BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Menopause
Menopause merupakan sebuah kata yang memiliki arti atau makna yang
menjelaskan tentang gambaran terhentinya haid atau menstruasi. Menopause dapat
diartikan sebagai haid terakhir. Menopause disebut juga sebagai periode
klimakterium di mana seorang wanita berpindah dari tahun reproduktif ketahun
non-reproduktif dalam hidupnya, pada fase ini wanita akan mengalami akhir dari proses
biologis dari siklus menstruasi, yang dikarenakan terjadinya perubahan hormon yaitu
penurunan produksi hormon estrogen yang dihasilkan ovarium (Kartono, 2007).
Menurut Mulyani (2013) masa menopause dibagi ke dalam empat periode
yaitu: (1) Masa klimakterium dimana pada masa ini terjadi peralihan antara masa
reproduksi dan masa senium, masa ini dikenal dengan masa pramenopause yaitu 4-5
tahun sebelum masa menopause. Pada masa ini wanita mengeluh haid tidak teratur,
siklus haid panjang dan jumlah haid relatif banyak. Masa ini dimulai pada usia 40
tahun dan akan mengalami penurunan kesuburan. (2) Masa perimenopause yaitu
masa peralihan antara masa pramenopause dan setelah menopause sampai usia 48
tahun. (3) Masa menopause yaitu masa tidak ada lagi menstruasi atau saat haid
terakhir dimana terhentinya menstruasi sekurang-kurangnya satu tahun. Masa
menopause terjadi pada usia 49-51 tahun. (4) Masa senium yaitu masa setelah
kondisinya, telah tercapai satu keadaan keseimbangan hormonal, sehingga tidak ada
lagi gangguan fisik maupun psikis. Masa ini berlangsung 3-5 tahun setelah masa
menopause yaitu usia antara 65 tahun.
Setiap wanita akan mengalami masa menopause pada usia yang berbeda, pada
umumnya wanita akan mengalami masa menopause sekitar usia 45-55 tahun. Ada
beberapa kasus menopause dapat terjadi pada usia paling muda yaitu 30-40 tahun
yang disebut menopause prematur. Menopause prematur ditandai dengan terjadi
penghentian masa menstruasi sebelumnya tepat pada waktunya, terjadinya hot flushes
serta peningkatan kadar hormon gonadotropin. Faktor penyebab terjadinya
menopause prematur adalah herediter, gangguan gizi yang cukup berat, penyakit
menahun dan penyakit yang merusak jaringan kedua ovarium. Umumnya batas usia
terjadinya menopause adalah usia 52 tahun namun ada beberapa faktor yang
mendorong wanita mengalami menopause baru pada usia 58 tahun (menopause
terlambat), ada beberapa penyebab wanita terlambat mengalami menopause karena
mengalami fibromioma uteri dan tumor ovarium yang menghasilkan estrogen
(Mulyani, 2013). Menurut Bambang (2003) usia rata-rata wanita mengalami
menopause alami atau berhentinya haid adalah umur 50 tahun, wanita memasuki
masa menopause berkisar antara umur 50 tahun hingga terjadinya penurunan atau
hilangnya hormon estrogen yang menyebabkan perempuan mengalami keluhan atau
gangguan pada aktivitas sehari-hari.
Perempuan pada masa Yunani kuno mengalami menopause sama seperti
dilaporkan oleh Aristoteles dalam Histonia Animalonium. Pada sebagian besar wanita
sekitar 70% mereka menjalani masa ini tanpa keluhan yang berarti. Jika dilihat dari
berbagai kultur wanita Asia dibandingkan wanita Eropa dan Amerika, lebih banyak
keluhan pada wanita Amerika dan Eropa dibandingkan wanita Asia. Di Jepang 60%
wanita yang sudah menopause berpendapat bahwa menopause bukahlah hal yang
penting bagi mereka bahkan tidak ada hot flushes untuk menggambarkan terjadinya
perubahan yang terjadi, sementara di Eropa, wanita dari kalangan sosial ekonomi
yang rendah lebih banyak bermasalah dengan menopause dibandingkan dengan
ekonomi menengah ke atas, dalam hal ini pendidikan dan pengetahuan tentang
perubahan masa menopause sangat berhubungan dengan keluhan menopause (Burger
dan Boulet, 1991).
Menurut Yatim (2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi cepat
lambatnya wanita memasuki usia menopause yaitu: (1) Faktor psikis dan pekerjaan
dimana keadaan seorang wanita yang tidak menikah dan bekerja akan mempengaruhi
perkembangan psikis seorang wanita, mereka akan mengalami waktu menopause
yang lebih mudah atau cepat dibandingkan dengan wanita yang menikah dan tidak
bekerja atau bekerja dan tidak menikah. (2) Faktor cemas; kecemasan yang dialami
akan sangat menentukan kecepatan atau bahkan keterlambatan masa-masa
menopause. Ketika seorang perempuan lebih sering merasa cemas dalam
kehidupannya, maka bisa diperkirakan bahwa dirinya akan mengalami menopause
lebih dini, sebaliknya jika seorang wanita lebih santai dan rileks dalam menghadapi
haid pertama kali (menarch), beberapa peneliti menemukan hubungan antara umur
pertama mendapat haid pertama dengan umur sewaktu memasuki menopause,
semakin muda umur sewaktu mendapat haid pertama kali, semakin tua usia
memasuki menopause. Wanita yang mendapatkan menstruasi pada usia 16 atau 17
tahun akan mengalami menopause lebih dini, sedangkan wanita yang haid lebih dini
akan mengalami menopause sampai pada usia 50 tahun. (4) Usia melahirkan; wanita
yang melahirkan diatas usia 40 tahun akan mengalami usia menopause yang lebih tua
atau lama, hal ini disebabkan karena kehamilan dan persalinan akan memperlambat
sistim kerja organ reproduksi bahkan akan memperlambat sistim penuaan tubuh.
(5) Jumlah anak; makin sering melahirkan maka akan makin lama memasuki usia
menopause. (6) Merokok; seorang wanita yang merokok akan lebih cepat mengalami
menopause. Pada wanita perokok diperoleh usia menopause lebih awal sekitar 1,5
tahun. Merokok mempengaruhi cara tubuh memproduksi atau membuang hormon
estrogen. Di samping itu juga merokok juga berpotensi membunuh sel telur. Wanita
perokok akan mengalami masa menopause pada usia yang lebih muda yaitu usia 43
hingga 50 tahun. Selama menopause, ovarium wanita akan berhenti memproduksi sel
telur sehingga wanita tersebut tidak bisa hamil lagi. (7) Pemakaian kontrasepsi;
pemakaian kontrasepsi hormonal akan mempengaruhi wanita memasuki lebih lama
usia menopause, hal ini di karenakan cara kerja kontrasepsi yang menekan kerja
ovarium atau indung telur. (8) Sosial ekonomi; keadaan sosial ekonomi seseorang
akan mempengaruhi faktor fisik, kesehatan, pendidikan serta pekerjaan. Bila faktor
klimakterium akan berkaitan dengan kesehatan fisiologis. (9) Penyakit diabetes;
penyakit autoimun seperti diabetes melitus menyebabkan terjadinya menopause dini.
Pada penyakit autoimun, antibodi yang terbentuk akan menyerang FSH. (10) Status
gizi; faktor yang mempengaruhi menopause lebih awal biasanya juga dipengaruhi
oleh konsumsi makanan yang sembarangan. Jika ingin mencegah menopause lebih
dini dapat dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat seperti tidak merokok,
serta mengkonsumsi makanan yang baik misalnya sejak masih muda rajin
mengkonsumsi makanan seperti kedelai, kacang merah, bengkong atau pepaya.
(11) Stress; stress juga merupakan salah satu faktor yang bisa menentukan kapan
wanita akan mengalami menopause. Jika seseorang sering merasa stres maka sama
halnya dengan cemas, maka wanita tersebut akan lebih cepat mengalami menopause.
(12) Cuaca dan ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut; wanita yang tinggal di
ketinggian lebih dari 2000-3000 m dari permukaan laut lebih cepat 1-2 tahun
memasuki usia menopause dibandingkan dengan wanita yang tinggal di ketinggian
< 1000 m dari permukaan laut.
Hasil penelitian Astuti (2008) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
usia menopause pada wanita usia 45-55 tahun di Kelurahan 26 Ilir Kecamatan Bukit
Kecil Palembang dengan desain penelitian survey dan pendekatan cross sectional
terhadap 67 responden didapatkan hasil rata-rata usia menopause > 47 tahun yaitu
sebanyak 38 orang (59,7%) dan jumlah usia menopause < 47 tahun sebanyak 29
orang (40,3%), responden yang mengalami menarche lambat yaitu pada usia > 13
dengan uji statistik Chi-Sguare menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
usia menarche dengan usia menopause. Hasil univariat responden yang memiliki
paritas tinggi yaitu 26 orang (70,27%) rata-rata usia menopause > 47 tahun dan uji
statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan usia
menopause. Dari faktor usia ibu terdapat 35 responden melahirkan terakhir pada usia
tua > 40 tahun sebanyak 26 tahun (74,26%) rata-rata usia menopause > 47 tahun,
hasil penelitian ini sesuai dengan ungkapan Beth Israel dalam Kasdu (2002) yang
mengungkapkan bahwa wanita yang masih melahirkan diatas usia 40 tahun akan
mengalami usia menopause lebih tua.
Terjadinya menopause menyebabkan penurunan bahkan terhentinya produksi
hormon estrogen dan progesteron, sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah.
Ketika kadar estrogen menurun, maka bagian tubuh yang mendapat suplai estrogen
akan bereaksi sehingga otak akan terus memerintahkan hipofisis untuk meningkatkan
FSH dan LH dalam rangka memproduksi ertrogen agar dapat mencukupi kebutuhan
organ yang membutuhkan. Selama masa reproduksi kelenjar pituitari memproduksi
dua hormon yaitu hormon LH (luteiningsing hormone) dan FSH (follicle stimulating
hormon). Hormon FSH berfungsi merangsang ovum atau sel telur dan hormon LH
berfungsi untuk merangsang terjadinya ovulasi atau pelepasan sel telur. Hormon ini
sangat menentukan jumlah hormon estrogen dan progesteron yang akan dihasilkan
oleh ovarium. Ketika akan mendekati masa menopause ovulasi akan semakin jarang
terjadi akibat ovarium melepaskan sedikit hormon ertrogen, hal ini menyebabkan
merupakan pembawa pesan kimia yang dilepaskan dalam sistim peredaran darah
yang akan mempengaruhi organ yang ada di seluruh tubuh dan juga mengakibatkan
terjadinya perubahan tubuh (Manan, 2013).
Pada masa menopause wanita akan mengalami perubahan-perubahan dimana
perubahan itu akan terjadi secara menyeluruh baik fisik, sosial, mental dan moral
spiritual, yang keseluruhannya saling kait mengkait antara satu bagian dengan bagian
yang lain. Setiap perubahan memerlukan penyesuian diri (adaptasi), padahal dalam
kenyataannya semakin menua usia kita akan semakin kurang fleksibel untuk
menyesuaikan terhadap berbagai perubahan yang terjadi dan disinilah berbagai
gejolak yang harus dihadapi oleh setiap wanita menopause, gejolak tersebut dapat
terjadi akibat perubahan fisik, perubahan psikis dan perubahan sosial (Padila, 2013).
Perubahan fisik yang dirasakan oleh wanita menopause akibat penurunan
hormon estrogen dan progesteron adalah perubahan pola menstruasi dimana
perdarahan akan terlihat beberapa bulan dan akhirnya akan berhenti sama sekali, rasa
panas (Hot flush), gejala ini akan dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh
tubuh, rasa panas disertai warna kemerahan pada kulit dan berkeringat, rasa panas ini
akan mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akhirnya akan membuat
wanita menopause kekurangan tidur dan mengalami kelelahan. Hot flush dialami oleh
sekitar 75% wanita menopause dan akan dialami selama 1 tahun dan 25-50% wanita
akan mengalami hot flush selama 5 tahun. Hot flush juga dapat mempengaruhi wanita
menopause mengalami keluar keringat malam yang akan membuat wanita menopause
Menurunnya hormon estrogen dan progesteron juga menyebabkan perubahan
seperti pusing, mual, gerah, berdebar-debar, tremor, terjadi peningkatan berat badan,
penurunan lubrinasi pada vagina, vagina menjadi kering dan kurang elastis akibat
penipisan jaringan pada dinding vagina sehingga ketika melakukan hubungan seksual
bisa timbul rasa nyeri dan gatal-gatal pada vagina ibu, terjadinya peradangan pada
kandung kencing dan vagina, terjadinya penurunan aktivitas sehari-hari disebabkan
wanita menopause akan mudah merasakan kelelahan sehingga tidak sanggup
melakukan pekerjaan yang terlalu berat. Masalah menopause juga memberikan
perubahan psikis karena adanya anggapan bahwa menopause adalah saat berakhirnya
semua sifat kewanitaan. Keadaan ini diperkuat oleh kurang pengertian atau
kurangnya informasi mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada masa
menopause (Mulyani, 2013).
Pada wanita menopause penurunan fungsi seksual sering kali berhubungan
dengan berbagai perubahan fisik. Wanita menopause akan berkurang keinginan
seksualnya karena keringat malam, keringat malam dapat mengganggu tidur dan
kekurangan tidur dapat mengurangi energi, aktivitas seksual membutuhkan energi.
Penurunan fungsi seksual juga terjadi karena adanya perubahan pada organ
reproduksi. Perubahan organ reproduksi terjadi akibat berhentinya menstruasi karena
sel telur tidak lagi diproduksi sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi hormon
dalam organ reproduksi.
Adapun perubahan organ reproduksi pada wanita menopause adalah: (1) tuba
tuba menjadi lebih pendek, endosalpingo menipis mendatar dan silia menghilang.
(2) Uterus akan mengecil karena terjadi atropin endometrium dan juga disebabkan
hilangnya cairan dan perubahan bentuk jaringan ikat interstisal. (3) Servik atau mulut
rahim akan mengkerut dan terselubung dinding vagina, saluran memendek dan
menyempit. (4) Vagina akan mengalami kekeringan dan kurang elastisitas,
lipatan-lipatan berkurang, dinding menipis dan mudah luka, hilangnya rugae karena
penipisan. Keasaman vagina meningkat karena terhambatnya pertumbuhan basil
donderlein yang menyebabkan glikogen seluler meningkat sehingga mudah terjadi
infeksi. Terjadinya atrofi pada epitel vagina hingga hanya tinggal lapisan sel asal,
vagina menjadi kering dan menyebabkan disreunia atau rasa sakit ketika berhubungan
seksual. Pada wanita yang mengalami hal tersebut akan mudah sekali timbul infeksi
dan terjadi vaginitis senilis dengan gejala fluor albus yang kadang bercampur darah,
rasa nyeri dan gatal. (5) Dasar panggul; kekuatan dasar panggul juga sudah berkurang
kekuatan dan elastisitasnya karena atropin dan lemahnya daya sokong disebabkan
prolapsus uterus vagina. (6) Perenium dan anus; lemak subcutan menghilang, atropin
dan otot sekitarnya menghilang menyebabkan tonus spinkter melemah dan
menghilang. (7) Kelenjar payudara; terjadi perubahan terhadap payudara yaitu puting
susu mengecil, kurang erektil, pigmentasi berkurang, payudara kelihatan mengendor
dan mendatar. Hormon estrogen mempunyai tanggung jawab terhadap penampilan
luar kelenjar payudara pada wanita. Pada wanita menopause terjadinya penurunan
hormon estrogen menyebabkan bentuk payudara tidak menarik lagi. (8) aktivitas
kendali spinkter destrussor pada kandung kencing menghilang sehingga sering
mempertahankan mukosa kandung kencing dan uretra, selain itu perubahan hormonal
juga sangat mempengaruhi dalam pengendalian pertumbuhan, perkembangan ciri-ciri
seksual dan penyimpanan energi serta pengendalian valume cairan, kadar air dan gula
dalam darah. Hormon merupakan satu zat yang dilepaskan ke dalam aliran darah dari
satu kelenjar pada sistim endokrin yang berpengaruh pada aktivitas sel-sel tubuh yang
mengendalikan fungsi organ tubuh secara keseluruhan. Pada masa menopause
perubahan hormon estrogen dan progesteron mampu mempengaruhi langsung
perubahan pada seorang wanita. Penurunan hormon estrogen akan mempengaruhi
langsung pada kondisi fisik maupun organ reproduksi (Mulyani, 2013).
Menurut Mulyani (2013) ada beberapa keluhan masa klimakterium
berdasarkan persentase gejala atau tanda umum yang sering dialami oleh wanita :
Tabel 2.1. Keluhan Masa Klimakterium
No Keluhan Klimakterik Menopause pada Wanita Usia 45-54 Tahun
Persentase(%) Kejadian
1 Mudah tersinggung, takut, gelisah dan mudah marah 90 %
2 Gejolak panas (hot flushes) 70 %
3 Depresi 70 %
4 Sakit Kepala 70 %
5 Cepat lelah, sulit berkonsentrasi, mudah lupa, kurang tenaga
10 Jantung berdebar-debar 40 %
11 Gangguan libido 30 %
12 Kesemutan 25 %
Ketidakmampuan wanita menopause untuk menghadapi tekanan atau konflik
akibat perubahan-perubahan fisik dapat menimbulkan masalah psikologis seperti
perasaan gelisah, mudah tersinggung, tegang, cemas, perasaan tertekan, malas, sedih,
merasa tidak berdaya, mudah menangis, mudah lupa, emosi yang meluap. Gejala ini
juga timbul akibat adanya penurunan hormon estrogen dan progesteron, hormon ini
berfungsi untuk mengatur memori, daya persepsi dan suasana hati. Penurunan
hormon estrogen menyebabkan berkurangnya neurotransmiter di dalam otak, dimana
neurotransmiter di dalam otak tersebut akan mempengaruhi suasana hati sehingga
apabila neurotransmiter kadarnya rendah maka akan menimbulkan perasaan cemas
yang akhirnya dapat menyebabkan depresi pada wanita menopause. Perubahan
seksual pada wanita menopause juga sangat dipengaruhi oleh rasa malu untuk
mempertahankan kehidupan seksualitasnya, sikap keluarga dan masyarakat yang
kurang mendukung serta diperkuat oleh budaya dimana masalah seksual lansia
merupakan masalah yang tidak penting dan tabu untuk dibicarakan, masyarakat
mengganggap seks orang lanjut usia itu praktis dan pelan-pelan akan hilang sendiri
(Padila, 2013).
Burns (1997) dalam Wiknjosastro ( 2006) memaparkan beberapa mitos yang
merugikan seksualitas perempuan, seperti tubuh perempuan milik laki-laki,
kebahagian perempuan tergantung pada keberadaan laki-laki, tubuh perempuan itu
memalukan dan perempuan kurang memiliki hasrat seksual, hal ini menyebabkan
perempuan tidak punya kontrol terhadap kehidupan seksualitasnya, sehingga mereka
Upaya pencegahan terhadap keluhan atau masalah menopause yang
dilakukan pada tingkat pelayanan dasar adalah pemeriksaan alat kelamin wanita
bagian luar seperti liang dan leher rahim untuk melihat adanya kelainan yang
mungkin timbul seperti lecet, keputihan, pertumbuhan abnormal atau adanya benjolan
dan tanda radang, melakukan papsmear untuk melihat adanya tanda radang dan
deteksi dini terhadap kemungkinan adanya kanker pada saluran reproduksi,
melakukan perabaan payudara; ketidakseimbangan hormon yang terjadi akibat
penurunan kadar hormon estrogen, dapat menimbulkan pembesaran atau tumor
payudara, hal ini juga dapat terjadi pada pemberian hormon pengganti untuk
mengatasi masalah kesehatan akibat menopause, perabaan payudara sendiri atau
SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) dapat dilakukan secara teratur untuk
menentukan tumor payudara sedini mungkin, penggunaan bahan makanan yang
mengandung unsur fito-estrogen yang dapat menggantikan penurunan hormon
estrogen seperti mengkonsumsi kacang kedelai, pepaya, semanggi merah,
penggunaan bahan makanan sumber kalsium (susu, yoghurt, keju, teri), menghindari
makanan yang mengandung banyak lemak, kopi dan alkohol (Pusdiknakes, 2006).
2.2. Aktivitas Seksual
Aktivitas seksual merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi
dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin atau seksual
melalui beberapa prilaku, misalnya berfantasi, masturbasi, nonton atau membaca
Banyak wanita setelah menopause ragu melakukan aktivitas seksual, padahal
membiarkan menopause menjadi penghalang dalam melakukan aktivitas seksual
adalah hal yang salah, inilah yang menjadi penyebab wanita menopause kehilangan
kemampuan dalam fungsi dan kenerja seksualnya bersama pasangan. Melakukan
aktivitas seksual pada usia premenopause atau menopause tidak menjadi kendala,
wanita tidak perlu khawatir akan kehamilan, justru pada masa itu aktivitas seksual
merupakan rekreasi, relasi dan ekspresi cinta suami istri (Sitepoe, 2008).
Seksualitas pada wanita menopause menjadi isu yang penting sejak dahulu
sampai sekarang. Secara teori telah diakui bahwa seksualitas adalah hal yang penting,
namun tidak diikuti oleh tindakan dalam kehidupan kesehariannya. Bagi wanita
menopause, sentuhan pada malam hari, mendengar irama jantung suami dan
percakapan terbuka ditempat tidur merupakan hal yang penting dilakukan, karena
mampu meningkatkan keintiman dan meningkatkan komunikasi dengan pasangan.
Hubungan seksual dalam keluarga merupakan puncak keharmonisan dan kebahagian,
oleh karena itu kedua belah pihak harus dapat menikmatinya bersama. Ketidakpuasan
seks dapat menimbulkan perbedaan pendapat, perselisihan dan akhirnya menjadi
penyebab perceraian, itulah sebabnya seksualitas harus dibicarakan secara terbuka
sehingga tidak mengecewakan kedua belah pihak (Manuaba dkk, 2009).
Pada tahun-tahun dimana seorang wanita mengalami menopause, wanita
mungkin akan mengalami perubahan dalam kehidupan seksualitasnya. Aktivitas
seksual selama menopause sangat bervariasi, tergantung pada pembinaan. Wanita
menunjukkan stabilitas perilaku seksual pada masa menopause, hanya 25% dari
jumlah wanita menopause yang pergi konsultasi pada dokter untuk mengeluh
mengenai seksual masa menopause. Beberapa wanita mengatakan mereka lebih
menikmati seks setelah mereka tidak perlu khawatir akan terjadinya kehamilan dan
mereka mengatakan tidak pernah merasa kehidupan seksualitasnya sepositif seperti
masa menopause ini, tapi ada pula yang merasa bahwa tubuhnya tidak handal lagi
sehingga aktivitas seksualnya tidak mantap lagi, alasan utama adalah karena muncul
perubahan fisik, perubahan organ reproduksi dan juga perubahan psikis yang
memegang peranan penting pada perilaku seksualitas wanita menopause (Sitepoe,
2008).
Menurut Ebersole dan Hess (1981) seksualitas merupakan ungkapan cinta,
kehangatan, saling berbagi, sentuhan maupun hal yang menyentuh antara manusia,
bukan hanya tindakan fisik berupa hubungan seksual. Seksulitas dapat mengandung
arti apa saja yang dapat memberikan kenikmatan seksual atau kesenangan,
kegembiraan dan kenyamanan. Menurut konferensi APNET (Asia Pasifik Networks
for Sosial Health) di Cepu, Filiphina 1996 mengatakan seksualitas adalah ekspresi
seksual seseorang yang secara sosial dianggap dapat diterima serta mengandung
aspek-aspek kepribadian yang luas dan mendalam. Seksualitas merupakan gabungan
dari perasaan dan perilaku seseorang yang tidak hanya didasari pada ciri seks secara
biologis, tetapi juga merupakan satu aspek kehidupan manusia yang tidak dapat
Seksualitas adalah konsep terpadu yang meliputi kemampuan fisik seseorang
dalam menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta pembentukan identitas
seksual dan gender yang melekat pada perilaku seksual yang dipahami oleh individu
maupun masyarakat, jadi seksualitas tidak hanya meliputi konsep biologis tetapi juga
konsep sosial (Pusdinakes, 2006). Dalam pengertian seksualitas mempunyai 2 aspek
yaitu: (1) Seksualitas dalam arti sempit yang artinya alat kelamin itu sendiri, kelenjar
dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya alat-alat kelamin,
ciri dari anggota –anggota tubuh yang membedakan antara laki-laki dan perempuan,
hubungan kelamin dan proses pembuahan, kehamilan dan kelahiran. (2) Seksualitas
dalam arti luas yaitu segala hal yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin
seperti perbedaan tingkah laku, perbedaan atribut dan perbedaan peran
(Abineno,1999).
Menurut Mckhann dan Albert.M (2010) respons seksual dibagi dalam tiga
fase yaitu: (1) Fase hasrat; hasrat seksual bekerja melalui bagian otak yang disebut
dengan hipotalamus. (2) Fase kenikmatan yaitu kesadaran seksual diawali dengan
stimulasi mental. (3) Fase orgasme dimana orgasme bisa bersifat refleks tapi sering
memiliki bahan yang diarahkan otak dan secara sadar. Tujuan seksualitas secara
umum adalah meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia dan tujuan secara
khusus adalah sebagai prokreasi yaitu menciptakan atau meneruskan keturunan dan
sebagai rekreasi yaitu untuk memperoleh kenikmatan biologis atau seksual.kesehatan
seksualitas adalah integrasi dari somatis (badan), emosional, intelektual dan aspek
komunikasi dan cinta. kesehatan seksualitas mempunyai empat komponen yaitu (1)
Prilaku personal maupun sosial dalam kesepakatan terhadap identitas individu
gender. (2) Kenyamanan dalam berprilaku seksual dan hubungan interpersonal yang
efektif serta komitmen untuk hidup bersama antara pria dan wanita sepanjang hidup.
(3) Respons terhadap stimulus erotis yang dapat membangkitkan aktivitas seksual
yang menyenangkan. (4) Kemampuan untuk dapat mewujudkan prilaku seksual yang
harmonis terhadap seseorang beserta nilainya.
Secara psikologis seksualitas berhubungan erat dengan identitas peran jenis,
perasaan terhadap seksualitas itu sendiri dan bagaimana menjalankan fungsi sebagai
makhluk seksual. Dari dimensi sosial berkaitan dengan bagaimana lingkungan
berpengaruh dalam pembentukan mengenai seksualitas dan prilaku seksualitas, dari
dimensi budaya menunjukkan bagaimana perilaku seks menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat. Perilaku seksual mencakup tindakan-tindakan seksual
terhadap orang lain atau diri sendiri yang dapat diamati.
Saat memasuki menopause perempuan dilanda rasa takut karena berhentinya
masa subur dan terjadi perubahan organ reproduksi yang juga mengakibatkan
terjadinya perubahan seksualitas. Perubahan fisik masa itu bukan berarti kehidupan
seks akan ikut mati. Kekhawatiran terbesar bagi wanita dan pasangan hidupnya
adalah hilangnya keinginan untuk berhubungan intim dengan pasangannya, banyak
mitos yang berkata wanita tidak bergairah terhadap seks dan tidak bisa mencapai
kepuasaan seksual, hal ini tidak benar. Bertambahnya usia, maka perilaku seks juga
penurunan hormon estrogen dan progesteron yang mengakibatkan hubungan intim
menimbulkan rasa sakit karena dinding vagina menjadi tipis, namun banyak study
yang mengungkapkan bahwa wanita menopause ternyata memiliki gairah seks tinggi
ketimbang mereka yang masih subur dan aktivitas seksual wanita menopause lebih
baik daripada wanita usia subur. Pada wanita menopause aktivitas seksual lebih
mementingkan kualitasnya (Nugraha. B, 2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keinginan dan kemampuan seks pada
wanita setelah klimakterium terus berlanjut, dari 250 orang responden yang berusia
60-93 tahun ada 54% pasangan menikah yang masih aktif secara seksual (Suparto,
2006). Survei menemukan fakta lain, dimana kelompok usia paling aktif secara
seksual adalah kelompok umur 31- 45 tahun yaitu 87%, usia 18-30 tahun 85%, usia
46-54 tahun 74%, usia hubungan seksual tidak aktif lagi yaitu pada rentang 55-70
tahun 45% dan diatas 70 tahun 15% (Manan, 2010).
Menurut Gramegna tahun 1998 dalam Phanjoo tahun 2000 sebuah studi pada
wanita Chili dilaporkan bahwa wanita usia 60 tahun, 40% masih aktif secara seksual.
Menurut Hutapea (2005) frekuensi hubungan seksual pada masa lansia memang
mengalami penurunan dari 4 kali seminggu pada usia 25 tahun menjadi sekali
seminggu pada usia 50 tahun, tiga kali sebulan pada usia 70 tahun dan sekali sebulan
pada usia 75 sampai 79 tahun.
Hasil penelitian Melaniani tahun 2007 di Kelurahan Renon Kecamatan
Denpasar Selatan dengan judul faktor-faktor yang memengaruhi aktivitas seksual
dengan desain penelitian observasional, penelitian bersifat analitik dengan
pendekatan cross sectional didapatkan hasil rata-rata usia wanita yang telah
mengalami menopause sebesar 57,1% yaitu pada usia 50 tahun, perubahan yang
paling banyak dialami oleh responden adalah perubahan fisik yaitu ketidakteraturan
siklus haid sebesar 78.0% dan perubahan psikologis dalam bentuk cepat marah dan
tersinggung sebesar 49,4%, untuk aktivitas seksual, ketertarikan responden terhadap
pasangannya sebahagian besar diungkapkan dengan cara memegang tangan dan
membelai sebesar 40,3% dan melakukan aktivitas seksual secara teratur dengan
frekuensi >1 x seminggu sebesar 61%. Hasil penelitian pada faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas seksual, responden yang tidak bekerja dan aktivitas
seksualnya masih aktif sebesar 58,6% sedangkan responden yang bekerja dan
aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 77,1%, responden yang tidak memakai alat
kontrasepsi dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 100% sedangkan responden
yang memakai alat kontrasepsi dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 69,9%,
responden yang masih memiliki anak hidup dan aktivitas seksualnya masih aktif
sebesar 71,1%, responden yang tidak memiliki anak hanya sebesar 1,3%, kesiapan
renponden menghadapi menopausenya baik dan aktivitas seksualnya masih aktif
sebesar 82% dan responden yang kurang siap dalam menghadapi menopause dan
aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 57,1%, perubahan fisik yang dialami
responden dalam batas tidak wajar dan aktivitas seksual masih aktif sebesar 36,4%
dan aktivitas seksual kurang aktif sebesar 13,6%, responden dengan perubahan fisik
seksual kurang aktif 5,5%. Perubahan psikologis yang dialami responden dalam tidak
batas wajar dengan aktivitas seksual masih aktif sebesar 36,4% dan aktivitas kurang
aktif sebesar 13,6%, untuk perubahan psikologi masih dalam batas wajar dengan
aktivitas seksual masih aktif sebesar 83,6% dan aktivitas seksual kurang aktif sebesar
5,5%. Hasil analisis dengan uji regresi ordinal ternyata variabel yang berpengaruh
secara nyata terhadap aktivitas seksual wanita usia 45-55 tahun pada masa menopause
hanya variabel perubahan fisik dengan signifikasi p< 0,05 dimana nilai p=0,017.
Dua faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual pada wanita menopause
adalah: (1) Faktor internal yaitu perubahan berupa kemunduran fisik yang khususnya
berkaitan dengan hormon seks yang memberikan pengaruh pada stimulasi sensori dan
aliran darah akibat penurunan hormon estrogen seperti penurunan lubrinasi vagina,
dinding vagina menjadi tipis dan mudah teriritasi, penurunan aktivitas seksual pada
wanita menopause juga dapat disebabkan karena penyakit yang diderita dan
perubahan psikologis seperti kesepian, depresi, merasa tidak pantas berpenampilan
untuk menarik perhatian pasangannya. (2) Faktor eksternal berupa kebudayaan yang
berkembang di masyarakat yang mengganggap bahwa wanita menopause tidak layak
lagi dilakukan sehingga memberikan dampak penurunan aktivitas seksual (Darmojo
dan Martono, 2006).
Menurut Mulyani (2013) hilangnya gairah seksual secara jangka panjang
terjadi pada sejumlah wanita selama dan sesudah menopause, penyebab hilangnya
gairah seksual pada perempuan menopause atau penurunan libido disebabkan oleh
selalu timbul dengan interval waktu yang tetap. Perasaan depresi itu biasanya tiba
bersamaan dengan datangnya siklus menstruasi setiap bulannya. Depresi tersebut
timbul berupa bentuk kekecewaan hati seorang wanita karena dirinya sudah tidak lagi
mengalami menstruasi dan merasa kurang lengkap dirinya sebagai seorang wanita.
(2) Kelelahan; pekerjaan sebagai seorang wanita yang mengurus anak dan suami
membuat seorang wanita mempunyai peran ganda apalagi jika wanita tersebut wanita
karier, sehingga membuat dirinya mencapai titik kelelahan yang sangat berat.
Kelelahan juga terjadi karena kurang tidur atau insomnia sehingga menimbulkan
perasaan lelah yang berkepanjangan. (3) Gangguan kesehatan; pada wanita
menopause pola makan tidak sama seperti usia produktif sehingga bila tidak
mengontrol pola makan akan terjadi kelebihan lemak yang tersimpan pada payudara,
perut, bokong dan paha. Selain itu kelebihan makanan di dalam keadaan tubuh yang
kemampuan metabolisme kurang baik dapat menimbulkan penyakit kolesterol,
hipertensi, diabetes dan jantung. (4) Masalah psikologis; mulai menurunnya
kemampuan berpikir dan kemampuan mengingat dapat menimbulkan penyakit pikun.
Perasaan takut menjadi tua, tidak menarik, tidak enak dipandang lagi, susah tidur,
mudah tersinggung, dan cepat marah, merasa tertekan, sedih tanpa diketahui
penyebabnya, sangat emosional dan spontan, ada perasaan takut kehilangan suami,
anak dan ditinggalkan sendiri. (5) Masalah pribadi dengan pasangan; pada setiap
pasangan diperlukan komunikasi agar terjadi keharmonisan dalam keluarga. Seorang
wanita perlu mendiskusikan pada pasangannya perubahan yang sedang dialaminya,
pasangan sehingga dapat menyesuaikan diri selama berhubungan intim dan
merasakan kenyamanan. (6) Efek samping terapi medikamentosa; masa menopause
adalah masa rawan bagi wanita karena sering timbul berbagai penyakit sehingga
harus mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi sistim metabolisme
tubuh (7) Perubahan hormon; pada wanita menopause, secara menyeluruh sistim
hormonal pada tubuh mulai menurun fungsinya sehingga mempengaruhi metabolisme
dalam tubuh. Penurunan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh memberikan
dampak pada penurunan organ reproduksi sehingga berpengaruh pada aktivitas
seksual wanita menopause.
Selain faktor fisiologis dan psikologis, hal lain yang mempengaruhi
seksualitas pada wanita lansia adalah penyakit maupun tindakan bedah. Penyakit
jasmani secara langsung yang dapat mempengaruhi fungsi seksual adalah endokrin
seperti kencing manis, saraf, dan vaskuler. Penyakit tidak langsung yang dapat
mempengaruhi fungsi seksual adalah penyakit yang menyebabkan kelemahan, nyeri
dan secara psikologi menyebabkan gangguan gambaran diri maupun self esteem yang
rendah (Mulyani, 2013).
Dalam beberapa artikel kesehatan, dilaporkan bahwa penyakit Diabetes
Melitus berkontribusi terhadap disfungsi seksual dengan prevalensi berkisar antara
20– 80%, sedangkan studi yang dilakukan di Jordania, dilaporkan bahwa wanita
dengan usia 50 tahun atau lebih yang menderita diabetes, lebih banyak mengalami
disfungsi seksual yaitu sebesar 59,6% (Ali, 2008). Masalah seksual yang dapat timbul
orgasme. Disamping itu penyakit sistemik seperti gagal ginjal, penyumbatan
pulmonary kronis, sirosis dan distropika myotonia, dapat menyebabkan melemahnya
orgasme hingga anorgasme, penurunan libido dan mengurangi lubrikasi vagina
(Meston, 1997).
Tindakan bedah yang berhubungan dengan masalah seksual pada lansia
seperti operasi histerektomi, mastektomi dan bedah urologi lainnya misalnya radical
cystectomy pada keganasan saluran kemih, bedah panggul pada kanker rektum dan
lain sebagainya, hal ini berhubungan dengan masalah psikologi seperti body image
dan self esteem yang rendah. Meskipun tindakan bedah vulvovaginal tidak diragukan
lagi merupakan penyebab gangguan bodi image dan self esteem yang rendah pada
semua usia, pada wanita lansia akan terasa semakin berat karena gangguan bodi
image telah terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Kejadian inkontinentia urin
terjadi pada saat intercourse sekitar 25% pada lansia, dimana hal tersebut menggangu
hubungan seksual karena ketidakpuasan dan memberikan rasa malu karena keadaan
tersebut (Hoehl dkk, 1998).
Histerektomi merupakan operasi yang terbanyak dialami pada wanita. Di
Amerika lebih dari satu diantara tiga wanita dioperasi histerektomi pada usia 60
tahun. Wanita lain merasa terganggu dalam hal kepuasan seksual. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya kontraksi uterus saat orgasme berlangsung. Pada wanita dengan
paham feminis akan merasa kehilangan kefeminimannya, karena ketiadaan uterus
sehingga terjadi gangguan body image dan self esteem yang rendah. Sebaliknya
menikmati hubungan seksual karena hilangnya nyeri pada perut, hilangnya
perdarahan yang abnormal atau kram perut (Hoehl dkk,1998).
Pada masa menopause, yang perlu diperhatikan dalam hubungan seksual
adalah keteraturannya bukan lamanya, namun tetap terjadi perubahan frekuensi dalam
melakukan hubungan seksual. Wanita menopause masih melakukan hubungan
seksual dan merasa bergairah hingga usia menjelang 80 tahun, berhentinya hubungan
seksual karena ketiadaan pasangan (Bambang, 2003). Wanita menopause yang secara
teratur dan aktif bersetubuh walaupun tidak sesering dulu akan menikmati seks lebih
lama daripada mereka yang secara tidak teratur melakukan hubungan seksual,
prinsipnya adalah “ Use It or lose It “(Suparto, 2002).
Pada usia menopause tidak ada halangan untuk mempertahankan hubungan
seksual hanya frekuensinya semakin berkurang tetapi diharapkan kualitasnya semakin
meningkat sehingga dapat meningkatkan keharmonisan keluarga. Masalah yang
dihadapi dalam hubungan seksual pada wanita menopause adalah keinginan seksual
sudah berkurang, daerah erotik kurang sensitif dan agak sulit mencapai orgasme
(Manuaba, 2009).
Hasil penelitian Widodo (2010) tentang persepsi ibu menopause terhadap
aktivitas seksual masa menopause di desa Jagalan Kecamatan Tawangmangun
Karanganyar dengan jenis penelitian kualitatif dan pendekatan fenomenologi di
dapatkan hasil ibu menopause menganggap aktivitas seksual adalah satu bentuk dari
ungkapan kasih sayang dan rasa cinta, kumpul dengan suami saling merayu, persepsi
melakukan aktivitas seksual dan perasaan ibu cemas saat melakukan aktivitas seksual,
ibu berkenyakinan bahwa melakukan aktivitas seksual pada masa menopause sudah
tidak penting lagi karena merasa sudah tua dan tidak pantas lagi namun ibu percaya
bahwa dengan tetap melakukan aktivitas seksual dapat mencegah suami mencari
wanita lain dan itu tetap dilakukan karena satu kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pengaruh menopause terhadap aktivitas seksual menjadi kurang bahkan tidak sama
sekali melakukan aktivitas seksual karena tidak bergairah lagi dan hasil wawancara
pada ibu menopause sebanyak 75% responden tidak ada upaya atau keinginan untuk
bertanya pada tenaga kesehatan ataupun mencari informasi dengan cara membaca
buku, cukup dengan mendengarkan dari orang lain dan anggapan-anggapan yang ada
di masyarakat.
2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual 2.3.1. Pengetahuan
Terjadi kekhawatiran akan perubahan-perubahan yang terjadi sebelum
menopause dan sesudah menopause dapat menjadi masalah apabila wanita tersebut
tidak mengetahui secara benar tanda-tanda atau sindrom yang terjadi pada diri mereka
ketika memasuki menopause. Adanya keluhan fisik seperti kekeringan pada vagina,
kurangnya lubrinasi dan menurunnya fungsi seksual akan mempengaruhi perubahan
aktivitas seksual di usia menopause. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan
yang terjadi akibat penurunan fungsi reproduksi tetapi juga dipengaruhi oleh
terhadap penurunan respons seksual di usia menopause (varney, 2004). Masalah lain
yang muncul akibat kurangnya pengetahuan tentang penurunan fungsi reproduksi dan
fungsi seksual di usia menopause adalah gangguan biopsikososial yang akan
mempengaruhi kinerja wanita usia menopause dan juga mengakibatkan
tergangguanya hubungan suami istri (Martaadisoebrata, dkk, 2005). Banyak wanita
pada masa menopause merasa takut akan kehilangan seksualitasnya, khususnya
kemampuan melakukan aktivitas seksual yang menyebabkan hubungan interpersonal
dengan pasangan kurang harmonis (Nappy, 2009).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan hidup wanita
menopause khususnya pada aktivitas seksual yaitu dengan memberikan pendidikan
kesehatan pada wanita menopause dan suami agar dapat mengembangkan
pengetahuan, sikap dan bagaimana cara mengatasi jika terjadi perubahan aktivitas
seksual melalu kegiatan konseling karena kebutuhan seksual merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia, untuk itu secara interpersonal, konseling merupakan satu
metode yang sesuai untuk memberikan informasi dan membantu pasangan suami dan
istri memahami dan mengerti bagaimana cara mengatasi perubahan aktivitas seksual
pada masa menopause (Potter dan Perry, 2005).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang, proses adopsi perilaku yang di dasari oleh pengetahuan akan
lebih baik dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan
diperlukan sebagai dorongan fisik dalam menumbuhkan rasa percaya diri,
Hasil penelitian Ika (2010) di Puskesmas Arjuno Malang terhadap 67
responden tentang pengetahuan mengenai menopause didapatkan hasil tingkat
pengetahuan wanita mengenai menopause berada pada katerori kurang yaitu sebesar
43%, sedangkan 31% responden memiliki tingkat pengetahuan sedang dan 26% pada
kategori baik. Tingkat keluhan wanita menopause yang paling banyak adalah pada
keluhan ringan yaitu 60% dan keluhan sedang sebanyak 33%, keluhan ringan 7%.
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rank menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kedua variabel ( p=0,002<0,05). Nilai koefisien korelasi (r) menunjukkan
bahwa arah korelasi positif yaitu semakin kurang tingkat pengetahuan seseorang
mengenai menopause maka semakin ringan pula tingkat keluhannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2009) dengan judul hubungan
tingkat pengetahuan tentang menopause dengan dukungan sosial suami saat istri
menghadapi menopause di desa Somagede Kecamatan Somagede Banyumas dengan
jumlah responden 172 orang didapatkan hasil mayoritas pengetahuan responden
tentang menopause pada kategori cukup 54,3%, hasil penelitian untuk dukungan
sosial suami berada pada kategori sedang yaitu 54,3% dan hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan dukungan sosial suami saat istri menghadapi menopause di
dapatkan hasil bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat pengetahuan dengan
dukungan sosial suamu saat istri menghadapi menopause dengan nilai koefisien
sebesar 0,523 dan secara statistik bermakna di lihat dari nilai signifikan adalah 0,000
Penelitian yang dilakukan oleh Ulfiana (2012) di desa Candi Mulyo Jombang
dengan desain penelitian guasy exsperiment terhadap 45 pasangan suami istri dengan
judul konseling pasangan suami istri tentang aktivitas seksual pada wanita menopause
didapatkan hasil konseling pasangan suami istri tentang aktivitas seksual memberikan
hasil yaitu peningkatan pengetahuan, perubahan sikap menjadi positif dan
peningkatan tindakan dalam upaya mengatasi perubahan aktivitas seksual pada
wanita menopause. Pasangan suami istri terdorong motivasinya dalam upaya untuk
mengatasi perubahan aktivitas seksual pada wanita menopause, karena apabila
seseorang mendapat ilmu atau informasi baru yang berguna untuk dirinya dan sesuai
dengan permasalahan yang sedang dihadapi, maka akan timbul motivasi untuk
memahami, menerima dan akhirnya akan mengadaptasikan dalam kehidupan
kesehariannya.
2.3.2. Aktivitas Fisik
Perubahan fisik yang terjadi pada masa menopause menyebabkan rasa panas
(Hot flush), gejala ini akan dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh tubuh, rasa
panas disertai warna kemerahan pada kulit dan berkeringat, rasa panas ini akan
mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akhirnya akan membuat wanita
menopause kekurangan tidur dan mengalami kelelahan didukung oleh pekerjaan
sebagai seorang wanita yang mengurus anak dan suami membuat seorang wanita
mempunyai peran ganda apalagi jika wanita tersebut wanita karier, sehingga
membuat dirinya mencapai titik kelelahan yang sangat berat. Aktivitas seksual
tidur dan istirahat maka akan mengalami kelelahan fisik dan ini menyebabkan
terjadinya penurunkan gairah seksual. Kondisi tubuh yang lelah selalu jadi alasan
yang cukup kuat untuk menolak aktivitas seksual. Fenomena ini sering kita jumpai
dalam rumah tangga. Ada beberapa alasan yang membuat gairah seksualitas wanita
menopause menurun, salah satunya adalah karena kelelahan. kelelahan bisa
disebabkan karena banyaknya aktivitas sehari-hari yang dikerjakan oleh wanita
menopause dan kelelahan merupakan respons normal dari aktivitas fisik.
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka
yang memerlukan pengeluaran energi). Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan
tubuh yang membutuhkan energi untuk mengerjakannya. Aktivitas fisik yang
bermanfaat untuk kesehatan usia lansia sebaiknya memenuhi kriteria FITT
(Frequensi, Intensity, Time, Type). Frekuensi adalah seberapa sering aktivitas
dilakukan oleh individu yaitu berapa hari, berapa kali dalam satu minggu. Intensitas
adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan, biasanya diklasifikasikan dalam
intensitas rendah, sedang dan tinggi. Waktu mengacu pada durasi, seberapa lama
suatu aktivitas dilakukan dalam satu kali pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah
jenis atau kegiatan-kegiatan fisik yang di lakukan sehari-hari (WHO, 2010). Menurut
RDA (Recommeded Dietary Allwances) tahun 1989 mengkategorikan aktivitas fisik
ke dalam istirahat tidur, berbaring, atau bersandar), sangat ringan (duduk dan berdiri,
melukis, menyetir mobil, pekerjaan laboratorium, mengetik, menyapu, menyetrika,
memasak, bermain kartu, bermain alat musik), ringan (berjalan dengan kecepatan
ski, tenis, menari), berat (berjalan mendaki, menebang pohon, menggali tanah, basket,
panjat tebing, sepak bola).
Hasil penelitian Qamariyati (2013) dengan judul hubungan kecemasan dan
aktivitas fisik dengan kehidupan seksual pada wanita menopause di kelurahan Sajen
wilayah kerja puskesmas Trucuk I kabupaten Klaten terhadap 81 responden dengan
metode survey explanatory dan pendekatan yang digunakan cross sectional
didapatkan hasil mayoritas responden tidak mengalami kecemasan yaitu 98,8% dan
sebagian besar responden yaitu 56,8% memiliki aktivitas fisik dengan level sedang
serta responden yang memiliki kehidupan seksual normal sebanyak 74,1%. Dari hasil
uji korelasi Rank Sperman dapat diketahui bahwa kecemasan yang dialami responden
tidak memiliki hubungan dengan kehidupan seksual responden saat menopause
dengan p-value 0,158, dan hasil uji Anova dapat diketahui bahwa aktivitas fisik
responden menyebabkan adanya perbedaan yang bermakna pada kehidupan seksual
responden saat menopause dengan p-value 0,044.
2.3.3. Cemas
Faktor psikologis seperti kecemasan juga dapat mempengaruhi fungsi seksual
seseorang, 70% disfungsi seksual disebabkan karena faktor psikologis (Phanjoo,
2000). Kecemasan timbul karena adanya kekhawatiran dalam menghadapi situasi
yang sebelumnya tidak pernah di khawatirkan. Cemas merupakan sesuatu keadaan
yang wajar, karena seseorang pasti menginginkan segala sesuatu dalam hidupnya
dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala bentuk kegagalan serta sesuai
Kecemasan adalah satu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak
dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis. Kecemasan
merupakan keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini di
alami secara subjektif (Stuart, 2001). Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan
atau dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari berat atau tingkatan
yang dirasakan oleh individu tersebut. Keluhan secara umum pada kecemasan seperti
khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa
tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, gangguan pola tidur, mimpi yang
menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, rasa sakit pada otot dan tulang,
berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan
perkemihan, tangan terasa dingin, dsb (Hawari, 2001).
Stuart (2001) mengidentifikasikan kecemasan dalam empat tingkatan yaitu:
(1) Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan
ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi
waspada dan meningkatkan persepsinya. (2) Cemas sedang merupakan cemas yang
memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang
selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. (3) Cemas berat adalah
cemas yang cederung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak
dapat berpikir tentang hal lain. (4) Panik berhubungan dengan ketidakmampuan
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan dikarenakan individu tersebut
kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang dan
kehilangan pemikiran yang rasional.
Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur (instrumen)
yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) yang terdiri
dari 14 kelompok gejala dan masing-masing kelompok gejala akan diberi penilaian
angka (score) antara 0-4 dengan penilaian jika nilai 0 tidak ada gejala, nilai 1 gejala
ringan, nilai2 gejala sedang, nilai 3 gejala berat dan nilai 4 gejala berat sekali/panik
( Hawari, 2001). Rentang respons kecemasan individu terhadap cemas berfluktuasi
antara respons adaptif dan maladaptif. Rentang respons adaptif adalah antisipasi
dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul,
sedangkan rentang maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi
berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami gangguan fisik dan
psikologis (Stuart, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2007) di Kabupaten Purworejo
(Yogyakarta), terhadap 6698 wanita usia lanjut terdapat 38,52% masih aktif
melakukan aktivitas seksual dengan frekuensi aktivitas seksual bulanan yaitu 54,87%,
prevalensi disfungsi seksual sebesar 45,20%, yang mengalami kecemasan 34,92%
dan kecemasan meningkatkan resiko untuk tidak melakukan aktivitas seksual
63,24%, kecemasan meningkatkan resiko terjadinya disfungsi seksual sebesar
52,72%, resiko ketidakpuasan seksual pada wanita usia lanjut berdasarkan pada
kecemasan sebesar 17,94% dan uji statistik yang yang digunakan adalah
dinilai OR, 95% CI, nilai -2log likehood dan derajat bebas (df). Tehnik yang
digunakan adalah stepwise. Hasil analisis didapatkan resiko terjadinya disfungsi
seksual pada wanita yang mengalami kecemasan berubah menjadi 1,5 kali
dibandingkan dengan tidak cemas. Wanita yang mengalami cemas cenderung akan
mengalami penurunan frekuensi seksualitasnya.
2.3.4. Nilai
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta
prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterkaitan orang atau kelompok
terhadap nilai sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Nilai adalah penghargaan
yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas
dan mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup
bersama. Tolak ukur nilai sosial adalah daya guna fungsional suatu nilai dan
kesungguhan penghargaan, penerimaan atau pengakuan yang diberikan oleh seluruh
atau sebahagian besar masyarakat terhadap nilai tersebut. Nilai segala sesuatu
bertolak dari nilai instinsik yang melekat pada harkat kemanusiaan. Melalui nilai
intrinsik ini kita dapat menerangkan nilai sosial benda tersebut. Nilai intrinsik dan
nilai sosial adalah harkat dan martabat manusia itu sendiri. Dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari sangat sulit menentukan nilai budaya yang diamati oleh
seorang, sekelompok atau masyarakat karena nilai budaya itu bersifat relatif
(Syafrudin, 2010).
Dalam konteks masyarakat, budaya biasanya di definisikan sebagai nilai-nilai,
simbol-simbol (Rumengan, 2013). Menurut E.B. Taylor dalam Syafrudin (2010)
Budaya adalah hal-hal yang berhubungan dengan akal. Budaya merupakan kompleks
yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Wujud budaya sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma dan peraturan (Prasetya, 2007). Nilai budaya merupakan
konsep mengenai yang hidup dalam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat
mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup
sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arah dan orientasi
kepada kehidupan para warga masyarakat sendiri.
Kondisi sosial budaya dan lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan
reproduksi wanita. Situasi budaya saat ini masih sangat kondusif untuk helm seling
behavior dalam masalah kesehatan reproduksi wanita (Muhammad, 1996). Hal ini
dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia masih beranggapan
membicarakan masalah seksualitas merupakan hal yang tabu. Dalam sejarah
perkembangan, bangsa Indonesia telah banyak berbuat sesuai dengan perilaku yang
nyata dalam kehidupan masyarakat, hal ini dapat dilihat dari budaya dan perilaku
bangsa Indonesia yang masih kental dalam hal yang berhubungan dengan kesehatan
reproduksi. Masih banyak perilaku-perilaku yang mencerminkan sikap dan
kepribadian yang bertolak belakang dengan budaya asli Indonesia. Kepribadian ini
mewariskan Sifat-sifat tertutup terhadap satu hal yang masih tabu, khususnya
Perilaku seksual atau seksualitas pada wanita memang menjadi perdebatan
sampai saat ini, terutama seksualitas wanita menopause. Penilaian negatif dari
masyarakat tentang seksualitas membuat wanita menopause merasa malu untuk
mempertahankan kehidupan seksualitasnya. Sikap keluarga dan masyarakat yang
kurang mendukung serta diperkuat oleh anggapan masyarakat bahwa seksualitas
masa tua itu tidak penting dan tabu untuk dibicarakan, masyarakat mengganggap
seks pada orang tua itu tidak penting dan bukan prioritas utama, bagi wanita, seks
bukan segalanya, apalagi dalam konteks hubungan suami istri dan menganggap seks
pada wanita menopause praktis dan pelan-pelan akan hilang sendiri (Padila, 2013).
2.4. Landasan Teori
Adanya peningkatan jumlah lansia, menyebabkan masalah kesehatan yang
dihadapi bangsa Indonesia menjadi semakin kompleks, terutama yang berkaitan
dengan gejala penuaan. Menjadi tua atau menua membawa pengaruh serta perubahan
menyeluruh baik fisik, sosial, mental dan spiritual yang keseluruhannya saling kait
mengkait antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Perubahan yang terjadi
perlu proses adaptasi atau penyesuaian diri, padahal dalam kenyataannya semakin
menua usia kebanyakan semakin kurang fleksibel untuk menyesuaikan diri terhadap
berbagai perubahan yang terjadi dan disinilah berbagai gejolak atau masalah yang
harus dihadapi ibu (Padila, 2013).
Perubahan akan terjadi pada saat ibu memasuki usia 45-55 tahun dimana
membawa dampak pada penurunan berbagai sistim tubuh termasuk penurunan
seksualitas ibu. Penurunan seksualitas pada ibu menopause dapat terjadi karena
adanya perubahan pada fisik, perubahan psikologis, kurangnya informasi dan
pengetahuan akan perubahan yang terjadi pada ibu serta didukung oleh penilaian
negatif dari masyarakat tentang seksualitas masa tua (Padila, 2013).
Perubahan fisik yang terjadi pada ibu menopause menyebabkan rasa panas
(Hot flush), gejala ini akan dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh tubuh, rasa
panas disertai warna kemerahan pada kulit dan berkeringat, rasa panas ini akan
mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akhirnya akan membuat wanita
menopause kekurangan tidur dan mengalami kelelahan didukung oleh pekerjaan
sehari-hari sebagai seorang wanita yang mengurus anak dan suami membuat seorang
wanita mempunyai peran ganda apalagi jika wanita tersebut wanita karier, sehingga
membuat dirinya mencapai titik kelelahan yang sangat berat. Pada saat melakukan
aktivitas seksual membutuhkan tenaga, jika tenaga terkuras karena bekerja, kurang
tidur dan istirahat maka akan mengalami kelelahan fisik dan ini menyebabkan
terjadinya penurunan gairah seksual. Kondisi tubuh yang lelah selalu jadi alasan yang
cukup kuat untuk menolak melakukan aktivitas seksual dengan suami. Fenomena ini
sering kita jumpai dalam rumah tangga dimana ibu menopause mengalami penurunan
gairah seksual (Mulyani, 2013).
Ketidakmampuan wanita menopause untuk menghadapi tekanan atau konflik
akibat perubahan fisik dan perubahan organ reproduksi dapat menimbulkan masalah
tua dan tidak menarik lagi, perasaan tertekan ,malas ,sedih ,merasa tidak berdaya,
mudah menangis, mudah lupa, emosi yang meluap, hal ini juga akan mempengaruhi
wanita menopause mengalami masalah seksualitasnya karena faktor psikologis
seperti cemas dapat mempengaruhi fungsi seksual seseorang. 70% disfungsi seksual
disebabkan karena adanya masalah psikologis (Padila, 2013).
Perubahan aktifitas seksual di usia menopause tidak hanya dipengaruhi
oleh perubahan fisik, perubahan organ reproduksi dan psikologis tetapi juga
dipengaruhi oleh kurangnya informasi dan pengetahuan tentang dampak penurunan
fungsi fisik, fungsi reproduksi dan psikologis terhadap penurunan respon seksual di
usia menopause yang sebenarnya dapat diperoleh melalui informasi atau konseling
tentang aktifitas seksual masa menopause, seperti pengetahuan tentang klimaksterium
masa senja, mengetahui gejala-gejala baik yang ringan maupun yang berat, maka
menopause tidak lagi merupakan permulaan keruntuhan keutuhan keluarga dan
kebahagian suami-istri. Pengetahuan tentang menopause sangat mempengaruhi
seseorang dalam persiapan diri ibu menopause terhadap perubahan-perubahan masa
menopause termasuk penurunan fungsi seksualitas pada ibu menopause
(Manuaba, 2009).
Penilaian negatif terhadap permasalahan seksualitas lansia juga sangat
mempengaruhi ibu dalam melakukan aktivitas seksual, pandangan sebagian besar
masyarakat bahwa masalah seks wanita menopause tidak ada lagi, pelan-pelan
hilang. Masih kurangnya ketersedian privacy bagi para orang tua juga sangat
lingkungan dimana wanita menopause tinggal, baik lingkungan dalam rumah dan
lingkungan luar rumah. Lingkungan yang tidak mendukung bahwa kebutuhan
seksualitas lansia juga harus diperhatikan hal ini diperkuat oleh tradisi atau budaya
dimana orang tua tidak pantas lagi memikirkan seksualitas, perasaan tabu dan malu
untuk mempertahankan kehidupan seksualitasnya, perempuan mempunyai pemikiran
bahwa perempuan itu hanya menunggu dan bersifat pasif tidak berani dan tidak
pantas mengajak suami untuk melakukan hubungan seksual kareana malu dan
pemikiran bahwa lansia harus lebih fokus pada ibadahnya (Suparto, 2006).
Seksualitas menyangkut dimensi biologis, psikologis, sosial dan cultural.
Dilihat dari dimensi biologis, seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi,
termasuk bagaimana menjaga kesehatan organ reproduksi, menjagakan secara
optimal sebagai alat untuk berproduksi dan berrekreasi dalam mengekspresikan
dorongan seksualitas, dorongan dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat
dengan identitas peran jenis, perasaan terhadap seksualitas itu sendiri dan bagaimana
menjalani sebagai makhluk seksual, dari dimensi sosial berkaitan dengan bagaimana
lingkungan berpengaruh dalam pembentukan mengenai seksualitas dan pilihan
perilaku seks, sedangkan dari dimensi cultural menunjukkan bagaimana perilaku seks
menjadi bagian dari kehidupan yang ada di masyarakat (Darmojo dan Martono,
2006).
Pada usia menopause tidak ada halangan untuk mempertahankan hubungan
seksual hanya frekuensinya semakin berkurang tetapi diharapkan kualitasnya semakin
dihadapi dalam hubungan seksual pada wanita menopause adalah keinginan seksual
sudah berkurang, daerah erotik kurang sensitif dan agak sulit mencapai orgasme
(Manuaba, 2009). Pada masa menopause, yang perlu diperhatikan dalam hubungan
seksual adalah keteraturannya bukan lamanya, namun tetap terjadi perubahan
frekuensi dalam melakukan hubungan seksual. Wanita menopause masih melakukan
hubungan seksual dan merasa bergairah hingga usia menjelang 80 tahun, berhentinya
hubungan seksual karena ketiadaan pasangan. Wanita menopause yang secara teratur
dan aktif bersetubuh walaupun tidak sesering dulu akan menikmati seks lebih lama
daripada mereka yang secara tidak teratur melakukan hubungan seksual (Bambang,
2013).
2.5. Skema Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual
Penurunan hormon estrogen dan progesteron dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada wanita menopause. Perubahan yang terjadi pada wanita
menopause sangat komplik mulai dari perubahan fisik, perubahan organ reproduksi,
perubahan psikis, adanya pandangan yang negatif tentang seksualitas masa tua dan
kurangnya informasi tentang perubahan yang terjadi saat wanita memasuki masa
menopause sehingga kesemua ini memberi dampak pada aktivitas seksual dimasa
menopause. Keterkaitan faktor-faktor yang memengaruhi aktivitas seksual pada ibu
Gambar 2.1. Skema Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual
Umur Penurunan hormone estrogen dan
Pengetahuan
Aktivitas fisik
Cemas
Nilai
Aktivitas Seksual
2.6. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori maka peneliti membuat
kerangka konsep sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen