• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) INDUSTRI KAYU OLAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) INDUSTRI KAYU OLAHAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

INDUSTRI KAYU OLAHAN

BANK INDONESIA

Direktorat Kredit, BPR dan UMKM

(2)

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ... 2 2. Kemitraan Terpadu ... 4 a. Organisasi ... 4 b. Pola Kerjasama ... 6 c. Penyiapan Proyek ... 7 d. Mekanisme Proyek ... 8 e. Perjanjian Kerjasama ... 9 3. Aspek Pemasaran ... 11

a. Industri Kayu Olahan... 11

b. Perkembangan Ekspor ... 12

c. Permintaan Meubel ... 13

d. Negara Tujuan Ekspor... 14

4. Aspek Produksi ... 15

a. Lokasi & Bangunan Produksi ... 15

b. Bahan Baku serta Bahan Penunjang ... 16

c. Tahap dalam Proses Produksi ... 17

d. Pemilihan Mesin Produksi serta Tata Letaknya ... 19

5. Aspek Keuangan ... 21

a. Contoh Proyek Kemitraan Terpadu ... 21

b. Rincian Perhitungn Biaya dan Dana Kredit ... 21

c. Rincian Kelayakan Usaha Kecil ... 22

(3)

1. Pendahuluan

Potensi produksi jenis-jenis kayu keras maupun lunak di Indonesia berkisar antara 45 s/d 50 juta m3 per tahun. Secara keseluruhan jenis-jenis kayu komersial tercatat di Indonesia sebanyak 120 jenis. Produksi kayu bulat (logs) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan diperkirakan kebutuhan kayu bulat pada tahun 2000 sekitar 60 juta m3. Oleh karena itu, Pemerintah merencanakan untuk meningkatkan hasil produksi kayu dengan melaksanakan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Dalam bidang industri pengolahan kayu, maka industri penggergajian kayu merupakan pengolahan kayu bulat mentah untuk dijadikan barang setengah jadi atau bahan baku, yang selanjutnya diolah oleh perusahaan industri kayu hilir menjadi barang jadi.

Konsumen kayu gergajian dalam negeri yang terbesar adalah sektor perumahan dan sektor kostruksi. Kemudian sejak 1986 industri hilir baru mulai didirikan, misalnya industri perabot rumah dari kayu "moulding dan laminating" dsb. Konsumsi kayu olahan dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan produk kayu yang diekspor, meskipun ekspor produk kayu olahan sangat potensial untuk dikembangkan.

Industri kayu olahan untuk pasar ekspor mulai dikembangkan oleh perusahaan di Indoensia pada tahun 1986 sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah yang melarang ekspor kayu bulat dan hanya mengizinkan ekspor kayu gergaji maupun kayu olahan lainnya, seperti "furniture, laminating board, wood panel" dll. Pengembangan industri meubel dapat dilihat dari nilai ekspor barang jadi kayu yang pada tahun 1986 berjumlah US $ 99 juta dan pada setiap tahun berikut baik menjadi US $ 527 juta pada tahun 1997. Permintaan di luar negeri atas perabot rumah tangga maupun barang komponen dari kayu, cukup mantap dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode krisis ekonomi yang melanda Indonesia masa kini, peningkatan ekspor barang-barang dengan nilai tambah tinggi adalah salah satu langkah untuk mengatasi krisis. Industri kayu olahan yang padat tenaga kerja dapat menciptakan peluang kerja dan dapat pula menahan daya beli (konsumsi) di daerah di mana perusahaan ekspor tersebut berada.

Subsektor industri kayu olahan yang memproduksi perabot maupun komponen kayu untuk pasar ekspor mempunyai prospek bisnis yang sangat baik, karena bahan baku, tenaga kerja maupun sebagian besar dari faktor produksi lain berasal dari dalam negeri.

Hampir seluruh hasil produksi barang ekspor dari industri tersebut dikirim ke para pembeli di luar negeri dari pelabuan-pelabuhan di kota besar pulau Jawa, yaitu dari Jakarta, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Sasaran utama

(4)

pasar domestik produk kayu olahan tersebut adalah rumah tangga serta perusahaan dan lembaga di pulau Jawa.

Sebagian besar dari perusahaan yang bergerak di subsektor kayu olahan adalah perusahaan skala kecil dan menengah. Sekitar 80% dari perusahaan tersebut berada di pulau Jawa bagian utara, karena tenaga kerja tersedia dengan jumlah besar dan biaya upah memadai. Oleh karena kapasitas produksi terbatas dan peluang pasar lebih besar dari kapasitas produksinya, produsen barang jadi kayu olahan skala UM/UB yang mengekspor produksinya, sudah lama bekerjasama dengan kelompok-kelompok pengarajin kayu.

Sejak pemerintah meluncurkan Program Kemitraan antara usaha menengah/besar dengan usaha kecil, peluang untuk menciptakan proyek kemitraan terpadu antara kedua pihak menjadi fokus instansi pemerintah maupun dunia usaha industri kayu olahan.

(5)

2. Kemitraan Terpadu

a. Organisasi

Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien.

Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.

Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA.

Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma dan Perusahaan Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan diantara semua pihak yang bermitra.

1. Petani Plasma

Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal.

Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek usaha.

(6)

Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.

2. Koperasi

Parapetani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya. Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer tidak merupakan keharusan

3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir

Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma/usaha kecil.

Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti.

Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.

(7)

Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin besar pula honor yang diterimanya.

4. Bank

Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun.

Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatan bersih petani yang paling besar.

Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank.

b. Pola Kerjasama

Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu :

a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan/ Pengolahan Eksportir.

(8)

Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra.

b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaan perkebunan/ pengolahan/eksportir.

Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi.

c. Penyiapan Proyek

Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan sebaiknya dan dalam proses kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan keberhasilan, minimal dapat dilihat dari bagaimana PKT ini disiapkan. Kalau PKT ini akan mempergunakan KKPA untuk modal usaha plasma, perintisannya dimulai dari :

a. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau lahan kebun/usahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun diri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha. Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui

(9)

pertemuan anggota kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama dengan perusahaan perkebunan/ pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit (KKPA) untuk keperluan peningkatan usaha;

b. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang bersedia menjadi mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknik budidaya/produksi serta proses pemasarannya;

c. Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha perkebunan/pengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok tani/usaha kecil yang potensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil;

d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra. Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan dengan formalitas PKT sesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana (executing agent) atau badan penyalur (channeling agent);

e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak instansi pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda);

f. Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini, harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas statusnya yang benar ditanami/tempat usaha. Untuk itu perlu adanya kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

d. Mekanisme Proyek

(10)

Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih.

e. Perjanjian Kerjasama

Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan mereka. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang akan menjadi kewajiban

(11)

dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan itu. Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak Mitra Perusahaan (Inti) dan petani/usaha kecil (plasma) antara lain sebagai berikut :

1. Kewajiban Perusahaan Perkebunan/Pengolahan/Eksportir sebagai mitra (inti)

a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penaganan hasil;

b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), penanaman serta pemeliharaan kebun/usaha;

c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen untuk mencapai mutu yang tinggi;

d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan

e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan kredit bank (KKPA) dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis dalam rangka pemberian kredit bank untuk petani plasma.

2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma

a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya;

b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang lahan usahanya berdekatan dan sama-sama ditanami;

c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan;

d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit; e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya oleh pihak Dinas Perkebunan/instansi terkait setempat yang tidak termasuk di dalam rencana waktu mengajukan permintaan kredit; f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan

sesuai petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Mitra ; dan

Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi angsuran kredit bank dan pembayaran bunganya.

(12)

3. Aspek Pemasaran

a. Industri Kayu Olahan

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai wilayah hutan yang cukup luas. Produksi hutan selain menghasilkan kayu sebagai hasil utama, juga menghasilkan produk lainnya dari hutan seperti arang, tengkawang, kopul, minyak atsiri kayu gaharu dsb. Hasil produksi hutan Indonesia merupakan produk unggulan komparataif terhadap negara-negara lain dan sebagian dari hasil produksi produk hutan diekspor ke negara lain dan produk kayu merupakan penghasil devisa nomor satu dari sektor non migas.

Industri yang menghasilkan produk dengan bahan baku dari hutan diorganisir dalam sembilan asosiasi dibawah payung Masyarakat Perhutanan Indonesia. Pada bulan Mei 1998, sembilan asosiasi serta anggotanya sbb.

No Nama Asosiasi Jumlah Anggota

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Himpunan Asosiasi Pengusaha Flora dan Fauna Indonesia (HAPFFI)

Himpunan Konsultan Kehutanan Indonesia (HIKKINDO)

Jumlah Anggota Perusahaan Mitra Kerja

Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI)

Asosiasi Industri Formalin dan Thermosetting Adhesives (AIFTA) Asosiasi Pengawetan Kayu

Indonesia (APKIN)

Asosiasi Hutan Indonesia Asosiasi Panel Kayu Indoensia (APKINDO)

Asosiasi Pengusaha Kayu

Gergajian/Olahan Indonesia (ISA) Asosiasi Industri Permeubelan dan Kerajian Indonesia

(ASMINDO) 166 perusahaan 3 perusahaan 27 perusahaan 77 perusahaan 60 perusahaan 60 perusahaan 382 perusahaan HPH 78 perusahaan HTI 15 Komda 130 perusahaan 9 Komda 1.645 perusahaan 17 Komda 591 perusahaan 15 Komda

Disamping perusahaan formil skala menengah dan besar, anggota 9 asosiasi tersebut, yang semua memiliki Akte Badan Usaha, masih ada ribuan perusahaan kecil bersifat industri rumah tangga/usaha pengrajin yang membuat barang jadi dari kayu. Oleh karena itu industri kayu di Indonesia belum dapat diketahui secara rinci perkembangannya. Hal ini juga

(13)

disebabkan karena bentuk/jenis produk yang dihasilkan sangat beraneka ragam.

Produk industri pengolahan kayu mempertahankan posisinya sebagaiindutri unggul di bidang ekspor karena "local content" produk kehutanan menghasilkan devisa sebesar US $ 7,425 miliar pada tahun 1997, maka pada tahun 1998 devisa yang diperkirakan bisa diraup naik 7,75 % menjadi US $ 8,001 miliar. Kendala ekspor yang dihadapi perusahaan ekspor produk kayu adalah keterbatasan peti kemas saat ini.

Daftar realisasi nilai ekspor pada tahun 1996 dari tahun 1997 serta proyeksi tahun 1998 dapat dilihat dalam Tabel 1.

b. Perkembangan Ekspor

Realisasi ekspor perabot dan barang jadi kayu lain meningkat cepat dalam volume maupun nilai sejak tahun 1986 sampai dengan tahun 1997 seperti dilihat dalam Tabel 2. Jumlah nilai ekspor menurun dari US$ 547 juta tahun 1996 menjadi US$ 531 juta pada tahun 1997. Penurunan tersebut terjadi karena krisis ekonomi makin berat, pada tahun 1998 ekspor barang kayu jadi sampai sekarang cukup stabil dan mempunyai peluang untuk ditingkatkan bilamana peti kemas tersedia tepat waktu dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan para eksportir.

Nilai ekspor dalam US dollar dapat dipertahankan selama krisis berjalan. Oleh karena sebagian besar dari biaya produksi barang jadi kayu berasal dari dalam negeri dan dibayar dengan rupiah, nilai tambah yang diciptakan oleh perusahaan eksportir kayu olahan sangat tinggi, bilamana dihitung dalam rupiah.

Nilai ekspor perabot dan barang jadi kayu hanya sekitar 6 persen dan jumlah nilai ekspor industri kayu. Kapasitas produksi di perusahaan menengah yang berjalan terbatas dan para pemilik perusahaan tersebut tidak mau memperbesar usaha milik sendiri, melainkan pengusaha tersebut ingin membangun kawasan indutri kayu terpadu yang dijual kepada para pengrajin kayu.

Pola ini dimana banyak usaha kecil memproduksi barang jadi sesuai dengan sistem produksi pabrik modern dapat menghemat biaya overhead maupun biaya finansial untuk perusahaan menengah/besar. Akan tetapi hasil produksi dan kualitas produk yang dibuat oleh para pengrajin dan dijual kepada mitra usaha jauh lebih besar dan lebih menguntungkan untuk kedua pihak yang bermitra dalam proyek industri kayu olahan tersebut.

Kesediaan bahan baku, yaitu kayu bulat dan kap gergaji maupun bahan pembantu dan bahan penolong untuk industri ekspor barang jadi cukup terjamin dan pasokan bahan tersebut dapat ditingkatkan saat ini, karena permintaan produk kayu jadi dalam negeri lesu selama krisis ekonomi.

(14)

Dengan menciptakan proyek kemitraan terpadu antara produsen UM/UB dengan kelompok pengrajin barang jadi kayu, bank maupun instansi Pemerintah dapat membantu sektor industri ini menjadi industri modern yang mampu mengekspor hasil produksinya. Kerjasama dengan pola kemitraan yang saling menguntungkan kedua pihak mendorong proses pembaruan industri kecil serta proses reformasi di bidang usaha

c. Permintaan Meubel

Angka realisasi ekspor perabot dan barang jadi kayu lain yang sebelum krisis ekonomi naik sangat pesat dari tahun menunjukkan bahwa permintaan luar negeri atas barang tersebut cukup tinggi dan tidak dapat dipenuhi oleh produsen barang kayu Indonesia. Peluang untuk meningkatkan nilai maupun volume ekspor perabot dan barang jadi kayu dapat diproyeksikan secara sederhana untuk periode 1998-2003 dengan penggunaan garis lurus berdasarkan data realisasi nilai ekspor pada periode 1993 - 1997.

Proyeksi Nilai Ekspor pada periode 1998-2003 dengan garis lurus : Y = bx + a = 58,3 x + 333,8

Proyeksi nilai ekspor dalam jutaan US $

Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Nilai ekspor 402 458 547 532 625 684 742 800 858 917 Angka yang diproyeksi adalah indikator tentang potensi ekspor. Untuk merealisasikan ekspor yang lebih tinggi daripada tingkat ekspor tahun 1996, perusahaan ekspor harus mempromosikan produknya kepada para pembeli di luar negeri. Disamping itu biaya produksi maupun biaya lainnya atas barang ekspor tersebut harus setinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan produk sejenis yang dibuat di negera lainnya.

Proyeksi permintaan meubel dan barang jadi dengan garis lurus memberikan hasil bahwa permintaan di luar negeri naik sekitar 60 juta dollar per tahun pada lima tahun yang akan datang. Indikator tersebut memberikan hasil yang cukup realistis, meskipun peluang riil untuk mengekspor barang jadi kayu jauh lebih tinggi dariapada angka proyeksi pertumbuhan nilai ekspor tersebut.

