• Tidak ada hasil yang ditemukan

WASIL IBN ATHO` DAN PEMIKIRAN TEOLOGI MU`TAZILAH (Studi Kritis Menuju Teologi Populis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WASIL IBN ATHO` DAN PEMIKIRAN TEOLOGI MU`TAZILAH (Studi Kritis Menuju Teologi Populis)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

WASIL IBN ATHO` DAN PEMIKIRAN TEOLOGI

MU`TAZILAH

(Studi Kritis Menuju Teologi Populis)

Muhammad Ufuqul Mubin

Universitas Islam Darul ‘Ulum Lamongan Jl. Airlangga 03 Sukodadi Lamongan Jawa Timur

Email:ufuqulmubin@gmail.com

Abstract

The emergence of Mu'tazilah school is resulted from the thinking to the answer of a question whether capital sinners (murtakib al kabair) can be adressed as a moslem or a kafir (non believer), which is proposed to Hasan Al Basri in his forum. As noted before, the

Khawarij belive that capital sinners has been a kafir, but according to

the Murji'ah they are still moslems. While Hasan al-Basri is still thinking, Wasil ibn Atho', the founder of Mu'tazilah school, proposed his idea. In his opinion, the capital sinners are not both of them, but they are in the middle of them. This article will study the Mu'tazilah theology from the perspective of populic theology. The populic theology is emphirical. It is resulted from dialectic of critical antagony between reality and its universal message.

Keywords: Wasil ibn Atho', Populic Theology, Mu'tazilah Abstrak

Timbulnya aliran Mu`tazilah merujuk kepada peristiwa diskusi antara Wasil ibn Atho` dengan Hasan al-Basri di Basrah, Wasil selalu mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri di Masjid Basrah, pada suatu hari datang seseorang kepada Hasan al-Basri, lalu menanyakan pendapatnya tentang orang - orang yang telah berbuat dosa besar (murtakib al-kaba>ir/ capital sinners), sebagaimana diketahui kaum khawarij memandang mereka telah kafir, sedang kaum Murji`ah memandang mereka masih mukmin, ketika Hasan al-Basri masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai hal itu dengan mengatakan :"saya berpendapat bahwa orang yang telah berbuat dosa besar itu sudah bukan mukmin, tetapi juga bukan kafir, akan tetapi menempati posisi antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir (al-manzilah baina al-manzilatain). Tumbuhnya telogi mu`tazilah pada abad pertengahan sebagai pengabdian pada kepentingan doktrin atau teologi dialektik retorik, merupakan dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan

antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lainnya, maka

dialektika teologi yang bersifat populis itu bersifat empiris yang merupakan dialektika dari proses penghadapan kritis anatara realitas kehidupan dengan pesan-pesan universal.

(2)

PENDAHULUAN

Dalam pembahasan mengenai pemikiran teologi keagamaan lahir dari suatu pola keprihatinan, bagaimana ajaran agama bisa dipahami secara benar, perkembangan pemikiran manusia mengakibatkan berubah-ubahnya interpretasi ummat manusia terhadap aqidah.

Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dari suatu agama, setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya, mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya, mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat yang tidak mudah diumbang-ambingkan oleh peredaran zaman.1

Teologi Islam yang diajarkan di Indonsia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu Tauhid, ilmu Tauhid biasanya kurang kurang mendalam dalam pembahasannya dan kurang bersifat filosofis, selanjutnya ilmu Tauhid bisanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan lain yang ada dalam teologi Islam, dan ilmu Tauhid yang diajarkan umumnya menurut aliran Asy`ariyyah, sehingga timbul kesan dikalangan sementara ummat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.

Dalam Islam sebenaranya ada beberapa aliran teologi, ada aliran yang bersifat liberal, ada aliran yang bersifat tradisional, dan ada aliran yang bersifat antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya, bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwa teologi tradisional, sementara orang lain yang bersifat liberal dalam pemikirannya lebih tepat menerima ajaran-ajaran teologi liberal, dalam soal fatalisme dan free will umpamnya, orang yang bersifat liberal tidak dapat menerima faham fatalisme, bagi free will yang terdapat dalam teologi liberal lebih sesuai dengan jiwanya.

Kedua corak teologi ini, liberal dan tradisional, tidak bertentangan dengan dengan ajaran-ajaran dasar Islam, dengan demikian orang yang memilih mana saja dari aliran itu sebagai teologi yang dianutnya, tidaklah keluar dari Islam.

