TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Menurut Choon et al., (1991) kelapa sawit adalah tumbuhan jenis
monokotil yang tidak memiliki kambium, pertumbuhan sekunder, lingkaran tahun,
kayu muda dan kayu dewasa, cabang, dan mata kayu. Pertumbuhan dan
pertambahan diameter batang berasal dari pembelahan sel secara keseluruhan dan
pembesaran sel pada jaringan dasar parenkim, juga berasal dari pembesaran serat
dari berkas pembuluh. Secara taksonomi kelapa sawit diklasifikasikan sebagai
berikut:
Ordo : Palmales
Family : Palmaceae
Sub family : Palminae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
Kelapa sawit merupakan tumbuhan yang berasal dari Nigeria. Kelapa
sawit termasuk tumbuhan pohon, tingginya dapat mencapai 24 m. Bunga buahnya
berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah
kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung
minyak yang dapat digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun dan lilin,
sedangkan ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Tempurungnya
digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Kelapa sawit berkembang biak dengan
biji, biasanya tumbuh di daerah tropis, pada ketinggian 0-500 mdpl. Kelapa sawit
menyukai tanah subur, di tempat terbuka dengan kelembaban tinggi serta curah
Potensi Batang Kelapa Sawit
Dewasa ini, kawasan hutan banyak dikonversikan menjadi perkebunan
kelapa sawit yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan dapat berproduksi
dalam waktu yang singkat. Lonjakan pembangunan perkebunan terutama
perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab lain terjadinya deforestasi. Sejak
tahun 1967 telah ditanam kelapa sawit seluas 105.808 ha dan hingga tahun 2000
tercatat 3.174.726 ha areal perkebunan kelapa sawit dengan laju pertambahan
areal 8,5% per tahun sejak 1998-1999 areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mulai mengalami penurunan. Namun, permintaan kelapa sawit dunia diramalkan
meningkat 40,5 juta ton, sebelum tahun 2020. Jika produksi dunia meningkat 20
juta ton sebelum tahun 2020, maka 300.000 ha perkebunan kelapa sawit baru akan
perlu dibangun setiap tahunnya sepanjang 20 tahun mendatang (Santoso, 2005).
Potensi limbah BKS di Indonesia sangatlah besar. Pada umumnya, kelapa
sawit akan ditebang pada saat peremajaan (replanting). Peremajaan biasanya
dilakukan pada umur 25 tahun. Mengingat luas areal perkebunan kelapa sawit
terus meningkat, maka luas areal peremajaan juga akan terus meningkat.
Berdasarkan penelitian Febrianto dan Bakar (2004) pada umur peremajaan, tinggi
batang sawit dapat mencapai 12 m, sehingga bila 1,5 m batang dari pangkal dan 1
m batang dari ujung dikeluarkan, maka dari setiap batang dihasilkan 9,5 m log
sawit dengan diameter rata-rata 40 cm. Dengan demikian dari setiap batang
peremajaan akan dihasilkan sebanyak 1,193 m3 log sawit. Bila dalam 1 ha ada 140
batang, maka dari setiap ha peremajaan akan dihasilkan 167 m3 log sawit.
Penanaman kelapa sawit di lapangan biasanya dilakukan dengan kerapatan
yang mati, sehingga pada saat peremajaan terdapat sekitar 117 pohon tua/ha
(Prayitno dan Darnoko, 1994).
Lubis (2008) menjelaskan BKS yang sudah tua dan tidak produktif lagi
dapat dimanfaatkan menjadi produk bernilai tinggi. BKS tersebut dapat dibuat
sebagai bahan baku pengganti untuk industri kayu dan serat, seperti industri pulp,
furniture dan papan partikel karena tingkat ketersediaannya berlimpah sepanjang
tahun. Sifat-sifat yang dimiliki BKS tidak berbeda jauh dengan kayu-kayu yang
digunakan untuk perabot rumah sehingga berpeluang dimanfaatkan secara luas.
Sifat Fisis dan Mekanis Batang Kelapa Sawit
Kadar air (KA) batang kelapa sawit bervariasi antara 100-500%. Kenaikan
KA yang bertahap ini diindikasikan terhadap ketinggian dan kedalaman posisi
batang. Kecenderungan kenaikan KA ini dapat dijelaskan dengan
mempertimbangkan distribusi jaringan parenkim. Ketersediaan jaringan parenkim
ini akan semakin berlimpah pada bagian puncak batang, bagian luar batang dan
pusat batang. Kerapatan batang kelapa sawit berkisar antara 200-600 kg/m3 dan
dengan rata-rata 370 kg/m3 (Choon et al., 1991).
Sifat mekanik kayu menggambarkan variasi kerapatan batang baik pada
arah radial maupun vertikal. Tabel 1 membandingkan beberapa sifat mekanik
Tabel 1. Perbandingan sifat Elaeis guineensis dengan beberapa jenis kayu
Maloney (1993), berpendapat bahwa papan partikel adalah salah satu jenis
produk komposit/ panel kayu yang terbuat dari partikel-partikel kayu atau
bahan-bahan berligniselulosa lainnya, yang diikat dengan perekat sintetis atau bahan-bahan
pengikat lain kemudian dikempa panas. Dibandingkan dengan kayu asalnya,
papan partikel mempunyai beberapa kelebihan yaitu :
1. Papan partikel bebas mata kayu, pecah dan retak
2. Ukuran dan kerapatan papan partikel dapat disesuaikan dengan
kebutuhan
3. Tebal dan kerapatannya seragam serta mudah dikerjakan
4. Mempunyai sifat isotropis
5. Sifat dan kualitasnya dapat diatur
Istilah komposit diartikan sebagai penggabungan dua material atau lebih
secara makrokopis. Makrokopis sendiri menunjukkan bahwa material pembentuk
dalam komposit masih terlihat seperti aslinya, suatu hal yang berbeda dengan
penggabungan dalam alloy (paduan), yang material pembetuknya sudah tidak
terlihat lagi. Salah satu keuntungan material komposit adalah kemampuan
arah tertentu yang kita kehendaki. Hal ini dinamakan talloring properties dan ini
adalah salah satu sifat istimewa komposit dibandingkan dengan material
konvensional lainnya (Judawisastra, 2003).
Sifat komposit dipelajari dan dianalisa berdasarkan sifat masing-masing
komponen. Pada komposit dikenal dua istilah, yaitu matriks (sebagai media) dan
pengisi atau komponen penguat (yang ada dan menyatu dengan matriks). Karena
hal tersebut, karateristik dari komposit sangat tergantung dari jenis campuran dan
sifat-sifat yang dimunculkan. Kedua bahan setelah digabungkan ternyata
menunjukkan hasil yang sangat signifikan dan berbeda dengan sifat awalnya.
Yang menjadi perhatian pada komposit adalah media yang memperkuat harus
mempunyai modulus yang relatif lebih tinggi daripada bahan dasar yang
digunakan (Jayanto dan Simanjuntak, 2011).
Menurut Rowell (1998), penggunaan bahan baku produk komposit tidak
harus berasal dari bahan baku yang berkualitas tinggi tetapi bahan baku yang
digunakan dapat diperoleh dari limbah seiring dengan timbulnya isu lingkungan,
kelangkaan sumber bahan baku, penggunaan teknologi dan berbagai faktor
lainnya. Bahan baku dengan kualitas yang tinggi maupun rendah tidak menjadi
suatu masalah karena papan partikel dapat dibuat sesuai dengan kerapatan yang
diinginkan.
Perekat
ASTM (American Society for Testing and Materials) mendefinisikan
bahwa perekat adalah suatu bahan yang mampu mengikat material secara
bersama-sama melalui ikatan permukaan. Perekatan adalah suatu keadaan pada
gaya valensi, aksi bersikunci, atau keduanya. Gaya valensi adalah gaya
tarik-menarik yang dihasilkan dari interaksi atom, ion-ion, dan molekul-molekul yang
ada pada perekat dan sirekat. Aksi bersikunci disebut juga sebagai ikatan
mekanik, yang berarti permukaan diikat bersama-sama dengan perekat. Perekat
menjangkarkan diri pada sirekat selama proses pematangan (solidification) (Vick,
1999).
Perekat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dalam pembuatan papan partikel. Pemilihan jenis dan banyaknya perekat yang
dibutuhkan sangat penting untuk diperhatikan. Menurut Dumanaw (1993), jenis
perekat tergantung dari jenis papan partikel yang akan dibuat.
Secara kimiawi, polimer sintetik dirancang dan dirumuskan dalam perekat
untuk menunjukkan variasi yang besar dari fungsi ikatannya. Apakah itu berbahan
dasar thermoplastic atau thermosetting yang berpengaruh besar pada kemampuan
perekat dalam aplikasinya. Thermoplastic adalah polimer rantai panjang yang
mencair pada saat dipanaskan, kemudian mengeras kembali saat pendinginan.
Contohnya adalah PVAc (polivinil asetat), elastomer, dan lain-lain. Polimer
thermosetting memiliki reaksi kimia yang bersifat irreversible, artinya pada saat
pemanasan kembali, perekat tidak bisa mencair lagi. Polimer ini mempunyai
kekuatan yang tinggi, ketahanan terhadap kelembaban, cukup kaku, dan memiliki
kemampuan jangka pembebanan yang lama tanpa mengalami perubahan bentuk.
Jenis perekat yang tergolong kategori polimer ini adalah phenol formaldehida,
resorsinol formaldehida, melamin formaldehida, isosianat, urea formaldehida, dan
Perekat Isosianat
Isosianat dikenal sebagai diphenylmethane di-isocyanate (MDI) biasanya
digunakan dalam pembuatan produk papan komposit. MDI secara utama
digunakan dalam pembuatan oriented strands board (OSB). Perekat ini dipilih
berdasarkan pada kesesuaiannya untuk produk khusus dengan pertimbangan
bahan-bahan yang direkatkan, kadar air saat perekatan, sifat mekanis, dan
ketahanannya, serta biayanya (Vick, 1999).
Menurut Taki et al., (1994), perekat isosianat dapat digunakan, baik untuk
proses kempa panas maupun kempa dingin. Perekat API (aqueous polymer
isocyanate) pada dasarnya terdiri atas polimer larut air dan emulsi, yaitu poli vinil
alkohol (PVOH) dan emulsi lateks seperti SBR (styrene butadiene rubber), dan
lain-lain, dengan senyawa isosianat sebagai crosslinking agent. Perekat
polisosianat ini mempunyai sifat daya rekat yang baik pada suhu ruang dan sangat
tahan terhadap air panas atau air mendidih serta bersifat ramah lingkungan.
Kelebihan dari perekat isosianat adalah dapat mengeras tanpa bantuan
panas dan curing pada suhu tinggi. Keunikan perekat ini adalah dapat digunakan
pada variasi suhu yang luas, tahan air, dan panas. Perekat ini juga memiliki daya
guna yang luas untuk merekatkan berbagai macam kayu ke kayu, kayu ke logam
dan kayu ke plastik. Perekat isosianat tidak mengandung formaldehida, sehingga
proses pengeringannya relatif cepat dengan pH netral (Ph ±7) dan kering pada
variasi suhu yang luas. Perekat yang ekonomis dan sangat kuat ini tahan terhadap
Akrilik
Akrilik termasuk salah satu resin atau binder yang menggunakan air
sebagai pelarutnya. Wisno (2012) menyatakan bahwa resin atau binder
merupakan komponen utama dalam cat. Resin berfungsi merekatkan
komponen-komponen yang ada dan melekatkan keseluruhan bahan pada permukaan suatu
bahan (membentuk film). Resin pada dasarnya adalah polimer yang berbentuk
cair, bersifat lengket dan kental pada temperatur ruang (atau temperatur aplikasi).
Ada banyak jenis resin, seperti: minyak alami, selulosa nitro, poliester, melamin,
akrilik, epoksi, poliuretan, silikon, fluorokarbon, vinil, selulosa, dan lain-lain.
Menurut Wisno (2012), setiap jenis resin mempunyai banyak sekali tipe dan
turunannya bahkan kombinasi antara satu resin dengan resin yang lain juga
menambah pembendaharaan jenis resin baru. Daya tahan, kekuatan dan karakter
cat secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh jenis resin yang dipakai. Pemilihan
resin yang dipakai sangat dipengaruhi oleh banyak pertimbangan diantaranya
sebagai berikut:
1. Pemakaian
Jika akan digunakan dengan kuas maka sebaiknya dipakai resin yang
secara alami encer dan agak lambat keringnya. Resin yang cocok adalah
alkyd dengan kadar oil yang cukup banyak (alkyd long oil). Resin dengan
kekentalan tinggi dan cepat kering sangat tidak cocok dipakai untuk
pemakaian dengan spray pada permukaan vertikal.
2. Kekuatan
Jika dibutuhkan daya tahan tinggi terhadap sinar matahari, maka resin
kekuatan tinggi terhadap kimia, gesekan, benturan, dan untuk pemakaian
dalam ruangan atau interior, maka resin epoksi adalah jawabannya.
3. Pertimbangan-pertimbangan lain
Seperti ongkos atau harga, substrat atau permukaan bahan yang akan
dicat, lingkungan (berair, kering, korosif), dan lain-lain.
Akrilik merupakan salah satu bahan wood filler (pengisi). Menurut Allen
(2006), wood filler dibuat dari bahan utama berupa bulking agent, resin, dan
pelarut. Bulking agent adalah bahan yang mempunyai penyusutan yang sangat
kecil, yang banyak dipakai adalah sejenis ground silica yang digiling sangat halus.
Bahan ini berfungsi untuk mengisi pori-pori dan serat kayu. Resin adalah bahan
yang berfungsi sebagai binder (pengikat) supaya wood filler tersebut dapat bersatu
dan membentuk padatan yang solid. Jenis resin yang digunakan untuk binder ini
akan menentukan sifat-sifat utama dari wood filler seperti waktu pengeringan,
thinner (pelarut) yang bisa digunakan, aplikasi yang bisa dilakukan, dll. Beberapa
resin yang banyak dipakai adalah: minyak, pernis, akrilik, dan uretan.
Akrilik juga termasuk dalam waterbased finishing material. Menurut
Wisno (2012), waterbased finishing material adalah bahan finishing yang
menggunakan air sebagai pelarut utama. Berbeda dengan solvent base finishing
material, waterbased finishing ini hanya sedikit mengeluarkan emisi gas pada saat
proses pengeringannya sehingga tidak akan mengotori udara lingkungan.
Teknologi waterbased coating ini sebenarnya sudah lama dikenalkan pada
industri finishing, mulai dari sekitar tahun 1970an. Dewasa ini
pengembangan-pengembangan baru telah dibuat untuk mengatasi masalah-masalah dari
Karena itu maka produk-produk waterbased saat ini mempunyai performa yang
lebih baik.
Akrilik tampil lebih cerah dan berkilau dibandingkan lateks, lebih sulit
kering, dan lebih tahan lama. Waterbased acrylics adalah pilihan yang baik ketika
digunakan untuk melakukan finishing terhadap objek yang penuh warna, seperti
furniture dan mainan untuk anak-anak. Adanya isu yang sangat kuat mengenai
keselamatan lingkungan dan harga solvent yang semakin mahal, telah membuat
produk-produk yang berbasiskan air menjadi pilihan yang sangat menarik.
Tingginya dorongan untuk menggunakan waterbased material ini juga telah
mendorong industri finishing material untuk mengembangkan produk-produk