HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN DEPRESI PADA PENSIUNAN PEGAWAI DI DESA SIDOARUM KECAMATAN GODEAN
KABUPATEN SLEMAN Skripsi
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi
Oleh:
Hanggari Deasy Rufaida
G0108060
Pembimbing:
1. Dra. Suci Murti Karini, M.Si
2. Nugraha Arif Karyanta, S.Psi, M.Psi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai di Desa Sidoarum Kecamatan Godean Kabupaten Sleman
Nama peneliti : Hanggari Deasy Rufaida
NIM/Semester : G0108060
Tahun : 2013
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari :
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Dra. Suci Murti Karini, M.Si Nugraha Arif Karyanta, S.Psi, M.Psi NIP. 195405271980032001 NIP. 197603232005011002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, S.Psi, M.Psi NIP. 197608172005012002
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai di Desa Sidoarum Kecamatan Godean Kabupaten Sleman
Hanggari Deasy Rufaida, G0108060, Tahun 2013 Telah disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi
ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan ini, maka saya
bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, Januari 2013
MOTTO
“Janganlah Kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula)
kamu bersedih hati, kamulah orang-orang yang
paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman.”
(Ali Imran: 139)
“Dekatkanlah dirimu dengan Tuhan.
Semakin dekat hidupmu dengan
Tuhan semakin terasa ringan
beban hidupmu.”
(Mario Teguh)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini kepada:
1. Kedua orang tua, yang senantiasa telah
membimbing dan membesarkan selama ini.
2. Para bapak dan ibu guru/dosen, yang telah
membimbing dan mendidik selama duduk di
bangku sekolah/kuliah.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dan
kekuatan dalam menyelesaikan dan menyusun skripsi ini. Sholawat serta salam
selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga
dan sahabatnya yang menjadi pelita di kala kegelapan menyelimuti kehidupan.
Untaian terimakasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan baik moril maupun materil. Semoga Allah SWT membalas
semua kebaikan dan keikhlasan kepada semua pihak yang telah membantu. Amin.
1. Bapak Prof.Dr. Zainal Arifin Adnan, dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Hardjono, MS selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Ibu Dra. Suci Murti Karini, M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Nugraha
Arif Karyanta, S.Psi, M.Psi selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan, nasehat dan arahan kepada penulis.
4. Ibu Dra.Salmah Lilik, M.Si selaku penguji I dan Ibu Rin Widya Agustin,
S.Psi, M.Psi selaku penguji II sekaligus Koordianator Skripsi yang telah
memberikan arahan kepada penulis.
5. Para staf pengajar dan karyawan Program Studi Psikologi Universitas Sebelas
6. Bapak Ketua Bapedda Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin,
sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
7. Bapak Kepala Desa Sidoarum yang telah memberikan izin, sehingga
penelitian ini dapat dilaksanakan.
8. Bapak Kepala Dukuh, Ketua RW, Ketua RT di wilayah Desa Sidoarum,
Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman,.
9. Seluruh responden para pensiunan di wilayah Desa Sidoarum, Kecamatan
Godean, Kabupaten Sleman yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
mengisi skala dan berbagi cerita.
10.Keluargaku tercinta Bapak dan Ibu yang telah ikut membantu menyebarkan
angket penelitian dan selalu memberikan motivasi
11.Rekan-rekanku tersayang yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang
telah memberikan bantuan hingga terselesaikannya skripsi ini
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan
yang ada pada skripsi ini, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang akan membutuhkannya.
Surakarta, Januari 2013
Penulis,
ABSTRAK berbagai perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Berbagai reaksi setelah individu memasuki masa pensiun tergantung pada penyesuaian diri masing-masing individu. Penyesuaian diri yang baik dapat menghindari atau mengurangi terjadinya depresi, sebaliknya apabila penyesuaian dirinya buruk dapat meningkatkan terjadinya depresi. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Populasi dalam penelitian ini adalah pensiunan PNS dan BUMN/BUMD dengan kisaran lama pensiun 0-6 tahun, pendidikan minimal SMA dan pensiun secara normal, yang tinggal di wilayah Desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
Purposive Sampling, dan jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 85 pensiunan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala depresi dan skala penyesuaian diri. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi product
moment.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,885 serta taraf signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan ada hubungan negatif dan sangat signifikan antara penyesuaian diri dengan depresi pada pensiunan pegawai. Artinya semakin tinggi penyesuaian diri, maka akan semakin rendah depresi pada pensiunan pegawai, begitu juga sebaliknya. Peran penyesuaian diri dengan depresi pada pensiunan pegawai dalam penelitian ini ditunjukkan dengan nilai R² sebesar 78,4%.
ABSTRACT whereas the adjustment itself may increase the occurrence of depression worse. The purpose of this study was determine the relationship between the depression with adjustment employees retirement in Sidoarum village, Godean subdistrict, Sleman district, Yogyakarta regency
The population in this study was retired civil servants (PNS) and state/local enterprises (BUMN/BUMD), with long range retirement 0-6 years, minimum education high school, and normal retirement, who lives in Sidoarum village, Godean subdistrict, Sleman,district, Yogyakarta regency area. The sampling technique used was purposive sampling, and the number of samples obtained as many as 85 retired. Data collection in this study using a depression scale and the scale of adjustment. The analysis technique used was the product moment correlation analysis.
The results of this analysis, the value of the correlation coefficient (r) of -0.885 and a significance level of 0.000. That shows there is a negative and very significant correlation, between self adjustment to depression in retired employees. That means the higher to self adjustment, is the lower the depression in retired employees, and vice versa. Role self adjustment to depression in retired employees in this study indicated by the value of R² amounted 78.4%.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN ………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ………….…………...……….. iv
MOTTO …..………. v
PERSEMBAHAN ……… vi
KATA PENGANTAR ..……….…….…….. vii
ABSTRAK ……….….. ix
ABSTRACT ……… x
DAFTAR ISI ……….. xi
DAFTAR TABEL ……….………….. xv
DAFTAR GAMBAR ……….………… xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xviii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ……… 1
B. Rumusan masalah ……… .. 10
C. Tujuan penelitian ……… 10
D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis ……… 10
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Depresi
1. Pengertian Depresi ……….. 12
2. Gejala Depresi ……….…… 15
3. Jenis-jenis Depresi ……….…. 19
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Depresi……….. 23
5. Depresi pada Pensiunan Pegawai ……… 27
6. Pengukuran Depresi pada Pensiunan Pegawai ……… 31
B. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri …………...………...… 32
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri ……….. 35
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Diri …..………… 39
C. Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai ……….……… 43
D. Kerangka Pemikiran ……….……… 47
E. Hipotesis ……….………..……… 47
BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ……….………... 48
B. Definisi Operasional 1. Depresi ..………..………...……… 48
C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
1. Populasi ………...………... 49
2. Sampel ……… 50
3. Teknik Sampling ………. 51
D. Metode Pegumpulan Data 1. Skala Depresi ……….………... 53
2. Skala Penyesuaian Diri ...………... 55
E. Validitas dan Reliabilitas ……… 57
F. Teknik Analisis Data ………....… 58
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah ………... 60
B. Persiapan Penelitian 1. Persiapan Administrasi ……… 61
2. Persiapan Alat Ukur ………... 62
C. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Sampel Penelitian ………..…….…… 63
2. Pengumpulan Data Ujicoba ……….…….…... 63
3. Uji Validitas dan Reliabilitas ………..……….…….. 64
4. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ……….…….……. 66
5. Pengumpulan Data Penelitian ……….…….……….. 68
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Uji Asumsi ……….……… 69
2. Uji Hipotesis ……….….…. 71
3. Peran Penyesuaian Diri terhadap Depresi ……….….. 72
4. Deskripsi Statistik ……….. 73
5. Data Sekunder Subjek Penelitian ……….…………...…… 76
E. Pembahasan ……….…..……… 84
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….……….. 90
B. Saran ……….……… 91
DAFTAR PUSTAKA ……….. 93
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Blue Print Skala Depresi Sebelum Uji Coba ……….. 54
Tabel 2 : Sebaran Aitem Skala Depresi Sebelum Uji Coba ……….. 54
Tabel 3 : Blue Print Skala Penyesuaian Diri Sebelum Uji Coba ………... 55
Tabel 4 : Sebaran AitemSkala Penyesuaian Diri Sebelum Uji Coba ……. 56
Tabel 5 : Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Depresi ……… 65
Tabel 6 : Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penyesuaian Diri ……. 66
Tabel 7 : Distribusi Butir Skala Depresi Setelah Uji Coba ………. 67
Tabel 8 : Distribusi Butir SkalaPenyesuaian Diri Setelah Uji Coba ……... 67
Tabel 9 : Hasil Uji Normalitas ……….. 70
Tabel 10 : Hasil Uji Linearitas ………. 71
Tabel 11 : Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment ……… 72
Tabel 12 : Peran Penyesuaian Diri terhadap Depresi ……….. 73
Tabel 13 : Kriteria Kategori Skor Subjek ……… 73
Tabel 14 : Deskripsi Statistik Data ………. 74
Tabel 15 : Kategori Skor Variabel Penyesuaian Diri ……….. 75
Tabel 16 : Kategori Skor Variabel Depresi ………. 76
Tabel 17 : Kategori Skor Penyesuaian Diri Berdasarkan Jenis Kelamin ………..……… 77
Tabel 19 : Kategori Skor Penyesuaian Diri Berdasarkan Jenis Pekerjaan …. 78
Tabel 20 : Kategori Skor Penyesuaian Diri Berdasarkan Lama Pensiun ….. 79 Tabel 21 : Kategori Skor Depresi Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 80 Tabel 22 : Kategori Skor Depresi Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……... 81
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Kerangka pemikiran hubungan antara penyesuaian diri dengan
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A. SKALA UJICOBA DAN PENELITIAN
1. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Ujicoba ……… 101 2. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Penelitian …………. 108
LAMPIRAN B. UJI RELIABILITAS DAN VALIDITAS AITEM SKALA
PENELITIAN
1. Skala Depresi ……….. 113
2. Skala Penyesuaian Diri ………..…………... 115
LAMPIRAN C. DISTRIBUSI JAWABAN PENELITIAN
1. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Ujicoba ……….….. 117
2. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Penelitian …..…….. 121 LAMPIRAN D. HASIL ANALISIS DATA
1. Hasil Uji Normalitas ………. . 129
2. Hasil Uji Linearitas ………. 130
3. Hasil Uji Hipotesis ……….…. 131
LAMPIRAN E. DATA RESPONDEN UJICOBA DAN PENELITIAN
1. Data Responden Ujicoba ……….... 132
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan hidup setiap individu dimulai dari sejak dilahirkan sampai
akhir hayat. Banyak hal yang terjadi dalam setiap tahap perkembangan, mulai dari
masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa tua. Setiap tahapnya
dihadapkan dengan berbagai tugas perkembangan baru yang harus dilaksanakan
agar perkembangannya bisa berjalan lebih optimal (Suardiman, 2011).
Pada masa dewasa, bekerja merupakan salah satu bagian fundamental
dalam kehidupan manusia. Bekerja selain dapat mendatangkan uang dan fasilitas,
juga memberikan nilai dan rasa puas karena dapat mengembangkan kreativitas
dan berprestasi. Kondisi fisik manusia untuk bekerja ada batasnya, semakin tua
individu semakin menurun kondisi fisiknya, seiring dengan hal itu produktivitas
kerja pun akan menurun. Dalam hal ini, setiap pegawai yang bekerja secara
formal harus menjalani pensiun atau berhenti bekerja karena terkait dengan usia.
Menurut Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) pensiun merupakan suatu
kondisi bahwa individu telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa
dilakukan. Secara formal, pegawai yang bekerja pada Instansi Pemerintah seperti
Pegawai Negeri Sipil maupun di lembaga BUMN/BUMD, umumnya akan
menjalani pensiun setelah mencapai usia 56 tahun, terkecuali untuk tenaga
Noorkasiani (2009) menyatakan bahwa usia kronologis individu yang dihitung
berdasarkan tahun kalender, Indonesia menetapkan usia pensiun 56 tahun untuk
dijadikan sebagai batas seseorang memasuki masa lansia, sedangkan UU No 13
tahun 1998 menyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas merupakan usia lanjut.
Masa pensiun akan dialami oleh semua pegawai yang bekerja. Secara
emosi dan psikis, individu yang pensiun akan mengalami masa kritis pada awal-
awal memasuki masa pensiun (Mulyono, 2011). Hal ini terjadi karena individu
merasa belum siap menerima kenyataan, serta adanya perasaan cemas atau takut
yang berlebih, sehingga mudah mengalami depresi dan sakit secara fisik.
Sebaliknya bagi beberapa individu, ada yang menganggap bahwa masa pensiun
adalah masa yang menyenangkan, karena merupakan waktu untuk beristirahat
setelah lelah bekerja selama berpuluh-puluh tahun. Hasil survey yang dilakukan
oleh Hardtford Insurance Group menyebutkan bahwa hanya 1% pada usia 65
tahun individu yang hidup makmur dan sejahtera, dan hanya 4% yang hidup
berkecukupan, sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya 5% orang yang hidup
dalam kondisi yang menyenangkan di masa pensiunnya (Kiyosaki, 2000).
Berdasarkan survei yang dilakukan HSBC (Hongkong and Shanghai Bank
Corporation) mengungkapkan bahwa sebanyak 15.000 responden dari 15 negara
menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat dan minimnya persiapan yang
dilakukan dalam menghadapi masa pensiun. Dalam hal ini, dari sekian banyak
responden, sekitar 86% mengaku tidak tahu mengenai sumber pendapatan yang
keuangan ternyata merupakan salah satu hal yang cukup membebani individu
pada masa pensiun, karena penghasilan para pensiunan semakin berkurang
sedangkan biaya hidup semakin meningkat, termasuk biaya dalam menjaga
kesehatan di masa lansia.
Menurut Hurlock (1999) para pensiunan menjalani masa tuanya dengan
pendapatan yang kurang, karena dengan tunjangan pensiun yang diperoleh
ternyata tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sesuai dengan rencana dan
harapan. Hal ini menjadi suatu masalah bagi individu yang pensiun, sehingga
beberapa pensiunan pegawai ada yang merasa perlu mencari pekerjaan lagi
setelah pensiun guna menambah pendapatan, meskipun tenaga mereka sudah
semakin berkurang. Banyak individu yang terpaksa berpola hidup lebih sederhana
setelah pensiun, dengan cara menghentikan atau mengurangi berbagai macam
pengeluaran, seperti membeli pakaian, alat-alat perawatan, kegiatan sosial,
rekreasi, dan keanggotaan dalam berbagai macam organisasi masyarakat.
Berdasarkan beberapa penelitian di negara maju, diyakini bahwa selain
para lansia merasa kekurangan penghasilan setelah pensiun, pada umumnya juga
mengalami kehilangan peran dan identitas, kedudukan, volume dan jenis kegiatan
sehari-hari, status, wibawa dan otoritas, kehilangan hubungan dengan kelompok
serta harga diri, sehingga dapat menyebabkan depresi (Tamher dan Noorkasiani,
2009). Hal ini seperti yang diungkapkan dalam penelitian Pulungan (2007) yang
menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dengan depresi pada
begitupun sebaliknya. Menurut Maurus (2009) depresi merupakan suatu perasaan
sedih yang mendalam dan menyakitkan, disertai rasa bersalah dan mengasihani
diri sendiri. Depresi terjadi karena adanya penurunan energi vital secara
berangsur-angsur dan akan menurun drastis pada individu yang berusia 50-60an,
sehingga menyebabkan terjadi perubahan pada temperamen individu yang terkait
dengan kedewasaan, penurunan ambisi, hilangnya agresifitas, dan berkurangnya
ketertarikan pada sesuatu hal yang baru (Ostow dalam Maurus, 2009).
Menurut Suardiman (2011) terjadinya depresi pada pensiunan bersumber
dari kesedihan dan kesepian berkepanjangan, yang disebabkan karena merasa
kesulitan keuangan, kesehatan yang semakin menurun, post power syndrome,
kehilangan rekan kerja, serta kehilangan hasrat dan tujuan yang menjadi bagian
dari bertambahnya usia. Post power syndrome merupakan suatu kondisi dimana
individu hidup dalam kebesaran bayang-bayang pada masa lalunya dan termasuk
gejala yang dapat menyebabkan terjadinya depresi pasca kuasa (Mulyono, 2011).
Depresi pasca kuasa adalah perasaan sedih secara mendalam karena terjadi
perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaannya setelah pensiun
(Azizah, 2011). Hal ini menyebabkan individu yang baru kehilangan jabatan atau
kekuasaannya, mengalami perubahan pada sikap dan perilakunya yang
merupakan dampak dari keluhan psikososial.
Gangguan depresi yang terjadi pada lansia gejalanya lebih sulit
didiagnosis, karena gejalanya bisa nampak atau sama dengan penyakit degenaratif
penyesuaian diri yang terhambat, karena kehilangan sesuatu dalam hidupnya dan
adanya berbagai macam stressor. Berbagai macam stressor tersebut juga dapat
menyebabkan terjadinya perubahan pada tingkat biologisnya, yang meliputi sel,
syaraf, cairan, endokrin, dan sistem kekebalan sesuai dengan usianya. Depresi
yang terjadi pada lansia muncul sebagai akibat adanya interaksi dari berbagai
faktor, yaitu faktor biologis, psikologis, dan sosial. Dalam hal ini, individu yang
depresi akan mengalami perubahan perasaan, perubahan tingkah laku, dan
keluhan yang bersifat fisik, seperti adanya perasaan sedih, pikiran terhambat,
perilaku lamban, kecemasan, kehilangan selera makan, kehilangan rasa senang,
cenderung menyusahkan orang lain, serta adanya keluhan fisik (Suardiman,
2011).
Depresi merupakan suatu gangguan yang paling banyak diderita oleh
penduduk di dunia. Menurut sebuah penelitian di Amerika, 1 dari 20 orang di
Amerika setiap tahun mengalami depresi, dan paling tidak 1 dari 5 orang pernah
mengalami depresi sepanjang sejarah kehidupan mereka. Menurut data WHO
pada tahun 2006, dari 121 juta orang yang mengalami depresi, sebanyak 5,8%
pria dan 9,5% wanita di dunia pernah mengalami episode depresif dalam
hidupnya. Diperkirakan pada tahun 2020, depresi akan menempati peringkat
kedua setelah penyakit jantung, yang umum dialami masyarakat di dunia
(Farmacia, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diberbagai negara menyebutkan
meningkat khususnya bagi para lansia (http.//health.kompas.com, 2012).
Mangoenprasodjo (dalam Azizah, 2011) menyatakan bahwa prevalensi depresi
pada lansia sangat tinggi, sekitar 12-36% lansia yang menjalani rawat jalan
mengalami depresi dan terus meningkat menjadi 30-50% pada lansia dengan
penyakit kronis dan perawatan lama yang mengalami depresi. Resiko depresi
yang terjadi pada wanita terus meningkat, terutama untuk wanita lansia yang
memiliki riwayat depresi, mengalami kehilangan, hidup sendirian, kurangnya
dukungan sosial, tinggal di rumah perawatan dalam jangka panjang, penurunan
kesehatan dan keterbatasan fungsional. Lansia wanita yang mengalami depresi
juga memiliki resiko bunuh diri dua atau tiga kali lebih tinggi daripada lansia
laki-laki (Jones, dalam Azizah 2011).
Sehubungan dengan hal ini, perubahan cara bersikap indvidu memiliki
peranan penting untuk menghindari terjadinya depresi pada saat memasuki masa
pensiun. Menurut Suardiman (2011) individu yang bersikap menerima terhadap
masa pensiun ditunjukkan dengan sikap tidak pernah mengeluh karena dapat
menerima datangnya masa pensiun dengan ikhlas dan lapang dada. Segala sesuatu
yang diperoleh semasa bekerja seperti jabatan, pekerjaan, harta, kekuasaan dan
status sosial tersebut adalah wujud dari karunia Tuhan yang harus disyukuri.
Dalam hal ini, individu yang mampu bersyukur adalah individu yang bisa lebih
meningkatkan kualitas ibadahnya setelah menjalani masa pensiun, misalnya bagi
waktu di Masjid, berpuasa, mengikuti kegiatan yang berorientasi zakat, mengikuti
pengajian, serta membaca Al-Quran dan terjemahannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koenig, Goerge dan Segler
(dalam Papalia, 2009) menyebutkan ada hubungan positif antara agama dan
keadaan psikologis lansia, yaitu strategi dalam menghadapi masalah yang
dilakukan 100 responden berusia 55-80 tahun terhadap peristiwa yang paling
menimbulkan stres adalah berhubungan dengan agama dan kegiatan religius,
sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan berpengaruh besar terhadap
kesehatan fisik maupun mental. Agama dapat menambah kebutuhan psikologis
yang penting bagi orang tua, terutama dalam menghadapi kematian, menemukan
dan menjaga sense akan keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima
kehilangan yang tak terelakkan dari masa tua (Koenig & Larson dalam Santrock,
1999).
Menurut Semiun (2006) depresi terjadi karena individu yang pensiun
seringkali merasa kesulitan dengan pola tingkah laku yang diperlukan untuk
menyesuaikan diri di masa pensiun. Penyesuaian diri merupakan suatu proses
dinamika yang bertujuan untuk merubah perilaku dalam membentuk hubungan
yang lebih sesuai atau menyenangkan antara dirinya dengan lingkungan (Fahmy,
2004). Individu yang pensiun sudah tidak lagi memiliki lingkungan terstruktur
yang dimilikinya saat masih bekerja, sehingga lebih fleksibel dalam mengatur
atau mengisi waktunya untuk kegiatan yang disenangi. Dalam hal ini, para
menghadapi berbagai perubahan. Apabila individu mampu mengisi masa
pensiunnya dan dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka akan berdampak
positif dan dapat terhindar dari gangguan depresi.
Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, pasti memiliki
semangat hidup, meskipun dalam kehidupannya menghadapi masalah yang
cukup berat, tetapi tetap ada tempat untuk mengisi kegembiraan dan humor.
Penyesuaian diri yang baik membutuhkan kematangan dalam setiap bagian
tingkah laku individu, termasuk bidang sosial, emosional, moral, dan agama.
Dalam hal ini, kematangan yang dimaksud mengandung perkembangan struktur
dasar yang memadai, perkembangan kapasitas dan kebutuhan, penerimaan
tanggung jawab, serta pertumbuhan kepribadian ke arah kehidupan dewasa yang
lebih teratur, lebih baik, seimbang, dan memuaskan. Bagi individu yang
mengalami kegagalan dari salah satu bidang diatas, maka dapat dikatakan bahwa
individu tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik (Semiun, 2006).
Berdasarkan pengamatan sehari-hari, tidak sedikit individu yang
mengalami kesulitan dalam meyesuaikan diri setelah memasuki masa pensiun.
Kesulitan tersebut dialami individu yang tidak siap menghadapi tekanan maupun
konflik akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah pensiun yaitu perubahan
fisik, sosial, maupun psikologis.Berbagai reaksi setelah individu memasuki masa
pensiun tergantung pada model kepribadiannya dan cara dalam meyiasati masa
pensiun agar tidak menjadi beban mental dalam hidupnya. Untuk merencanakan
diantaranya adalah mengikuti pelatihan yang sifatnya memantapkan arah
minatnya individu tentang kegiatan yang akan dilakukan saat memasuki masa
pensiun (Esteriana, 2004). Berbagai kegiatan lain yang dapat dilakukan, antara
lain ikut aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, sosial, politik, maupun
sekedar menekuni hobi, seperti berwirausaha, fotografi, travelling, musik,
membaca, menulis dan berolah raga.
Berdasarkan hasil pra survey, ditemukan kasus pada dua orang pensiunan
PNS yaitu ibu E yang sudah menjalani masa pensiun hampir 1 tahun dan bapak Y
yang sudah menjalani masa pensiun selama 11 tahun, keduanya berdomisili di
Dukuh Cokrobedog, Desa Sidoarum RT 04/RW 11 dan RT 05/RW 11. Kasus
yang terjadi pada ibu E yaitu saat sebelum pensiun beliau merupakan seorang ibu
yang ramah, supel, dan hubungan sosialnya dengan tetangga cukup baik, tetapi
setelah pensiun beliau menjadi seorang yang pendiam, jarang keluar rumah, dan
menjadi acuh dengan tetangga. Kasus lain yang terjadi pada bapak Y yaitu setelah
pensiun akhir-akhir ini beliau merasakan bahwa dirinya sudah tidak berdaya lagi,
sering sakit-sakitan tapi kenyataannya hasil diagnosa dokter tidak ditemukan
penyakit, selain itu beliau juga sering menangis apabila dijenguk oleh tetangga
maupun teman-temannya.
Permasalahan yang muncul dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
individu yang memasuki masa pensiun memiliki kecenderungan mudah
mengalami depresi, disebabkan karena ketidaksiapannya dalam menghadapi
menyesuaikan diri dengan baik dan membuat perubahan karena hilangnya peran
bekerja. Berkaitan dengan hal tersebut penulis tertarik melakukan penelitian untuk
mengetahui apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dengan depresi pada
pensiunan pegawai. Untuk itu, penulis mengambil judul “Hubungan Penyesuaian
Diri dengan Depresi Pada Pensiunan Pegawai”.
B. Rumusan Masalah
“Apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dengan depresi pada
pensiunan pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian diri
dengan depresi pada pensiunan pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean,
Kabupaten Sleman.
D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan kepustakan di bidang
psikologi, khususnya psikologi perkembangan, psikologi klinis dan
depresi pada pensiunan pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean,
Kabupaten Sleman.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
faktor-0faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi pada individu saat
memasuki masa pensiun.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi individu yang memasuki masa pensiun, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai serangkaian perubahan yang terjadi,
sehingga diharapkan dapat membekali diri dengan persiapan fisik dan
psikis agar dapat menyesuaikan diri selama menjalani masa pensiun dan
terhindar dari gangguan depresi.
b. Bagi lembaga pembina, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan referensi
untuk mempersiapkan individu sebelum dan setelah memasuki masa
pensiun melalui penyuluhan maupun pelatihan untuk menghindari
terjadinya depresi.
c. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk
peneliti selanjutnya, khususnya mengenai penyesuaian diri dan depresi
pada pensiunan pegawai yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Depresi 1. Pengertian Depresi
Depresi merupakan suatu gangguan mental yang banyak terjadi pada
individu dan merupakan suatu kelainan yang mengenai perasaan dasar (mood)
(Suwantara, dkk., 2000). Gangguan depresi termasuk dalam kategori gangguan
mood, yaitu periode terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan
suasana perasaan murung dan gejala lainnya termasuk perubahan pola tidur dan
makan, perubahan berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan
minat), lelah, perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri
(Muchid, dkk., 2007)
Dalam pedoman penggolongan dan diagnosa gangguan jiwa di Indonesia
III (PPDGJ III, 1993) disebutkan bahwa gangguan utama depresi adalah adanya
gangguan suasana perasaan, kehilangan minat, menurunnya kegiatan, dan
pesimisme dalam menghadapi masa yang akan datang. Gangguan depresi
biasanya disertai dengan adanya rasa rendah diri, kekecewaan yang hebat,
kecemasan, penyalahan diri sendiri, dan trauma-trauma psikis.
Depresi dapat diartikan sebagai suatu bentuk gangguan emosi yang biasanya
ditandai dengan adanya perasaan tertekan, sedih, tidak bahagia, tidak berharga,
masa depan. Davidson & Neale (2004) menyatakan bahwa depresi merupakan
suatu kondisi emosional yang disertai dengan adanya perasaan sedih yang
berlebihan, perasaan tidak berani dan bersalah, menarik diri dari orang lain, tidak
bisa tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual dan minat, serta hilangnya
kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan.
Kartono (1997) menjelaskan bahwa depresi adalah suatu keadaan
kemuraman hati seseorang berupa kesedihan, kesenduan, keburaman perasaan,
serta putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus
tertentu, pengurangan aktivitas fisik maupun mental dan kesulitan dalam berpikir.
Menurut Muchid, dkk (2007) depresi merupakan suatu gangguan medik serius
yang menyangkut kerja otak, bukan hanya sekedar perasaan murung atau sedih
dalam beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan
mengganggu fungsi keseharian individu.
Simon (dalam Davidson & Neale, 2004) menyebutkan bahwa individu
yang mengalami depresi sering mengabaikan masalah kebersihan dan penampilan
dirinya serta sering mengeluhkan simptom somatik tanpa adanya gangguan fisik
yang jelas. Individu selalu merasa berkecil hati dan tidak memiliki harapan serta
inisiatif dalam melakukan segala aktivitas sepanjang waktu.
Depresi dapat dilihat dari gejala-gejala yang muncul dalam diri individu.
Menurut Holmes (dalam Surandi dan Ramdhani, 2000) gejala-gejala depresi
meliputi gejala kognitif, gejala motorik, dan gejala somatik. Gejala kognitif dapat
akibat dari terjadinya penurunan motivasi dan energi. Gejala motorik dapat
terlihat pada penurunan gerakan psikomotorik berupa gerakan yang semakin
menurun dan semakin melambat. Gejala somatik yaitu gejala yang meliputi
gangguan pola tidur, gangguan pola makan, dan kehilangan nafsu seksual. Beck
(dalam Keller & Nesse, 2006) menyebutkan bahwa gejala paling serius dirasakan
individu yang mengalami depresi yaitu nafsu makan yang semakin berkurang.
Depresi dapat berdampak negatif pada kehidupan individu yang memasuki
lansia. Menurut Davidson & Neale (2004) dampak negatif yang dapat dirasakan
yaitu ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian dan adanya keluhan karena
memorinya yang semakin berkurang. Individu yang mengalami depresi sering
mengeluhkan bahwa dirinya menjadi pelupa, sehingga sering melakukan
kesalahan dalam melakukan segala sesuatu. Dampak negatif lain juga
diungkapkan oleh Coyne (dalam Davidson & Neale, 2004) bahwa hubungan
sosial yang terjadi antar individu yang mengalami depresi lebih banyak
permasalahannya dan lebih sulit ditangani dibandingkan dengan individu yang
tidak mengalami depresi.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi
adalah suatu gangguan mood yang mempengaruhi seluruh proses mental berupa
pikiran, perasaan dan perilaku individu, serta muncul perasaan tidak berdaya dan
kehilangan harapan, perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan,
berkurangnya energi yang menyebabkan keadaan mudah lelah dan berkurangnya
menyakitkan, sehingga dapat menjadi beban bagi individu yang bersangkutan dan
merupakan hambatan untuk dapat menikmati hidup. Depresi selain merugikan diri
sendiri, juga dapat merugikan individu lain disekitarnya.
2. Gejala Depresi
Menurut Kelliat (dalam Azizah, 2011) ada beberapa tanda dan gejala
depresi, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan,
rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah,
dan kesedihan.
b. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, sembelit, pusing, keletihan,
gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebih/kurang,
gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
c. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran
d. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,
intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung,
kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.
Menurut Blackburn & Davidson (1994) ada beberapa simptoma atau
gejala depresi yang dapat digolongkan ke dalam kelompok simptoma psikologis
dan simptoma biologis, seperti yang diuraikan sebagai berikut:
a. Simptoma-simptoma psikologis:
1) Suasana hati, yaitu merasakan kesedihan, kecemasan, dan mudah marah.
2) Berpikir, yaitu mencakup kehilangan konsentrasi, lambat atau kacau
dalam berpikir, suka menyalahkan diri sendiri, ragu-ragu dalam bertindak,
dan merasa harga dirinya rendah.
3) Motivasi, yaitu kurang adanya minat dalam bekerja dan melakukan hobi,
menghindari kegiatan pekerjaan dan kegiatan sosial, ingin melarikan diri,
dan ketergantungan pada orang lain tinggi.
4) Perilaku, yaitu menjadi lamban, suka mondar-mandir, sering menangis
dan mengeluh.
b. Simptoma-simptoma biologis:
Individu merasakan hilangnya nafsu makan atau nafsu makan semakin
bertambah, hilangnya nafsu birahi, tidurnya terganggu, lambat dalam melakukan
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III
(PPDGJ-III, Departemen Kesehatan) gejala depresi dibagi menjadi gejala utama dan gejala
lainnya, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Gejala utama meliputi:
a. Afek depresi atau perasaan tertekan
b. Kehilangan minat dan kegembiraan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas
Gejala lain meliputi:
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Perasaan bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
e. Pikiran atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu dan nafsu makan terganggu
Nevid, dkk. (2005) menyatakan bahwa ada beberapa gejala depresi lain
sebagai ciri-ciri umum depresi, yaitu:
a. Emosional
b. Perubahan pada mood (periode terus-menerus dari perasaan terpuruk, depresi,
sedih, atau muram).
d. Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan, atau kehilangan
kesabaran.
e. Motivasi
1) Perasaan tidak termotivasi atau memiliki kesulitan dalam memulai
kegiatan.
2) Menurunnya tingkat partisipasi sosial atau minat pada aktivitas sosial
3) Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas menyenangkan
4) Menurunnya minat pada seks.
5) Gagal untuk merespons pada pujian atau reward
f. Perilaku motorik
1) Bergerak atau berbicara lebih perlahan dari biasanya
2) Perubahan dalam kebiasaan tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun
lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk kembali tidur di pagi
buta.
3) Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit).
4) Perubahan berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan).
5) Berfungsi secara kurang efektif dari biasanya.
g. Kognitif
1) Kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih.
2) Berfikir negatif mengenai diri sendiri dan masa depan.
3) Perasaan bersalah atau menyesal mengenai kesalahan di masa lalu.
5) Berfikir tentang kematian atau bunuh diri.
Berdasarkan beberapa gejala depresi diatas secara umum hampir sama,
hanya terdapat sedikit perbedaan pada gejala depresi menurut PPDGJ dan Nevid,
dkk yang menunjukkan bahwa ada suatu gejala depresi berupa pikiran untuk
bunuh diri. Keinginan bunuh diri dapat terjadi pada individu yang merasakan
putus asa secara berlebih.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa gejala
depresi terdiri dari berbagai macam, yang terdiri dari segi afektif, fisiologis,
kognitif, perilaku, dan motivasi. Beberapa gejala depresi diatas, ada beberapa
gejala yang dapat dirasakan oleh individu sendiri dan ada beberapa yang juga
dapat diamati oleh individu lain di sekitarnya.
3. Jenis-jenis Depresi
Berpedoman pada PPDGJ III, jenis-jenis depresi beserta ciri-cirinya dibagi
menjadi tiga tingkat, yaitu depresi ringan, sedang dan berat. Jenis depresi ini
dibagi berdasarkan berat dan banyaknya gejala utama serta gejala lainnya, yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Depresi ringan, dengan ciri – ciri:
1) Sekurang – kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi. 2) Sekurang – kurangnya 2 dari gejala lainya.
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang – kurangnya sekitar 2
minggu.
5) Hanya sedikit dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.
b. Depresi sedang, dengan ciri – ciri:
1) Sekurang – kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi seperti pada depresi ringan.
2) Ditambah sekurang – kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainya. 3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial pekerjaan
dan urusan rumah tangga.
c. Depresi berat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Depresi berat tanpa gejala psikotik, dengan ciri – ciri: a) Semua tiga gejala depresi harus ada.
b) Sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat.
c) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau mampu untuk
melaporkan banyak gejala secara rinci.
d) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang – kurangnya 2 minggu akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakan diagnosis dalam kurun waktu
e) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
2) Depresi berat dengan gejala psikotik, dengan ciri – ciri:
a) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut depresi berat
tanpa gejala psikotik.
b) Adanya waham, halusinasi atau stupor depresif, waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi audiotorik atau aolfatorik biasanya berupa suara yang
menghina, menuduh, bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotorik yang berat dapat menuju pada stupor. Apabila diperlukan
waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi
dengan efek (mood congruent).
Sementara itu, Kartono (1997) menyatakan bahwa pada umumnya orang
membedakan tiga jenis depresi, yaitu:
a. Depresi reaktif
Depresi sebagai suatu reaksi dari pengalaman hidup yang menyedihkan,
seperti adanya trauma psikis yang disebabkan karena kehilangan seseorang
b. Depresi neurotis
Depresi neurotis timbul disebabkan oleh mekanisme pertahanan diri dan
mekanisme pelarian diri yang keliru. Hal ini tidak mungkin menyebabkan
depresi pada orang normal atau sehat, tetapi pada individu yang yang
kepribadiannya rapuh dan labil, akan mudah mengalami depresi.
c. Depresi psikogen
Depresi psikogen timbul karena mengalami kelainan fisik yang disebabkan
salah penanganan pada peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman
sendiri yang pernah terjadi sebelumnya.
Terdapat berbagai jenis depresi yang berbeda macamnya. Jenis depresi
berdasarkan PPDGJ dibagi menurut tingkatannya, yaitu dari depresi ringan hingga
depresi berat, yang digolongkan berdasarkan gejalanya, lama episode depresi,
serta kesulitan/tidaknya dalam melakukan kegiatan pekerjaan dan kegiatan sosial.
Jenis depresi kedua digolongkan berdasarkan sikap individu dalam menghadapi
suatu masalah yang disebabkan karena mental individu yang lemah, adanya
trauma dalam diri individu dan pengalaman yang diperoleh selama hidupnya.
Berdasarkan uraian beberapa jenis depresi diatas, dapat disimpulkan
bahwa jenis depresi dapat digolongkan berdasarkan gejala utama dan lainnya
sesuai dengan PPDGJ, lama episode depresi, kesulitan/tidaknya individu dalam
melakukan kegiatan pekerjaan dan kegiatan sosial, trauma yang dialami karena
kehilangan sesuatu, mental individu yang lemah serta patologi akibat peristiwa
4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Depresi
Menurut Nevid, dkk (2005) beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya depresi pada seseorang, dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Usia
Pada individu yang sudah memasuki masa lansia dengan rata-rata usia
diatas 60 tahun dapat terjadi gangguan depresi berat, karena pada masa ini
terjadi masalah hidup yang cukup berat. Berdasarkan hasil studi yang diikuti
oleh para lansia selama 6 tahun, ada sekitar 80% individu yang mengalami
depresi, baik depresi yang tidak kunjung sembuh maupun depresi yang terjadi
secara berkala.
b. Status sosioekonomi
Individu yang status sosioekonominya rendah memiliki resiko lebih
mudah untuk mengalami depresi dibandingkan dengan individu yang status
sosioekonominya tinggi.
c. Status pernikahan
Gangguan depresi berat biasanya terjadi pada individu yang gagal
dalam membina hubungan pernikahan, seperti bercerai, berpisah atau
ditinggal pasangan karena meninggal. Hal ini dapat terjadi karena individu
sudah tidak mempunyai teman bercerita lagi mengenai masalah yang dialami
d. Jenis kelamin
Menurut beberapa prevalensi menyebutkan bahwa wanita lebih mudah
mengalami depresi dua kali lebih besar dibandingkan pria, meskipun alasan
adanya perbedaan tersebut tidak diketahui. Berdasarkan wacana depresi, pria
dan wanita yang mengalami gangguan depresi tidak berbeda secara signifikan,
seperti dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali, frekuensi kambuh,
keparahan kambuh atau jarak waktu untuk kambuh yang pertama kalinya.
Sadock & Sadock (2010) juga mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor
yang mempengaruhi terjadinya depresi, yaitu:
a. Faktor Biologi
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa dalam diri seseorang yang
mengalami depresi terdapat kelainan biogenik amin, serta adanya pengaktifan
hormon stres yang berpengaruh pada neurotransmitternya seperti norepinefrin
dan serotonin yang menyebabkan terjadinya depresi.
b. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai kontribusi dalam terjadinya gangguan
mood. Dalam hal ini, terdapat penelitian yang pernah dilakukan terhadap anak
kembar yang menunjukkan bahwa terjadinya gangguan depresi berat pada
c. Faktor Psikososial
1) Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan.
Para klinisi menyatakan bahwa suatu peristiwa yang penuh ketegangan dan
menyebabkan stres, sering mendahului episode pertama gangguan mood.
Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode
depresi adalah kehilangan pasangan. Stres yang menyertai episode pertama
menyebabkan terjadinya perubahan pada fungsional neurotransmitter dan
pemberi tanda intra neuronal yang pada akhirnya menyebabkan individu
beresiko tinggi mengalami depresi.
2) Faktor Kepribadian
Semua individu dengan segala macam kepribadian dapat mengalami
depresi, tetapi bagi individu yang memiliki tipe-tipe kepribadian seperti
kepribadian dependen, obsesif kompulsif, histeris diduga mempunyai
resiko lebih tinggi terjadinya depresi dibandingkan individu yang memiliki
kepribadian antisosial dan paranoid yang mempunyai resiko lebih rendah
terjadinya depresi.
3) Faktor psikodinamika.
Berdasarkan teori psikodinamika Freud dinyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kehilangan objek dengan melankoli. Dalam hal ini, terjadi
kemarahan pada individu yang depresi terhadap diri sendiri yang tidak
terkendali karena individu tersebut mengidentifikasikan dirinya sendiri
merasakan kehilangan harga diri, suka merasa bersalah dan mencela
dirinya sendiri.
4) Faktor Ketidakberdayaan
Didalam suatu percobaan, terdapat binatang yang dihadapkan dengan
kejutan listrik yang terjadi secara berulang-ulang. Binatang tersebut pada
akhirnya menyerah dan tidak berusaha lagi untuk mencoba menghindari
kejutan berikutnya. Dalam hal ini terjadi proses belajar bahwa mereka
merasa sudah tidak berdaya, sehingga ditemukan kesamaan pada individu
yang mengalami depresi dengan adanya perasaan ketidakberdayaan
tersebut.
5) Faktor kognitif
Terjadinya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu hal menyebabkan
individu mengalami depresi. Individu yang depresi disebabkan karena
individu tersebut selalu pesimisme terhadap masa depan, memiliki
pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, merasa dirinya sudah tidak
mampu lagi untuk melakukan sesuatu, bodoh, pemalas, tidak berharga,
serta adanya pandangan yang negatif terhadap pengalaman hidup.
Berdasarkan uraian diatas, terdapat perbedaan antara faktor yang
mempengaruhi depresi menurut tokoh satu dengan yang lainnya. Menurut Nevid
terdapat faktor usia, jenis kelamin, status sosioekonomi dan status pernikahan,
sedangkan menurut Sadock & Sadock terdapat faktor biologik, faktor genetik, dan
psikodinamika, faktor ketidakberdayaan, serta faktor kognitif. Uraian diatas
menunjukan adanya perbedaan, tetapi ada beberapa faktor yang saling
berpengaruh dan berhubungan satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya depresi
dapat dialami oleh siapapun, terutama bagi individu yang memiliki tipe
kepribadian tertentu, memiliki riwayat keturunan, selalu mempunyai pikiran dan
perasaan yang negatif, serta adanya berbagai macam stressor yang dapat
mempengaruhi individu mudah mengalami depresi.
5. Depresi pada Pensiunan Pegawai
Menurut Soedaryono (1979) pegawai atau karyawan merupakan golongan
masyarakat yang melakukan penghidupannya dengan bekerja dalam kesatuan
organisasi, baik kesatuan kerja pemerintah, maupun kesatuan kerja swasta. Setiap
pegawai baik negeri maupun swasta dikarenakan faktor usia, suatu saat akan
mengalami masa pensiun. Dwidjosoesastro (dalam Satria, 2008) berpendapat
bahwa pensiun merupakan pemberhentian yang dilakukan oleh pejabat yang
berwenang kepada pegawai dilingkungannya, karena sudah mencapai usia lanjut
sehingga tidak lagi mampu bekerja dengan sempurna. Menurut Mu’tadin (dalam
Rosanti, 2010) masa pensiun merupakan tahapan penting dalam kehidupan
pegawai, sebab dengan tibanya waktu pensiun berarti berakhir pula karir pegawai
di bidang pekerjaan, berkurangnya penghasilan serta bertambahnya waktu luang
Mulyono (2011) menyatakan bahwa individu yang pensiun akan
mendapatkan uang pensiun atau pesangon sampai meninggal dunia. Menurut
Undang-Undang No. 11/1990, pensiun merupakan hak individu untuk
memperoleh penghasilan setelah bekerja sekian tahun dan sudah memasuki usia
pensiun atau sebab-sebab lain sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan.
Berbagai macam batas usia pensiun, tergantung pada jenis profesinya. Batas usia
pensiun untuk PNS 56 tahun, guru 60 tahun, TNI 58 tahun, dan POLRI 60 tahun.
Menurut Hurlock (1999) individu yang berusia 60-70 tahun merupakan
tahap akhir dalam rentang kehidupan, sehingga digolongkan dalam usia lanjut
dini dan individu yang berusia 60 tahunan sudah termasuk dalam golongan usia
tua. Individu akan menjadi semakin tua di usia limapuluhan hingga mencapai
awal atau akhir usia enampuluhan. Suardiman (2011) mengungkapkan bahwa
individu yang memasuki masa pensiun dengan usia 56 tahun digolongkan sebagai
usia pralanjut, seperti pegawai negeri sipil non guru, sedangkan batas usia pensiun
untuk profesi guru sudah termasuk dalam golongan usia lanjut.
Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat
dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru atau merupakan akhir
pola hidup (Schawrz dalam Hurlock, 1999). Transisi ini meliputi perubahan peran
dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap
aspek kehidupan seseorang. Menurut Mulyono (2011) masa pensiun juga disebut
sebagai suatu masa kritis dan suatu pengalaman yang terberat bagi para pensiunan
Menurut Suardiman (2011) masa pensiun menyebabkan berkurangnya
atau hilangnya peran individu yang menjadi bagian dari harga diri, biasanya
diasumsikan sebagai proses menimbulkan stres yang berkontribusi pada
menurunnya kesehatan fisik dan mental. Masa pensiun menyebabkan kontak
sosial individu semakin berkurang, baik dengan teman sekerja, teman relasi,
maupun dengan individu lain yang berada di luar rumah. Kondisi ini mendorong
individu untuk menghindar dari lingkungan sosial dan menyebabkan psikisnya
menurun bahkan depresi.
Depresi pada masa pensiun merupakan suatu kondisi emosional atau
gangguan mood yang dirasakan individu saat memasuki masa pensiun yang
ditandai dengan adanya perasaan sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan
bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan, mudah lupa bahkan timbul
pikiran untuk bunuh diri. Berbagai kejadian yang tidak diinginkan yang terjadi di
masa lampau, seperti perpisahan dan segala macam kehilangan, dapat
memperburuk gejala kejiwaan individu, perubahan kesehatan fisik, gangguan
penampilan peran sosial, dan depresi. Berbagai macam kehilangan yang dirasakan
individu setelah memasuki masa pensiun yaitu kehilangan finansial, kehilangan
status, kehilangan teman dan kehilangan pekerjaan (Azizah, 2011).
Individu yang mengalami depresi di masa pensiun, juga disebabkan karena
kondisi pikiran yang negatif serta tidak ada rasa semangat lagi setelah memasuki
masa pensiun (Davidson & Neale, 2004). Pikiran negatif yang sering dirasakan,
kebutuhan keluarga, merasa atau dianggap tidak produktif lagi dan merasa tidak
berharga di pandangan masyarakat. Hal ini menyebabkan individu merasa rendah
diri dan menarik diri dari lingkungan sosial (Mulyono, 2011).
Individu yang telah memasuki masa pensiun dapat berdampak sangat luas
bagi perkembangan kepribadian selanjutnya, termasuk dalam hal hubungan sosial
dan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Individu yang memasuki masa
pensiun dan masa usia lanjut akan mengalami penurunan pada fungsi biologis dan
psikisnya, sehingga berpengaruh pada aktivitas dan kontak sosialnya. Hal ini
menyebabkan individu merasa kesepian. Rasa kesepian sangat dirasakan bagi
individu yang sebelumnya sangat aktif bekerja dan tidak siap menghadapi
perubahan yang terjadi selama masa pensiun (Suardiman, 2011).
Berbagai perubahan yang terjadi pada masa pensiun, menuntut para
pensiunan untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Aktivitas baru yang
dilakukan memiliki peranan penting di masa pensiun dan dapat memberikan
kepuasan hidup. Menurut Haditono (dalam Esteriana, 2004) pensiunan yang aktif
akan lebih mudah memperoleh kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan
pensiunan yang tidak aktif. Semakin berkurangnya aktivitas seseorang, maka
hubungan sosial dengan individu lain pun juga berkurang, sehingga menyebabkan
individu merasa kesepian, sedih, merasa tidak ada yang mempedulikan lagi dan
merasa tidak berguna, serta mudah menyebabkan depresi.
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
mood yang terjadi pada individu yang sudah berhenti bekerja dari pekerjaan
formalnya, disebabkan karena ketidaksiapan individu dalam menghadapi berbagai
perubahan yang terjadi serta dalam menyandang peran baru sebagai seorang
pensiunan.
6. Pegukuran Depresi pada Pensiunan Pegawai
Pengukuran depresi terdiri dari beberapa jenis, yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Geriatric Depression Scale (GDS), yaitu skala pengukuran depresi yang
terdiri dari 30 item untuk memberikan penilaian depresi pada orang dewasa
yang lebih tua (Greenberg, 2012).
b. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), yaitu suatu skala pengukuran
depresi yang terdiri dari 21 item pernyataan dengan fokus utama pada gejala
somatik dan penilaian dilakukan oleh pemeriksa (Idrus, 2007).
c. Beck Depression Inventory (BDI), yaitu suatu alat pengukuran depresi yang
terdiri dari 21 item, digunakan oleh pasien untuk menilai tingkat depresinya
sendiri (Idrus, 2007).
d. Zung Self Depression (ZSD), yaitu suatu skala depresi yang terdiri dari 20
kalimat dan penilaian tingkat depresinya dilakukan oleh pasien sendiri (Idrus,
2007).
Berdasarkan uraian diatas, penulis menggunakan modifikasi dan adaptasi
Yessavage (dalam Mc Dowell & Newell, 2006). Alat ukur Geriatric Depression
Scale (GDS) terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab. Penulis melakukan
modifikasi dan adaptasi dari Geriatric Depression Scale (GDS), digunakan untuk
mengukur depresi bagi para pensiunan pegawai, karena usia pensiun termasuk
dalam golongan usia dewasa yang lebih tua. Menurut Greenberg (2012) skala ini
dapat digunakan bagi individu dalam keadaan sehat maupun sakit. Geriatric
Depression Scale (GDS) merupakan skala yang diindikasikan pada individu
dengan usia lanjut dan memiliki keunggulan yaitu mudah untuk digunakan serta
tidak memerlukan ketrampilan khusus dari pengguna (Azizah, 2011).
B. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri
Dalam periode kehidupan, penyesuaian diri sangat diperlukan karena
merupakan salah satu masalah universal yang dihadapi semua individu untuk
mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan
lingkungan. Menurut Calhoun dan Acocella (dalam Kertamuda dan Herdiansyah,
2009) penyesuaian diri merupakan suatu interaksi individu yang dilakukan secara
kontinyu dengan dirinya sendiri, individu lain serta dengan lingkungannya.
Gerungan (dalam Sunaryo, 2002) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri
merupakan cara individu untuk merubah dirinya sendiri yang disesuaikan dengan
keadaan lingkungan dan juga merubah lingkungan sesuai dengan keadaan dirinya
yaitu bersifat pasif, sedangkan individu yang berusaha untuk merubah lingkungan
sesuai dengan keinginan dirinya sendiri yaitu bersifat aktif.
Menurut Haber dan Runyon (1984) penyesuaian diri adalah suatu proses
yang berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupan individu. Hal ini
disebabkan karena adanya perubahan situasi hidup yang menuntut seseorang
untuk berubah tingkah lakunya dalam menghadapi situasi yang terjadi di
lingkungannya. Penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui
seberapa baik individu mampu menghadapi situasi dan kondisi di lingkungannya
yang senantiasa selalu berubah. Menurut Sobur (2003) penyesuaian diri adalah
suatu kemampuan individu untuk membentuk suatu hubungan yang memuaskan
antara individu dengan lingkungannya.
Menurut Eysenck (dalam Kusuma dan Gusniarti, 2008) penyesuaian diri
merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk belajar memahami,
mengerti, dan berusaha melakukan sesuatu hal sesuai dengan yang diinginkan
individu lain atau lingkungannya. Semiun (2006) mengungkapkan bahwa
penyesuaian diri merupakan suatu reaksi individu terhadap berbagai tuntutan baik
dari dalam maupun dari luar.
Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon-respon
mental dan tingkah laku yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi
tuntutan kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami dalam dirinya
secara matang, bermanfaat, efisien, efektif, dan memuaskan yang disesuaikan
Schneiders (1964) yang menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu
proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku untuk menghadapi
kebutuhan internal, konflik, ketegangan, dan frustrasi serta untuk menyelaraskan
tuntutan dari dalam diri individu dengan lingkungan.
Hurlock (1999) mengatakan bahwa individu yang dapat menyesuaiakan
diri dengan baik yaitu individu yang mampu menyesuaikan diri dengan individu
lain di kelompok maupun lingkungannya serta dapat memperlihatkan sikap dan
perilaku yang menyenangkan, sehingga individu dapat diterima oleh kelompok
dan lingkungannya. Individu juga dikatakan berhasil dalam melakukan
penyesuaian diri dengan baik apabila dapat memenuhi kebutuhannya dengan
cara-cara yang wajar atau dapat diterima oleh lingkungan tanpa mengganggu dan
merugikan lingkungannya. Haber dan Runyon (1984) mengungkapkan bahwa
penyesuaian diri yang baik ditandai apabila individu dapat menerima keterbatasan
yang tidak dapat diubah, tetapi tetap berusaha merubah keterbatasan tersebut
dengan optimal.
Meichati (1983) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang buruk
biasanya ditandai dengan adanya kecemasan, keadaan tertekan, sensitivitas
emosional, perasaan benci, kegagalan sosial, perasaan terasing dan hubungan
antar pribadi yang tidak harmonis. Semakin rendah nilai individu pada
aspek-aspek tersebut berarti individu tersebut mengalami gangguan penyesuaian diri.
Gangguan penyesuaian diri menimbulkan perasaan-perasaan negatif seperti
fisiologis dan psikologisnya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya konflik,
tekanan, dan frustrasi dari dalam diri individu. Hal ini berpengaruh pada individu
terhadap penggunaan sikap dan pikirannya yang menjadi kurang baik, respon
yang dimunculkan tidak efisien, tidak memuaskan bahkan bisa menimbulkan
efek-efek yang merugikan diri sendiri dan lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri
adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk mengubah dirinya sendiri
sesuai dengan norma atau tuntutan lingkungan agar dapat berhasil menghadapi
kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi dan konflik sehingga tercapai
keserasian antara diri sendiri dengan kelompok atau lingkungannya.
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik
meliputi enam aspek sebagai berikut:
a. Kontrol terhadap emosi yang berlebih
Hal ini menekankan kepada adanya kontrol dan ketenangan emosi individu
dalam menghadapi masalah secara inteligen dan dapat menentukan berbagai
kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Individu bisa lebih
mengontrol emosinya dalam menghadapi segala sesuatu.
b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal
Hal ini menjelaskan pendekatan yang mengindikasikan respon secara
menghadapi masalah atau konflik. Individu dikategorikan normal jika bersedia
mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian
jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut
tidak berharga untuk dicapai.
c. Frustrasi personal yang minimal
Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya
dan tidak ada harapan, sehingga individu merasa sulit untuk bisa bereaksi
secara normal dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri
Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan
terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran,
tingkah laku dan perasaan dalam memecahkan masalah, sehingga
menunjukkan adanya penyesuaian diri yang baik. Individu tidak mampu
melakukan penyesuaian diri yang baik apabila emosi dalam diri individu lebih
dominan pada saat mengahadapi suatu masalah, sehingga akan menimbulkan
konflik.
e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu.
Penyesuaian diri yang baik, ditunjukkan individu melalui proses belajar
yang berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari
kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. Pengalaman diri sendiri
dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan
mengganggu penyesuaiannya.
f. Sikap realistik dan objektif
Sikap yang bersumber pada pemikiran individu yang rasional, serta
kemampuan dalam menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai
dengan kenyataan sebenarnya. Individu mampu mengatasi suatu masalah
dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.
Pendapat lain juga diungkapkan oleh Enung (dalam Yuliana, 2005) yang
menyatakan bahwa aspek penyesuaian diri dibagi menjadi dua macam, antara lain
yaitu:
a. Penyesuaian pribadi, yaitu kemampuan individu untuk menerima diri sendiri
demi tercapainya hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan
sekitarnya.
b. Penyesuaian sosial, yaitu terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat
individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang lain.
Haber dan Runyon (1984) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang
dilakukan individu terdiri dari lima aspek, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Persepsi terhadap realitas
Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan dapat
menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistik
sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan