• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN DEPRESI PADA PENSIUNAN PEGAWAI DI DESA SIDOARUM KECAMATAN GODEAN KABUPATEN SLEMAN Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN DEPRESI PADA PENSIUNAN PEGAWAI DI DESA SIDOARUM KECAMATAN GODEAN KABUPATEN SLEMAN Skripsi"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN DEPRESI PADA PENSIUNAN PEGAWAI DI DESA SIDOARUM KECAMATAN GODEAN

KABUPATEN SLEMAN Skripsi

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi

Oleh:

Hanggari Deasy Rufaida

G0108060

Pembimbing:

1. Dra. Suci Murti Karini, M.Si

2. Nugraha Arif Karyanta, S.Psi, M.Psi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai di Desa Sidoarum Kecamatan Godean Kabupaten Sleman

Nama peneliti : Hanggari Deasy Rufaida

NIM/Semester : G0108060

Tahun : 2013

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi

Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dra. Suci Murti Karini, M.Si Nugraha Arif Karyanta, S.Psi, M.Psi NIP. 195405271980032001 NIP. 197603232005011002

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, S.Psi, M.Psi NIP. 197608172005012002

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai di Desa Sidoarum Kecamatan Godean Kabupaten Sleman

Hanggari Deasy Rufaida, G0108060, Tahun 2013 Telah disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi

ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga

tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang

lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam

daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan ini, maka saya

bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta, Januari 2013

(5)

MOTTO

“Janganlah Kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula)

kamu bersedih hati, kamulah orang-orang yang

paling tinggi (derajatnya), jika kamu

orang-orang yang beriman.”

(Ali Imran: 139)

“Dekatkanlah dirimu dengan Tuhan.

Semakin dekat hidupmu dengan

Tuhan semakin terasa ringan

beban hidupmu.”

(Mario Teguh)

(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini kepada:

1. Kedua orang tua, yang senantiasa telah

membimbing dan membesarkan selama ini.

2. Para bapak dan ibu guru/dosen, yang telah

membimbing dan mendidik selama duduk di

bangku sekolah/kuliah.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dan

kekuatan dalam menyelesaikan dan menyusun skripsi ini. Sholawat serta salam

selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga

dan sahabatnya yang menjadi pelita di kala kegelapan menyelimuti kehidupan.

Untaian terimakasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah

memberikan bantuan baik moril maupun materil. Semoga Allah SWT membalas

semua kebaikan dan keikhlasan kepada semua pihak yang telah membantu. Amin.

1. Bapak Prof.Dr. Zainal Arifin Adnan, dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Drs. Hardjono, MS selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Ibu Dra. Suci Murti Karini, M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Nugraha

Arif Karyanta, S.Psi, M.Psi selaku pembimbing II yang telah banyak

memberikan bimbingan, nasehat dan arahan kepada penulis.

4. Ibu Dra.Salmah Lilik, M.Si selaku penguji I dan Ibu Rin Widya Agustin,

S.Psi, M.Psi selaku penguji II sekaligus Koordianator Skripsi yang telah

memberikan arahan kepada penulis.

5. Para staf pengajar dan karyawan Program Studi Psikologi Universitas Sebelas

(8)

6. Bapak Ketua Bapedda Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin,

sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.

7. Bapak Kepala Desa Sidoarum yang telah memberikan izin, sehingga

penelitian ini dapat dilaksanakan.

8. Bapak Kepala Dukuh, Ketua RW, Ketua RT di wilayah Desa Sidoarum,

Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman,.

9. Seluruh responden para pensiunan di wilayah Desa Sidoarum, Kecamatan

Godean, Kabupaten Sleman yang telah bersedia meluangkan waktu untuk

mengisi skala dan berbagi cerita.

10.Keluargaku tercinta Bapak dan Ibu yang telah ikut membantu menyebarkan

angket penelitian dan selalu memberikan motivasi

11.Rekan-rekanku tersayang yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang

telah memberikan bantuan hingga terselesaikannya skripsi ini

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan

yang ada pada skripsi ini, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pihak-pihak yang akan membutuhkannya.

Surakarta, Januari 2013

Penulis,

(9)

ABSTRAK berbagai perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Berbagai reaksi setelah individu memasuki masa pensiun tergantung pada penyesuaian diri masing-masing individu. Penyesuaian diri yang baik dapat menghindari atau mengurangi terjadinya depresi, sebaliknya apabila penyesuaian dirinya buruk dapat meningkatkan terjadinya depresi. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Populasi dalam penelitian ini adalah pensiunan PNS dan BUMN/BUMD dengan kisaran lama pensiun 0-6 tahun, pendidikan minimal SMA dan pensiun secara normal, yang tinggal di wilayah Desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

Purposive Sampling, dan jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 85 pensiunan.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala depresi dan skala penyesuaian diri. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi product

moment.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,885 serta taraf signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan ada hubungan negatif dan sangat signifikan antara penyesuaian diri dengan depresi pada pensiunan pegawai. Artinya semakin tinggi penyesuaian diri, maka akan semakin rendah depresi pada pensiunan pegawai, begitu juga sebaliknya. Peran penyesuaian diri dengan depresi pada pensiunan pegawai dalam penelitian ini ditunjukkan dengan nilai R² sebesar 78,4%.

(10)

ABSTRACT whereas the adjustment itself may increase the occurrence of depression worse. The purpose of this study was determine the relationship between the depression with adjustment employees retirement in Sidoarum village, Godean subdistrict, Sleman district, Yogyakarta regency

The population in this study was retired civil servants (PNS) and state/local enterprises (BUMN/BUMD), with long range retirement 0-6 years, minimum education high school, and normal retirement, who lives in Sidoarum village, Godean subdistrict, Sleman,district, Yogyakarta regency area. The sampling technique used was purposive sampling, and the number of samples obtained as many as 85 retired. Data collection in this study using a depression scale and the scale of adjustment. The analysis technique used was the product moment correlation analysis.

The results of this analysis, the value of the correlation coefficient (r) of -0.885 and a significance level of 0.000. That shows there is a negative and very significant correlation, between self adjustment to depression in retired employees. That means the higher to self adjustment, is the lower the depression in retired employees, and vice versa. Role self adjustment to depression in retired employees in this study indicated by the value of R² amounted 78.4%.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ………….…………...……….. iv

MOTTO …..………. v

PERSEMBAHAN ……… vi

KATA PENGANTAR ..……….…….…….. vii

ABSTRAK ……….….. ix

ABSTRACT ……… x

DAFTAR ISI ……….. xi

DAFTAR TABEL ……….………….. xv

DAFTAR GAMBAR ……….………… xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ……… 1

B. Rumusan masalah ……… .. 10

C. Tujuan penelitian ……… 10

D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis ……… 10

(12)

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Depresi

1. Pengertian Depresi ……….. 12

2. Gejala Depresi ……….…… 15

3. Jenis-jenis Depresi ……….…. 19

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Depresi……….. 23

5. Depresi pada Pensiunan Pegawai ……… 27

6. Pengukuran Depresi pada Pensiunan Pegawai ……… 31

B. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri …………...………...… 32

2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri ……….. 35

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Diri …..………… 39

C. Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Depresi pada Pensiunan Pegawai ……….……… 43

D. Kerangka Pemikiran ……….……… 47

E. Hipotesis ……….………..……… 47

BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ……….………... 48

B. Definisi Operasional 1. Depresi ..………..………...……… 48

(13)

