• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak gembirakan, namun masih dijumpai beberapa perma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak gembirakan, namun masih dijumpai beberapa perma"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI

SAPI DENGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

MELALUI USAHA KEMITRAAN

SURYANA

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan ii. Panglima Batur Barat No . 4, Banjarbaru - 70711

ABSTRAK

Pengembangan model integrasi sapi pada perkebunan kelapa sawit telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia dan menguntungkan . Luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan berpotensi, disamping ketersediaan tenaga kerja, peluang pemasaran temak dan pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk tanaman masih terbuka lebar . Disamping itu kerjasama dengan pihak owner perkebunan sudah terjalin baik . Namun dalam tahapan pengembangan model yang lebih luas, masih perlu dicari solusi terhadap masalah dan kendala berupa keterbatasan modal usaha di tingkat petani-peternak, dan peningkatan kerjasama kemitraan dengan pihak investor yang dapat memperkuat modal serta kelembagaan pendukung lainnya . Pola kemitraan merupakan salah satu altematif dalam mendukung pengembangan model integrasi sawit-sapi dengan memanfaatkan limbah kebun maupun industri pengolahan crude 'palm oil (CPO) sebagai pakan temak . Pendekatan yang dilakukan dalan sistem ini adalah teknik produksi (meningkatkan daya dukung hijauan dan pemanfaatan limbah) dan pendekatan sistem agribisnis (skala dan kawasan usaha) . Oleh karena itu, perlu diupayakan penguatan modal dalam bentuk pinjaman atau kredit, penyediaan bakalan sapi yang berkualitas, peningkatan kemampuan manajerial pekebun-petemak, perbaikan infrastruktur perdesaan, kebijakan perdagangan, serta inovasi teknologi yang lebih efisien .

Kata kunci : Integrasi sawit-sapi, kemitraan

PENDAHULUAN

Fakta menunjukkan bahwa pengembangan model integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit sudah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, yang hasilnya layak dan menguntungkan . Keuntungan yang diperoleh dari sistem ini, selain meningkatkan penda-patan pekebun dari hasil tambahan tenaga kerja, pihak perusahaan dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian pupuk dan membersihkan gulma . Pada umum-nya tatalaksana pengelolaan perkebunan kelapa sawit dibedakan dalam dua kelompok, yakni kawasan perkebunan kelapa sawit yang belum menghasilkan dan kawasan perkebunan dengan tanaman sudah berproduksi (MATHIUS, et al., 2007) .

Sampai saat ini luas perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di Indonesia mencapai 1 .905 .000 Ha (34,90%) dari total areal per-kebunan yang ada. Perper-kebunan kelapa sawit ini lebih didominasi oleh perusahaan besar swasta (PBS) seluas 2 .867 .000 Ha (52,80%), sedang-kan luas perkebunan besar negara (PBN)

sekitar 675 .000 Ha (12,30%) terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Sampai tahun 2005 di Kalimantan Selatan perkebunan kelapa sawit tercatat seluas 164 .692 Ha, dengan produksi crude palm oil (CPO) 350 .076 ton/tahun, bungkil inti sawit 62 .232 ton/tahun dan solid 75 .267 ton/tahun . Sementara jumlah populasi ternak ruminansia sebanyak 346 .702 ekor, terdiri atas sapi 193 .920, kerbau 41 .435 ekor, kambing 107 .873 ekor dan domba 3 .474 ekor . Ternak tersebut berpotensi untuk dikembangkan secara integrasi dengan perkebunan kelapa sawit (SURYANA, 2007) . Cadangan lahan potensial yang belum dimanfaatkan sebesar 35% dari total potensi lahan yang ada, namun keter-sediaan tenaga kerja realtif rendah (SANTOSO, 2006) .

Menurut SARDJONO (2005) pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan pada wilayah-wilayah bukan baru sangat potensial sebagai penggerak perekonomian wilayah dengan berbagai multiplier effect-nya . Meskipun pengembangan kelapa sawit telah menunjukkan kinerja yang sangat

(2)

meng-gembirakan, namun masih dijumpai beberapa permasalahan yang dihadapi, antara lain : (i) rata-rata produksi tanaman masih rendah (± 10 ton TBS/Ha/tahun), karena usia tanaman relatif masih muda, (ii) disamping itu sekitar 400 .000 Ha areal kelapa sawit yang ada saat ini memasuki umur peremajaan, (iii)

pengem-bangan perkebunan kelapa sawit secara

swadaya oleh rakyat yang tidak terintegrasi dengan unit perusahaan kelapa sawit, (iv)

industri hilir CPO dalam negeri belum

berkembang, sebagian besar ekspor masih dalam bentuk CPO, (v) belum terlibatnya

petani atau kelembagaan petani dalam

pemilikan unit pengolahan, dan (vi) tidak

tersedianya lagi kredit program untuk

pengembangan kelapa sawit . Semua hal

tersebut menyebabkan upaya peremajaan dan pengembangan tanaman menjadi terlambat .

Untuk meningkatkan peran perkebunan

sawit dalam kegiatan integrasi ternak ruminan-sia perlu dukungan dari berbagai pihak terkait . Salah satunya adalah pola kemitraan antara inti (perusahaan perkebunan) dan plasma (peternak rakyat) . Hal senada dikemukakan SUDARYA

(2007) bahwa untuk terwujudnya

pembangunan integrasi sapi dengan

perkebunan kelapa sawit perlu dukungan dan kemitraan dari berbagai pihak . Berbagai pihak dimaksud antara lain pemerintah daerah, pusat, swasta, perguruan tinggi dan lembaga swadaya

masyarakat (LSM) yang berminat untuk

melaksanakan kegiatan tersebut. Menurut

MUDIKDJO dan MULADNO (1999) istilah

kemitraan dimaksud-kan sebagai upaya

pengembangan usaha yang dilandasi kerjasama antara perusahaan dengan peternakan rakyat . Kerjasama ini pada dasarnya adalah kerjasama vertikal atau vertical partnership . Petani menghasilkan bahan baku dan perusahaan sebagai partner melakukan pengolahan untuk menghasilkan produk akhir . Kerjasama ini tentunya harus mengandung pengertian bahwa kedua belah pihak memperoleh keuntungan atau manfaat (SUDARYANTO, et al., 1999) . Lebih lan_jut dikemukakan bahwa dari sudut pandang pemerintahan, keterlibatan dalam

menumbuh-kan kemitraan didasarkan pada

harapan-harapan seperti (i) dipercepatnya penerapan teknologi pada usaha peternakan rakyat, (ii) diatasinya permodalan peternak,

(iii) dicari solusi pemasaran dan (iv)

berkembangnya keterkaitan yang

memper-kokoh struktur industri peternakan . Dampak kebijakan pernerintah terhadap kemitraan

dengan usaha peternakan rakyat adalah

menciptakan lapangan kerja di perdesaan . Sebagai contoh, dalam usaha pertanian tanaman pangan dewasa ini terdapat tiga pola

kemitraan yang berkembang, yakni pola

kemitraan tradisional, kemitraan pemerintah dan kemitraan pasar . Sedangkan kemitraan agribisnis tanaman pangan mengikuti pola hubungan patron-client . Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis dan yang

berperan sebagai client adalah petani

penggarap atau buruh (SUDARYANTO dan

PRANADJI, 1999) .

Di Kalimantan Selatan, pengembangan

model integrasi sawit-sapi melalui kemitraan telah dilakukan antara Balai Pengkajian Teknologi , Pertanian Kalimantan Selatan, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

Kabupaten Tanah Bumbu dengan pihak

perusahaan industri pengolahan kepala sawit, dengan melibatkan petani-peternak sebagai kooperator . Pola kemitraan ini sudah sampai tahap sosialisasi/penyuluhan dan rencana pengembangan . Dalam kegiatan ini respon pihak mitra sangat poSitif (SURYANA, et al., 2006) .

Menurut RIYANTO (2007) untuk lebih

menciptakan prospek integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit dapat berhasil dan berkelanjutkan, maka ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan . Aspek-aspek dimaksud antara lain : 1) ada keingian yang kuat dari petani-peternaknya itu sendiri, 2) harus ada

dukungan political will yang kuat dan

konsisten, balk dari pihak eksekutif maupun legislatif dalam hal pendanaan, 3) mampu menggerakkan SDM peternakan di lapang dalam pendampingan petani-peternak dengan prinsip partisipatif, 4) dukungan biaya operasional yang memadai, 5) diperlukan need assessment petani-peternak sehingga program pendampingan berjalan baik, dan 6) diperlukan kerjasama kemitraan antara perusahaan dengan petani-peternak atau pekebun (pola kemitraan tradisional, pola kemitraan pemerintah dan

pola kemitraan pasar) . Diharapkan

implementasi dari pengembangan model

integrasi ternak dengan perkebunan kelapa

sawit yang dilakukan dengan pola usaha

(3)

ber-Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak

kesinambungan, sehingga pendapatan petani-peternak sekaligus pekebun meningkat .

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan

gambaran tentang usaha kemitraan dalam

pengembangan model integrasi ternak dengan

perkebunan kelapa sawit di Kalimantan

Selatan .

POLA KEMITRAAN

Usaha kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dan menengah atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan

memperhati-kan prinsip saling memerlukan, sating

memperkuat dan sating menguntungkan .

Menurut WIDYAHARTONO yang disitasi

HERMAWAN, et al., (1998) prinsip kemitraan

ditandai oleh adanya azas kesejajaran

kedudukan mitra, azas saling membutuhkan

dan azas saling meng-untungkan yang

merupakan persetujuan antara dua atau lebih perusahaan untuk sating berbagi biaya, resiko dan manfaat.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin kemitraan atau kerjasama antara kedua belah pihak berhasil antara lain harus ada komunikasi yang balk . Dengan komunikasi

yang baik tersebut, para pelaku usaha

kemitraan akan membuat lawan bicaranya memahami apa yang ia maksudkan dan mereka

akan berusaha mencapai klaim-klaim

kesahihan (FADJAR, 2006), dan arah orientasi yang jelas, profesionalisme serta sating menguntungkan (win-win solution) (UTOMO dan ANANG, 2003) . Untuk dapat bermitra secara sehat dengan usaha kecil memang diperlukan upaya khusus, misalnya pembinaan yang tidak hanya terbatas pada pembinaan finansial dan teknis akan tetapi termasuk manajemen . Berkembangnya kemitraan usaha

merupakan indikasi dari sudah mulai

berubahnya strategi usaha agar setiap pihak yang bersaing dapat menang dalam setiap sasarannya (HERMAWANet al., 1998) .

Menurut MAKKA (2005) pola kemitraan

usaha yang dapat dilaksanakan meliputi : 1) pota inti - plasma, yaitu hubungan kelompok

dengan perusahaan, di mana perusahaan

bertindak sebagai inti dan kelompok sebagai plasma, 2) pota sub kontrak adalah hubungan kelompok dengan perusahaan, dan kelompok

memproduksi komponen yang diperlukan

perusahaan, 3) pola dagang umum yaitu

hubungan kelompok dengan perusahaan,

memasarkan hasil produksi kelompok atau

sebaliknya kelompok memasok kebutuhan

perusahaan, 4) pola keagenan adalah hubungan

kemitraan, di mana kelompok diberi hak

khusus untuk memasarkan, dan 5) pota

kerjasama operasional agribisnis (KOA),

dimana kelompok menyediakan sarana

produksi, sedangkan perusahaan hanya

menyediakan modal atau sarana lainnya.

Menurut SAFUAN yang disitasi

HERMAWAN,et a!., (1998), ada 2 (dua) bentuk pola kemitraan, yaitu 1) kemitraan pasif adalah salah satu mitra hanya menerima bantuan dari mitra lain >fanpa harus ada kaitan usaha, dan 2) kemitraan aktif adalah antar mitra terdapat jalinan kerjasama sehingga terbentuk hubungan bisnis yang sehat . Di bidang pertanian, kemitraan sudah dimulai sejak tahun 1977-an dengan model perusahaan inti rakyat (PIR), sedangkan di sub sektor peternakan telah dikembangkan model kemitraan yaitu industri

peternakan rakyat atau INNAYAT,

pengembangan pola kawasan

Industri-Peternakan (KINNAK) yang salah satu

modelnya adalah KINNAK-PIR (AGUSTIAN, 1997) . Pola-pola PIR yang dikembangkan antara lain PIR bakalan dan penggemukan

untuk sapi potong yang perkembangannya

hingga kini belum memuaskan . Pola-pola

kemitraan yang sudah dilaksanakan di

Indonesia, tertera pada Tabel 1 .

Kerjasama dari sudut pandangan "Inti"

masih dianggap sebagai pemenuhan

per-syaratan dan belum menunjukkan tanda-tanda sebagai kerjasama yang sating menguntungkan

(MUDIKDJO dan MULADNO, 1999) . Menurut

MAKSUM dan ETNAWATI (2005), PIR

perkebunan adalah untuk menciptakan

hubungan sating ketergantungan dan kerjasama sating menguntungkan antara perkebunan besar sebagai perusahaan inti dengan perkebunan rakyat sebagai plasma(inti-plasma).

(4)

Tabel 1 . Sejarah perkembangan usaha kemitraan di Indonesia

107/Kpts-1 1/ 1999)

Sumber : FADJAR (2006)

Keterangan : NES (nucleus estate smallholder), KKPA (kredit koperasi primer anggota)

Menurut FADJAR (2006) kemitraan usaha perkebunan diharapkan mampu mensinergikan kekuatan para pelaku utama usaha kemitraan

(petani dan perusahaan) serta kekuatan

beberapa unsur penunjang lainnya (pemerintah, lembaga keuangan nasional, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi).

Dalam rangka membangun kemitraan

usaha, ikut campur tangan pemerintah sangat

diperlukan dalam beberapa aspek, yaitu

pertama mengarahkan kelembagaan ekonomi koperasi, terutama KUD untuk menjadi bagian dari jaringan agribisnis, kedua

mengkon-solidasikan mengenai penggunaan lahan

petani, ketiga membuat perangkat hukum yang mendukung sehatnya perkembangan kemitraan

usaha, terutama yang ditujukan untuk

melindungi hak-hak individu petani dari

bahaya eksploitasi pemodal besar, dan

pengurasan sumberdaya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian, keempat menciptakan kondisi yang kondusif, misalnya pengembangan prasarana ekonomi, pengkajian dan penerapan teknologi, kemudahan pela-yanan perkreditan dan pengembangan sistem informasi pasar, dan kelima membuat suatu pilot project dengan tahap awal melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi dan kemitraan usaha di daerah (SUDARYANTO

dan PRANADJI, 1999) . Menurut POULTRY INDONESIA (2006) dukungan pemerintah daerah masih sangat kurang, terutama dalam dukungan fasilitas modal, aturan perburuhan dan ketenagakerjaan, upaya penelitian yang

mestinya sangat penting agar terjadi

pelaksanaan kerjasama kemitraan secara adil, namun ke depan peran pemda tersebut masih

dapat ditingkatkan, sehingga usaha kemitraan ini berjalan dengan baik .

Pola pengembangan sistem integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit, kalau ditinjau dari usaha kemitraan dapat memilih alternatif

pola usaha yang menguntungkan, dengan

aturan main yang telah disepakati bersama. Terdapat 5 pola pengembangan perusahaan perkebunan yang dapat melibatkan masyarakat dalam wadah koperasi sebagai pemilik saham perusahaan pengembangan, yaitu : 1) pola koperasi usaha perkebunan yang sahamnya 100% dimiliki oleh koperasi usaha perkebunan,

2) pola patungan koperasi-investor, yakni pola pengembangan yang sahamnya 65% dimiliki koperasi, dan 35% dimiliki investor atau

perusahaan, 3) pola patungan

investor-koperasi, adalah pola pengembangan yang sahamnya 80% dimiliki investor, 20%dimiliki koperasi, 4) pola built, operate dan transfer

(BOT) yaitu pola pengembangan yang

seluruhnya dilakukan oleh perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu diserahkan kepada koperasi, dan 5) pola Bank Tabungan Negara (BTN) yakni pihak perusahaan-investor membangun kebun dan pabrik yang kemudian dialihkan kepada peminat dan pemilik yang tergabung dalam koperasi (FADJAR, 2006).

Pola-pola kemitraan yang sudah berkembang di perkebunan sawit dapat terus dilaksanakan dan tingkatkan dengan memberikan peran yang Iebih kuat terhadap posisi tawar (bargaining position) petani-peternak. Sehingga secara bertahap petani diarahkan untuk memiliki saham pada koperasi atau perusahaan inti yang

dapat membantu dalam memperkuat modal

untuk meningkatkan skala usaha .

Beberapa kelemahan sumber daya manusia petani (FADJAR, 2006), adalah : penguasaan

No. Periode Nama progran dan pelaksana

I . Pelita11 : 1977 Pola NES BUMN oleh Pemerintah dan Bank Dunia (komoditas

karet di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan)

2 . Pelita[1I : 1978-1983 Lanjutan pola NES di daerah baru PIR Transmigrasi (1986) 3 . PelitaIV : 1983-1988 Lanjutan Pola NES di daerah baru

4 . PelitaV : 1988-1993 Lanjutan PIR Transmigrasi

(5)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak

akses informasi pasar (input-output) lemah, input produksi yang dikuasai umumnya hanya lahan dan tenaga kerja, tingkat pendidikan rendah sehingga adopsi teknologi baru berjalan lambat, tidak terorganisir sehingga tindakan mereka tidak efektif dan efisien, bargaining position lemah, tingkat kebutuhan masih rendah, mereka umumnya lebih mengutamakan kebutuhan pokok, menghindari resiko kega-galan, enggan berinvestasi, pola hubungan bersifat pribadi dan banyak kepentingan .

Menurut RAHMAT, et al., (1995) kendala dalam investasi di bidang perkebunan berbeda dengan sektor lainnya . Investasi di perkebunan memerlukan modal awal yang besar terutama dalam penggarapan lahan yang luas dan besar,

jangka waktu yang panjang untuk sampai

produksi, resiko kegagalan yang tinggi akibat faktor alam dan terdapat di lokasi terpencil dengan lahan bukaan baru dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang sangat terbatas . HERMAWAN, et al., (1998) menyatakan bahwa

kelemahan usaha kemitraan di Indonesia

adalah pendekatan yang dilakukan secara top

down yang bermula dari ajakan pemerintah yang mewujud dalam bentuk loyalitas politik .

PROSPEK DAN PELUANG POLA INTEGRASI SAWIT-SAPI SECARA

KEMITRAAN

Berdasarkan hasil pengkajian yang

dilakukan SURYANA, et al., (2006),

menunjuk-kan bahwa pengembangan model integrasi

sawit-sapi dengan pola kemitraan mempunyai prospek dan peluang yang cukup baik . Halini ditunjukkan dari partisipasi petani-peternak sebagai calon kooperator, pihak pemerintah

daerah dan perusahaan perkebunan sawit

sebagai mitra memberikan respons yang balk terhadap kegiatan tersebut .

Pendapat yang sama dikemukakan

GUNAWAN dan AZMI (2005) sistem integrasi sawit-sapi (SISKA) di Provinsi Bengkulu dengan pola kemitraan telah berjalan, baik kegiatan SISKA di perkebunan swasta maupun dengan perkebunan sawit rakyat . Manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut antara lain efisiensi penggunaan tenaga kerja dan pupuk untuk tanaman sawit yang akhirnya pendepatan pekebun dapat ditingkatkan . DrwYANTo clan HARYANTO (2001) menyatakan bahwa secara

umum ada 7 keuntungan yang diperoleh

dengan penerapan sistem integrasi ternak dan tanaman, yaitu : a) diversifikasi penggunaan

sumberdaya produksi, b) mengurangi

terjadinya resiko, c) efisiensi penggunaan

tenaga kerja, d) efisiensi penggunaan

komponen produksi, e) mengurangi

ketergantungan energi kimia dan biologis serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, f) ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi, sehingga melindungi lingkungan hidup, g) meningkatkan output, dan h) mengembang-kan rumah tangga petani-peternak yang lebih stabi 1 .

Menurut MAKKA (2005) pola kemitraan

perkebunan sawit dengan petani-peternak

sekaligus pekebun ini diharapkan dapat

mengembangkan modal usaha, yang

diman-faatkan untuk menambah berbagai kegiatan

usaha yaqg terkait dengan pengembangan

peternakan, seperti pembangunan industri pengolah limbah sawit untuk pakan ternak, fasilitas pemasaran (pasar hewan) dan fasilitas pendukung lainnya .

Pendekatan yang dilakukan dalam

pengembangan model integrasi sapi dengan perkebunan kelapa sawit yaitu pendekatan teknik produksi, meliputi peningkatan daya dukung hijauan dan optimalisasi pemanfaatan limbah kebun dan industri pengolahan CPO

sebagai pakan, dan pendekatan sistem

agribisnis antara lain dengan mempertimbang-kan skala dan kawasan usaha. Skala usaha

untuk pemeliharaan penggemukan dengan

menggunakan bakalan yang baik dan

perencanaan penyediaan pakan yang kontinyu,

pencegahan dan pengendalian penyakit

dilakukan secara profesional . Sedangkan

kawasan usaha meliputi luasan areal

perkebunan yang akan dijadikan tempat

memelihara sapi serta kegiatan pendukung lainnya . Beberapa permasalahan penting yang ditemui dan menghambat pencapaian produk-tivitas dan efisiensi usaha peternakan adalah sumber daya ternak, manusia, pakan, lahan dan sumber daya teknologi (RIADY, 2004) .

PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

(6)

1 . Pola integrasi ternak dengan per-kebunan kelapa sawit memberikan peluang dan prospek yang baik dan menguntungkan .

2 . Usaha kemitraan yang dilakukan dalam model pengembangan integrasi ternak dan perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) petani-petemak sekaligus pekebun dalam upaya meningkatkan pendapatannya, sehingga petani-peternak secara swadaya mampu menciptakan usaha baru dalam pengelolaan peternakan (penanganan limbah untuk pakan dan pengolahan kotoran sapi menjadi kompos) . 3 . Dengan pola kemitraan yang sudah

berkembang baik, diharapkan petani-ternak dapat memiliki saham pada koperasi atau perusahaan inti untuk menambah modal kerja.

4 . Pengembangan model integrasi sapi dengan perkebunan kelapa sawit secara kemitraan di Kalimantan Selatan akan berhasil, jika didukung komunikasi yang baik antara kedua pelah pihak yang bermitra, serta dukungan pihak terkait secara optimal .

DAFTAR PUSTAKA

AGUSTIAN, A . 1997 . Kerjasama kemitraan pada industri petemakan rakyat (Kajian atas kasus peternakan rakyat ayam ras petelur di Kediri, Jawa Timur). Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian . Buku 1 . Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian . Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian . Bogor. Him . 117-125 .

DIWYANTO, K . dan B . HARYANTO. 2001 . Integrasi temak dengan usaha tanaman pangan . Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan . Bogor. 10 Him .

FADJAR, U . 2006 . Kemitraan usaha perkebunan : perubahan struktur yang belum lengkap . Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (1) : 46-60 . Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor.

GUNAWAN dan AzMI . 2005 . Potensi dan peluang pengembangan sistem integrasi sapi-kelapa sawit di Provinsi Bengkulu . Prosiding

Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi . Banjarbaru, 22-23 Agustus 2005 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan . Him . 132-138 .

HERMAWAN, A ., T . PRASETYO dan C . SETIANI . 1998 . Kemitraan usaha : mampukah menjadi terobosan pemberdayaan usaha kecil . Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian . Buku 1 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor. Him. 205-214 .

MAKKA, Di. 2005 . Prospek pengembangan sistem integrasi petemakan yang berdaya saing. Prosiding Seminar Nasional Integrasi Tanaman Ternak . Denpasar, 20-22 Juli 2005 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Him . 18-31 .

MAKSUM, A ., dan ETNAWATt . 2005 . Rencana pengembangan sistem integrasi sapi-sawit pada lahan perkebunan di Kalimantan Timur . Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi . Banjar-baru, 22-23 Agustus 2005 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Him . 157-162 .

MATHIUS, 1W ., A . PRIYANTI dan A . DJAJANEGARA . 2007 . Pola pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan kelapa sawit : Ditinjau dari aspek ketersediaan pakan . Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Sawit dan Industri Olahannya untuk Pakan Temak, Tanah Grogot, 19 Juli 2007 . 15 Him .

MUDIKDJO, K ., dan MULADNO . 1999. Pembangunan industri sapi potong pada era pasca krisis . Prosiding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Him . 17-26 .

POULTRY INDONESIA . 2006 . Bila kemitraan dievaluasi . Edisi Nopember 2006 . Volume 1 . Jakarta . Him . 12 .

RAHMAT, M ., SAPTANA dan HERMANTO . 1995 . Keragaan investasi di sub sektor perkebunan . Forum Penelitian Agro Ekonomi 13 (1) :1-17 . Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

(7)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak Pertanian . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor.

RIADY, M . 2004 . Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong menuju 2020 . Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis yang Berkelanjutan . Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian . Him . 3-13 .

RIYANTO. 2007 . Prospek pengembangan integrasi petemakan dan perkebunan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur . Makalah disampai-kan pada Seminar Nasional Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Sawit dan Industri Olahannya untuk Pakan Temak, Tanah Grogot, 19 Juli 2007 . 5 Him .

SANTOSO, Di . 2006. Peran perkebunan kelapa sawit terhadap peningkatan kesejahteraan petani . Makalah disampaikan pada Seminar dan Musyawarah Nasional Perhimpunan Organi-sasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (POPMASEPI). Banjarbaru, 30 Desember 2005 . Universitas Lambung Mangkurat . 6 Him .

SARDJONO, M . 2005 . Prospek pengembangan kelapa sawit dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani Indonesia . Makalah disampaikan pada Seminar dan Musyawarah Nasional Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (POPMASEPI). Banjarbaru, 30 Desember 2005 . Universitas Lambung Mangkurat . 7 Him .

SUDARYANTO, T . dan T . PRANADJL 1999. Peran kewirausahaan dan kelembagaan (kemitraan)

dalam peningkatan daya saing produk tanaman pangan . Makalah disampaikan pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV, Bogor, 22-24 Nopember 1999 . Pusat Penelitian Tanaman Pangan . Bogor. 14 Him . SUDARYANTO, T ., Y . YUSDJA, E . BASUNO dan

SAPTANA, 1999 . Analisis kebijakan industri ayam ras setelah krisis moneter . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner . Bogor, 1-2 Desember 1998 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor. Him 17-26 .

SUDARYA, D . 2007 . Implementasi program pengembangan integrasi sawit-sapi di Kalimantan Timur . Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Sawit dan Industri Olahannya untuk Pakan Ternak, Tanah Grogot, 19 Juli 2007 . 11 Him .

SURYANA, I . PRIBADI dan A. HASBIANTO. 2006 . Pengembangan model integrasi sawit-sapi di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan . Laporan Akhir Pengkajian Tahun 2006 . Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan . Banjarbaru . 14 Him . SURYANA . 2007 . Pengembangan integrasi temak

ruminasia pada perkebunan kelapa sawit . Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (l) :35-40 . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor.

UTOMO, D .B . dan A . ANANG . 2003 . Peluang kemitraan antara lembaga penelitian swasta . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner . Bogor, 29-30 September 2003 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan. Badan Litbang Pertanian . Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan simulasi hingga mencapai nilai yang konvergen, maka tahap selanjutnya dilakukan analisis data yang meliputi pengaruh susunan serta sudut serang

Otonomi daerah sebagai suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana otonomi

Triyantono. Studi Deskriptif Tentang Program Pemerintah Nawa Cita Melalui Kegiatan Pembangunan Tingkat Padukuhan Di Desa Karangasem Kecamatan Paliyan

Telah dilakukan preparasi RS dari pati kacang hijau varietas Walet dengan perlakuan kombinasi

Sapaan kekerabatan bahasa Melayu Riau dialek Kubu Kabupaten Rokan Hilir Sapaan kekerabatan adalah sapaaan yang digunakan oleh mayarakat Kubu untuk menyapa orang Kubu yang

Unsur Objektif dalam perkara ini yaitu unsur dengan sengaja “Melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud Pasal 69 Ayat (1) huruf h yakni melakukan pembukaan

amplikon fragmen DNA genom EBV dengan teknik PCR konvensional adalah konsentrasi DNA virus yang rendah pada sampel penelitian yang digunakan, karena konsentrasi

SISTEM PELAPORAN BUDAYA KESELAMATAN RUMAH SAKIT '& 'ama 7abatan #etua #&mite #eselamatan Pasien Rumah Sakit 1 Pengertian 7abatan Sese&rang yang diberikan wewenang