1

(3)

WASIL IBN ATHO` DAN PEMIKIRAN TEOLOGI MU`TAZILAH

Dalam pembahasan teologi, Mu`tazilah banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama: "kaum rasionalis Islam".2

Pemikiran rasional memang banyak mempengaruhi kaum mu`tazilah dalam menentukan pendapat keagamaan mereka, Abu Huzail memberikan penjelasan sejauh mana akal manusia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan, menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, yaitu Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan, ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, mengetahui kewajiban manusia berterima kasih pada Tuhan, mengetahui apa yang baik dan yang buruk, mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannya menjauhi perbuatan jahat.

Akal, betul dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak mengetahui cara atau ritual berterima kasih itu, kata Ibn Hasyim, ibadah diketahui bukan melalui akal tetapi melalui wahyu.3

Hal ini tidak lepas dari pemikiran-pemikiran Wasil ibn Atho` , karena beliau merupakan orang pertama yang membina aliran mu`tazilah, sebagaiaman dikatakan bahwa wasil ibn Atho`adalah shaikh al-mu’tazilah wa qadimuha 4,

sebelum melihat jauh tentang pemikiran itu, terlebih dahulu disajikan sekilas riwayat hidup Wasil ibn Atho`.

Riwayat Hidup Wasil ibn Atho`

Wasil ibn Atho` hidup dan berprestasi pada paruh pertama abad ke-2 H.5 Nama lengkapnya Abu Huzaifah Wasil ibn Atho` al-Ghazzal 6 al-Alsaq. Timbulnya di zaman Abdul Malik ibn Marwan, ia adalah golongan mawalli pada Bani Dhobah dan Bani Mahjum, diriwayatkan pula ia adalah mawalli pada Bani

2

Ibid, h. 38.

3

Abd al-Jabbar Ahmad, al-Usu>l al-Khamsah, (Kairo :Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1965), h. 563.

4

Ahmad Mahmud Subhi, Fi> ‘Ilm al-Kala>m, (Mesir: Dar al-Kutib al-Jami`ah, 1969), h.75

5

Al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Isla>miyyah, (Mesir: Maktabah `Ali Sya`bah, 1958), h. 84.

6

(4)

Hasyim.7 Wasil lahir di Madinah pada tahun 80 H/ 689 M, dan meninggal pada tahun 131 H / 749 M di Basrah.8

Wasil belajar dengan Hasan al-Basri juga belajar kepada ulama-ulama lainnya, diantaranya materi yang ia tekuni adalah ilmu Hadis, dengan dasar ilmu yang ia pelajari menjadikannya seorang pemikir besar, membawa metode dialektika ke dalam aliran Mu`tazilah.

Aliran Mu`tazilah dengan segala kemajuan dan perkembangannya menjadi suatu pertanda Wasil ibn Atho` adalah sebagai orang yang berprestasi, disamping itu menurut Ahmad Amin dia adalah pengarang yang produktif, namun sayang karyanya tidak sampai kepada kita.9

Wasil ibn Atho` mempunyai dua murid yang penting yang masing-masing bernama Bisyri ibn Sa`id dan Abu `Usman al-Za`fani, dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya Abu Huzail al-`Allaf dan Bisyri ibn Mu`tamar menerima ajaran-ajaran Wasil, Bisyri sendiri kemudian menjadi Mu`tazilah cabang Bagdad, sedangkan Abu Huzail tetap di Basrah.10

Pemikiran Wasil ibn Atho`

Teologi Wasil ibn Atho` adalah teologi modern yang mengambil posisi antara liberal rasionalis yang menggunakan metode penafsiran kontekstual pada dalil-dalil normatif, mempergunakan pemikiran secara sistematis dalam memecahkan pesoalan-persoalan teologis.

Ketika masalah aqidah Islam mengalami krisis, kontroversi antara khawarij dan murji`ah, Wasil dengan aliran Mu`tazilahnya menjembatani permasalahan yang terjadi.

yang tidak halal, asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nih}al.. I: h. 46.

7

M. Th. Houstma dkk (ed), First Enciyclopedia of Islam, (Leiden: E. J. Brill’s, 1987), VIII : 1127.

8

Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m, (Beirut : Dar al-Fikr, 1975), h. 286.

9

Ibid.

10

An-Nasysyar, Nash`ah Fikr Falsafi> fi> Isla>m, (Kairo: Dar Maktabah al-Islamiyyah, 1971), h. 473.

(5)

Menjelaskan pemikiran-pemikiran Wasil ibn Atho` ini, sebagaimana rumusan yang dikemukakan oleh Harun Nasution, 11 bahwa pemikiran Wasil dapat dibagi pada:

1. Al-Manzilah Baina al-Manzilatain

Awal pembicaraan berangkat dari masalah iman, predikat seseorang ditentukan oleh imannya. Iman tidak hanya ditetapkan dalam hati, ia membutuhkan aplikasi praktis.

Apabila iman tidak direalisasikan dalam bentuk amal, tidaklah diberi predikat mukmin, prinsip ini menunjukkan pembelaan kaidah aqidah yang terkandung dalam al-Qur`an dengan pemikiran rasional.

Pembahasan dosa terbagi menjadi dosa kecil dan dosa besar, dosa kecil apabila tidak diiringi dosa besar kemungkinan dapat diampuni, ada dosa besar yang tingkatannya menjadi rendah, pelakunya tidak dikatakan kafir, menurut Wasil orang yang melakukan dosa besar bukan kafir sebagaimana dikatakan kaum khawarij, dan bukan pula mukmin sebagaimana dikatakan kaum murji`ah, tetapi menempati tempat orang yang fasiq yang menduduki posisi diantara posisi mukmin dan posisi kafir. Kata mukmin dalam pendapat Wasil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan kepada fasiq, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena disebabkan ia masih mengucapkan syhadat dan mengerjakan perbuatan baik baik, orang semacam ini, kalau meninggal dunia tanpa tobat, akan masuk dalam neraka, hanya siksaan yang yang diberikan lebih ringan dari siksaan yang terima orang kafir, demikianlah pendapat yang diberikan oleh Wasil ibn Atho`.12

Tidak seperti halnya khawarij dan murji`ah, Wasil berpendapat bahwa masalah dosa kecil dan dosa besar, diserahkan kepada pembuat dosa itu, jika orang yang berbuat dosa mau untuk bertobat maka punya peluang untuk diampuni Tuhan dan apabila tidak bertobat maka akan mendapat siksaan.

11

Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung : Mizan, 1995), h. 129.

12

(6)

Melihat pemikiran Wasil diatas, peranan akal mempunyai fungsi dalam meletakkan pendirian, sikap mengambil jalan tengah menunjukkan bahwa ajaran ini begitu liberaral, pendirian Wasil tidak menyandarkan pada dogma semata, hal ini sesuai dengan pendapat Harun yang menyatakan bahwa teologi dalam Islam tidak berarti bahwa mereka tidak terikat pada al-Qur`an dan Hadis, mereka liberal dalam arti tidak terikat pada pemahaman -pemahaman yang bersifat sederhana, dangkal atau harfiyyah sebagaimana sebagian ulama diluar golongan mu`tazilah yang mengatakan bahwa ajaran dan pemikiran Wasil adalah liberal serta rasional cukup beralasan.13

2. Faham Qadariyyah.

Menurut Wasil, Tuhan bersikap bijaksana lagi adil, tidak dapat berbuat jahat dan tidak pula berlaku zalim, tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya.

Dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan durhakanya kepada Tuhan, atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan. Tuhan telah memberikan kekuatan dan daya kepada menusia untuk menjalankan perintah-Nya, tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya tau kekuatan untuk menjalankan perintah-Nya.14

Faham keadilan ini berarti manusia sendirilah yang menentukan perbuatan, kehendak atau daya untuk mewujudkan perbuatan itu merupakan kehendak atau daya manusia itu sendiri, perkembangan selanjutnya faham ini dinamakan faham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan atau

free will / free act.

Dengan prinsip kebebasan inilah manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di kemudia hari, senada dengan itu, kata Mas`udi : manusia yang bebas dan bertanggung jawab, pasti manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan dirinya menentukan mana yang baik dan

13

Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), h. 711.

14

(7)

mana yang buruk, dengan potensi nalar, manusia dapat tumbuh sebagai makhluq yang mandiri, tidak menggantungkan kepada pihak lain dalam menentukan jalan hidupnya.15

Pada intinya faham ini kebebasan ini, berangkat dari Nas-Nas yang menerangkan bahwa Tuhan Maha Adil, merumuskan konsep adil melalui penalaran akal, secara logika apabila perbuatan manusia ditentukan Tuhan, maka manusia tidak dituntut untuk berusaha dengan demikian Tuhan tidak adil, pada dataran ini kemudian orang menyebut teologi yang bercorak rasional, menurut Harun Nasution, rasional tidak berarti ia hanya berpegang kepada akal atau lebih meninggikan akal dari pada wahyu, ia sebenarnya berpegang pada keterangan akal dalam rangka menjelaskan atau membela keterangan wahyu.16

3. Peniadaan Sifat-sifat Tuhan.

Pemberian sifat pada Tuhan akan memberikan kepada banyaknya jumlah yang qadim, sedangkan dalam paham teologi yang qadim itu esa dan tiada yang qadim selain Allah SWT, menurut Harun, ketika Wasil meniadakan sifat Tuhan bukan berarti Wasil menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat Tuhan, selanjutnya menurut Harun, bahwa Wasil dan pengikutnya menerima kebenaran ayat-ayat al-Qur`an, hanya penafsiran mereka berbeda dengan penafsiran aliran teologi Islam lainnya, sifat Tuhan yang digambarkan al-Qur`an, bukanlah sifat Tuhan yang zahir, tetapi aspek dari zat Tuhan atau esensi Tuhan. Dengan demikian Tuhan, untuk mengetahui tidak perlu pada sifat mengetahui dan pula tidak pada keadaan mengetahui.17

Tidak diragukan lagi, bahwa teori ketuhanan ini adalah teori abstrak dan rasional, yang mengatasi semua yang bersifat material dan jasmani, berbeda dengan aliran anthopomorphism yang biasa disebut tajassum atau tashbih.

Menurut paham peniadaan sifat-sifat Tuhan ini, Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada

15

Masdar F. Mas`udi, Telaah Kritis Atas Teologi Mu`tazilah, dalam, Budhi Munawwar Rahman (Ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta : Paramadina, 1995), h. 127.

16

(8)

zat Tuhan, karena zat Tuhan bersifat Qadim, maka apa yang melekat pasa zat itu bersifat Qadim pula, dengan demikian sifat adalah bersifat Qadim.

Akan tetapi Tuhan menyebut dirinya mempunyai sifat-sifat seperti sifat mendengar, bagaimana menjawab isi wahyu ini dengan logika diatas ? Tuhan memang mempunyai sifat mendengar, akan tetapi Tuhan mendengar bukan dengan sifat malahan mendengar dengan Nya dan pendengaran-Nya adalah zat-pendengaran-Nya, demikian pula sifat-sifat lainnya.18

Wasil ibn Atho` sebagaimana pemikiran diatas merupakan inti dari ajaran-ajaran yang ditinggalkan, dua dari ajaran tersebut yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat Tuhan, kemudian ajaran tersebut menjadi bagian yang integral dari lima pokok ajaran mu`tazilah yaitu ‘adl (keadilan Tuhan),

wa’d wa wa’i>d (janji baik dan ancaman) dan amr bi ma’ru>f wa al-nahyi ‘an al-munkar (memerintah orang untuk berbuat baik dan mencegah

untuk berbuat jahat).

Al-`adl erat kaitannya dengan Tauhid, kalau tauhid ingin menyucikan diri Tuhan dengan persamaan dengan diri makhluq-Nya, maka denga adl ingin menyucikan pernuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluq, hanya Tuhan yang pasti berbuat adil, Tuhan tidak berbuat zalim, perbuatan zalim hanya terdapat pada makhluq, dengan kata lain, kalau Tauhid membahas diri Tuhan, maka ‘adl membahas perbuatan Tuhan.

Kalau disebut Tuhan Adil, maka sebagaimana dikatakan Abd al-jabbar, berarti semua perbuatan Tuhan bersifat baik, Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya, dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak bersikap zalim, tidak menyiksa anak-anak orang politheist, lantaran dosa orang tua mereka, tidak menunurunkan mu`jizat bagi pendusta tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul manusia, selanjutnya itu berarti bahwa Tuhan memberi daya kepada manusia untuk dapat memikul beban yang diletakkan Tuhan atas dirinya, menerangkan hakikat beban itu, dan memberi upah atau hukuman atas perbuatan manusia, dan kalau Tuhan

17

Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nih}al., I, h. 82.

18

(9)

memberi siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia, karena kalau siksaan diturunkan bukan untuk kepentingan dan maslahat manusia, Tuhan dengan demikian akan melalaikan salah satu kewajiban-Nya. 19

Tuhan bersifat Maha Sempurna, karena itu, dalam paham mu`tazilah Tuhan tidak berbuat buruk, bahkan menurut salah satu golongan tidak dapat berbuat buruk, karena perbuatan buruk hanya dari orang yang tidak sempurna. Semua perbuatan Tuhan bersifat baik, ekspresi ke-Maha-baikan Tuhan, oleh karena itu mereka mengatakan wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik untuk manusia, inilah yang biasa disebut dengan dengan s}alah wa

al-as}lah.

Selanjutnya soal keadilan Tuhan ini menimbulkan persoalan tentang perbuatn manusia, apakah manusia itu diwujudkan oleh Tuhan atau diwujudkan oleh manusia sendiri, paham jabariyyah jelas tidak sesuai dengan paham keadilan Tuhan, karena menurut paham jabariyyah manusia itu tidak mempunyai kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan, segala perbuatannya sudah ditentukan seak azali, dengan kata lain, manakala manusia malakukan perbuatan buruk, itu ia lakukan bukan atas kemauannya sendiri, tetapi ia lakukan karena terapksa, tidakah dapat dikatakan Tuhan disebut adil sekiranya Ia menghukum orang yang berbuat bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas paksaan dari luar dirinya, oleh karena itu kaum mu`tazilah mengambil paham qadariyyah, paham inilah yang sesuai dengan keadilan Tuhan.20

Sedangkan al-Wa`d wa al-wa`id merupakan lanjutan dari ajaran bahwa Tuhan tidak dapat disebut adil kalau Ia tidak memberi pahala kepada orang-orang yang berbuat baik, dan tidak menghukum orang-orang-orang-orang yang berbuat zalim, keadilan menghendaki orang yang bebuat baik diberi upah dan orang bersalah atau berbuat buruk diberi hukuman sebagaiamana Tuhan janjikan.21

19

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 53

20

Abu Zahrah, al-Siya>sah wa ‘Aqi>dah fi> al-Isla>m , edisi Indonesia, Aliran Politik

dan Aqidah Islam, terj. Abdurrahman (Jakarta : Logos, 1996), h. 152.

21

(10)

Sedangkan al-`amr bi al-ma`ruf wa an-nahy `an al-munkar, harus dijalankan oleh setiap muslim untuk menyiarkan agama dan memberi petunjuk kepada orang -orang yang sesat, dengan demikian ajaran al-`amr bi al-ma`ruf wa an-nahy `an al-munkar, itu sebetulnya bukan monopoli ajaran mu`tazilah, tetapi ajaran semua ummat Islam, perbedaan antara ajaran ini dalam kalangan mu`tazilah dengan ajaran ini dalam kalangan ummat Islam yang lain terdapat dalam pelaksanannya, apakah perintah dan larangan itu cukup dilaksanakan dengan seruan saja, ataukah harus sampai dengan kekerasan , kaum khawarij berpendapat harus sampai dengan kekerasan, kaum mu`tazilah berpendapat kalau dapat, cuckup dengan seruan saja, tetapi kalau tidak dapat, harus sampai dengan kekerasan, sejarah membuktikan bahwa kaum mu`tazilah pernah menggunakan kekerasan dalam penyampaian ajaran-ajarannya.22

PERKEMBANGAN TEOLOGI MU`TAZILAH

Timbulnya aliran Mu`tazilah merujuk kepada peristiwa diskusi antara Wasil ibn Atho` dengan Hasan al-Basri di Basrah, Wasil selalu mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri di Masjid Basrah, pada suatu hari datang seseorang kepada Hasan al-Basri, lalu menanyakan pendapatnya tentang orang - orang yang telah berbuat dosa besar (murtakib al-kaba>ir/ capital sinners), sebagaimana diketahui kaum khawarij memandang mereka telah kafir, sedang kaum Murji`ah memandang mereka masih mukmin, ketika Hasan al-Basri masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai hal itu dengan mengatakan :"saya berpendapat bahwa orang yang telah berbuat dosa besar itu sudah bukan mukmin, tetapi juga bukan kafir, akan tetapi menempati posisi antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir (al-manzilah baina al-manzilatain).

Kemudian dia berdiri dan dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri, pergi ke tempat lain masjid itu, dan di sana ia mengulangi pendapatnya kembali, atas ini Hasan al-Basri mengatakan: "Wasil menjauhkan diri dari kita", dengan sebab itulah Wasil dan teman-temanya kata asy-Syahrastani di sebut kaum Mu`tazilah.23

22

Ibid, h. 254.

23

(11)

Menurut al-Bagdadi, Wasil dan teman-temannya diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berbuat dosa besar, keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri, mereka dan para pengikut mereka disebut kaum Mu`tazilah karena mereka menjauhkan diri dari paham ummat Islam tentang soal dosa besar, menurut mereka orang seperti ini tidak mukmin, tidak juga kafir.24

Teologi Mu`tazilah memulai sejarahnya dari kota Basrah, karena di kota inilah dia mulai berdiri, orang pertama yang memolopori adalah Wasil ibn Atho` (80-131 H/), beliau adalah peletak dasar ajaran-ajaran Mu`tazilah, hanya saja ajaran-ajarannya belum begitu meluas, dalil-dalil yang digunakan untuk menegakkan ajarannya masih bersifat sepenuhnya dalil al-Qur`an dan as-Sunnah, walaupun cara berpikir dan cara beragumentasinya sudah berbeda dengan cara-cara ulama tradisional, namun pemikiran-pemikirannya masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijangkau oleh arti nas (lahiriyyah).25

Aliran ini mendapat bentuk yang lebih sempurna pada masa Abu Huzail al-`Allaf (135-235) dan Ibrahim ibn Sayyar an-Nazam (185-221), kedua tokoh ini membawa aliran mu`tazilah kepada pemakaian akal secara besar-besaran dan banyak berhubungan dengan filsafat Yunani, pada waktu itu aliran Mu`tazilah tidak lagi berpusat di Basrah, tetapi juga di kota bagdad, serta diikuti tidak hanya orang kebanyakan tetapi juga oleh penguasa negara.

Masa kejayaan aliran Mu`tazilah adalah pada masa pemerintahan al-Ma`mun (198-218), al-Mu`tasim (218-227) dan al-Wasiq (227-232). Ini adalah karena ketiga orang khilafah ini selain menganut aliran Mu`tazilah juga menjadikan aliran Mu`tazilah sebagai mazhab resmi negara, dan memaksa rakyat untuk menganut aliran Mu`tazilah, mereka menggunakan banyak cara untuk memaksa rakyat menganut aliran Mu`tazilah, diantaranya ialah dengan mihnah, yakni menguji pejabat-pejabat negara dan tokoh-tokoh mesyarakat, mereka ditanya apakah al-Qur`an itu qadim atau hadis. Orang yang menjawab al-Qur'an itu qadim dicambuk dan dimasukkan kedalam penjara, dan orang yang menjawab

24

Al-Bagdadi, al-Farq Baina al-Fira>q, (Mesir: Maktabah asy-Sya`bah, t.t), h. 20.

25

Al-Gurabi, Ta>ri>kh al-Fira>q al-Isla>miyyah, (Mesir : Maktabah `Ali Sya`bah, 1958), h. 127.

(12)

al-Qur`an itu hadis dibebaskan, ini adalah karena aliran Mu`tazilah berpendapat bahwa al-Qur`an itu Hadis.

Dari segi geografis, aliran mu`tazilah ada yang berkembang di Basrah dan di Bagdad, mu`tazilha Basrah tumbuh dan berkembang dengan tokoh Wasil ibn Atho`, Amr ibn Ubay, Abu al-Huzail al-`Allaf, An-Nazzam dan al-Juba`i, sementara mu`tazilah Bagdad tumbuh dan berkembang dengan tokoh Bisyr ibn Mu`tamir, Mu`mmar ibn `Abbad, al-Khayyat, al-Qadli `Abd al-Jabbar dan az-zamakhsari.

Perbedaan antara kedua aliran mu`tazilah ini pada umumnya terjadi karena perbedaan situasi geografis dan kultural, kota Basrah lebih dahulu didirikan dan lebih dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama dari pada kota Bagdad, kota Bagdad memang lebih akhir didirikan, tetapi menjadi ibu kota negara, pusat pemerintahan dan tempat bertahtanya para khalifah, kota Basrah dan kota Bagdad kedua-duanya mempunyai keistimewaan dan memberi kesempatan kepada aliran mu`tazilah untuk tumbuh dan berkembang, karena itu yang di Basrah maupun yang di Bagdad, aliran mu`tazilah tumbuh dan berkembang dengan pesat.

Menurut Ahmad Amin, sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, pengaruh filsafat Yunani pada aliran mu`tazilah Bagdad lebih tampak, ini selain karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di bagdad, juga karena istana khalifah-khalifah Abbasiyyah di Bagdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam. Aliran mu`tazilah Basrah lebih banyak menekankan segi pelaksanaan ajaran, aliran Basrah tidak begitu dipengaruhi, tetapi aliran Bagdad sangat dipengaruhi oleh kekuasaan khalifah-khalifah, aliran mu`tazilah Basrah lebih banyak lebih banyak memulai pembahasan, sedang aliran mu`tazilah Bagdad lebih banyak melanjutkan pembahasan soal-soal yang sudah dimulai pembahasannya oleh aliran mu`tazilah basrah dengan memperdalam atau memperluas pembahasannya.26

ANALITIS KRITIS MENUJU TEOLOGI POPULIS

26

(13)

