• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Persepsi Remaja Tehadap Peranan Wilayatul Hisbah Dalam Mengurangi Seks Bebas di Desa Pondok Kelapa Kecamatan Langsa Baro Kabupaten Kota Langsa NAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Persepsi Remaja Tehadap Peranan Wilayatul Hisbah Dalam Mengurangi Seks Bebas di Desa Pondok Kelapa Kecamatan Langsa Baro Kabupaten Kota Langsa NAD"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lembaran sejarah ditulis bahwa lebih kurang 3,5 abad Indonesia dijajah oleh belanda,

tetapi hal ini tidak terjadi atas tanah dan rakyat Aceh. Akhir abad 19 Belanda menyerang Aceh

dan dengan susah payah serta mengorbankan beberapa jendralnya baru menginjak Tanah Aceh.

Secara De-jure Aceh tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda dan selama berada di tanah

Aceh, Belanda tidak pernah sepenuhnya merasa aman dalam menjalankan kekuasaan/pemerintah

annya. Banyak para Mujahidin Aceh melakukan perang grilya.

Mengapa hal ini terjadi? Ruh Islam dan semangat Jihat serta mati Syahit dengan balasan

Surga memotivasi rakyat Aceh melawan penjajah Belanda. karena memang Ruh Islam dan

semangat Jihat, berabad-abad yang lalu sejak Islam masuk di tanah Aceh telah menghunjam

dalam hati sanubari rakyat Aceh. Bagi mereka Islam adalah darah daging, martabat, dan harga

diri yang harus dipertahankan dan dibawa sampai mati.

Tidak berlebihan kalau dikatakan, disetiap jengkal tanah Aceh tertimbun tulang-tulang

para Syuhada yang telah mengorbankan jiwanya demi eksistensi dan tegaknya Syari’at di bumi

Aceh. karena itu wajar belaka apabila setelah Proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945

tokoh-tokoh Aceh menuntut agar di tanah Aceh diberlakukannya Syari’at Allah (Syari’at Islam).

Karena bagi mereka Islam bukan saja sebagai warisan leluhur, tapi keyakinan dan sistem hidup

konsep Allah yang tidak diragukan lagi kebenarannya, dan dengan Syari’at Islam yang

dilaksanakan dalam berbagai aspek kehidupan dapat mensejahterakan serta jalan lurus menuju

(2)

Lampu hijau pemberlakuan Syari’at Islam di bumi Aceh telah menyala. Banyak

pandangan dari luar tertuju ke negeri (Aceh : nanggroe) yang mendapat julukan “Serambi

Mekah” itu. Mereka menanti-nanti kapan Syari’at Islam diaplikasikan secara Kaffah di bumi

Iskandar Muda. Kalau memang masyarakat Aceh benar-benar ingin menegakkan hukum Allah,

Maka bagaimana format pelaksaannya. dan bagaimana pula kedudukannya dalam bingkai hukum

nasional? sudah siapkah Masyarakat Aceh mengaplikasikan Syari’at Islam dalam kehidupan

nyata, atau hanya semangat yang menyala-nyala kemudian redup dan padam seketika? banyak

lagi pertanyaan yang serupa muncul begitu “lampu hijau” pemberlakuan Syari’at Islam di tanah

Rencong itu dinyalakan. Dalam waktu yang sama, gema dan semangatnya juga merebak ke

daerah-daerah lain di Indonesia. (Muhammad, 2003 : xxxiii-xxxiv)

Aceh adalah lokasi pertama masuknya Islam di Asia Tenggara, tepatnya di Peurlak Aceh

Timur pada tanggal 1 Muharram 225 Hijriah. Istilah "Serambi Mekkah" sebagai predikat yang

dilabelkan kepada daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) memperlihatkan bahwa daerah

Aceh sangat kental dengan tradisi keislaman. Islam di Nangroe Aceh Darussalam tidak saja

menjadi agama mayoritas penduduk, bahkan prinsip-prinsip keislaman telah dijadikan sebagai

rujukan mutlak bagi hukum yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Nangroe Aceh

Darussalam. Salah satu acuan dalam penerapan Syari’at Islam di Aceh yang telah termodifikasi

adalah Qanun Al-Asyi (Adat dan Hukum Islam) yang dibuat pada zaman pemerintahan Sultan

Iskandar Muda. Yaitu Adat dijadikan sebagai fungsi untuk mengharmoniskan kehidupan

masyarakat berupa penyeimbangan kehidupan antar pribadi dan antar kelompok. Dalam

melaksanakan fungsi tersebut Adat-istiadat harus berpegang teguh kepada landasan sejalan

(3)

landasan hukum sebagian besar kesultanan yang ada di Asia Tenggara dalam menerapkan

Syari’at Islam diwilayahnya masing-masing. (http://www.acehforum.or.id)

Munculnya Era Reformasi menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru pada tahun 1998

telah melahirkan kebebasan masyarakat dalam mengekspresikan pendapat termasuk dalam hal

tuntutan umat Islam di Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam sebagai hukum positif atau di

integrasikan dengan hukum nasional. Sampai pada perkembangannya sejarah penerapan Syari’at

Islam di Aceh, dilembagakan melalui dukungan: Undang-Undang no. 44 tahun 1999 tentang

keistimewaan Aceh yang meliputi Agama, Adat, Pendidikan, dan juga peran Ulama. Disahkan

pula UU No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dalam undang-undang ini, kepada Aceh diberikan

Peradilan Syari’at Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syari’ah, yang kewenangannya

ditetapkan oleh Qanun Setelah itu juga muncul Undang-Undang yang mengakomodir keinginan

masyarakat Aceh untuk menerapkan Syari’at Islam kembali seperti Undang-Undang kekuasaan

kehakiman No. 4 tahun 2004 yang memberikan peluang untuk dibentuknya Mahkamah Syari’ah

di Aceh, dan yang terakhir adalah Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan

Aceh yang dibuat berdasarkan butir-butir perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM

(Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki Finlandia.(Abu Bakar, 2009: 4).

Dengan keluarnya keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 11Tahun 2003

Tanggal 3 maret 2003 tentang pembentukan makamah syari’at di Profinsi Nangroe Aceh

Darusalam maka di Profinsi aceh sudah bertambah lembaga peradilan yaitu : Pengadilan Negeri,

Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Syari’yah, Pengadilan Tata Usaha Negara,

Dan yang belum dibentuk adalah Pengadilan Tata Usaha Niaga, Pengadilan Tindak Pidana

(4)

Wilayatul Hisbah (WH) bukan institusi baru yang diperkenalkan di Aceh. Di masa

kesultanan Iskandar Muda, Wilayatul Hisbah sudah ada namun pada saat itu tidak dibentuk

sebuah lembaga khusus untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh orang berbuat

kebaikan dan mencegah orang melakukan perbuatan buruk). Karena perannya sudah memadai

yang dilakukan oleh para Ulama, Imam Gampong, keucik, dan para orang tua yang disegani,

dibarengi pula oleh rakyat Aceh yang memiliki kesadaran religius yang tinggi, sehingga

keberadaan sebuah institusi pemerintahan yang tugasnya memantau pelaksanaan Syari’at Islam

belum dirasa perlu. Setiap individu dengan kesadaran masing-masing menjadi muhtasib (petugas

Wilayatul Hisbah), menegur dan mengingatkan saudaranya sekiranya mereka melakukan perkara

yang bertentangan dengan Syari’at dan selalu mengajak saudaranya melakukan perbuatan Ma’ruf

yang dianjurkan Syari’at Islam.

Wilayatul Hisbah adalah lembaga resmi pemerintah yang diberi kewenangan untuk

menyelesaikan masalah pelanggaran ringan yang berorientasi pada suatu tugas keagamaan,

Dengan misi untuk melakukan Amar ma’ruf nahi Munkar, menyuruh orang berbuat kebaikan

dan mencegah orang melakukan perbuatan buruk. Tugas ini merupakan suatu kewajiban Fardu

yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yang berkuasa. Karenanya, penguasa mengangkat

pejabat Lembaga ini dari orang-orang yang dipandang cakap, jujur, dan mempunyai disiplin,

serta tangung jawab yang tinggi. Orang yang diangkat menjadi petugas al-hisbah bukan dari

kalangan yang mudah disuap dengan menghalalkan segala cara. (Rosyadi, Ahmad, 2006:60-61)

Di Aceh lembaga wilayatul hisbah dibentuk berdasarkan surat keputusan Gubernur

Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam No. 01 tahun 2004 tentang organisasi dan pembentukan

Wilayatul Hisbah. Dalam Bab I (ketentuan umum) anka 7, surat keputusan Gubernur Provinsi

(5)

untuk pembina, pengawasan, dan melakukan advokasi terhadap peraturan perundang-undangan

bidang Syari’at Islam dalam rangka melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Kemudian

dalam Qanun nomor 11 tahun 2004 tentang kepolisian daerah NAD menentukan bahwa WH

sebagai lembaga pembantu tugas kepolisian yang bertugas membina, melakukan advokasi, dan

pengawasan pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan bertugas sebagai polisi khusus.

(Ablisar, 2011: 237)

Secara formal aplikasi Syari’at Islam di Aceh telah didukung oleh Undang-Undang dan

Qanun-Qanun yang bersifat publik. Ada 4 Qanun yang diterapkan kepada masyarakat berkaitan

dengan pelaksanaan Syaria’at Islam, yaitu :

1. Qanun no. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah dan

Syi’ar Islam.

2. Qanun no.12 Tahun 2003 tentang minuman Qhamar (minuman keras),

3. Qanun no.13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), dan

4. Qanun no.14 Tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum dan pergaulan bebas).

(Ablisar, 2011: 127-134)

Qanun dalam Bahasa Arab kata kerjanya Qanna yang berarti membuat hukum (to make

law, to legislate). Kemudian Qanun berarti hukum (law), peraturan (rule, regulation),

Undang-Undang (statute, code) (Rosyadi, Ahmad, 2006:170).

Dengan beroperasinya Peradilan Syari’ah maka perbuatan-perbuatan yang melanggar

syari’at islam seperti judi (Maisir), Minuman Keras (Khamar), dan perbuatan Mesum/zina/seks

bebas yang sudah ada Qanunnya, tindakan hukum atas pelanggaran tersebut sudah dilaksanakan

melalui proses pengadilan di seluruh Aceh dengan hukum islam yaitu hukuman Cambuk dan

(6)

Dengan adanya peranan Qanun-Qanun di atas diharapkan dapat merubah prilaku

masyarakat secara luas di Aceh sehingga dapat mengarah sesuai dengan Syari’at Islam kembali,

oleh karena itu diperlukan dukungan, partisipasi dan saling mebenahi diri dari masyarakat luas

agar terwujudnya peranan Syari’at Islam yang Kaffah. Maka untuk penerapan Syari’at Islam

diperlukan kesiapan masyarakat dan aparat penegak hukum yang diserahkan kepada institusi

Wilayatul Hisbah (WH) sehingga diharapkan tidak akan terjadinya penyimpangan dalam

pelaksanaan syari’at islam.

Diera modern saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa kebebasan Seks sangatlah sudah

menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Hal ini terjadi akibat efek dari globalisasi dan

lain-lainya telah merusak moral dan tingkahlaku Masyarakat, Bahkan tidak asing lagi untuk didengar

atau dilihat hal-hal yang bernuansa Porno saat ini. Ini juga disebabkan oleh semakin kurangnya

penanaman nilai-nilai Agama bagi masyarakat, yang dalam proses perjalanan waktu terus

memudar.

Menurut Sarwono Seks bebas adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

Seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, mulai dari tingkah laku yang

dilakukannya seperti sentuhan, berciuman (kissing) berciuman belum sampai menempelkan alat

kelamin yang biasanya dilakukan dengan memegang payudara atau melalui oral seks pada alat

kelamin tetapi belum bersenggama (necking, dan bercumbuan sampai menempelkan alat kelamin

yaitu dengan saling menggesek-gesekan alat kelamin dengan pasangan namun belum

bersenggama (petting, dan yang sudah bersenggama (intercourse), yang dilakukan diluar

(7)

Kebebasan Seks sudah menyebar keseluruh kalangan maupun elemen yang ada, bahkan

ironisnya, Seks bebas telah masuk pada kalangan Remaja, Tidak sedikit Remaja sekarang yang

telah melakukan Seks pranikah.

Remaja merupakan proses yang dilewati setiap manusia, pada masa remaja pada dasarnya

memiliki rasa yang lebih labil. Remaja idealnya adalah generasi penerus Bangsa dan Agama,

mereka seharusnya memiliki nilai-nilai serta moral-moral yang baik, sehingga selaras oleh tujuan

Agama dan Negara. Akan tetapi ironisnya di era modern ini tidak sedikit remaja yang melakukan

Seks bebas, Seks bebas tidak pantas dilakukan oleh remaja karena bertentangan dengan

nilai-nilai yang ada.

Aristoteles mengatakan bahwa remaja adalah orang yang berumur 14-21 tahun. Menurut

Stanley hall masa remaja itu berkisar dari umur 16-21 tahun. Sedangkan menurut DR. Zakiah

Daradjat masa remaja itu lebih kurang antara13-21 tahun. (Sofyan, 2012:23)

Remaja berasal dari kata Latin: adolensence, yang berari tumbuh menjadi dewasa. Istilah

ini mempunyai arti yang lebih luas lagi mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan

fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan

anak, tetapi tidak juga dewasa atau tua. masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau

peralihan, karena ia belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Tapi

justru pada masa inilah butuh perhatian khusus karena remaja sedang berada pada proses

pencarian jati diri. ibarat tubuh, masyarakat terkadang juga bisa ‘sakit’.

Sebagai makhluk yang mempunyai sifat egoisme tinggi, maka remaja mempunyai pribadi

yang sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan luar. Seks bebas di kalangan generasi muda pun

kian marak terjadi dan menjadi pembicaraan hangat. Mengurai ketimpangan tersebut, ada

(8)

massa, pengaruh budaya barat, kurangnya pendidikan agama, dan juga pengabaian dalam

keluarga yang kemudian dijadikan sebagai sebuah cerminan. Hal itu menunjukkan bahwa selama

ini banyak remaja hanya bisa berkaca pada ‘cermin’ yang retak. (Serambi Indonesia, Sabtu, 9

Maret 2013 14:23 WIB)

Dari data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang

Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia pada 2002-2003, dilaporkan bahwa remaja yang

mengaku memiliki teman yang pernah berhubungan seksual sebelum menikah pada usia 14-19

tahun, saat itu masih pada angka 34,7% untuk remaja putri dan 30,9% untuk remaja putra.

Sedangkan temuan terakhir sudah menunjukkan peningkatan sampai menyentuh 93.7% (Seputar

Indonesia, 24/2/2012)

Aceh sebagai daerah serambi mekkah ternyata memiliki permasalahan seks bebas pada

remaja juga, seperti yang di sampaikan dalam surat khabar Serambi. Ketua Perlindungan Anak

Indonesia Daerah (KPAID) Aceh, Tgk Anwar Yusuf Ajad menyatakan, saat ini generasi muda

Aceh banyak yang terlibat seks bebas (free sex) dan fenomena ini sudah sangat serius, sehingga

perlu segera ditangani. “Sebenarnya masalah ini sudah ada sejak tahun 2009. Namun, saat ini

anak-anak Aceh semakin kehilangan jati dirinya. Jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada tindakan

nyata yang serius, maka dalam dua tahun mendatang anak-anak Aceh akan benar-benar hilang

dalam kesesatan,” ujar Anwar dalam Diskusi Publik tentang Pergaulan Bebas dan Narkoba

Mengguncang Negeri Syariat (Serambi Indonesia, Senin, 4 Maret 2013 12:57 WIB)

Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh sebuah hasil survey yang dilakukan oleh Dinas

Kesehatan Provinsi (Dinkesprov) Aceh pada 2012 lalu, di mana Kota Lhokseumawe menduduki

peringkat pertama terbanyak pelaku seks pranikah di kalangan pelajar, yaitu 70%, menyusul

(9)

merupakan berita yang menggembirakan. Tapi itulah kenyataan mengemuka yang hadir dalam

kehidupan kita. Lunturnya budaya malu dalam diri remaja lebih banyak disebabkan keinginan

mereka untuk mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis dan pantas untuk

dianggap bagian dari masyarakat tersebut. Ini menyebabkan pergeseran nilai-nilai ketimuran

yang dianut, termasuk dalam masalah seks di usia remaja (Serambi Indonesia, Sabtu, 9 Maret

2013 14:23 WIB)

Didalam Syari’at Islam perbuatan seks bebas merupakan perbuatan yang tercela dan

terlarang, maka daripada itu di dalam Syari’at Islam di Aceh di bawah institusi Wilayatul Hisbah

seks bebas dimasukkan dalam Qanun no 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum).

yang di harapkan WH dapat membenahi nilai-nilai dan moral di kalangan remaja. Dengan

demikian diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan perbuatan mesun tersebut di

kalangan remaja.

Peranan Wilayatul Hisbah dalam mengurangi seks bebas dikalangan remaja sesuai Qanun

no 14 tahun 2003 adalah:

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan Qanun no.14

tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum/seks bebas)..

b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan

bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Qanun no.14 tahun

2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum/seks bebas).

c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan Muhtasib (sebutan petugas Wilayatul

Hisbah) perlu memberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada

(10)

d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Qanun

no.14 th 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum/seks bebas) kepada penyidik (Sumber:

Dinas Syari’at Islam Kota Langsa).

Peran Wilayatul Hisbah yang terkait dengan mengawasi seks bebas dikalangan remaja adalah

diantaranya:

a. Memberitahukan kepada remaja tentang adanya peraturan perundang- undangan Qanun

no.14 th 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum/seks bebas).

b. Menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan Qanun no.14 th 2003

tentang Khalwat (perbuatan mesum/seks bebas).

Peran Wilayatul Hisbah yang berhubungan dengan pembinaan meliputi:

a. Menegur, memperingatkan dan menasehati seseorang yang patut di duga telah melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan Qanun no.14 th 2003 tentang Khalwat (perbuatan

mesum/seks bebas).

b. Berupaya untuk menghentikan kegiatan/perbuatan yang patut diduga telah melanggar

peraturan perundangan Qanun no.14 th 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum/seks

bebas).

c. Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat Adat Gampong

d. Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi penyalah gunaan izin

penggunaan suatu tempat atau sarana terhadap Qanun no.14 th 2003 tentang Khalwat

(11)

Pelaksanaan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran Qanun no.14 th 2003 tentang

Khalwat (perbuatan mesum/seks bebas) melalui proses jalan panjang, diawali dari proses

pengindentifikasian pelanggaran baik dari laporan masyarakat, razia dan berbagai usaha lainnya,

pemeriksaan jenis pelanggaran dan penyidikan guna pembuatan BAP untuk diserahkan kepada

kejaksaan. Setelah sempurna, BAP diserahkan ke Mahkamah Syari’at untuk diproses di

pengadilan. Dan penerapan sanksi berdasarkan keputusan dari pengadilan.

Adapun sanksi terhadap pelanggaran Qanun no.14 th 2003 tentang Khalwat (perbuatan

mesum/seks bebas) yakni :

a) Pelaku mesum/ seks bebas akan diberikan sanksi 3 – 9 kali hukuman cambuk atau

denda 2,5 – 10 juta.

b) Penyedia fasilitas atau yang melindungi orang yang melakukan mesum/seks bebas

diberikan sanksi Kurungan 2 – 6 bulan atau denda 5 – 15 juta (Sumber: Dinas

Syari’at Islam Kota Langsa).

Pemerintah telah mengerahkan instansi terkait seperti Majelis Permusyawaratan Ulama

(MPU), Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan (BP3A), Wilayatul Hisbah (WH), Dinas Syariat Aceh, dan tentu

saja pihak kepolisian, Namun, saat ini yang masih sering beroperasi dengan menggelar razia

adalah WH. Aceh yang mayoritas penganutnya beragama islam, mengerahkan WH demi

meminimalisir terjadinya kasus khalwat dan mesum dalam ruang lingkup masyarakat. Banyak

(12)

saja, dan WH hanya memberikan ceramah singkat “jangan berdua-duaan di tempat yang sepi”

bagi pelaku, jika kasusnya parah maka akan diberikan surat peringatan.(Yusuf, E. J. Dalam

serambi, 2013)

Desa Pondok Kelapa, Kecamatan Langsa Baro, Kabupaten Kota Langsa, NAD, Adalah

salah satu wilayah tempat beroprasinya Institusi Wilayatul Hisbah, dan wilayah yang termasuk

dalam penerapan Qanun no 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum/seks bebas).

Sejauh ini yang dilakukan WH di Desa Pondok Kelapa dalam peranan WH dalam

pengawasan adalah melakukan razia di tempat terduga atau tepat terjadinya pelanggaran Qanun

No. 14 Tahun 2003 Tentang khalwat (mesum/seks bebas), patroli di malam hari dan didaerah

rawan pelanggaran Qanun tersebut, penggerebekan dan lain. Peranan Wilayatul Hisbah dalam

pembinaan yang dilakukan di Desa Pondok Kelapa adalah sosialisasi, dialog interaktif, ceramah,

mengenai Syari’at Islam khususnya tentang Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat

(mesum/seks bebas). Peranan Wilayatul Hisbah dalam pemberian sanksi di Desa Pondok Kelapa

adalah pelaksanaan hukuman cambuk, diarak keliling kampung serta dinikahkan, dan lain-lain.

Bagi masyarakat Desa Pondok Kelapa, Kecamatan Langsa Baro, Kabupaten Kota

Langsa, NAD. Wilayatul Hisbah sangat fenomenal kehadirannya sebagi Institusi yang sah.

namun dalam penerapan Syari’at Islam yang dijalankan oleh petugas Wilayatul Hisbah menuai

pro dan kontra dari Masyarkat Aceh sendiri, Khususnya mengenai perbuatan mesum/seks bebas.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut

dalam bentuk penelitian dan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul

(13)

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang penting, karena langkah ini akan

menentukan kemana suatu penelitian itu diarahkan. Berdasarkan yang telah diuraikan dilatar

belakang masalah, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Persepsi

Remaja Tehadap Peranan Wilayatul Hisbah Dalam Mengurangi Seks Bebas Di Desa Pondok

Kelapa Kecamatan Langsa Baro Kabupaten Kota Langsa NAD ?”.

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Persepsi Remaja Tehadap

Peranan Wilayatul Hisbah Dalam Mengurangi Seks Bebas Di Desa Pondok Kelapa Kecamatan

Langsa Baro Kabupaten Kota Langsa NAD.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka :

a. Bagi penulis, dapat mempertajam kemampuan menulis dalam penulisan karya ilmiah,

menambah pengetahuan dan mengasa kemampuan berpikir penulis dalam menyikapi dan

menganalisis permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya

permasalahan seks bebas.

b. Bagi fakultas, dapat memberikan sumbangan yang positif dalam rangka pengembangan

konsep-konsep dan teori-teori keilmuan mengenai Permasalahan seks bebas yang

dikembangkan oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya, serta dapat

(14)

c. Sebagai masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan

permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi untuk kajian ataupun penelitian

selanjutnya.

(15)

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam Skripsi ini,

maka diperlukan sistematika. sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan

dalam 6 (enam) bab, dengan urutan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek

yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi oprasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian,

teknik pengumpulan data, serta teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian

dan data-data lain, dimana penulis mengadakan penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta

dengan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubung

Referensi

Dokumen terkait

Seleksi Mandiri Universitas Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal 2Lluli20L3. Yogyakarta ,2L

42 Anggota Panitia Uji Kesehatan bagi Mahasiswa Baru Jalur Seleksi Mandiri Tahun Akademik 2008/2009 UNY. Anggota

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam duruf a perlu menetapkan Keputusan Bupatu Bantul tentang Pembentukan Tim Pengelola Dana Tidak

Universitas Negeri

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pemberian Izin Kepada Palang Merah Indonesia

15 Pelatihan Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Multimedia Kreatif dan Inovatif Bagi Guru FE UNY Pemateri 2014 16 Pelatihan Pembuatan Modul Praktik Mikrokontroller PPM FT

Yang melatar belakangi penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana responsiveness, personal selling dan kualitas produk mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan pada

Baik buruknya kinerja yang dihasilkan oleh guru sangat ditentukan oleh baik buruknya pelaksanaan gaya kepemimpinan transformasional yang dilakukan oleh seorang kepala