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi ………...………... 49

2. Sampel ……… 50

3. Teknik Sampling ………. 51

D. Metode Pegumpulan Data 1. Skala Depresi ……….………... 53

2. Skala Penyesuaian Diri ...………... 55

E. Validitas dan Reliabilitas ……… 57

F. Teknik Analisis Data ………....… 58

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah ………... 60

B. Persiapan Penelitian 1. Persiapan Administrasi ……… 61

2. Persiapan Alat Ukur ………... 62

C. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Sampel Penelitian ………..…….…… 63

2. Pengumpulan Data Ujicoba ……….…….…... 63

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ………..……….…….. 64

4. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ……….…….……. 66

5. Pengumpulan Data Penelitian ……….…….……….. 68

(14)

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Uji Asumsi ……….……… 69

2. Uji Hipotesis ……….….…. 71

3. Peran Penyesuaian Diri terhadap Depresi ……….….. 72

4. Deskripsi Statistik ……….. 73

5. Data Sekunder Subjek Penelitian ……….…………...…… 76

E. Pembahasan ……….…..……… 84

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….……….. 90

B. Saran ……….……… 91

DAFTAR PUSTAKA ……….. 93

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Blue Print Skala Depresi Sebelum Uji Coba ……….. 54

Tabel 2 : Sebaran Aitem Skala Depresi Sebelum Uji Coba ……….. 54

Tabel 3 : Blue Print Skala Penyesuaian Diri Sebelum Uji Coba ………... 55

Tabel 4 : Sebaran AitemSkala Penyesuaian Diri Sebelum Uji Coba ……. 56

Tabel 5 : Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Depresi ……… 65

Tabel 6 : Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penyesuaian Diri ……. 66

Tabel 7 : Distribusi Butir Skala Depresi Setelah Uji Coba ………. 67

Tabel 8 : Distribusi Butir SkalaPenyesuaian Diri Setelah Uji Coba ……... 67

Tabel 9 : Hasil Uji Normalitas ……….. 70

Tabel 10 : Hasil Uji Linearitas ………. 71

Tabel 11 : Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment ……… 72

Tabel 12 : Peran Penyesuaian Diri terhadap Depresi ……….. 73

Tabel 13 : Kriteria Kategori Skor Subjek ……… 73

Tabel 14 : Deskripsi Statistik Data ………. 74

Tabel 15 : Kategori Skor Variabel Penyesuaian Diri ……….. 75

Tabel 16 : Kategori Skor Variabel Depresi ………. 76

Tabel 17 : Kategori Skor Penyesuaian Diri Berdasarkan Jenis Kelamin ………..……… 77

(16)

Tabel 19 : Kategori Skor Penyesuaian Diri Berdasarkan Jenis Pekerjaan …. 78

Tabel 20 : Kategori Skor Penyesuaian Diri Berdasarkan Lama Pensiun ….. 79 Tabel 21 : Kategori Skor Depresi Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 80 Tabel 22 : Kategori Skor Depresi Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……... 81

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Kerangka pemikiran hubungan antara penyesuaian diri dengan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A. SKALA UJICOBA DAN PENELITIAN

1. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Ujicoba ……… 101 2. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Penelitian …………. 108

LAMPIRAN B. UJI RELIABILITAS DAN VALIDITAS AITEM SKALA

PENELITIAN

1. Skala Depresi ……….. 113

2. Skala Penyesuaian Diri ………..…………... 115

LAMPIRAN C. DISTRIBUSI JAWABAN PENELITIAN

1. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Ujicoba ……….….. 117

2. Skala Depresi dan Skala Penyesuaian Diri Penelitian …..…….. 121 LAMPIRAN D. HASIL ANALISIS DATA

1. Hasil Uji Normalitas ………. . 129

2. Hasil Uji Linearitas ………. 130

3. Hasil Uji Hipotesis ……….…. 131

LAMPIRAN E. DATA RESPONDEN UJICOBA DAN PENELITIAN

1. Data Responden Ujicoba ……….... 132

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan hidup setiap individu dimulai dari sejak dilahirkan sampai

akhir hayat. Banyak hal yang terjadi dalam setiap tahap perkembangan, mulai dari

masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa tua. Setiap tahapnya

dihadapkan dengan berbagai tugas perkembangan baru yang harus dilaksanakan

agar perkembangannya bisa berjalan lebih optimal (Suardiman, 2011).

Pada masa dewasa, bekerja merupakan salah satu bagian fundamental

dalam kehidupan manusia. Bekerja selain dapat mendatangkan uang dan fasilitas,

juga memberikan nilai dan rasa puas karena dapat mengembangkan kreativitas

dan berprestasi. Kondisi fisik manusia untuk bekerja ada batasnya, semakin tua

individu semakin menurun kondisi fisiknya, seiring dengan hal itu produktivitas

kerja pun akan menurun. Dalam hal ini, setiap pegawai yang bekerja secara

formal harus menjalani pensiun atau berhenti bekerja karena terkait dengan usia.

Menurut Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) pensiun merupakan suatu

kondisi bahwa individu telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa

dilakukan. Secara formal, pegawai yang bekerja pada Instansi Pemerintah seperti

Pegawai Negeri Sipil maupun di lembaga BUMN/BUMD, umumnya akan

menjalani pensiun setelah mencapai usia 56 tahun, terkecuali untuk tenaga

(20)

Noorkasiani (2009) menyatakan bahwa usia kronologis individu yang dihitung

berdasarkan tahun kalender, Indonesia menetapkan usia pensiun 56 tahun untuk

dijadikan sebagai batas seseorang memasuki masa lansia, sedangkan UU No 13

tahun 1998 menyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas merupakan usia lanjut.

Masa pensiun akan dialami oleh semua pegawai yang bekerja. Secara

emosi dan psikis, individu yang pensiun akan mengalami masa kritis pada awal-

awal memasuki masa pensiun (Mulyono, 2011). Hal ini terjadi karena individu

merasa belum siap menerima kenyataan, serta adanya perasaan cemas atau takut

yang berlebih, sehingga mudah mengalami depresi dan sakit secara fisik.

Sebaliknya bagi beberapa individu, ada yang menganggap bahwa masa pensiun

adalah masa yang menyenangkan, karena merupakan waktu untuk beristirahat

setelah lelah bekerja selama berpuluh-puluh tahun. Hasil survey yang dilakukan

oleh Hardtford Insurance Group menyebutkan bahwa hanya 1% pada usia 65

tahun individu yang hidup makmur dan sejahtera, dan hanya 4% yang hidup

berkecukupan, sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya 5% orang yang hidup

dalam kondisi yang menyenangkan di masa pensiunnya (Kiyosaki, 2000).

Berdasarkan survei yang dilakukan HSBC (Hongkong and Shanghai Bank

Corporation) mengungkapkan bahwa sebanyak 15.000 responden dari 15 negara

menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat dan minimnya persiapan yang

dilakukan dalam menghadapi masa pensiun. Dalam hal ini, dari sekian banyak

responden, sekitar 86% mengaku tidak tahu mengenai sumber pendapatan yang

(21)

keuangan ternyata merupakan salah satu hal yang cukup membebani individu

pada masa pensiun, karena penghasilan para pensiunan semakin berkurang

sedangkan biaya hidup semakin meningkat, termasuk biaya dalam menjaga

kesehatan di masa lansia.

Menurut Hurlock (1999) para pensiunan menjalani masa tuanya dengan

pendapatan yang kurang, karena dengan tunjangan pensiun yang diperoleh

ternyata tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sesuai dengan rencana dan

harapan. Hal ini menjadi suatu masalah bagi individu yang pensiun, sehingga

beberapa pensiunan pegawai ada yang merasa perlu mencari pekerjaan lagi

setelah pensiun guna menambah pendapatan, meskipun tenaga mereka sudah

semakin berkurang. Banyak individu yang terpaksa berpola hidup lebih sederhana

setelah pensiun, dengan cara menghentikan atau mengurangi berbagai macam

pengeluaran, seperti membeli pakaian, alat-alat perawatan, kegiatan sosial,

rekreasi, dan keanggotaan dalam berbagai macam organisasi masyarakat.

Berdasarkan beberapa penelitian di negara maju, diyakini bahwa selain

para lansia merasa kekurangan penghasilan setelah pensiun, pada umumnya juga

mengalami kehilangan peran dan identitas, kedudukan, volume dan jenis kegiatan

sehari-hari, status, wibawa dan otoritas, kehilangan hubungan dengan kelompok

serta harga diri, sehingga dapat menyebabkan depresi (Tamher dan Noorkasiani,

2009). Hal ini seperti yang diungkapkan dalam penelitian Pulungan (2007) yang

menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dengan depresi pada

(22)

begitupun sebaliknya. Menurut Maurus (2009) depresi merupakan suatu perasaan

sedih yang mendalam dan menyakitkan, disertai rasa bersalah dan mengasihani

diri sendiri. Depresi terjadi karena adanya penurunan energi vital secara

berangsur-angsur dan akan menurun drastis pada individu yang berusia 50-60an,

sehingga menyebabkan terjadi perubahan pada temperamen individu yang terkait

dengan kedewasaan, penurunan ambisi, hilangnya agresifitas, dan berkurangnya

ketertarikan pada sesuatu hal yang baru (Ostow dalam Maurus, 2009).

Menurut Suardiman (2011) terjadinya depresi pada pensiunan bersumber

dari kesedihan dan kesepian berkepanjangan, yang disebabkan karena merasa

kesulitan keuangan, kesehatan yang semakin menurun, post power syndrome,

kehilangan rekan kerja, serta kehilangan hasrat dan tujuan yang menjadi bagian

dari bertambahnya usia. Post power syndrome merupakan suatu kondisi dimana

individu hidup dalam kebesaran bayang-bayang pada masa lalunya dan termasuk

gejala yang dapat menyebabkan terjadinya depresi pasca kuasa (Mulyono, 2011).

Depresi pasca kuasa adalah perasaan sedih secara mendalam karena terjadi

perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaannya setelah pensiun

(Azizah, 2011). Hal ini menyebabkan individu yang baru kehilangan jabatan atau

kekuasaannya, mengalami perubahan pada sikap dan perilakunya yang

merupakan dampak dari keluhan psikososial.

Gangguan depresi yang terjadi pada lansia gejalanya lebih sulit

didiagnosis, karena gejalanya bisa nampak atau sama dengan penyakit degenaratif

(23)

penyesuaian diri yang terhambat, karena kehilangan sesuatu dalam hidupnya dan

adanya berbagai macam stressor. Berbagai macam stressor tersebut juga dapat

menyebabkan terjadinya perubahan pada tingkat biologisnya, yang meliputi sel,

syaraf, cairan, endokrin, dan sistem kekebalan sesuai dengan usianya. Depresi

yang terjadi pada lansia muncul sebagai akibat adanya interaksi dari berbagai

faktor, yaitu faktor biologis, psikologis, dan sosial. Dalam hal ini, individu yang

depresi akan mengalami perubahan perasaan, perubahan tingkah laku, dan

keluhan yang bersifat fisik, seperti adanya perasaan sedih, pikiran terhambat,

perilaku lamban, kecemasan, kehilangan selera makan, kehilangan rasa senang,

cenderung menyusahkan orang lain, serta adanya keluhan fisik (Suardiman,

2011).

Depresi merupakan suatu gangguan yang paling banyak diderita oleh

penduduk di dunia. Menurut sebuah penelitian di Amerika, 1 dari 20 orang di

Amerika setiap tahun mengalami depresi, dan paling tidak 1 dari 5 orang pernah

mengalami depresi sepanjang sejarah kehidupan mereka. Menurut data WHO

pada tahun 2006, dari 121 juta orang yang mengalami depresi, sebanyak 5,8%

pria dan 9,5% wanita di dunia pernah mengalami episode depresif dalam

hidupnya. Diperkirakan pada tahun 2020, depresi akan menempati peringkat

kedua setelah penyakit jantung, yang umum dialami masyarakat di dunia

(Farmacia, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diberbagai negara menyebutkan

(24)

meningkat khususnya bagi para lansia (http.//health.kompas.com, 2012).

Mangoenprasodjo (dalam Azizah, 2011) menyatakan bahwa prevalensi depresi

pada lansia sangat tinggi, sekitar 12-36% lansia yang menjalani rawat jalan

mengalami depresi dan terus meningkat menjadi 30-50% pada lansia dengan

penyakit kronis dan perawatan lama yang mengalami depresi. Resiko depresi

yang terjadi pada wanita terus meningkat, terutama untuk wanita lansia yang

memiliki riwayat depresi, mengalami kehilangan, hidup sendirian, kurangnya

dukungan sosial, tinggal di rumah perawatan dalam jangka panjang, penurunan

kesehatan dan keterbatasan fungsional. Lansia wanita yang mengalami depresi

juga memiliki resiko bunuh diri dua atau tiga kali lebih tinggi daripada lansia

laki-laki (Jones, dalam Azizah 2011).

Sehubungan dengan hal ini, perubahan cara bersikap indvidu memiliki

peranan penting untuk menghindari terjadinya depresi pada saat memasuki masa

pensiun. Menurut Suardiman (2011) individu yang bersikap menerima terhadap

masa pensiun ditunjukkan dengan sikap tidak pernah mengeluh karena dapat

menerima datangnya masa pensiun dengan ikhlas dan lapang dada. Segala sesuatu

yang diperoleh semasa bekerja seperti jabatan, pekerjaan, harta, kekuasaan dan

status sosial tersebut adalah wujud dari karunia Tuhan yang harus disyukuri.

Dalam hal ini, individu yang mampu bersyukur adalah individu yang bisa lebih

meningkatkan kualitas ibadahnya setelah menjalani masa pensiun, misalnya bagi

(25)

waktu di Masjid, berpuasa, mengikuti kegiatan yang berorientasi zakat, mengikuti

pengajian, serta membaca Al-Quran dan terjemahannya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koenig, Goerge dan Segler

(dalam Papalia, 2009) menyebutkan ada hubungan positif antara agama dan

keadaan psikologis lansia, yaitu strategi dalam menghadapi masalah yang

dilakukan 100 responden berusia 55-80 tahun terhadap peristiwa yang paling

menimbulkan stres adalah berhubungan dengan agama dan kegiatan religius,

sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan berpengaruh besar terhadap

kesehatan fisik maupun mental. Agama dapat menambah kebutuhan psikologis

yang penting bagi orang tua, terutama dalam menghadapi kematian, menemukan

dan menjaga sense akan keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima

kehilangan yang tak terelakkan dari masa tua (Koenig & Larson dalam Santrock,

1999).

Menurut Semiun (2006) depresi terjadi karena individu yang pensiun

seringkali merasa kesulitan dengan pola tingkah laku yang diperlukan untuk

menyesuaikan diri di masa pensiun. Penyesuaian diri merupakan suatu proses

dinamika yang bertujuan untuk merubah perilaku dalam membentuk hubungan

yang lebih sesuai atau menyenangkan antara dirinya dengan lingkungan (Fahmy,

2004). Individu yang pensiun sudah tidak lagi memiliki lingkungan terstruktur

yang dimilikinya saat masih bekerja, sehingga lebih fleksibel dalam mengatur

atau mengisi waktunya untuk kegiatan yang disenangi. Dalam hal ini, para

(26)

menghadapi berbagai perubahan. Apabila individu mampu mengisi masa

pensiunnya dan dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka akan berdampak

positif dan dapat terhindar dari gangguan depresi.

Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, pasti memiliki

semangat hidup, meskipun dalam kehidupannya menghadapi masalah yang

cukup berat, tetapi tetap ada tempat untuk mengisi kegembiraan dan humor.

Penyesuaian diri yang baik membutuhkan kematangan dalam setiap bagian

tingkah laku individu, termasuk bidang sosial, emosional, moral, dan agama.

Dalam hal ini, kematangan yang dimaksud mengandung perkembangan struktur

dasar yang memadai, perkembangan kapasitas dan kebutuhan, penerimaan

tanggung jawab, serta pertumbuhan kepribadian ke arah kehidupan dewasa yang

lebih teratur, lebih baik, seimbang, dan memuaskan. Bagi individu yang

mengalami kegagalan dari salah satu bidang diatas, maka dapat dikatakan bahwa

individu tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik (Semiun, 2006).

Berdasarkan pengamatan sehari-hari, tidak sedikit individu yang

mengalami kesulitan dalam meyesuaikan diri setelah memasuki masa pensiun.

Kesulitan tersebut dialami individu yang tidak siap menghadapi tekanan maupun

konflik akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah pensiun yaitu perubahan

fisik, sosial, maupun psikologis.Berbagai reaksi setelah individu memasuki masa

pensiun tergantung pada model kepribadiannya dan cara dalam meyiasati masa

pensiun agar tidak menjadi beban mental dalam hidupnya. Untuk merencanakan

(27)

diantaranya adalah mengikuti pelatihan yang sifatnya memantapkan arah

minatnya individu tentang kegiatan yang akan dilakukan saat memasuki masa

pensiun (Esteriana, 2004). Berbagai kegiatan lain yang dapat dilakukan, antara

lain ikut aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, sosial, politik, maupun

sekedar menekuni hobi, seperti berwirausaha, fotografi, travelling, musik,

membaca, menulis dan berolah raga.

Berdasarkan hasil pra survey, ditemukan kasus pada dua orang pensiunan

PNS yaitu ibu E yang sudah menjalani masa pensiun hampir 1 tahun dan bapak Y

yang sudah menjalani masa pensiun selama 11 tahun, keduanya berdomisili di

Dukuh Cokrobedog, Desa Sidoarum RT 04/RW 11 dan RT 05/RW 11. Kasus

yang terjadi pada ibu E yaitu saat sebelum pensiun beliau merupakan seorang ibu

yang ramah, supel, dan hubungan sosialnya dengan tetangga cukup baik, tetapi

setelah pensiun beliau menjadi seorang yang pendiam, jarang keluar rumah, dan

menjadi acuh dengan tetangga. Kasus lain yang terjadi pada bapak Y yaitu setelah

pensiun akhir-akhir ini beliau merasakan bahwa dirinya sudah tidak berdaya lagi,

sering sakit-sakitan tapi kenyataannya hasil diagnosa dokter tidak ditemukan

penyakit, selain itu beliau juga sering menangis apabila dijenguk oleh tetangga

maupun teman-temannya.

Permasalahan yang muncul dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

individu yang memasuki masa pensiun memiliki kecenderungan mudah

mengalami depresi, disebabkan karena ketidaksiapannya dalam menghadapi

(28)

menyesuaikan diri dengan baik dan membuat perubahan karena hilangnya peran

bekerja. Berkaitan dengan hal tersebut penulis tertarik melakukan penelitian untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dengan depresi pada

pensiunan pegawai. Untuk itu, penulis mengambil judul “Hubungan Penyesuaian

Diri dengan Depresi Pada Pensiunan Pegawai”.

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dengan depresi pada

pensiunan pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian diri

dengan depresi pada pensiunan pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean,

Kabupaten Sleman.

D. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan kepustakan di bidang

psikologi, khususnya psikologi perkembangan, psikologi klinis dan

(29)

depresi pada pensiunan pegawai di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean,

Kabupaten Sleman.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

faktor-0faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi pada individu saat

memasuki masa pensiun.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi individu yang memasuki masa pensiun, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi mengenai serangkaian perubahan yang terjadi,

sehingga diharapkan dapat membekali diri dengan persiapan fisik dan

psikis agar dapat menyesuaikan diri selama menjalani masa pensiun dan

terhindar dari gangguan depresi.

b. Bagi lembaga pembina, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan referensi

untuk mempersiapkan individu sebelum dan setelah memasuki masa

pensiun melalui penyuluhan maupun pelatihan untuk menghindari

terjadinya depresi.

c. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk

peneliti selanjutnya, khususnya mengenai penyesuaian diri dan depresi

pada pensiunan pegawai yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Depresi 1. Pengertian Depresi

Depresi merupakan suatu gangguan mental yang banyak terjadi pada

individu dan merupakan suatu kelainan yang mengenai perasaan dasar (mood)

(Suwantara, dkk., 2000). Gangguan depresi termasuk dalam kategori gangguan

mood, yaitu periode terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan

suasana perasaan murung dan gejala lainnya termasuk perubahan pola tidur dan

makan, perubahan berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan

minat), lelah, perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri

(Muchid, dkk., 2007)

Dalam pedoman penggolongan dan diagnosa gangguan jiwa di Indonesia

III (PPDGJ III, 1993) disebutkan bahwa gangguan utama depresi adalah adanya

gangguan suasana perasaan, kehilangan minat, menurunnya kegiatan, dan

pesimisme dalam menghadapi masa yang akan datang. Gangguan depresi

biasanya disertai dengan adanya rasa rendah diri, kekecewaan yang hebat,

kecemasan, penyalahan diri sendiri, dan trauma-trauma psikis.

Depresi dapat diartikan sebagai suatu bentuk gangguan emosi yang biasanya

ditandai dengan adanya perasaan tertekan, sedih, tidak bahagia, tidak berharga,

(31)

masa depan. Davidson & Neale (2004) menyatakan bahwa depresi merupakan

suatu kondisi emosional yang disertai dengan adanya perasaan sedih yang

berlebihan, perasaan tidak berani dan bersalah, menarik diri dari orang lain, tidak

bisa tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual dan minat, serta hilangnya

kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan.

Kartono (1997) menjelaskan bahwa depresi adalah suatu keadaan

kemuraman hati seseorang berupa kesedihan, kesenduan, keburaman perasaan,

serta putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus

tertentu, pengurangan aktivitas fisik maupun mental dan kesulitan dalam berpikir.

Menurut Muchid, dkk (2007) depresi merupakan suatu gangguan medik serius

yang menyangkut kerja otak, bukan hanya sekedar perasaan murung atau sedih

dalam beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan

mengganggu fungsi keseharian individu.

Simon (dalam Davidson & Neale, 2004) menyebutkan bahwa individu

yang mengalami depresi sering mengabaikan masalah kebersihan dan penampilan

dirinya serta sering mengeluhkan simptom somatik tanpa adanya gangguan fisik

yang jelas. Individu selalu merasa berkecil hati dan tidak memiliki harapan serta

inisiatif dalam melakukan segala aktivitas sepanjang waktu.

Depresi dapat dilihat dari gejala-gejala yang muncul dalam diri individu.

Menurut Holmes (dalam Surandi dan Ramdhani, 2000) gejala-gejala depresi

meliputi gejala kognitif, gejala motorik, dan gejala somatik. Gejala kognitif dapat

(32)

akibat dari terjadinya penurunan motivasi dan energi. Gejala motorik dapat

terlihat pada penurunan gerakan psikomotorik berupa gerakan yang semakin

menurun dan semakin melambat. Gejala somatik yaitu gejala yang meliputi

gangguan pola tidur, gangguan pola makan, dan kehilangan nafsu seksual. Beck

(dalam Keller & Nesse, 2006) menyebutkan bahwa gejala paling serius dirasakan

individu yang mengalami depresi yaitu nafsu makan yang semakin berkurang.

