• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dikenal dengan Sumatera Timur tanah kekuasaan raja-raja Melayu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. saat itu dikenal dengan Sumatera Timur tanah kekuasaan raja-raja Melayu."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang

Sumatera Utara memiliki catatan sejarah yang besar, salah satunya yakni datangnya orang Jawa di Sumatera pada masa kolonial Belanda. Sumatera Utara saat itu dikenal dengan Sumatera Timur tanah kekuasaan raja-raja Melayu. Daerah yang merupakan bagian Sumatera Timur yakni: tanah Deli (kawasan Medan), Langkat, Deli Serdang, Batubara, Asahan, sampai Labuhan Batu. Sumatera Timur dikenal dengan daerah perkebunan tembakau dan karet, pembukaan onderafdeling (perkebunan besar) tahun 1890-1920 oleh Belanda mengawali datangnya pekerja kuli kontrak murah dari pulau Jawa di tanah Sumatera. Gelombang kedatangan kuli dari Jawa terus berlangsung dan semakin banyak didatangkan, dan di Sumatera mereka disebar di beberapa daerah yang menjadi konsentrasi perkebunan kekuasaan Belanda. Salah satu daerah di Sumatera yang menjadi kawasan perkebunan adalah Asahan, pada tanggal 22 September tahun 1865 kesultanan Asahan berhasil dikuasai Belanda, sejak saat itu kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda sampai pada dibukanya kawasan perkebunan di tanah Asahan.

Pekerja kuli Jawa bekerja sebagai buruh kasar perkebunan, cerita-cerita menyedihkan tentang kehidupan mereka bekerja di perkebunan sudah menjadi hal yang biasa didengar termasuk ketika penjajahan Jepang, kondisi para pekerja buruh tidak jauh berbeda bahkan semakin sengsara dengan adanya sistem kerja

(2)

perkebunan untuk kembali ke Jawa, tetapi ada juga yang akhirnya tertangkap oleh polisi kebun dan mendapat siksaan. Bagi mereka yang takut untuk melarikan diri memilih untuk bertahan dengan mematuhi sistem kerja yang diberlakukan baik oleh pemerintah kolonial maupun pada masa pemerintahan Jepang. Nasib pekerja kuli dari Jawa ini tidak mengalami perubahan diperantauaan.

Rasa ikatan senasib dan sepenanggungan antara para pekeraja kuli dari Jawa ini menimbulkan hubungan persaudaraan diantara mereka untuk sama-sama bertahan dan bahu membahu hidup diperantauan. Dulur tunggal sekapal merupakan istilah bagi hubungan persaudaraan yang dibangun atas dasar persamaan nasib para buruh kontrak Jawa di Asahan. Pekerja kuli dari Jawa ini datang ke Sumatera juga membawa serta kebudayaan yang dimilikinya sebagai bentuk identitas diri mereka sebagai orang Jawa yang berasal dari tanah Jawa. Kebudayaan yang sering di pertunjukan adalah kesenian seperti tarian. Ludruk, Jarana, nembang dan sebagainya, kebudayaan serupa kesenian ini dimaksudkan untuk mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman serta menghibur diri selama diperantauan. Demikian juga halnya dengan adat istiadat yang mereka miliki senantiasa untuk bisa diterapkan dalam kehidupan mereka diperantauan. Untuk mengeksistensikan kebudayaan yang dibawah ini cara adaptasi dengan penduduk lokal2

Saat ini kebudayaan Jawa dan Orang Jawa di Asahan menjadi bukti dari sejarah tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Asahan Asahan merupakan strategi utama agar kebudayaan Jawa yang mereka miliki dapat diterima.

