• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap pemahaman dan penjelasan tentang budaya politik, dan dampak politik klan pada tatanan politik lokal di Indonesia. Beberapa uraian sebelumnya, saya telah menjelaskan kekuatan informal organisasi sosial dan kultural yang cukup sulit dipahami dalam logika prosedural, tetapi secara konseptual penting dalam memahami demokrasi Indonesia.

Tesis umum studi ini adalah meskipun sebagai proses global, demokrasi bukanlah komponen yang dapat dimasukkan dengan sempurna ke dalam proses politik di Indonesia. Terdapat beberapa titik dalam perkembangannya telah menyesuaikan diri dengan nilai dan budaya politik yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Hingga pada akhirnya, hadirnya politik klan dalam demokrasi lokal sulit untuk terbantahkan. Klan politik adalah konsekuensi dari mekanisme prosedural demokrasi yang menekankan suara terbanyak dan pemilihan langsung atau kurang lebih sebagai praktik populisme. Populisme disini berdasarkan kesadaran palsu atau taken for

granted (doxa). Kita juga perlu memahami bahwa budaya dan jaringan tradisional

yang kuat dapat mempengaruhi tatanan politik, dan menunjukkan perlunya kita memikirkan kembali dan memperluas pendekatan teoritis untuk mempelajari proses demokratisasi kontemporer.

Mekanisme demokratisasi tersebut telah menjadikan optimalisasi modal dalam segala bentuknya untuk mereproduksi kuasa politik oleh aktor lokal. Klan Qahhar Mudzakkar kemudian hadir dari reproduksi modal sosial dan simbolik, sebagaimana dalam bahasa Pierre Bourdieu. Modal sosial tersebut berupa identitas dan jaringan sosial dan politik yang berkarakteristik Islam, sedangkan modal simbolik adalah transformasi modal kultural yang kemudian mereproduksi kuasa simbolik. Keduanya masih lekat dengan warisan dari Qahhar Mudzakkar.

(2)

Setidaknya terdapat tiga hal pokok dari keberhasilan – cara reproduksi modal bekerja – Klan Qahhar Mudzakkar dalam politik lokal di Sulawesi Selatan. Pertama, warisan simbolik Qahhar Mudzakkar berupa karisma, mitos, romantisme, dan Syariat Islam, terkonversi menjadi kuasa simbolik yang melekat kepada keturunannya. Kedua, warisan Qahhar Mudzakkar berupa transformasi jaringan terlembaga dan tidak terlembaga yang identik dengan DI/TII, Muhammadiyah, dan ke-Luwu-an, terkonversi menjadi modal sosial. Ketiga, kedua hal tersebut akan bekerja dan terlegitimasi secara politik, apabila terdapat dukungan habitus dan budaya politik secara doxical. Islam, siri’ dan pesse, serta patro-klien adalah habitus yang memberikan legitimasi berupa tindakan kolektif masyarakat Sulawesi Selatan berkesesuaian dengan doxa rekrutmen kepemimpinan yang selama ini telah bertahan lama dan menjadi tradisi. Akan tetapi, saya tidak menafikan bahwa kekuatan jaringan para klan juga memiliki pengaruh terhadap keberhasilan mereka dalam ranah politik.

Qahhar Mudzakkar adalah sosok fenomenal yang telah memberikan warisan bagi keberhasilan para keturunannya dalam politik di Sulawesi Selatan. Warisan tersebut berupa modal sosial dan modal simbolik yang kemudian menjadi momentum “napak tilas” politik para anggota klan untuk mereproduksi kuasa dalam arena politik elektoral. Pertanyaannya kemudian apakah rezim klan memiliki prospek bertahan dan berlanjut dalam konteks yang berbeda? Saya mengajukan pendekatan kulturalis untuk menjawab pertanyaan ini. Dikarenakan ini menyangkut budaya politik, maka bagaimanapun masalah kebiasaan (habitus) dan kesadaran palsu (doxa) berdiri sebagai salah satu kontribusi utama untuk kekuasaan dalam “masyarakat demokrasi” saat ini. Oleh sebab itu, budaya telah mengaburkan kekuatan kelas dan menyediakan alat untuk perbedaan sosial, sehingga dalam konteks apapun klan sebagai kelas sosial akan terus ada dan dilegitimasi oleh masyarakat. Akan tetapi, disisi lain budaya adalah praktik sosial yang dinamis. Sebuah ruang pergumulan kepentingan dan rasionalitas individu, yang pada akhirnya ia dapat berganti kedalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu, dinamika dan durabilitas adalah keniscayaan fenomena politik klan, yang tergantung pada tujuan dari praktik sosial tertentu.

Apa yang bisa dipelajari dari kasus ini? Pertama, terdapat empat elemen kunci untuk memahami politik klan yakni struktur peluang politik (political

(3)

peluang politik, berkaitan dengan transisi rezim dan lahirnya demokratisasi dan desentralisasi. Sementara kekerabatan adalah menyangkut dengan politik identitas berdasarkan pada hubungan keluarga, etnis, dan daerah. Terbangun melalui habitus berupa siri’ dan pesse. Sementara, kepercayaan adalah menyangkut ideologi. Terdapat dua hal berkaitan dengan reproduksi kepercayaan yakni habitus berupa agama dan patron-klien, serta kekuatan doxa. Sedangkan jaringan adalah menyangkut organisasi sosial dan politik, baik itu terlembaga maupun tidak yang cenderung bekerja secara kultural. Pointnya adalah memahami politik klan berarti memahami aktor (individu) secara sosiologis, yakni mereka harus dianggap sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas dan terbentuk oleh kepentingan dan preferensi masyarakat, sesuai dengan nilai-nilai kultural. Kasus politik klan di Sulawesi Selatan membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk sampai pada penjelasan mengenai mengapa klan politik dapat hadir, dibandingkan sebagian besar politik klan di Indonesia pada umumnya. Pergeseran pendekatan aktor ke pendekatan masyarakat.

Kedua, bahwa proses kelahiran Klan Qahhar Mudzakkar cenderung oleh budaya doxical yang kemudian menciptakan populisme. Oleh karena adanya populisme Qahhar Mudzakkar, maka masyarakat dengan “kesadaran palsu” kemudian merepresentasikan politiknya dalam hal rekrutmen kepemimpinan, hanya pada tradisi mereka kepada para keturunan dari Qahhar Mudzakkar. Oleh karena itu, kesimpulan bahwa populisme juga dapat membawa potensi untuk membangun demokrasi – karena dasar dari populisme, seperti halnya dalam demokrasi, dimana rakyat melalui tuntutan kolektif yang pada gilirannya berarti masyarakat yang mendefinisikan apa yang harus dimaksud dengan urusan populer (dikutip dalam Pratikno dan Lay, 2011: 54-55) – sifatnya ambigu. Dalam konteks proses keputusan politik (kebijakan publik) mungkin harapan itu berjalan sebagaimana mestinya, akan tetapi dalam hal rekruitmen kepemimpinan harapan tersebut cenderung tidak akan berjalan. Budaya, bagaimanapun akan menentukan seperti apa populisme itu diaktualisasikan dalam rekrutmen kepemimpinan.

Pelajaran ketiga berkaitan dengan patron-klien. Modal yang terbatas menghasilkan kepemilikan yang terbatas pula, sementara disisi lain kepemilikan modal adalah kebutuhan bagi seluruh individu. Klan Qahhar Mudzakkar dalam

(4)

berbagai modal yang dimilikinya tentu menjadikannya sebagai patron dalam arena sosial dan politik, sementara mereka yang “tersingkirkan” akan menjadi klien. Dalam ranah elektoral, kepemilikan modal sosial berupa jaringan berbasis agama dan etnisitas, serta modal simbolik berupa karisma, tentunya pola patron-klien yang terjadi akan berbeda dengan modal ekonomi yang sifatnya mengikat. Dalam pola ini, individu sebagai klien dapat bebas dan aspiratif. Tindakan individu bergantung pada konsepsinya – walaupun seringkali berupa kesadaran palsu (doxa) – dalam menilai patron sebagai representasinya dalam politik. Misalnya, mitos dan karisma memberi pengaruh yang kuat bagi terpilihnya para keturunan Qahhar Mudzakkar. Pemilih secara ideologis memilih tanpa adanya transaksi politik seperti yang digambarkan dalam pola klientalisme baru (new clientelism). Akan tetapi, sifatnya cenderung

durable seperti dalam klientelisme lama. Begitu halnya dalam modal sosial berupa

jaringan organisasi sosial, mobilisasi pemilih bergerak secara ideologis dikarenakan basis etno-religius yang menjadi pondasi gerakan. Para pemilih ini dapat bergerak secara ideologis. Realitas inilah yang menjadikan Klan Qahhar Mudzakkar memiliki para pemilih idealis.1 Artinya bahwa pemilih menggunakan hak pilihnya diluar dari logika ekonomi ataupun kekuasaan/birokrasi (post-clientelist).

Berdasarkan uraian diatas, kita dapat mengajukan refleksi teoritik bahwa proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan pluralisasi patronase politik di tingkat lokal. Konsepsi dari klientalisme lama dan klientalisme baru bergantung pada karakteristik dari relasi sosial yang ada terkait dengan modal yang dikelola. Modal ekonomi dan budaya cenderung menciptakan pola klientalisme lama, sedangkan modal sosial dan simbolik menciptakan pola klientalisme baru. Hanya saja, konsepsi transaksional dalam klientalisme baru dapat saja tidak berlaku, walaupun pemilih secara bebas dapat menentukan pilihannya. Hal ini ketika pemilih berdasarkan ideologinya.

Keempat, refleksi selanjutnya berkaitan dengan relasi terhadap demokrasi, dimana didalamnya terdapat kesimpulan yang sifatnya paradoksional dalam

1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

tertentu, dilakukan secara sukarela (voluntarisme), dan mampu menjadikan pemilu berlangsung secara murah (lihat Sigit Pamungkas (2010), “Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian”, Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, halaman 98). Inilah alasan mengapa para klan tidak banyak menghabiskan modal ekonomi dalam proses kampanya politik, bahkan salah satu klan telah menyatakan tidak mengeluarkan modal ekonomi milik pribadi sama sekali.

(5)

menjelaskan masa depan demokrasi Indonesia. Kasus dalam studi ini adalah contoh bahwa demokrasi berjalan tidak sebagaimana mestinya, yang selama ini diharapkan dalam demokrasi prosedural mashab Schumpeterian. Studi ini telah memberikan simpulan perlunya memeriksa kembali arah kebijakan dan studi demokrasi kedepannya. Akan tetapi, saya menyimpulkan realita kultural seperti dalam studi ini, tidaklah secara signifikan akan menghambat masa depan demokrasi Indonesia secara nasional – gagalnya demokrasi dan hadirnya reotoritarian. Demokrasi akan terus menemukan wajah Indonesia-nya yang kemungkinan akan berbeda dengan demokrasi yang menjunjung liberalisme ala Barat (adjective democracy). Dengan kata lain, berbicara demokrasi Indonesia, sebaiknya kita harus menjelaskan bahwa demokrasi lokal adalah “an engaging blend of modernity and traditionalism”.

Terakhir, studi transisi demokrasi yang saat ini banyak diadopsi untuk menjelaskan oligarki politik di Indonesia, diperlukan perspektif lain untuk sampai pada kesimpulan tersebut. Masyarakat dengan tradisi budayanya, terbukti memiliki pengaruh besar akan kehadiran oligarki-oligarki tersebut. Lebih luas lagi, kesimpulan dominan yang didasarkan pada beberapa asumsi utama bahwa negara-negara bergerak menjauh dari otoritarianisme cenderung mengikuti proses tiga bagian dari demokratisasi yang terdiri dari pembukaan, terobosan, dan konsolidasi, ataupun peluang suatu negara untuk keberhasilan demokratisasi terutama tergantung pada niat politik dan tindakan elit politik. Sebaliknya, studi ini menegaskan bahwa adalah layak untuk kembali ke literatur klasik dalam menganalisis demokratisasi dari sudut pandang multidimensi dengan mempertimbangkan faktor-faktor budaya politik. Keberhasilan menjadi tanda kutip ketika kita ingin menyimpulkan bahwa rezim Indonesia – dalam konteks lokal – menjauh dari otoritarianisme dan mendekati demokrasi. Kita masih harus bertanya tentang konsepsi rezim tersebut. Mungkinkah kita dapat mengatakan bahwa rezim politik lokal adalah rezim tersendiri? Dapatkah kita menyebutnya “hybrid regime” untuk mengklasifikasikannya sebagai rezim yang ambigu? Apakah rezim lokal dan nasional berbeda ataukah setali tiga uang? Ini adalah sekian banyak pertanyaan-pertanyaan yang penting diajukan berdasarkan fenomena politik lokal kontemporer.

Referensi

Dokumen terkait

Kewarganegaraan ada siswa kelas IV SD Negeri Karaban 2 Pati tahun ajaran 2010/2011”.7 Hasil dari penelitian ini adalah 1 ada pengaruh yang positif dan signifikan antara kepribadian

Strategi indriawi, yaitu dengan mengadakan kegiatan untuk anak-anak yang bisa mengasah potensi dari anak didik lembaga pendidikan Al-Fattah agar masyarakat

Setiap guru dapat menciptakan format pengorganisasian siswa untuk kegiatan pembelajaran kelompok kecil dan perorangan sesuai dengan tujuan, topik (materi),

Penelitian kulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara deskriptif dalam bentuk

Agar dapat digunakan sebagai antena penguatan sinyal GSM ( Global system for mobile ). Antena Helical harus dibuat dengan perhitungan yang benar dan teliti sehingga

Memberikan tatalaksana semua derajat dan jenis gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memahami komplikasi yang mungkin terjadi.. Memberikan penjelasan kepada orang

tidak tahan dan kurang tahan yang proporsinya cukup besar mencapai 94%, maka kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani, dengan umur yang relatif produktif, pendidikan petani

Aki bat  bermigrasi ini adalah ter  bentuk rongga a bses yang penuh dengan cairan yang  berisi leukosit yang mati dan hidup, sel-sel hati yang mencair  serta