Depresi dapat berdampak negatif pada kehidupan individu yang memasuki

lansia. Menurut Davidson & Neale (2004) dampak negatif yang dapat dirasakan

yaitu ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian dan adanya keluhan karena

memorinya yang semakin berkurang. Individu yang mengalami depresi sering

mengeluhkan bahwa dirinya menjadi pelupa, sehingga sering melakukan

kesalahan dalam melakukan segala sesuatu. Dampak negatif lain juga

diungkapkan oleh Coyne (dalam Davidson & Neale, 2004) bahwa hubungan

sosial yang terjadi antar individu yang mengalami depresi lebih banyak

permasalahannya dan lebih sulit ditangani dibandingkan dengan individu yang

tidak mengalami depresi.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi

adalah suatu gangguan mood yang mempengaruhi seluruh proses mental berupa

pikiran, perasaan dan perilaku individu, serta muncul perasaan tidak berdaya dan

kehilangan harapan, perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan,

berkurangnya energi yang menyebabkan keadaan mudah lelah dan berkurangnya

(33)

menyakitkan, sehingga dapat menjadi beban bagi individu yang bersangkutan dan

merupakan hambatan untuk dapat menikmati hidup. Depresi selain merugikan diri

sendiri, juga dapat merugikan individu lain disekitarnya.

2. Gejala Depresi

Menurut Kelliat (dalam Azizah, 2011) ada beberapa tanda dan gejala

depresi, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Afektif

Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan,

rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah,

dan kesedihan.

b. Fisiologik

Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, sembelit, pusing, keletihan,

gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebih/kurang,

gangguan tidur, dan perubahan berat badan.

c. Kognitif

Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan

minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran

(34)

d. Perilaku

Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,

intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung,

kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

Menurut Blackburn & Davidson (1994) ada beberapa simptoma atau

gejala depresi yang dapat digolongkan ke dalam kelompok simptoma psikologis

dan simptoma biologis, seperti yang diuraikan sebagai berikut:

a. Simptoma-simptoma psikologis:

1) Suasana hati, yaitu merasakan kesedihan, kecemasan, dan mudah marah.

2) Berpikir, yaitu mencakup kehilangan konsentrasi, lambat atau kacau

dalam berpikir, suka menyalahkan diri sendiri, ragu-ragu dalam bertindak,

dan merasa harga dirinya rendah.

3) Motivasi, yaitu kurang adanya minat dalam bekerja dan melakukan hobi,

menghindari kegiatan pekerjaan dan kegiatan sosial, ingin melarikan diri,

dan ketergantungan pada orang lain tinggi.

4) Perilaku, yaitu menjadi lamban, suka mondar-mandir, sering menangis

dan mengeluh.

b. Simptoma-simptoma biologis:

Individu merasakan hilangnya nafsu makan atau nafsu makan semakin

bertambah, hilangnya nafsu birahi, tidurnya terganggu, lambat dalam melakukan

(35)

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III

(PPDGJ-III, Departemen Kesehatan) gejala depresi dibagi menjadi gejala utama dan gejala

lainnya, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Gejala utama meliputi:

a. Afek depresi atau perasaan tertekan

b. Kehilangan minat dan kegembiraan

c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan

menurunnya aktivitas

Gejala lain meliputi:

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. Perasaan bersalah dan tidak berguna

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik

e. Pikiran atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri

f. Tidur terganggu dan nafsu makan terganggu

Nevid, dkk. (2005) menyatakan bahwa ada beberapa gejala depresi lain

sebagai ciri-ciri umum depresi, yaitu:

a. Emosional

b. Perubahan pada mood (periode terus-menerus dari perasaan terpuruk, depresi,

sedih, atau muram).

(36)

d. Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan, atau kehilangan

kesabaran.

e. Motivasi

1) Perasaan tidak termotivasi atau memiliki kesulitan dalam memulai

kegiatan.

2) Menurunnya tingkat partisipasi sosial atau minat pada aktivitas sosial

3) Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas menyenangkan

4) Menurunnya minat pada seks.

5) Gagal untuk merespons pada pujian atau reward

f. Perilaku motorik

1) Bergerak atau berbicara lebih perlahan dari biasanya

2) Perubahan dalam kebiasaan tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun

lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk kembali tidur di pagi

buta.

3) Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit).

4) Perubahan berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan).

5) Berfungsi secara kurang efektif dari biasanya.

g. Kognitif

1) Kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih.

2) Berfikir negatif mengenai diri sendiri dan masa depan.

3) Perasaan bersalah atau menyesal mengenai kesalahan di masa lalu.

(37)

5) Berfikir tentang kematian atau bunuh diri.

Berdasarkan beberapa gejala depresi diatas secara umum hampir sama,

hanya terdapat sedikit perbedaan pada gejala depresi menurut PPDGJ dan Nevid,

dkk yang menunjukkan bahwa ada suatu gejala depresi berupa pikiran untuk

bunuh diri. Keinginan bunuh diri dapat terjadi pada individu yang merasakan

putus asa secara berlebih.

Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa gejala

depresi terdiri dari berbagai macam, yang terdiri dari segi afektif, fisiologis,

kognitif, perilaku, dan motivasi. Beberapa gejala depresi diatas, ada beberapa

gejala yang dapat dirasakan oleh individu sendiri dan ada beberapa yang juga

dapat diamati oleh individu lain di sekitarnya.

3. Jenis-jenis Depresi

Berpedoman pada PPDGJ III, jenis-jenis depresi beserta ciri-cirinya dibagi

menjadi tiga tingkat, yaitu depresi ringan, sedang dan berat. Jenis depresi ini

dibagi berdasarkan berat dan banyaknya gejala utama serta gejala lainnya, yang

dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Depresi ringan, dengan ciri – ciri:

1) Sekurang – kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi. 2) Sekurang – kurangnya 2 dari gejala lainya.

(38)

4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang – kurangnya sekitar 2

minggu.

5) Hanya sedikit dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.

b. Depresi sedang, dengan ciri – ciri:

1) Sekurang – kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi seperti pada depresi ringan.

2) Ditambah sekurang – kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainya. 3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.

4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial pekerjaan

dan urusan rumah tangga.

c. Depresi berat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1) Depresi berat tanpa gejala psikotik, dengan ciri – ciri: a) Semua tiga gejala depresi harus ada.

b) Sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya

harus berintensitas berat.

c) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang

mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau mampu untuk

melaporkan banyak gejala secara rinci.

d) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang – kurangnya 2 minggu akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,

maka masih dibenarkan untuk menegakan diagnosis dalam kurun waktu

(39)

e) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat

terbatas.

2) Depresi berat dengan gejala psikotik, dengan ciri – ciri:

a) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut depresi berat

tanpa gejala psikotik.

b) Adanya waham, halusinasi atau stupor depresif, waham biasanya

melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang

mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.

Halusinasi audiotorik atau aolfatorik biasanya berupa suara yang

menghina, menuduh, bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi

psikomotorik yang berat dapat menuju pada stupor. Apabila diperlukan

waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi

dengan efek (mood congruent).

Sementara itu, Kartono (1997) menyatakan bahwa pada umumnya orang

membedakan tiga jenis depresi, yaitu:

a. Depresi reaktif

Depresi sebagai suatu reaksi dari pengalaman hidup yang menyedihkan,

seperti adanya trauma psikis yang disebabkan karena kehilangan seseorang

(40)

b. Depresi neurotis

Depresi neurotis timbul disebabkan oleh mekanisme pertahanan diri dan

mekanisme pelarian diri yang keliru. Hal ini tidak mungkin menyebabkan

depresi pada orang normal atau sehat, tetapi pada individu yang yang

kepribadiannya rapuh dan labil, akan mudah mengalami depresi.

c. Depresi psikogen

Depresi psikogen timbul karena mengalami kelainan fisik yang disebabkan

salah penanganan pada peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman

sendiri yang pernah terjadi sebelumnya.

Terdapat berbagai jenis depresi yang berbeda macamnya. Jenis depresi

berdasarkan PPDGJ dibagi menurut tingkatannya, yaitu dari depresi ringan hingga

depresi berat, yang digolongkan berdasarkan gejalanya, lama episode depresi,

serta kesulitan/tidaknya dalam melakukan kegiatan pekerjaan dan kegiatan sosial.

Jenis depresi kedua digolongkan berdasarkan sikap individu dalam menghadapi

suatu masalah yang disebabkan karena mental individu yang lemah, adanya

trauma dalam diri individu dan pengalaman yang diperoleh selama hidupnya.

Berdasarkan uraian beberapa jenis depresi diatas, dapat disimpulkan

bahwa jenis depresi dapat digolongkan berdasarkan gejala utama dan lainnya

sesuai dengan PPDGJ, lama episode depresi, kesulitan/tidaknya individu dalam

melakukan kegiatan pekerjaan dan kegiatan sosial, trauma yang dialami karena

kehilangan sesuatu, mental individu yang lemah serta patologi akibat peristiwa

(41)

4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Depresi

Menurut Nevid, dkk (2005) beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya depresi pada seseorang, dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Usia

Pada individu yang sudah memasuki masa lansia dengan rata-rata usia

diatas 60 tahun dapat terjadi gangguan depresi berat, karena pada masa ini

terjadi masalah hidup yang cukup berat. Berdasarkan hasil studi yang diikuti

oleh para lansia selama 6 tahun, ada sekitar 80% individu yang mengalami

depresi, baik depresi yang tidak kunjung sembuh maupun depresi yang terjadi

secara berkala.

b. Status sosioekonomi

Individu yang status sosioekonominya rendah memiliki resiko lebih

mudah untuk mengalami depresi dibandingkan dengan individu yang status

sosioekonominya tinggi.

c. Status pernikahan

Gangguan depresi berat biasanya terjadi pada individu yang gagal

dalam membina hubungan pernikahan, seperti bercerai, berpisah atau

ditinggal pasangan karena meninggal. Hal ini dapat terjadi karena individu

sudah tidak mempunyai teman bercerita lagi mengenai masalah yang dialami

(42)

d. Jenis kelamin

Menurut beberapa prevalensi menyebutkan bahwa wanita lebih mudah

mengalami depresi dua kali lebih besar dibandingkan pria, meskipun alasan

adanya perbedaan tersebut tidak diketahui. Berdasarkan wacana depresi, pria

dan wanita yang mengalami gangguan depresi tidak berbeda secara signifikan,

seperti dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali, frekuensi kambuh,

keparahan kambuh atau jarak waktu untuk kambuh yang pertama kalinya.

Sadock & Sadock (2010) juga mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor

yang mempengaruhi terjadinya depresi, yaitu:

a. Faktor Biologi

Beberapa peneliti menyebutkan bahwa dalam diri seseorang yang

mengalami depresi terdapat kelainan biogenik amin, serta adanya pengaktifan

hormon stres yang berpengaruh pada neurotransmitternya seperti norepinefrin

dan serotonin yang menyebabkan terjadinya depresi.

b. Faktor Genetik

Faktor genetik mempunyai kontribusi dalam terjadinya gangguan

mood. Dalam hal ini, terdapat penelitian yang pernah dilakukan terhadap anak

kembar yang menunjukkan bahwa terjadinya gangguan depresi berat pada

(43)

c. Faktor Psikososial

1) Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan.

Para klinisi menyatakan bahwa suatu peristiwa yang penuh ketegangan dan

menyebabkan stres, sering mendahului episode pertama gangguan mood.

Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode

depresi adalah kehilangan pasangan. Stres yang menyertai episode pertama

menyebabkan terjadinya perubahan pada fungsional neurotransmitter dan

pemberi tanda intra neuronal yang pada akhirnya menyebabkan individu

beresiko tinggi mengalami depresi.

2) Faktor Kepribadian

Semua individu dengan segala macam kepribadian dapat mengalami

depresi, tetapi bagi individu yang memiliki tipe-tipe kepribadian seperti

kepribadian dependen, obsesif kompulsif, histeris diduga mempunyai

resiko lebih tinggi terjadinya depresi dibandingkan individu yang memiliki

kepribadian antisosial dan paranoid yang mempunyai resiko lebih rendah

terjadinya depresi.

3) Faktor psikodinamika.

Berdasarkan teori psikodinamika Freud dinyatakan bahwa terdapat

hubungan antara kehilangan objek dengan melankoli. Dalam hal ini, terjadi

kemarahan pada individu yang depresi terhadap diri sendiri yang tidak

terkendali karena individu tersebut mengidentifikasikan dirinya sendiri

(44)

merasakan kehilangan harga diri, suka merasa bersalah dan mencela

dirinya sendiri.

4) Faktor Ketidakberdayaan

Didalam suatu percobaan, terdapat binatang yang dihadapkan dengan

kejutan listrik yang terjadi secara berulang-ulang. Binatang tersebut pada

akhirnya menyerah dan tidak berusaha lagi untuk mencoba menghindari

kejutan berikutnya. Dalam hal ini terjadi proses belajar bahwa mereka

merasa sudah tidak berdaya, sehingga ditemukan kesamaan pada individu

yang mengalami depresi dengan adanya perasaan ketidakberdayaan

tersebut.

5) Faktor kognitif

Terjadinya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu hal menyebabkan

individu mengalami depresi. Individu yang depresi disebabkan karena

individu tersebut selalu pesimisme terhadap masa depan, memiliki

pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, merasa dirinya sudah tidak

mampu lagi untuk melakukan sesuatu, bodoh, pemalas, tidak berharga,

serta adanya pandangan yang negatif terhadap pengalaman hidup.

Berdasarkan uraian diatas, terdapat perbedaan antara faktor yang

mempengaruhi depresi menurut tokoh satu dengan yang lainnya. Menurut Nevid

terdapat faktor usia, jenis kelamin, status sosioekonomi dan status pernikahan,

sedangkan menurut Sadock & Sadock terdapat faktor biologik, faktor genetik, dan

(45)

psikodinamika, faktor ketidakberdayaan, serta faktor kognitif. Uraian diatas

menunjukan adanya perbedaan, tetapi ada beberapa faktor yang saling

berpengaruh dan berhubungan satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya depresi

dapat dialami oleh siapapun, terutama bagi individu yang memiliki tipe

kepribadian tertentu, memiliki riwayat keturunan, selalu mempunyai pikiran dan

perasaan yang negatif, serta adanya berbagai macam stressor yang dapat

mempengaruhi individu mudah mengalami depresi.

5. Depresi pada Pensiunan Pegawai

Menurut Soedaryono (1979) pegawai atau karyawan merupakan golongan

masyarakat yang melakukan penghidupannya dengan bekerja dalam kesatuan

organisasi, baik kesatuan kerja pemerintah, maupun kesatuan kerja swasta. Setiap

pegawai baik negeri maupun swasta dikarenakan faktor usia, suatu saat akan

mengalami masa pensiun. Dwidjosoesastro (dalam Satria, 2008) berpendapat

bahwa pensiun merupakan pemberhentian yang dilakukan oleh pejabat yang

berwenang kepada pegawai dilingkungannya, karena sudah mencapai usia lanjut

sehingga tidak lagi mampu bekerja dengan sempurna. Menurut Mu’tadin (dalam

Rosanti, 2010) masa pensiun merupakan tahapan penting dalam kehidupan

pegawai, sebab dengan tibanya waktu pensiun berarti berakhir pula karir pegawai

di bidang pekerjaan, berkurangnya penghasilan serta bertambahnya waktu luang

(46)

Mulyono (2011) menyatakan bahwa individu yang pensiun akan

mendapatkan uang pensiun atau pesangon sampai meninggal dunia. Menurut

Undang-Undang No. 11/1990, pensiun merupakan hak individu untuk

memperoleh penghasilan setelah bekerja sekian tahun dan sudah memasuki usia

pensiun atau sebab-sebab lain sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan.

Berbagai macam batas usia pensiun, tergantung pada jenis profesinya. Batas usia

pensiun untuk PNS 56 tahun, guru 60 tahun, TNI 58 tahun, dan POLRI 60 tahun.

Menurut Hurlock (1999) individu yang berusia 60-70 tahun merupakan

tahap akhir dalam rentang kehidupan, sehingga digolongkan dalam usia lanjut

dini dan individu yang berusia 60 tahunan sudah termasuk dalam golongan usia

tua. Individu akan menjadi semakin tua di usia limapuluhan hingga mencapai

awal atau akhir usia enampuluhan. Suardiman (2011) mengungkapkan bahwa

individu yang memasuki masa pensiun dengan usia 56 tahun digolongkan sebagai

usia pralanjut, seperti pegawai negeri sipil non guru, sedangkan batas usia pensiun

untuk profesi guru sudah termasuk dalam golongan usia lanjut.

Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat

dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru atau merupakan akhir

pola hidup (Schawrz dalam Hurlock, 1999). Transisi ini meliputi perubahan peran

dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap

aspek kehidupan seseorang. Menurut Mulyono (2011) masa pensiun juga disebut

sebagai suatu masa kritis dan suatu pengalaman yang terberat bagi para pensiunan

(47)

Menurut Suardiman (2011) masa pensiun menyebabkan berkurangnya

atau hilangnya peran individu yang menjadi bagian dari harga diri, biasanya

diasumsikan sebagai proses menimbulkan stres yang berkontribusi pada

menurunnya kesehatan fisik dan mental. Masa pensiun menyebabkan kontak

sosial individu semakin berkurang, baik dengan teman sekerja, teman relasi,

maupun dengan individu lain yang berada di luar rumah. Kondisi ini mendorong

individu untuk menghindar dari lingkungan sosial dan menyebabkan psikisnya

menurun bahkan depresi.

Depresi pada masa pensiun merupakan suatu kondisi emosional atau

gangguan mood yang dirasakan individu saat memasuki masa pensiun yang

ditandai dengan adanya perasaan sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan

bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan, mudah lupa bahkan timbul

pikiran untuk bunuh diri. Berbagai kejadian yang tidak diinginkan yang terjadi di

masa lampau, seperti perpisahan dan segala macam kehilangan, dapat

memperburuk gejala kejiwaan individu, perubahan kesehatan fisik, gangguan

penampilan peran sosial, dan depresi. Berbagai macam kehilangan yang dirasakan

individu setelah memasuki masa pensiun yaitu kehilangan finansial, kehilangan

status, kehilangan teman dan kehilangan pekerjaan (Azizah, 2011).

Individu yang mengalami depresi di masa pensiun, juga disebabkan karena

kondisi pikiran yang negatif serta tidak ada rasa semangat lagi setelah memasuki

masa pensiun (Davidson & Neale, 2004). Pikiran negatif yang sering dirasakan,

(48)

kebutuhan keluarga, merasa atau dianggap tidak produktif lagi dan merasa tidak

berharga di pandangan masyarakat. Hal ini menyebabkan individu merasa rendah

diri dan menarik diri dari lingkungan sosial (Mulyono, 2011).

Individu yang telah memasuki masa pensiun dapat berdampak sangat luas

bagi perkembangan kepribadian selanjutnya, termasuk dalam hal hubungan sosial

dan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Individu yang memasuki masa

pensiun dan masa usia lanjut akan mengalami penurunan pada fungsi biologis dan

psikisnya, sehingga berpengaruh pada aktivitas dan kontak sosialnya. Hal ini

menyebabkan individu merasa kesepian. Rasa kesepian sangat dirasakan bagi

individu yang sebelumnya sangat aktif bekerja dan tidak siap menghadapi

perubahan yang terjadi selama masa pensiun (Suardiman, 2011).

Berbagai perubahan yang terjadi pada masa pensiun, menuntut para

pensiunan untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Aktivitas baru yang

dilakukan memiliki peranan penting di masa pensiun dan dapat memberikan

kepuasan hidup. Menurut Haditono (dalam Esteriana, 2004) pensiunan yang aktif

akan lebih mudah memperoleh kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan

pensiunan yang tidak aktif. Semakin berkurangnya aktivitas seseorang, maka

hubungan sosial dengan individu lain pun juga berkurang, sehingga menyebabkan

individu merasa kesepian, sedih, merasa tidak ada yang mempedulikan lagi dan

merasa tidak berguna, serta mudah menyebabkan depresi.

Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa

(49)

mood yang terjadi pada individu yang sudah berhenti bekerja dari pekerjaan

formalnya, disebabkan karena ketidaksiapan individu dalam menghadapi berbagai

perubahan yang terjadi serta dalam menyandang peran baru sebagai seorang

pensiunan.

6. Pegukuran Depresi pada Pensiunan Pegawai

Pengukuran depresi terdiri dari beberapa jenis, yang dapat diuraikan

sebagai berikut:

a. Geriatric Depression Scale (GDS), yaitu skala pengukuran depresi yang

terdiri dari 30 item untuk memberikan penilaian depresi pada orang dewasa

yang lebih tua (Greenberg, 2012).

b. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), yaitu suatu skala pengukuran

depresi yang terdiri dari 21 item pernyataan dengan fokus utama pada gejala

somatik dan penilaian dilakukan oleh pemeriksa (Idrus, 2007).

c. Beck Depression Inventory (BDI), yaitu suatu alat pengukuran depresi yang

terdiri dari 21 item, digunakan oleh pasien untuk menilai tingkat depresinya

sendiri (Idrus, 2007).

d. Zung Self Depression (ZSD), yaitu suatu skala depresi yang terdiri dari 20

kalimat dan penilaian tingkat depresinya dilakukan oleh pasien sendiri (Idrus,

2007).

Berdasarkan uraian diatas, penulis menggunakan modifikasi dan adaptasi

(50)

Yessavage (dalam Mc Dowell & Newell, 2006). Alat ukur Geriatric Depression

Scale (GDS) terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab. Penulis melakukan

modifikasi dan adaptasi dari Geriatric Depression Scale (GDS), digunakan untuk

mengukur depresi bagi para pensiunan pegawai, karena usia pensiun termasuk

dalam golongan usia dewasa yang lebih tua. Menurut Greenberg (2012) skala ini

dapat digunakan bagi individu dalam keadaan sehat maupun sakit. Geriatric

Depression Scale (GDS) merupakan skala yang diindikasikan pada individu

dengan usia lanjut dan memiliki keunggulan yaitu mudah untuk digunakan serta

tidak memerlukan ketrampilan khusus dari pengguna (Azizah, 2011).

B. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri

Dalam periode kehidupan, penyesuaian diri sangat diperlukan karena

merupakan salah satu masalah universal yang dihadapi semua individu untuk

mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan

lingkungan. Menurut Calhoun dan Acocella (dalam Kertamuda dan Herdiansyah,

2009) penyesuaian diri merupakan suatu interaksi individu yang dilakukan secara

kontinyu dengan dirinya sendiri, individu lain serta dengan lingkungannya.

Gerungan (dalam Sunaryo, 2002) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri

merupakan cara individu untuk merubah dirinya sendiri yang disesuaikan dengan

keadaan lingkungan dan juga merubah lingkungan sesuai dengan keadaan dirinya

(51)

yaitu bersifat pasif, sedangkan individu yang berusaha untuk merubah lingkungan

sesuai dengan keinginan dirinya sendiri yaitu bersifat aktif.

Menurut Haber dan Runyon (1984) penyesuaian diri adalah suatu proses

yang berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupan individu. Hal ini

disebabkan karena adanya perubahan situasi hidup yang menuntut seseorang

untuk berubah tingkah lakunya dalam menghadapi situasi yang terjadi di

lingkungannya. Penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui

seberapa baik individu mampu menghadapi situasi dan kondisi di lingkungannya

yang senantiasa selalu berubah. Menurut Sobur (2003) penyesuaian diri adalah

suatu kemampuan individu untuk membentuk suatu hubungan yang memuaskan

antara individu dengan lingkungannya.

Menurut Eysenck (dalam Kusuma dan Gusniarti, 2008) penyesuaian diri

merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk belajar memahami,

mengerti, dan berusaha melakukan sesuatu hal sesuai dengan yang diinginkan

individu lain atau lingkungannya. Semiun (2006) mengungkapkan bahwa

penyesuaian diri merupakan suatu reaksi individu terhadap berbagai tuntutan baik

dari dalam maupun dari luar.

Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon-respon

mental dan tingkah laku yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi

tuntutan kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami dalam dirinya

secara matang, bermanfaat, efisien, efektif, dan memuaskan yang disesuaikan

(52)

Schneiders (1964) yang menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu

proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku untuk menghadapi

kebutuhan internal, konflik, ketegangan, dan frustrasi serta untuk menyelaraskan

tuntutan dari dalam diri individu dengan lingkungan.

Hurlock (1999) mengatakan bahwa individu yang dapat menyesuaiakan

diri dengan baik yaitu individu yang mampu menyesuaikan diri dengan individu

lain di kelompok maupun lingkungannya serta dapat memperlihatkan sikap dan

perilaku yang menyenangkan, sehingga individu dapat diterima oleh kelompok

dan lingkungannya. Individu juga dikatakan berhasil dalam melakukan

penyesuaian diri dengan baik apabila dapat memenuhi kebutuhannya dengan

cara-cara yang wajar atau dapat diterima oleh lingkungan tanpa mengganggu dan

merugikan lingkungannya. Haber dan Runyon (1984) mengungkapkan bahwa

penyesuaian diri yang baik ditandai apabila individu dapat menerima keterbatasan

yang tidak dapat diubah, tetapi tetap berusaha merubah keterbatasan tersebut

dengan optimal.

Meichati (1983) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang buruk

biasanya ditandai dengan adanya kecemasan, keadaan tertekan, sensitivitas

emosional, perasaan benci, kegagalan sosial, perasaan terasing dan hubungan

antar pribadi yang tidak harmonis. Semakin rendah nilai individu pada

aspek-aspek tersebut berarti individu tersebut mengalami gangguan penyesuaian diri.

Gangguan penyesuaian diri menimbulkan perasaan-perasaan negatif seperti

(53)

fisiologis dan psikologisnya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya konflik,

tekanan, dan frustrasi dari dalam diri individu. Hal ini berpengaruh pada individu

terhadap penggunaan sikap dan pikirannya yang menjadi kurang baik, respon

yang dimunculkan tidak efisien, tidak memuaskan bahkan bisa menimbulkan

efek-efek yang merugikan diri sendiri dan lingkungan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri

adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk mengubah dirinya sendiri

sesuai dengan norma atau tuntutan lingkungan agar dapat berhasil menghadapi

kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi dan konflik sehingga tercapai

keserasian antara diri sendiri dengan kelompok atau lingkungannya.

2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik

meliputi enam aspek sebagai berikut:

a. Kontrol terhadap emosi yang berlebih

Hal ini menekankan kepada adanya kontrol dan ketenangan emosi individu

dalam menghadapi masalah secara inteligen dan dapat menentukan berbagai

kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Individu bisa lebih

mengontrol emosinya dalam menghadapi segala sesuatu.

b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal

Hal ini menjelaskan pendekatan yang mengindikasikan respon secara

(54)

menghadapi masalah atau konflik. Individu dikategorikan normal jika bersedia

mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai

tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian

jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut

tidak berharga untuk dicapai.

c. Frustrasi personal yang minimal

Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya

dan tidak ada harapan, sehingga individu merasa sulit untuk bisa bereaksi

secara normal dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.

d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri

Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan

terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran,

tingkah laku dan perasaan dalam memecahkan masalah, sehingga

menunjukkan adanya penyesuaian diri yang baik. Individu tidak mampu

melakukan penyesuaian diri yang baik apabila emosi dalam diri individu lebih

dominan pada saat mengahadapi suatu masalah, sehingga akan menimbulkan

konflik.

e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu.

Penyesuaian diri yang baik, ditunjukkan individu melalui proses belajar

yang berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari

kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. Pengalaman diri sendiri

(55)

dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan

mengganggu penyesuaiannya.

f. Sikap realistik dan objektif

Sikap yang bersumber pada pemikiran individu yang rasional, serta

kemampuan dalam menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai

dengan kenyataan sebenarnya. Individu mampu mengatasi suatu masalah

dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.

Pendapat lain juga diungkapkan oleh Enung (dalam Yuliana, 2005) yang

menyatakan bahwa aspek penyesuaian diri dibagi menjadi dua macam, antara lain

yaitu:

a. Penyesuaian pribadi, yaitu kemampuan individu untuk menerima diri sendiri

demi tercapainya hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan

sekitarnya.

b. Penyesuaian sosial, yaitu terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat

individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang lain.

Haber dan Runyon (1984) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang

dilakukan individu terdiri dari lima aspek, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Persepsi terhadap realitas

Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan dapat

menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistik

sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan

Gambar

Tabel 23 : Kategori Skor Depresi Berdasarkan Jenis Pekerjaan  ………….   82
Gambar 1: Kerangka pemikiran hubungan antara penyesuaian diri dengan
 Tabel  2
Tabel 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data Hasil Proses Elektrolisis dengan voltase 15 volt ( 11.5 Ampere ) No... Data Hasil Proses Elektrolisis dengan voltase 11 volt ( 2 Ampere )

Capital budgeting menurut Syamsuddin (2009,412) adalah keseluruhan proses perencanaan, pengumpulan, pengevaluasian, penyeleksian dan penentuan alternatif penanaman

Dari survei sebelum dan setelah intervensi dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui hubungan kejadian kematian bayi karena birth asfiksia dengan intervensi pasca

disimpulkan permasalahan yang ada, yaitu bagaimana proses dalam penerimaan karyawan baru dan perancangan sistem pengambil suatu keputusan penerimaaan karyawan baru

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekspos fakto dengan pendekatan korelasional. Ekspos fakto adalah meneliti peristiwa yang telah

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa profitabilitas dan kompleksitas operasi perusahaan berpengaruh positif terhadap audit report lag , ukuran perusahaan tidak

(Remember, we're talking about the days before Windows 2000 with its improved integration with DNS.) So a Microsoft DNS Server can be configured to ask a WINS server when it

Setelah menganalisis data yang didapat dari perusahaan, ditemukan beberapa permasalahan yaitu perhitungan harga perolehan aset tetap yang dilakukan perusahaan tidak