Pasar dalam negeri merupakan pasar yang lebih besar kalau dihitung dalam nilai maupun volume produksi barang daripada pasar ekspor. Faktor-faktor yang menentukan permintaan atas meubel dan barang jadi kayu dalam negeri adalah antara jumlah unit rumah yang dibangun per tahun, tingkat pendapatan atau daya beli di segmen segmen konsumen barang jadi kayu, yaitu rumah tangga, lembaga maupun perusahaan . Sebelum krisis ekonomi, indikator tersebut naik antara 8 s/d 15 persen per tahun, akan tetapi selama masa krisis, indikator tersebut mengalami kontraksi, meskipun permintaan

(15)

produk kayu olahan masih relatif besar dalam negeri. Oleh karena kendala yang dialami di dalam negeri, laporan KPKT ini mengusulkan ke bank untuk membiayai PKT yang mengekspor sebagian dari hasil produksi barang kayu olahan.

d. Negara Tujuan Ekspor

Berdasarkan data dalam Tabel 3 di bawah negara Masyarakat Eropa adalah pasar paling besar untuk barang kayu olahan tersebut. Pada tahun 1996 negera ME mengimpor produk kayu tersebut dengan nilai sekitar US $ 190 juta, atau hampir 35 persen dari total ekspor RI. Amerika Serikat adalah negara importir kedua Jepang pasar ekspor ketiga, bilamana dinilai atas pendapatan penjualan maupun kubikase barang yang diekspor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kayu olahan dari Indonesia antara lain

 Peraturan pemerintah yaitu, deregulasi di bidang ekspor kayu olahan, pencegahan organisasi ekspor yang bersifat monopoli atau kartel, tarif pajak ekspor dll.

 Sikap konsumen diluar negeri terhadap produk kayu olahan berasal dari hutan tropis, yaitu hal-hal yang terkait dengan masalah eco-labeling serta pelestarian hutan tropis "rain forest protection".

 Cara memasarkan hasil produksi kepada pembeli di luar negeri, yaitu kegiatan sales promotion, penetapan harga jual FOB, kemampuan memenuhi kontrak ekspor tepat waktu dengan kualitas produk terjamin.

Faktor maupun masalah yang disebut di atas adalah hal-hal yang hanya dapat diatasi melalui kerjasama antara produsen dengan Pemerintah RI dibantu oleh negara lain maupun oleh para perusahaan importir di negara tersebut. Industri perabot dan barang jadi kayu yang terdiri dari perusahaan produsen/eksportir modern yang cukup besar dapat berhasil sebagai eksportir. Sebagian besar dari para pengrajin tidak mampu mengekspor produknya sendiri, meskipun ada pengrajin yang telah mengekspor hasil produksinya dengan nilai cukup tinggi. Melalui pola kemitraan yang diusulkan dalam Model KPKT ini para pengrajin akan menghasilkan produk berkualitas ekspor yang dipasarkan kepada para pembeli di luar negeri oleh perusahaan UM/UB. Para pengrajin yang bermitra dengan UM/UB menjadi "indirect exporters" / eksportir tidak langsung. Penghasilan mereka akan lebih tinggi dibandingkan dengan penghasilan sebelum menjadi anggota proyek kemitraan terpadu. (Tabel 3).

(16)

4. Aspek Produksi

a. Lokasi & Bangunan Produksi

Secara umum proyek kemitraan terpadu yang memproduksi meubel, perabot dan barang jadi kayu untuk ekspor maupun pasar dalam negeri harus memilih lokasi untuk bangunan produksi berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut

a. Lokasi perusahaan dipilih relatif dekat pelabuhan ekspor. Selain produk jadi yang diekspor dalam peti kemas, sebagian dari bahan baku, maupun bahan pembantu diangkut antar pulau atau diimpor melalui pelabuhan.

b. PKT industri meubel dan barang jadi kayu biasanya padat tenaga kerja yang cukup terampil sebagai buruh di bidang kayu olahan. Lokasi industri tersebut biasanya terletak di kota besar atau ibukota Kabupaten, yang dekat pelabuahn internasional.

c. PKT industri meubel dan dan barang jadi kayu tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagian besar dari sampah, yaitu sisa bahan baku dibakar atau dijual kepada pengusaha kecil lain. d. Kebutuhan prasarana khusus seperti alat untuk mengelola limbah berbahaya tidak ada, sumber tenaga listrik dapat berupa genset atau PLN, lokasi harus mempunyai akses ke jalan raya, jalan dari lokasi proyek ke jalan raya harus dapat dipakai oleh truk yang mengangkut peti kemas bilamana jalan tersebut dikonstruksi oleh UM/UB.

e. Status tanah proyek harus jelas. Bilamana perusahaan peserta UK direncanakan akan dibiayai dengan KKPA, para UK harus memperoleh hak guna usaha atau hak milik atas tanah dan bangunan produksi tersebut.

Untuk menampung kegiatan produksi meubel dan barang jadi kayu di lingkungan industri kayu terpadu, fasilitas gedung tempat usaha dihasilkan melalui kerjasama dengan arsitek dan insinyur konstruksi bangunan. Tata letak ruangan produksi kayu olahan mempengaruhi tingkat efisisensi hasil produksi serta proses anggota kelompok UK maupun kerjasama antara kelompok-kelompok UK maupun antara UK dengan UM/UB. Faktor-faktor yang perlu diuraikan berkaitan dengan tata letak ruangan produksi yang dibangun untuk para pengrajin kayu olahan adalah sebagai berikut :

a. Ruangan produksi untuk masing-masing peserta UK harus sesuai dengan kebutuhan usahannya dengan memperhitungkan jarak angkut bahan baku maupun barang setengah jadi dan barang jadi yang minimum.

b. Alur kerja antara satu UK dengan UK lainnya maupun satu kelompok UK dengan kelompok lainnya harus berjalan lancar secara berurut-urutan.

c. Sistem ventilasi faktor kenyamanan kerja, keselamatan serta keamanan dari lintas bahan harus sesuai dengan prinsip produksi

(17)

modern maupun sesuai dengan peraturan yang berlaku di Industri kayu olahan.

d. Tata letak mesin produksi maupun lini produksi tidak boleh memboroskan ruang produksi, dan harus cukup luwes untuk menampung berbagai bentuk perubahan proses produksi yang menggunakan mesin produksi yang bersifat serba guna.

b. Bahan Baku serta Bahan Penunjang

Bahan baku yang dipakai oleh produsen meubel dan barang jadi kayu adalah kayu keras "tropical hardwood", misalnya kayu jati, kayu mahoni asal Jawa, kayu sungkai, kayu keruing dan kayu keras lainnya asal Kalimantan maupun kayu lunak "soft wood" seperti kayu sengon, kayu pinus, kayu pohon kelapa, dan kayu pohon karet untuk membuat produk yang dijual dengan harga relatif murah dibanding harga jual barang jadi kayu olahan dari kayu keras. Bahan baku kayu bulat dipasok oleh para pedagang pengumpul maupun dibeli oleh produsen di tempat lelang kayu BUMN Perhutani. Sebagian besar pengrajin kayu membeli papan atau kayu hasil gergajian dari pedagang kayu olahan maupun langsung dari perusahaan gergaji "sawmill".

Menurut laporan dari Menteri Kehutanan produksi kayu bulat (gelondongan) tahun 1996 sebesar 25,07 juta meter kubik naik 2,4 % dari tahun 1995. Produksi gelondongan tahun 1997 sekitar 23 juta meter kubik menurun dari tahun sebelumnya oleh karena kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera tahun 1997 dan sebagai akibat dari krisis ekonomi yang dimulai pada bulan Juli 1997. Permintaan kayu gergaji seperti papan menurun juga sejak semester kedua tahun 1997. Permintaan dalam negeri akan rendah selama sektor konstruksi, sektor perumahan dan real estate mengalami krisis total. Harga bahan baku ditentukan sesuai dengan ukuran kayu gelondongan maupun papan. Harga bahan baku meningkat dari tahun ke tahun dengan cepat sejak tahun 1997, terutama harga jenis gelondongan yang diukur dengan tingkat harga internasional, yang berkisar antara US $ 150 s.d. US $ 250 per meter kubik. Harga kayu bulat di dalam negeri yang dulu berada pada tingkat Rp 300.000 s.d. Rp 500.000 per meter kubik sekarang naik ke tingkat Rp 2 juta s.d. Rp 3 juta per meter kubik, oleh karena kenaikan kurs rupiah dari Rp. 2.500 sampai Rp. 15.000 terhadap dollar Amerika Serikat. Meskipun harga bahan baku tinggi dalam rupiah, meubel dan barang jadi lain, yang dibuat dari bahan baku tersebut dapat dijual dengan valuta asing ke luar negeri dengan harga jual yang menguntungkan.

Berdasarkan proses serta pengalaman produksi perhitungan rendemen oleh para produsen meubel kayu bervariasi antara satu persen dengan produsen lainnya. Secara rata-rata rendemen penggunaan kayu sbb

(18)

A. Rendemen kayu sengon dan kayu lunak lain dari kayu bulat sampai barang jadi 55 %.

B. Rendemen kayu keras asal Kalimantan dari kayu bulat sampai barang jadi 50 %.

Bahan pembantu yang digunakan oleh produsen meubel kayu adalah politur, cat, lem, sekerup, engsel, paku dan barang lain-lain sesuai dengan spesifikasi masing-masing produk jadi. Bahan kemasan yang digunakan untuk memproteksi barang jadi adalah plastik dan karton. Barang pembantu tersebut dapat dibeli oleh produsen kecil dari pedagang lokal, bilamana jumlahnya tidak terlalu banyak. Sedangkan produsen skala menengah maupun skala besar membeli bahan pembantu dari grosir atau langsung dari produsen dalam negeri.

c. Tahap dalam Proses Produksi

Dalam proses produksi meubel kayu maupun komponen kayu, para produsen memakai berbagai macam mesin produksi. Selain mesin produksi perusahaan membutuhkan sarana dan prasarana penunjang yang sangat penting dalam kelancaran proses produksi. Sarana penunjang terdiri dari alat transportasi seperti truk, forklift, conveyer belt, gardu listrik yang semuanya menunjang kelancaran proses produksi, Prasarana penunjang terdiri dari perkerasan jalan, sumur air, pagar tembok, satpam dsb.

