• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN HASIL PENELITIAN

STATUS IKAN KARANG BERDASARKAN KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU BENGKOANG DAN PULAU GLEYANG , KEPULAUAN

KARIMUNJAWA, JEPARA, JAWA TENGAH.

Oleh :

Tim Karang Ekspedisi V HIMAKEL Unsoed

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

(2)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... ii KATA PENGANTAR ... iv I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Terumbu Karang ... 4

2.2. Bentuk Pertumbuhan Karang ... 4

2.3. Penyakit Karang ... 6

2.4. Jenis Penyakit Karang ... 7

2.5. Prevalensi Penyakit Karang ... 10

2.6. Ikan Karang ... 11

II. MATERI DAN METODE ... 12

3.1. Materi Penelitian ... 12 3.1.1. Alat ... 12 3.1.2. Bahan ... 12 3.2. Metode Penelitian... 13 3.2.1. Penentuan Stasiun ... 14 3.2.2. Pengambilan Data ... 15

3.2.3. Parameter Fisika Kimia Air ... 17

3.3. Waktu dan Tempat ... 19

3.4. Analisis Data ... 19

3.5. Perhitungan Data ... 20

a. Penutupan Karang ... 20

(3)

ii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat yang digunakan selama penelitian ... 11 2. Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian ... 11 3. Kriteria penilaian penutupan karang ... 17

(4)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema Kerja ... 12 2. Metode Sabuk (Belt Transect) ... 14

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Taufiq, dan KaruniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian karang. Proposal penelitian ini disusun untuk dipresentasikan dalam rangka seminar penelitian untuk Ekspedisi V Himakel Unsoed yang berlokasi di Kepulauan Karimunjawa yaitu Pulau Bengkoang dan Pulau Gleyang.

Penyusunan proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk peningkatan kualitas publikasi hasil penelitian selanjutnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dan membantu hingga terbitnya proposal penelitian ini. Informasi dalam tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu perikanan dan kelautan.

Purwokerto, Juli 2019

(6)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepulauan Karimunjawa secara administratif merupakan kecamatan dari wilayah kabupaten Jepara, yang berlokasi sekitar 45 mil arah barat laut kota Jepara. Luas wilayah teritorial Karimunjawa adalah 107.225 ha, sebagian besar berupa lautan (100.105 ha), luas daratannya sendiri adalah 7.120 ha.Daerah ini beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup sepanjang hari dengan suhu rata-rata 26 s.d. 30 derajat Celcius, dengan suhu minimum 22 derajat Celcius dan suhu maksimum 34 derajat Celcius. Keindahan panorama alam seperti terumbu karang, rumput laut, dan padang lamun dengan biota laut yang beraneka ragam, hutan mangrove, gunung dan sisa hutan tropis dataran rendah, semuanya dalam hamparan yang masih alami sehingga menjadikan kepulauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut. Taman Nasional Karimunjawa merupakan gugusan 27 buah pulau yang memiliki tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, padang lamun, algae, hutan pantai, hutan mangrove, dan terumbu karang (Ahmad, 2013).

Gugusan terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan terumbu karang tepi. Hasil survei yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) sepanjang tahun 2003 dan 2004 menemukan 63 genera dari 15 famili karang keras berkapur (scleractinian) dan tiga genera non-scleractinian yaitu Millepora dari kelas Hydrozoa, Heliopora dan Tubipora dari kelas Anthozoa. Penutupan karang keras berkisar antara 6,7% hingga 68,9% dan indeks keragaman

(7)

2

berkisar antara 0,43 hingga 0,91. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa secara umum mempunyai rata-rata penutupan sekitar 40% (Direktorat KKJI, 2015).

Dalam perkembangannya pemanfaatan potensi sumberdaya terumbu karang seringkali melebihi batas daya dukung alam yang ada, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Hal ini diperkuat hasil evaluasi tutupan karang yang menyatakan kondisi terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa semakin buruk setiap tahunnya. Mengingat terumbu karang mempunyai manfaat yang sangat besar bagi biota laut dan manusia tentunya keberadaannya perlu diperhatikan agar dapat dimanfaatkan secara terus menerus (sustainable use). Ketersediaan data dan informasi mengenai potensi sumberdaya alam pesisir yang akurat, up to date dan siap pakai menjadi hal penting dalam upaya pengembangan pulau-pulau kecil (Rio et al., 2016).

1.2. Perumusan Masalah

Kelestarian terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa saat ini semakin terancam dengan aktivitas manusia di sekitarnya, diantaranya adalah aktivitas transportasi kapal tongkang batubara. Setidaknya pada bulan Januari dan Februari tahun 2017, telah terjadi kerusakan cukup besar pada terumbu karang di Karimunjawa akibat dari terdamparnya lima kapal tongkang pengangkut batubara. Aktivitas tongkang-tongkang pembawa batubara tersebut di Karimunjawa terus terjadi hingga saat ini dengan jumlah yang cukup banyak

(8)

3

tiap harinya. Kerusakan terumbu karang yang terjadi ini tentunya menjadi hal yang merugikan bagi ekosistem laut Karimunjawa dikarenakan hilangnya fungsi terumbu karang sebagai habitat biota laut. Dengan demikian, kerusakan terumbu karang tersebut tentunya akan mengganggu keberlangsungan hidup biota laut dan mengurangi keanekaragaman laut Karimunjawa. Perlu dilakukan eksplorasi ekosistem terumbu karang di perairan Kepulauan Karimunjawa. Fungsi utama dari eksplorasi adalah untuk mencari data mengenai status dan menjelaskan perubahan dalam ekosistem terumbu karang di lokasi yang diamati. Informasi ini memiliki kontribusi yang sangat nyata bagi pengelolaan terumbu karang, juga masukan bagi pemerintah dan pemerhati terumbu karang.

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Mengetahui kondisi dan perubahan tutupan karang yang ada di perairan Pulau Bengkoang dan Pulau Gleyang

2. Mengetahui status dan perubahan struktur komuntas ikan karang yang ada di perairan Pulau Bengkoang dan Pulau Gleyang

3. Mengetahui jenis dan prevalensi penyakit karang yang ada di Pulau Bengkoang dan Pulau Gleyang

(9)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan kumpulan individu dari karang. Terumbu karang membutuhkan sinar matahari, serta suhu dan kualitas air yang sesuai. Perubahan salah satu kondisi ini akan mengancam kesehatan terumbu karang dan merusaknya bila kondisi berubah drastis.Terbentuknya terumbu karang merupakan suatu proses yang lama dan kompeks. Proses terbentuknya terumbu karang dimulai dengan penempelan berbagai biota penghasil kapur pada substrat yang keras. Pembentuk utama terumbu karang adalah scleractinian atau karang batu dimana sebagian besar dari karang tersebut hidup bersimbiose dengan algae bersel tunggal yang berada di dalam jaringan endodermnya. Algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis berwarna coklat disebut Zooxanthellae memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesa. Oleh karena itulah karang membutuhkan cahaya matahari untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Suharsono, 2008).

2.2. Bentuk Pertumbuhan Karang

Terumbu Karang adalah hewan karang yang membentuk kerangka kapur hasil penumpukan oleh jutaan koloni polyp. Terdapat sebanyak sekitar 500 spesies karang menyebar di daerah Indo-Pacific, dengan 70 % nya terdapat di Indonesia, yang umumnya berbentuk koloni dan ada beberapa yang hidup soliter (Ihsan, et al., 2013).Variasi bentuk pertumbuhan koloni tersebut meliputi:

(10)

5 a. Bercabang (branching)

Koloni ini tumbuh ke arah vertikal maupun horisontal, dengan arah vertikal lebih dominan. Percabangan dapat memanjang atau melebar, sementara bentuk cabang dapat halus atau tebal. Karang bercabang memiliki tingkat pertumbuhan yang paling cepat, yaitu bisa mencapai 20 cm/tahun. Bentuk koloni seperti ini, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.

b. Padat (massive)

Pertumbuhan koloni lebih dominan ke arah horisontal daripada vertikal. Karang ini memiliki permukaan yang halus dan padat; bentuk yang bervariasi, seperti setengah bola, bongkahan batu, dan lainnya; dengan ukuran yang juga beragam. Dengan pertumbuhan < 1 cm/tahun, koloni tergolong paling lambat tumbuh. Meski demikian, di alam banyak dijumpai karang ini dengan ukuran yang sangat besar. Umumnya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu.

c. Lembaran (foliose/flat)

Pertumbuhan koloni terutama ke arah horisontal, dengan bentuk lembaran yang pipih. Umumnya terdapat di lereng terumbu dan daerah terlindung.

d. Merayap (Encrusting)

Serupa tapi tak sama dengan saudaranya yang berkategori Acropora. Pada karang berjenis encrusting non-acropora ini tetap memiliki bentuk yang

(11)

6

menyerupai kerak yang tumbuh menyebar pada dasar substrat. Namun perbedaannya, karang kategori ini tidak memiliki cabang. Salah satu contoh spesiesnya ialah montipora nodosa (Reinicke, 2001).

e. Meja (tabulate)

Bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang denganbatang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar (Papu, 2010).

2.3. Penyakit Karang

Penyakit karang adalah gangguan terhadap kesehatan karang yang menyebabkan gangguan secara fisiologis bagi biota karang (Raymundo and Harvell, 2008). Munculnya penyakit karang dicirikan dengan adanya perubahan warna, kerusakan dari skeleton biota karang, sampai dengan kehilangan jaringannya. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penurunan kualitas lingkungan perairan sangat berperan terhadap munculnya agent atau mikroorganisme pembawa pathogen terhadap karang. Sebagai contoh kenaikan dari nitrogen terlarut yang diikuti dengan penurunan kecerahan perairan dapat menyebabkan munculnya aspergillosis penyebab penyakit black band disease (Borger et al.,2005). Selain itu sedimentasi, polusi yang ditimbulkan oleh limbah domestik, sampah, sampai dengan air ballast yang masuk ke ekosistem terumbu karang berpotensi munculnya patogen penyebab penyakit karang.

(12)

7 2.4. Jenis Penyakit Karang

Jenis-jenis penyakit karang antara lain: a. Black Band Disease (BBD)

Black band disease ditandai dengan adanya bentuk sabuk pita warna hitam. Pita ini membatasi antara jaringan hidup karang dan karang yang mati. Warna band pada BBD yaitu hitam atau merah kehitaman, tergantung pada kondisi vertikal populasi Cyanobacteria, sedangkan posisi vertikal berdasar pada respon cahaya dari intensitas fotik dari filamen Cyanobacteria dan warna tergantung dari ketebalan. Semakin tebal bandnya maka semakin gelap pula warnanya. Warna hitam pada BBD dihasilkan dari pigmen fotosintesis phycoerythrin pada cyanobacterial (Frias-Lopez et al., 2002).

(13)

8 b. Dark Spots Disease

Dark spots disease dalam jaringan karang masif telah banyak dikenal, tetapi belum banyak yang dipelajari. Penyakit bintik hitam muncul sebagai pigmen gelap, warna coklat atau warna ungu yang menyerang pada karang scleractinian. Jaringan karang yang tertinggal terlihat tetap utuh, walaupun terkadang mengakibatkan kematian jaringan karang dalam pusat bintik (Gil-Agudelo dan Garzon-Ferreira, 2001).

c. Red Band Disease (RBD)

Red Band Disease (RBD) adalah suatu lapisan microbial yang berwarna merah bata atau coklat gelap, dan warna tersebut mudah dilihat pada permukaan jaringan karang. Penyakit ini menginfeksi karang otak (Diploria strigosa, Montastrea annularis, Montastraea cavernosa, Porites astreoides, Siderastrea sp. dan Colpophyllia natans) di Great Barrier Reef. Band nampak seperti gabungan dari cyanobacteria dan jasad renik yang berbeda dibanding dengan biota yang dtemukan pada BBD. Selain itu, pergerakan microbial ini berbeda, yakni tergantung pada induk karang (Richardson, 2000).

d.White Band Disease (WBD)

White band disease (WBD) pertama kali ditemukan pada tahun 1977 di Teluk Tague, St. Croix, Kepulauan Virgin, Amerika dan umumnya terjadi pada jenis karang bercabang. Hilangnya jaringan tersebut, akan mengakibatkan suatu garis pada koloni karang, oleh karena itu penyakit ini disebut white-band disease atau

(14)

9

WBD (Green dan Bruckner, 2009). Berbeda dengan kasus BBD, pada penyakit WBD tidak ditemukan adanya kumpulan jasad renik yang konsisten yang menyebabkan ditemukan pengelupasan pada jaringan dan rangka karang yang kosong.

e. White Plague

Penyakit White plague (WP) terlihat mirip dengan WBD, tetapi WP menyerang pada karang yang berbeda. Karang jenis massive dan encrusting yang diamati terlihat adanya jaringan karang yang hilang, meninggalkan rangka karang yang berwarna putih kosong, wabah ini disebut wabah putih atau WP . WP juga dikenal sebagai "white-band disease", "white death" dan "stress-related necrosis", tetapi peran dari tekanan perubahan lingkungan dan infeksi bakteri pathogen terhadap hilangnya jaringan belum dilakukan penelitian. WP dilaporkan mempengaruhi 10 spesies karang dan efeknya menyebabkan jaringan lunak karang mengalami kematian dengan kisaran sekitar 3 mm/ hari. Pada WP tipe II, menyebabkan kematian pada jaringan lunak karang sampai sekitar 2 cm/hari (Richardson, 2000)

f. White Pox

Penyakit ini ditandai dengan munculnya tambalan (bercak) pada rangka berwarna putih kosong yang berbentuk irregular. Tambalan (bercak) dapat terjadi di permukaan atas atau bagian bawah percabangan. Jaringan karang terlihat mengelupas, namun tidak rata, sedangkan laju penghilangan jaringan karang

(15)

10

terjadi sangat cepat. Jaringan karang pada umumnya ditempeli alga berfilamen dalam beberapa hari. Peristiwa mengelupasnya jaringan karang ini masih belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan disebabkan oleh bakteri pathogen.

g. Yellow Blotch or Yellow Band Disease

Penyakit ini hanya mempengaruhi karang jenis Montastrea dan Colpophyllia natans. YBD pertama kali ditemukan pada tahun 1994 (Green dan Bruckner, 2000) yang diawali dengan danya warna pucat, bintik sirkular pada jaringan translusen atau sebagai band yang sempit pada jaringan karang yang pucat di bagian pinggir koloni. Namun areal di sekitar koloni tersebut masih normal dan pigmen jaringannya baik. Bagian dari jaringan karang yang dipengaruhi oleh penyakit tersebut, akan keluar dari karang dan kemudian karang akan mati. Jaringan karang yang hilang dari pengaruh YBD, rata-rata adalah 5-11 cm/tahun, lebih sedikit dari penyakit karang lainnya. meskipun demikian, penyakit ini dapat menyebar pada koloni karang yang lain dan menyerang koloni karang dewasa dan berukuran besar.

2.5. Prevalensi Penyakit Karang

Prevalensi penyakit karang merupakan persentase koloni yang terserang penyakit sedangkan insiden penyakit karang merupakan kemampuan penyakit dalam menjangkit karang sehat baru yang bisa dihitung per satuan waktu. Prevalensi dapat diketahui dengan menghitung jumlah koloni yang terinfeksi BBD dan jumlah seluruh koloni dikali seratus. Pengamatan prevalensi dilakukan

(16)

11

dengan menghitung jumlah koloni yang terinfeksi BBD dan jumlah seluruh koloni yang terdapat dalam sabuk transek dengan 3 kali ulangan (Raymundo et al., 2008).

2.6. Ikan Karang

Hallacher (2003) mengemukakan bahwa ikan karang adalah kelompok taksa ikan yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan ekosistem terumbu karang. Allen dan Adrim (2003) mengemukakan sebanyak 113 famili ikan merupakan penghuni karang dan sebagian besar dari ordo Perciformes. Sepuluh besar famili utama dari ikan karang tersebut adalah Gobiidae, Labridae, Pomacentridae, Apogonidae, Bleniidae, Serranidae, Murraenidae, Syngnathidae, Chaetodontidae, dan Lutjanidae. Berdasarkan fungsi pemanfaatan dan aspek ekologi, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni ikan target, ikan indikator, dan kelompok lain-lain (major groups). Ikan target adalah kelompok jenis-jenis ikan yang dapat dikonsumsi dan biasanya diburu nelayan. Ikan indikator adalah jenis-jenis ikan yang memiliki kehidupan asosiasi yang kuat sekali dengan habitat karang. Hourigan et al. (1998) menetapkan ikan famili Chaetodontidae sebagai indikator species untuk kesehatan karang. Major group adalah kelompok dari jenis-jenis tidak termasuk kelompok pertama dan kedua, dan pada umumnya belum banyak diketahui peranannya di alam, kecuali sebagai suplai makanan.

(17)

12

II. MATERI DAN METODE

3.1. Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam kegiatan penelitian adalah sebagai berikut. 3.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan pada kegiatan penelitian ini disajikan secara detail pada tabel 1.

Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian.

No. Alat Kegunaan

1. SCUBA (Self Containing

Underwater Breathing Apparatus) Membantu pengambilan sampel 2. ADS (Alat Dasar Selam) Membantu pengambilan sampel 3. Alat tulis bawah air Membantu pencatatan data di bawah

air

4. Underwater camera Mendokumentasi sampel 5. Roll meter Mengukur luasan transek 6. GPS (Global Positioning System) Menentukan titik koordinat

pengambilan sampel

7 Coral Disease Handbook Membantu identifikasi penyakit karang

8. Laptop Membantu pengolahan data

3.1.2. Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan pada kegiatan penelitian ini disajikan secara detail pada tabel 2.

Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian

No Bahan Kegunaan

1. Ekosistem terumbu karang Sampel perhitungan tutupan karang

2. Karang Sehat Sampel perhitungan prevalensi

(18)

13 3. Karang yang teridentifikasi

penyakit

Sampel perhitungan prevalensi penyakit karang dan identifikasi penyakit

4 Ikan Karang Sampel perhitungan struktur

komunitas ikan

5. Air laut Pengukuran kualitas perairan

3.2. Metode Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer terhadap berbagai macam objek yang diteliti. Metode pada penelitian ini disebut juga sebagai penelitian eksploratif yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang keadaan alam yang terdapat pada lokasi penelitian. Tahapan penelitian dimulai dari penentuan stasiun penelitian. Setelah stasiun penelitian ditentukan, pengukuran parameter fisika-kimia perairan dilakukan. Selanjuttnya pemasangan line transect sejajar dengan garis pantai. Dilakukan pengamatan terhadap tutupan karang, penyakit karang, dan ikan karang. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisi. Prosedur penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada skema kerja di bawah ini:

Penentuan Stasiun Pengukuran parameter fisika-kimia perairan Transek Sampling

(19)

14

Gambar 1. Skema Kerja

3.2.1. Penentuan Stasiun

Lokasi penelitian ditentukan dengan melakukan snorkeling terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi secara umum yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan posisi stasiun pengamatan dengan menggunakan GPS. Pengamatan pada tiap pulau dilakukan pada 2 stasiun yang terdiri dari sebelah utara dan selatan pulau. Penentuan stasiun pengamatan di perairan Kepulaun Karimunjawa berdasarkan daerah leeward dan windward di perairan Kepulaun Karimunjawa dimana pada daerah leeward merupakan bagian selatan yang lebih terlindung oleh ombak sehingga arus pada daerah tersebut lebih tenang, sedangkan daerah windward merupakan daerah yang terekspos oleh ombak sehingga memiliki arus yang lebih kencang. Pengambilan dilakukan pada 2 stasiun dimana setiap stasiun terdapat 3 kali pengulangan dengan dipisahkan jarak sejauh 10 meter untuk ulangan ke 2 dan ulangan ke 3 serta dilakukan pada kedalaman 1-5 dan 7-10 meter.

Data Tutupan Karang, Penyakit Karang, dan

Ikan Karang Analisis Data

(20)

15 3.2.2. Pengambilan Data

Pengambilan data meliputi data tutupan karang, penyakit karang, dan ikan karang. Metode yang digunakan untuk pengambilan data pada tiap variable adalah:

3.2.2.1.Tutupan Karang

Metode yang digunakan adalah metode Line Intercept Transect atau transek garis menyinggung. Metode penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu penelitian dengan mengumpulkan data secara langsung terhadap variabel-variabel yang menjadi objek penelitian. Teknik pengambilan data dengan metode Line Intercept Transect dengan seorang penyelam membentangkan meteran roll sepanjang 100 m, kemudian dilakukan pengukuran penutupan karang dan komponen bentik lainnya yang ada pada sepanjang garis transek (Seto, 2014).

3.2.2.2.Penyakit Karang

Pengambilan data prevalensi penyakit karang menggunakan belt transek.Pengamatan data penyakit karang ini menggunakan sabuk transek (belt transek). dengan memodifikasi plot ukuran 2 x 10 meter sebanyak 3 ulangan (Beeden et al., 2008). Metode pengambilan data ini dilakukan pada panjang 0-10 meter, 30-40 meter, dan 60-70 meter dengan 3 kali ulangan.

(21)

16

Gambar 2. Metode Sabuk Transek (Belt Transek) 3.2.2.3.Ikan Karang

Metode yang digunakan adalah metode visual sensus. Metode sensus visual di bawah air merupakan metode yang paling efektif untuk memantau ikan-ikan terumbu karang, khususnya di lokasi yang jauh/terpencil (Choat dan Pears, 2003). Populasi ikan terumbu karang disurvei dengan mengggunakan metode sensus visual di bawah air seperti yang dijelaskan oleh English et al.(1997).

Cara kerja dengan menggunakan metode ini adalah :

1. Sebelum melakukan penyelaman, lengkapi informasi pada data sheet pengamatan ikan karang: no transek, lokasi, tanggal, waktu, kolektor, koordinat, kedalaman, pasut (pasang-surut), cuaca (cerah, mendung, hujan) dan diskripsi lokasi.

2. Lakukan penyelaman untuk membentangkan pita rol meter di area terumbu karang dengan pola bentangan yang sejajar dengan garis pantai, dimana posisi pulau berada di sebelah kiri pita meteran terhitung dari titik nol meter. Pita rol meter yang dibentang sepanjang 70 m. Kedalaman penempatan pita meter antara 7

(22)

17

sampai 10 m atau menyesuaikan dengan disain lokasi transek yang ditetapkan dalam tujuan penelitian dan harus pada kedalaman yang konstan. Setelah garis transek terpasang, penyelaman sensus perlu menunggu sekitar 5 - 15 menit agar ikan yang pergi menghindar kembali ke tempatnya semula.

3. Catat setiap jenis dan kelimpahan ikan karang (ikan corallivor, herbivor dan target) yang dijumpai sepanjang garis transek 70 m dengan batas kanan dan kiri masingmasing berjarak 2,5 m sehingga area pengamatan mencakup luasan 350 m2. Ikan yang berada di luar area transek tidak perlu dicatat.

4. Catat estimasi panjang total ikan herbivor dan target berikut jumlah individu ikan dalam rentang panjang (misalnya ikan dengan panjang 20 cm ada 6 individu). Untuk ikan corallivor ukuran tidak diperlukan tetapi hanya jumlah individunya saja yang dicatat menurut jenisnya masing-masing.

5. Ambil foto dan video ikan bawah air untuk ikan yang sulit diidentifi kasi secara langsung.

6. Reidentifi kasi ikan jenis tertentu melaui foto/video menggunakan buku literature (Suharsono dan Sumadhiharga, 2014).

3.2.3. Parameter Fisika Kimia Air

Penelitian ini juga dilakukan pengukuran parameter fisika kimia air laut. Parameter fisika yang diukur adalah kecepatan arus, kecerahan, dan temperature. Parameter kimia yang diukur adalah pH dan salinitas.

(23)

18 a. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan Secchi disk (Effendi, 2000). Keping secchi disk dimasukkan ke dalam badan air sampai keeping secchi disk tidak terlihat lagi, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air.

b. Temperatur

Suhu diukur dengan satuan derajat. Satu derajat celcius (1oC) sama dengan

1,8 derajat Fahrenheit ( o F). Suhu perairan dapat diukur menggunakan alat

pengukur suhu yang biasa disebut termometer. Suhu diukur dengan mencelupkan sebagian badan thermometer air raksa ke dalam air laut kemudian dibaca skalanya.

c. Kecepatan arus

Kecepatan arus diukur menggunakan current mter dengan cara mencelupkan baling-baling ke dalam air laut sesuai dengan titik lokasi pengamatan kemudian diamati hasil yang tertera.

d. pH

Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter dimasukkan ke dalam air sampel lalu didiamkan selama satu menit, kemudian diamati dan dicatat hasilnya. e. Salinitas

Pengukuran salinitas perairan dilakukan dengan menggunakan handrefraktometer. Sampel air diambil dengan menggunakan pipet tetes dan

(24)

19

diteteskan pada permukaan dasar yang telah dibersihkan, ditutup dan dibaca skala penunjuk angka.

3.3. Waktu dan Tempat

Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 28 Juli - 02 Agustus 2019, berlokasi di perairan Kepulauan Karimunjawa antara lain Pulau Bengkoang dan Pulau Gleyang. Dimulai pada pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB.

3.4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif. Analisis deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif yang

(25)

20

melihat berupa ada atau tidak adanya sesuatu yang dideteksi dan analisis deskriptif kuantitatif yang berupa jumlah analit dan nilai yang muncul dalam suatu penelitian.

3.5. Perhitungan Data a. Penutupan Karang

Persentase tutupan karang hidup dapat dihitung dengan rumus berikut: L = 𝐿𝑖𝑁 x 100

Keterangan :

L = Persentase tutupan karang (%) Li = Panjang kategori Lifeform ke-i N = Panjang transek

Kisaran untuk penilaian ekosistem terumbu karang menurut KepmenLH (2001) dengan berdasarkan kisaran tingkat persentase karang hidup yaitu sebagai berikut: Tabel 3. Kriteria penilaian penutupan karang

Persentase Tutupan Kriteria Penilaian

0 - 24,9% Rendah

25 - 49,9% Sedang

50 – 74,9% Baik

75 – 100% Baik sekali

a. Prevalensi Penyakit Karang

Prevalensi dapat dihitung sebagai berikut (Raymundo et al., 2008) Prevalensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑒𝑟𝑖𝑛𝑓𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 x 100%

b. Struktur Komunitas Ikan Karang 1. Indeks Keanekeragaman

(26)

21

Perhitungan indeks keanekaragaman ikan karang menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai berikut:

𝐻′ = − ∑[𝑝ᵢ ln 𝑝ᵢ]

𝑠

𝑖=1

Keterangan:

H' : indeks keanekaragaman Shannon Wiener s : jumlah spesies ikan karang

pi : perbandingan jumlah ikan karang spesies ke-i (n,) terhadap jumlah total ikan karang (N) : n/N

2. Indeks Keseragaman

Perhitungan indeks keseragaman ikan karang dengan persamaan sebagai berikut:

𝐸 = 𝐻′ 𝐻𝑚𝑎𝑘𝑠 Keterangan:

E’ : Indeks Keseragaman

H’ : indeks keanekaragaman Shannon Wiener Hmaks : lnS

S : jumlah spesies dalam sampel 3. Dominansi

Perhitungan dominansi suatu jenis digunakan indeks dominansi Simpson (Odum, 1971) sebagai berikut:

(27)

22 𝐶 = ∑(𝑝𝑖2)

𝑠

𝑖=1

Keterangan:

C : indeks dominansi Shannon-Wiener s : jumlah spesies ikan karang

pi : perbandingan jumlah ikan karang spesies ke-i (n,) terhadap jumlah total ikan karang (N) : n/N

4. Kelimpahan

Perhitungan dominansi suatu jenis digunakan indeks dominansi Simpson (Odum, 1993) sebagai berikut

𝐴 =𝑋𝑖 𝑛𝑖 Keterangan :

A : Kelimpahan Indvidu

Xi : Jumlah Individu dari spesies ke-i

(28)

23

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Tutupan Karang

3.1.1 Grafik Tutupan Karang Pada Kedalaman 1-5 meter

Hasil perhitungan presentase tutupan karang di kedua Pulau pada kedalaman 1-5 meter memiliki nilai tutupan karang yang bervariasi. Untuk nilai presentase tutupan karang tertinggi berada pada stasiun selatan Pulau Bengkoang dengan nilai presentase sebesar 57,67%. Sedangkan, untuk nilai presentase tutupan karang terendah berada pada stasiun barat Pulau Gleyang dengan nilai presentase sebesar 10%. Rata-rata nilai presentase tutupan karang pada Pulau Bengkoang adalah sebesar 50,35% dengan nilai presentase tersebut, dapat dikategorikan termasuk kategori baik dan untuk Pulau Gleyang nilai presentase sebesar 19,65% dengan nilai presentase tersebut, dapat dikatergorikan termasuk kategori rusak.

0% 20% 40% 60% 80% Barat Selatan Persentase Tutupan Terumbu Karang Pulau

Bengkoang Stasiun 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% Selatan Barat Persentase Tutupan Terumbu Karang Pulau

Gleyang

(29)

24

3.1.2 Grafik Tutupan Karang Pada Kedalaman 10-20 m

Hasil perhitungan presentase tutupan karang di kedua Pulau pada kedalaman 10-20 meter memiliki nilai tutupan karang yang bervariasi. Untuk nilai presentase tutupan karang tertinggi berada pada stasiun utara Pulau Gleyang dengan nilai presentase sebesar 82,67%. Sedangkan, untuk nilai presentase tutupan karang terendah berada pada stasiun barat Pulau Bengkoang dengan nilai presentase sebesar 46,50%. Rata-rata nilai presentase tutupan karang pada Pulau Bengkoang adalah sebesar 58,90% dengan nilai presentase tersebut, dapat dikategorikan termasuk kategori baik dan untuk Pulau Gleyang nilai presentase sebesar 69,78% dengan nilai presentase tersebut, dapat dikatergorikan termasuk kategori baik. Pada hasil kedua pulau tersebut dapat disimpulkan bahwa presentase tutupan karangnya termasuk pada kategori yang baik.

3.2 Ikan Karang

1. Struktur Komunitas Ikan Karang pada Kedalaman 1-5 meter - Grafik Indeks Keanekaragaman (H’)

0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% Barat Selatan Persentase Tutupan Terumbu Karang Pulau

Bengkoang Stasiun 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00%

Utara Barat Selatan

Persentase Tutupan Terumbu Karang Pulau

Gleyang

(30)

25

Hasil yang didapat selama penelitian menunjukkan indeks keanekaragaman berada pada kondisi sedang. Berkisar antara 0.05 – 2,18 dengan nilai rata-rata 1,29 yaitu keanekaragaman sedang. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi berada pada stasiun selatan Pulau Bengkoang, dan nilai terendah pada stasiun selatan Pulau Gleyang. Nilai indeks keanekaragaman rendah menandakan bahwa ekosistem mengalami tekanan atau kondisinya menurun. Hartati dan Edrus (2005), melaporkan bahwa indeks keanekaragaman (H’) ikan karang yang kurang dari nilai 3 menunjukkan bahwa habitat ikan karang mengalami gangguan, yang berakibat pada penurunan keanekaragaman ikan karang di lokasi tersebut. Pada kondisi terumbu karang yang sehat biasanya indeks H’ lebih dari nilai 3.

2.18 1.88 0.05 1.06 0 0.5 1 1.5 2 2.5 St. Selatan Pulau Bengkoang St. Barat Pulau Bengkoang St. Selatan Pulau Gleyang St. Utara Pulau Gleyang Indeks Keanekaragaman (H’)

(31)

26 - Grafik Indeks Keseragaman (E’)

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa Indeks keseragaman tertinggi berada pada stasiun utara Pulau Gleyang yaitu 0,96 kategori komunitas stabil, dan terendah berada pada stasiun selatan Pulau Gleyang yaitu 0,02 dengan rata-rata sebesar 0.69 . Kisaran nilai indeks keseragaman di kedua pulau tersebut termasuk ke dalam kategori komunitas labil hingga stabil. Ditemukan bila ada keseragaman yang menunjukkan komunitas kondisi tertekan yaitu pada stasiun selatan Pulau Gleyang. Hal ini menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan belum merata pada setiap stasiunnya karena terdapat spesies yang lebih dominan. Odum (1993) menyatakan bahwa makin besar nilai Keseragaman menunjukkan keragaman spesies yang tinggi. Nilai indeks keseragaman (E’) menunjukkan kestabilan sebuah komunitas. Nilai E yang semakin mendekati 1 menunjukkan komunitas semakin stabil dan jika mendekati 0, maka komunitas semakin tertekan (Latuconsina et al., 2012). 0.91 0.86 0.02 0.96 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 St. Selatan Pulau Bengkoang St. Barat Puau Bengkoang St. Selatan Pulau Gleyang St. Utara Pulau Gleyang

(32)

27 - Grafik Indeks Dominasi ( C )

Nilai indeks dominansi dari hasil pengolahan data berkisar 0,13 - 0,36 dengan nilai rata-rata tiap stasiun 0,20. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman berbanding terbalik dengan nilai indeks dominansi dimana nilai rata-rata indeks keanekaragaman adalah 1,29 dan nilai rata-rata indeks dominansi adalah 0,20. Menurut Odum (1993) jika nilai indeks dominansi dibawah 0,5 menunjukkan dominansi yang rendah, sehingga bisa simpulkan bahwa dominansi ikan karang yang berada di perairan Pulau Bengkoang dan Pulau Gleyang termasuk dalam kategori rendah. Hal ini menandakan bahwa kelimpahan ikan tidak di dominasi oleh beberapa spesies sehingga sulit untuk diamati karena ikan tersebar secara merata.

0.13 0.18 0.13 0.36 0 0.1 0.2 0.3 0.4 St. Selatan Pulau Bengkoang St. Barat Pulau Bengkoang St. Selatan Pulau Gleyang St. Utara Pulau Gleyang

Indeks Dominasi ( C )

(33)

28

2. Struktur Komunitas Ikan Karang pada Kedalaman 10-20 meter - Grafik Indeks Keanekaragaman (H’)

Hasil pengolahan data indeks keanekaragaman (H’) pada kedalaman 10-15 meter menunjukkan indeks keanekaragaman kondisi sedang. Berkisar antara 2,05 – 2,58 dengan nilai rata-rata 2,26 yaitu keanekaragaman sedang. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi berada pada stasiun utara Pulau Gleyang, dan nilai terendah pada stasiun selatan Pulau Gleyang. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman ikan karang pada kedalaman 10-15 meter lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman 1-5 meter.

- Grafik Indeks Keseragaman (E’)

2.35 2.13 2.58 2.18 2.05 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 St. Utara Pulau Bengkoang St. Barat Pulau Bengkoang St. Utara Pulau Gleyang St. Barat Pulau Gleyang St. Selatan Pulau Gleyang

Indeks Keanekaragaman (H’)

0.72 0.66 0.78 0.77 0.71 0.6 0.65 0.7 0.75 0.8 St. Utara Pulau Bengkoang St. Barat Pulau Bengkoang St. Utara Pulau Gleyang St. Barat Pulau Gleyang St. Selatan Pulau Gleyang

Indeks Keseragaman (E’)

(34)

29

Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks keseragaman ikan karang pada kedalaman 10-15 meter pada tiap stasiun pengamatan berada pada keseragaman populasi tinggi yaitu berkisar 0,66 – 0,78. Keseragaman tertinggi berada pada stasiun utara Pulau Gleyang dan yang terendah adalah stasiun barat Pulau Bengkoang dengan rata-rata tiap pulau 0.73. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keseragaman stabil karena, nilainya mendekati angka 1. Keseragaman yang tinggi pada masing-masing stasiun menandakan kesamaan jumlah individu antar spesies tinggi, jadi tiap spesies mempunyai kesamaan jumlah yang tinggi.

- Grafik Indeks Dominasi ( C )

Indeks dominansi (C) digunakan untuk melihat tingkat dominansi kelompok biota tertentu. Nilai indeks dominansi dari hasil pengolahan data berkisar dari 0,14 – 0,21. Hasil nilai indeks dominansi yang didapat menunjukkan dominansi rendah. hal ini menunjukkan hasil yang berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman. Dominansi yang rendah ini menunjukkan bahwa perairan masih mampu mendukung kehidupan ikan karang sehingga tidak terjadi persaingan yang menyebabkan spesies tertentu saja yang dominan (Muqsit Iet al., 2018).

0.17 0.21 0.14 0.15 0.17 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 St. Utara Pulau Bengkoang St. Barat Pulau Bengkoang St. Utara Pulau Gleyang St. Barat Pulau Gleyang St. Selatan Pulau Gleyang

Indeks Dominasi ( C )

(35)

30

Menurut Odum (1971), bahwa apabila nilai indeks dominansi mendekati 0 berarti tidak ada jenis yang dominan.

3.3 Penyakit Karang

1. Prevalensi Penyakit Karang

Hasil dari analisis prevalensi penyakit karang pada kedalaman 1-5 meter diperoleh hasil rata-rata yaitu 65,14% dengan prevalensi penyakit karang pada kedalaman 1-5 meter tertinggi berada di Pulau Bengkoang titik selatan yaitu 87,27%. Sedangkan, prevalensi penyakit karang pada kedalaman 1-5 meter terendah berada di Pulau Gleyang Selatan yaitu 42,11%.

85.71% 87.27% 45.45% 42.11% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00%

Prevalensi Penyakit Karang Pada

Kedalaman 1-5 meter

(36)

31

Hasil dari analisis prevalensi penyakit karang pada kedalaman 10-20 meter diperoleh hasil rata-rata yaitu 37,39% dengan prevalensi penyakit karang pada kedalaman 10-20 meter tertinggi berada di Pulau Bengkoang titik barat yaitu 57,45%. Sedangkan, prevalensi penyakit karang pada kedalaman 10-20 meter terendah berada di Pulau Bengkoang Selatan yaitu 18,84%. Wobeser (1981) dalam Hazrul (2016) menyatakan penyakit adalah setiap gangguan yang mengganggu kinerja fungsi normal suatu organism termasuk respon terhadap factor lingkungan seperti nutrisi, toxicant, iklim, agen penular, cacat bawaan, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Kondisi karang yang masih sehat didukung dengan persentase tutupan karang hidup di lokasi penelitian rata-rata sebesar 73% (data tidak dipublikasikan). Berdasarkan pengamatan di lapangan, karang yang terinfeksi berupa karang Acropora Digitata, karang Massive, dan Submassive. Ketiga jenis bentuk pertumbuhan ini memang sangat mendominasi. Selain faktor

57.45% 18.84% 28.87% 40% 41.82% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00%

Prevalensi Penyakit Karang

Kedalaman 10-20 meter

(37)

32

agent atau pembawa penyakit karang, faktor lingkungan juga sangat berperan dalam terjangkitnya penyakit oleh biota karang. Lingkungan perairan yang kurang sehat dalam hal ini adanya polusi, sedimentasi, pengkayaan nutrient oleh Nitrat dan phospat, serta air buangan kapal dapat mengakibatkan kehadiran mikroorganisme patogen di perairan (Hazrul,2016).