2

Penduduk lokal Asahan pada masa kesultanan Abdul Jalil tahun 1630 hingga pada saat kekuasaan pemerintahan Asahan dipegang oleh Belanda adalah suku bangsa Melayu dan sebagian di wilayah Bandar Pasir Mandoge yang berbatasan dengan Pematang Siantar adalah suku bangsa Batak.(http://melayuonline.com/ind/history/dig/327/kerajaan-asahan)

(3)

tahun 2010, tercatat bahwa jumlah penduduk suku Jawa di Asahan kini mencapai 59,41 %, suku Batak 29,40 %, suku Melayu 5,19 % sedangkan sisanya 6,00 % adalah suku Minang, Banjar, Aceh dan lainnya. Mereka yang suku Jawa sebagian besar banyak tinggal di desa-desa, perkebunan dan pinggiran kota dan sebagian kecil lainnya tinggal di kota. Matapencaharian mereka pun beragam mulai dari petani, karyawan perkebunan, buruh pabrik, pedagang, pekerja rumahtangga, pegawai pemerintah, pegawai swasta dan sebagainya. Mereka yang bersuku Jawa ini tidak ingin disebut sebagai generasi kuli, penyebutan tersebut dianggap “menyakitkan” dan melukai perasaan mereka, meskipun ada yang sebagian memang berasal dari generasi pekerja kuli namun mereka lebih senang bila disebut sebagai Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera).

Kehidupan masyarakat Jawa di Asahan juga tidak dapat dilepaskan dari serangkaian kegiatan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup, mulai dari dalam kandungan sampai kematian. Upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup ini masih banyak dilakukan masyarakat Jawa yang tinggal di perkebunan dan di desa-desa, seperti salah satunya Desa Rawang di Kecamatan Rawang Panca Arga, kehidupan sebagian besar penduduknya yang berprofesi sebagai petani sangat berpengaruh besar terhadap masih dilestarikannya seremonial-seremonial yang berkaitan dengan siklus daur hidup tersebut. Intensitas menggelar kegiatan seperti hajatan dan slametan tidak jarang ditemukan di pedesaan.

Acara hajatan dan slametan yang dilangsungkan biasanya mulai dari lingkup kecil-kecilan yang hanya melibatkan kerabat dan tetangga dekat sampai yang berukuran besar yang melibatkan hampir seluruh warga desa, handai taulan,

(4)

dan kerabat jauh. Dalam batas-batas kemampuan ekonominya, warga Desa Rawang lebih memilih untuk menyelenggarakan acara yang menurut mereka paling penting seraya untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai yang mereka anut. Diantara banyaknya tradisi dan upacara yang ada pada masyarakat Jawa, warga di Desa Rawang lebih mengutamakan acara yang berkaitan dengan ritus hidup seperti: tingkeban, spasaran, sunatan (khitanan), mantenan (pernikahan) dan kematian.

Melibatkan peran serta dari keluarga, tetangga, kerabat, dan masyarakat desa dalam penyelenggaraan acara hajatan dan slametan berlangsung secara tersirat menimbulkan implikasi keterikatan sosial diantara mereka misalnya; datang memenuhi undangan pernikahan atau slametan, tindakan tersebut menimbulkan keterikatan sosial berupa kewajiban untuk saling tolong-menolong dan bekerjasama seperti dalam kegiatan sumbang-menyumbang hajatan. Kegiatan sumbang menyumbang ini sudah menjadi pemandangan yang biasa dilihat saat hajatan dan slametan, hingga sampai sekarang pun menjadi bagian tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari acara tersebut. Oleh masyarakat Jawa di Desa Rawang kegiatan sumbang menyumbang tersebut dikenal dengan tradisi nyumbang.

Tradisi nyumbang dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang juga disebut “bestelan”. Tradisi nyumbang atau “bestelan” ini memiliki pengertian yang sama yaitu rangkaian kegiatan dari prilaku masyarakat Jawa yang memberikan bantuan baik dalam bentuk materil (uang, sembako dan barang) maupun non- materil (tenaga dan jasa) kepada tetangga atau kerabat yang membutuhkan. Tujuan dari nyumbang atau bestelan ini adalah membantu meringankan beban keluarga yang memiliki hajatan atau slametan. Dalam pengaplikasiannya dimasyarakat ternyata

(5)

nyumbang dan bestelan memiliki cakupan tersendiri, dimana nyumbang bisa sangat luas penerapannya seperti; bisa dilakukan dalam acara yang berkaitan dengan siklus daur hidup seperti hajatan dan slametan juga dalam kegiatan sehari-hari. Sedangkan bestelan dikenal masyarakat hanya untuk kegiatan menghadiri undangan di saat hajatan dan slametan saja. Bentuk pemberian dari nyumbang dan bestelan juga berbeda, kalau nyumbang bentuk pemberiannya bisa berupa materil dan non materil sedangkan untuk bestelan hanya terbatas pada materil saja.

Tradisi nyumbang berasal dari akar kebudayaan masyarakat Jawa yang bersifat guyub (kolektif) serta mementingkan kebersamaan ketimbang sifat individual ( urip-urip deweh ). Hakekat tradisi ini adalah meringankan beban dan menjaga solidaritas antar sesama warga masyarakat. Pada perjalanannya tradisi nyumbang dahulu dan sekarang pastinya mengalami banyak perkembangan serta perubahan didalam masyarakat Desa Rawang, era 80’an misalnya tradisi nyumbang di desa ini bukan hanya terlihat di dalam seremonial siklus daur hidup saja namun dalam kehidupan sehari-hari juga terlihat seperti mendirikan rumah warga, menggarap sawah dan ladang. Bentuk bantuan yang diberikan umumnya masih berupa tenaga, jasa serta barang kebutuhan yang diperlukan, hal tersebut juga berlaku dalam acara hajatan serta slametan. Bantuan yang diberikan dianggap sebagai wujud tolong-menolong dan gotong-royong atas keperdulian antar sesama. Karena indikasinya hanya bersifat untuk membantu dan kerja sukarela maka resiproistas diantara merekapun tidak mengikat secara sosial maupun ekonomi secara ketat. Seperti pemberian bantuan berupa barang ataupun tenaga terhadap tetangga atau kerabat yang kemudian hanya dibalas dengan ucapan terimakasih saja.

(6)

Tetapi biar bagaimanapun dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam hubungan-hubungan sosialnya, orang Jawa memiliki batasan tersendiri yakni introsfeksi diri dalam pergaulan yang ditunjukan dengan sikap isin (malu), sungkan (segan), tau diri dan toleran, inilah yang menjadi moral dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun tadinya bentuk pertolongan hanya dilandasi oleh keperdulian dan kerja sukarela semata, namun pada penerapannya senantiasa akan dibalas kembali oleh orang yang menerima bantuan tersebut, meskipun terkadang tidak sama pengembaliannya tetapi semua tindakan tersebut sebisa mungkin akan dibalas sama dan ini senantiasa diingat oleh yang menerima bantuan ataupun yang memberi bantuan.

Saat ini tradisi nyumbang telah mengalami banyak perkembangan, masyarakat Desa Rawang sekarang mengenal tradisi nyumbang hanya dalam seremonial siklus daur hidup saja. Tradisi nyumbang yang paling mencolok sekali terlihat pada saat hajatan pernikahan dan sunatan, kedua hajatan ini dianggap sebagai moment yang ditunggu-tunggu dan penting untuk dirayakan oleh sebuah keluarga. Dalam menggelar hajatan pernikahan dan sunatan biasanya tidak tanggung-tanggung sebuah keluarga untuk menyiapkan segala sesuatunya, sampai-sampai ada yang rela berhutang demi untuk menggelar hajatan ini. Berbeda halnya dengan acara slametan yang hanya diselenggarakan secara sederhana dan tidak banyak membutuhkan persiapan layaknya sebuah hajatan besar. Kegiatan menggelar hajatan seperti ini dimasyarakat Desa Rawang relatif tinggi apalagi jika memasuki bulan-bulan tertentu, pemilihan hari baik melalui jasa seorang paranormal sudah banyak ditinggalkan, masyarakat lebih memilih

(7)

untuk mengandalkan penanggalan secara rasional tentunya sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga.

Ditengah masyarakat yang notabenya hidup sebagai petani kegiatan hajatan seperti pernikahan dan sunatan ini sangat banyak ditemui bahkan yang tadinya acara slametan yang identik dengan kesederhanaan dalam pelaksanaanya, kini banyak dijumpai ditengah masyarakat Desa Rawang menjadi acara yang meriah seperti acara hajatan pernikahan terkecuali acara slametan untuk tingkepan dan kematian yang masih dilakukan secara sederhana. Bagi sebagian besar warga Desa Rawang terkadang hal seperti ini menjadi beban sosial dan ekonomi terutama bagi mereka yang penghasilannya serba berkecukupan. Jika intensitas hajatan di desa banyak maka mau tidak mau mereka harus membuat anggaran tambahan untuk kegiatan sumbang menyumbang di desanya.

Meskipun memiliki esensi hubungan timbal balik (resiprositas) 3 di antara orang-orang yang terlibat dalam sebuah hajatan dan selamatan ini, namun tetap saja masih sering terjadi pengikarang serta ketidak setaraan pengembalian diantara kerjasama resiprositas tersebut. Hubungan timbal balik ini bisa berlangsung lama bahkan terus diwariskan kegenerasi selanjutnya sampai terlunasi apa yang sudah diterimanya. Peralihan bentuk nyumbang dalam hajatan yang lebih berorientasi pada nilai uang terkadang menjadikan seseorang berbuat curang dalam kerjasama resiprositas. Berbagai permasalah yang dimunculkan tradisi nyumbang dalam hajatan ini tidak lantas menjadikan tradisi ini hilang atau ditinggalkan justru saat ini hajatan dan kegiatan sumbang menyumbang semakin marak terlihat ditengah masyarakat Desa Rawang, masyarakat di desa ini seperti

(8)

memiliki ketergantungan terhadap keberadaan tradisi nyumbang dalam hajatan sampai-sampai tradisi tersebut menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat pertanian di Desa Rawang.

Fenomena tradisi nyumbang saat ini semakin menarik untuk dikaji lebih lanjut apalagi untuk menjelaskan lebih dalam lagi kerjasama resiprositas antara mereka yang terlibat. Selain itu mencari penjelasan mengapa tradisi ini masih dipertahankan sampai saat ini juga sangat penting, padahal disatu sisi kerap menjadi masalah tersendiri. Dan masih banyak lagi yang akan di jelaskan dalam penelitian ini terkait resiprositas tradisi nyumbang di Desa Rawang tersebut. 1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini terkait dengan gambaran tradisi nyumbang yang ada dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tradisi nyumbang dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang, terutama dalam hajatan pernikahan dan khitanan!

2. Mengapa tradisi nyumbang ini masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Rawang? Strategi seperti apa yang digunakan masyarakat untuk mempertahankan tradisi ini!

3. Resiprositas seperti apa dan kerjasama resiprositas yang bagaimana yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam tradisi nyumbang tersebut!

3

Sjafri Sairin, Pujo Semedi, Bambang Hudayana, Pengantar Antropologi Ekonomi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hal.38

(9)

1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Lokasi ini di pilih karena beberapa hal termasuk diantaranya yaitu letak wilayah desa yang strategis, kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya yang unik juga merupakan salah satu perkampungan suku Jawa yang ada di Kabupaten Asahan. Selain itu pemilihan ini dikaitkan berdasarkan fenomena yang ada di desa tersebut terkait dengan tradisi nyumbang yang akan diteliti.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tradisi nyumbang yang ada, melihat kerjasama resiprositasnya, menjelaskan berbagai lingkup persoalan dan permasalahan yang muncul serta menjelaskan kemungkinan adanya solusi dalam menghadapi persoalan terkait dengan tradisi nyumbang ini. Selain itu juga untuk melihat strategi dari warga di Desa Rawang dalam mempertahankan tradisi nyumbang.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sendiri diharapkan secara akademis dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebagai kajian dan pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah khasana keilmuan terutama antropologi dalam kaitan dengan judul penelitian ini.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan positif terhadap masyarakat yang terkait dalam menanggapi tradisi

(10)

nyumbang itu secara arif dan positif serta agar nantinya tradisi ini kedepannya dapat dilestarikan sesuai dengan hakekat tradisi nyumbang yang sebenarnya tanpa harus menimbulkan permasalahan dan persoalan yang baru.

1.5. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan menurut Ruth Benedict merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas, sehingga pada hakekatnya kebudayaan itu adalah way of life, cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula pada suatu bangsa. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sitem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1986: 180). Manusia dan kebudayaan memiliki keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

J.J. Honigmann (Koentjaraningrat, 1986:186-187) membedakan adanya tiga wujud kebudayaan yaitu (1) ide, gagasan, nilai, peraturan dan sebagainya, (2) berupa kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat dan (3) benda-benda hasil karya manusia. Tradisi juga merupakan bagian dari kebudayaan yang dimaknai sebagai kebiasaan, dalam pengertian yang sederhana bahwa tradisi adalah sesuatu yang dilakukan sejak lama dan merupakan bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau religi yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi sendiri yakni adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi secara lisan maupun tulisan dan diwujudkan dalam suatu aktivitas atau kegiatan. Salah satu yang merupakan gambaran tradisi yang demikian adalah tradisi nyumbang.

(11)

Tradisi nyumbang merupakan kebudayaan yang termasuk dalam wujud aktivitas serta tindakan berpola dari semua tingkah-laku yang ada dalam masyarakat Desa Rawang terutama aktivitas dalam menggelar hajatan dan slametan. Pada wujud kedua (sistem sosial) ini serangkaian aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lainnya dari waktu ke waktu berjalan menurut pola-pola tertentu dalam adat tata kelakuan masyarakat. Sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita, bisa diobservasi, dilihat, difoto dan didokumentasikan.

Kegiatan nyumbang yang dilakukan masyarakat dalam membantu meringankan beban orang yang memiliki hajatan tetaplah bagus dilestarikan sebagai bagian ikatan kekerabatan atau emosi sosial yang representatif dan benar-benar mencerminkan jiwa dalam masyarakat Jawa. Namun apabila tradisi itu sendiri kerap menimbulkan permasalahan dalam masyarakat maka perlu adanya pertimbangan lagi untuk mempertahankan tradisi yang demikian. Seperti yang dikatakan Franz Magnis Suseno (1983) bahwa perspektif hidup didalam bingkai etika Jawa harus terwujud dalam pola rutinitasnya lebih mengutamakan sisi moralitas yang luhur, berbudi dan tidak menghancurkan antar sesama maupun diri sendiri. Hal ini dalam artian bahwa didalam setiap aktivitas yang dilakukan jangan sampai membebani orang lain dan diri sendiri apalagi sampai menimbulkan permasalahan didalam lingkungan masyarakat.

Tradisi nyumbang dalam daur hidup masyarakat Jawa Desa Rawang, baik yang diselenggarakan dalam bentuk hajatan maupun slametan, juga diharapkan mengutamakan sisi moralitas yang berbudi dan tidak merugikan. Dengan kata lain bahwa tradisi nyumbang yang ada haruslah di ikuti dengan resiprositas yang

(12)

seimbang. Bagi mereka yang diundang dan terlibat dalam acara hajatan ataupun selamatan ini diharapkan dapat memenuhi kewajibannya yaitu salah satunya memenuhi undangan pesta. Memenuhi undangan merupakan suatu kewajiban sosial, ini dikarenakan adanya pengharapan pemberian dari mereka yang datang. Sedangkan bagi yang menerima (pemilik hajat) juga ada keharusan untuk membalas kembali atas apa yang diterimanya tersebut.

Marcel Mauss (Suparlan 1992: xviii) mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan suatu pemberian kembali atau imbalan4. Dengan demikian maka yang ada bukan hanya pemberian yang dilakukan oleh seorang kepada lainnya, tetapi suatu tukar-menukar yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang saling memberi dan mengimbangi. Malinowski juga menjelaskan bahwa semua bentuk transaksi yang berada dalam satu garis hubungan yang berkesinambungan di mana disatu kutub pemberian ini bercorak murni, tanpa tuntunan imbalan dan di kutub lainnya bercorak pemberian yang harus diimbali5, maksudnya adalah bahwa bentuk nyumbang bisa saja diberikan secara cuma-cuma dalam artian seorang pemberi tidak mengharapkan adanya balasan/imbalan dari orang yang telah diberinya, sedangkan di sisi lainnnya terdapat bentuk nyumbang yang harus diimbali sehingga pemberian tersebut bersifat pamri (adanya pengharapan balasan kembali) dan ada timbal baliknya (resiprositas). Sistem menyumbang yang menimbulkan kewajiban untuk membalas ini merupakan suatu prinsip dari kehidupan masyarakat kecil, yang oleh Malinowski disebut principle of reciprocity, atau prinsip timbal balik antara yang memberi dan menerima.

4

Marcel Mauss, The Gift, Form and Functions of Exchange in Archaic Societies, terj. Parsudi Suparlan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. xviii

(13)

Sistem pertukaran memunculkan rasa pengharapan adanya pengembalian ataupun pertukaran yang sama nilainya (resiprokal). Dimana rasa timbal balik (resiprokal) ini sangat besar dan ini difasilitasi oleh bentuk simetri institusional. Hubungan simetri ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung, contohnya adalah seorang petani mengundang tetangganya, untuk ikut kenduri selamatan atas kelahiran anaknya. Pada waktu yang lain kepala desa mengundang juga untuk peristiwa yang serupa. Dalam aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda, mereka sejajar sebagai warga kelompok keagamaan, meskipun sebagai warga desa mereka memiliki derajat kekayaan dan prestise sosial yang berbeda-beda. Menurut Polanyi peristiwa tersebut menunjukkan adanya posisi sosial yang sama, pada suatu saat menjadi pengundang dan yang diundang6.

Dalton menjelaskan bahwa resiprositas merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran tersebut, individu memberikan dan menerima pemberian barang atau jasa karena kewajiban sosial7. Melalui resiprositas orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Hubungan personel diantara individu atau kelompok juga merupakan syarat terjadinya aktivitas resiprositas. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama seperti kehidupan petani di pedesaan, dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan-hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat 5

(14)

dalam mematuhi adat kebiasaan. Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas.

Menurut Sahlins (Sairin 2002: 48), ada tiga macam resiprositas, yaitu: resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dan resiprositas negative (negative reciprocity)8. Dalam resiprositas umum individu dan kelompok yang saling memberikan barang dan jasa kepada individu atau kelompok lain tidak menentukan batas waktu pengembalian, tidak ada hukum yang mengontrol seseorang untuk memberi dan mengembalikan pemberian yang ada, hanya kepercayaan dan moral dari mereka yang bekerjasama. Resiprositas sebanding dilakukan apabila barang dan jasa yang dipertukarkan harus mempunyai nilai yang sebanding, dalam pertukaran ini ada tuntutan kapan harus memberi, menerima, dan mengembalikan. Ciri resiprositas sebanding ini ditunjukkan oleh adanya norma-norma atau aturan-aturan serta sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. Ciri lainnya yakni adanya putusan untuk melakukan kerjasama resiprositas berada ditangan masing-masing individu. Mereka yang terlibat dalam kerja sama resiprositas tidak mau ada yang dirugikan.

Resiprositas negativ merupakan resiprositas yang dikatakan sudah terpengaruh oleh sistem ekonomi uang atau pasar, dimana bentuk pertukaran tradisional digantikan dengan bentuk pertukaran modern serta munculnya dualisme pertukaran. Berkembangnya uang sebagai alat tukar menjadikan barang dan jasa kehilangan nilai simbolik yang luas serta menjadi beragam maknanya. 7

Ibid., hal 42

8

(15)

Hal ini karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Inilah yang disebut negatif, karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telah ada. Tingkat gotong royong pun sekarang semakin berkurang karena kegiatan masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai-nilai keikhlasan untuk saling membantu pun berkurang.

Tradisi nyumbang yang ada dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang juga tidak bisa terlepas dari adanya resiprositas. Hanya saja sejauh ini resiprositas yang ada seringkali mengalami perubahan, hal ini dikarenakan niatan untuk menggelar hajatan atau melakukan kerjasama resiprositas setiap individu dalam masyarakat kerap dipersepsikan berbeda. Jadi resiprositas yang seharusnya berjalan seimbang bisa saja berubah kearah negative kalau niatan seseorang melakukan hajatan itu hanya untuk meraup keuntungan semata.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Melalui metode ini akan dideskripsikan secara gamblang tradisi nyumbang pada masyarakat Desa Rawang, untuk dapat mengambarkan atau mendeskripsikan secara baik tradisi ini. Oleh karena itu diperlukan adanya teknik pengumpulan data sebagai pendukung penelitian, terutama dalam menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan sehingga didapat data yang diinginkan (harapkan).

1.6.1. Data Primer

Data primer merupakan data utama yang diperoleh melalui observasi dan wawancara, berikut ini keterangan dari data utama tersebut:

(16)

a. Observasi

Observasi merupakan metode yang dipakai dalam penelitian ini. Observasi dilakukan untuk mengamati serangkaian kegiatan masyarakat maupun individu baik berupa tingkah laku, aktivitas, hubungan sosial dan lain sebagainya guna mendukung penelitian serta disesuaikan dengan data yang diinginkan. Dalam observasi ini peneliti bisa mengamati secara langsung kegiatan yang sedang dilakukan warga desa di sana, terutama ketika sedang ada hajatan atau selamatan, dari sini peneliti bisa mengikuti dan mengamati apa yang sedang dilakukan oleh warga dalam hal tersebut. Kemudian jika di desa tidak ada ditemukan acara seperti hajatan ataupun selamatan saat dilapangan, peneliti melakukan observasi seputar kegiatan dan aktivitas warga dalam kesehariannya.

b. Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview)9 dan dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara (interview guide). Wawancara mendalam difokuskan kepada pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah, serta pertanyaan yang lainnya baik yang sudah dipersiapkan (bukan dalam bentuk kuesioner) ataupun pertanyaan yang dikembangkan dari wawancara di lapangan. Wawancara sambil lalu juga digunakan dalam penelitian ini, pertanyaan yang diajukan tidak terstruktur

9

Wawancara Mendalam (depth Interview) yaitu penelitian kualitatif biasanya lebih sering menggunakan wawancara mendalam ketimbang wawancara terstruktur (menggunakan kuesioner) dalam proses pengumpulan data lapangan. Wawancara mendalam biasanya dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai panduan yaitu, berisi seperangkat pertanyaan terbuka sesuai dengan aspek-aspek yang ingin didapatkan informasinya (Lubis, 2007).

(17)

sebagaimana wawancara mendalam. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan wawasan dan pengetahuan yang informan10 ketahui dari tradisi nyumbang.

c. Menentukan Informan

Informan dalam penelitian ini terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu: informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal dalam penelitian adalah orang yang pertamakalinya ditemui peneliti yang memiliki pengetahuan tentang desa dan masyarakatnya, dan dari informan ini lah nantinya peneliti diarahkan langsung ke masyarakat serta diarahkan kepada orang yang memang mengetahui lebih banyak pengetahuan tentang kehidupan desanya. Bapak Ruslin selaku KADES Desa Rawang adalah informan pangkal pertama dalam penelitian ini, dari beliau saya dipertemukan dengan bapak Ramlan KADUS Desa Rawang Pasar IV, bapak KADUS inilah yang kemudian membantu peneliti menemui warga masyarakat di Desa Rawang Pasar IV, terutama warga desa yang pernah dan akan melangsungkan hajatan dalam waktu dekat. Dari sinilah kemudian peneliti mencari warga yang bisa dijadikan sebagai informan kunci.

Informan kunci dalam penelitian ini sebelumnya telah dikategorikan berdasarkan beberapa kriteria diantaranya; keluarga Jawa, sudah lama menetap didesa, memiliki pengetahuan luas tentang tradisi nyumbang dalam daur hidupnya, memiliki pengalaman melangsungkan hajatan/slametan baik yang sudah lama maupun yang baru berlangsung, berusia ± 40 tahun. Sedangkan informan biasa dalam penelitian ini adalah warga Desa Rawang yang peneliti temui untuk memberikan informasi seputar pengetahuannya yang berkaitan dengan tradisi nyumbang.

(18)

1.6.2. Data Skunder

Data skunder merupakan data pendukung yang bisa diperoleh dari bacaan, tulisan, literatur, media, perpustakaan, kearsipan dan lain sebagainya. Data skunder sangat penting dalam memberikan penyempurnaan hasil observasi dan wawancara, data ini bisa didapat dari hasil penelitian orang lain dan referensi berbagai sumber yang relefan seperti jurnal, surat kabar, bulletin, artikel, buku-buku dan media elektronik.

1.7. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif, Analisis data dimulai dari mengumpulkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik dari observasi, wawancara dan dokumentasi, analisis ini juga meliputi data-data atau informasi yang diperoleh dari media massa, buku dan lain sebagainya yang kiranya dapat mendukung hasil penelitian. Data-data yang sudah ada dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ditentukan sehingga dengan demikian akan memudahkan peneliti untuk menyajikan data yang ada dalam bentuk informasi yang disusun dalam bentuk standart penyusunan karya ilmiah sebagai bentuk hasil sebuah kesimpulan akhir penelitian yakni dalam bentuk laporan.

dilapangan yakni warga desa setempat yang memiliki pengetahuan seputar kegiatan tradisi nyumbang.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapat bahwa bangunan termasuk klasifikasi bahaya kebakaran ringan dan dirancang menggunakan sprinkler jenis sistem pipa

Peserta didik yang belajar pada tahun terakhir di satuan pendidikan, memiliki rapor lengkap penilaian hasil belajar sampai dengan semester I tahun terakhir, dan atau

The numerical values shown on the first graph in Figure 79 describe the power ratio of pyramidal horn antenna, while other two graphs represent values of return loss and VSWR....

Behery et al, 2009, menyatakan bahwa Umbilical Coiling Index (indeks koil tali pusat) pada mamalia yang memiliki pembuluh darah tali pusat, menunjukkan bahwa semakin banyak

Yang dilaporkan dalam pos ini adalah pendapatan bunga dari penanaman yang dilakukan oleh BPR Pelapor dalam bentuk aset produktif antara lain SBI, penempatan pada bank

(Laurentia longiflora). 2.) Dilakukan pengobatan secara oral untuk melihat efek serta pengaruh pemakaian dari infus daun kitolod terhadap organ dalam tubuh.. 3.)

Dan kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan, dimana reklamasi yang sangat mungkin akan merusak kehidupan di bawah perairan laut dapat menjadikan kawasan

30 menit sebelum datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa pasien mengalami kejang, kejang berlangsung selama 5 menit, kejang terjadi di sebagian tubuh pasien yaitu tangan