milenial pada Tingkat Pengetahuan Calon legislatif

––Nufian S. Febriani––

89 – 107

Komunikasi Politik dan Kecenderungan Pilihan Partai Kaum Santri dan Abangan di Pemilu 1955

––Moh Sonhaji & Faishal Hilmy Maulida––

109 – 124

Penolakan Publik terhadap Wacana Wisata Halal Danau Toba

––Rose Emmaria Tarigan & Abdul Basit––

(4)

Pengelolaan Kesan Verbal dan Nonverbal Customer Service

––Rismiatun, Umaimah Wahid & Ilham Ramdana––

(5)

17 Citation : Permana, Rangga Saptya Mohamad dan Jimi Narotama Mahameruaji. (2020). “Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik”. Nyimak: Journal of Communication, 4(1): 17–33.

Nyimak: Journal of Communication Vol. 4, No. 1, Maret 2020, pp. 17–33 P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

Article Submitted 17 Januari 2020  Revised 7 Februari 2020  Accepted 13 Februari 2020

Perbandingan Konsep-konsep

Triumvirate

Sunda dengan

Trias Politica

dalam Perspektif Komunikasi Politik

Comparison of Sundanese Triumvirate Concepts with Trias Politica

in the Perspective of Political Communication

Rangga Saptya Mohamad Permana1, Jimi Narotama Mahameruaji2 1,2Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung-Sumedang KM. 21, Sumedang 45363 Email: 1rangga.saptya@unpad.ac.id; 2mahameruaji@gmail.com

ABSTRAK

Masyarakat Sunda sejak dahulu sudah akrab dengan konsep-konsep triumvirate dalam setiap unsur kehidupannya. Beberapa konsep triumvirate Sunda antara lain adalah Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana, serta “Tiga Rahasia”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbandingan konsep Tri Tangtu Di Buana,

Tri Buana, dan “Tiga Rahasia” yang merupakan konsep-konsep triumvirate Sunda dengan konsep Trias Politica

dalam kaitannya dengan komunikasi politik. Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika untuk mengungkap perbandingan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna yang diperoleh sebagai dasar untuk membandingkan konsep-konsep triumvirate Sunda dengan konsep Trias Politica adalah konsep

Tri Tangtu Di Buana yang berhubungan dengan konsep Tri Buana dan konsep “Tiga Rahasia” yang merupakan tiga kelembagaan dalam Kerajaan Sunda yang mengandung aktivitas komunikasi politik, terwujud dalam pembagian/pemisahan kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan yang berlaku dalam masyarakat Sunda kuno, khususnya dalam lingkup suprastruktur komunikasi, tepatnya di Kerajaan Sunda.

Kata kunci: Komunikasi politik, kekuasaan, triumvirate, Sunda

ABSTRACT

Ever since, the Sundanese people have been familiar with triumvirate concepts in every element of their life. Some Sundanese triumvirate concepts include Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana, and “Tiga Rahasia”. This research intent to describe the comparative concepts of Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana, and “Tiga Rahasia” which are Sundanese triumvirate concepts with the concept of Trias Politica in relation to political communication. This research uses hermeneutic method to reveal the comparison. The results show that the meaning obtained as a basis for comparing Sundanese triumvirate concepts with the concept of Trias Politica is the concept of Tri Tangtu Di Buana which is related to the concept of Tri Buana and the concept of “Tiga Rahasia” is the three institutions in the Sunda Kingdom which contains political communication activities, and manifested in the division / separation of power and division of territory prevailing in ancient Sundanese society, especially in the sphere of communication superstructure, precisely in the Sunda Kingdom.

(6)

PENDAHULUAN

Dalam perkembangannya, masyarakat Sunda sudah mempunyai tiga kelembagaan yang satu sama lain memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Tiga kelembagaan itu berkuasa dalam bidangnya masing-masing (Permana, 2015). Teks Fragmen Carita Parahyangan (FCP) telah menggambarkan sistematika pembagian kekuasaan tradisional masyarakat Sunda secara jelas. Keputusan-keputusan pada lingkup suprastruktur Kerajaan Sunda dilakukan berdasarkan kesepakatan golongan prebu, golongan rama, dan resi. Ketiga pihak/golongan tersebut dikenal dengan istilah Tri Tangtu Di Buana (tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia). Sistem kekuasaan yang dianut Kerajaan Sunda dipisahkan menjadi tiga kelembagaan agar kekuasaan di kerajaan tidak berpusat pada prebu (raja). Tidak seperti sistem kerajaan pada umumnya, di mana raja berdaulat secara mutlak dan memiliki hak membuat hukum (Akbar, 2018). Dengan dilakukannya pembagian/pemisahan kekuasaan, tindakan sewenang-wenang penguasa dapat dicegah sekaligus menjamin kebebasan berpolitik di dalam kerajaan. Dalam lingkup inilah aktivitas komunikasi politik banyak terjadi. Aspek-aspek komunikasi politik itu terwujud dalam peristiwa pembagian atau pemisahan kekuasaan serta pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda.

Sebetulnya, kita bisa mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan dari naskah-naskah kuno yang tersebar di seluruh Indonesia, salah satunya naskah Sunda kuno. Naskah-naskah Sunda produk peninggalan kaum intelektual yang dilahirkan dari mandala (sentra pendidikan formal pada masa sistem pemerintahan kerajaan Sunda) itu dikategorikan sebagai “Naskah Sunda Kuno”. Penyajian teks dalam naskah-naskah Sunda Kuno ada yang berbentuk puisi berpola metrum oktosilabis, dan ada pula yang berbentuk prosa (Darsa, 2016).

Dilihat dari keragaman kandungannya, naskah-naskah Sunda dapat dibagi menjadi dua belas kelompok, yakni seni, sejarah, sastra sejarah, sastra, pengetahuan, pendidikan, mitologi, paririmbon, kemasyarakatan, hukum atau aturan, bahasa, dan agama. Sesungguhnya kedua belas kelompok tadi masih dapat dikategorikan ke dalam lima golongan, yakni naskah-naskah yang bernuansa keagamaan atau filsafat, historis, sastra, topografis, dan ensiklopedis (Darsa, 2016). Salah satu dari sekian naskah Sunda kuno yang memuat berbagai aspek komunikasi politik Tri Tangtu Di Buana adalah naskah Fragmen Carita Parahyangan (FCP). Teks naskah FCP yang bertulis tangan berada di dalam Kropak 406 yang sekarang tersimpan di Perpusnas Indonesia, terdiri dari 47 lembar halaman berukuran 21 x 3 sentimeted. FCP mendeskripsikan tentang sistem pemerintahan Kerajaan Sunda dengan ibukota Pakuan Pajajaran.

Melalui deskripsi FCP lembar 5b, Sang Prebu harus ngagurat batu (menggores batu) dalam artian berwatak kukuh saat undang-undang kerajaan dilaksanakan, Sang Rama harus ngagurat lemah (menggores tanah) dalam artian berwatak dapat menentukan aturan bagi pelaksana

(7)

19 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

pemerintahan, dan Sang Resi harus ngagurat cai (menggores air) dalam arti berwatak adil dan menyejukkan. Apabila penulis bandingkan antara Trias Politica Montesquieu dengan Tri Tangtu Di Buana maka analogi penulis ialah sebagai berikut. Terdapat tiga fungsi atau tugas kekuasaan di Kerajaan Sunda yang seluruhnya terpisah-pisah sehingga antara satu lembaga dengan yang lainnya tak saling mencampuri. Terkait perbandingan Tri Tangtu Di Buana dengan Trias Politica, dapat disarikan sebagai berikut: (1) Tugas legislatif hanya dapat dijalankan oleh golongan rama; (2) Tugas eksekutif hanya dapat dijalankan golongan prebu; dan (3) Tugas yudikatif hanya dapat dijalankan oleh golongan Resi sebagai badan peradilan.

Konsep Tri Tangtu Di Buana berhubungan erat dengan konsep Tri Buana, yaitu sebuah sistem kosmologis masyarakat Sunda berdasarkan konsep triumvirate (tiga serangkai) yang terdiri dari bumi, antara, dan angkasa. Selain berhubungan dengan konsep Tri Buana, konsep Tri Tangtu Di Buana juga berhubungan dengan konsep “Tiga Rahasia” yang tertulis dalam naskah Sang Hyang Hayu (SHH). Mengacu kepada naskah SHH, unsur prebu-rama-resi inilah yang bertugas ngretakeun bumi lamba (mensejahterakan kehidupan di dunia).

Tiga konsep tradisional ini hampir sama dengan konsep Trias Politica Montesquieu, yang melakukan pemisahan kekuasaan menjadi tiga lembaga berbeda, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga kekuasaan itu terbagi sedemikian rupa sehingga saling terpisah satu sama lainnya. Dengan dilakukannya pembagian/pemisahan kekuasaan, tindakan-tindakan sewenang-wenang penguasa dapat dicegah sekaligus menjamin kebebasan berpolitik dalam sebuah sistem pemerintahan.

Pesan-pesan yang mengandung unsur-unsur kekuasaan, pemerintahan, dan aturan-aturan atau pesan-pesan yang dikeluarkan para pemegang tampuk kekuasaan masuk dalam lingkup komunikasi politik. Maswadi Rauf memasukkan komunikasi politik ke dalam objek kajian ilmu politik, karena penyampaian pesannya terkait dengan unsur-unsur politik, di mana di dalamnya terkandung kekuasaan, aktivitas politik, dan transmisi pesan antaraktor politik (Harun & AP., 2006).

Nimmo menjelaskan bahwa komunikasi politik adalah kegiatan politis yang memiliki akibat aktual dan potensial, yang mengatur perilaku dalam keadaan konflik (Ardial, 2010). Sedangkan Roelofs dan Lund menyatakan “Politics is talk or to put the matter, more exactly the activity of politics (politicking) is talking” (Harun & AP., 2006). Salah satu tujuan komunikasi politik di antaranya adalah untuk membuka wawasan atau cara berpikir, tingkah laku, atau perilaku target politik (Santi, 2018). Lebih jauh, dalam sebuah aktivitas komunikasi politik, tidak jarang terjadi sebuah konflik. Namun, konflik juga tidak selalu merugikan, karena dapat berpeluang menambah nilai dan konsepsi sosial-politik (Kusuma, 2018).

(8)

Nimmo membagi komunikator politik menjadi tiga jenis, yakni politikus, profesional, dan aktivis (Nimmo, 2005). Dalam konteks nasional, sebuah diskusi menarik dikemukakan Shahreza (2017) yang menganalisis 6 karakter komunikator politik di Indonesia berdasarkan generasi (traditionalist, baby boomers, generasi X, generasi Y, generasi Z, dan generasi alfa), situasi politik, dan pengaruh teknologi (Shahreza, 2017).

Pesan politik juga adalah unsur penting dalam komunikasi politik. Pesan-pesan komunikasi politik adalah “produk” pemegang kekuasaan setelah diformulasikan menjadi simbol-simbol sesuai lingkup kekuasaannya. Pesan-pesan komunikasi politik mengandung: (1) norma-norma yang menyusun keluar-masuknya informasi; (2) tata cara dan idealisme untuk mempertahankan sistem nilai yang sedang terjadi; (3) beragam teknik dan proses guna menciptakan berbagai karakteristik integratif di dalam sistem; (4) sebuah ciri khas yang menunjukkan jati diri bangsa; (5) motivasi sebagai pemicu upaya peningkatan kualitas hidup bangsa (Harun & AP., 2006). Pesan-pesan komunikasi politik sangat kaya akan konteks, salah satunya terkait dengan regulasi, yang amat bersentuhan dengan komunikasi pembangunan (Sopian, 2018).

Terdapat tiga macam saluran komunikasi politik, yaitu saluran massa, interpersonal, dan organisasi (Nimmo, 2005). Saluran komunikasi massa menekankan komunikasi satu-kepada-banyak, saluran komunikasi interpersonal menjabarkan hubungan antar-manusia secara one-on-one, dan saluran komunikasi organisasi menyatukan transformasi pesan satu-kepada-banyak dan one-on-one (Nimmo, 2005). Secara praktis, salah satu contoh saluran komunikasi politik adalah orasi politik (pidato) (Wardani, 2019).

Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mendeskripsikan perbandingan dari kedua konsep yang hadir dari hasil pemikiran dua zaman yang berbeda; yang hasilnya dibingkai dalam perspektif komunikasi politik. Tujuan riset ini adalah mendeskripsikan perbandingan konsep-konsep triumvirate Sunda dalam naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan dengan konsep Trias Politica dalam perspektif komunikasi politik.

METODE

Metode penelitian kualitatif digunakan dalam riset ini, mengingat sumber data berupa teks hasil transliterasi dan terjemahan dari naskah Sunda kuno, maka analisis hermeneutik dipilih sebagai tradisi pendukung penelitian kualitatif yang dipakai. Teks merupakan bahan utama yang dikaji dalam hermeneutika (Rahardjo, 2008), dengan bahasa berfungsi sebagai alat penafsiran, karena makna yang tersembunyi atau disembunyikan terdapat dalam bahasa (Ratna, 2009).