2. Jenis Penyakit Karang - Pada Kedalaman 1-5 meter

0 2 4 6 8 10 12 14 barat pulau bengkoang selatan pulau bengkoang utara pulau geleang selatan pulau geleang WPA WBD UWS SEB WP BBD W. SYNDROME GARIS UNGU FB

(38)

33 - Pada Kedalaman 10-20 meter

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan penyakit karang yang ditemukan berjumlah 10 jenis penyakit, antara lain Purple spot, Tumor, White Band Disease, White Plague, Fish Bite, Skeletal Eroding, Yellow Band Diesase, Ulcerativ White Spot, Black Band Disease, White Syndrome.

Pada barat Pulau Bengkoang, stasiun 1-5 meter mendapatkan 7 jenis penyakit yaitu WBD, UWS, BBD, WPA, SEB, WP, danW. Syndrome, dengan jenis penyakit yang mendominasi yaitu SEB, pada stasiun 10-20 meter ditemukan 5 jenis penyakit yaitu WP, WBD, FB, BlBD, dan GAN, dengan didominasi penyakit FB.

Pada selatan Pulau Bengkoang, stasiun 1-5 meter mendapatkan 9 jenis penyakit yaitu WPA, WBD, UWS, SEB, WP, BBD, W.

SYNDROME, GARIS UNGU, FB, dengan jenis penyakit yang mendominasi yaitu SEB, pada stasiun 9-20 meter ditemukan 5 jenis

0 5 10 15 20 25 barat pulau bengkoang selatan pulau bengkoang utara pulau geleang selatan pulau geleang barat pulau geleang WP UWS WHITE SYNDROME DSD WBD YBD WPA BBD SEB FB

(39)

34

penyakit yaitu WP, WPA, SEB, PURPLE, dan GAN, dengan didominasi penyakit PURPLE.

Pada utara Pulau Gleyang, stasiun 1-5 meter mendapatkan 2 jenis penyakit yaitu WBD dan W. SYNDROME dengan jenis penyakit yang mendominasi yaitu WBD, pada stasiun 10-20 meter ditemukan 11 jenis penyakit yaitu WP , UWS, WHITE SYNDROME, DSD, WBD, YBD, WPA, BBD, FB, BlBD, GAN, dengan didominasi penyakit UWS.

Pada selatan Pulau Gleyang, stasiun 1-5 meter mendapatkan 3 jenis penyakit yaitu WBD UWS, dan FB dengan jenis penyakit yang mendominasi yaitu WBD, pada stasiun 10-20 meter ditemukan 9 jenispenyakityaitu WP , , WHITE SYNDROME, DSD, WBD, YBD,

WPA,BBD, SEB, dan GAN, dengan didominasi penyakit White Syindrome dan BBD dengan nilai yang sama.

Pada barat Pulau Gleyang, stasiun diving ditemukan 8 jenis penyakit yaitu WP , WHITE SYNDROME, DSD, WBD, WPA, BBD, SEB dan Purple, dengan didominasi penyakit WBD dan WPA dengan nilai yang sama

- Menurut Lalamentik (2013), permasalahan perusakan karang disebabkan oleh beberapa masalah seperti bom ikan, racun, jala, predator kerusakan terumbu dan dapat menjelaskan bagaimana tutupan karang didominasi oleh rubble. Bentuk patahan karang (rubble) yang tersebar umumnya berasal dari karang acropora mati. Kerusakan juga sangat dipengaruhi oleh

(40)

35

adanya aktivitas manusia di sekitar, seperti pelepasan jangkar oleh kapal nelayan akan memberikan dampak yang buruk bagi pertumbuhan karang tersebut. Jangkar kapal dapat mengakibatkan patahnya cabang-cabang karang yang member sumbangan rubble. Sesuai dengan pendapat Tulungen dkk.(2002) menyatakan peningkatan kegiatan manusia sepanjang garis pantai semakin memperparah kondisi terumbu karang. Menurut Dahuri dkk. (2001), bahwa rendahnya persentase karang hidup disebabkan dari berbagai kegiatan manusia dalam menangkap ikan dengan menggunakan bahan kimia ataupun bom dan akibat terkena jangkar perahu.

Kerusakan karang dapat terjadi akibat faktor alam dan antropogenik meliputi pemutihan (bleaching), pertumbuhan alga, limpahan sedimen dan gangguan kesehatan sehingga member dampak buruk bagi pertumbuhan karang. Ekosistem terumbu karang ini merupakan ekosistem yang mengalami stress tertinggi akibat beberapa ancaman yang meliputi pemutihan, overfishing, penangkapan ikan dengan alat yang tidak ramah lingkungan, sedimentasi, dan kerusakan langsung akibat pembangunan di wilayah pesisir (Aldyza, 2015)

(41)

36

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan data di atas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Kondisi presentase tutupan karang di Pulau Bengkoang pada kedalaman 1-5 meter dan kedalaman 10-20 meter termasuk kategori baik. Sedangkan, kondisi presentase tutupan karang di Pulau Gleyang pada kedalaman 1-5 meter termasuk kategori rusak dan kedalaman 10-20 meter termasuk kategori adalah baik.

2. Status ikan karang di Pulau Bengkoang pada kedalaman 1-5 meter yaitu memiliki keanekaragaman sedang, keseragamnnya stabil, dan tidak ada spesies yang mendominasi, sedangkan pada kedalaman 10-20 meter yaitu yaitu keanekaragaman dan keseragamnnya sedang serta tidak ada spesies yang mendominasi. Kondisi ikan karang di Pulau Gleyang pada kedalaman 1-5 meter yaitu keanekaragamannya tidak stabil, ada spesies yang tertekan, dan ada spesies yang mendominasi, sedangkan pada kedalaman 10-20 meter memiliki keanekaragaman dan keseragaman yang stabil namun, ada spesies yang mendominasi.

3. Prevalensi penyakit karang yaitu pada Pulau Bengkoang kedalaman 1-5 meter rata-rata presentase prevalensi mencapai > 85% sedangkan pada kedalaman 10-20 meter rata-rata presentase penyakitnya sebesar >30%. Sedangkan, di Pulau Gleyang kedalaman 1-5 meter rata-rata presentase prevalensi mencapai > 40% sedangkan pada kedalaman 10-20 meter rata-rata presentase penyakitnya sebesar >45%.

4.2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan penulis yaitu untuk penelitian mengenai presentase tutupan karang, ikan karang, dan presentase penyakit karang dapat dilakukan secara maksimal yaitu mencakup 4 arah mata angin supaya, data penelitian semakin lengkap dan valid.

(42)
(43)

38

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arif Priyono Susilo. 2013. Studi Perancangan Identitas Visual Wilayah Karimunjawa (Bagian 1). Jurnal Humaniora. 4 (1) : 567-579

Allen, G. R. & M. Adrim. 2003. Review article; Coral reef fishes of Indonesia. Zool. Stud. 42 (1) : 1-72.

Beeden, R., L.W. Bette, J.R. Laurie,A.P. Cathie, & W. Ernesto.2008. Underwater cards forassessing coral health onIndo-Pacific Reefs. CRTR,Melbourne Australia. 26 pp Borger, J.L., and Steiner, S.C.C. 2005. The Spatial Temporal Dynamik of Coral

Diseases in Dominica, Eest Indies. Bulletin of Marine Science. 77(1):137-154. Choat, H., Pears, R. 2003. A rapid, quantitative survey method for large, vulnerable reef

fishes. In: Wilkinson, C., Green, A., Almany, J., and Dionne, S. Monitoring coral reef marine protected areas. A practical guide on how monitoring can support effective management of MPAs. Australian Institute of Marine Science and the IUCN Marine Program Publication. 68pp.

Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. 2015. Profil Kawasan Konservasi Provinsi Jawa Tengah. Jakarta Pusat : Kementerian Kelautan Dan Perikanan.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey manual for tropical marine resources. Townsville : Australian Institute of Marine Science.

Erdmann MV. 1996. Destructive fishing practices in the Pulau Seribu Archipelago . Report on the coral reef management workshop for Pulau Seribu. No.10

(44)

39

Frias-Lopez, J., A. L. Zerkle, G.T. Bonheyo, and B. W. Fouke. 2002. Partitioning of bacterial communities between seawater and healthy, black band diseased, and dead coral surfaces. Appl.Environ. Microbiol. 68 : 2214-2228.

Gil-Agudelo, D.L. and J. Garzon-Ferreira 2001. Spatial and seasonal variation of dark spots disease in coral communities of the Santa Marta area (Columbian Caribbean). Bull Mar Sci. 69 : 619-630.

Green E and Bruckner AW. 2000. The Significant of Corals Disease Epizoothyology for Coral Reef conservation. Biologycal Conservation. 96 : 347-361.

Hallacher, L. E. 2003. The Ecology of Coral Reef Fishes.

http://www.kmec.uhh.hawaii.edu/QuestInfo/Cor-al20Reef20Fishes20-20May202003.pdf. Di akses 11 Juli 2019.

Hourigan, T. F., Tymothy, C. Tricas, & E. S. Reese. 1988. Coral reef fishes as indicators of environmental stress in coral reefs. In : Dorothty F. S. & G. S. Kleppel (Eds.). Springer-Verlag New York Inc., New York. Pp. 107-135.

KEPMENLH. 2001. Peraturan Perundang-undangan Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Negara No. 4 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.

Papu, A. 2010. Kondisi Tutupan Karang Pulau Kapoposang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan. Manado : Program Studi FMIPA Universitas Sam Ratulangi.

(45)

40

Raymundo, L.J., Couch, C.S., and Harvell, C.D. 2008. Coral Disease Handbook:Guidelines for Assessment, Monitoring & Management, Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program. The University of Queensland. Australia.

Richardson LL, Aronson RB. 2000. Infectious diseases of reef corals. Proceedings 9th International Coral Reef Symposiu. Bali. Indonesia. 26 pp.

Rio Januardi., Agus Hartoko., Dan Pujiono Wahyu Purnomo. 2016. Analisis Habitat Dan Perubahan Luasan Terumbu Karang Di Pulau Menjangan Besar, Kepulauan Karimunjawa Menggunakan Citra Satelit : Analysis Of Habitat And Land Area Conversion On Coral Reefin Menjangan Besar, Karimunjawa Islands Used Satellite Maps Imagery. Diponegoro Journal Of Maquares. 5 (4) : 302-310.

Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Jakarta : LIPI Press.

Suharsono dan Sumardhiharga, O.K. 2014. Panduan Kesehatan Monitoring Kesehatan Terumbu Karang. Critc Coremap Cti Lipi. Jakarta.

Gambar

Gambar 2. Metode Sabuk Transek (Belt Transek)  3.2.2.3.Ikan Karang
Tabel 3. Kriteria penilaian penutupan karang

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan Schroder Dana Mantap Plus II yang telah dipenuhi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus diterima secara

Bagi Perusahaan yang belum puas atas hasil penilaian panitia, kiranya dapat mengajukan sanggahan selama 5 ( lima ) hari kerja terhitung sejak tanggal pengumuman,

BERDASARKAN PERATURAN OJK YANG BERLAKU, SURAT KONFIRMASI PELAKSANAAN TRANSAKSI PEMBELIAN, PENGALIHAN DAN PENJUALAN KEMBALI UNIT PENYERTAAN REKSA DANA ADALAH BUKTI KEPEMILIKAN YANG

Bank Kustodian akan menerbitkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan antara lain jumlah Unit Penyertaan yang dijual kembali dan dimiliki serta Nilai Aktiva

PT Schroder Investment Management Indonesia (PT SIMI) dan bank telah memperoleh izin sebagai Manajer Investasi dan Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD) dari Otoritas Jasa Keuangan

Kepada pihak-pihak yang berkeberatan atas hasil keputusan tersebut diberikan kesempatan memberikan sanggahan selama 5 (lima) hari kerja terhitung mulai tanggal 7 Juni

included the recognition of community knowledge of bank vulnerability and stabilization, formal technical assessment of Malaleuca cajuputi poles for bank stabilization and

Penelitian ini hanya sampai melihat tentang analisis framing atau pembingkaian yang dilakukan oleh kedua media yang berbeda. Pada kasus ini masih banyak yang dapat