Proses produksi dapat berbeda dari satu perusahaan produsen jadi kayu dengan produsen lain berdasarkan bahan baku yang dibutuhkan, jenis produk yang dibuat serta alat produksi yang dipakai dalam proses produksi. Meskipun begitu, tahap tahap utama dalam proses produksi adalah sbb

a. Bahan baku, yaitu kayu gelondongan maupun papan ditentukan kualitasnya (disortir) sesuai dengan kebutuhan produk jadi, yaitu sesuai jenis-jenis kayu serta ukuran panjang, tebal dan lebar kayu yang dibutuhkan dalam proses produksi.

b. Kayu gelondongan dibelah menjadi papan dengan menggunakan mesin Band saw/Dimension saw ukuran besar.

c. Selanjutnya kayu papan dikeringkan. Proses pengeringan kayu dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pengeringan secara alam atau pengeringan melalui klin dryer.

d. Sebelum kayu dikeringkan di dalam kiln dryer kedua ujung kayu biasanya ditutup dengan lapisan (coating), yaitu campuran antara lem kayu dan semen putih, supaya kayu tersebut tidak melengkung pada proses pengeringan.

e. Kayu yang dilapis selanjutnya masuk dalam ruang pengeringan (kiln dryer) kurang lebih selama tiga sampai tujuh hari sampai mencapai kadar basah kayu (moister content) antara 10 s.d. 14 %.

f. Kayu yang sudah keluar dari kiln dryer kemudian disiapkan di gudang dan dibiarkan untuk beberapa waktu agar ada penyesuaian dengan udara di luar kiln dryer.

(19)

g. Selanjutnya papan kering tersebut dipotong-potong sesuai dengan ukuran dan arah yang diinginkan yaitu : pemotongan vertikal dengan mesin belah (rip-saw) dan pemotongan horisontal dengan mesin potong (cross cut saw).

h. Tahap berikut dalam proses produksi adalah proses pembuatan macam-macam komponen untuk meubel kayu yang diproduksi. Pembuatan kompo-nen dilakukan dengan menggunakan beberapa mesin seperti mesin planner, mesin tenonner, mesin morticer, mesin spidle moulder, mesin router, mesin lathe, mesin bubut, mesin auto shaping, mesin circular saw, mesin rip saw, mesin radial arm saw, mesin cut off saw, laminating flat press, frame press, rotary frame press maupun mesin lain.

i. Beberapa usaha kecil produsen meubel membuat ukiran pada jenis-jenis komponen yang ditetapkan pada permukaan atau bagian depan produknya. Biasanya ukiran tersebut dibuat oleh tenaga ahli yang berpengalaman di bidang ini.

j. Sesudah semua komponen selesai dibuat, tahap berikutnya adalah penghalusan komponen-komponen oleh tenaga yang memakai ber"agai jenis mesin planner dan sander.

k. Sebagian dari meubel akan dilapis dengan cat, vernis maupun lacquer. Proses pelapisan dapat dilaksanakan pada komponen maupun pada perabot dan barang jadi sebelum maupun setelah semua komponen dirakit.

l. Proses perakitan komponen-komponen menjadi barang jadi adalah satu tahap yang cukup penting. Pada tahap ini para produsen harus melakukan Inspeksi pengendalian mutu "quality control", yaitu mencek berulang-ulang komponen maupun barang jadi yang dibuat. Dalam rangka mempertahankan kualitas atas produk yang dibuat pengendalian kualitas harus dilakukan pada setiap tahap dalam proses produksi, mulai dengan pemilihan bahan baku, pemilihan papan maupun melakukan inspeksi atas komponen-komponen di masing-masing tahap atau "work station" akan tetapi inpeksi terakhir atas barang jadi merupakan inspeksi yang tidak boleh diabaikan.

m.Proses terakhir pada tahap "finishing" adalah untuk memberikan merk "label" serta membungkus produk jadi untuk melindungi produknya dari air, kotoran udara maupun kerusakan selama meubel disimpan dalam gudang atau selama diangkut dari produsen kepada para pembeli di dalam maupun di luar negeri.

Kalau ditinjau dari tata letak mesin produksi dan alat produksi proses produksi dapat dilakukan dengan tiga bentuk bentuk :

a. Proses produksi fungsional dimana mesin-mesin dan alat-alat produksi yang mempunyai fungsi yang sama dikelompokkan dan ditempatkan dalam suatu ruang tertentu. Tata letak proses fungsional digunakan oleh perusahaan pengrajin yang bekerja berdasarkan pesanan dimana banyak terdapat pesanan-pesanan yang tidak berbeda dalam bentuk dan kuatitas.

(20)

b. Proses produksi produk/lini dimana susunan mesin dan alat produksi berdasarkan urutan operasi dalam proses produksi bagi produk yang dibuat. Proses produksi lini digunakan oleh pabrik yang memproduksi beberapa produk sejenis dengan jumlah besar.

c. Proses produksi kelompok meletakan suatu kelompok mesin-alat produksi yang membuat serangkaian komponen/produk yang memerlukan pemrosesan yang sama di suatu ruang. Setiap komponen/produk diselesaikan diruang kelompom tersebut.

d. Pemilihan Mesin Produksi serta Tata Letaknya

Bilamana kualitas produksi menjadi perhatian dan sasaran utama dari perusahaan barang kayu jadi, maka tidak ada kompromi untuk tidak memilih mesin-mesin utama bermutu tinggi, meskipun harga perolehannya lebih mahal. Hal-hal yang dinilai sebelum mesin dibeli antara lain, harga beli, mutu serta umur teknis mesin produksi, kesedian suku cadang di daerah lokasi produsen barang kayu, tingkat kerewelan atau kerusakan mesin serta fungsi maupun kapasitas produksi masing-masing jenis mesin. Pertimbangan lain untuk menggunakan mesin-mesin produksi adalah tingkat otomatik yaitu apakah mesin produksi "semi" atau "full-automatik" yang mempengaruhi kebutuhan serta tingkat keahlian tenaga kerja. Konfigurasi dan fleksibilitas mesin dan alat produksi harus lengkap supaya proses produksi efisien dengan rendemen produksi cukup tinggi.

Tata letak mesin mesin-mesin maupun tempat kerja lainnya di gedung pabrik ditentukan melalui beberapa pendekatan sbb :

a. Bahan baku yang keseluruhannya berupa papan, komponen kayu, triplex, cat dll diatur sedemikian rupa sehingga masing-masing berada pada tempat yang tepat/sesuai, mulai dari bahan baku yang berada pada tempat awal proses produksi, sampai bahan pembantu seperti cat, engsel yang berada pada tempat perakitan produk jadi.

b. Mesin-mesin serta alat yang dipergunakan terutama alat berat diatur penempatannya mengikuti alur produksi dan dipasang secara permanen. Diantara satu mesin dengan mesin lainnya harus ada ruang sela "space" yang memungkinkan gerakan memindahkan papan atau komponen yang agak longgar, sehingga kegiatan produksi bisa lancar. Berbagai jenis alat dan mesin yang sering dipakai oleh perusahaan industri kayu olahan serta fungsinya dijelaskan secara singkat sbb :

Kiln Dryer adalah satu ruang "chamber" dipakai untuk mengeringkan

kayu papan, yaitu bahan baku untuk industri kayu olahan. Kapasitas satu ruang kiln dryer antara 20 s.d. 60 m3. Dinding ruang dikelilingi pipa-pipa yang dialiri dengan uap air panans dari satu ketel uap "boiler". Biasanya perusahaan kayu olahan menggunakan bara api untuk pemanasan ketel uap dan limbah (sisa-sisa kayu produksi).

(21)

Band Saw digunakan untuk menggergaji/membelah kayu bulat menjadi kayu papan maupun untuk memotong kayu bulat/kayu papan sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan.

Rip Saw digunakan untuk membelah/memotong papan dan

komponen kayu olahan ukuran sedang dan kecil.

Mesin Thicknessing Planner digunakan untuk meratakan

permukaan komponen dan ujung-ujungnya menjadi siku. Mesin Tennoner digunakan untuk membuat lubang pen atau tonjolan pada permukaan kayu. Mesin ini dapat dilengkapi dengan dua meja kerja sehingga dapat membuat dua pen sekaligus. Mesin ini sangat cocok untuk pembuatan kursi dan almari.

Mesin Morticer digunakan untuk membuat lubang pada permukaan

papan dan komponen kayu lain. Mesin ini dapat dilengkapi dengan "electronic control system".

Mesin Router digunakan untuk membuat lekukan kecil serta

menum-pulkan tepi-tepi komponen kayu yang kecil. Mesin router dapat dilengkapi dengan "belt drive, pneumatic control, manometer, blower serta mechanic break stop".

Mesin Bubut digunakan untuk membuat bentuk berlekuk-lekuk.

Mesin Sander digunakan untuk menghaluskan permukaan komponen

dan produk jadi.

Dalam menentukan kapasitas produksi industri meubel/perabot kayu salah satu metode yang dipakai adalah studi waktu dan gerak, yaitu pengukuran waktu yang digunakan dalam pengerjaan tiap-tiap komponen pada tiap-tiap mesin/alat produksi yang dilalui dalam proses produksi. Dengan mengalikan waktu pengerjaan dengan jumlah produk yang dihasilkan maka dapat dihitung waktu untuk menyelesaikan pesanan selama satu periode, yaitu bulan, triwulan. Hasil lain dari studi waktu dan gerak adalah untuk menentukan jumlah mesin dan alat produksi yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk mencapai tingkat produksi "optimal".

(22)

5. Aspek Keuangan

a. Contoh Proyek Kemitraan Terpadu

Informasi tentang proyek termasuk data dan asumsi perhitungan yang dipakai dalam bab ini berdasarkan satu proyek kemitraan terpadu antara 144 pengrajin kayu yang bermitra dengan satu perusahaan industri perabot dan komponen kayu jadi untuk pasar ekspor.

Para pengrajin dibagi 8 kelompok sesuai dengan produk dan jasa yang dijual kepada perusahaan menengah, yang berfungsi sebagai usaha mitra (INTI). Produk-produk maupun jasa yang dijual masing-masing kelompok pengrajin peserta PKT sbb :

Kelompok 1 memproduksi "laminating board."

Kelompok 2 memproduksi "finger joint board."

Kelompok 3 memproduksi barang jadi, misalnya kursi, meja rak-rak, pot

bunga, tempat kaset, tempat jam serta barang jadi lainnya.

Kelompok 4 memproduksi "wall panel, parquet (flooring)".

Kelompok 5 menjual jas berupa pengeboran kayu komponen ke kelom-pok

lainnya.

Kelompok 6 menjual jasa berupa ampelas "sanding" barang komponen

maupun jasa kepada kelompok lain.

Kelompok 7 membuat produk komponen kayu dengan mesin bubut, yaitu

kaki meja, kaki kursi, dowel dll, dijual kepada kelompok lain.

Kelompok 8 adalah unit bengkel pemeliharaan alat dan mesin produksi.

b. Rincian Perhitungn Biaya dan Dana Kredit

Perhitungan biaya investasi untuk setiap unit usaha kecil industri kayu peserta Kawasan PKT maupun kebutuhan modal kerja permanen biaya tersebut disajikan dalam Tabel 4 berikut.

Tabel 4.

Rincian Kebutuhan Modal Dan Dana Kredit Per Unit Usaha Kecil Kelompok Modal Investasi (Rp) Modal Kerja (Rp) Jumlah Modal (Rp) Dana Sendiri (Rp) Dana Kredit (Rp) I (60) II (18) IIII (24) 33.600.000 34.000.000 40.075.000 7.975.000 2.443.750 1.258.333 41.575.000 36.443.750 41.333.333 7.975.000 2.443.750 1.258.333 33.600.000 34.000.000 40.075.000

(23)

IV (9) V (9) VI (9) VII (9) VIII (6) 28.800.000 42.650.000 45.200.000 34.825.000 38.100.000 7.807.639 609.375 893.750 2.144.063 1.431.250 36.607.639 43.259.375 46.093.750 36.969.063 39.531.250 7.807.639 609.375 893.750 2.144.063 1.431.250 28.800.000 42.650.000 45.200.000 34.825.000 38.100.000 Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kredit dari bank dapat dibiayai dengan KKPA. Jumlah modal investasi maupun modal kerja permanen berkisar antara Rp 36 juta sampai Rp 46 juta per unit usaha industri kecil.

UK Peserta PKT ini mempunyai modal sendiri berupa modal kerja. Seluruh kebutuhan investasi dalam bentuk mesin dan alat produksi baru, supaya para produsen kecil dapat meningkatkan teknologi dan proses produksi sesuai dengan permintaan dari luar negeri.

c. Rincian Kelayakan Usaha Kecil

Indikator atau ukuran kelayakan dan segi keuangan untuk setiap jenis usaha anggota kelompok dihitung dengan lima cara seperti dilihat dalam Tabel 5 berikut :

Tabel 5. Analisa Kelayakan Usaha Kecil Peserta PKT Kawasan Industri Kayu Olahan Kelompok I.R.R. (%) NPVPada df 16%(Rp) Payback Period (tahun) Laba Besrih per tahun(Rp B/C I II IIII IV V VI VII VIII 27.86 28,22 28,25 27,50 27,28 26,12 27,68 27,34 17.037.054 15.217.057 16.824.349 14.327.349 16.319.643 15.918.366 14.395.081 14.879.841 3,31 3,24 3,15 3,30 3,26 3,35 3,21 3,23 7.527.276 6.173.159 6.363.500 6.325.468 6.326.662 6.366.528 5.649.964 5.787.124 1,41 1,42 1,41 1,39 1,38 1,34 1,39 1,38

(24)

Dilihat dari analisa kelayakan di atas semua jenis usaha kecil industri pengolahan kayu layak untuk dibiayai dengan KKPA. Pengembalian investasi, yaitu pay back period sekitar 3 tahun rata-rata dan laba bersih dari proyek, apabila dijumlah untuk semua peserta sebesar Rp 50.519.681,-.

Semua perhitungan keuangan dihitung atas asumsi yang cukup realistis. Ada kemungkinan untuk meraih laba yang lebih tinggi, karena perusahaan menengah menawarkan sebagian dari saham usahanya kepada UK peserta PKT. Semua perhitungan keuangan untuk setiap jenis usaha dan kelompok usaha dilampirkan dalam Lampiran 1 sampai 48.

(25)

Gambar

Tabel 5. Analisa Kelayakan Usaha Kecil Peserta PKT Kawasan Industri Kayu  Olahan  Kelompok  I.R.R

Referensi

Dokumen terkait

Terang saja, lulusan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga tahun 2015 tersebut dinobatkan sebagai satu-satunya calon mahasiswa baru dari Jawa Timur yang

Hal ini merupa- kan pengaruh dari beberapa faktor, yaitu pe- nguasaan narasumber dan instruktur dalam hal materi teknik kepemanduan cukup baik, para narasumber dan

Ketika kita ingin memanggil value tersebut kedalam browser maka kita harus mencantumkan nama variable yang telah kita definisikan di atas yaitu nama kedalam sintak pernyataan atau

Alat ini terdiri dari sebuah bidang miring yang dapat diatur sudut kemiringannya mulai dari 0 o hingga 90 o , jenis permukaan yang bervariasi (akrilik, kayu,

PADA DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN TEMANGGUNG NO JENIS INFORMASI DESKRIPSI INFORMASI (RINGKASAN ISI INFORMASI) PEJABAT YANG MENGUASAI INFORMASI PENANGGU NG JAWAB

Ruslan (2010:14) menyatakan bahwa mediator tidak hanya sebagai fungsi namun juga sebagai keterampilan dalam menguasai teknik komunikasi baik melalui media secara

Melaksanakan supervisi/kepengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan Agama Islam dan penyelenggaraan di madrasah (manajerial); b).

Sirosis hati adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara  progresif, yang ditandai dengan