(9)

21 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

Tujuan hermeneutika adalah berupaya untuk memahami perasaan manusia, makna sebuah fenomena, atau memaknai sebuah perbuatan agar bisa dipahami oleh individu yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut, hermeneutika terbagi menjadi hermeneutika tekstual (digunakan untuk mengungkapkan makna teks), dan hermeneutika kultural (digunakan untuk menyingkap makna sebuah perbuatan). Teks terdiri atas teks lisan (folklore, di mana data harus ditraskripsi terlebih dahulu ke dalam bentuk teks) dan teks tertulis yang salah satunya berbentuk naskah. Sebuah teks memiliki tiga tingkat otonomisasi, yakni otonomisasi yang berhubungan dengan penulis, berbagai kondisi sosial-budaya, dan pembaca (Ricoeur, 1976).

Jika karya sastra sudah cukup jelas waktu penulisannya dan tidak mengalami transformasi, seorang peneliti dapat langung melakukan penafsiran lewat empat langkah utama, yaitu: (1) menentukan arti primer; (2) mendeskripsikan arti-arti implisit apabila dibutuhkan; (3) membatasi tema; dan (4) memperjelas arti-arti simbolik dalam teks (Endraswara, 2008). Sisi yang diungkap akan memengaruhi penafsiran apa saja yang akan digunakan.

Riset dalam artikel ini menggunakan sumber data primer berupa teks hasil transliterasi Fragmen Carita Parahyangan (FCP) versi Bahasa Indonesia. Sebagai langkah awal riset, penulis membaca dan memaknai teks FCP secara penuh. Akan tetapi, penulis tidak membahas dan menganalisis seluruh isi teks FCP ini. Teks-teks yang mengandung konsep-konsep triumvirate Sunda, yakni Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana, dan “Tiga Rahasia” dibahas dan dianalisis secara hermeneutik. Pada langkah selanjutnya, penulis menentukan bagian-bagian teks bersumber pada nomor lembar halaman yang memuat konsep-konsep triumvirate Sunda. Pada tahap pemilihan bagian teks FCP, penulis berusaha untuk memerhatikan elemen-elemen kata dan susunan kalimat yang digunakan dalam teks FCP.

Bagian teks FCP lembar 7b-8a dan lembar 25a-3b dipilih oleh penulis untuk dibahas dan dianalisis. Kedua bagian teks ini dipilih penulis karena di dalamnya banyak merepresentasikan konsep triumvirate Sunda. Secara tak langsung, bagian-bagian teks pilihan ini menyiratkan isi teks FCP secar penuh. Jadi, dengan membaca dan memaknai bagian-bagian teks tersebut, penulis dapat mengetahui mayoritas kandungan makna dalam teks FCP. Konsep ini seiring setujuan dengan prinsip hermeneutika, yakni satu bagian untuk seluruhnya, dan seluruhnya untuk satu bagian.

Penulis mengkaji berbagai data yang bersumber dari teks naskah FCP mengenai makna Tri Tangtu Di Buana, dan dikaitkan dengan teks-teks lain yang berhubungan dengan konsep triumvirate Sunda dan konsep Trias Politica. Teks-teks lainnya yang berkaitan dengan konsep triumvirate Sunda antara lain teks naskah Sang Hyang Hayu (SHH) yang terkait dengan konsep “Tiga Rahasia” dan Tri Buana. Tahap ini akan mengungkap kaitan antara teks Tri Tangtu Di Buana dalam FCP dengan berbagai teks yang berisi konsep-konsep triumvirate Sunda lainnya.

(10)

Terdapat dua dunia dalam hermeneutika, yakni dunia pengarang dan dunia pembaca. Jadi dalam penafsiran teks, bersinggungan dua pikiran, yakni pikiran pengarang dan pikiran pembaca teks. Pikiran dari kedua dunia tersebut tentunya terpengaruh oleh waktu/zaman hidup pengarang dan pembaca teks, sehingga pikiran kedua unsur tersebut mungkin berbeda, atau bisa benar-benar berbeda. Teks yang membahas tentang konsep-konsep triumvirate Sunda yang diciptakan oleh para pemikir di zaman Kerajaan Sunda (tercipta oleh cendekiawan di abad ke-16 Masehi), melakukan transformasi dialogis dengan penulis yang memiliki dasar ilmu pengetahuan abad ke-21. Perbedaan zaman inilah yang mungkin dapat menyebabkan perbedaan pemikiran.

Oleh sebab itu, aktivitas dialogis antara hasil pemikiran pengarang naskah-naskah Sunda kuno dengan pemikiran penulis mutlak diperlukan. Jadi, dasar pemikiran penulis saat ini yang berpikir dengan menggunakan perspektif komunikasi politik direfleksikan dengan teks-teks yang terkandung dalam naskah-naskah Sunda Kuno yang mengandung konsep-konsep triumvirate Sunda dan dialog dengan pikiran Montesquieu yang menciptakan konsep Trias Politica. “Dialog” tersebut merupakan syarat dalam analisis hermeneutika, yakni terjadinya intertekstualitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Konsep Triumvirate Sunda (Tri Tangtu Di Buana) dalam Naskah Fragmen

Carita Parahyangan (FCP) dengan Tri Tangtu Di Buana dalam Naskah-naskah

Lainnya

Sebelum masuk pada pembahasan perbandingan antara konsep-konsep triumvirate Sunda dengan konsep Trias Politica, maka sebagai langkah awal dalam analisis hermeneutik, penulis akan membahas perbandingan teks-teks yang mengandung konsep Tri Tangtu Di Buana dalam naskah FCP dengan konsep Tri Tangtu Di Buana dalam naskah Sunda kuno yang lainnya. Hal ini dilakukan guna menghadirkan makna teks yang berkaitan dengan teks lain, yakni makna yang didapat dengan metode mengombinasikan makna yang terdapat dalam teks yang sama dalam satu naskah maupun dalam naskah yang berlainan.

Penggalan teks ini terletak pada lembar 7b dan awal lembar 8a mengenai pembagian kekuasaan prebu, rama dan resi oleh Maharaja Trarusbawa; teks terkait pembagian wilayah kekuasaan oleh Maharaja Trarusbawa terletak pada naskah FCP lembar 25a hingga awal lembar 3b.

Teks yang berisi pembagian kekuasaan terletak pada lembar 7b-8a. Ternyata, pembagian kekuasaan pada lembar 7b-8a dengan teks pembagian kekuasaan pada lembar 4b-5a memiliki kaitan yang kuat. Di bawah ini merupakan kutipan asli dalam Bahasa Sunda kuno dan hasil

(11)

23 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

transliterasi teks FCP lembar 4b-5a dalam Bahasa Indonesia mengenai proses pembagian kekuasaan Kerajaan Sunda yang melibatkan Tri Tangtu Di Buana:

“...Anggeus pahi diduuman ku Maharaja Trarusbawa, diduuman deui jagat, saukur nu wenangkeun rabi tunggal. Na jagat kreta di sang resi dijiéunan lemah putih, lemah pasartan husireun wong kapanasan; jagat darana di sang rama; jagat palaka di sang prebu. Kéh mulah dék paala-ala, palungguh-lungguhan. Haywa pamali pangmeunang dék paala-ala,”

Terjemahan

“...Setelah semua mendapat bagian dari Maharaja Trarusbawa, dibagi lagi tanggung jawab kekuasaan, untuk setiap yang diharuskan beristeri satu. Maka dunia kesentosaan tanggung jawab kalangan Resi yang dijadikan sebagai tempat suci, tempat mencari keadilan orang yang teraniaya. Dunia bimbingan tanggung jawab kalangan Rama. Dunia pemerintahan tanggung jawab kalangan Prebu. Nah janganlah saling berebut kedudukan. Hendaklah jangan khawatir saling berebut penghasilan,” (lembar nomor 4b dan awal lembar 5a).

Kutipan teks di atas ada dalam lembar nomor 4b dan awal lembar 5a FCP menyangkut pembagian kekuasaan pada golongan-golongan dalam Tri Tangtu Di Buana oleh Maharaja Trarusbawa. Waktu itu, Maharaja berada di pucuk pimpinan pemerintahan Kerajaan Sunda. Maharaja juga adalah simbol kerajaan/negara. Dalam konsep kekuasaan, negara memegang tampuk kekuasaan tertinggi. Negara juga memiliki hak melaksanakan kekuasaan tertinggi secara formal. Kekuasaan juga dibagikan negara; itulah yang dinamakan kedaulatan. Dalam konteks tersebut, karena Maharaja adalah simbol dari Kerajaan Sunda, Maharaja memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan dan membagikan kekuasaan pada orang-orang kepercayaannya.

Selain berkaitan dengan teks pada lembar 4b sampai 5a, isi teks naskah FCP lembar 7b-8a berkaitan juga dengan bagian teks pada lembar 5b dan sebuah bagian teks pada naskah Amanat Galunggung (AG). Amanat Galunggung (AG) adalah salah satu naskah Sunda Kuno yang beraksara dan berbahasa Sunda Kuno. Naskah ini berbentuk prosa dan termasuk ke dalam kategori naskah historis/keagamaan (Darsa, 2016). FCP lembar 5b menyebutkan bahwa Sang Prebu harus ngagurat batu (menggores batu) dalam artian berwatak kukuh saat undang-undang kerajaan dilaksanakan, Sang Rama harus ngagurat lemah (menggores tanah) dalam artian berwatak dapat menentukan aturan bagi para pelaksana pemerintahan, dan Sang Resi harus ngagurat cai (menggores air) dalam artian berwatak adil dan menyejukkan. Isi teks ini

(12)

terkait dengan yang tercantum dalam naskah Amanat Galunggung (AG) (Atja & Danasasmita, 1981) berikut ini:

“...Jaga makéyana patikrama paninggalna sya séda. Jagat darana di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu. Haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda, ku ambek: si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan; ngalap kaswar semu guyu, téjah ambek guru basa di na urang sakabéh, tuha kalawan anwam,”

Terjemahan

“...Peliharalah semua aturan peninggalan mendiang para leluhur yang pernah dijalankan. Dunia bimbingan menjadi tanggung jawab Rama, dunia kesentosaan menjadi tanggung jawab Resi, dan dunia pemerintahan menjadi tanggung jawab Prabu. Janganlah berebut kedudukan, janganlah berebut penghasilan, janganlah berebut hadiah, sebab sama asal-usulnya (berasal dari rakyat), sama mulianya. Semua itu menjadi mulia hanya dengan perbuatan, dengan ucapan, dan dengan sikap yang: bijaksana, yang selalu masuk akal, yang hak, yang sungguh-sungguh, yang memikat hati; bersikap kepada bawahan murah senyum (ramah), berseri di hati, mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda,”

Setelah membaca mencermati bagian teks di atas, terlihat bahwa bagian teks pada lembar 7b-8a yang berasal dari bagian naskah FCP ini memiliki isi yang kurang lebih sama dengan salah satu bagian teks pada naskah AG. Di sini terjadi penggambaran pembagian kekuasaan prebu, rama dan resi dalam lingkup Tri Tangtu Di Buana. Deskripsi yang sama terlihat pada penggalan kalimat “dunia bimbingan adalah tanggung jawab rama, dunia kesentosaan menjadi tanggung jawab resi, dan dunia pemerintahan menjadi tanggung jawab prebu”. Kalimat yang serupa juga terdapat pada bagian kalimat “ketika menjalankan tugasnya sebagai pemegang kekuasaan, hendaknya kalangan prebu, rama dan resi tidak berebut penghasilan”.

Di luar hal tersebut, teks AG bagian terakhir membahas berbagai tindakan yang wajib diperbuat demi mewujudkan diri sebagai pimpinan yang bijaksana, yang tampak pada ucapan, perbuatan, dan berbagai sifat yang dapat dicontoh oleh masyarakat. Jika dapat menyelami beragam sifat tersebut, maka para pemimpin tersebut akan menjadi contoh bagi masyarakat. Intertekstualitas terbentuk dari keterkaitan di antara dua bagian teks, di mana dua naskah yang berbeda mengandung esensi teks yang sama. Kaitan tersebut memperkuat konsep Tri Tangtu Di Buana sebagai sistem pemerintahan Kerajaan Sunda yang menganut pembagian/ pemisahan kekuasaan serta berisi berbagai gagasan komunikasi politik yang kuat. Berbagai aspek komunikasi politik yang dimuat kedua bagian naskah ini adalah aktor politik (Maharaja

(13)

25 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

Trarusbawa) dan transmisi informasi politik terkait dengan pembagian kekuasaan serta nilai dan sikap yang wajib dijiwai prebu, rama, dan resi dalam sistem pemerintahan Tri Tangtu Di Buana.

Hubungan Konsep Tri Tangtu Di Buana dengan Konsep Tri Buana dan Konsep “Tiga Rahasia”

Konsep Tri Tangtu Di Buana terkait juga dengan konsep Tri Buana, yaitu sistem kosmologis masyarakat Sunda berdasarkan konsep triumvirate (tiga serangkai, tritunggal) yang terdiri atas bumi, antara, dan angkasa; termasuk di dalamnya langit, rasi bintang, dan kilau nebula (gugusan bintang) pada malam hari. Selain berkaitan dengan konsep Tri Buana, konsep Tri Tangtu di Buana juga berkaitan dengan konsep “Tiga Rahasia” yang tercantum dalam naskah Sang Hyang Hayu (SHH). Sang Hyang Hayu (SHH) adalah salah satu naskah Sunda Kuno yang beraksara Buda dan berbahasa Jawa Kuno. Naskah ini berbentuk prosa dan terbagi ke dalam empat bagian cerita, yaitu Serat Catur Bumi, Serat Buana Pitu, Serat Séwaka Darma, dan Serat Déwa Buda. Naskah ini termasuk ke dalam kategori naskah keagamaan/kosmologi (Darsa, 2016).

Dalam naskah SHH, unsur prebu-rama-resi ini yang mengemban tugas dalam ngretakeun bumi lamba (mensejahterakan kehidupan di dunia). Selama menjalankan tugas tersebut, pihak prebu, rama dan resi harus menjiwai nilai-nilai yang sejalan dengan konsep “Tiga Rahasia”, yakni buddi (bijak), guna (arif), pradana (saleh), kaya (luas/kuat), wak (bicara), citta (hati), pratiwi (bumi), akasa (angkasa), antara (antara), mata (mata), tutuk (ucapan), talinga (telinga), bayu (tenaga), sabda (sabda), hedap (pikiran/kalbu). Nilai-nilai yang harus dimiliki pemimpin atau kata-kata yang merepresentasikan pemimpin hampir ada dalam setiap budaya, termasuk dalam Al-Qur’an, di mana terdapat beberapa kata yang merepresentasikan pemimpin, antara lain imam (Q.S. Al-Baqarah: 124; Q.S. Al-Furqan: 74), ulil amri (Q.S. An-Nisa: 59), dan awliya (Q.S. Ali Imran: 28) yang disebutkan sebanyak 42 kali (Fadli, 2018).

Konsep “Tiga Rahasia” di atas melambangkan nilai-nilai yang harus dijiwai kalangan prebu, rama, dan resi. Kalangan prebu, rama, dan resi memiliki nilai-nilai berbeda yang mesti mereka jiwai sesuai peran mereka dalam pemerintahan dan kewenangan mereka dalam menjalankan kekuasaan juga tanggung jawab yang mereka emban. Penulis menerapkan salah satu dari konsep “Tiga Rahasia” dari naskah SHH ini pada prebu, rama, dan resi dalam konsep Tri Tangtu Di Buana, yakni bayu, sabda, dan hedap. Mengacu pada konsep “Tiga Rahasia”, seorang prebu harus menjiwai nilai bayu (tenaga), rama harus menjiwai nilai sabda (ucapan), dan resi harus menjiwai nilai hedap (pikiran/qalbu). Pendeknya, prebu mewakili bayu, rama mewakili sabda, dan resi mewakili hedap.

(14)

Setelah bayu-sabda-hedap ini diterapkan pada nilai yang harus dijiwai oleh prebu-rama-resi, terdapat kecocokan dengan bagian teks pada lembar 7b-8a FCP yang menyebutkan bahwa “urusan kekuatan itu bagian kalangan prebu, urusan kata-kata itu bagian kalangan rama, dan urusan pikiran dan perasaan itu bagian kalangan resi”. Temuan ini memberikan bukti adanya intertekstualitas antara naskah FCP dengan naskah SHH yang sama-sama membahas tentang konsep dan nilai-nilai yang ada dalam proses pembagian kekuasaan. Konsep “Tiga Rahasia” dalam SHH memperkaya konsep pembagian kekuasaan Tri Tangtu Di Buana dalam FCP.

Konsep Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana dan “Tiga Rahasia” yang eksis di tengah-tengah masyarakat Sunda ini membuktikan bahwa sifat triumvirate tidak dapat dilepaskan dari konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis. Dalam tatanan tersebut, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan (Ekadjati & Darsa, 1999). Ini berarti masyarakat Sunda memandang sejajar antara makrokosmos dan mikrokosmos serta antara jagat raya dan dunia manusia. Jadi, terdapat keterkaitan simetris antara Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana, dan “Tiga Rahasia” dalam konsep pembagian/pemisahan kekuasaan masyarakat Sunda kuno. Dengan kata lain, munculnya kekuasaan dalam masyarakat Sunda kuno umumnya, dan di Kerajaan Sunda khususnya, seluruhnya berlandaskan pada tradisi. Tradisi tersebut menjadi sebuah dasar dan menghasilkan legitimate power bagi orang-orang yang memegang kekuasaan tertinggi. Saluran politik dan saluran tradisional dipilih oleh Tri Tangtu Di Buana (prebu, rama, resi) dalam rangka menjalankan kekuasaan mereka. Mereka mengkomunikasikan aturan-aturan yang harus ditaati oleh segenap pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda melalui saluran politik, dan mereka mempertahankan nilai-nilai tradisi Sunda yang sudah tertanam beratus-ratus tahun lamanya dalam masyarakat melalui saluran tradisional.

Perbandingan Konsep Tri Tangtu Di Buana dengan Konsep Trias Politica

Tri Tangtu Di Buana merupakan sebuah konsep pembagian kekuasaan di mana kekuasaan-kekuasaan tersebut dijabat oleh prebu, rama dan resi. Masing-masing bagian dari pemegang jabatan dalam Tri Tangtu Di Buana punya tugas dan wewenang berbeda. Dunia pemerintahan tanggung jawab kalangan prebu; dunia bimbingan tanggung jawab kalangan rama; dan dunia kesentosaan tanggung jawab kalangan resi yang dijadikan sebagai tempat suci serta tempat mencari keadilan orang yang teraniaya.

Konsep ini hampir serupa dengan Trias Politica Montesquieu, yang membagi kekuasaan ke dalam tiga lembaga berbeda, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif berfungsi membuat undang-undang, eksekutif berfungsi melaksanakan undang-undang, dan yudikatif

(15)

27 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

berfungsi mengawasi pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika timbul konflik, dan menjatuhkan sanksi bagi lembaga atau perseorangan manapun yang melanggar undang-undang. Tri Tangtu Di Buana memiliki ciri khas yang hampir serupa dengan Trias Politica. Dalam hal fungsi kelembagaan, fungsi yang diemban prebu, rama dan resi memiliki kesamaan dengan fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Prebu bertanggung jawab atas dunia pemerintahan dan sebagai pemimpin negara (lembaga eksekutif), dengan kata lain, segala hal yang menyangkut kebijakan pemerintahan, termasuk lalu lintas komunikasi politik yang berlangsung, semuanya ada di bawah wewenang seorang prebu. Rama bertanggung jawab sebagai wakil rakyat (lembaga legislatif), di mana para rama bertugas mewakili rakyat agar bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan kerajaan. Sedangkan resi bertanggung jawab sebagai lembaga peradilan (lembaga yudikatif), yang berwenang menentukan hukum yang berlaku di lingkungan kerajaan, sekaligus sebagai tempat mencari peradilan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi kerajaan menjadi adil, makmur, dan lepas dari pelanggaran-pelanggran hukum.

Perbandingan Konsep Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana, dan“Tiga Rahasia” dengan Konsep Trias Politica

Setelah penulis menemukan keterkaitan antara konsep Tri Tangtu Di Buana, Tri Buana, dan konsep “Tiga Rahasia”, pada bagian ini penulis membandingkan konsep-konsep tersebut dengan konsep Trias Politica. Fungsi dari prebu adalah menjalankan urusan pemerintahan dan melaksanakan aturan-aturan dasar demi ketertiban bangsa dan negara. Disebutkan pula bahwa urusan kekuatan (yang berarti kekuatan mempertahankan kedaulatan kerajaan) adalah bagian kalangan prebu. Berarti, dalam konsep Tri Tangtu Di Buana, fungsi seorang prebu adalah sebagai kepala pemeritahan sekaligus simbol Kerajaan Sunda, kepala angkatan bersenjata kerajaan, dan sebagai promotor/agen promosi peraturan yang dibuat lembaga legislatif, dalam hal ini rama.

Dalam Trias Politica, fungsi-fungsi ini disebut fungsi Head of Government, Commander in Chief, dan Chief Legislation (Budiardjo, 2018). Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Commander in Chiefadalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Chief Legislation ialah fungsi eksekutif dalam rangka mempromosikan terbitnya suatu undang-undang. Walaupun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan legislatif, namun di dalam sistem tata negara, eksekutif dimungkinkan mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang karena tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang-undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut (Budiardjo, 2018).

(16)

Dalam kutipan bagian teks lembar 7b-8a di atas disebutkan bahwa prebu diperbolehkan merumuskan seperangkat aturan dasar demi ketertiban kedudukan pemimpin (raja), yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan. Jadi, jelas bahwa fungsi prebu juga berkutat dengan urusan pemerintahan dan kedaulatan kerajaan. Dalam hal ini, prebu yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari, misalnya mengangkat para pejabat kerajaan yang ditempatkan baik di wilayah pusat maupun di wilayah-wilayah daerah Kerajaan Sunda yang lainnya (karena Kerajaan Sunda menganut sistem desentralisasi). Kegiatan-kegiatan lembaga eksekutif juga mengandung aktivitas komunikasi politik.

Dalam konsep Tri Buana, prebu mempersonifikasikan bumi, sedangkan dalam konsep “Tiga Rahasia”, prebu harus menjiwai nilai bayu, atau kekuatan, dan harus berwatak ngagurat batu, yang artinya berwatak teguh dan amanah dalam menjalankan roda kekuasaan (lembaga pemerintahan). Hal ini sesuai karena prebu adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata, dalam hal ini angkatan perang kerajaan.

Dalam kutipan teks di atas juga disebutkan bahwa urusan kekuatan adalah bagian prebu. Jadi, untuk urusan kedaulatan dan pertahanan kerajaan, tanggung jawab sepenuhnya terletak di pundak prebu sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang. Sesuai dengan kutipan teks di atas, bahwa prebu melaksanakan aturan-aturan dasar yang telah dibuat oleh rama sebagai lembaga legislatif. Prebu pula yang mengkomunikasikan aturan-aturan tersebut kepada para pejabat kerajaan, dan disampaikan kembali kepada rakyat. Berdasarkan pada perbandingan-perbandingan tersebut, fungsi prebu pada Tri Tangtu Di Buana tidaklah jauh berbeda dengan lembaga eksekutif pada Trias Politica.

Fungsi rama dalam Tri Tangtu Di Buana adalah merumuskan seperangkat aturan dasar kerajaan dan memberikan bimbingan kepada rakyat. Sedangkan fungsi lembaga legislatif dalam Trias Politica adalah Lawmaking dan Education (Budiardjo, 2018). Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang, sedangkan Education merupakan fungsi lembaga legislatif dalam memberikan pendidikan politik yang tepat kepada khalayak.

Dalam konsep Tri Buana, rama mempersonifikasikan angkasa. Angkasa adalah tempat berkumpulnya gugusan bintang, memberikan kesuburan dan kehidupan bagi makhluk hidup melalui sinar matahari dan air hujan, dan menaungi bumi dan ruang di antaranya. Hal ini sesuai dengan kutipan teks, rama-lah yang bertugas/memiliki fungsi untuk membuat seperangkat aturan dasar Kerajaan Sunda yang harus dipatuhi segenap pemangku jabatan beserta rakyat. Karena itulah, rama harus berwatak ngagurat lemah, yang artinya berwatak memberi pijakan berupa rumusan aturan bagi jalannya roda pemerintahan (lembaga perwakilan masyarakat). Rama juga memberi bimbingan dan arahan kepada masyarakat melalui kata-kata, sesuai dengan konsep “Tiga Rahasia”, di mana rama harus menjiwai nilai sabda yang berarti sabda/

(17)

29 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

kata-kata. Kalangan rama wajib bersikap dan berperilaku selayaknya wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari rakyat. Mereka harus selalu memberikan pemahaman kepada khalayak tentang bagaimana kehidupan bernegara yang baik. Rama pula yang memberikan bimbingan kepada rakyat, seperti tertuang pada kutipan teks di atas, bahwa rama-lah yang bertanggung jawab atas urusan bimbingan dan kata-kata.

Fungsi resi dalam Tri Tangtu Di Buana ialah menjaga kedamaian dan kesentosaan kerajaan, sekaligus sebagai penegak hukum bagi pelanggar aturan. Sedangkan fungsi lembaga yudikatif bertugas menafsirkan isi undang-undang dan memberikan sanksi kepada setiap pelanggar aturan. Fungsi-fungsi lembaga yudikatif yang bisa dispesifikasikan dalam daftar masalah hukum adalah Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional) (Budiardjo, 2018).