Sudah menjadi fakta sejarah, bahwa pemikiran keagamaan baik teologi ataupun fiqh, sebagai amal yang ditawarkan para pemikir muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola keperihatinan yang serupa yaitu

bagaimana ajaran agama bisa dipahami ummat secara benar (suatu pemikiran

yang jelas berangkat dari keperihatinan teoretik),berbicara tentang mu`tazilah yang merujuk pada peristiwa diseputar tema muslim yes, muslim no yang menekankan perlunya seseorang diperjelas kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group, minna) atau orang luar (out group, minhum) terhadap orang yang melakukan dosa besar, ini nampaknya diselimuti latar belakang politis, maka selanjutnya tentang "kebebasan manusia" yang ditelorkan mu`tazilah benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang murni bersifat teologis, dan dari sinilah mu`tazilah benar-benar sebagai teologi yang tersendiri diantara aliran teologi lainnya, karena dalam mu`tazilah secara tegas dinyatakan bahwa "manusia

sepenuhnya memiliki kebebasan dalam bertindak" baginya dengan prinsip

kebebasan inilah manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban dikemudian hari, prinsip al-wa’d wa al-wa’id, tak bisa dipahami tanpa adanya prinsip kebebasan, sebaliknya prinsip kebebasan hanya berarti kalau ada al-wa’d

wa al-wa’id yang setimpal dikemudian hari.

Mu`tazilah yakin bahwa manusia diakhirat nanti ditentukan oleh amal perbuatannya, yang dilakuakan secara bebas, sebagai yang Maha Adil Tuhan harus membalas perbuatan manusia, sementara manusia yang bebas dan bertanggungjawab pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan dirinya menentukan yang baik dan yang buruk (h}asan wa

al-qubh}).

Pada poin inilah mu`tazilah populer sebagai aliran yang rasionalistik yang menggunakan otoritas "akal (nalar) atas naqal".

Prinsip keesaan Tuhan yang dibangunnya murni dengan pendekatan filosofis, yang merupakan pembebasan (tanzih) Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang ekspilsit dalam al-Qur`an, dikatakan Tuhan itu qadim, maka segala yang selainnya, termasuk sifat-sifat yang dikenakan kepada-Nya adalah hadis, dengan menarik postulat ini lebih jauh, maka al-Qur`an sebagai ekspresi salah satu

(14)

sifat-Nya (al-kala>m) yang hadis, dengan demikian juga hadis, yang diciptakan (makhluq).

Dari paparan diatas, ada beberapa catatan kritis tentang mu`tazilah ini,

pertama: ketika terjadi dialog antara Juba`i (tokoh mu`tazilah) dengan

al-Asy`ari, tentang nasib anak kecil, orang mukmin, orang kafir, menurut al-Juba`i: yang mukmin masuk sorga, kafir masuk neraka dan anak kecil terlepas dari bahaya, kemudian al-Asy-`ari mengatakan: mungkinkan yang kecil menempati yang lebih tinggi masuk sorga, al-Juba`i menjawab: tidak mungkin, karena yang kecil belum mempunyai kepatuhan pada Tuhan, al-Asy`ari bertanya: kalau anak itu mengatakan pada Tuhan, itu bukan salahku, jika aku tetap hidup aku akan menjadi orang mukmin, al-Juba`i berkata: Allah akan menjawab, Aku tahun jika kamu tetap hidup kamu akan bebrbuat dosa, maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum kamu dewasa, al-Asy`ari bertanya: sekiranya yang kafir mengatakan, Engkau tahu masa depanku sebagaiaman engkau ketahui masa depan anak kecil itu, mengapa engkau tidak menjaga kepentinganku ? kemudian al-Juba`i terpaksa diam.

Yang menarik dari diskusi diatas, bukan al-Juba`i kehabisan akal menjawabnya, akan tetapi sebagaiaman al-Juba`i, al-Ays`ari juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung argumentasinya, bedanya kalau al-Juba`i (mu`tazilah) dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan menurut batas-batas manusia, sedngkan al-Asy`ari menggunakan logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada diatas batas-batas manusia tadi.

Kedua: Klaim adanya kebenaran tunggal yang harus diterima semua pihak, kritik ini juga tidak hanya pada mu`tazilah, akan tetapi juga pada lainnya yang merasa paling benar, hanya saja bedanya mu``tazilah mengaku telah menemukan kebenaran tunggal melalui logika akal, sedang lawanya mengaku menemukan kebenaran melalui huruf-huruf naqal.

Ketiga: prinsip yang dipropagandakan mu`tazilah adalah tentang "keadilan" suatu isu yang sebenarnya sangat relevan, akan tetapi keadilan yang dimaksud rupanya bersifat eskatalogis, yang berkaitan dengan peranan Tuhan di hari kemudian, sementara keadilan yang dirasakan ummat, kelompok mu`tazilah

(15)

justru bergandengan tangan dengan rejim yang berkuasa saat itu, untuk melakukan tindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya, tragedi teologi ini dikenal dengan mihanah atau inquition dengan dukungan kekuaasaan.

Maka dari itu sistem teologis yang dibangun sebaiknya benar-benar berangkat dari lapisan paling bawah, dari dasar keperihatinan ini muncul apa yang disebut teologi populis atau teologi kerakyatan, sehingga kalau realitas yang menggugah keperihatiannya adalah soal keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukan hanya keadilan Tuhan yang harus ditegakkan disana, tapi keadilan yang menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan sini.

PENUTUP

Sebagaimana paparan yang telah dijelaskan diatas, ada beberapa kesimpulan bahwa Wasil ibn Atho` merupakan pelopor dan tokoh aliran mu`tazilah, yang mendapat julukan shaikh al-mu’tazilah wa qadimuha, pemikiran Wasil ibn Atho` adalah rasional.

Adapun pemikiran mu`tazilah tercakup dalam al-usu>l al-khamsah yaitu at-Tauhid, ‘Adl, Wa’d wa Wa’id, Manzilah baina Manzilatain dan

al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.

Tumbuhnya telogi mu`tazilah pada abad pertengahan sebagai pengabdian pada kepentingan doktrin atau teologi dialektik retorik, merupakan dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lainnya, maka dilektika teologi yang bersifat populis itu bersifat empiris yang merupakan dialektika dari proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan pesan-pesan universal.

Dengan demikian concernya teologi dialektika retorik adalah terbangunya kesesuaian realitas pemahaman dengan bunyi doktrin, sementara teologi dilalektika populis adalah terbangunnya kesesuaian antara realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.

Maka dengan terbangunya teologi dialektika empiris yang terbuka, membawa masyarakat pada keterbukaan yang menerima perbedaan pendapat

(16)

sebagai realitas kehidupan yang wajar, justru dengan pendapat yang beda-beda itu, kemungkinan menemukan pilihan yang terbaik, menjadi tersedia, dimana secara vertikal berwatak populis, sementara secara horizontal berwatak demokratis, dua sisi yang selama ini terabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abd Jabbar, Usu>l Khamsah, Kairo: Dar Maktabah al-Ilmiyyah, 1965

Al-Bagdadi, al-Farq Baina al-Firaq, Mesir: Maktabah asy-Sya`bah, t.t. Amin, Ahmad, Fajr Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1975.

F. Mas`udi, Masdar, Telaah Kritis Atas Teologi Mu`tazilah, dalam, Budhi Munawwar Rahman (Ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

Al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Isla>miyyah, Mesir: Maktabah `Ali Sya`bah, 1958. Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Mahmud Subhi, Ahmad, Fi ‘Ilm al-Kala>m, Mesir: Dar al-Kutub al-Jami`ah, 1969.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

_____________, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. _____________, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

Al-Nasysyar, Nashah al-Fikr al-Falsafi> fi> al-Isla>m, Kairo: Dar al-Maktabah al-Islamiyyah, 1971.

Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nih}al, Beirut: Dar al-Ma`rifah, 1975.

Th. Houstma, M., dkk (ed), First Enciyclopedia of Islam, Leiden: E. J. Brill’s, 1987.

Zahrah, Abu, as-Siya>sah wa ’Aqi>dah fi> al-Isla>m, edisi Indonesia, Aliran

Referensi

Dokumen terkait

(Make sure to notice He uses Scripture. You could ask ‘Why do you think He used God’s Word to respond to temptation?”) What are some things that we can learn about temptation

Hipotesis kedua menunjukkan bahwa CSR keseluruhan tidak ada pengaruh pada ROE, hal ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Marissa Yaparto, Dianne Frisko, dan

Menurut pasal 1 angka 1 Undang- UndangNomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud dengan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan

Semua pemerintah daerah sangat berusaha agar bisa memajukan agar bisa ditingkatkan kebijakannya dalam rana perekonomian maupun keuangan agar bisa meningkatkan

Pada saat DSO dibuat, untuk tipe penjualan yang menggunakan Sales Program Subsidi, Subsidi Barang Bonus, dan TAC (Scheme dan Insentif Finance Company), maka One-D

Kerangka pikir adalah suatu konsep atau alur pikir yang berisikan hubungan kausal antara variabel bebas dan variabel terikat dalam rangka memberikan jawaban sementara

Imam Suyuthi setelah menyebutkan hadits riwayat Ibnu Hibban beliau berkata, “singkatnya dua puluh rakaat itu, tidak pernah dikerjakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, adapun

Namun demikian, belum semuanya dapat tertampung, sebagai akibatnya masih banyak tenaga kerja yang pada umumnya kurang trampil mau dan bersedia bekerja apa saja, asal mendapat upah