• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

8

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang dan Penataan Ruang

Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengembangannya. Oleh sebab itulah perlu dilakukan penataan ruang sehingga menjadi hak dan kewajiban setiap individu dalam upaya menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Dikatakan pula oleh Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) bahwa didalam penataan ruang perlu juga dipertimbangkan adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta kesatuan ekologi.

Proses penataan ruang secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu perencanaan, implementasi dan pengendalian. Menurut Permana (2004) penataan ruang adalah suatu proses yang mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan rencana tata ruang wilayah), pemanfaatan ruang melalui serangkaian program pelaksanaan yang sesuai dengan rencana dan pengendalian pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) menjaga keberlanjutan pembangunan. Dikatakan selanjutnya, sebagai suatu proses terdapat setidaknya dua unsur penting dalam penataan ruang, pertama menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang, dan kedua, menyangkut proses fisik ruang.

Wujud akhir dari suatu proses penataan ruang adalah dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah yang memuat rencana, pemanfaatan dan pengendalian ruang dari suatu wilayah. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang, sebagai produk yang dihasilkan dari proses perencanaan tata ruang, pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia yang melakukan aktiitas

(2)

9 lainnya dengan lingkungannya, baik alam maupun buatan, dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan hierarki dan kedalamannya, rencana tata ruang wilayah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah negara, yaitu arahan pengembangan sistem nasional, yang meliputi sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana wilayah yang melayani kawasan produksi dan permukiman lintas provinsi dan pulau, penentuan wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam waktu yang akan datang dalam skala nasional dan penetapan kawasan tertentu. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi memuat strategi dan struktur pemanfaatan ruang dalam skala wilayah provinsi, yaitu berupa arahan lokasi dan struktur pemanfaatan ruang yang bersifat lintas kabupaten dan kota agar kawasan dan wilayah tetap terjaga fungsi dan pengembangan ekonominya secara efisien, pemanfaatan sumberdaya alamnya terjaga lestari dan mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan wilayah kabupaten/kota dan kawasan serta antar sektor kegiatan secara sinergis dan efektif. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten maupun Kota memberikan arahan pengembangan pemanfaatan ruang yang mengacu kepada struktur makro, penetapan lokasi investasi, sistem pelayanan infrastruktur lingkup kabupaten/kota, arahan pengendalian rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam lingkup kabupaten/kota (Dardak 2005).

Kelas Kemampuan Lahan

Kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2010). Metode kemampuan lahan digunakan untuk mengetahui kesesuaian lahan bagi penggunaan pertanian, lahan yang seharusnya dilindungi dan lahan yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lainnya. Klasifikasi yang digunakan dalam metode ini menggunakan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) sistem

(3)

10 klasifikasi kemampuan lahan USDA sebenarnya sangat praktis untuk digunakan di Indonesia karena sangat sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium. Pengelompokan kemampuan tanah disusun dengan tujuan : (1) Membantu pemilik tanah dan pengguna lainnya dalam menginterpretasi peta tanah, (2) Memperkenalkan pengguna terhadap kedalaman informasi yang terdapat pada peta tanah dan (3) Membangun kemungkinan penggunaan tanah secara umum berdasarkan potensi, batasan penggunaan dan kendala pengelolaannya (USDA 1961).

Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub kelas dan unit, dimana penggolongan ke dalam kategori tersebut didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut Arsyad (2010) pengelompokkan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

Kelas Kemampuan

Lahan

Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat 

Cagar

Alam Hutan

Penggembalaan Garapan

Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif  H a m b a ta n M e n in g k a t d a n P il ih a n P e n g g u n a a n L a h an Be rk u ra n g I II III IV V VI VII VIII

Gambar 4 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Arsyad 2010).

Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Semakin tinggi kelas, ancaman kerusakan atau hambatan semakin meningkat sehingga penggunaannya semakin terbatas. Tanah pada Kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan

(4)

11 sesuai untuk berbagai penggunaan. Tanah pada Kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010). Secara rinci kriteria setiap kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria

KLS KRITERIA

I 1. Tidak mempunyai atau hanya sedikithambatan yang membatasi penggunaannya. 2. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian.

3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman pada umumnya

II 1. Mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau memerlukan tindakan konservasi yang sedang.

2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan.

3. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan

III 1. Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya.

2. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.

3. Hambatan membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut.

4. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam, kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah sedang, atau hambatan iklim agak besar IV 1. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga

terbatas.

2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit, kepekaan erosi

tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari 24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi dan keadaan iklim kurang menguntungkan

V 1. Tidak terancam erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya.

2. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.

VI 1. Mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. 2. Memiliki pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu

atau kombinasi faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai.

VII Tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki

VIII 1. Sebaiknya dibiarkan secara alami.

2. Pembatas dapat berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air rendah.

(5)

12

Daya Dukung Lingkungan Hidup

Konsep tentang daya dukung muncul karena adanya kesadaran manusia tentang dampak aktifitas yang dilakukan terhadap keberlangsungan atau keberlanjutan sumberdaya alam. Rustiadi et al. (2009) menyebutkan bahwa konsep ini berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Dalam perspektif biofisik wilayah, daya dukung dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder dan Lopez 2000 dalam Rustiadi et al. 2009).

Daya dukung menurut Rustiadi et al. (2009) dapat dibedakan menjadi beberapa empat aspek, yaitu (1) daya dukung fisik, (2) daya dukung lingkungan/ekologi, (3) daya dukung sosial, dan (4) daya dukung ekonomi. Diantara keempat aspek tersebut, konsep daya dukung lingkungan merupakan yang paling menjadi perhatian, dikaitkan dengan beberapa kejadian bencana dan dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Dikatakan oleh Khanna et al. (1999) daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).

Didalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, terminologi tentang daya dukung telah ada dan disebutkan dalam beberapa peraturan perundangan, antara lain Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pasal 1 butir 18, 19 dan 20, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 butir 6 dan butir 8 serta yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, penerapan konsep tersebut dalam kaitan dengan Rencana Tata Ruang baru ditemukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah.

Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan menggunakan basis neraca bioproduk

(6)

13 dan biokapasitas serta kemampuan lahan yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010). Konsep Kemampuan Lahan yang digunakan merujuk kepada metode penentuan Kelas Kelas Kemampuan Lahan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dikembangkan A.A. Klingebiel dan P.H. Montgomery Tahun 1961 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel dalam desertasi yang berjudul Ecological Footprint and Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Tujuan dikembangkannya konsep ini untuk mengetahui indikator yang dapat digunakan untuk menilai pembangunan berkelanjutan serta lebih jauh mengukur penggunaan sumberdaya oleh manusia dikaitkan dengan daya dukung bumi. Ukuran yang digunakan sebagai unit penggunaan sumberdaya adalah ruang bioproduk per produktifitas rata-rata dunia (global hectares/gha) yang secara khusus digunakan untuk menyatakan produksi semua sumberdaya yang dikonsumsi oleh populasi tertentu dan menyerap limbah yang mereka hasilkan, menggunakan teknologi yang ada (Chambers et al. 2000 dalam Hoekstra 2008). Sedangkan konsep Water Footprint pertama kali diperkenalkan oleh A.Y. Hoekstra dalam sebuah prosiding yang berjudul Virtual Water Trade pada Tahun 2002 dan selanjutnya bersama dengan A.K. Chapagain mengembangkan konsep ini (Romaguera et al. 2010). Konsep ini digunakan sebagai indikator penggunaan air yang dilihat dari aliran air langsung maupun tidak langsung yang digunakan oleh konsumen maupun produsen (Hoekstra 2003 dalam Aldaya et al. 2010). Walaupun Ecological Footprint berbeda dengan Water Footprint dalam dasar analisa dan metode, namun keduanya memiliki kesamaan dalam bagaimana menterjemahkan konsumsi manusia kedalam penggunaan sumber daya alam (Hoekstra 2008).

Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh

Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan

(7)

14 berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005) serta Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya antara lain : (1) Data Input, (2) Data Manajemen, (3) Data Manipulasi dan Analisis dan (4) Data Output.

Aplikasi dan pemanfaatan SIG telah banyak dilakukan oleh berbagai orang untuk memudahkan analisis dan pengambilan keputusan. Namun teknologi ini lebih sering dimanfaatkan dalam analisis sumberdaya alam, seperti pertanian dan kehutanan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Kalogirou (2001) memanfaatkan teknologi ini yang dikombinasinasikan dengan sistem pakar LEIGIS untuk melakukan kajian evaluasi lahan pada areal pertanian di Yunani. Reshmidevi et al. (2009) mengintegrasikan metode fuzzy kedalam aplikasi SIG untuk melakukan evaluasi kesesuaian lahan pada pertanian lahan basah. Kolomyts (2008) memanfaatkan aplikasi ini dalam permodelan untuk menduga keseimbangan karbon pada ekosistem hutan di Daerah Aliran Sungai Volga Rusia. Permodelan dilakukan dengan mengkombinasikan metode statistik empiris. Pemetaan model pendugaan kesimbangan karbon dilakukan berdasarkan data survey bentang lahan ekologi dengan menggunakan metode hierarchical extrapolation.

Pada beberapa penelitian, penggunaan teknologi SIG sering dikombinasikan dengan teknologi penginderaan jauh untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi suatu wilayah pada cakupan yang luas. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.

Media yang digunakan untuk memperoleh informasi tersebut dengan pemanfaatan foto udara, citra satelit dan citra radar. Penggalian informasi pada media penginderaan jauh tersebut dilakukan menggunakan metode interpretasi baik secara visual maupun digital. Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa keberhasilan di dalam interpretasi, sangat tergantung kepada latihan dan pengalaman penafsir, sifat obyek yang diinterpretasi dan kualitas citra yang digunakan. Selain itu kedekatan interpreter dengan wilayah dimana obyek yang diinterpretasi berada juga turut mempengaruhi (Munibah 2008).

Gambar

Tabel 1  Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria

Referensi

Dokumen terkait

Seorang wanita dengan gejala yang khas atau infertilitas yang tidak bisa dijelaskan biasanya diduga menderita endometriosis. Sebagai tambahan pemeriksaan laboratorium tertentu

Yang diberikan dalam bentuk pretest (tes kemampuan awal) dan posttest (tes kemampuan akhir). Data nilai kognitif hasil belajar matematika berupa nilai

E-book ini saya berikan secara Free sebagai panduan awal dan basic knowledge anda untuk mencoba merubah diri anda menjadi seorang pria yang lebih menarik!. Anda hanya akan

Foto tersebut bermula hanya dengan model berkulit sawo matang dan diubah menjadi putih berkilau untuk terlihat lebih menarik (Widyo, 2013: 175- 176)... Melalui perkembangan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Bupati tentang Pedoman Pemberian izin belajar,

(5) Dilengkapi alat pencegah lori keluar rel seperti rel pelindung (guard rail ). Karena penggunaan bersama man belt di level dan sumuran miring, waktu yang diperlukan sekali jalan

Penelitian yang telah dilakukan oleh, tentang melakukan penelitian yaitu”Sistem Kasus penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang akan peneliti kembangkan

Meja Slip yang digunakan pada ruangan tunggu nasabah di public service area saat ini kurang ergonomis dan penataan slip- slip transaksi yang tidak beraturan.. o