Dalam konsep Tri Buana, resi mempersonifikasikan antara (di antara bumi dan angkasa). Artinya, resi adalah penengah; bertugas untuk menegakkan keadilan. Begitu pula bila terjadi perselisihan antara kalangan prebu dan rama, kalangan resi yang menengahi. Hal ini sesuai dengan kutipan teks di atas, di mana disebutkan kalangan resi diperkenankan melaksanakan seperangkat aturan dasar demi keamanan di seluruh negeri, yang bertanggung jawab atas urusan kesentosaan. Kesentosaan dalam hal ini ialah kedamaian yang akan terwujud apabila segenap masyarakat Kerajaan Sunda mematuhi seluruh peraturan yang berlaku.

Disebutkan bahwa urusan pikiran dan perasaan adalah bagian kalangan resi, yang artinya resi berhak mengadili orang-orang yang merugikan pihak lain, di mana pihak yang dirugikan itu tentu merasakan kerugian, baik itu secara fisik maupun psikis. Hal ini sesuai dengan konsep “Tiga Rahasia”, di mana resi harus menjiwai nilai hedap yang berarti pikiran dan perasaan. Oleh karena itulah, resi harus berwatak ngagurat cai, yang artinya berwatak seperti air, menyejukkkan dan membuat permukaan jadi rata (lembaga penegak keadilan).

Mengacu pada hal yang telah dijabarkan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia dapat belajar dari peradaban bangsa lain, namun bukan berarti menghilangkan eksistensi budaya sendiri (Salamah, 2010). Terdapat naskah Sunda kuno yang memuat sistem pemerintahan yang dapat diadopsi. Secara implisit, konsep Trias Politica Montesquieu, baik sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, diterapkan di Republik Indonesia, tapi penerapannya tak absolut (Yulistyowati et al., 2016). Karena itu, kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke dalam tiga cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai Trias Politica (Ahmad, 2012).

(18)

Sejumlah naskah kuno ditemukan di sebagian besar daerah Tatar Sunda, baik yang telah ditransliterasi maupun yang masih berupa manuskrip. Umumnya naskah-naskah Sunda Kuno ditulis antara abad ke-14 hingga abad ke-16 M (Munandar, 2010). Walau demikian, sudah terdapat banyak riset yang menelaah tentang preservasi naskah kuno seperti di Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta (Dewi, 2014), upaya-upaya pelestarian manuskrip di BPAD Provinsi Sulawesi Selatan (Bahar & Mathar, 2015), pelestarian naskah-naskah kuno di Museum Nagari Adityawarman Sumatra Barat (Gusmanda & Nelisa, 2013), juga preservasi naskah kuno guna pengembangan pengetahuan (Sukaesih et al., 2016). Selain itu, terdapat pula penelaahan naskah kuno Serat Mumulen (Cahyaningrum, 2012), ataupun kajian naskah kuno di Pontianak (Amin, 2012). Artinya, naskah kuno dapat menjadi sumber pengetahuan.

Adapun naskah kuno merupakan karya tertulis produk masa lampau dalam bentuk aksara-aksara tertentu yang di dalamnya memiliki arti dan makna penting bagi sosial kebudayaan masyarakat pada masanya (Juariah, 2016). Sebab, dengan eksistensi bukti tertulis pada naskah-naskah kuno, nilai historisnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Ruhimat, 2017). Adanya keyakinan historis pada artefak peninggalan leluhur, secara psikologis tak hanya akan memberikan kebanggaan, tetapi keteguhan untuk memelihara dan mengolah nilai-nilai luhur dari tradisi besar bangsa (Darsa et al., 2000). Karena, naskah kuno adalah warisan leluhur berwujud tulisan tangan yang di dalamnya berisi banyak nilai (Widuri, 2016). Hal ini didukung pernyataan bahwa pada dasarnya teks-teks naskah kuno Nusantara merupakan dokumen tertulis yang merekam suatu ide atau gagasan masyarakat pada zamannya yang berisi aspek-aspek kehidupan, seperti ajaran keagamaan, ajaran moral, kesusasteraan, kebahasaan, dan sebagainya (Permadi, 2017).

SIMPULAN

Hubungan antara konsep-konsep yang telah dianalisis di atas membentuk intertekstualitas yang menjadi inti dari hermeneutika. Dengan terbentuknya intertekstualitas tersebut, penulis menjadi lebih terbantu untuk membandingkan konsep-konsep triumvirate Sunda dengan konsep Trias Politica yang kental dengan aktivitas komunikasi politik. Makna yang diperoleh sebagai dasar untuk membandingkan konsep-konsep triumvirate Sunda dengan konsep Trias Politica adalah konsep Tri Tangtu Di Buana yang berhubungan dengan konsep Tri Buana dan konsep “Tiga Rahasia” adalah tiga kelembagaan dalam Kerajaan Sunda yang mengandung aktivitas komunikasi politik, dan terwujud dalam pembagian/pemisahan kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan yang berlaku dalam masyarakat Sunda kuno, khususnya lingkup suprastruktur komunikasi, tepatnya di Kerajaan Sunda.

(19)

31 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

Pembagian/pemisahan kekuasaan dan wilayah kekuasaan ini ternyata memang bersumber dari tradisi, yang dijadikan pijakan membuat peraturan-peraturan dan pengambilan keputusan yang dilakukan para pemegang kekuasaan. Dalam proses pembagian/pemisahan kekuasaan ini terjadi aktivitas komunikasi politik, ditandai dengan penyampaian pesan dari pemimpin kepada yang dipimpin.

SARAN

Penulis berpendapat bahwa berbagai riset dan kajian mengenai komunikasi politik akan selalu menjadi topik menarik, karena menawarkan “kekayaan” untuk diteliti dan didiskusikan. Akan lebih baik lagi jika kajian-kajian dengan topik komunikasi politik tradisional lebih banyak digali dan ditelaah oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Kajian komunikasi politik dengan sumber data primer berupa naskah-naskah kuno, prasasti, atau teks-teks lampau, apa pun mediumnya, akan menghasilkan temuan yang menarik, karena selain menambah khazanah konsep-konsep pada kajian komunikasi dan/atau politik, juga memilki nilai-nilai kearifan lokal yang terungkap lewat kajian-kajian tersebut, di mana banyak nilai positif dalam teks-teks masa lampau tersebut yang masih relevan dalam konteks masa kini.

REFERENSI

Ahmad, N. (2012). Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik/ : Sejarah , Perspektif dan Perkembangan Riset. Pustaka Zaman.

Akbar, I. (2018). Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Is-lam Iran dan Kerajaan IsIs-lam Arab Saudi). Journal of Government and Civil Society, 1(1), 95–109. https://doi.org/10.31000/jgcs.v1i1.265

Amin, F. (2012). Studi Awal Manuskrip Koleksi H . Abdurrahman. Jurnal ThaqÃfiyyÃT, 13(1), 49–82.

Ardial. (2010). Komunikasi Politik. Indeks.

Atja, & Danasasmita, S. (1981). Carita Parahyangan: Transliterasi, Terjemahan dan Catatan. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Bahar, H., & Mathar, T. (2015). Upaya pelestarian naskah kuno di badan perpustakaan dan arsip daerah provinsi sulawesi selatan. Jurnal Ilmu Perpustakaan, Informasi, Dan Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, 3(1), 89–100.

Budiardjo, M. (2018). Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.

Cahyaningrum, I. (2012). Serat Mumulen: Suntingan Teks dan Kajian Semiotik. Skripsi Univer-sitas Diponegoro Semarang.

(20)

Darsa, U. A., Sofianto, K., & Sumarlina, E. S. N. (2000). Tinjauan Filologis Terhadap Fragmen Carita Parahyangan: Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat Sunda. Jurnal Sosiohumaniora, 2(3), 57–63.

Dewi, D. P. (2014). Preservasi naskah kuno (Studi pada Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta). Tesis UIN Sunan Kalijaga.

Ekadjati, E. S., & Darsa, U. A. (1999). Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 5A Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga.

Endraswara, S. (2008). Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. MedPress.

Fadli, Y. (2018). Pemikiran Politik Islam Klasik (Studi Awal Atas Perspektif Kalangan Sunni). Journal of Government and Civil Society, 2(1), 89–106. https://doi.org/10.31000/ jgcs.v2i1.777

Gusmanda, R., & Nelisa, M. (2013). Pelestarian naskah-naskah kuno di museum nagari adityawarman sumatera barat. Jurnal Ilmu Informasi Perpustakaan Dan Kearsipan, 2(1), 573–581.

Harun, R., & AP., S. (2006). Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Mandar Maju. Juariah, Y. (2016). Menelusuri Jejak Islamisasi Di Tatar Sunda Melalui Naskah Kuno. Jurnal

Al-Tsaqafa, 13(1), 177–193.

Kusuma, Y. P. (2018). Mengubah Wajah Parlemen Indonesia Melalui Strategi Pencitraan Positif Para Aktor Politik: Kajian Komunikasi Politik. Nyimak (Journal of Communication), 1(2), 135–148. https://doi.org/10.31000/nyimak.v1i2.479

Munandar, A. A. (2010). Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddha Dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad Ke-14—16 M). Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 1(1), 7–27. Nimmo, D. (2005). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Remaja Rosdakarya. Permadi, T. (2017). Naskah Nusantara dan Berbagai Aspek yang Menyertainya.

Permana, R. S. M. (2015). Makna Tri Tangtu Di Buana yang Mengandung Aspek Komunikasi Politik dalam Fragmen Carita Parahyangan. Jurnal Kajian Komunikasi, 3(2), 173–191. Rahardjo, M. (2008). Dasar-dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan Gadamerian.

Ar-Ruzz Media.

Ratna, N. K. (2009). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discouse and the Surplus of Meaning. Christian University of Texas Press.

Ruhimat, M. (2017). Hubungan Tiongkok Dan Sunda Dalam Naskah-Naskah Sunda Kuno: Kearifan Lokal Dalam Menjaga Keutuhan Bangsa Indonesia. Jurnal Cakrawala Mandiarin, 1(1), 75–85.

(21)

33 Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda

dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

Salamah, U. (2010). Penta Politika Indonesia dalam Perspektif Sejarah Peradaban Masa Lalu dan Masa Kini. SATWIKA: Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial Volume, 1(1), 37–48. Santi, F. (2018). Pesan Nonverbal dalam Komunikasi Politik Wahidin Halim Sebagai Calon Gubernur Banten pada Pilkada Banten 2017. Nyimak (Journal of Communication), 2(2), 131–149. https://doi.org/10.31000/nyimak.v2i2.960

Shahreza, M. (2017). Komunikator Politik Berdasarkan Teori Generasi. Nyimak (Journal of Communication), 1(1), 33–48. https://doi.org/10.31000/nyimak.v1i1.273

Sopian. (2018). Komunikasi Politik Terkait Tumpang Tindihnya Regulasi di Indonesia. Nyimak (Journal of Communication), 2(1), 37–57. https://doi.org/10.31000/nyimak.v2i1.551 Sukaesih, Winoto, Y., Rusmana, A., & Kurniasih, N. (2016). Preservasi Naskah Kuno sebagai

Upaya Pembangunan Knowledge Management: (Studi Kegiatan Preservasi Naskah Kuno oleh Masyarakat sebagai Upaya Pembagunan Knowledge Management). Record And Li-brary Journal, 2(2), 176–187.

Wardani, S. (2019). Orasi Politik Joko Widodo dan Prabowo Soebianto dalam Pilpres 2019. Nyimak: Journal of Communication, 3(2), 107–121. https://doi.org/10.31000/ nyimak.v3i2.1544

Widuri, S. (2016). Naskah Purwaning Jagat ( Kisah Raja-Raja Di Tatar Sunda ) Analisis Isi Dan Fungsi. Jurnal Patanjala, 8(2), 267–280.

Yulistyowati, E., Pujiastuti, E., & Mulyani, T. (2016). Penerapan Konsep Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 18(2), 328–338.

Copyright (c) 2020 Nyimak: Journal of Communication

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan nlai parameter ini, hibridisasi GA-SA pada optimasi permasalahan Multi-trip VRPTW dapat menghasilkan nilai rata-rata fitness yang lebih baik daripada

Pada penambahan cobalt didapatkan sifat kekuatan tarik dari polimer data tertinggi diperoleh pada komposisi 4% cobalt dengan nilai 22,04 MPa dengan nilai modulus young

Hasil penelitian ini tidak mendukung dan tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dhita Dhora Damayanti dan Herizon Chaniago

combination dapat mengevaluasi pengetahuan yang sudah diberikan sampai dapat diaplikasikan dalam pelayanan pada tahap internalization. Hal itu merupakan pelaksanaan

Laporan keuangan, umumnya terdiri dari neraca atau laporan posisi keuangan, laporan perhitungan sisa hasil usaha (SHU) serta laporan perhitungan arus kas yang

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul “Penerapan Algoritma Apriori untuk Menemukan Hubungan antara

[r]

(1) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat