• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH RINGKAS PAHAM MU TAZILAH DAN I T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH RINGKAS PAHAM MU TAZILAH DAN I T"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH AGAMA ISLAM V

SEJARAH RINGKAS PAHAM MU’TAZILAH DAN I’TIQAD

KAUM MU’TAZILAH YANG BERTENTANGAN DENGAN

I’TIQAD KAUM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

OLEH:

KELOMPOK 3 KELAS V C

M. TURMIDZI JAMIL NIM 2120730132

NURIL FIRDAUS NIM 2120730105

SOFAN AFANDI NIM 2120730097

ZAHRO ROFIATUL R. NIM 2120730122

JURUSAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah Agama Islam ini tepat pada waktunya. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai sejarah ringkas paham Mu’tazilah dan i’tiqad kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Malang, 23 November 2014

(3)

DAFTAR ISI

2.1.4. Kedudukan Aqal Bagi Mu’tazilah...4

2.1.5. Filsafat Yunani...5

2.1.6. Suka Berdebat...5

2.1.7. Dasar – dasar pokok pengajian Mu’tazilah...5

2.1.8. Aliran-Aliran Dalam Kaum Mu’tazilah...6

2.2. I’tiqad Kaum Mu’tazilah Yang Bertentangan Dengan I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah... 6

2.2.1. Buruk Dan Baik Ditentukan Oleh Aqal...6

2.2.2. Tuhan Allah Tidak Punya Sifat...7

2.2.3. Qur’an Makhluk...8

2.2.4. Pembuat Dosa Besar...10

2.2.5. Tuhan Tidak Dapat Dilihat...12

2.2.6. Mi’raj Nabi Muhammad...13

2.2.7. Manusia Menjadikan Pekerjaannya...15

2.2.8. Arsy Dan Kursi...15

2.2.9. Malaikat Kiraman Katibin...17

(4)

2.2.11. Tidak Ada Timbangan, Hisab, Titian, Kolam, Dan Syafa’at...19

2.2.12. Azab Kubur...20

2.2.13. Soal Shilah Wal Ashlah...21

BAB III... 23

PENUTUP... 23

3.1. Kesimpulan...23

3.2. Saran... 23

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setelah wafatnya nabi Muhammad SAW. Timbullah persoalan tentang siapa yang berhak memegang khalifah (pimpinan umat Islam). Karena semasa Rasulullah masih hidup tidak memberikan ketentuan yang kongkrit bagaimana kepemimpinan umat Islam setelah beliau wafat.

Pertama kali yang diperselisihkan adalah masalah imamah dan syarat-syaratnya, serta siapa yang berhak memegangnya. Kemudian dari persoalan ini berkembang ke masalah-masalah lain yang terkait, misalnya soal imam apa pengertian imam itu dan bagaimana batasan-batasannya, serta hubungannya dengan amal perbuatan yang lain. Akibat dari masalah dosa besar ini menimbulkan golongan-golongan Khawarij, Murji’ah, dan kemudian disusul golongan Mu’tazilah. Semula masalah tersebut hanyalah tendesi politik tetapi kemudian mengembang menjadi tendesi agama.

Dari sekian jumlah firqah-firqah dalam Islam, dalam makalah ini kami akan mnjelaskan sejarah ringkas paham Mu’tazilah dan i’tiqad kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dengan begitu pembaca makalah ini dapat memahami sejarah Mu’tazilah dan i’tiqad kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.

(6)

1.4. Manfaat

(7)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Ringkas Paham Mu’tazilah 2.1.1. Paham Mu’tazilah

Kaum mu’tazilah adalah kaum yang membikin heboh dunia islam selama 300 tahun pada abad permulaan islam. Kaum mu’tazilah juga pernah membunuh ulama – ulama islam. Salah satu diantaranya ulama besar yang menjadi pengganti Imam Syafi’i yaitu Syeikh Buwaithi. Selain itu Imam Ahmad Bin Hambal pembangun madzhab Hambali juga mengalami siksaan selama 15 tahn akibat peristiwa tersebut. Dalam sejarah munculnya paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang di ketuai oleh Imam Abu Hasan Al As’ari karena hendak melawan paham Mu’tazilah yang salah dan sesat. Oleh karna itu paham Mu’tazilah sudah selayaknya mendapat sorotan dananalisa yang jelas agar supaya umat islam tidak terperosok ke dalam i’tiqodnya.

2.1.2. Asal-Usul Mu’tazilah

Perkataan Mu’tazilah berasal berasal dari kata patizal yang artinya menyisihkan. Kaum Mu’tazilah berarti kaum yang mengasingkan diri. Ada beberapa sebab yang di namai kaum Mu’tazilah :

(8)

gurunya dan kudian dia keluar untuk mendirikan majlis lain di suatu pojok dari masjid basroh itu. Oelh karna itu Wasil bin ‘Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah karena pengasingannya.

2. Ada pula orang mengatakan, bahwa sebabnya mereka di namai Mu’tazilah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang – orang Mu’tazilah ini orang – orang syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya khalifah Hasan Bin Ali Bin Abi Tholib kepada khalifah Bani Umayah.

3. Ada penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan, akan tetapi pendapat ini sangat lemah karena kenyaataanya kemudian mereka menjadi orang yang gagah dan berumah mewah.

Mereka menyisihkan pahamnya dan i’tiqodnya dai paham dan i’tiqod ummat islam yang banyak. Pendapat ini di kuatkan oleh pengarang kitab “al Farqu bainal Firoq” bahwa Syeikh Hasan Basri mengatakan ketika kedua orang itu menyisihkan diri maka mereka telah menjauhkan diri dari pendapat umum.

2.1.3. Gerakan Kaum Mu’tazilah

1. Cabang Basroh (Iraq) yang di pimpin oleh wasil bin Atha’ (meninggal 131 H.) dan Umar Bin Ubeid (meninggal 144 H) dengan murid – muridnya.

(9)

2.1.4. Kedudukan Aqal Bagi Mu’tazilah

Dalam sejarah, cara mereka membentuk madzhabnya lebih menggunakan Aqal dari pada Al Qur’an dan Al Hadits. Aqal bagi kaum Mu’tazilah di atas Qur’an dan Hadits sebaliknya dari kaum Ahlu Sunah wal Jama’ah berpendapat bahwa Qur’an dan Hadits lebih tinggi dari Aqal. Sebagai contohnya kaum Mu’tazila menolak adanya bankit dari kubur dan siksa kubur. Hal itu katanya bertentangan dari Aqal, karena menurut mereka mustahil orang yang sudah mati bisa bangkit kembali, walaupun ada hadits shohih yang menyatakan hal ini.

2.1.5. Filsafat Yunani

Sejarah menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayyah (tahun 40 H – 232 H) daerah islam sudah berkembang luas, dari Jazirah arab sampai Persia, India, Afghanistan, Khurasan bahkan sampai Indonesia dan Tiongkok. Banyak orang masuk islam dari orang Nasrani, Buda, Majusi dan juga ahli filsafat Yunani, penganut faham Aristoteles dan Plato. Pendeta – pendeta, Robih – rohib, guru – guru injil juga tak sedikit yang masuk islam.

Setelah mereka masuk islam merekalantas ikut membicarakan soal – soal i’tiqod, Ke-Tuhanan, dan hukum, pada hal otak dan pikiran mereka masihdi pengaruhi oleh kepercayaan – kepercayaan kuno yang mereka anut dulu. Mereka belum banyak mengetahui Hadits dan Qur’an. Dan ketika itu masuklah ke dalam islam filsafat Yunani, Aristoteles dan Plato. Ilmu mantik, ilmu logika yang semuanya mengangkat aqal menjadi raja.

2.1.6. Suka Berdebat

(10)

kaum Mu’tazilah dengan tujuan untuk mengalahkan kaum Ahlu Sunah wal Jama’ah. Melihat kaum Mu’tazilah yang suka berdebat ini maka Imam Hasan Al As’ari, imam Ahlu Sunah wal Jama’ah meneladeni kaum Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, dengan cara – cara perdebatan pula.

2.1.7. Dasar – dasar pokok pengajian Mu’tazilah

Dasar – dasar pokok pengajian mu’tazilah berkisar 5 soal : 1. Tauhid (ke Esaan Tuhan).

2. Al ‘Adl (keadilan Tuhan).

3. Al Wa’du wal Wa’id (janji baik dan janji buruk).

4. Manzilah baina Manzilatain (tempat di antara dua tempat). 5. Amar ma’ruf nahi munkar.

2.1.8. Aliran-Aliran Dalam Kaum Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah akhirnya terpecah belah menjadi beberapa aliran karena setiap aliran menggunakan akalnya masing – masing, sedangkan akal mereka itu tidak sama, tetapi dalam satu hal yang mereka semua telah sepakat bahwa perbuatan manusia, geraknya, diamnya, perkataannya, semuanya tidak di jadikan oleh Allah. Sebagian mereka memfatwakan bahwa pekerjaan manusia di ciptakan oleh manusia itu sendiri.

2.2.I’tiqad Kaum Mu’tazilah Yang Bertentangan Dengan I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah

2.2.1. Buruk Dan Baik Ditentukan Oleh Aqal

(11)

pelaksana, bukan untuk menentukan hukum sesuatu. Yang sebenar – benarnya berhak menentukan hukum – hukum adalah Al Qur’an dan As Sunnah.

Di dalam al Qur’an banyak sekali ayat yang menyuruh manusia mempergunakan aqalnya dan mengejek orang – orang yang tidak mau memakai aqalnya. Akan tetapi dalam menetapkan hukum, ini halal ini haram, ini pahala ini dosa, ini semua hanya di tetapkan oleh Syari’at Tuhan, karena agama itu milik Tuhan bukan milik aqal. Oleh kerena itu, menurut paham Ahlu sunnah wal jamaah aqal tidak bisa di pakai untuk menentukan dan menetapkan baik buruk sesuatu. Yang dapat di pakai ilalah firman Allah dan sabda Nabi. Dalam syari’at islam, bahwa barang sesuatu pada mulanya boleh di kerjakan, tetapi ada syariat yang melarang sesuatu itu di karenakan akibatnya yang menjadikan semakin buruk, maka sesuatu tersebut tidak boleh di kerjakan lagi. Umpamanya minum khamar (tuak) mulanya boleh di kerjakan, kemudian di larang oleh Tuhan karena merusak aqal. Maka minuman khamar itu tidak boleh di kerjakan lagi.

(12)

2.2.2. Tuhan Allah Tidak Punya Sifat

Hal ini dikatakan oleh kaum Mu’tazilah, mereka juga mengatakan bahwa Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, melihat dengan Zat-Nya, dan berkata dengan Zat-Nya.

Paham ini bertentangan dengan paham Ahlussunnah Wal jamaah bahwa tuhan bersifat, bukan satu bukan dua, tetapi banyak. Ada sifat Wajib, Mustahil da nada yang harus ada pada Tuhan. Dalam Al-Quran termaktub :

.

رشحلا ميحرلا نمحرلاوه ةد اهشاو بيغلا مل اعوهلا هلال ىذلا هللاوه .

Artinya:

“Dialah Tuhan, tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang hal tersembunyi, Dia yang pengasih dan penyayang” (Al-Hasyar:22)

Dalam ayat lain Allah berfirman :

.

رشحلا روصملا ئر ابلا قلخلا هللاوه .

Artinya:

(13)

Dalam tata bahasa arab, Al khaliq, Al Bariu, dan Al Musawwiru merupaka sifat Allah.

Imam Ghazali mererengkan dalam kitab Ihya Ulumuddin yang isinya membantah paham Mu’tazilah, yaitu :

“kalau tuhan tidak mempunyai sifat(sebagai I’tiqad kaum mu’tazilah), sama halnya Tuhan dengan orang kaya tapi tak punya harta. Hal ini mustahil tak masuk akal”. (Ihya Ulumuddin, Juz 1, hal 109-110).

2.2.3. Qur’an Makhluk

Kaum Mu’tazilah pada abad ke II dank e III Hijriah telah menggoncangkan ummat islam dengan keterangan yang mengatakan bahwa Al-Quran itu Makhluk, bukan sifat Allah yang qadim. Ini kelanjutan dari paham mereka bahwa Allah tidak punya sifat.

Kaum ahlussunnah waljamaah berpendapat bahwa Alquran yang karim itu kalam. Allah dan sifat Allah yang qadim, bukan makhluk yang baru.

Kalau yang dikatakan makhluk itu huruf dan suara yang yang tertulis di atas kertas maka itu masuk akal, tetepi kalam allah yanh berdiri di atas Zat ysng qadim dikatakan mahkluk maka hal itu adalah penyelewengan besar.

Dalam ilmu bahasa yang modern sekarang dikatakan juga bahwa ‘bahasa’ ialah ucapan pikiran manusia dengan teratur dengan memakai alat bunyi atau alat tulisan.

(14)

1. Bagian madi atau isi, yaitu pikiran dan persaan manusia yang terletak dalam diri manusia.

2. Bagian lahir atau bentuk, yaitu bunyi atau tulisan yang teratur.

Dalam paham Ahlussunah wal jamaah, ada “kalam nafsi”, yaitu bahasan dalam pikiran dan perasaan tadi. Ia tidak punya huruf dan tidak punya suara. Adapun yang tertulis atau yang dibunyikan dari suara itu adalah “nadlullnya” yaitu kelahiran dari bahasa “kalam nafsi” tadi.

Dalam sebuah syair bahasa arab klasik, tersebut:

#

دا ؤفلا ىلع ن اسللا لعج امناو داؤفلا ىفل م لكلا نا ليلد

Artinya:

“bahwasnya yang dikatakan kalam adalah yang dalam hati, sedang suara yang keluar dari lisan itu hanyalah bentuk yang lahir dari apa yang ada dalam hati itu”.

Oleh karena itu tidak layak dan tidak pantas atau tidak boleh mengatakan bahwa Quran itu mahkluk. Cobalah perhatikan ayat ini:

. ن وكيف نك هل ل وقن نا هان درا اذذا ءىشل انل وق امنا لخلا:

(15)

sesungguhnya bila kami menghendaki sesuatu, kami hanya mengatakan kepadanya “kun” (jadilah), lalu jadilah ia” (An Nahl: 40).

Imam Baihaqi berkata : “kalau Al-Quran itu mahkluk(sebagai paham Mu’tazilah) tentulah yang menjadikan alam ini mahkluk, bukan khaliq, karena “kun” itu adalah Quran. Ini mustahil, kata imam baihaqi bagaimana perkataan-Nya dijadikan oleh perkataan-perkataan-Nya? Waktu sebelum “kun” dijadikan, siapakah yang menjadikan alam. Yang benar ialah i’tiqad Ahlussunnah wal jamaah yaitu tuhan bersama sifat-Nya adalah satu, tunggal dan ialah yang menjadika alam itu.

Perhatikan lagi ayat berikut ini :

. . .

رلا ناسنلا قلخ نآرقلا ملع نمح رلا نمح .

Artinya:

“Tuhan yang pemurah, dia telah mengajarkan Al-quran dan telah menjadikan insan” (Arroahman, 1-3).

.هللا م لك عمسي ىتح هرجاف كراجتسا نكرشملا نم ددحا ناو ةبوتلا.

Artinya:

“dan jika datamg salah seorang dari orang musyrik minta perlindungan kepada engkau maka berikanlah perlindungan, sampai ia mendengar kalam Allah”

(16)

Jelas dan nyata dalam ayat ini bahwa Quran itu dinamai Kalam Allah, bukan mahkluk Allah. Dan tersebut dalam Kitab Hadits Sunan Abu Daud, pada juz k 4, pagina 235: sekalian yang berbisa, dan dari sekalian mata yang dengki”. Lalu Nabi berkata: “Adalah bapak kamu (Nabi Ibrahim) minta perlindungan untuk Ismail dan Ishaq dengan doa itu”. Berkata Abu Daud: ini adalah dalil yang kuat untuk menetapkan bahwa Qur’an itu bukan mahluk.” (H.S. dirawikan Imam Abu Daud lihat Sunan Abu Daud Juz IV hal. 235)˗

Di dalam doa itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Nabi berkata hendaknya kita meminta perlindungan dengan Kalimat Allah yang sempurna, yaitu Al-Qur’an. Nabi tidak akan meminta perlindungan dengan Qur’an jika Qur’an merupakan mahluk. Sehingga hadits tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Qur’an adalah Kalam Allah, bukan mahluk.

(17)

dan Qur’an yang qadim berdiri di atas Zat Tuhan itu. Karena itu yang hadits (baru) adalah hanya huruf-huruf atau suara-suara, tetapi Kalam Tuhan yang ditunjukkan oleh huru-huruf dan suara tersebut adalah qadim, bukan suara dan bukan mahluk.

Banyak tokoh Islam yang disiksa dalam penjara bertahun tahun bahkan sampai mati karena tidak mau mengakui bahwa Qur’an itu mahluk. Jika Al-Qur’an dikatakan sebagai mahluk, berarti kita meniadakan sifat Tuhan dan menjadikan sifat yang qadim menjadi hadits. Hanya golongan Mu’tazilah berkeras kepala mengatakan bahwa Qur’an adalah mahluk.

2.2.4. Pembuat Dosa Besar

Pangkal masalah yang memisahkan Washil bin ‘Atok dengan gurunya Syeh Hasan Bashri ialah “Masalah orang Mu’min yang mengerjakan dosa besar tetapi tidak taubat sebelum mati.” Imam Hasan Bashri berpendapat bahwa orang Mu’min yang mengerjakan dosa besar tidak menjadi kafir, ia tetap orang Mu’min tetapi Mu’min yang berdosa.

Sedangkan Washil bin ‘Atok yang merupakan Imam Mu’tazilah berpendapat lain: Orang Mu’min yang mengerjakan dosa besar, tidak lagi mu’min dan tidak pula kafir tetapi diantara kafir dan mu’min. hukumannya ia dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya seperti orang kafir, namun hukumannya ringan. Inilah yang dinamakan oleh kaum Mu’tazilah “Man zilah bainal Manzilatain” atau tempat diantara dua tempat”.

(18)

Orang mu’min yang berdosa besar menurut keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah akan mendapat beberapa kemungkinan, diantaranya:

1) Dosanya diampuni dan masuk surge

2) Mendapat syafaat Nabi Muhammad Saw dan dibebaskan dosanya serta tidak mendapat hukuman

3) Jika yang dua diatas tidak didapat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka untuk menebus dosanya yang kemudian dia akan masuk surge

I’tiqad ini berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadist yang shahih. Tuhan berfirman:

امثا ىرتفا دقف هللاب كرشي نمو ءآشي نمل كلذ نودام رفغيو هب كرشي نا رفغي هللا نا اميظع.

Artinya:

“Bahwasanya Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau ia dipersekutukan, tetapi diampuninya selain dari pada itu bagi siapa yang dikehendakiNya siapa yang mempersekutukan Tuhan sesungguhnya ia telah memperbuat dosa yang sangat besar”(An Nisa’:48)

I’tiqad ini berbeda dengan I’tiqad kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa tidak ada ampunan dosa besar bagi seseorang yang melakukannya.

(19)

: : هلإل لاق نم اهنم نجرخل ىتمظعو ىءايربكو ىل لجو ىتزعو لوقيف هللالإ.

Artinya:

“Maka Tuhan berfirman: Demi kegagahanKu, demi kebesaranKu, demi ketinggihanKu, dan demi keagunganKu, AKU akan keluarkan dari neraka kalian orang yang mengucapkan ‘Tiada Tuhan yang berhak disembah meainkan Allah’.”(HSR. Bukhori Shahih Bukhari IV halaman 211).˗

Dapat diambil kesimpulan dari ayat-ayat dan hadits-hadits diatas, bahwasanya orang yang mengerjakan dosa tidak kekal dalam neraka sebagai˗ I’tiqad kaum Mu’tazilah tetapi akan keluar pada suatu waktu sesudah menjalani˗ hukuman. Inilah I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah.

2.2.5. Tuhan Tidak Dapat Dilihat

Kaum Mu’tazilah menfatwakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat walaupun dalam surge, karena hal itu akan menimbulkan tempat seolah-olah Tuhan ada dalam surge atau dimana DIA bisa dilihat. Imam Kaum Mu’tazilah, Zamakhsyari, berkata dalam Tafsir Kasyaf Juzu’ I hal. 179 bahwa yang ber-i’tiqad Tuhan bisa dilihat walaupun dalam surge, adalah kafir, keluar dari Islam. Paham ini berlawanan dengan paham Ahlussunnah Waljamaah yang berpendapat bahwa Tuhan akan dilihat oleh penduduk surge, oleh hamba-hambanya yang saleh yang banyak mengenal Tuhan ketika hidup di dunia.

(20)

1. Al-Qur’an, diantaranya:

a. Qur’an surat Al Qiyamah ayat 22-23

Allah berfirman bahwa Tuhan dapat dilihat dalam surge jannatunna’im.

b. Yunus ayat 26

Dalam surat ini diterangkan bahwa orang orang yang membuat amal saleh akan mendapatkan pahala yakni upah atas usaha mereka dan akan diberi pula suatu tambahan. Menurut tafsir “Jalalein” yang dimaksud ‘tambahan’ adalah melihat Tuhan dengan mata kepala sebagai yang diterangkan dalam hadits-hadits Imam Bukhari dan Muslim.

c. Al Ahzab ayat 44

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa orang mu’min dalam surge pada saat menemui Tuhan berkata ‘salam’ sebagai kata penghormatan. Berkata Imam Asafarani dalam kitab Tabsbir: Kalimat “liqa” (bertemu) dalam bahasa Arab berarti melihat dan bertemu antara dua yang tak bisa bersentuh zatnya. Jadi, arti ayat ini ialah ketika orang mu’min melihat Tuhan dalam surge mereka memberi salam kepada Tuhan dengan ucapan Salam.

2. Hadits, diantaranya:

a. Riwayat Imam Bukhori, Sahih Bukhari juzu’ IV pagina 200

(21)

c. H.R. Imam Muslim Sahih Musli Juz 1 hal.97‒

Menurut hadits hadits tersebut sudah jelas bahwa penduduk surge akan melihat Tuhan dan itulah nikmat yang paling tinggi dan yang paling mereka sukai.

Dunia Islam seluruhnya menganggap fatwa kaum Mu’tazilah salah karena menentang hadits-hadits tersebut dan itu pulalah sebabnya maka kaum ini dinamakan Mu’tazilah, yaitu kaum yang menyisihkan diri dari faham dan kepercayaan umat Islam yang banyak.

Kaum Mu’tazilah telah tersesat dalam mengartikan ayat Qur’an surat Al An’am: 103:

:ماعنلا راصبلا كرديوهوراصبلا هكردتل . ١٠٣

Mereka mengartikan: “Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dengan mata kepala dengan mata kepala dan Ia (Tuhan) melihat mata kepala.” Dengan kata lain, penglihatan tidak bisa mencapai kepada-Nya tetapi Ia mengetahui gejala penglihatan.

(22)

2.2.6. Mi’raj Nabi Muhammad

Kaum mu’tazilah tidak meyakini adanya Nabi Muhammad melakukan Mi’raj (naik) ke langit pada tanggal 27 Rajab, yang di akui dan di yakini kaum mu’tazilah hanyalah Isra’ saja (berjalan malam daridari Makah ke Masjid Aqsha/Baitul Maqdis).

Fatwa tersebut dilawan oleh Ahlussunnah Waljamaah yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW pada malam itu melakukan Isra’ dari Makah ke Baitul Maqdis dan setelah itu naik dengan tubuh dan ruhnya ke langit sampai langit ke tujuh, naik lagi sampai ke Mustawa sampai ke Sidratulmuntaha, di mana ketika itu beliau menerima perintah dari Allah berupa sholat 5 waktu sehari semalam. Dan pada malam itu juga beliau kembali ke dunia dan pagi harinya menerangkan kepada umum. Orang kafir seketika itu pula berteriak-teriak mengatakan bahwa Muhammadd berbohong,tak masuk akan dan lain sebagainya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Isra’ ayat 1 yang artinya:

Maha Suci Tuhan yang telah membawa hambaNya malam hari (Isra’) dari masjid haram (Makkah) sampai masjid Aqsa (Yerussalam) yang telah kami berkati sekelilingnya, supaya kami perlihatkan keterangan-keterangan Kami kepadanya, sesungguhnya Dia(Tuhan) mendengar lagi melihat.

Sahabat-sahabat Nabi banyak yang beri’tiqad atau berkeyakinan bahwasannya Mi’raj itu adalah dengan tubuh dan ruh, sesuai dengan hadist-hadist yand diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Dia antara sahabat Nabi yang meriwayatkan peristiwa Mi’raj adalah

(23)

2. Abu Dzar al Ghaffari

3. Anas Bin Malik(bujang Rosulullah)

4. Abu Hurairah dll

Dalam kitab As-Shifa , pengarang Reda menerangkan: Tidak ada arti orang mengatakan bahwasanya Isra’ dan Mi’raj hanya ada dalam mimpi, karena secara jelas dalam hadist diterangkan bahwa Beliau melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan kendaraan “Buroq” yaitu “Dabbah” (hewan).kalau dengan mimpi mengapa mengendarai dengan hewan,sedangkan hewan itu membawa tubuh bukan membawa ruh.

Dan juga kalau dengan mimpi,tidak mungkin dijadikan dalil atas kerasulan beliau dan mu’jizat beliau, karna mimpi itu bukan mu’jizat.Namun banyak kaum kafir yang tidak percaya akan adanya kejadian tersebut. Begitu pula dengan kaum mu’tazilah yang tidak percaya dengan adanya Mi’raj karna di anggapnya kejadian ini tidak masuk akal. Kaum mu’tazilah hanya mengukur sesuatunya dengan akalnya saja bukan dengan ke imanan dan bukan dengan syariat.

2.2.7. Manusia Menjadikan Pekerjaannya

(24)

Tetapi Al Jahiz imam mu’tazilah berfatwa agak lain:yang dijadikan manusia adalah perbuatannya yang buruk dan yang berdosa,sering perbuatannya yang baik di jadikan oleh Tuhan juga. Jadi 50% berlawanan dengan I’tiqad Ahlusunnah Waljamaah yang menyatakan bahwa sekalian yang terjadi, baik yang di buat manausia sekalipun di jadikan oleh Tuhan.

Allah berfirman: Dan Tuhan yang menjadikan kamu dan sekalian pekerjaan kamu (As Shaffat 96) dan (An Nisa’ 78): katakanlah (hai Muhammad)”sekaliannya dari Tuhan.”

2.2.8. Arsy Dan Kursi

Kaum mu’tazilah tidak meyakini dan tidak percaya adanya Arsy dan kursi, mereka bertanya sebagai cemooh dimana ditaruhnya kursi itu? Sedang kursi itu menurut sebuah ayat lebih besar dan lebih luas dari langit dan bumi. Di atas apa Arsy diletakkan dan kenapa tidak jatuh ke bawah.

Di dalam tafsir Al Kasy-Syaf, karangan imam mu’tazilah mengatakan sebai hinaan: kursi tuhan tidak akan termuat dalam langit dan bumi, maka di mana letaknya? Itu hanya gambaran kebesaran Tuhan dan hanya “khayal” fantasi saja, tidak ada kursi di sana, tidak ada duduk dan tidak ada orang yang duduk (Juz 1 hal 153-154)

(25)

Dalam hal ini Allah berfirman (Al Baqoroh 255) yaitu Kursi Tuhan itu luas meliputi langit dan bumi.

Kalau kata kursi dalam ayat ini di artikan sebagai “ilmu” atau pengetahuan sebagai tafsir kaum mu’tazilah maka akan terasa janggalnya dan tak sesuai lagi dengan yang benar,

Cobalah kit abaca umpamanya ilmu tulisan itu luas meliputi langit dan bumi maka timbullah suatu pertanyaan: apakah di luar langit dan bumi tidak di ketahui oleh Tuhan?

Dan kalaupun Arsy d artikan sebagai kerajaan sebagai tafsir kaum mu’tazilah bertanyalah kita: kenapakah di pukul oleh oleh malaikat, apakah kerajaan bisa di pukul oleh delapan malaikat?

Dalam surat Al Haqqoh ayat 171: dan malaikat berada pada tiap-tiap penjurunya,dan delapan malaikat pada hari itu memukul arsy.

Yang hak ialah I’tiqod Ahlussunnah Waljamaah bahwa arsy dan kursi itu ada, dan yang member tahu akan adanya hal itu adalah Al Quran suci yang tidak pernah bohong dan mendusta, adapun hakikat zatnya, bentuknya,rupanya, warnanya dan besarnya kita tidak tahu dan tidak diwajibkan tahu. Menurut hakikat hkum islam: yang di wajibkan ialah wajib mempercayai adanya.

(26)

Di dalam tafsir Al Kasy-Syaf, karangan imam mu’tazilah mengatakan sebai hinaan: kursi tuhan tidak akan termuat dalam langit dan bumi, maka di mana letaknya? Itu hanya gambaran kebesaran Tuhan dan hanya “khayal” fantasi saja, tidak ada kursi di sana, tidak ada duduk dan tidak ada orang yang duduk (Juz 1 hal 153-154)

Kaum mu’tazilah sebagai orang Islam percaya kepada Qur’an akan tetapi kata-kata Arsy dan Kursi yang termaktub dalam Al Qur’an mereka putar balikkan artinya yang berarti menurut mereka Arsy adalah Kerajaan dan kursi yaitu pengetahuan. Kepercayaan ini berlawanan dengan keyakinan Ahlusunnah Waljamaah yang harus mempercayai seyakin-yakinnya bawa Arsy dan Kursi itu ada.

Dalam hal ini Allah berfirman (Al Baqoroh 255) yaitu Kursi Tuhan itu luas meliputi langit dan bumi.

Kalau kata kursi dalam ayat ini di artikan sebagai “ilmu” atau pengetahuan sebagai tafsir kaum mu’tazilah maka akan terasa janggalnya dan tak sesuai lagi dengan yang benar,

Cobalah kit abaca umpamanya ilmu tulisan itu luas meliputi langit dan bumi maka timbullah suatu pertanyaan: apakah di luar langit dan bumi tidak di ketahui oleh Tuhan? Dan kalaupun Arsy d artikan sebagai kerajaan sebagai tafsir kaum mu’tazilah bertanyalah kita: kenapakah di pukul oleh oleh malaikat, apakah kerajaan bisa di pukul oleh delapan malaikat?

(27)

Yang hak ialah I’tiqod Ahlussunnah Waljamaah bahwa arsy dan kursi itu ada, dan yang member tahu akan adanya hal itu adalah Al Quran suci yang tidak pernah bohong dan mendusta, adapun hakikat zatnya, bentuknya,rupanya, warnanya dan besarnya kita tidak tahu dan tidak diwajibkan tahu. Menurut hakikat hkum islam: yang di wajibkan ialah wajib mempercayai adanya.

2.2.9. Malaikat Kiraman Katibin

Kaum mu’tazilah tidak mengakui adanya malaikat “ kiraman katibin” yang disebut yaitu malaikat Raqib dan Atid yang bertugas menuliskan amalan manusia sehari-hari.

Mereka mengatakan bahwa ilmu tuhan meliputi sesuatunya dan tak ada yang tersembunyi bagi Tuhan dank arena itu Tuhan tidak membutuhkan penulis-penulis yang akan menuliskan amal manusia sehari-hari.

Kaum Ahlusunnah Waljamaah berkeyakinan bahwa malaikat Raqib Atid itu ada di kanan kiri setiap masing-masing manusia yang akan menuliskan amalan manusia sehari-harinya.

Dan walaupun Tuhan mengetahui sekalian pekerjaan manusia tetapi penulis-penulis itu perlu untuk di jadikan saksi di akhirat dihadapan Allah swt apabila soal amalan-amalan manusia itu nantinya ditimbang.

Tuhan menyatakan dalam Al Qur’an dalam syrat Al Infithar Ayat 10-11 yang artinya: sesungguhnya untuk kamu ada penjaga-penjaga,penulis-penulis yang mulia.

(28)

2.2.10.Yang Kekal

I’tiqad yang ganjil dari sebagian kaum Mu’tazilah ialah tentang penduduk neraka.

Umar bin al Bahar al Jahizh (meninggal 255 H.), Imam kaum Mu’tazilah, memfatwakan:

a. Manusia yang dimasukkan ke dalam neraka tidak kekal dalam neraka, tetapi menjadi bersatu dalam neraka dengan neraka, sehingga ia pada akhirnya tak merasa lagi siksaan neraka, karena ia sudah menjadi neraka.

b. Manusia yang masuk neraka bukan dimasukkan ke dalam neraka, tetapi neraka yang menariknya ke dalam, seperti besi berani menarik jarum ke dekatnya.

c. Sebagian lagi kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa penduduk surga dan neraka tidak kekal, tetapi setelah lama mereka menerima upah atau menerima hukuman maka mereka dilenyapkan dan surga nerakapun dilenyapkan. Pada akhirnya yang kekal hanya Tuhan sendiri.

(29)

dengan sendirinya tetapi dikekalkan Tuhan. Yang kekal dengan sendirinya hanyalah Tuhan.

Bukan hanya surga dan neraka tetapi benda-benda yang lain yang dikekalkan Tuhan, yaitu: ‘Arsy, kursi, luh mahfuzh, qalam, surga dan penghuninya, neraka dan penghuninya, dan arwah manusia.

Firman Allah tentang hal ini adalah berikut,

,

نيدلاخةنجلا باحصا كئلوا نونزحي مهلو مهيلع فوخلفاوماقتسا مث هللا انبراول اق نيذلا نا :قاقحلا نولمعياوناك امب ءازجاهيف .

13 -14

Artinya:

“Bahwasanya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami itu Allah kemudian mereka berdiri teguh dalam pendiriannya itu, mereka tidak akan merasa takut dan tidak merasa duka cita. Merekalah yang menempati surga sebagai balsan dari perbuatan mereka yang kekal di sana selama-lamanya” (Al-Ahqaf: 13-14).

Banyak sekali ayat Qur’an yang menerangkan bahwa penghuni surga dan neraka akan kekal di alamnya selama-lamanya. Maka heranlah kita melihat jalan pikiran al-Jahizh yang mengartikan “kekal” dengan menjadi “satu”, sehingga tak terasa siksaan atau nikmat lagi.

(30)

2.2.11. Tidak Ada Timbangan, Hisab, Titian, Kolam, Dan Syafa’at.

Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa di akhirat tidak ada timbangan (mizan), hisab (perhitungan), titian (shiratalmustaqim), kolam (haudh), dan tidak ada syafa’at Nabi. Mereka menta’wilkan seluruh ayat yang bersangkutan dengan timbangan dan hisab dengan “keadilan Tuhan”.

Mereka mengemukakan dalil aqal, bahwa Tuhan mengetahui semua pekerjaan yang dikerjakan manusia. Maka karena itu tak perlu ada semuanya itu; yang sholeh dimasukkan Surga dan yang jahat dimasukkan neraka, habis perkara. Bagi mereka akal lebih berkuasa dari syari’at.

Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai bahwa nanti seluruh amal manusia akan ditimbang, mana yang berat pahala atau dosa.

Salah satu contohnya adalah ayat tentang timbangan:

:فرعلا نوحلفملا مه كئلواف هنيزاوم تلقث نمف قحلاذئموي نزولاو . 8

Artinya:

“Dan neraca (timbangan) pada hari akhir itu berjalan betul, siapa berat timbangan kebaikannya itulah orang-orang yang beruntung” (Al A’raf: 8).

(31)

ditakwilkan begitu? Selain dari pada itu, walaupun ditimbang dengan akal sekalipun, hal ini tidak berlawanan dengan akal sehat. Apa salahnya kalau nanti di akhirat diadakan timbangan untuk menimbang dosa dan pahala? Tidak ada suatu yang mendorong agar kita mentakwilkan ayat ini pada arti yang lain dari asalnya.

2.2.12.Azab Kubur

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa azab kubur tidak ada, karena bertentangan dengan dengan akal, kata mereka.

Selanjutnya kaum Mu’tazilah berfilsafat: Kalau ada siksa (azab) kuburlantas timbul pertanyaan, apakah yang disiksa itu tubuh saja, atau ruh saja atau keduanya? Kalau tubuh saja tanpa ruh maka tubuh itu tak merasa apa-apa, kalau ruh saja tanpa tubuh ruh itu taka da kubur dan kalau kedua-duanya apakah mereka masih bisa hidup, duduk tegak dalam kubur?

Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, yang diilhami oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari yang berpegang teguh kepada sunnah-sunnah Nabi, meyakini bahwa azab kubur itu ada, karena dalam hadist-hadist Nabi Muhammad Saw. Banyak sekali dijumpai keterangan-keterangan tentang azab kubur itu. Salah satu contohnya:

:ةبوتلا ميظع باذع ىلا نودري مث نيترم مهب ذعنس . 101

Artinya:

(32)

“Dua kali” yang dimaksud dalam ayat ini ialah azab dunia dan azab kubur. Demikian dikatakan dalam Tafsir Khazen jilid III, pagina 115.

2.2.13.Soal Shilah Wal Ashlah

Imam kaum Mu’tazilah Abu ‘Ali Al Jubai menfatwakan bahwa Tuhan tidak membuat dan tidak mentakdirkan sekalian yang jahat, tetapi wajib bagi tuhan membuat yang shilah (baik) atau yang ashlah (yang lebih baik). Kalau Tuhan membuat atau mentakdirkan yang buruk bagi seseorang dan sesudah itu menghukum orang itu pula, maka hilanglah keadilan Tuhan dan bisa, dianggap Tuhan itu aniaya, katanya.

Pendeknya Jubai meng’itiqadkan bahwa yang dibuat Tuhan hanya yang baik atau yang lebih baik; Yang buruk sama sekali tidak dijadikan Tuhan. Kaum Ahlussunah wal Jama’ah meng’itiqadkan bahwa, sekalian yang terjadi pada alam raya ini semuanya ditakdirkan dan diciptakan oleh Tuhan, baik yang buruk atau yang baik. Tidak ada, seorang pencipta selain Allah.

Tuhan memperbuat sekehendak hati-Nya pada milik-Nya, dan tidak dapat dikatakan Tuhan itu aniaya kalau Ia membuat apa yang Ia sukai pada milik-Nya dan kepunyaan-Nya.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

(33)

Sepanjang sejarah , salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah ialah cara mereka membentuk madzhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal, bukan Al-qur’an dan hadist. Maka tidak dapat dipungkiri i’tiqad kaum Mu’tazilah banyak memiliki perbedaan dengan i’tiqad Ahlussunah wal Jama’ah.

3.2. Saran

Dengan banyaknya firqah-firqah dalam Islam, maka kita harus menyikapi aliran tersebut dengan tetap berpegang teguh pada pedoman dasar berisikan ajaran tauhid dan syari’at yang telah diajarkan Rasulullah SAW.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kita harus menyikapi perbedaan aliran-aliran tersebut dengan cara-cara yang baik, bukan anarki. Hal tersebut penting sebab, dalam konstitusi 1945 pasal 29 dan pasal 28 dengan jelas disebutkan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahwa kemudian dalam masyarakat ditemukan berbagai macam aliran yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam (Qur’an dan Hadist) tidaklah dibenarkan untuk melakukan tindakan yang anarki dan main hakim sendiri baik oleh individu atau kelompok. Indonesia adalah Negara hukum, jadi sejatinya dalam menyelesaikan masalah termasuk didalamnya masalah keyakinan haruslah diselesaikan dengan aturan hukum pula.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, dasar penetapan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak

Maka dapat disimpulkan bahwa istisna bisa disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa

● Menjelaskan manfaat sumber daya alam yang ada di daerah ● Menjelaskan perlunya melestarikan sumber daya alam ● Menyebutkan bentuk-bentuk kegiatan ekonomi di daerah

Ketekunan pengamatan disini bermaksud untuk menemukan ciri- ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan persoalan pelaksanaan konseling spiritual yang

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur didorong utamanya oleh komponen Konsumsi yang pada triwulan III-2008 ini mampu tumbuh lebih tinggi.. Di sisi lain,

Dari data obervasi yang telah dilakukan kelas B memiliki tingkat keaktifan dan prestasi yang rendah dimungkinkan karena model yang diberikan oleh guru kepada peserta

Pada saat tidak terjadi prekursor gempa bumi, koefisien korelasi daerah di dekat episenter gempa akan bernilai lebih rendah dibandingkan dengan nilai koefisien

26 Dari penjelasan di atas, maka kritik sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kritik yang dimuat dalam sebuah pesan melalui media (film) sebagai saran atau